Anda di halaman 1dari 54

ALTERATA

By

Selly Anastassia Amellia Kharis

Cerita ini tentang saya. Tapi lebih mungkin tentang kami.


Cerita yang diawali oleh harapan.
...

Abu-Abu

Halo dari saya untuk kalian. Salam kenal. Menarik rasanya mengetahui
bahwa ada seseorang yang menyisihkan waktunya untuk membaca cerita ini.
Menimbang-nimbang bagaimana reaksi kalian ketika membaca ini: sedih,
senang, tertawa, atau tertunduk kaku kebosanan. Saya harap reaksi kalian bukan
kata terakhir yang baru saya tuliskan.
Menulis cerita ini: butuh bertahun-tahun, keputusasaan, kebangkitan, dan
kembali putus asa. Butuh hinaan, semangat, teguran dan harapan dari diri
sendiri untuk diri sendiri. Yah, saya seperti orang gila saat menulis ini. Tapi
tunggu, bukannya setiap orang memang memiliki kegilaan di dunia-Nya, hanya
beda kadar dan pengendaliannya. Mungkin kalian tidak setuju tapi mari saya beri
bukti. Pernah makan mie instan kan khususnya mie instan yang diberi lebel mie
goreng? Kenapa namanya mie goreng coba padahal cara masaknya enggak ada
digoreng-gorengnya kan? Cuma buka bungkusnya, rebus mienya, buang airnya,
masukin bumbu. Enggak ada digoreng-gorengnya kan?
Thats the point, kita memang perlu sedikit kegilaan di dunia ini atau kita
akan dibilang gila oleh orang-orang gila lainnya yang tentu lebih nyakitin
daripada kita sendiri yang ngaku gila. Beruntungnya saya, saya mempunyai
teman-teman yang lebih gila dari saya sehingga saya terlihat lebih normal
dibanding mereka. Beruntungnya saya juga, Tuhan memberikan masa bagi saya
untuk mengenal, beradaptasi, dan menjadi keluarga bersama orang-orang gila
tersebut. Di masa itulah juga kadang saya menjadi langit yang tak bisa digapai,
kadang menjadi tanah yang diinjak-injak, kadang menjadi ambigu di keduanya.
Maka, biarlah di hari ini, dengan ini, saya menceritakan kembali masa
kegilaan itu. Ini penting bagi saya karena di masa itu harapan dan kepahitan
yang menyangkut tubuh berkumpul menjadi satu titik nadir.
Juga menjadi ingatan: suara bel sekolah yang seperti suara speaker
tukang roti, suara Pak Budi yang menghukum siswa terlambat, pagar sekolah
yang berkarat, derik spidol mencium papan tulis, rasa soto mie yang membekas,
deras hujan yang tak bisa dilupakan, suara Pak Ahyadi yang hangat, nyanyian Bu
Sihar yang sejuk, batuk Pak PJ, dan cerita persahabatan yang mengendap dalam
kesadaran. Semua seperti telah diatur Tuhan untuk saya, semuanya melebur
dalam masa yang saya sebut masa abu-abu. Tapi percayalah kisah ini bukan
kisah anak ingusan dengan sifat kekanak-kanakannnya. Kisah ini mempunyai
keajaiban sendiri bagi pelakunya. Kisah Ini benar terjadi ketika kepercayaan akan
mimpi menipis dan keraguan akan persahabatan menebal.
Tanpa beban, tuntutan ataupun harapan, nikmatilah cerita ini, karena
apapun yang terjadi bahagia adalah tujuan akhir cerita ini.

Thank You
Thanking Allah for: -My family-My life-My friends-My laughter-My tears-My
trials-My failure-My success-everything which makes and matures me. Nature
and Nurture you give me.
Thanking parents for: everything you give and not give to me. It makes me
like human.
Thanking Allah for create some humans in Ainun, Annisa I, Annisa
Nurbaety, Devi, Dinda, Jepe, Ririn, Yayah then i call them Rumpi.
Terima kasih untuk otak yang meyakinkan saya bahwa saya pelupa
sehingga saya harus menulis cerita ini. Terima kasih untuk penemu laptop,
internet, pencipta musik, para koki, industri, dan toilet yang selalu setia
menemani saya dalam menulis.
Last but not least. Thank you for you, my readers, you are my pleasure

Semua itu membuat saya ingin mengenang masa itu. Saya pelupa. Juga
salah satu alasan menuliskan semua hal-hal berharga ini.
Mengetahui kalian masih membaca tulisan ini, setidaknya sampai bagian
ini, sudah membuat saya bahagia. Terima kasih.
Pertama dan utama, Terima kasih kepada Tuhan saya yang pengasih, Allah
SWT karena hidup yang diberikannya saya bisa merasa, saya bisa berkata baik,
saya bisa bersyukur kepada-Nya kembali. Terima kasih kepada orang tua saya
yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk membentuk rupa saya,
bertemu, bicara, berkumpul, dan melakukan hal gila di zaman yang melesat ini.

Orang besar memperlihatkan kebesarannya dari cara memperlakukan orang


kecil
Orang dinilai bukan saja dari apa yang dilakukannya, tetapi juga dari apa yang
tidak dilakukannya

Semakin banyak berbicara tentang diri sendiri, semakin banyak pula


kemungkinan untuk berbohong
Hidup hanya sekali. Tapi bagi saya, sekali saja sudah cukup asal berarti.
Para nelayan pergi ke
kesana. Sama seperti cerita
menyuruh mimpi-mimpi itu
mewujudkannya.Dan bersama

laut, saya tak pernah menyuruh mereka untuk


ini, saya punya mimpi, juga saya tak pernah
untuk terwujud, saya hanya berusaha untuk
kalian, saya lebih yakin untuk mewujudkannya.

Abu-abu adalah sebuah masa dimana kita semua tidak jelas rupanya akan
jadi apa, kemana, dengan siapa kita bertemu, bicara, berkumpul, dan melakukan
hal gila bersama. Bagi saya sendiri, abu-abunya saya adalah Alterata. Kalian
pasti bertanya siapa atau apa itu Alterata? Sini saya jelaskan potekan masa lalu
saya tersebut.
Dalam Bahasa Yunani, Alterata berarti tiga puluh tiga. Alterata adalah
nama slank untuk SMAN 33 Jakarta, tempat saya pernah mengenyam ilmu
beberapa tahun lalu. Sekolah yang berada di bilangan Cengkareng, Jakarta Barat.
Sekolah itu mempunyai 3 lantai dengan hanya satu tangga dan dua
gedung yang terpisah yang jika kalian harus pindah kelas dari lantai 3 gedung
baru (sebutan untuk gedung yang memang lebih baru dibandingkan dengan
gedung satunya yang sudah sangat lama sampai pernah atap penyangganya
runtuh) ke lantai 3 gedung lama. Yah memang sekolah itu menerapkan sistem
moving class. Katanya agar standar sekolah bisa naik menjadi sekolah standar
nasional, tapi bagi kami yang lebih percaya gosip, sistem tersebut hanya kedok
untuk menambah jumlah kelas sehingga siswa akan bertambah dan sekolah
lebih banyak mendapat uang karena dengan sistem tersebut lab-lab yang

sebelumnya tidak dipakai menjadi selalu dipakai bahkan terlalu dipaksakan


untuk digunakan sebagai tempat belajar. Tapi percayalah ini hanya gosip dan
anda tidak perlu percaya.
Jangan tanya saya mengenai kesan sekolah itu. Saya pun tidak tahu harus
menyebutnya dengan penuh kebanggaan, malu ataukah kepura-puraan untuk
menunjukkan sikap seperti jika seorang ditanya mengenai almamaternya. Di
masa itu, bukanlah hal mudah bagi saya. Saya, Selly Anastassia Amellia Kharis
(selamat anda orang ke-1000 yang bilang nama saya panjang) adalah seorang
siswa yang tidak terlalu terkenal, tidak suka untuk terkenal, bukan anak gahul
tapi (harus) bukan anak alay, dan mempunyai daya tarik luar biasa terhadap
makanan, tidur, game dan novel.

Jepe enggak ngerti sama ucapan selly tapi Jepe percaya. Percaya kalau pada
saat nanti waktunya, kita akan berujung di kondisi yang bahagia. Dan itu semua
yang sudah diatur, direncana, dan ditata sama Yang di atas. Kalau sekarang ini
yang Jepe tahu, Yang Maha Agung sedang mencari jalan yang pas yang harus
kita lalui dalam perjalanan ini. Entah jalanan yang becek, berlubang, berbatu,
atau jalanan yang mulus seperti kulit Jepe. Kita enggak perlu ko memastikan
harapan kita bakal terwujud, Tuhan juga enggak pernah bilang ke Jepe kalo Jepe
minta pasti dikabulkan, Tuhan cuma bilang Niscaya akan dikabulkan. Jadi yah kita
cuma perlu berusaha. Jangan takut duluan dong sel! Solusi dari setiap masalah
yang diberikan Tuhan itu sedekat bumi dan kening pada waktu sujud! Hayo
semangat! Jessica Permata menuturkan semua pemikirannya. Memang hanya
dia yang masih bisa bercanda sesuai keadaan dan anehnya itu membantu.
Tapi bisa apa sih gue, gue takut kepengurusan ini bakal hancur di tangan
gue.
Jangan cemasin itu, karena gue ngedukung elu dari dulu, dan bakal selalu
begitu Ainun Rufaidah, 16 tahun
Gue percaya dan elu juga harus percaya, kita bisa melakukan lebih dari
tahun sebelumnya. Mungkin kita pernah direndahkan, bahkan dibuang. Namun,
kita harus tetap berjuang dan buktikan bahwa angkatan ini bukan sekadar
angkatan. 2010-2011, We have different thing that other never have, we have
family and its our Firman Wijaya Kusuma menambahkan dengan anggukan
persetujuan dari pengurus OSIS yang lain.
Dan ya saya percaya. Saya sangat yakin akan kepercayaan ini. Bahwa
saya, kamu, dan kita akan kembali berkumpul dengan kesuksesan di tangan
kanan dan kerendahan hati di tangan kiri. Saya percaya itu, jadi jangan berhenti
di sini. Jangan berhenti sebelum kamu bergerak. Annisa Indriyani

One Taste One Spirit!

Untuk itu kita cari


Harapan menurut kita sendiri
Harapan menurut kamu, dan
Harapan menurut saya sendiri

Pagi indah itu datang kembali. Cahaya matahari bersembunyi di antara


awan gemawan. Rinai hujan yang jatuh bersama alunan adzan subuh sedikit
demi sedikit mulai memudar. Sejurus kemudian matahari merekah. Biru merajai
angkasa.
Pukul enam pagi, tampak tetesan hujan menggelayuti dedaunan yang
masih hijau sebelum akhirnya jatuh ke dalam tanah dan berubah kembali
menjadi rinai hujan nantinya. Keajaiban kedelapan, begitu sebutannya untuk
pagi ini. Semburat sinar dari langit menerobos celah awan-gemawan, tembus
sampai ke bumi , melewati batang-batang pohon dan menyelinap ke dalam
dada. Hangat.
Dalam pada itu, hari ini, hari dengan keajaiban kedelapan, kudapati diriku
masih duduk di sini, di pinggir selokan sekolah memikirkan apa yang harus
kulakukan dengan jabatanku sekarang. Hari ini aku akan menjabat menjadi Ketua
OSIS sekolah secara resmi, ah sialkah aku atau beruntungkah aku. Pada saat itu
yang kutahu, aku dicalonkan sebagai Ketua OSIS dengan wakil bernama Okky
Akbar Soebagja, seorang pelajar laki-laki yang mantan pacarnya (masih) wanita,
berbadan besar, jago futsal, dan pikirannya lebih dewasa daripada tingkahnya.
Selamat ya sel, jangan kayak anak kecil lagi, hilangin ketololannya
begitu ucapan pertama yang kudapat ketika pertama kali menjadi Ketua OSIS.
Andai aku benar-benar tolol, aku harap aku tidak menyadari bahwa
mereka, para kakak tingkat melakukan siasat untuk memenangkan pemilihanku.
Aku adalah siswa yang tidak terlalu terkenal, butuh keajaiban untuk menjadikan
aku dipilih sekitar 800 siswa kecuali sebuah intrik dilakukan. Aku sudah dapat
membaca ketika dipasangkan dengan Okky Akbar Soebagja yang terkenal di
lingkungan sekolah dan lawan-lawanku yang lain dipasangkan dengan orang
yang memang tidak ingin menjadi Ketua OSIS, itulah siasat yang dipasang agar
aku menang. Para siswa memilih kami karena kehadiran Okky, walaupun Okky
menolak semua pemikiran itu toh mereka sudah mengatakan secara tidak
sengaja dihadapanku dan menyedihkannya bahwa mereka tidak berpikir otakku
bisa mencapai pemikiran itu.
Lu tahu enggak sih kita kan masang siasat biar lu menang sel.

