Jika kamu ingin mengenal dunia, maka MEMBACALAH. Jika ingin dikenal
dunia, maka MENULISLAH.
(Hamid Fahmy Zarkasyi)
Alhamdulillah tsumma alhamdulillah, puji syukur tiada terukur saya
haturkan kepada Allah SWT atas terbitnya buku Cinta dalam Isyarat. Ucapan
terimakasih sebanyak-banyaknya kepada orang-orang yang telah mendukung saya
untuk selalu berkarya, Bapak, Emak, dan adik-adikku tercinta. Juga kawan-
kawan yang sudah bersedia menjadi editor gratis untuk saya, terimakasih atas
waktunya, kalian luar biasa .
Bapak saya juga pernah berpesan, "Kita ini tidak bisa menghindari
perkembangan teknologi, tapi juga tidak boleh menjadi korban teknologi."
Kemudian saya berfikir tentang bagaimana cara yang bijak untuk memanfaatkan
teknologi. Mulai dari laman Facebook, saya mencari banyak informasi tentang
lomba kepenulisan. Alhamdulillah hingga saat ini sudah ada 3 buku yang
memuat karya saya di dalamnya, tergabung dalam antologi cerpen berjudul
Rahasia Hati, Tunggu, dan Cinta dalam Doa.
Sedikit cerita tentang bagaimana buku ini bisa terbit seperti sekarang,
adalah lamanya mengumpulkan rasa percaya diri dalam hati. Namun akhirnya
saya mengambil sebuah keputusan terbesar, yaitu dengan memulai langkah awal
untuk merencanakan masa depan gemilang. Terimakasih saya ucapkan kepada
penerbit Zukses Express, karena melalui mereka buku ini bisa hadir di tengah-
tengah para pembaca. Harapan terbesar, semoga buku ini dapat merealisasikan
cita-cita saya untuk menjadikan tulisan sebagai sarana dakwah dan ladang
jariyah. Aamiin.
Khamidah Fajri
DAFTAR ISI
kata Pengantar.............................................................................................................. 2
Tentang Perjuangan................................................................................................... 20
Di Ambang Penantian............................................................................................... 86
Hari ini, aku kembali berteman sepi, menatap jendela kaca seorang diri,
memandangi pepohonan menjulang yang kokoh tertanam di halaman belakang.
Pikiranku melayang, menerawang sebuah kejadian beberapa tahun silam.
Dedaunan melambai tersibak angin yang berembus kencang, mendung menutupi
pancaran sinar mentari yang menghangatkan. Benar-benar akhir pekan yang
membosankan. Segera tubuhku tergerak untuk mengambil jemuran sebelum Ibu
pulang.
***
Brakkkk.....
"Apa itu nilai nol?! Belajar nggak kamu di sekolah?!!" bentak Bapak. Ibu
yang menyaksikan kejadian itu tak berani menyelak, hanya diam terpaku
sembari menimang adikku. Kejadian malam itu bak tamparan keras mendarat di
pipiku, panas.
Tidak banyak prestasi yang kudapatkan saat Sekolah Dasar, hanya satu
yang paling membanggakan dan tak terlupakan, yaitu saat aku menduduki
peringkat kedua dengan total nilai sama dengan ‘sang juara’. Saat itu aku merasa
sangat bahagia, walaupun keadilan tidak sepenuhnya ditegakkan, setidaknya
janjiku dapat terbayar.
***
Liburan akhir tahun telah usai, masa-masa kelas dua kulalui dengan
penuh suka duka yang mewarnai. Orangtua tetap sibuk dengan pekerjaan mereka
yang semakin hari semakin menguras tenaga, Bapak jadi sering pergi ke luar kota
demi memperlancar usahanya. Kepulangan Bapak selalu kunanti bersama adik
bayi dan Ibu yang selalu di sisi. Kasih sayang yang Bapak berikan sangat berbeda
dari sedia kala, memanjakan kami berdua menjadi kesenangannya.
***
Air mataku meleleh, kegaduhan begitu riuh terdengar dari suara tangisan
yang saling bersahutan. “Bapak kecelakaan,” bagaikan karang terhantam ombak
besar di lautan, kokoh, namun tenggelam perlahan, aku masih mematung dan
berharap ini semua hanyalah mimpi belaka, yang akan berakhir ketika aku
membuka mata. Namun harapan benar-benar tidak sesuai kenyataan, adanya
pertemuan pastilah akan diiringi dengan perpisahan, selalu, entah kapanpun itu.
***
Jam dinding menunjukkan pukul dua malam, aku terbangun oleh suara
bisikan, “Ida, Bapak sudah pulang.” Iya, Bapak memang pulang, namun
kepulangannya kali ini sangat berbeda dari biasanya, kepulangan yang tidak
pernah aku harapkan. Tiada lagi kecupan lembut seperti biasa saat aku
menyambutnya dengan gembira, tiada lagi oleh-oleh ditangannya untuk
memanjakan kami berdua sebagai anak-anak yang sangat dicintainya. Hanya sisa
air mata yang kupunya untuk melepas kepergiannya, kepergian untuk selama-
lamanya.
Mataku yang sembab fokus menatap liang lahat, keranda yang membawa
jenazah Bapak perlahan dibuka. Terlihat di seberang sana, pamanku ambruk
seketika melihat jenazah kakaknya yang terbungkus kafan diangkat keluar
keranda, seakan masih tak percaya. Ibuku tak kalah histeris melihat suami
tercinta begitu cepat pergi mendahuluinya, meninggalkan anak-anak yang masih
belia, bahkan si bungsu belum mengerti apa-apa.
***
“Ibu capek, jangan ganggu,” dan setelah itu aku sama sekali tidak berani
walau sekedar menderapkan kaki. Semenjak kepergian Bapak, pelajaran
kemandirian semakin berat kurasakan, karena tidak adanya pantauan dan
arahan ketika aku melakukan kesalahan, sehingga pada akhirnya aku lebih
memilih untuk diam. Masa depan yang dulu sempat aku gambarkan kini hanya
dapat menjadi angan, aku tak tahu bagaimana cara untuk merealisasikan. Ibuku
kurang perhatian karena harus bekerja ekstra demi mencukupi kebutuhan kami
bertiga. Menjadi single parent memanglah berat untuk usia Ibu yang masih
terbilang muda, karena saat itu usianya baru menginjak dua puluh lima tahun.
***
“Apa ini??” aku terperanjat melihat diary-ku ada di tangan Ibu. Aku yang
saat itu, kira-kira tiga tahun yang lalu, masih lengkap dengan seragam putih biru
tertunduk lesu. Menjawab sama dengan membangkang, jadi aku lebih memilih
untuk diam dan mendengarkan kemarahan Ibu yang sudah tidak dapat beliau
tahan. Bukan solusi yang beliau berikan, namun harga mati sebuah pernyataan
tanpa disertai alasan, “Jangan pacaran!”
***
***
“Ida, maafin Ibu, kalau selama ini tidak begitu memerhatikan kamu.
Bukan maksud Ibu seperti itu, perlu kamu tahu kesedihan Ibu masih sama
seperti dulu saat Bapak pergi meninggalkan kita semua. Ibu mana yang tega
menyerahkan anaknya begitu saja kepada orang lain tanpa kesedihan yang
tergambar diwajahnya? Bukan begitu nak, bukan begitu...” Ibu sejenak
menghentikan kata-katanya dan isak tangis pun mulai terdengar jelas di telinga.
”Ibu akan selalu mencintai kalian berdua sampai ajal yang memisahkan
kita.” Aku hanya mematung di pelukannya, mendengarkan segala keluh-kesah
yang beliau rasa.
Bias cahaya mentari semakin hangat terasa, aku menggandeng lengan Ibu
seakan ingin dimanja. Aku lega karena tidak hanya mengetahui isi hatinya dari
goresan tinta, namun juga ungkapan jujur yang keluar langsung melalui kata-
kata.
***
Hari ini tepat 5 tahun suamiku pergi,, berat memang bila harus menjadi
tulang punggung keluarga, menjadi Ibu sekaligus Ayah dalam satu waktu. Cobaan
yang Allah berikan begitu berat aku rasakan, hampir-hampir aku terpuruk dalam
keputusasaan. Namun begitu melihat kedua putriku, aku kembali tegar, aku
harus lebih giat bekerja untuk mempersiapkan masa depan cerah mereka. Lika-
liku kehidupan telah banyak aku kenyam, mulai dari yang membahagiakan
sampai yang menyakitkan. Sudah tak terhitung berapa kali aku mengalami rugi
karena barang dagangan yang tak kunjung dibeli, hingga suatu hari aku harus
pulang membawa kekecewaan tanpa sepeserpun uang aku dapatkan. Hatiku
terkoyak begitu membaca buku tebal yang berisikan curhatan putriku tersayang.
Aku sakit ketika dia menuliskan kata ‘jatuh cinta’ pada beberapa lembar
berikutnya, aku tidak ingin belajarnya terganggu dengan urusan-urusan yang
sama sekali tidak perlu. Cukup aku saja yang merasakan penyesalan dengan
memikul kebodohan, putus sekolah karena memperjuangkan satu kata yang
disebut cinta. Bukan tanpa alasan aku melarangnya pacaran, namun aku hanya
tidak ingin kesalahanku kembali terulang. Hidup dengan kebodohan sangatlah
tidak menyenangkan, aku malu jika ditanya putriku seputar pelajarannya di
sekolah, jujur aku sangat malu karena sama sekali tidak tahu. “Nak,, maafkan
Ibu yang kadang ataupun sering terlihat tidak peduli, sesungguhnya sedang
banyak sekali hal yang Ibu pikirkan. Saat kamu menanyakan Ibu tentang
pelajaran, bukan berarti diam Ibu adalah bentuk ketidakpedulian, Ibu hanya
malu karena sudah pasti tidak dapat menjawab pertanyaanmu. Saat Ibu tak
sengaja membaca diary yang kamu tinggalkan di atas meja, jujur nak,, Ibu
khawatir, khawatir kesalahan Ibu akan terulang kembali, Ibu tahu rasanya nak,,
sangat tidak enak hidup tanpa naungan ilmu. Jadi Ibu hanya mau kamu
belajarlah yang rajin dulu, percayalah nak, suatu hari tanpa kamu ketahui ‘dia’
akan datang sendiri menghadap Ibu untuk ‘meminta’ kamu, jangan takut
kehabisan, karena jodoh masing-masing telah ditetapkan. (Parakan, 28 juni
2012).
Terkadang memang sulit untuk memahami sesuatu yang sama sekali tidak
dapat dimengerti, namun percayalah bahwa mereka melakukan hal demikian
pasti ada alasan. Jadi, tetaplah berpikir rasional dan bersabar, karena buah dari
kesabaran itu kelak akan kita ketam dan kemanisan akan kita rasakan.
-TAMAT-
LABUHAN CINTA PANGERAN SURGA
(Februari 2015)
“Apa kau ingin bukti?” tanya lelaki berjaket hitam tebal itu meminta
kepastian.
***
(Flash Back)
Filsafat dan Ilmu Budaya adalah jurusan yang dipilih Nakagawa Anna,
mahasiswi pascasarjana di Universitas Hokkaido karena rasa ingin tahunya
terhadap anutan manusia. Lahir di tengah keluarga tak beragama membuat Anna
tabu dengan hal-hal yang berbau kepercayaan. Hujan salju mulai lebat, jam
dinding terus berdetik, waktu menunjukkan pukul 8 pagi.
Tok..tok..tok
Terdengar suara pintu kamar diketuk dari luar, Anna tak beranjak, geser sedikit
dari tempat duduknya pun tidak. Mata indahnya tetap asyik menatap suasana
taman yang mulai tampak putih terbalut salju.
***
Senyuman mengembang dari balik jas hitam yang dikenakan. Winter coat
tebal berwarna coklat tua yang sedari tadi membungkus setengah tubuhnya telah
tersampir di sandaran kursi. Ruangan itu nampak sepi, tempat khusus para
pembicara untuk mempersiapkan diri sebelum tampil di hadapan para pendengar
dalam forum khusus seperti seminar dan bedah buku. Lelaki berkulit sawo
matang itu sedikit gugup, beberapa kali ia mondar-mandir di depan kaca sembari
membolak balikan secarik kertas di tangannya. Namun untuk beberapa saat ia
kembali terdiam, menatap kaca setinggi tubuhnya sembari menghela nafas
panjang, bayangan perempuan itu kembali muncul, tersenyum tulus seolah
mengirimkan semangat dari negeri seberang.
Balai pertemuan kampus tampak ramai oleh peserta bedah buku, Alfa
melirik jam tangannya, pukul delapan tepat, segera ia menyibak tirai merah yang
menyekat panggung aula. Moderator berjas biru tua menyambut gembira, disusul
dengan gemuruh tepuk tangan dari para peserta.
***
“Apa kamu masih marah dengan Papamu nak?” suara itu mengalun
lembut di telinga Anna.
Diam, gadis itu masih diam menatap ke luar jendela kaca, sepatah
katapun tak keluar dari mulut mungilnya. Perempuan setengah baya dengan
pakaian kerja mendekati putri tercintanya, mengelus pelan pundak yang masih
terbalut piama.
Rasa kesal masih menyelimuti hati yang rapuh, hati yang tak memiliki
pendirian teguh, terdobrak oleh makian angkuh. Gadis itu mulai beranjak dari
tempat duduknya, meninggalkan suasana taman di balik kaca jendela. Beberapa
orang berjaket tebal nampak berlalu lalang, menerobos lebatnya salju demi
memenuhi aktivitas yang tidak dapat ditinggalkan, sebagian besar dari mereka
adalah mahasiswa dan pegawai kantoran.
***
Waktu begitu cepat berlalu, tak terasa satu setengah jam yang diberikan
hampir tiba pada titik penghabisan, hanya beberapa menit tersisa untuk sesi
pertanyaan. Penataan tempat duduk di balai pertemuan berbanjar setengah
lingkaran. Tak lama berselang, peserta yang duduk di barisan depan mengangkat
tangan.
“Apa motivasi terbesar dalam hidup anda?” Tanya lelaki itu kepada
pembicara.
***
Anna sontak menghentikan langkah, sayup suara dalam bahasa yang tak
dimengertinya tiba-tiba bertandang dalam sistem pendengaran. Tak lantang,
namun berhasil mencuri perhatian seserpih hati yang tengah gusar. Anna
mengedarkan pandangan, mencari sumber suara. Matanya bertumpu pada
bangunan kecil di seberang jalan, bangunan yang sekilas nampak seperti
pertokoan.
***
“Ah kau ini, selalu saja merendah. Membuatku iri saja,” ucap Ryu sembari
meninju pelan lengan Alfa.
Tiga tahun bersama, membuat Ryu tahu segala sifat sahabatnya. Tak
jarang ia menemani Alfa ke salah satu masjid di dekat kampus mereka, dengan
setia ia menunggu meskipun hanya di depan bangunan peribadatan umat Islam
itu. Terkadang, ia juga penasaran dengan Islam, Alfa pun dengan sabar
menjelaskan. Ryu sempat tertarik untuk masuk Islam, namun hidayah hanya
datang dari Tuhan Semesta Alam, Alfa juga tidak pernah memaksa karena
itulah yang diajarkan oleh agamanya, masuk Islam bukanlah sebuah paksaan.
***
***
Ponsel Alfa bergetar, satu pesan diterima, tulisan “Ustadz Amran” tertera
di layar telepon genggam. Ia segera beranjak setelah memakai coat yang tersampir
pada sandaran kursi, Alfa lupa jika hari ini punya janji. Ryuzuki terperanjat
melihat sahabatnya meninggalkan ruangan dengan tergesa-gesa, “Alfa san! Matte
kudasai! (Tunggu!)”
***
Plakkk...
Pipi kanan Anna memerah, darah segar mengalir dari ujung bibirnya.
Diam, Anna hanya diam, tak menyangkal seperti malam sebelumnya, hanya isak
tangis dan bulir air mata membasahi selendang ungu yang menutup seluruh helai
rambutnya. Siang tadi, Anna mengambil keputusan terbesar dengan bersyahadat
di depan para jama’ah masjid tempat ia bertandang, melabuhkan keyakinan pada
Islam tanpa ragu serta unsur paksaan. Sebenarnya baik Papa maupun Mamanya
tak pernah mempermasalahkan perihal keyakinan, namun yang membuat
Papanya murka adalah kenyataan bahwa Anna meninggalkan ujian Tesis
Magisternya demi menjalankan sebuah ritual masuk Islam. Biaya perkuliahan di
Jepang terlampau mahal, sekali tidak mengikuti ujian, maka dapat dinyatakan
telah gagal dan harus mengulang.
***
“Tapi Ustadz, saya tidak tahu apakah saya telah menepati janji itu,
sedangkan pendalaman saya mengenai Islam pun masih sangat kurang. Selama
saya tinggal disini, hanya tulisan yang dapat saya gunakan sebagai perantara
dalam mendakwahkan Islam.” Sambung Alfa kemudian.
Lelaki berjanggut hitam itu menghela nafas panjang, “Nak Alfa, dakwah
itu tidak hanya melalui lisan, namun juga bisa dengan tulisan. Masalah kamu itu
masih kurang dalam mendalami agamamu sendiri, bukankah Rasululllah SAW
telah bersabda : ‘Sampaikanlah dariku (ilmu) walau hanya satu ayat?’
Sampaikanlah nak, Bapak tahu kamu mampu.” Pernyataan Ustadz Amran
membuat Alfa mengangguk pelan, kegelisahan dalam hatinya perlahan
menghilang, bak menemukan setitik cahaya dalam gulita. Ia lega, bahwa tulisan
yang kini telah bibaca oleh sekian banyak orang juga dapat menjadi perantara
dakwahnya. Tak terasa perbincangan selesai hampir larut malam. Alfa pun
segera pamit untuk pulang.
***
***
Hari masih sangat pagi, gulita pun masih menyelimuti jiwa-jiwa yang
tergolek tak sadarkan diri, mengitari setiap sudut dunia mimpi.
“Allahu akbar!”
Sayup suara itu membuat Anna membuka kelopak mata. Jarum infus
tertancap di pergelangan tangan kanannya. Ia melihat seorang pemuda tengah
berdiri menjalankan sebuah ritus keagamaan beberapa meter dari bed tempat
Anna terbaring. Gadis itu mencoba menegakkan punggungnya, namun pening di
kepala membuat ia tak dapat menyeimbangkan posisi tubuh yang kini terbalut
piama rumah sakit.