Aku tahu ko, dari awal dipasangin sama Okky juga udah tahu
Iya elu udah tahu? Hahhaha masa si Selly udah tahu? Ucap seorang
kakak tingkat kepada kakak tingkat yang lain.
Maka, dengan perasaan aneh, aku berangkat ke sekolah pagi-pagi dan
hanya duduk di pinggir selokan sekolah memikirkan semua kejadian itu.
Mengetahui diriku yang lemah di mata orang lain, membuatku juga lemah
di mata sendiri. Pada saat itu, aku memahami, saat mulut terdiam, saat itu otak
berbicara, didampingi hati sebagai perasa, aku memutuskan sesuatu yang tak
pernah terjadi di sekolah ini, pemunduran diri sebagai Ketua OSIS tepat
beberapa jam sebelum resmi menjabat.
Aku berpikir. Bagaimana aku bisa memimpin mereka, jika mereka saja
menganggap aku lemah dan menyepelekan otakku. Aku ingin, orang memilihku
sebagai Ketua OSIS karena apa yang aku punya dan apa yang bisa aku lakukan.
Aku tidak mau terbeban perasaan ini.
Maka, dengan perasaan yang tidak karuan dan tubuh yang letih, aku
menghadap Pembina OSIS. Sensei Lenny, biasa ia disebut.
Iya, Selly, ada apa ke ruangan saya pagi-pagi seperti ini. Oh iya, selamat atas
terpilihnya kamu sebagai Ketua OSIS. Saya turut senang.
Tidak perlu sensei, tidak perlu diucapkan seperti itu. Tujuan saya menghadap
sensei sepagi ini malah karena saya ingin mengundurkan diri dari posisi
tersebut. Aneh, ucapanku begitu lancar untuk kalimat ini.
Kenapa? Apa ada masalah?
Iya, orang tua saya tidak setuju jika saya menjadi Ketua OSIS karena mereka
pikir saya akan sering pulang malam dan hal itu akan menganggu pelajaran
saya. Tuturku sambil berkata dalam hati bahwa itu memang salah satu alasan
selain alasan utama tersebut.
Apa kamu sudah berbicara kepada teman-temanmu yang lain? Ini bukan
masalah sederhana loh, jika kamu mengundurkan diri, dari sekarang sebaiknya
kamu putuskan. Jika tidak, besok, surat keputusan yang akan ditandatangani
langsung oleh Kepala Sekolah akan memutuskan bahwa kamu tetap menjadi
Ketua OSIS dan kasian teman-teman kamu, karena kamu mengundurkan diri di
saat surat keputusan telah ditandatangani. Itu berarti mereka tidak akan
memiliki Ketua OSIS selama 1 tahun lamanya. Tutur Sensei Lenny memberikan
penjelasan
Iya sensei, saya sudah yakin atas keputusan ini
Kamu tahu. Sebagai pembina OSIS saya kecewa dengan kamu. Ini memang
jabatan baru buat kamu, begitu juga dengan saya yang baru menjabat menjadi
Pembina OSIS. Jangan karena masalah pribadi lalu kamu memutuskan hal ini
dengan begitu tiba-tiba. Tidak pernah ada sejarahnya di sekolah ini, seorang
Ketua OSIS yang baru terpilih kemarin sore lalu mengundurkan diri esok paginya.
Bahkan tidak pernah ada di sekolah ini, Ketua OSIS yang mengundurkan diri.
Berpikirlah ketika kamu memutuskan sesuatu. Ini bukan hanya masalah kamu,
bukan juga hanya masalah 27 orang pengurus OSIS lainnya, ini masalah ratusan
siswa yang akan kamu pimpin. Pikirkanlah sekali lagi. Jangan seperti anak kecil
yang datang ke saya lalu mengharapkan saya dengan mudahnya mengabulkan

permintaan kamu yang hanya karena masalah pribadi kamu merusak


kepentingan teman-teman kamu yang lain dengan nada rendah yang tak
pernah kudengar sebelumnya, Sensei memberitahu dan berlalu pergi.
Perkataan sensei tersebut
memutuskan hal ini?

membuatku

merenung.

Apakah

aku

benar

Bel tanda masuk pelajaran berbunyi selepasnya. Aku harus masuk kelas
sekarang.
Begitu memasuki kelas, semua riuh menyambutku.
Selly, selamat yah jadi Ketua OSIS. Traktir yah nanti di kantin sebagian teman
menyapaku dengan kalimat yang sama setiap kali lewat dan selalu ada kata
traktir di belakang kata selamat. Emmm, iya makasih dan selalu begitu
jawabanku. Mereka memang belum mengetahui tentang keputusan
pengunduran diriku.
Bermaksud mencari ketenangan dan jauh dari pengurus OSIS lain, aku
duduk di baris ketiga dari lima baris yang ada di kelas. Di ruangan kelas ini
memang tidak banyak yang bisa diharapkan. Satu-dua lampu berbentuk spiral
seperti kocokan kue terlihat masih menyala. Sisanya mati tak terurus. Di depan
dan di samping kelas terlihat beberapa foto pahlawan. Wajah mereka seperti
menangggung beban berat. Mereka seperti terus berkata: Hayo belajar! Berapa
puluh, berapa ratus, berapa ribu dari kami dipenjara dan mati untuk kalian!
Jangan jadi bodoh!
Poster-poster mengenai bahaya narkoba dan hiv juga terpasang di sebelah
foto-foto tersebut, menambah kelam suasana kelas ini karena semua posterposter tersebut berlatar abu-abu dan menampilkan sosok pria tengah bayah,
kurus kering, memegang suntikan. Kelas yang panas dan sempit menambah
keruh hari ini.
Tiba-tiba, seorang wanita paruh baya pun masuk ke ruangan menyapa
kami dengan sebuah salam.Tak ada senyuman.
Selamat pagi. Kemarin saya sudah menjelaskan mengenai biopori. Apakah ada
pertanyaan mengenai bab tersebut? Jika tidak, mari kita beranjak ke materi
selanjutnya, yaitu ternak cacing tutur guru tersebut lancar mengulangi materi
yang setahun lalu ia jelaskan dan akan kembali ia jelaskan tahun depan.
Pelajaran pertama hari ini berlalu tanpa ada sedikit pun ilmu yang masuk.
Hari ini begitu lama sekali berjalan rasanya. Aku ingin bolos rasanya tapi kemana
aku harus bolos? Biasanya jika ingin bolos, aku tinggal masuk ke ruang OSIS
yang kuncinya kupegang dan menghabiskan waktu di sana, entah mengobrol
dengan pengurus OSIS lain yang bolos, makan dengan pengurus OSIS lain yang
bolos, belajar dengan pengurus OSIS lain yang bolos, atau hal apapun dengan
tambahan kata dengan pengurus OSIS lain. Tapi sekarang beda keadaannya,
aku ingin menjauhi mereka, aku ingin mereka tidak mengetahui semuanya, aku
ingin mereka tidak marah atas keputusanku. Maka dengan alasan tidak ingin
bertemu mereka, aku memutuskan untuk diam di kelas, tidak bolos, tidak makan
di kantin, bahkan tidak ke toilet.
Tiba-tiba pada jam istirahat. Semua Pengurus OSIS berkumpul di kelas.
Melipat semua tangan mereka di dada mereka. Dengan raut wajah yang tak bisa
kutebak, mereka menatapku.

Oh Tuhan, kenapa mereka seperti itu. Marahkah mereka? Sedihkah


mereka? tuturku dalam hati. Sudah terlambat untuk bersembunyi sekarang.
Tambahku juga dalam hati
Kami tidak marah sama kamu sel tutur Annisa membuka percakapan Kami
hanya bingung sama kamu. Kenapa, berhenti di saat ini, memulainya saja belum
kenapa harus berhenti. Ia menjawab semua pertanyaan di hatiku secara
sempurna.
Pahit. Getir di sini
Rasanya kosong, Nis .Bukan tak berisi. tapi, ada bagian tertentu yang
mengarah pada sisi lain. Memberontak. Seperti ingin pergi. Ucapku jujur pada
mereka Gue capek, gue pengen berhenti di sini. Gue enggak bisa wujudin
semua harapan kalian...Maaf
Mereka semua hampir tak percaya mendengarnya. Menatap lekat mata bulat
yang barusan bicara, lamat-lamat dan tiba-tiba menjadi asing dengan sosok
yang ada di hadapannya padahal sudah satu tahun mereka bersama di sekolah
itu. Apatah mau di kata, sosok d ihadapan mereka memang telah patah.
Satu bulir air mata akhirnya ikut menetes dari perempuan itu.
Lu kenapa sih sel? Kemarin lu tuh masih baik-baik aja kan, kenapa
sekarang begini? tanya Dinda, pengurus OSIS yang lainnya
Gue enggak kenapa-napa Dinda. Ini udah keputusan gue jawabku
setengah hati, memikirkan ulang semua ucapan Sensei Lenny tadi.
Jangan gitu, gue berharap sama elu. Sekarang kalo elu mundur siapa
yang bakal jadi Ketua OSIS. Gue enggak kompeten buat jadi Ketua OSIS. Tutur
Okky kaku Yah elu taulah gue, gue yang slengean, masih kekanak-kanakkan,
pokoknya enggak panteslah gue jadi Ketua OSIS. Elu jangan nyerah dong. Kita
harus berjuang sama-sama.
Selly, dipanggil sama Pak Anto sekarang ke ruangannya tuh seru
seorang teman tanpa bermaksud menganggu percakapan yang sedang
berlangsung
Merasa terpanggil sekaligus untuk menghindari semua percakapan yang
menyesakkan dada, aku langsung bangkit dari tempat duduk dan menuruni
tangga, menuju ke ruangan Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan.
Meninggalkan yang lain tanpa kata pamit.
Iya Selly, duduk di sini seru Pak Anto mengetahui kehadiranku di depan
ruangannya
Baik Pak
Saya sudah mendengar kabar pengunduran diri tersebut dari Sensei Lenny.
Apakah kamu yakin?
Walaupun sudah mendapat pertanyaan tersebut berulang kali, rasa untuk
menjawabnya tetap seperti pertama kali menjawabnya.
Emm..tadinya saya yakin, tapi sekarang saya tidak yakin dengan keyakinan
tersebut.

Ini masalah penting! Putuskan sekarang! Biar saya beri gambaran mengenai
keadaan yang akan terjadi setelah kamu mengundurkan diri. Tunggu bapak
ambil beberapa dokumen dahulu seru Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan
tersebut seraya mengambil beberapa lembar kertas berisi data perkembangan
siswa SMA sekolah tersebut. Mari kita lihat data peringkat kamu, Okky selaku
wakil Ketua OSIS I dan Annisa Indriyani selaku wakil Ketua OSIS II
Iya nama kamu ada di peringkat 3 dari satu angkatan. Emm..dan Okky ada di
peringkat 117, sedangkan Annisa ada di peringkat 5.
Iya Pak lalu apa hubungannya peringkat
pemunduran diri saya sebagai Ketua OSIS?

akademik

tersebut

dengan

Gini, jadi ketika kamu mengundurkan diri, setelah melihat peringkat akademik
terseebut, saya tidak akan menaikkan Okky sebagai Ketua OSIS tetapi saya akan
menaikkan Annisa dan Okky tetap ada di posisinya bahkan bisa saya ganti,
melihat prestasi akademiknya yang berada di bawah.
Loh pak, ko seperti itu? Dari pemilihan umum yang dilakukan beberapa hari lalu
sudah memutuskan bahwa suara saya dan Okky lebih unggul dari kandidat
lainnya. Bukankah sudah seharusnya ketika saya mengundurkan diri, Okky
secara otomatis naik menjadi Ketua OSIS dan Annisa menjadi Wakil Ketua OSIS I,
bukan sebaliknya. Protesku mengetahui bahwa hal ini tidak sesuai dengan apa
yang aku bayangkan sebelumnya
Sebagai Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan, saya bisa melakukannya.
Lagipula surat keputusan mengenai Serah Terima Jabatan belum ditandatangani
sehingga saya bisa menyatakan dan membenarkan hal ini
Saya tahu akan hal itu tetapi cara kepemimpinan seseorang tidak bisa dinilai
dengan nilai akademiknya. Mungkin Okky kalah dengan Annisa dibidang
akademik tapi hal tersebut tidak mengindikasikan bahwa Okky juga akan kalah
dengan Annisa dibidang organisasi. Penilaian semacam ini tidak adil untuk Okky.
Menurut saya sendiri, Okky layak menjadi Ketua OSIS. Okky mempunyai pikiran
yang mandiri dan khas, pikiran yang berdaya renung. Dan juga peka. Amat
peka Protesku sekali lagi
Keputusan saya sudah bulat, Annisa yang akan naik ketika kamu mengundurkan
diri menjadi Ketua OSIS. Semua keputusan ada di tangan kamu. Sekarang
bagaimana?
Dengan pemikiran singkat dan sadar, saya memutuskan Saya akan tetap
menjadi Ketua OSIS
Baik, kalau keputusan kamu begitu. Tapi saya harap kamu menjalani semua
proses ini dengan bertanggung jawab. Sekali lagi, semua ada di tangan kamu.
Seolah tidak terjadi perdebatan antara kami, ia menyalamiku dengan senyum
dan mempersilahkan aku keluar
Sebelum aku menyampaikan semuanya di hadapan Pengurus OSIS yang lain.
Aku akan membuat perjanjian terhadap diriku sendiri mengenai semua hal ini.
Konvensi yang aku buat pertama adalah tidak ada kata penyesalan. Aku tidak
akan pernah menyebut atau merasa menyesal karena menduduki posisi ini. Jika
ada masalah, maka kembali lagi pada konvensi pertama: tidak ada penyesalan.