“Apakah itu sebuah ritus peribadatan dalam agama Islam?” Dengan suara
pelan gadis itu menanyakan. Alfa yang telah selesai menunaikan sholat
subuhnya pun menoleh ke asal suara. Matanya seketika berbinar mendapati gadis
yang ditolongnya semalam telah sadar. Alfa tersenyum meng-iyakan.
***
Dua minggu berlalu semenjak kejadian malam itu. Ustadz Amran dan
istrinya yang tak memiliki keturunan memutuskan untuk mengangkat Nakagawa
Anna sebagai putri mereka. Meski harus letih bekerja dan berusaha, ia
memutuskan untuk mengulang kembali program Magister yang sempat
dilewatkannya. Maklum saja karena sejak kecil ia selalu dimanja oleh Mama-
Papanya.
“Tak apa, aku pasti bisa tanpa mereka,” gumamnya sebelum melangkah
meninggalkan rumah sederhana milik orangtua angkatnya. Ia senang berada di
rumah itu, rumah yang seluruh kasih sayang tercurah, baik dari Ayah dan Ibu
angkatnya dan juga.. seorang pemuda berdarah Jepang-Indonesia bernama
Fujisaki Alfa Rizqi selalu ada untuk menjaganya, demikianlah kiranya petuah
dari sang Ayah “Jaga Anna nak Alfa.”
Kebetulan mereka berdua berada di kampus yang sama, ya, Universitas Hokkaido.
Mungkin bedanya, Nakagawa Anna adalah mahasiswi pascasarjana, sedangkan
Fujisaki Alfa Rizqi adalah mahasiswa yang belum menyelesaikan jenjang
sarjana.
***
(Februari 2015)
“Bukti bahwa selain Ustadz Amran dan Ustadzah Rahma, masih ada
seseorang yang akan menyayangimu dengan penuh cinta serta ketulusan.” Ucap
lelaki itu mantap.
“Oh ya?? Apa kau sedang membicarakan diri sendiri??” Ucap Anna
meledek laki-laki yang secara usia lebih muda dibanding dirinya, namun sifat
dan perkataan Alfa jauh lebih dewasa dari Anna.
-TAMAT-
TENTANG PERJUANGAN
Satu persatu para mahasiswa bertoga memasuki aula dengan wajah yang
menyiratkan kegembiraan tiada tara. Pasalnya, satu semester yang begitu
menguras tenaga sekaligus pikiran telah mereka lewati dengan lancar, dan di hari
inilah mereka semua akan mendapat ganjaran. Ya, wisuda dan penyematan gelar
di belakang nama.
“Masih di jalan mungkin, gak lo telpon?” ujar Sodik dengan bahasa khas
Jakartanya.
***
Saat itu, kira-kira enam bulan lalu. Hari masih sangat pagi, gulita pun
masih menyelimuti tubuh-tubuh yang tergolek tak sadarkan diri, mengitari setiap
sudut dunia mimpi. Sebuah kontrakan menyisakan temaram lampu pijar pada
salah satu ruangan, kertas-kertas berserakan, layar laptop masih terbuka, seorang
pemuda terkapar kelelahan di depannya. Tidak ada bantal untuk menyangga,
melainkan tangan kanan yang ia gunakan sebagai alas kepala, kacamata pun
masih dikenakannya.
Ashalaatu khoirun minan naum!! tak lama berselang, adzan subuh
berkumandang, Ridwan terbangun dengan mata sembab, tampak kemerahan
karena waktu tidurnya kurang. Sejenak ia terduduk diam, mengumpulkan
kesadaran sebelum akhirnya ia beranjak pergi ke kamar mandi dan bergegas
memenuhi panggilan ilahi, bergabung bersama para mujahid fi sabilillah untuk
menunaikan sholat subuh berjama’ah.
***
Jarum jam menunjukkan pukul tujuh pagi, satu jam sudah Ridwan
menempuh perjalanan, menyusuri perkampungan kumuh di sudut Ibukota. Bau
sampah menyeruak, namun bagi Ridwan bak aroma parfum nan semerbak, tak
lagi menyiksa saluran nafasnya. Rumah sederhana berdinding anyaman bambu
telah menumpu pandangan, bergegas pemuda bertubuh jangkung itu masuk ke
dalam.
***
“Bro! Ceileee. Dah kelar aja tu skripsi, mantap lah..” kata Anton, sahabat
karibnya memuji. Ridwan hanya membalas dengan senyuman, matanya
menerawang langit-langit kantin yang lengang, tangannya memainkan sedotan
dalam gelas minuman, tanpa sadar bibirnya menyiratkan senyuman.
“Enggak Ton, gue nggak nyangka aja udah mau wisuda. Tapi gue gak
yakin, kalo semua itu bisa ngebuat orang tua bangga,” kata Ridwan dengan
tatapan masih menerawang.
Walaupun kuliah dengan beasiswa, namun biaya buku dan fasilitas yang
wajib dimiliki adalah tanggungan pribadi. Beberapa kali Ridwan menolak, tidak
enak hati jika harus memberatkan Bapak. Namun dengan lapang dada, beliau
selalu menyemangati dan membesarkan hati anak semata wayangnya, seperti
janjinya dulu sebelum istrinya meninggal dunia.
***
“Akhi Ridwan, tadi ada pesan dari Pak Galih, katanya antum disuruh
menghadap beliau setelah rapat,” ucap seorang akhwat kepada Ridwan yang
tengah sibuk memilah dokumen-dokumen di atas meja.
“Tapi, kalau boleh tau, kenapa Pak Galih memilih saya? Apa Bapak
sudah tahu latar belakang saya?” Ridwan kembali bertanya tak kalah penasaran.
Pak Galih menghela nafas panjang, seperti tak rela jika harus melepas Ridwan,
pemuda yang dianggapnya paling cocok bersanding dengan putrinya.
“Mas Ridwan, saya sudah tahu semua latar belakang kamu, keluarga
kamu. Tapi maaf, Irla belum pulang dari Surabaya, jadi belum bisa Bapak
kenalkan langsung ke Mas Ridwan,” timpal beliau panjang.
***
***
“Berapa Pak?” Tanya seorang remaja yang baru turun dari becak.
“Loh, kok gitu Pak? Saya ndak enak, kan jauh perjalanannya Pak,” tanya
remaja itu kembali dengan nada tak mengerti.
“Mungkin kalau saya orang kaya neng, saya akan bersedekah dengan
harta, tidak apa-apa neng,” jawaban lelaki paruh baya itu sedikit menggantung,
namun cukup mengetuk nurani remaja putri yang berbusana rapi di depan
kampus ternama di kota Jakarta.
“Ma syaaAllah, terimakasih banyak Pak.” Ucap gadis itu terakhir kali.
“Ini neng tasnya, lain kali hati-hati,” ucap beliau dengan dahi berlinang
peluh. Perempuan berjilbab lebar itu berekspresi lega.
“Iya Pak, tadi ndak sadar soalnya baru datang juga dari luar kota. Sekali
lagi terimakasih banyak Pak,” ucap gadis yang menaiki becak Pak Karta tadi.
***
“Selain pandai, dia juga sangat santun terutama kepada orang yang lebih
tua. Dan saya lebih bangga lagi karena dia adalah lulusan terbaik Universitas
tercinta kita tahun ini dengan IPK tertinggi. Ridwan Khoirul Umam, silahkan
maju ke depan.”
Aula riuh dengan gemuruh tepuk tangan yang saling bersahutan. Ridwan
terkejut mendengar namanya sendiri disebutkan, wajahnya tampak pucat, ucapan
selamat ia dapat dari teman-teman yang kebetulan duduk di sekitarnya. Ia tak
pernah menyangka akan diperlakukan teramat istimewa, pengorbanan yang ia
jalani selama ini membuahkan hasil, “Bapak, aku berhasil,” gumamnya dalam
hati sembari berjalan ke atas panggung menuju podium.
Tak terasa air mata telah membanjiri pipinya, seisi aula trenyuh
mendengar sambutan yang sama sekali tak ada persiapan. Tepuk tangan
menggema di setiap sudut aula. Mata sembabnya menangkap bayangan seseorang
yang sedari tadi ia bicarakan tengah berdiri tepat di depan pintu aula
menyaksikan putra semata wayangnya berbicara dengan senyuman bangga.
Kemeja putih terbaik dikenakan Pak Karta, matanya sayu menatap Ridwan yang
tengah berlari dengan linangan air mata membasahi kedua pipinya. Ridwan
terduduk memeluk kaki Bapaknya, bibirnya yang bergetar berusaha mengucap
kata-kata, “Te.. rimakasih... Bapak.” Pak Karta tidak membalas ucapan yang
keluar dari mulut putranya, hanya tepukan di bahu Ridwan menandakan bahwa
beliau merasa bangga, ya, sangat bangga kepadanya. Pemandangan itu membuat
seisi aula berlinangan air mata, menyaksikan bagaimana perjuangan keras
seorang Bapak menyekolahkan anaknya bahkan hingga jenjang sarjana, berakhir
bahagia. Pelajaran bagi mereka yang acap kali terlena dengan kenikmatan sesaat,
lupa dengan seseorang yang sedang berjuang melunasi biaya perkuliahan yang
amat mahal.
***
Anton hanya menimpali dengan ejekan, “Siap Pak dosen! Coba lu aja yang
jadi pengampu skripsi gue, bakal lain cerita nih.”
Ridwan tertawa, “Iye, lu bakal lulus ntar, semester enam belas kalo gue
yang ngampu.”
-TAMAT-
RAHASIA SEBUAH NAMA
Ketika cinta merasup dalam dada, mengisi kekosongan ranah asmara, dan
mendominasi hati yang telah lama sepi.
Jika benar ini cinta, aku harap ia tidak seperti udara yang bisa menanggalkan
nyawa ketika hadirnya tiada.
Siapakah gerangan, cinta yang baru saja ia tuliskan? Aku hanya mampu
bergumam dalam diam. Cukup diriku menjadi saksi bisu, dan membiarkan gadis
bermata indah itu percaya untuk menitipkan segala rahasianya pada lembaran
putih yang menyusunku. Menjadi rujukan utama yang akan dibuka saat ia ingin
mengingat kembali waktu yang telah bertransformasi menjadi masa lalu. Ya, aku
tidak perlu tahu.
***
Azmya Raesha, seorang gadis berparas cantik berusia hampir dua puluh
tujuh tahun. Usia yang terbilang sangat matang untuk mengakhiri masa lajang,
namun ia tak kunjung menemukan seseorang yang nantinya akan menjadi imam
dalam rumah tangga, dan sudah dapat dipastikan bahwa kegelisahan mulai
mengusik hati kecilnya. Beberapa tahun belakangan ia sama sekali tidak peduli
dengan urusan perasaan, disebabkan oleh suatu peristiwa yang telah melukai
hatinya ketika ia masih berada di Pakistan.
Hanya melalui perantara do’a aku berani menyapa, meluruhkan segala keluh
kesah yang ada, bahkan aku selalu mencanangkan kata “semoga”, kepada-Nya.
***
“Yaa muqollibal quluub, tsabbit qolbi ‘ala diini wa’ala itho’atik, ” suara
lembut Mya mengudara, seakan mengantarkan lantunan do’anya kepada Sang
Pencipta alam semesta. Do’a di sepertiga malam yang hampir tak pernah
terlewatkan, kecuali saat ia sedang berhalangan.
***
Sekali lagi ia menulis tentang seseorang yang entah siapa dan dimana
keberadaannya. Matahari mulai meninggi, Azmya duduk di salah satu kantor
dosen Universitas Indonesia tempatnya bekerja. Laptop di depannya menyala,
tetapi ia lebih memilih fokus menatap lembara-lembaranku di atas pangkuannya.
Masih tersisa beberapa menit sebelum memulai kelas perkuliahan bersama para
mahasiswa jurusan Sastra Budaya semester lima. Ia membuka lembaran
kenangan yang termaktub saat dirinya berada di Pakistan.
(Pakistan, 20 November 2014)
***
Kali pertama aku menginjakkan kaki di tempat asing ini seorang diri, sebuah
tempat yang dulu sangat ingin aku kunjungi. Kini, aku tahu jawabannya
mengapa Mama dan Papa tidak pernah mau menceritakan kisah pilu tentang
pengorbanan yang mereka lakukan. Dari cerita nenek, dulu pihak keluarga Papa
tidak setuju jika Mama menjadi bagian dari keluarga seorang dengan kedudukan
terpandang di Jakarta. Mengingat Mama hanyalah seorang gadis desa yang
menjadi guru ngaji saat kuliah di Jakarta. Mereka berdua bertemu dalam sebuah
forum kajian, dan tanpa mengulur banyak waktu Papa melamar Mama meskipun
ditentang mati-matian oleh keluarga besar di Jakarta. Bagi Papa, perempuan
sholihah lebih utama dibading perempuan elok rupa nan kaya harta. Akhirnya
Papa menikahi Mama tanpa kehadiran orangtua, kemudian membawa Mama ke
Pakistan untuk menemani kuliah S3 dan mengawali karirnya di sana.
***
Suasana kelas tenang saat Mya datang. Para mahasiswa nampak sangat
antusias mendengarkan ketika ia menerangkan mata kuliah yang diampunya.
Mengajar adalah salah satu hiburan selain membantu nenek mengelola bisnis
almarhum kakek di Jakarta. Ya, ia telah bertemu dengan keluarga besar Papa di
Jakarta.
***
“Mau pulang?”
Ia tertegun saat tahu siapa orang di dalam mobil itu. “Iya kak, antum dari
mana?”
“Bareng aja yuk! Kakak juga mau ketemu Ibu,” ajaknya kepada
perempuan yang tidak lain adalah cucu dari seorang yang sudah lama ia panggil
“Ibu”.
“Ya Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Jika memang ia
adalah takdir hamba, maka satukanlah kami dalam taat, jangan biarkan rindu
yang tak halal membuat api neraka menyambangi kulit ari meski hanya menjilat,
karena hamba yakin tidak akan kuat. Wahai Tuhanku sang penguasa seluruh
jagat, jangan biarkan hati kami tertambat, jika tanpa keridhoanmu cinta kami
melekat. Ya Rabb, jika memang ia, lelaki bernama Fariz, Athafariz Hizam, yang
telah engkau tetapkan sebagai jodoh hamba. Maka singkaplah tabir yang
memisahkan kami berdua ketika waktunya tiba. Aamiin.”
Dan akhirnya tersingkap sebuah nama yang selalu Azmya sebut dalam
do’anya. Hanya kepada Allah ia menggantungkan harapan, karena ia yakin tidak
akan mendapat unsur kekecewaan. Bukankah Allah telah berfirman di dalam
Al-Qur’an : “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu,
dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu;
Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
-TAMAT-
SEGENGGAM AMANAH
“Tidakkah kamu ingin pulang Lif?” tanya Fatih kembali dengan nada
sumbang.
***
***
“Ibu... aku mau pulang, gak betah...” aku terisak dalam bilik telepon,
butiran hangat terus menganak sungai di pipiku. Antrean di wartel sangatlah
panjang, namun sama sekali tak kuhiraukan. Saat itu, tak ada lagi yang aku
pikirkan selain pulang, pulang dan pulang.
“Coba dulu seminggu, nanti kalau masih belum betah bisa pulang,” kata
Ibu berusaha meyakinkanku. Satu minggu berlalu, aku menagih janji Ibu tempo
hari, namun sama sekali tak kudapati. Hanya jawaban sama yang kudapat pada
minggu-minggu setelahnya, sampai aku bosan dan pada akhirnya memilih untuk
bertahan.
Langit siang nampak begitu cerah, terlihat di bawah sana, para santri
berlari-lari kecil sembari membawa alat makan menuju dapur umum. Antrean
yang sangat panjang terkadang membuatku memilih untuk tidak makan dan
pergi ke tempat ini, ya, atap gedung asrama Saudi. Tempat yang menjadi saksi
sebuah perjuangan, perjuangan yang teramat berat aku rasakan, bak merangkak
mencari mata air di tengah gurun yang gersang, nanar mata ini tuk menatap ke
depan, hilang arah serta tujuan.
“Sedang apa?”
Suara itu membuyarkan lamunanku, tak biasanya ada orang lain di sini,
selain hanya aku seorang diri, termenung dan kadang mengabadikan pengalaman
sehari-hari dalam bentuk tulisan.
***
Aku tertawa dan sedikit meninju bahu Fatih sembari berkata, “Tumben
gak tidur Pak Ustadz..” dan tawa kami pun bergelak.
***
Aku tersenyum di balik balutan sorban seraya menepuk bahu Fatih untuk
menyemangati, “Lupakan Fat! Jangan ungkit masa lalu yang tidak
menyenangkan, masa depan kita masih panjang, cukup kamu jaga dan bimbing
dek Isma dalam keistiqomahan. Masa lalu jangan dijadikan ratapan, namun
jadikanlah pelajaran. Jangan pernah mengulang kesalahan yang sama untuk
kedua kalinya.”
***
***
Ustadz Mustaqim terdiam setelah beberapa saat naik pitam, tak henti
mengintrogasi, memarahi, dan menasehati dua orang santri yang telah melanggar
peraturan sekaligus melakukan kesalahan terbesar. Aku dan Fatih hanya
tertunduk diam, tak ada pembelaan yang kami lontarkan jika Ustadz bagian
pengasuhan itu tak memperkenankan kami untuk menjawab, karena semua itu
adalah bagian dari nilai adab.
“Alif, apa kamu tahu kalau ternyata temanmu ini secara diam-diam
menjalin hubungan di luar batas kewajaran dengan ADIKMU yang saat ini
berada di pondok putri?” Ustadz Mustaqim menekankan satu kata yang membuat
mataku terbelalak mendengarnya. Bagaikan disambar halilintar di tengah siang
tanpa adanya mendung ataupun hujan. Aku terdiam, hanya mengisyaratkan
gelengan sebagai jawaban.
Hari itu, kira-kira empat tahun yang lalu, tepat seminggu setelah kami
melalui ujian niha’iy atau ujian akhir KMI (Kulliyatul Mu’allimin Al-
Islamiyah). Seharusnya hal seperti itu tidak terjadi, seharusnya kami sedang tak
sabar untuk menanti hari kelulusan, hari dimana air mata kebahagiaan
bercucuran. Sungguh bukan akhir seperti itu yang aku harapkan, menangis
dalam kepedihan karena harus pulang dengan tidak terhormat, diusir karena
telah melakukan maksiat. Pacaran dalam Islam adalah haram, begitu pula di
pondok ini, konsekuensi bagi si pelanggar adalah DIKELUARKAN.