Untuk pertama kalinya di hari ini, aku menemukan senyumku kembali. Memang
benar kata pepatah, tidak semua obat menyembuhkan penyakit, namun
adakalanya
sesuatu
yang
menyakitkan
dapat
menjadi
obat
yang
menyembuhkan. Dari perdebatan tersebut, saya menemukan harapan saya
sendiri mengapa saya harus menjadi Ketua OSIS. Hal ini berbeda dengan
harapan mereka, harapan Pak Anto, ataupun harapan setiap siswa karena saya
menemukan sendiri harapan ini. Harapan saya: Melindungi Pengurus dan
Anggota OSIS.

PETOT

Mereka menamakan diri Petot.


Mereka Pirman, wEsnu, Tio, Tsaqib, Okky, Tamput (Tama Putih)
Mereka gila. Mereka kreatif. Mereka nekat. Mereka anak-anak muda banyak akal,
berwawasan global dan cinta wanita lokal.
Mereka berselera tinggi. Mereka pantang menyerah. Mereka humoris. Mereka
(masih) manusia.
Mereka yang juga memaksa memasukkan nama pengurus OSIS lain ke dalam
Petot.
Oh iya Maher belum masuk Petot, nah kan nama lu ada e-nya jadi lu resmi
masuk petot Pirman Wijaya Kusuma dengan ejaan sebenarnya Firman selaku
ketua angkat bicara.
Weh man, Sang Aji juga beloman masuk tuh
Sang Aji yah emm S A N G A J I emm Firman kehabisan akal
Mampus luh man, Sang Aji enggak ada huruf yang sama Celetuk Wesnu seraya
diiringi tawa semua yang mendengar. Firman tersentak
Apaan sih lu! Yayah datang dan menengahkan pembicaraan,Enggak ada
Petot-petotan, kita keluarga enggak ada geng kayak gitu, apaan tuh Petot!
Iya bener tuh bener Firman langsung pergi berlalu seraya percaya bahwa di
dunia ini memang ada hal yang tidak bisa dilakuin seperti Sang Aji yang tak akan
pernah menjadi anggota Petot.
Walaupun Petot banyak ditentang oleh pengurus OSIS yang lain, yaitu
para pengurus perempuan dan tentu saja Sang Aji yang ditolak mentah-mentah
karena ejaan namanya yang tak ada di huruf Petot, Petot terus melaju. Dengan
candaan dan kreativitas mereka, mereka bisa membuat ide-ide gila yang kadang
tak pernah dipikirkan oleh kami semua.
Iya jadi nanti pas penonton pensinya datang, mereka ngelewatin labirin
yang di dinding-dindingnya di pasang foto-foto SMAN 33 Jakarta selama 33 tahun
terakhir, jadi kaya nonton film bisu gitu. Dengan semangat bergema-gema, Tio
mengutarakan ide-idenya
Ih bagus tuh yo idenya tapi sayang kita enggak punya foto 33 dari 33
tahun yang lalu. Dan sayangnya lagi kita enggak punya uang buat bikin labirin
itu, ini aja kita masih kurang 40 juta. Tutur Dinda seraya menghitung uang yang
sudah dia rapikan sesuai nominalnya

Gitu ya emm gini aja kita enggak usah pake foto-foto tapi kita bikin satu
layar isinya gambar sponsor-sponsor buat penontonnya foto-foto kaya di red
carpet artis gitu loh, kan keliatannya wah kita punya acara
Nah itu better, nanti kita tanya EO deh apa bisa sekalian dibikin kaya gitu
biar pengeluaran dana kita untuk dekorasi berkurang Okky memberi jalan
tengah
Okesip gue tanya ke Bang Dodo dulu, kalau bisa ide ini gol.Betty selaku
seksi acara sigap mengambil handphone untuk menghubungi Bang Dodo selaku
pimpinan EO untuk mengkonfirmasi ide Tio tersebut.
Eh tapi gue enggak punya pulsa
Yeh amis luh bet, nih pake handphone gue. Lain kali minta isiin tuh sama
Black, pacar luh Tamput memberikan handphone terbaru miliknya yang bahkan
untuk golongan orang bergaji belum mampu dibeli.
Ah Tama, gue kan udah putus sama si Black
Oh iya lupa gue, dia selingkuh kan Bet sama Wanda
Ah Tama jangan sebut nama ke!
Sorry-sorry makanya bet kalo cari cowok jangan kayak dia, udah item
selingkuh lagi
Yah Tama kan dulu gue cinta sama dia
Alaah sekarang juga masih cinta kali Yayah tiba-tiba datang dan duduk
di tengah mereka
Sialan luh yah, enggak gue udah bisa move on ko, kan gue cewe tegar
Tegar tuh yah dalam hati mah bergetar Yayah tanggap menyaut dan
menoleh ke Tamput, tanda minta persetujuan Iya kan Tam?
Iya-iya aja deh gue, pusing gue ngapa jadi ngomongin si Black, buruan
tuh Bet telponin Bang Dodo
Weh Petot-petot lu pada belum bersihin biopori ya? Yayah dengan aksen
nyablaknya memekikan suaranya ke seluruh ruangan teringat laporan yang ia
terima, Petot bergiming, Wesnu segera menyibukkan diri dengan buku, Tio
membalikkan muka ke arah tembok, dan Firman segera menarik gagang pintu
Weh mau kabur luh ya man! Yayah yang juga adalah ketua GreenAct segera
mencegat Firman Udah sono lu pergi bersihin, sama si Tamput tuh sekalian
bareng
Ah lu sih Aang, gagang pintu lu rusakin, jadi susah kan tuh gue kabur!
Aang yang tidak merasa bersalah pura-pura tidak mendengar. Dengan
muka yang cemberut akhirnya Firman dan Tamput pergi menuju selokan yang

berisi lubang-lubang biopori. Keduanya saling berbagi tugas Tamput


membersihkan lubang biopori dan Firman mengambil cincin biopori yang baru
untuk dipasangkan dalam lubang dengan panjang 1 meter dan berdiameter 20
cm itu. Beberapa saat kemudian, Firman kembali dengan melihat hasil kerja yang
dilakukan Tamput.
Weh Tamput, luh mah yah jangan ketahuan banget begonya, gue tahu lu anak
IPS, gue tahu, lu enggak diajarin beginian tapi jangan bego-bego amat Firman
datang dan langsung melejit matanya melihat apa yang diperbuat Tamput
Lah gue bego apaan, kan katanya suruh bersihin yah gue keluarin semua daundaun kering dari lubangnya biar bersih
Ganteng bego lu mah tam, yang namanya biopori itu emang dikasih daun
kering biar ada cacing-cacingnya buat gemburin tanah biar air hujan dapat
masuk gitu, nah ini lu keluarin semua daun-daunnya, cacingnya mau makan
apaan, mau makan semua lemak yang ada di perut lu kali
Oh gitu gue mana tau, gue gak pernah bersihin gini-ginian.
Ada Pak Maryono mah lu dikempesin Tam
Yeh gue mah sama Pak Maryono rukun, dia tahu kalo gue selalu ngehormatin
orang tua. Nih buktinya, gue gak pernah ngebuang foto orang tua, apalagi
ngebuang foto orang tua di duit seratus ribuan
Yeh yang fotonya Kapten Pattimura aja elu enggak buang apalagi yang fotonya
Soekarno-Hatta ganteeeeng!!!

Aku tidak Meng-Aku

Selly, berkharisma dikit kek!


Ko Ketua OSIS gitu sih kelakuannya
Kamu tuh Ketua OSIS, kamu harus berwibawa
Kamu tuh pilar harus nyontohin yang bener dong!
Sekali. Dua kali. Lebih panjang. Lebih menyakitkan. Mendengar ocehan itu
entah untuk berapa kali lagi, membuat hatiku menyuruh untuk menyerah.
Selama berbulan-bulan menjabat semua kata-kata itu terasa melingkar di kepala
dan seharusnya kata-kata itu membangun semua sifat yang baik menjadi lebih
baik. Sayangnya, kata-kata itu malah memakan semua yang ada di diri untuk
menjadi aku yang tidak meng-aku.
Aku telah berusaha untuk menjadi apa yang mereka mau. Seseorang yang
dengan sekali bicara dapat membuat semua orang yang mendengarnya diam.
Seseorang yang dengan kewibawaan luar biasa dapat mengubah sekolah
menjadi apa yang diinginkan. Seorang yang bukan aku.

Ketika beberapa orang berkata, jadi pemimpin itu harus seperti A


maka aku berubah menjadi A. Pemimpin itu harus seperti B, maka aku
berubah menjadi B. Sayangnya, tidak satu pun yang pernah mengatakan
bahwa pemimpin itu harus menjadi dirinya sendiri. Akhirnya, aku
kehilangan jati diri. Ternyata bukan aku sendiri yang merasakan, temanteman lain juga mulai merasakan perubahan tersebut.
Kamu tahu apa yang sudah kamu lakukan sekarang? tanya
Jessica, salah satu pengurus OSIS kepada saya
Saya tidak tahu apa yang sudah saya lakukan, tapi saya yakin
bahwa saya telah berubah. Ada banyak sekali hal yang hilang begitu
duduk di atas. Dulu saya dengan begitu mudah untuk tertawa, marah,
menjadi aneh, menjadi gila dan berbuat salah. Tapi sekarang rasanya,
saya harus selalu tersenyum untuk setiap keadaan bahkan ketika sedih
pun saya harus tersenyum. Menyembunyikan semua amarah saya demi
sebuah pencitraan dan percontohan.
Menjadi

pemimpin,

maka

bersiaplah

untuk

berkorban

dan

berlapang. Lapangkanlah hati untuk keadaan tersebut, suka atau tidak.


Dan sekarang itulah yang sedang kamu lakukan. Kamu inginkan agar kami

semua, orang-orang yang kamu pimpin menjadi orang hebat? Jika iya,
kamu harus lebih hebat dari kami semua, lebih tabah dari Aca yang baru
kemarin kehilangan ayahnya, lebih sabar dari kesabaran mengerjakan
tugas biologi Bu Merry yang berbuku-buku. Saya yakin kamu pasti bisa.
Ya, saya mengerti. Mungkin saya hanya lelah untuk mengikuti
semua ocehan-ocehan yang saya dengar. Saya menjadi A, saya menjadi
B, saya hanya menjadi-jadi
Sel, kamu itu pemimpin. Pemimpin untuk orang lain, juga
pemimpin untuk diri kamu sendiri.

Perkataan orang lain memang

terkadang penting, tapi kadang dapat menjadi boomerang buat kamu


sendiri. Ketika kamu bisa memimpin orang lain, harusnya kamu juga bisa
memimpin diri sendiri. Banyak orang kan bilang kalau semua orang
adalah pemimpin. Tapi karena itu terlalu umum dan enggak punya
prestige

karena

mengabaikannya

dimiliki

semua

dan terlalu

orang,

akhirnya

memikirkan bagaimana

banyak
saya

orang
menjadi

pemimpin di mata orang lain, bagaimana saya bisa menjadi pemimpin


yang baik, disegani, dan sebagainya. Cukuplah, perubahan memang perlu
ada tapi jangan sampai perubahan itu membuat jati diri kamu hilang
cenderung mati. Kamu harus membuat filter untuk semua ocehan itu,
jangan dituruti semua. Yang dipimpin juga harus belajar lapang kan?
Begitulah percakapan yang membuat saya tersadar akan siapa diri
saya dan siapa pemimpin itu. Saya juga tersadar bahwa pemimpin itu
bukan orang yang duduk kesepian di puncak piramida. Pemimpin itu
duduk di kursi penonton. Dia tidak pernah kesepian, dia selalu di kelilingi
orang-orang yang dapat membantunya. Seperti yang telah dilakukan
teman saya, Jessica, yang membantu saya menemukan arti pemimpin itu.
Seiring perjalanan waktu, saya mulai menemukan jati diri saya. Hal yang
tidak baik dari diri, saya buang. Hal yang baik tetap saya pertahankan.
Menduduki posisi pemimpin dengan lebih nyaman.

Sudah saatnya mereka tahu. Sudah saatnya....