***
Empat tahun sudah diri ini kuabdikan, kepada pondok yang sudah
mendidikku hingga menjadi seperti sekarang. Tak cukup rasanya bila hanya
melakukan pengabdian dan setelah itu pulang. Tiga hari tiga malam aku
meminta petunjuk kepada Dzat Yang Maha Mendengar, bersimpuh di sepertiga
malam hingga adzan subuh berkumandang.
“Iya nak, ada apa?” Jawab Ibu sembari memegang kedua tanganku.
***
Pak Kyai pernah berpesan dalam sebuah forum, “Ke Darussalam adalah
untuk mencari pendidikan dan pengajaran, karena Darussalam adalah tempat
pendidikan mental dan karakter. Di sinilah para santri akan dididik untuk
menjadi seorang ulama’ yang intelek, bukan intelek yang tahu agama. Karena
pemimpin harus mempunyai kriteria pemimpin. Darussalam mencetak kader-
kader pemimpin umat untuk kejayaan bangsa, dari sinilah seorang pemimpin
harus berani berkorban, berpikir keras, bekerja keras, dan berdoa keras.”
***
“Ini janji kita sepuluh tahun lalu,” aku mengeluarkan bingkisan dari
balik jas hitam yang aku kenakan. Janji sepuluh tahun itu adalah saling
bertukar karya karena hobi yang sama. Sebuah buku bersampul coklat muda
dengan judul Segenggam Amanah kusodorkan kepada Fatih.
-TAMAT-
CATATAN DALAM SEBUAH PENANTIAN
Itu kali pertama ia, lelaki bernama Rangga bertatap muka dengan seorang
perempuan yang dikenalnya lewat dunia maya. Desir angin menggugurkan
dedaunan dari tangkai pepohonan yang rindang, semburan air mancur di tengah
taman menciptakan kesejukan. Sesekali suara burung terdengar berkicau riang,
menambah keramaian taman saat akhir pekan. Tepat di sisi air mancur,
perempuan bernama Rida itu menghentikan langkah dan memutuskan untuk
berbalik arah, menghampiri pemuda yang sekilas nampak berdiri gagah. Wajah
ayunya menyiratkan kecemasan, kerudung panjang dengan motif garis berwarna
pink keunguan berkibar pelan seirama dengan arah angin yang menenangkan.
“Alasannya hanya satu akhi, aku tidak bisa menerimannya jika jalan
seperti itu yang antum pinta. Aku takut Allah murka...” ucap Rida dengan wajah
pasi.
***
Air mata berderai di atas hamparan sajadah, pada sepertiga malam gadis
berparas menawan itu mengadukan seluruh kegundahan yang selama ini ia
pendam, rasa cinta terhadap seorang ikhwan tersimpan dalam diam. Hanya satu
doanya terkait hal itu, “Jika memang ia di takdirkan untuk menjadi imamku,
maka satukanlah kami dalam ikatan tali pernikahan nan suci. Tak rela jika hati
ini harus terkotori dengan umbaran janji yang tak pasti.”
***
Cangkir kopi masih tergeletak di atas meja, tumpukan kertas tercecer tak
beraturan, seorang pemuda terkapar kelelahan. Tak lama kemudian, adzan subuh
berkumandang memecah keheningan di penghujung malam. Perlahan mata
Rangga terbuka masih dengan kacamata minus yang belum sempat dilepasnya.
“Astagfirullah... Tugas!!!”
***
Pun sebaliknya, jika memang tak ditakdirkan, sekeras apapun kita mengejar,
tetap akan menjauh walau perlahan.
Rangkaian kata pelipur lara, penyembuh goresan luka di dada. Rangga
menghembuskan nafas lega setelah membaca tulisan Rida.
***
Jika aku lengah tuk menjaga, kemungkinan besar aku akan kalut dalam buaian
cinta semu yang dapat menggoyahkan kekokohan benteng hatiku.
Aku masih setia tuk menjaga, menjaga cinta dalam dada, hingga tiba hari di
mana kau akan memilikinya.
Buku biru itu terbuka, terungkap sudah satu rahasia di dalamnya. Rida
menyebutnya, “Catatan Dalam Sebuah Penantian.” Tiga tahun sudah ia menjaga
hati, memantaskan diri, dan tidak berinteraksi dengan laki-laki. Jera dengan
pengalaman masa lalu, saat Rangga memintanya untuk menunggu sekaligus
mengumbar janji semu.
“Perempuan baik tak butuh janji, hanya perlu bukti jika benar-benar
serius untuk mencintai!” Kalimat ini seolah terpatri dalam sanubari.
Tiga tahun berlalu, ketenaran tak membuat gadis berusia 24-an itu lupa
daratan, tak melambungkannya walaupun acap kali diminta untuk mengisi acara
seminar kepenulisan. Sifat rendah hati telah terpatri sebagai pondasi dalam diri.
Sudah fitrah manusia memiliki rasa cinta, namun cinta hakiki hanya dimiliki
mereka yang dapat menjaga hati, mengontrol diri agar hawa nafsu terkendali.
Diam-diam hati Rida mulai merindukan sosok orang yang akan memberinya
perlindungan, hatinya mulai gusar, secercah harapan masih tersimpan, dan nama
Rangga Putra Sanjaya masih terselip dalam doa. Tetapi apa mau dikata, takdir
yang akan berbicara.
***
Suara tangis anak laki-laki berusia sekitar tiga tahunan itu semakin
keras, perempuan dengan rambut hitam yang tergerai lebat berusaha
menenangkan.
“Ngga, tolong antar Fatih ke toko buku sebentar ya, ada rapat dadakan
nih,” ucapnya kepada seorang laki-laki berdasi yang tengah duduk santai di atas
kursi menikmati secangkir kopi. Piring di atas meja telah kosong tak bersisa,
potongan terakhir sandwich telah dihabiskannya.
Tak sampai satu jam, bangunan berisikan banyak buku yang dijual telah
menumpu pandangan. Mata Rangga menelisik dalam, membaca tulisan di atas
pamflet-pamflet yang terpampang di depan toko buku, menyambut lalu lalang
orang-orang yang berdatangan. Sejenak ia terdiam, pikirannya berusaha memutar
memori, nama penulis novel Diary Kehidupan itu seperti tak asing lagi.
“Rida...” serak suara memanggil nama sang novelis yang tengah asyik
membubuhkan tanda tangan di atas karya terbarunya. Kepalanya menengadah,
mencari asal suara yang memanggilnya, rona keceriaan memudar seketika, antara
percaya dan tidak percaya melihat kembali wajah seseorang yang diam-diam ia
rindukan.
***
Laptop warna biru muda menyala, akhirnya novel terbaru karya Farida
Nisa yang berjudul Catatan Dalam Sebuah Penantian telah tiba di penghujung
jalan, ending dari cerita telah Rida tetapkan. Novel yang menceritakan tentang
realita kehidupan, serta lika-liku dalam sebuah penantian dari sang empu.
Telisik mata menyusuri rangkaian kata pada halaman word di layar laptopnya.
Jemari yang sedari tadi terus menari di atas keyboard, tiba-tiba terhenti, Rida
melepas bingkai kacamata, memijit kening yang mulai pening.
Sejatinya, tidak ada kesia-siaan dalam sebuah penantian. Cukup gunakan waktu
menunggu untuk melakukan hal-hal yang baru, merealisasikan mimpi dan
mengukir prestasi. (Farida Nisa)
***
“Eh nduk, sudah pulang. Ini, Ayah mengadakan jamuan makan untuk
teman kantor,” dentingan teflon dan spatula saling beradu di sela-sela
percakapan, senyuman tersirat di wajah Ibunya yang sudah mulai banyak
kerutan. Gadis itu sedikit mengulum bibirnya, seakan tahu maksud dari jamuan
makan yang Ibunya bicarakan.
***
Jam dinding menunjukkan pukul empat, para tamu yang sengaja Ayah
Rida undang telah datang. Ruang tamu riuh dengan gelak tawa, dua orang laki-
laki berkemeja rapi, dan satu orang perempuan berambut panjang yang
merupakan teman kantor Pak Arif, Ayah Rida, tengah asyik bercengkerama
seputar pekerjaan.
Rida telah rapi dengan gamis ungu muda dan kerudung senada yang telah
disiapkan Ibunya. Ia menghela nafas panjang, wajah cantiknya menyiratkan
kecemasan, jantungnya berdegup kencang.
Bismillah... Rida telah pasrah, hanya berharap dirinya tidak akan menemukan
orang yang salah.
***
“Ya Allah.. Mas Rangga, anak kita lincah sekali,” ucap perempuan
berjilbab putih panjang masih dengan nafas tersenggal. Rangga melemparkan
senyuman, “Persis sama mamanya, Farida Nisa. Iya kan sayang?” ucapnya
sembari mengangkat Farid ke atas pangkuan. Rida terkekeh mendengar jawaban
suaminya.
Senja datang menyapa, semburat mega memperindah suasana, putra kecil
mereka tengah asyik menikmati biskuit di tangannya.
“Kamu ingat nggak Da, waktu dulu kita bertemu kembali setelah sekian
lama?” ucap Rangga bernostalgia.
Jika hati telah pasrah dan sungguh-sungguh untuk berhijrah, jangan resah,
karena skenario Allah jauh lebih indah. (Farida Nisa)
-TAMAT-
RENUNGAN DI KALA PETANG
Saat itu, kira-kira sepuluh tahun yang lalu, dari sanalah bermula seluruh
kisahku.
***
***
“Najma, kamu sudah yakin dengan pilihanmu? Apa ndak sayang sama
tawaran masuk ke Universitas negeri?” Suara parau Ayah memecah keheningan
di meja makan. Mata tajam Ayah menatapku heran mengingat keinginanku yang
sudah bulat dan tak dapat di ganggu gugat, yaitu kuliah di Universitas berbasis
pesantren.
***
***
Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Hari-hari kulewati dengan mudah,
dan yang paling penting kesemangatanku semakin bertambah. Padatnya kegiatan
hingga nonstop 24 jam terkadang membuatku kewalahan, namun sebisa mungkin
aku menyeimbangkan antara kegiatan akademik dan non-akademik. Aku selalu
ingat pesan Ibu, “Jangan kesampingkan hal yang seharusnya menjadi prioritas.
Pandai-pandailah dalam mengatur waktu.”
Aku pun menoleh dan mencari asal suara, nampak Ida, sahabat karibku
tengah tergopoh berlari ke arahku.
“Limaa tajriina? While I can know about it later (Lagian kamu ngapain
sih lari-lari? Ntar juga aku bisa tahu sendiri),” ucapku sembari menyeringai
lebar.
“That's you. Not change, same as previous, never know how to say thanks,”
ketusnya pura-pura kesal. Komunikasi keseharian kami memang menggunakan
dua bahasa pengantar, yaitu Arab dan Inggris.
***
***
Pukul sebelas siang, acara berjalan dengan lancar. Kesan pertama yang
disampaikan Duta Besar Jerman untuk Indonesia kepada UNIDA adalah rasa
kagum dengan sistemnya yang begitu tertata. Hanya Universitas pesantren yang
memiliki sistem pendidikan full time 24 jam, karena bukan sekedar pendidikan
dalam perkuliahan yang diberikan, namun kegiatan sosial di luar perkuliahan
juga diajarkan. Semua serba terjadwal, konsep kesederhanaan tetap menjadi
semboyan dalam kehidupan, peraturan disamaratakan, tidak ada perbedaan
antara anak menteri dan anak petani, jika melanggar, maka sama-sama akan
diberikan sanksi. Mu’amalah sesama teman dan tata krama terhadap orang yang
lebih tua juga harus dipraktekan dalam keseharian, bukan sekedar teori yang
hanya mengendap dalam pikiran.
“At least, I wanna make a student exchange between UNIDA and Freie
Universität Berlin for one month. I need two students to being the delegation for
this agenda.” Kata beliau dengan bangga, diiringi tepuk tangan meriah dari
seluruh hadirin yang ada di aula.
Pergi ke jantung kota Eropa adalah salah satu impianku, impian untuk
menyusuri jejak kejayaan Islam. Miris hati ini jika teringat kembali perampasan
dan pengakuan karya-karya para ilmuwan muslim yang disekulerkan oleh
peradaban Barat. Mereka beranggapan bahwa ilmu pengetahuan tidak ada
sangkut pautnya dengan agama, sehingga dengan tamaknya mereka menciptakan
sesuatu untuk menghancurkan demi berebut kekuasaan. Lihat saja teror bom di
Palestina dan Suriah yang terus menerus menumpahkan darah, menghilangkan
banyak nyawa yang tidak bersalah.
Dengan tekad bulat dan niat kuat aku mengikuti seleksi, berharap salah
satu mimpiku dapat terealisasi. Namun ada kalanya keinginan tidak sesuai
dengan kenyataan, pada tes wawancara aku gagal, karena pertukaran pelajar
akan diadakan secepatnya, dan paspor menjadi syarat utama. Aku menghela nafas
panjang, berusaha tegar menyembunyikan kekecewaan.
***
“Masih banyak kesempatan Najma, dan kesempatan itu takkan pernah ada
jika kamu tidak berusaha mewujudkannya!!” Teriak Ida diiringi suara guntur
dan petir yang begitu memekikkan telinga.
Aku hanya terdiam, merenungi kesalahan yang telah aku lakukan. Ya,
tenggelam dalam kesedihan hanya karena hal sepele adalah sifat yang harus
kuhilangkan. Mungkin memang benar, segala hal yang kulakukan selama ini
selalu sempurna. Kontribusi prestasi dalam bentuk tulisan yang selama ini aku
berikan, hampir seluruhnya menjadi kebanggaan.
Sore itu telah menjadi saksi bisu akan renunganku. Api semangat yang
hampir saja padam kembali berkobar. Aku pun tersenyum menatap Ida seraya
berkata, “Terimakasih banyak teman, karena selalu ada di sisiku kala suka
maupun duka.”
***
Aula kampus pusat UNIDA dipenuhi para mahasiswa bertoga, hari itu
adalah ganjaran atas kerja keras mereka menuntaskan jenjang sarjana, ya,
wisuda. Kurang lebih empat tahun lamanya mereka berkutat dengan tugas-tugas
perkuliahan serta eksperimental yang begitu menguras tenaga serta pikiran, dan
di hari itulah seolah semua terbayar.
“Saya bangga dengan salah satu mahasiswa UNIDA,” ucap beliau di sela-
sela sambutan.
***
Malam semakin larut, tak terasa proyek cerita yang telah kukerjakan
sejak lama akhirnya selesai juga. Tiket pesawat garuda Indonesia tergeletak di
atas meja, besok sore adalah waktu penerbanganku untuk pulang ke Jerman. Ya,
sekarang aku adalah dosen tetap di Freie Universität Berlin. Ternyata benar kata
dosenku dulu “No one knows about the future.”
Ahmed : Liebe, seien sie vorsichtig auf dem weg. Schnell zurück nach
Berlin, so scheint es Fahma seine Mutter vermisst (Cinta, hati-hati di
jalan. Cepat kembali ke Berlin, tampaknya Fahma sangat merindukan
Ibunya).
Ponsel yang tergeletak di atas meja kerja bergetar, satu pesan terpampang pada
nyala layar.
Najma : Oh, so einfach Fahma die vermisst seine Mutter. Was Ahmed
entging ihr nicht ??? Gut, morgen sehen, keinen lieblings rendang gericht
auf dem tisch (Oh, jadi hanya Fahma yang merindukan Ibunya. Apa
Ahmed tidak merindukan istrinya??? Fine, lihat saja besok, tidak ada
sajian rendang kesukaanmu di meja makan)
Ahmed : Schnell zurück liebe, ich will rendang zu essen (Cepat kembali
cinta, aku ingin makan rendang) *\(^_^)/*
Pesan balasan datang beruntutan, aku hanya tertawa membaca pesan ketiga yang
dikirimkannya.
Sepertiga malam, waktu dimana banyak mata memilih untuk terpejam
daripada mengambil air wudhu dan terbalut kedinginan. Di atas sajadah
panjang, kubenamkan wajah dalam sujud panjang. Air mataku bercucuran saat
mengingat betapa besar kenikmatan yang telah Allah berikan. Betapa angkuhnya
manusia jika sampai melupakan Rabb-nya, Dzat yang telah menciptakan dunia
beserta seluruh isinya. Berpasrah hanya jika tertimpa musibah. Na’udzubillah.
-TAMAT-
KANVAS SANG PENCIPTA
Lima tahun sudah, namun tiada yang berubah. Suasananya tetap sama
seperti sedia kala, dimana air mata meleleh mengiringi kepergianku untuk
meraih cita-cita. Berat sekali rasanya harus berpisah dengan keluarga, namun
apa daya aku adalah tulang punggung keluarga, tak patut rasanya bila hanya
menghidupi mereka ala kadarnya. Untuk itu, kuwujudkan angan yang selama ini
aku pendam.
***
***
Aku berhenti, tidak kuat lagi rasanya untuk berlari. Kuletakkan tas besar
disisi jembatan yang menghubungkan antara dua pedesaan. Tatapanku nanar,
sejenak kuistirahatkan tubuh ini yang sejak tadi tak henti-hentinya berlari.
Pikiranku melayang mengingat peristiwa-peristiwa tak terlupakan beberapa
tahun silam.
***
***
Aku berhenti sejenak di depan rumah yang jauh dari kata mewah namun
selalu dialiri berkah. “Bismillah...” ucapku lirih seraya memasuki halaman
rumah Pak Kyai. Sepoi angin menyapu dedaunan yang berguguran di halaman.
Perlahan namun pasti, kuucapkan salam sambil menunggu tuan rumah
membukakan pintu.
Suasana ruang tamu kala itu sangat kaku, wajah Pak Kyai berbeda dari
biasanya, raut wajahnya nampak muram, mungkin karena banyak hal yang
beliau pikirkan. "Begini Wan.." kata beliau memulai percakapan. "Saya minta
tolong sama kamu, besok datanglah ke rumah Pak Burhan untuk membimbing
keluarganya mendalami ajaran Islam yang benar, kamu adalah orang pilihan
Wan, jadi Bapak harap kamu jangan sampai mengecewakan. Deg! Mulutku
bungkam setelah mendengar nama Pak Burhan disebutkan. Hatiku sempat ragu,
mampukah diriku mengemban amanah yang telah Pak Kyai percayakan?