Aku tidak mau jadi munafik, sok suci atau semacam itu. Aku bukan Ka
Vania, bukan Ka Mentari, bukan Annisa. Aku bukan Mahatma Gandhi, bukan
Soekarno, juga Hatta. Aku bukan semuanya. Aku adalah aku.
Percobaan menyembunyikan pengaruh bawah sadar yang telah aku
lakukan. Hasilnya adalah kepura-puraan. Seringkali aku menangis diam-diam
karena merasa apa yang aku lakukan bukanlah diriku sebenarnya. Merindukan
saat-saat dimana aku bisa merasa begitu nyaman berdiam dalam gelap. Gelap
yang tak diartikan sebagai ketakutan, kekelaman atau ketersesatan. Tetapi,
gelap yang mempertemukan aku dengan aku yang lain, dengan sisi lain diriku,
diri yang tak ditemukan dalam terang dan diri yang abadi

Dan aku tidak mau berpura-pura lagi menjadi ke-aku-an. Aku mencari,
dan terus menerus mencari, menuju dan menjadi Aku. Andaikan kalian
memahami aku sebagai aku

Maka yang penting bukanlah ambisi aku menjadi. Ambisi itu akhirnya Cuma
bisa sejenak masuk mencapai sebuah penguasaan kognitif.

I am in competition with no one.


I run my own race. I have no desire to play the game of being better than
anyone, in any way, shape, or form.
I just aim to improve, to be better than i was before.
Thats me and Im free
_Jenny G.Perry_

Di Titik 0 KM

Perempuan di Luar Garis Lurus

Kebenaran makin sulit dilihat. Justru lawan katanya yang sangat mudah
untuk dicari dan dibicarakan. Sekarang ini, entah zaman apa namanya. Lebih
mudah kita sebut zaman edan. Rakyat benar-benar tidak tahu harus cari
kebenaran pada siapa. Jangankan mereka, saya saja juga bingung.

Gw cukup yakin bahwa sudah menjadi kodrat bagi perempuan untuk religius. Perempuan
dan iman seharusnya berjalas selaras. Mereka menentukan sebagian besar pilihan
pilihan dalam hidupnya bukan menggunakan logika, bukan juga bukti, melainkan iman
Kamu percaya tuhan?
Percaya
Emang udah pernah ketemu?
Belum tapi aku yakin dia ada
Buktinya mana?
Ga ada, tapi hati aku ga pernah boong
Kamu jangan deket2 sama kimberly
Kenapa? Emang kamu kenal dia?
Nggak, tapi aku yakin dia ada apa apa sama kamu
Buktinya mana?
Ga ada, tapi hati aku gak pernah boong

Sebuah ide membakar pikiran saya berhari-hari.


Apa gerangan yang membuat seseorang harus menjadi pintar? Apa yang
sesungguhnya terjadi ketika seseorang memutuskan ingin jadi bodoh? Apa yang dicari
seorang pintar di dunia ini? Dinamika apa yang sebenarnya terjadi antara bodoh, orang
bodoh, dan semesta raya? Memikirkan hal-hal tersebut membuat saya menapak tilas tentang
kehidupan saya.
Suatu hari,
Seorang sahabat saya di Perguruan Tinggi berkata Tau gak yang menarik dari elu
apa? Elu berani banget nyoba-nyoba, berkali-kali gagal tapi nyoba lagi. Entah elu bodoh atau
pantang menyerah
Saya yang ditanya tentu saja hanya bisa tersenyum-senyum sendiri dan baru sekarang
saya tahu apa maksud perkataan tersebut. Menjadi bodoh itu susah, makanya saya pantang
menyerah hingga keliatan bodoh karena menjadi bodoh itu butuh banyak pengorbanan.
Maka, karena menjadi bodoh dan pintar sama-sama membutuhkan pengorbanan, saya lebih
memilih berjuang untuk menjadi pintar.
Jangan pikir bahwa kalimat tersebut datang dalam sekelabat waktu. Saya butuh
bertahun-tahun dari hidup singkat yang Tuhan berikan untuk mencapai kesimpulan tersebut.
Karena saya ingin orang lain lebih cepat sadar akan hal ini, maka saya menulis kisah ini.
Kisah ini adalah pengalaman saya, mungkin orang lain akan belajar sesuatu dari hal ini
sehingga di kemudian hari, ia pun dapat membagi pengalamannya juga kepada saya dan yang
lainnya. Ini timbal balik yang begitu indah bukan?
***
Lulus dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang cukup bergengsi dan masuk ke
Sekolah Menengah Atas (SMA) yang diremehkan telah membuat saya banyak diremehkan
teman-teman saya.
Kejauhan sel kalau SMA di sana dan mahal ongkosnya entar begitulah alasan orang
tua saya yang sudah menjelaskan bahwa tidak ada pilihan lain selain menerima keadaan.
Malu jelas saya alami karena di saat teman-teman saya bersekolah di Sekolah A yang
banyak artisnya, di Sekolah B yang banyak orang-orang pintarnya, saya hanya bisa
bersekolah di sekolah yang bahkan tidak mempunyai ruang aula untuk kegiatan-kegiatan
sekolah. Dan hal terburuk yang saya citrakan pada diri saya adalah saya bodoh dan mulai
menjadi orang buangan.

Saya mulai merasakan kebingungan dan ketakutan bahkan muak setengah mati
dengan hidup saya. Saya mulai untuk malas belajar, malas bersekolah, bahkan malas berpikir.
Jujur sebenarnya saya tidak sebodoh itu sebelumnya, saya adalah salah satu siswa berprestasi
di SMP saya dulu. Tapi semua pemikiran ini membuat saya bodoh dan saya benar-benar
menjadi bodoh. Nilai-nilai rapot saya menurun drastis, jika dahulu nilai matematika saya
selalu di atas 9, di SMA nilai matematika saya bahkan tak pernah mencapai nilai 7, selalu di
bawahnya. Kemampuan berbahasa saya yang dahulu fasih pun menjadi kaku, lama tidak
digunakan.
Akhirnya saya benar-benar percaya bahwa saya bodoh. Saya tidak secure lagi dengan
kecerdasan saya. Ini bukan fase terparah dalam hidup saya. Karena setelah pembagian rapot
tersebut, mulailah banyak orang yang menyebut saya bodoh, dari teman sampai bahkan guru.
Yang tidak pernah dan sangat menjaga mulutnya dari mengatakan saya bodoh, adalah orang
tua saya.
Ayah saya yang jago bahasa hanya bisa terdiam ketika melihat anaknya mendapat
angka 5 di rapot untuk Bahasa Jepang. Ibu bahkan kalau kekesalannya memuncak atas
kelakuan saya, paling ekstrim mengucap bodoh dengan kata tidak pintar.
Sell, ko gitu sih? Jangan jadi orang tidak pintar dong nak
Tapi sialnya, dulu dalam sehari, saya lebih sering bertemu guru dan teman daripada
orang tua dan ucapan mereka bahwa saya bodoh, meresap ke benak dan bawah sadar. Dan
karena saya minder dengan kecerdasan saya, saya mudah tersinggung ketika disebut salah,
ketika gagal, ketika kalah. Tersinggung karena seakan semua itu pertanda bahwa saya (benar)
bodoh.
Akhirnya, saya menemukan titik balik dalam kehidupan saya. Melalui OSIS, hidup
saya mulai bertransformasi, tentu ke arah yang lebih baik. Di sana, di keluarga baru saya,
saya melihat banyak orang hebat. Okky yang begitu diremehkan karena kekanakan pada saat
berkumpul bersama teman-temannya, menjadi dewasa luar biasa ketika dipercaya menjadi
Wakil Ketua OSIS. Ainun yang menangis berkali-kali karena proposal-proposalnya dicoretcoret Pak Pur karena salah, toh tetap terus membuat ulang proposal-proposalnya walaupun
semalaman ia tidak tidur untuk mengerjakan proposal itu. Ataupun Jessica yang menjadi apa
adanya dalam keadaan ada apanya sekalipun. Mereka semua menerima hidup mereka dan
bersyukur atas apa yang mereka dapatkan.
Saya belajar dari mereka dan inilah yang tidak pernah diajarkan oleh sekolah. Saya
terlalu lama hidup di dalam kebencian atas hal-hal yang tidak saya inginkan: saya membenci
bersekolah di sekolah yang orang tua saya inginkan, membenci teman-teman saya yang hidup

lebih baik, bahkan membenci takdir-takdir Tuhan untuk saya. Membenci membuat saya
marah dan frustasi. Membenci juga membuat saya mengutuk, mencaci dan tidak ingin tahu
apa yang terjadi. Pada akhirnya ketidaktahuan membuat saya merasa bodoh, dan percayalah,
bahkan orang bodoh pun tidak suka merasa bodoh.
Saya mengalami benar kalimat terakhir dari paragraf di atas. Menjadi bodoh berarti
harus menjadi orang terakhir yang dipercaya guru untuk mengikuti seleksi lomba dan kadang
tidak diikutkan karena anggarannya lebih digunakan untuk orang-orang yang lebih pintar
daripada saya. Menjadi bodoh menyempitkan pergaulan saya. Dahulu, ada peribahasa yang
mengatakan bahwa bergaullah dengan tukang parfum maka anda akan berbau parfum dan
akibatnya teman-teman yang merasa lebih pintar dari saya lebih memilih bergaul dengan
orang-orang pintar lainnya karena ingin tertular pintar daripada bergaul dengan saya, takut
akan membawa pengaruh negatif bagi mereka katanya. Andai mereka tahu, bahwa bodoh
bukanlah penyakit dan tidak akan menulari mereka.
Akhirnya karena bosan menjadi orang bodoh dan mempunyai teman-teman OSIS
yang pantang menyerah, saya mulai berubah. Pencapaian. Itulah kuncinya. Saya mulai
memetakan tujuan hidup dan mencapainya satu per satu.
Saya berjuang untuk memperbaiki masa SMA saya. Saya belajar giat hingga malam
buta demi perbaikan nilai-nilai saya, saya ikuti semua kompetisi yang bisa saya ikuti, saya
memberanikan diri untuk menjadi calon Ketua OSIS. Tidak peduli berapa banyak orang yang
menghina, merendahkan, dan tidak melihat perjuangan saya. Saya tidak akan menyerah.
I know who i am. I am not what they say. Kata-kata itulah yang selalu saya katakan
ketika keadaan tidak menyenangkan bagi saya.
Sedikit demi sedikit, pencapaian yang saya lakukan menambah kepercayaan diri saya.
Kegagalan adalah teman setia saya dalam proses pencapaian tersebut. Yah, saya memang
seringkali gagal tapi saya terlalu ingin sukses, untuk membiarkan ketakutan membuat saya
gagal sehingga saya terus berusaha. Dulu, saya begitu takut gagal karena takut dibilang
bodoh (lagi). Daripada keliatan jelek mendingan gak usah dilakuin. Daripada hasilnya
enggak maksimal mendingan kerjain yang lain. Daripada sakit mendingan hindarin.
Daripada ... mendingan ... selalu ada kata-kata yang dapat saya padankan untuk mengisi
kalimat tersebut yang akhirnya selalu membuat saya batal untuk maju pada zaman saya SMA.
Saya menyerah sebelum memulai. Padahal kalau dipikir-pikir, gagal itu apa sih? Cuma
sebuah keadaan dimana manusia terbentur oleh kekurangannya dan dihadapkan pada dua
pilihan: berhenti atau coba lagi. Tapi karena cap bodoh yang begitu melekat pada saya
akhirnya saya memilih untuk berhenti.

Kini, saya tidak khawatir disebut bodoh, karena saya tahu persis saya tidak bodoh dan
Tuhan terlalu baik sehingga tidak mungkin Ia memberikan kebodohan pada umat-Nya. Orang
bisa berkata apapun tentang saya, dan saya tidak akan tersinggung. Saya menganggap bahwa
kritik dari mereka adalah pembangun untuk saya. Saya juga tidak mau menjadi orang bodoh
lagi karena menjadi bodoh itu susah. Butuh banyak pengorbanan dan ketika saya mulai takut
mencoba sesuatu maka saya mengingat kalimat di bawah ini;
Kau akan berhasil dalam setiap pelajaran, dan kau harus percaya akan berhasil,
dan berhasillah kau; anggap semua pelajaran mudah, dan semua akan jadi mudah; jangan
takut pada pelajaran apa pun, karena ketakutan itu sendiri kebodohan awal yang akan
membodohkan semua
Kini pun saya bahagia dengan hidup saya. Bukan karena saya orang kaya atau lebih
dari itu. Ibu saya hanya seorang tukang kue dan ayah saya pengangguran. Tidak masalah bagi
saya. Hidup saya memang sudah susah dan penyesalan hanya menambahnya lebih susah.
Pernah dihina bodoh dan tidak dianggap membuat saya mengerti bahwa kemiskinan terberat
bukanlah kemiskinan ekonomi melainkan kemisikinan hati dan pikiran.
Seringkali, saya mendengar teman-teman Bidik Misi di Universitas Negeri Jakarta
bercerita mengenai perjuangan mereka. Mereka bercerita tentang susahnya hidup mereka,
bagaimana mereka masuk ke UNJ dan sebagainya. Jauh dari itu, saya lebih menyadari
kekayaan hati dan pikiran mereka. Sesusah apapun, mereka toh tetap berjuang. Saya bertemu
Mezika yang harus berpisah jauh dari Padang, melihat kesedihan Icha harus meninggalkan
ibunya sendirian di Sukabumi, mendengar Resti yang belajar setengah mati hingga kurang
tidur. Juga melihat perjuangan semua penerima Bidik Misi di Kampung Bidik Misi Jilid II.
Semua mereka lakukan karena mereka tahu susahnya perjuangan mereka untuk mendapatkan
beasiswa tersebut. Bagaimana mereka harus menempuh jalanan Jakarta yang jauhnya ribuan
kilometer dari kampung mereka, bagaimana mereka bertahan untuk diterima dari ratusan ribu
orang yang menginginkan posisi mereka dahulu, bagaimana mereka menyadari miskin bukan
akhir segalanya. Bagi saya pribadi, merekalah cerminan dari kekayaan hati dan pikiran.
Maka dari itu, berbahagialah orang yang memiliki kekayaan hati dan pikiran.
Janganlah padam dan menyerah untuk berjuang di jalan yang kita yakini masing-masing.
Terus melangkah apapun rintangannya karena apa yang ada di depan kita dan apa yang ada
di belakang kita adalah hal kecil dibanding dengan apa yang ada di dalam diri kita masingmasing.

It's All about My Teacher, I Call His Pak PJ


Pada bulan yang tak pernah saya ingat, untuk pertama kalinya saya
menangis karena sebuah perpisahan. Juga untuk pertama kalinya, saya
menemukan persamaan yang selama ini saya kais-kais antara saya dan seorang
guru. Padahal sesuatu itu ada di bawah hidung saya, di atas kaki saya,
bersemayam dalam diri tanpa saya sadari. Mungkin saya hanya membutuhkan
sebuah peristiwa hebat untuk menemukannya. Yah, perpisahan saya dan Pak
Panjaitan, mungkin peristiwa hebat yang saya katakan sebelumnya punya pro
dan kontra, tapi setidaknya itu hebat dan mengubah mindset saya tentang arti
seorang pendidik.
Saya tidak akan pernah lupa momen itu. Saya akan berbagi dengan jujur
tentang pengalaman saya pada posisi sebagai si penerima reaksi. Perpisahan
antara saya dan guru matematika saya. Jujur, ia bukan guru yang saya
favoritkan atau lebih dari itu. Hubungan mempunyai masa kadaluarsa. Dan pada
saat itu hubungan saya dan Pak Panjaitan sebagai seorang murid telah
mengalami masa kadaluarsa.
***
Pak Panjaitan adalah seorang guru yang pasti tidak mudah dilupakan oleh
murid-muridnya bahkan hingga ayah saya yang juga muridnya masih mengingat
baik bagaimana sikap dan cara Pak Panjaitan mengajar. Bagaimana tidak, setiap
kali mengajar Pak Panjaitan selalu membawa penggaris kayu 1 meter di tangan
kirinya sedangkan tangan yang lainnya memegang buku. Setiap jalan yang ia
lewati pun selalu sepi seperti seorang Presiden yang sedang melintas. Bukan hal
aneh jika kamu ada di posisi sebagai murid Pak Panjaitan. Murid-murid yang ada
di sana entah kenapa seperti punya radar Neptunus yang ketika salah satu tanda
kemunculan Pak Panjaitan terlihat maka anak-anak segera masuk kelas dan
duduk rapi dengan sendirinya.
Hal ini bukanlah hal paling menakutkan bagi murid-murid. Menurut
mereka ini adalah awal dari ketakutan. Dengan logat Bataknya yang khas, Pak
Panjaitan menjelaskan pelajaran yang menjadi momok paling menakutkan untuk
anak seumuran kami. Dan kata mereka hal yang paling menakutkan ketika ia
mengajar adalah ketika ia mengajarkan tentang lingkaran. Kalian pasti tahu
jangka kayu untuk papan tulis. Dengan ujung paku dan panjang sekitar setengah
meter. Kalian tentu bisa membayangkan, bagaimana Pak Panjaitan dengan mulut
sedikit menggerutu setelah mengomel, menancapkan paku besi di papan tulis
hingga berbunyi hanya untuk membuat satu lingkaran.

Pernah suatu kali, di pelajaran kelas lain penggaris kayu Pak Panjaitan
tertinggal. Entah siapa yang punya ide langsung saja penggaris kayu tersebut
disembunyikan. Katanya biar Pak PJ (panggilan akrab untuk Pak Panjaitan) tidak
mukul-mukul papan tulis lagi pakai penggaris kayu. Dan walllaaaahhh setelah
penggaris kayu disembunyikan, Pak PJ tidak memukul dengan penggaris lagi
tetapi memukul dengan penghapus dan tangan juga ditambah tatapannya yang
lebih cetar membahana badai.
Di dalam kelas, tak ada murid-murid yang berani mengobrol ketika
pelajaran berlangsung. Ketika ada murid yang ketahuan mengobrol maka Pak
Panjaitan akan segera mengeluarkan jargonnya yang terkenal dari tahun ke
tahun.
Kalian ketawa saja! Seperti ayam makan garam!
Hai boru! Kamu mengerti tidak jangan hanya banyak bicara di sini! Jangan
mangap-mangap saja mulutmu itu!
Tentu saja murid-murid yang lain akan tertawa melihat apa yang
diucapkannya tetapi karena rasa takut maka murid-murid hanya tersenyum di
balik tangannya. Dan bagi saya sendiri, Pak PJ sejujurnya bukan sosok yang
menakutkan. Ia menjadi menakutkan hanya karena stigma yang sudah ada
selama bertahun-tahun di sekolah. Selain itu, karena aktif dalam beberapa
kegiatan sekolah, saya bisa mengenal lebih dekat dengan sosok guru-guru.
Semakin saya mengenal siapa sosok guru, rasa hormat saya bukan bertambah
malah semakin berkurang. Semakin lama saya malah cenderung untuk tidak
menyukai mereka. Alasan saya pada saat itu sangat sederhana, saya tidak
menyukai tindakan yang dilakukan beberapa guru saya terhadap saya dan
teman-teman. Bagi kami, tindakan mereka sangat tidak berwibawa. Karena
kebencian kepada beberapa guru itulah, rasa wibawa dan segan yang saya
berikan untuk guru berkurang.
Begitu pun dengan Pak Panjaitan, beberapa kali saya sering nakal dalam
kelasnya. Saya pernah membolos ketika pelajarannya, pernah mengobrol,
pernah membawa makanan ke dalam kelasnya, pernah izin keluar ke toilet
padahal saya pergi dan mengobrol serta kembali dengan membawa barang yang
tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelajaran matematika. Saya akui
saya memang salah tapi tidak ada alasan yang menyadarkan saya kenapa saya
harus berubah.
Hingga akhirnya perpisahan itu datang. Semua anak yang mengenal Pak
PJ pasti tahu bahwa Pak PJ adalah seorang guru yang sangat teguh pendiriannya.
DI dalam pendiriannya itu, Pak PJ tak pernah mau menerima hadiah atau apapun
selain haknya mengajar, yaitu gaji yang ia peroleh setiap bulannya. Banyak guru
yang menerima hadiah, cinderamata, makan-makan tetapi Pak PJ tak pernah
saya lihat mengikuti atau menerima hal-hal seperti itu. Pada saat acara HUT

PGRI pun Pak PJ tidak mau untuk menerima hadiahnya padahal hadiah itu adalah
perhargaan terhadap dedikasinya dan hanya 2 guru yang mendapatkannya,
salah satunya adalah Pak PJ.
Dan Pak PJ adalah Pak PJ. Walaupun itu adalah hadiah perpisahan dari
murid-muridnya, ia tetap tidak mau menerima. Pada saat acara itu, saya datang
terlambat dan yang saya lihat adalah teman-teman saya yang menangis.
Katanya Pak PJ tidak mau menerima hadiah dari kita dan menyuruh kita pulang.
Perlu digaris bawahi bahwa mereka, teman-teman saya menangis bukan karena
rasa takut atau marah terhadap perlakuan Pak PJ tapi itu semua karena rasa
sedih dan kecewa karena mereka sebagai murid-muridnya tidak bisa
memberikan apa-apa jika benar Pak PJ keluar dari sekolah. Akhirnya setelah
didesak oleh beberapa teman. Saya memberanikan diri untuk berbicara dengan
Pak PJ. Pada saat saya ingin berbicara, teman saya yang terlebih dahulu bicara
terlihat diusir dan membalikkan badannya.
Entah ada rasa apa, saya tetap maju dan berjalan santai ke hadapan Pak
PJ. Sebelum saya bicara, Pak PJ sudah berbicara terlebih dahulu.
Kalau kau mau membujuk saya menerima hadiah itu, maka pulang saja kau.
Saya tidak akan menerima hadiah itu tutur Pak PJ seraya membuang muka
Enggak ko pak, saya baru datang dan hanya ingin salim sama bapak lidahku
berbicara sendiri
Oh kalau salim, saya terima jawab Pak PJ sambil menyodorkan tangannya
Oh ya pak, hari ini, hari terakhir Bapak datang ke sekolah ya pak? basa-basi
sebagai taktik pun dikeluarkan.
Iya, besok saya sudah ke Medan
Bapak enggak balik lagi yah Pak setelah itu?
Oh saya masih balik ke sini, istri saya masih menjadi dosen di universitas
swasta di Jakarta. Saya ...
Setelah basa-basi yang cukup lama akhirnya topik pembicaraan berubah ke
cinderamata atau hadiah dari anak-anak untuk Pak PJ.
Ini ada kenang-kenangan dari kami pak. Kami tahu bapak orang jujur dan
bersih, cinderamata ini bukan juga cara kami untuk mencari perhatian kepada
Bapak. Kami hanya merasa bahwa apa yang diajarkan Bapak sangat berguna
bagi kami dan cinderamata ini mewakilkan rasa terima kasih kami kepada Bapak
yang telah mau mengajar kami. Tuturku panjang mewakili teman-teman yang
berbaris di belakangku sepanjang 10 meter

Saya mengajar kalian bukan karena hadiah. Saya juga mengajar kalian bukan
karena mengharapkan sesuatu yang bisa kalian balas kepada saya suatu hari.
Melihat kalian berhasil sudah menjadi hadiah untuk saya. Saya berhenti
mengajar juga karena sudah waktu saya untuk berhenti dan tidak perlu kalian
memberikan semua ini. Saya menghargai apa yang kalian lakukan ini. Tapi
cukuplah rasanya yang saya ambil tidak perlu barangnya pula saya ambil. Saya
mengajar kalian dengan ikhlas. Tutur Pak PJ tulus
Jika ini diucapkan oleh guru-guru yang lain, saya tentu menganggap ini
klise. Tapi karena ini adalah Pak PJ, ucapan seperti itu adalah ucapan yang jujur
datang dari dirinya. Saya baru menyadari bahwa Pak PJ adalah guru yang
seharusnya saya banggakan karena mempunyai kewibawaan dan prinsip yang
tinggi.
Jika Bapak tidak mengambil cinderamata ini, betapa kami sebagai murid sangat
bersedih hati. Jauh dari hati kami berprasangka baik jika Bapak mau mengambil
cinderamata ini bujukku singkat, satu bulir air mata pun menetes membasahi
kerudung kuning yang kugunakan.
Sudahlah sini cinderamatanya, sudah terlalu lama percakapan ini. Tutur Pak PJ
dengan alasan yang tetap mengindikasikan keterpaksaannya menerima hadiah
tersebut. Tapi melalui mata, kami bisa melihat kesedihan Pak PJ atas perpisahan
ini. Di Jakarta yang sengit dan panas, doa kami berkumpul, berpilin menjadi
tangga, menuju pintu Tuhan, mengantarkan pesan kebaikan Pak PJ.