***
***
Baju koko biru dan celana hitam panjang aku kenakan, setidaknya dari
segi penampilan sudah mendapat nilai tambahan dari seorang Pak Burhan, orang
terpandang di Kecamatan. Pesan Pak Kyai selalu terngiang, aku bukanlah
seorang pecundang, untuk itu aku tidak boleh gagal dan mengecewakan. Aku
dilahirkan untuk menjadi seorang pejuang, pejuang sejati tidak akan gentar
dengan ribuan permasalahan yang akan dihadapi. Berani mati demi menegakkan
panji Islam. “Bismillah,” ucapku optimis sambil mengayuh sepeda menuju rumah
Pak Burhan.
***
"Ooh, kamu ternyata murid kebanggaan Kyai Latif?" sahut Pak Burhan
dengan senyum yang mengembang.
Istri dan dua putri Pak Burhan tengah duduk rapi di atas kursi
menungguku sedari tadi. Betapa tekejutnya aku saat melihat kembali wajah
rupawan pagi tadi. Ternyata perempuan itu putri Pak Burhan, entah suatu
kebetulan atau memang sudah ditakdirkan, aku merasa sangat bahagia karena
dapat bertemu kembali dengannya.
Dengan raut wajah datar dan nada bicara sopan aku menjawab
“Alhamdulillah Pak, saya sudah enam tahun mondok, dan sekarang sedang
menjalani masa pengabdian mengajar di Al-Barokah sebagai guru.”
“Oo... begitu,” sahut Bapak dua orang anak ini sambil menganggukkan
kepala pelan tanda mengerti. Diambilnya kembali secangkir secangkir kopi yang
masih mengepul di hadapannya. “Apa Mas Irwan ada rencana untuk menikah?”
celetuk Pak Burhan tanpa basa-basi. Spontan aku tersedak minuman yang baru
saja masuk ke tenggorokan mendengar pertanyaan yang mungkin orang lain
anggap normal.
Aku berusaha tenang seakan tidak ada yang terjadi. Hanya senyuman
yang dapat aku berikan sebelum menjawab pertanyaan itu, “ Belum bertemu
jodoh Pak,” sahutku sekenanya. Beliau hanya tertawa melihatku salah tingkah
menjawab pertanyaannya.
“Saya pulang dulu Pak, semoga ilmu yang kita pelajari hari ini
bermanfaat,” ucapku seraya menjabat tangan beliau lalu beranjak keluar rumah
diikuti Rani.
***
Pak Burhan tersenyum lebar, begitu pula dengan dua orang di sebelahnya.
Sekarang giliran Pak Burhan untuk angkat bicara, “Irwan, maukah kamu
menjagakan anak saya, Rani? Tentunya dalam sebuah ikatan tali pernikahan.”
***
Sorban putih melingkar di leher Pak Kyai, menjadi ciri khas tersendiri
dan mudah untuk dikenali. "Sudah siap Wan?" tanya beliau kepadaku yang sejak
tadi terpaku menunggu. Segera aku tersadar dari lamunanku mendengar
pertanyataan itu, "in syaAllah Pak saya siap" jawabku mantap, mata kami saling
bertatap. "Alhamdulillah, kalo begitu mari disegerakan saja kebaikan yang telah
kita niatkan." Beliau menepuk pundakku.
Hari ini akan menjadi salah satu hari bersejarah yang tak dapat
kulupakan. Hari dimana aku akan melamar langsung gadis yang baru saja aku
kenal dalam kurun waktu tidak lebih dari satu minggu.
Sambutan Pak Burhan begitu hangat aku rasakan, pakaian beliau rapi
disertai peci hitam menutupi rambutnya yang mulai berubah keperakan.
Senyumnya lebar, begitu pula perempuan berjilbab coklat disisinya yang tak lain
adalah Bu Burhan. Rasa-rasanya begitu singkat proses ta'aruf yang aku jalani,
tetapi jika hati sudah dapat diajak kompromi, untuk apa berlama-lama menanti
sesuatu yang sudah pasti? Suatu kebaikan harus disegerakan, tukasku dalam hati.
Percakapan berlangsung lama, inti dari kedatangan kami bersilaturahmi kesini
belum juga disampaikan oleh Pak Kyai. Aku hanya menyimak percakapan,
seketika wajahku menegang setelah paras rupawan tiba membawakan hidangan.
Allahu akbar... wajahnya memancarkan cahaya iman. Aku begitu terpesona
melihat keanggunannya, sampai lupa kalau aku belum halal untuk
memandangnya. Aku segera mengalihkan pandangan kepada Pak Burhan.
Wajahnya tertunduk malu, tangannya sibuk memindahkan hidangan dari atas
nampan. Sesaat kemudian meja di depanku penuh dengan hidangan berupa
gorengan dan kue-kuean.
"Pak Kyai, Mas Irwan, silahkan dicicipi jajanan buatan Rani," senyum
beliau mengembang. "Dari pagi dia sibuk sendiri di dapur, mau latihan masak
katanya," ungkapan Pak Burhan sukses membuat wajah Rani yang duduk di
sebelah Ibunya berona kemerahan, aku tersenyum lebar, seakan gelak tawa akan
keluar apabila aku tidak dapat mengendalikan.
Tanpa ragu Rani menjawab "Jujur mas, belum ada cinta yang dapat aku
berikan untukmu saat ini, cintaku belum dapat kubagi karena antum masih
belum hahal untuk kucintai." Ia diam sejenak sebelum melanjutkan jawabannya
kembali, "Meskipun nantinya antum sudah halal untuk kucintai, tapi tetap saja
cintaku kepada Sang Pencipta akan lebih besar dibandingkan kecintaanku pada
seorang hamba," tukasnya mengakhiri kata-kata.
***
Sore ini aku pergi bersama Gita dan Rani, berjalan menikmati indahnya
pemandangan taman kota di sore hari. Sesaat kemudian hal memalukan terjadi,
perut yang sedari pagi belum kuisi berbunyi. Anggita yang berjalan didepanku
membalikkan badan, "Mas Irwan lapar? Makan yuk kak Ran, Gita lapar..."
rengeknya kepada Rani yang juga ikut berhenti. Kami bertiga saling
berpandangan sebelum akhirnya Rani mengiyakan permintaan adiknya
tersayang.
Masakan padang menjadi tujuan utama. Aku, Rani dan Gita duduk satu
meja. Sambil menunggu pesanan tiba, kami bertiga asyik bercanda. Saat itu
Anggita yang baru saja lulus SMA menceritakan perihal pengalaman uniknya
dan berhasil mencairkan suasana dengan membuat kami tertawa. Kepribadian
Rani dan Gita memang sedikit berbeda. Sang kakak cenderung menghemat kata
yang keluar dari mulutnya, sedangkan Gita justru sebaliknya, banyak bicara.
***
Sore ini begitu tenang, kuambil buku bertuliskan Kunci Bahagia yang
tergeletak di atas meja. Burung-burung berkicauan, berbondong-bondong untuk
kembali ke sarang. Pak Kyai memberiku cuti panjang menjelang hari-H
pernikahan. Agak bosan memang, tetapi waktu dalam kehidupan begitu mahal,
sehingga merugilah orang-orang yang membiarkan waktunya berlalu begitu saja
dan terbuang sia-sia. Untuk itu aku harus memanfaatkan waktu sebaik-baiknya,
salah satunya adalah mengenal dunia dengan cara membaca. Dengan membaca,
aku tahu tentang negara-negara di seluruh penjuru dunia tanpa harus datang
langsung ke tempatnya. "Bila kamu ingin mengenal dunia, maka membacalah!
Bila kamu ingin dikenal dunia, maka menulislah! Bila kamu ingin memimpin
dunia, maka berilmulah!" kata-kata ini selalu menjadi motivasi yang tertanam
dalam diri, dan inilah kata-kata Pak Kyai. Subhanallah.
"Ya Allah, apa salah hambaMu ini? Tak pantaskah hamba untuk
mencintai?" ucapku sambil terisak-isak sehingga tidak seorangpun mengetahui
pertanyaan tak pantasku ini termasuk Pak Kyai. Hatiku terasa sakit sekali, aku
sangat berharap semua ini hanyalah sebuah mimpi.
***
Tiga hari berlalu, aku masih larut dalam kesedihan yang teramat dalam,
luka di dada tak kunjung reda. Seketika aku teringat pada sebuah hadits yang
menerangkan tentang hukum meratapi orang mati. Hadits itu berbunyi:
***
***
Jarum jam menunjuk angka tiga, kami berdua larut dalam doa. Seperti
biasa, udara malam menusuk hingga ke tulang, namun keheningan sudah tidak
begitu aku rasakan karena kini aku tak sendiri lagi. Pernikahan kami memang
diawali dengan masalah yang datang bertubi-tubi, namun ini tidak menjadi suatu
penghalang bagi kami untuk terus merajut mimpi dan memperkokoh pondasi
rumah tangga ke depannya. Langkah awal yang harus kami tempuh adalah
dengan banyak bersabar dan bertawakal agar Allah senantiasa memberikan jalan
sekaligus kemudahan dalam melalui segala cobaan. Aku percaya bahwa Allah
tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya.