Seminggu penuh kami, saya dan pengurus OSIS lainnya bekerja keras
merumuskan konsep yang akan kami angkat Ruang OSIS, tempat kami rapat itu
sendiri terletak di bawah tangga dalam bangunan baru yang terpisah dengan
bangunan utama sekolah yang telah ringsek termakan zaman. Jika dilihat dari
satu sudut melalui sebuah beranda di bawah pohon beringin, ruangan kami
bolehlah diumpamakan sebagai loket PLN 33.
Jendela satu-satunya yang kami miliki tidaklah memasukkan cahaya
matahari seperti fungsi seharusnya. Jendela kami, memasukkan tangan Pak
Darmo, yang mencuri-curi, benar-benar mencuri karena tanpa izin dan jawaban
kami, ia memasukkan tangannya melewati celah jendela untuk mencari saklar
listrik. Memang di ruangan kami, setengah meter dari 2 meter lebar yang
diberikan pihak sekolah berisi kotak saklar seluruh sekolah. Kabel listrik pun
tumbuh di tepi-tepi tembok yang beraroma pernis. Kami sering membayangkan
bagaimana jika tiba-tiba terjadi loncatan listrik dan kami sedang berada dalam
ruangan.
Satu-satunya cara kami selamat adalah melewati pintu abu-abu yang
gagang pintunya susah untuk dibuka karena dirusakkan Aang (baca: eng)
sebulan yang lalu. Selain kondisi berbahaya itu, dindingnya akan mengingatkan
siapa saja pada tempat-tempat dalam film laskar pelangi atau sekolah suku anak
dalam Jambi yang menggunakan kayu triplek sebagai bahan baku dinding
ruangannya.
Bagaimana tidak, tembok yang baru saja kusebut itu sendiri hanyalah
berbahan dasar triplek kayu pada sisi kanan ruang dan tinggi ruang tersebut
tidak mencapai 2 meter.

Takut

Daripada keliatan jelek mendingan gak usah lakuin. Daripada hasilnya gak
maksimal mendingan kerjain yang lain. Daripada sakit nanti mendingan hindarin.
Daripada gak keurus mendingan gak usah buat.
Gw pernah jadi orang yang jago banget nemuin padanan kata untuk nerusin kalimat
daripada gw, dan gak mau lagi gw jadi orang kayak gitu. Kenapa? Karna akhirnya gw jadi
kura2 yang selalu sembunyi dari cangkangnya. Cangkang bernama rasa takut.
Waktu kecil sebagian besar dari kita diajari untuk tidak melakukan salah. Kalo salah
dijewer, lebih gak beruntung lagi yang dicubit. Lebih sakit. Tanpa sadar hal tersebut
menciptakan trauma. Gw takut akan kegagalan. Lebih baik tidak sukses ketimbang harus
gagal. Gw gak mau punya cita cita lain selain jadi penyanyi. Kenapa? Karna di musik
sudah terbukti gw berbakat. Gw gak mau belajar sesuatu dari awal tanpa bakat dengan
kemungkinan besar akan gagal. Itu alasan kenapa gw baru belajar gitar di umur 26. Telat.
Kegagalan jadi momok yang menakutkan. Padahal kalau dipikir2, gagal itu apa sih? Cuma
sebuah keadaan dimana manusia terbentur oleh kekurangannya dan dihadapkan oleh
dua pilihan: berhenti atau coba lagi. Ini tidak menyeramkan sama sekali. Tau apa yang
jauh lebih menyeramkan dari ini? Ketidak tahuan. Tidak tahu selalu jadi pemenang saat
kita harus memilih antara berusaha atau menyerah. Daripada sakit mending tidak tahu.
Padahal tidak tahu adalah sebuah gelap yang begitu pekat. Lebih pekat dari saat
menutup mata karna bahkan saat mata tertutup pun sinar matahari mampu
memerahkan bayangan pejam kita.
Apa ketakutan lo untuk jadi seorang dokter menghalangi lo untuk berusaha menjadi
seorang dokter? Mereka bilang jangan mengejar sesuatu yang belum pasti, tp disitulah
letak masalahnya. Jika sukses itu belum pasti, maka gagal juga belum pasti.
Jika dengan menggenggam ketidakpastian kita memiliki kesempatan untuk bahagia
dengan pengetahuan kita akan masa depan kita sendiri, maka kepastian hanyalah
sebuah kata yang diciptakan oleh mereka yang ingin menggagalkan rencana besar takdir
pada kita.
Dan gw memilih untuk berhenti diam, mulai mencoba. Gagal tak apa apa, toh blum pasti
juga gagalnya

Tuhan, Aku menghadap Pada-Mu

Tuhan, aku menghadap pada-Mu. Maafkan aku Tuhan yang sering


menanyakan perintah-Mu sebelum aku melakukannya. Aku bersalah, aku ingin
berhamba pada-Mu. Nadaku sumbang, suaraku parau. Berapa banyak
kesombongan telah mengembun di pelupuk mataku. Dan semuanya memudar,
tak lagi berpendar.
Tuhan, keadaanku kini benar-benar kacau. Aku mencoba menjauh dari-Mu
untuk beberapa saat ini. Tapi tak berhasil, dan membuatku merasa ... tambah
berdosa atas apa yang aku lakukan. Sampai aku mencoba hal-hal bodoh seperti
menulis kata dimana alamat Tuhan pada mesin pencari di internet. Tapi hal itu
juga tidak berhasil.
Tuhan, kini aku 17 tahun. Aku bukan anak kecil lagi, yang dulu setiap
malam berdoa agar kau mengabulkan setiap doaku. Untuk kali ini, aku hanya
minta kau bisa membuatku ikhlas untuk bisa menerima kenyataan apapun.
Aku gagal Tuhan, aku gagal. Semua usahaku selama 6 bulan terakhir ini
gagal. Aku telah berjuang untuk mewujudkan semua cita-cita teman-temanku
tapi aku gagal. Aku mengatakan bahwa semua peristiwa ini bukanlah kegagalan
hingga semua ini berakhir. Tapi sekarang, semua telah berakhir, bagaimana
sekarang aku membayar semua hutang-hutang yang tersisa dari HUT PENSI ini.
Aku tidak mungkin untuk meminta ayah atau ibuku untuk meminjamkan uang
mereka, ibuku hanya seorang tukang kue dan ayahku pengangguran. Aku pun
tidak bisa untuk meminta teman-temanku untuk meminjamkan uang mereka.
Dua hari berlalu sejak pensi berlalu. Aku pun tak perlu munafik untuk
menyampaikan apa yang kurasakan dan kudengar.
Emang pensinya kemarin masih defisit ya sel? tanya Ka Aris, Ketua OSIS
setahun di atasku Bener enggak?
Iya ka jawabku sambil menunduk, takut yang diajak bicara dapat membaca
semua emosi yang saat itu tergambar jelas di wajah
Entar deh gue coba ngomongin sama angkatan gue, emang berapa defisitnya?
tanyanya lagi dengan muka simpatik yang diberikan kakak kepada adiknya.
Dua juta ka yang udah ketahuan, tapi bisa aja lebih tergantung hitungan Bu Puji
sama Dinda nanti
Oh yaudah, semangat ya sel, gapapa, ikhlasin semuanya tutur Ka Aris seraya
pergi meninggalkanku sendiri di lorong sekolah
Selepasnya pergi, aku bisa merasakan detak jantung dari bulir air yang
turun dari mata. Sesak di sini. Aku tak bisa menutupi semua perasaanku lagi.

Aku sedih, kecewa, dan menyesal. Aku diam dan kembali duduk di pinggir
selokan sekolah.

Aku berdosa. Aku tahu, aku tidak bisa hanya menulis tentang-Mu dalam satu
paragraf. Butuh banyak kesempatan sampai raga ini kembali pada tanah.
Tuhan, aku menghadap pada-Mu. Aku daif.
.

Tuhan, aku menghadap pada-Mu bukan hanya di saat aku cinta pada-Mu,
tapi juga di saat-saat aku tidak cinta dan tidak mengerti tentang dirimu, di saatsaat aku seolah-olah memberontak terhadap kekuasaanmu. Dengan demikian,
Rabbi, aku mengharap cintaku padamu akan pulih kembali. Aku tidak bisa
menunggu cinta untuk sebuah sholat (Ahmad Wahib)

Pilar dalam Kandang Kecil


Mulai hari ini aku harus memikirkan masalah-masalah lain, dan tidak
berputar-putar pada masalah pribadiku sendiri. Aku mesti memandang dengan
tegas ke masa depan, melepaskan diri dari stigma-stigma psikologis masa lalu.
Tanpa begini, aku hanya menjadi pilar dalam kandang kecil .
Sayangnya, semua yang kuemban membuatku terbeban.

Dalam diskusi tadi siang dengan pengurus OSIS tentang kesiapan menjelang HUT
Pensi, terlepas dari ketidakpuasan saya akan cara-cara berdiskusi dengan
pembicaraan dan term-term yang menyimpang dari topik, saya harus mengakui
beberapa kelemahan-kelemahan dalam diri saya. Pertama, kemampuan ekspresi
pikiran dan wajah yang sangat kurang, sehingga menjadi hambatan dalam
meyakinkan orang. Pernah suatu kali saya menyampaikan sebuah ide namun
semua yang mendengar tidak mengerti. Sekali mereka mengerti, apa yang
mereka artikan seringkali berbeda. Ingin rasanya menyatakan Itu bukan yang
gue maksud tapi semuanya seperti kerendam oleh pikiran sendiri dengan
sedikit perasaan di atas sadar bahwa mereka akan kembali menertawakan saya.
Mereka tak mengerti apa yang dimaksud hati, aku pun demikian menikmati yang
tersisa hanya gersangnya hati. Kelemahan saya yang kedua adalah bahwa saya
kurang tegas dan kurang berwibawa.

Perempuan di Luar Garis Lurus

Cara menjatuhkan saya

Biar saya beri tahu rahasia untuk menjatuhkan saya. Datang, jadi orang
yang penting dalam hidup saya, lalu pergi saja tanpa pamit. Mudah kan? Dan
semudah itu kamu melakukan tiga hal tersebut dengan sempurna. Dan akhirnya
saya harus bilang, Selamat untuk kamu! atau saya yang harus mengakui
bahwa, Saya kangen kamu. Ah, sial. Lagi-lagi beda tipis. Tapi sayangnya
setebal jarak yang ada untuk saya bisa berhubungan kembali denganmu.
Ada seorang teman mengirimkan sms pada saya Sms aja sel, lu kan
punya nomornya. Saya membalas sms barusan dengan Enggak ah, malu masa
cewek sms duluan. Andai menghubungi kamu semudah buang air besar, kalau
ingin ya tinggal di keluarkan saja, tapi sayangnya kamu tuh kayak ingus, susah
keluar tapi kalau dipendem bikin mampet hidung.
Kamu mau tahu? Masih, sampai saat ini saya menunggu. Apabila saya
mengambil langkah untuk bertemu pemilik semesta, masih ada namamu dalam
doa itu. Dan masih sampai saat ini, namamu pula yang tertera jelas di hati.
Andai ini cerita fiksi, pasti sudah saya sebut namamu itu. Atau tulisan ini penuh
hanya dengan abjad penyusun namamu. Sudahlah, biarkan kamu dan orangorang yang membaca ini menerka-nerka siapa kamu.
Kamu mau tahu lagi? Saya masih ingat lagu yang kamu nyanyikan untuk
saya loh. Waktu itu, saya sedang dalam keadaan rusak karena seseorang yang
lain. Dan kamu menyanyikan saya 2 lagu. Pertama, lagu Yellow dan kedua, lagu
Fix You. Mengingat lagu itu membuat saya lumer, apa saya yang terlalu
gampang lumer? Lah? Saya manusia apa ice cream? Atau jangan-jangan saya
manusia rasa ice cream?
When you try your best, but you don't succeed
When you get what you want, but not what you need
When you feel so tired, but you dont sleep
Stuck in reverse
When the tears come streaming down your face
When you lose something you can't replace
When you love someone, but it goes to waste
Could it be worse?
Lights will guide you home

And ignite your bones


And I will try to fix you ...

Sebenarnya suara kamu tidak cocok untuk menyanyikan lagu ini (semua
jenis lagu bahkan) tapi entah dengan kepekaan apa saya mau untuk
mendengarkannya lagi.
Dan kamu yang berusaha menghapus air mata dan berkata Lihat deh
bulan itu, dia sekarang tertutup kan. Tapi percaya deh kalau suatu saat nanti
awan yang menutup dia akan pergi dan dia akan bersinar lebih terang bahkan
paling terang dari semuanya. Jangan rusak sekarang. Jika kamu rusak sekarang,
siapa yang akan memperbaiki saya ketika rusak, saya harap bukan selain kamu
dan kamu tersenyum. Memang, senyuman adalah jalan terpendek untuk
mempertemukan dua hati, saya harap untuk masa itu adalah hati saya dan
kamu yang bertemu.
Tiga hari, ya tiga hari kamu memperbaiki saya di sela kesibukkan kamu
merumuskan hal-hal yang saya anggap aneh: belajar filsafat, bagi saya itu
hanyalah masalah waktu dan tidak perlu kamu pelajari. Serahkan hidupmu pada
Tuhan dan kehidupan, dan mereka akan mengajarimu lebih banyak dari semua
buku yang pernah kamu baca. Tapi kamu tidak pernah mengerti hal itu dan aku
yang tak berusaha untuk memaksa. Dalam 3 hari itu, jika ada sedikit waktu,
kami menghambur ke atap tempat penginapan kami bersama teman-teman,
melihat keindahan kota Yogyakarta, tukang becak yang menunggu penumpang
dengan sesekali berbincang ke sebelahnya yang juga tukang becak meributkan
hasil pertandingan bola semalam yang sangat mengecewakan antara Indonesia
dengan Malaysia.
***
Suatu malam karena terlalu bosan untuk diam, naik becak, kami melesat
ke Malioboro. Sepanjang jalan aku melamun, keindahan Yogya menahan otakku
untuk berpikir. Keindahan Yogyakarta yang masih menempel hingga hari ini
membuktikan betapa ia memang kota tua yang indah, senyawa cita rasa kota
yang fungsional dan Jawa yang berseni. Becak terus melaju, sopirnya saksama
menyiasati jalan yang licin tertimpah guyuran hujan beberapa jam lalu. Melewati
rumah-rumah penduduk yang semakin lama semakin Jawa. Beberapa penduduk
keluar dan menggunakan kebaya lama yang tidak pernah kulihat di Jakarta dan
pertanyaan mengerumuniku: Bagaimana di kota ini kita, bangsa Indonesia
pernah jatuh dan bangun menghadapi perang melawan Belanda? Bagaimana
rasanya berada dalam tarik-menarik budaya Jawa dan Belanda? Bahasa apa
yang mereka pakai? Apakah mereka selalu menggunakan kain dan menyanggul
rambut mereka? Maka pantaslah kota ini dijuluki kota pelajar, begitu banyak
pelajaran memang yang harus dipelajari dari kota ini.
Malioboro belum tidur ketika kami tiba. Ramai. Di sudut-sudut pertokoan,
di hantaran lorong-lorong penuh jajakan jajanan, kami berhenti sebentar untuk
makan sate yang kami pesan untuk dibungkus dan makan di tempat lain. Kami
bergegas kembali ke becak dan menuju arah alun-alun kota. Setelah

mendapatkan tempat yang kami pikir nyaman dan aman untuk anak seumuran
kami berdua malam-malam di lingkungan yang asing, kami membuka bungkusan
sate kami. Seorang pria berkulit putih duduk di samping kami, meneguk kopi dari
piring kecil yang ia tiup sesekali, dan menghisap rokok yang tinggal beberapa
senti lagi akan melumat habis bibirnya.
Bodoh ujarku pelan
Kenapa? tanyanya sambil memberiku minum dingin yang baru ia beli
tidak lama.
Itu tindakan itu
Apa? merokok? sambil melihat sekilas, tak berani lama karena takut
orang
yang
dimaksud
mengetahui
tindakan
kami
yang
sedang
memperhatikannya
Iya ujarku tegas Menurut gue salah satu tindakan bodoh dalam hidup
adalah merokok
Its choice selly and you cant say that its a stupid
Terserahlah tapi buat apa merokok, banyak orang di luar sana yang
merokok dan lebih memilih merokok daripada untuk makan walaupun uang
mereka terbatas untuk itu. Dan menurut gue ngerokok adalah cara bunuh diri
paling enggak ketahuan dan paling nyiksa. Kenapa? Karena elu awalnya bakal
dikasih kenikmatan terus makin nikmat, makin kerasa dan enggak terasa bibir
elu udah hitam dan ketika elu sadar tindakan elu salah, otak elu dan bibir elu
enggak bisa nerima karena mereka berdua udah diracunin nikotin dan syukur
kalo elu bisa lepas, tapi kalo enggak, lu bakal mati kan karena penyakit yang
disebabin sama rokok
Terus kalo gitu keadaannya, emangnya itu harus disesalin?
Aku tergelak mendengar jawabannya
Seperti kataku tadi, itu adalah pilihan mereka. Dan ketika kamu telah
memilih kamu telah mengikat diri dengan semua manfaat dan risikonya
termasuk kematiannya. Elu enggak bisa menganggap itu hal bodoh karena itu
adalah pilihan dan tak pernah ada pilihan yang bodoh, yang ada hanya pilihan
mana yang lebih baik atau lebih buruk. Gini, orang yang enggak ngerokok pun
banyak kan yang kena penyakit kayak orang ngerokok, kanker paru-parulah,
serangan jantung, atau impoten bahkan. Ia menambahkan penjelasannya
setelah melihat ekspresiku yang tidak menerima kata-katanya barusan
Tapi kan kalo ngerokok risiko untuk kena penyakitnya lebih besar
daripada yang enggak ngerokok
Thats what i mean before, yang ada cuma pilihan yang lebih baik atau
lebih buruk. Ketika lu milih buat enggak ngerokok, itu mungkin pilihan yang lebih

baik menurut elu belum tentu buat orang lain. So, your life is what your choose,
right?
Oke, gue ngerti. Udahlah mari kita makan sebelum dingin. Enggak enak
kalo dingin sambil mengambil satu tusuk dan langsung melumat potongan
daging ayam itu Emm asem, enggak enak. Udah basi kali, udah dibuang aja
daripada besok sakit. Ujarku mengetahui ternyata sate yang dibeli tadi ternyata
basi.
Beberapa jam kami hanya menghabiskan waktu dengan berbincang ngalor
ngidul tentang banyak hal. Sampai ia berbicara sesuatu yang tak pernah kuduga
dan pikirkan.
Pernahkah kamu berpikir, mengapa cinta dan benci bisa tumbuh
berdekatan kadang hanya ada selaput tipis sebagai pembatasnya. Saya sering
membayangkan, tentu lebih menyenangkan jika cinta berada di samping
persahabatan atau setidaknya pertemanan karena dengan batas itu saya tidak
perlu takut ketika saya mencoba menerobos satu sisi untuk ke sisi lain,
menerobos persahabatan menjadi suatu bentuk cinta. Tapi ternyata
kenyataannya tidak seperti itu kan, batas cinta adalah kebencian dan saya tidak
tahu dimana batas pertemanan atau persahabatan dengan cinta, saya takut
ketika saya salah menerobos pembatas itu yang saya temui adalah batas
kebencian. Bukankah banyak orang yang salah menerobos batas tersebut dan
tersesat dalam benci. Dan mengapa cinta itu bisa lebih rendah atau lebih tinggi
antara satu pasangan dengan pasangan yang lain?
Karena persahabatan tidak terletak di samping cinta. Tapi persahabatan
terletak dalam cinta. Jika kamu menghayati dan benar pernah merasakannya,
kamu akan menemui bahwa cinta adalah persahabatan yang eksklusif, hanya
dapat dimiliki untuk satu orang. Persahabatan dan cinta tidak akan pernah
menyakiti, akan selalu mengasihi, dan tak ingin orang yang ia sebut sahabat
atau cinta itu tersakiti. Dan soal cinta atau benci simpati atau antipati adalah
soal hati yang tumbuh laksana jari-jari kita, tidak dapat ditanyakan mengapa
yang satu lebih rendah dari yang lain dan mengapa ibu jari lebih besar dari jari
kelingking.
Kalo gue di hati elu jadi jari apa? Ia tersenyum menggoda, mengubah
nada dan gaya bicara seakan sedang berubah dari kisah dengan gairah cinta
yang menggebu layaknya Anna Karenina buah karya Tolstoy menjadi Malam
Minggu Miko, serial tv besutan Raditya Dika
Aku tersentak untuk kedua kalinya. Bingung menjawab apa dan dia begitu
menikmati caraku bersikap: kikuk, menundukkan kepala untuk menyembunyikan
air muka, tangan yang berkeliaran tidak tahu arah dan kaki yang tidak bisa
bekerja sama untuk kabur karena begitu lemasnya mendengar ucapannya.
Enggak perlu dijawab. Elu juga udah berjanji kan enggak akan membuka
hati elu untuk sekarang ini ke Tuhan. Dan menurut gue, janji elu sama Tuhan jauh
lebih penting dari apa pun. Gue mungkin cuma butuh buat elu nunggu. Tiga

tahun, hanya tiga tahun dan gue akan kembali lagi menanyakan hal yang sama
ke elu. Semua keputusan ada di elu, apakah elu mau nunggu gue atau enggak?
Insya Allah hanya kata itu yang bisa aku ucapkan dan aku tak tahu
jawaban apa lagi yang bisa lebih baik dari itu.
***
Kini sudah 3 tahun, apa masih ada doa yang kau panjatkan untukku? Saya
tidak ingin berharap kamu mendoakanku. Tidak. Sama sekali tidak. Seperti
kataku tadi, saya tidak ingin berharap. Karena berharap tentangmu membuat
sayatan kecil di hari semakin luas lebarnya. Tapi tenang, sayatan itu entah
namanya apa, tapi kalau kamu mau percaya, rasanya menyenangkan.
Saya bersyukur twittermu tidak diprotect. Karena hanya itu cara saya
mengetahui keadaanmu. Saya tidak peduli dengan apa yang kamu tweet dalam
jarak 140 karakter itu. Entah retweet an kah atau reply mu dengan siapapun itu.
Yang saya bisa rasa, bahwa kamu baik-baik saja disana. Dan kini saya percaya
kata pepatah, kita memang tak akan pernah tahu apa yang dirindukan sampai
sesuatu menghilang dari depan mata kita, kita tak pernah menyadari
ketidaklengkapan hingga kepingan itu tersesat, hilang dan ada bagian yang
kosong dalam diri. Tapi saya (harus) bersyukur setidaknya kamu telah
memberikan saya semangat baru yang tak pernah diberikan orang lain sebelum
kamu. Juga untuk cerita yang mengendap dalam hati.
Sekarang kita ini sudah besar. Saya pikir tidak perlu saling menunjukkan
bahwa halnya kita masih saling sayang. Kalau kamu tinta, mungkin kamu tinta
putih pada kertas putih. Aku tahu tak mungkin terlihat, tapi tetap kupaksakan
untuk menulis. Dalam jarak sejauh ini, melihat fotomu, melihat tulisan dari
twitter mu yang mulai jarang, cerita tentangmu yang diam-diam saya cari tahu,
kesibukanmu disana, semua ini adalah bentuk bahwa saya masih bisa mencintai
orang dalam sepi, sunyi, dan tenang.

Dengan Senyuman
Sekarang kita sudah sama-sama dewasa
Bukan saatnya lagi untuk mempertanyakan apa yang dahulu kita sama-sama tanyakan
Terlalu bodoh rasanya untuk menangis di waktu sekarang dengan alasan seperti itu
Saya dan kamu memang mungkin begini jalannya
Tak apa
Mungkin waktu menjawab untuk kita tanpa perlu kita yang memutuskan
Kamu yang berjalan ke kiri dan saya yang berjalan ke kanan
Pada jalan itu mungkin kita akan menemukan sesuatu yang bisa menggantikan posisi masing-masing
dari kita
Saya tidak pernah menyalahkan kamu, begitu pun sebaliknya
Kita sama-sama tahu pada suatu keadaan dimana harapan yang seperti angin
Kadang menyejukkan, kadang membuat masuk angin juga
Mungkin harapan pada saat ini adalah harapan yang membuat masuk angin
Jadi, untuk mengobatinya, kita harus menghilangkannya
Jangan pikir saya tidak sedih dengan cara pengobatan itu
Saya (masih) manusia
Saya punya rasa untuk mengerti
Tapi kita sudah dewasa, saatnya untuk mengerti bahwa kita tidak bisa terus dalam keadaan sakit
Saya ingin sembuh
Salah saya, yang membiarkan harapan itu menggantung dan kamu yang tidak juga mengucapkannya
Tak apa
Saya sudah mengikhlaskannya
Saya harap kamu juga
Kini di waktu yang kita sudah sebut dewasa
Masing-masing dari kita mulai berjalan kembali
Mungkin kita juga sudah mulai mengerti maksud pengobatan itu
Kita juga tidak memaksakan perasaan ini kembali seperti dulu
Selamat tinggal
Selamat dengan jalan kirimu dan saya dengan jalan kanan saya
Kita berpisah

Wortfolge

Happy
Happy
Happy
Happy

birthday Jepe..
birthday Jepe..
birthday, happy birthday..
birthday Jepe..

Hari ini adalah tanggal 28 Januari dan bagian terhebat itu adalah salah
seorang teman unik saya lahir. Dia adalah Jessica Permata. Selain dia,
sebenarnya masih banyak pengurus OSIS yang lahir tapi jika ditelaah dengan
metode apapun dari zaman bahela sampai sekarang, yah cuma dia doang yang
mempunyai perayaan ulang tahun paling unik (baca:aneh)
***
Hari ini tanggal 31 Januari, agenda hari ini kembali membicarakan
mengenai pensi. Namun ada yang berbeda dengan rapat kali ini. Rapat kali ini
sengaja dibuat menjadi lebih cepat karena akan ada acara siraman yang katanya
bakal diadain buat Jepe. Peralatan siraman pun sudah tersedia lengkap.
Pelopornya siapa lagi kalau bukan Yayah, cewek bohay satu ini memang punya
seribu akal buat ngerjain orang. Enggak heran waktu dia ulang tahun banyak
banget yang mau ngerjain dia. Dari mulai bikin adonan siraman untuk yayah,
dengan segala sesuatu yang menurutku bikin orang yang ngeliatnya harus
ngeluarin lidah. Dari air got, tepung, telor, air kencing bahkan ludah atau pun
reak jadi bahan adonannya sampai buat ngiket dia di pohon dengan tali dan
menuangkan semua adonan menjijikan itu ke dia, semua orang sangat bersedia
untuk ngelakuinnya dengan sangat ikhlas ke dia. Pembalasan, itu alasan mereka
tapi yang disiram malah cengengesan sambil mikirin cara bales mereka lagi pas
ulang tahun, begitu seterusnya hingga tradisi ini tidak pernah selesai buat Yayah
dan sekutunya.
Tapi karena yang ulang tahun kali ini adalah Jessica Permata, yang
notabene adalah cewek China (jangan manggil china aja ke dia karena dia
bakal berusaha melotot semelototnya buat yakinin orang kalau mata dia
belo dan enggak kayak china) yang lemah lembut dan baik hati, semua
setuju kalau acara siraman kali ini lebih cinawi: hanya dengan telor, terigu,
dan air.
Setelah semua rapi, pulang rapat kami langsung menuju belakang sekolah
dan berbincang-bincang mengenai apapun yang kami alami. Memang
sudah menjadi kebiasaan kami setelah diusir oleh satpam sekolah karena
masih berada di lingkungan sekolah di atas jam 5, kami langsung pindah
tempat berbincang menjadi di bangku-bangku kecil yang sengaja
disediakan oleh para pedagang makanan liar yang jaraknya hanya sekitar
3 meter dari gerbang sekolah belakang.

Cie jepe yang kemaren dapet cincin sergap semua anak sambil
bersahut-sahutan
Cincin apaan? Ko gue enggak tahu? tanya gue yang merasa ketinggalan
gosip terbaru
Lu sih udah pulang duluan kemaren, jadi gini kemaren kan kita abis rapat
sama sensei, trus tiba-tiba abis rapat ada rombongan anak kecil lewat dari
depan ke belakang sekolah, pokoknya banyak deh nah anak-anak kecil itu
ngasih bunga ke Jepe, nah ternyata anak kecil itu disuruh si Wesnu buat
ngasih bunga ke Jepe, abis itu Wesnu dateng ngasih cincin ke Jepe, kayak
pangeran berkuda putih di negeri dongeng gitu deh sel pokoknya, so
sweet banget, kalah kali ftv yang sering gue tonton. Dinda, penggosip
terbesar yang statusnya lebih tinggi satu tingkat dariku langsung bicara.
Ih Jepe cieee seruku kaget
Mana cincinnya coba liat pe? tanya anak-anak bergantian
Tiba-tiba dari arah belakang Okky yang memegang telor datang dan
memecahkannya di atas kerudung Jepe. Praak. Semua yang melihat
tingkah wakil ketua OSIS I itu pun langsung mengikuti dan melanjutkan
siraman ke arah Jepe. Aku yang memang tidak terlalu suka acara siramsiraman cuma melihat dan mundur ke arah gerbang sekolah.
Praak
Happy Birthday Selly Acha yang nama lengkapnya Ahmad Hasbullah Hamza
tiba-tiba datang dan memecahkan 1 telur di atas kerudung tanpa rasa
bersalah dan yup cairan kuning itu langsung menyebar ke seluruh badan.
Aku yang merasa ini sudah jauh banget dari hari ulang tahunku yang
tanggal 8 Januari langsung sadar. Ternyata siraman ini buat pengurus OSIS
yang lahir di bulan Januari. Nurbaety yang juga lahir di bulan Januari
langsung jadi buronan. Acha dengan telur yang ada di tangan kirinya dan
tangan kanannya berusaha masuk ke dalam kerudung Bety
Ah Acha, gue kan pake kerudung, ngapain sih tangan lu masuk, mau
ngapain? Bety yang merasa kerudungnya terancam langsung protes ke Acha
Yeh siapa yang mau buka kerudung luh, nih rasain Tanpa Bety sadari
tangan Acha yang sebelah kiri ternyata sudah masuk ke dalam kerudung Bety
dan praak semua rambut Bety langsung terkena telur
Nah itu mau gue, bukan kerudung luh yang kena telur tapi rambut lu juga
haha
Yah kolom sekolah pake enggak ada airnya lagi, gimana mau nyeburin lu
pada coba Yayah yang ternyata pergi mengecek keadaan kolom langsung putus
asa.
Iya culik ah, kemaren gue diceburin di kolom, jadi temennya ikan, lumut,
sama kodok. Masa lu enggak sih Ainun yang baru saja mendapat siraman
dengan pelopor Yayah (lagi) langsung cemburut dan mencari akal Haaa ah,
ada selang ternyata, rasain lu Ainun langsung menyalakan selang dan
mengarahkan ke arah Betty.

Weh jangan weh daleman gue keliatan ini. Kerudung apaan gue kalo
dalemannya keliatan. Putih-putih nih hari ini seragamnya Betty protes
Tenang, gue mah bertanggung jawab nyiraminnya, gue ada celana ko
buat eluAinun membela diri
Lah bajunya?
Minjem bajunya Mas Darno aja sono huahaha
Sibuk dengan banyaknya telur, tepung, dan air membuatku tidak
memperhatikan sekitar. Bahkan handphone jatuh pun enggak tahu.
Untungnya, Acha menemukannya dan mengembalikannya padaku.
Setelah semua keadaan cukup normal, baru aku sadar dengan apa yang
terjadi. Beberapa pengurus OSIS yang tidak ikut siram-siraman ternyata
sedang berkumpul ke arah Jepe. Penasaran, aku pun langsung melihat.
Jepe tuh enggak suka dikasih telor Jepe yang biasanya suka bercanda
malah memberikan respon sebaliknya Gue tuh bukan anak kecil yang
perlu acara gini-ginian. Please banget ini norak
Yah Jepe maafin kita, kita enggak tahu kalau Jepe enggak suka di giniin.
Jepe, maaf yah, ini ada hadiah dari kita. Annisa dan Dinda berusaha
menenangkan Jepe
Ambil aja tuh hadiah, Jepe enggak mau hadiah yang diberikan pun
langsung dilempar Jepe Jepe mau pulang! Mana kunci motor Jepe!
Jepe maaf kita enggak maksud buat bikin Jepe kayak gini. Kita tujuannya
baik ko
Jepe mau pulang, mana kuncinya, enu! Mengetahui kunci motor berada
di Wesnu, Jepe langsung memaksa memberikan kunci motornya dengan
satu dua air mata yang ikut menetes
Hei, jangan pulang dulu, mereka kan maksudnya baik. Wesnu
memberikan pengertian pada pacarnya itu yang akhirnya dengan terpaksa
dia memberikan kunci motor Jepe.
Dengan masih mengeluarkan air mata. Jepe langsung pergi meninggalkan
semuanya dan mengabaikan hadiah ulang tahunnya
Emang si Jepe, tadi diapain sih? Gue yang masih berbau telor pun ikut
bingung dengan tingkah Jepe
Cuman diceplokin telor doang satu tadi sama si Okky, sama ditaburin
tepung sama si Thyo seru Dinda seraya memungut hadiah yang
tergeletak di tanah setelah di lempar Jepe.
Yaudah kita susulin si Jepe aja deh ke rumahnya, kita minta maaf sekalian
nganterin kado lagi. Kenapa jadi enggak enak kayak gini gue padahal ikut
nyiram Jepe aja enggaksambung Yayah sambil merapikan buku-bukunya
yang keluar dari tasnya setelah mengejar-ngejar Betty
Yah tapi gue enggak mungkin ke rumah Jepe, masa iya gue nyusul orang
marah pake baju begini tutur Betty sambil memperlihatkan semua
pakaiannya yang basah kuyu

Akhirnya, Yayah, Dinda, Annisa dan Wesnu sepakat untuk menyusul Jepe
ke rumahnya dan sisanya pulang ke rumah masing-masing karena adzan
magrhib yang sudah berkumandang.
***
Esok harinya, gue yang enggak tahu apa-apa langsung menyerbu Dinda
dengan banyak pertanyaan.
Kemaren ngapain aja di rumah Jepe? Diomelin orang tuanya enggak?
Kadonya diterima enggak?
Nih yah sel, lu harus tahu gue ngapain di rumah Jepe. Kan kemaren gue,
yayah, sama anis boncengan naik motor, cheng tri lah pokoknya, nah si
Wesnu jalan ke rumah Jepe.
Iya Wesnu jalan?
Iya beruntung tuh si Jepe punya pacar kayak Wesnu, eh tunggu dulu gue
lanjutin cerita gue dulu, jangan dipotong, nah sampe rumah Jepe ternyata
enggak ada orang tuanya di rumah, cuma ada tetangganya. Nah diketokketok Jepenya enggak ngomong, akhirnya lama kan tuh yah, kata
tetangganya masuk aja neng, yaudah kita masuk, pas masuk Jepenya ada
ternyata.
Terus terus
Masa sel, kita disuruh Jepe nyuci baju yang kemaren kena siraman,
seumur-umur aja gue enggak pernah disuruh nyuci sama nyokap gue, nah
ini gue disuruh nyuci baju dia padahal mah gue enggak ikut nyiram
Huahahaha bagus gue kemaren pulang terus elu nyuciin enggak?
Sebagai temen yang baik, gue terpaksa nyuciin. Trus abis itu masa gue
langsung pulang, enggak ada omongan lagi sama Jepe. Sekarang mah
harusnya gue yang marah sama dia
Udahlah din, cape ribut mulu. Kadonya diterima enggak?
Diterima sel, emang yah si Jepe uniknya pake kata banget
Enggak papa din, persiapan buat jadi pembantu kelak
Walaupun beberapa saat kami canggung dengan Jepe tapi karena kami
sudah terikat dengan kata one taste one spirit, semua akhirnya kembali
pada posisi awal.

Its all about our story, Its all about memorabilia


semua berawal dari suatu pemilihan
sampai pada akhirnya menjadi pilihan

ada yang ingin pergi


tak ada niat untuk kembali
dan ada yang datang
bergabung menjadi satu lambang

semuanya ada lima belas


dan tak pernah minta untuk dibalas
kami semua seperti keluarga
satu sama lain saling menjaga

suka berkumpul, menyusun rencana


tapi terkadang suka saling menghina

di ruangan sesempit itu semua ide dikumpulkan


sehingga menjadi kesepakatan

segala bentuk rasa ada di dalamnya


senang,sedih,kecewa,frustasi, tak luput juga

dua tahun rasanya tak begitu lama


tapi yang terjadi tak mungkin begitu saja sirna
dan inilah kami
memorabilia yang tak pernah mati

created by Jessica Permata


katanya dia kangen sama kita, kapan ngumpul lengkap lagi?

In the Wee of Small Hours

Ah, kamu pergi. Aku benci pada kamu yang pergi. Aku benci di musim
apa kita mesti berpisah tanpa membungkukan selamat jalan. Aku benci berjalan
sendiri mengikuti bayang-bayang yang memanjang di depan .
Merenung sendiri dari balik jendela yang berembun.
Iya KAMU! Kamu yang tidak bertengkar dengan waktu tentang siapa di
antara kita yang menciptakan perpisahan. Kamu dan perpisahan yang tidak
bertengkar tentang siapa di antara kita yang menciptakan bayang. Kamu yang
pernah datang dalam hidupku, mengajari aku banyak hal. Kamu yang dalam
waktu singkat kukenal dan dalam waktu yang lamamasih kuingat
Jika mengenal bulan harus menjadi bintang. Mengenal benua harus
menjadi samudera. Mengenal pasir harus menjadi debu. Mengenal sinar harus
menjadi berkas. Mengenalmu harus menjadi aku.
Aku mengenalmu dengan hebat. Membuat seakan-akan aku telah
berkenalan dengan dunia ini. Membuat alam terasa terkadang akrab, terkadang
ganjil, terkadang menantang, terkadang membujuk.
Kini, ma(mp)ukah aku setelah menghabiskan separuh tawa, tangis, rindu,
dan sakit denganmu . Menjadi dewasa bersamamu. Pada akhirnya, tiba di hari
yang tiba-tiba. Pada hari yang tiba-tiba ada jarak antara aku, kamu, dan kata.
Pada hari yang tiba-tiba engkau pun lengkap menerimanya dengan ikhlas. Ketika
bertemu. Aku takut. Hanya bisa diam karena tak ada lagi yang bisa diceritakan.
Tersenyum pura-pura dan menebak-nebak, selalu menebak-nebak.
But In the Wee of Small Hours, I believe you. Always.
Jangan pejamkan matamu ya: aku ingin tinggal di hatimu yang teduh.

Dari aku untuk satu nama. Yang tengah aku pendam dalam-dalam.
Semoga kau datang bukan untuk menepi. Datanglah untuk menetap

Anda mungkin juga menyukai