Pagi ini kumulai kembali aktivitas sehari-hari yang sudah lama terhenti.
Gita sibuk berkutat dengan peralatan dapurnya, menyiapkan sarapan untuk kami
berdua. Seperti biasa, kukenakan kemeja dan celana panjang yang telah
distandarkan oleh Pesantren tempatku mengaplikasikan ilmu.
Tak berselang lama, sarapan sudah tersusun rapi di atas meja. Kami
duduk berhadapan. "Mas Irwan.." panggilnya sembari mengisikan piringku
dengan nasi.
"Iya dek, ada apa?" sahutku menatap wajahnya, sembab di matanya sudah
tak tersisa. Sifat periangnya perlahan mulai kembali, senyuman di wajahnya
membuatku lega. "Terimakasih.. atas kesabaran antum dalam membimbing Gita."
Matanya berkaca-kaca, tangisnya pecah seketika sebelum sempat melanjutkan
kata-katanya.
***
"Dek, Mas Irwan itu laki-laki sholeh. Kakak banyak belajar darinya,
belajar tentang memaknai kehidupan serta agama tentunya. Untuk itu kakak
berharap kamu juga belajar seperti kakak kepada Mas Irwan, dan jangan sampai
kamu mengecewakan." Gita hanya mengangguk pelan, ia tak sadar bahwa itu
adalah kata-kata terakhir yang diucapkan kakaknya.
***
Dua bulan sudah kami hidup bersama, berbagai rintangan telah kami
lewati berdua. Gita sama sekali tidak mengeluhkan kehidupan barunya yang
terlampau sederhana, ia begitu khidmat dan bersemangat dalam belajar ilmu
agama.
Aku menghela nafas panjang, kali pertama aku membuka kotak simpanan
berisi uang yang kukumpulkan tiap awal bulan. Aku mulai sadar, sadar bahwa
aku butuh uang tambahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Pendapatanku tiap bulannya tidak seberapa dan kini aku hidup berdua. Siang itu
aku terlalu larut dalam pikiran, sampai-sampai tak sadar Gita sedari tadi
memperhatikan.
Aku segera tersadar dan mencari asal suara. “Tidak dek,” jawabku lesu.
***
Keheningan malam mulai kurasa, aku duduk berdua dengan Gita.
Kucurahkan segala kegundahan dalam dada kepadanya.
***
Mentari pagi masih belum menampakkan diri, hari ini aku akan pergi
bekerja ke luar negeri, Malaysia menjadi tujuan utama karena banyak teman
yang tinggal di sana baik untuk bekerja maupun untuk melanjutkan jenjang
pendidikan mereka. Alhamdulillah mertuaku tidak keberatan atas keputusan
yang telah kami sepakati, untuk sementara waktu Gita ditemani oleh Ibu. Hari
itu adalah terakhir kalinya aku melihat wajahnya, tak tega rasanya
meninggalkan Gita yang sedang hamil muda, namun apa daya karena ini juga
untuk masa depan kami bersama nantinya, kuserahkan segalanya kepada Sang
Pencipta, sebagai seorang hamba aku hanya dapat berusaha mewujudkan apa
yang telah aku cita-citakan.
***
"Om, Ata pulang dulu ya, Ibu sudah nunggu," tegurnya membuyarkan
lamunan.
"Itu rumah Ata om," tunjuk jari mungilnya kearah sebuah rumah. Aku
berhenti, berdiri mematung. Mulutku bungkam, tak mampu mengucap perkataan.
Tanganku gemetar melihat sebuah pemandangan yang mencampur adukkan
perasaanku. Tas besar dan sepeda mini kugeletakkan begitu saja, tubuh kecil Ata
naik turun diatas punggungku seirama dengan derap langkah yang kecepatannya
semakin lama semakin bertambah.
-TAMAT-
KUPELUK ENGKAU DALAM SUJUDKU
Kenangan indah itu tak akan pernah luput dari ingatan, kenangan yang
tersirat dua tahun silam. Mataku berkaca-kaca setiap kali melihat bingkai foto
yang terpajang di meja belajar.
***
Sebuah kata bijak tersirat dalam relung kalbu, “Menjadi wanita itu
kehendak Allah, menjadi cantik itu relatif, menjadi muslimah itu anugrah,
tetapi menjadi muslimah yang sholehah itu pilihan.” Mulai sekarang telah
kuputuskan untuk tak hanya sekedar menjadi muslimah, namun juga muslimah
yang sholehah. Karena, semakin kuat niatan seseorang untuk kebaikan, maka
semakin besar pula ganjaran yang akan ia dapatkan. Hal ini apabila
digambarkan dalam struktur pemerintahan, bak tanggung jawab seorang atasan
yang jauh lebih besar dari bawahan, akan tetapi upah yang ia dapatkan juga
sepadan dengan apa yang ia kerjakan. Konsistensi dalam pengendalian hati dan
pikiran pada niatan tinggi penerapan hukum Islam memang tidak mudah, namun
apabila niat dan tekad sudah bulat, seakan topan badai tak dapat merobohkan
kekokohan hati yang telah mantap.
Fyuh... kuatur nafas yang sudah tak beraturan, kuseka keringat yang
mengucur di dahi dengan sapu tangan. Tiba-tiba kelas yang semula ramai
menjadi hening bak keheningan malam. Kutengadahkan kepalaku yang semula
menunduk, seorang laki-laki berjas hitam dengan kemeja biru dan dasi serasi
berdiri di depan kami dengan wajah teduh disertai senyuman manis yang
menghiasi. Ternyata beliau adalah dosen pengganti, karena Pak Rizal sudah
sepuh beliau memutuskan untuk pensiun dan mengutus putranya untuk
melanjutkan amanah yang belum sempat terselesaikan.
Dalam setiap kajian, akan ada kata-kata singkat penuh makna yang
selalu terngiang. Salah satunya adalah “Zina yang paling sulit dihindari dan
hanya sedikit manusia yang selamat dari padanya adalah zina mata.” Segera
kutundukan kembali kepalaku dan beristighfar dalam hati. Selama ini, mataku
lebih sering menatap tanah dan alas kaki orang-orang ketika berjalan, hingga
pernah tidak bertegur sapa dengan orang yang kukenal, namun hal ini tidak
masalah apabila zina itu dapat dihindarkan.
***
Pagi ini aku bangun lebih awal dari biasanya, kukeluarkan semua isi
tasku untuk mencari flashdisk yang berisi rancangan skripsi. Setelah semua
berantakan, baru kusadari belum mencabutnya dari laptop akibat begadang dan
akhirnya ketiduran kemarin malam. Segera kupersiapkan bahan yang akan
kukonsultasikan dengan dosen pembimbing skripsiku.
Ya! Muhammad Farid Anwar, itulah awal aku bertemu dengan suamiku
yang tidak lain adalah dosenku. Skenario pertemuan yang tidak dapat
dibayangkan, sungguh diluar dugaan. Allah berfirman dalam Al-Qur’an,
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang
keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik
adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-
wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang
dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki
yang mulia (surga)”(QS An-nur:26).
***
Pertemuan keluarga akan digelar malam ini. Aku sempat merajuk karena
Ibu tidak memberitahu sebelumnya dan meminta persetujuanku. Namun apa
daya, kuturuti saja permintaan mereka, aku yakin sepenuhnya dengan pilihan
orang tua, Insyaallah yang terbaik. Gamis biru dengan motif kotak-kotak nan
anggun kukenakan malam ini, kumantapkan hati dengan menatap wajah sendiri
di depan cermin. Beberapa saat kemudian, terdengar suara Ibu memanggilku dari
balik pintu.
***
Bak raja dan ratu, kami duduk di pelaminan dalam acara resepsi yang
diselenggarakan di gedung pertemuan hotel Cakra Mandala. Suasana haru dan
bahagia meliputi keluarga kami, khususnya keluargaku yang harus melepaskan
anak perempuan mereka mengikuti suaminya. Ayah memelukku erat seakan
enggan untuk melepasku. Namun begitulah hukum kehidupan yang beredar,
dimana suatu saat seorang Ayah harus rela menjadi sosok lelaki kedua yang
melindungi putri tercinta setelah suaminya.
***
Suatu ketika aku bertanya kepadanya setelah menikah, “Mas, kok bisa
tahu rumahku?”
“Aku kan dosen kamu. Yaa tinggal lihat aja di data mahasiswa,” ucapnya
sembari menyeringai lebar. Ia tertawa melihat wajahku berekspresi sebal.
Mas Farid tersenyum, “Inilah skenario yang telah ditetapkan oleh Allah
perihal jodoh.”
***
Dua bulan hidup bersamanya aku merasa sangat bahagia. Hingga sempat
tak terpikir olehku, hidup di dunia hanyalah sementara dan kebahagiaan di
dalamnya bersifat fana.
***
Kulihat tubuhnya yang terbujur di atas bed ambulan. Melihat darah yang
terus mengalir dari pelipis dan nafasnya yang sudah tak beraturan, kutahan
butiran bening keluar dari ujung mata. Dadaku sesak menahan tangis,
kufokuskan sisa kekuatan untuk menuntunnya mengucapkan dua kalimat
syahadat di telinganya. Kudengar jelas bibirnya mengucap dua kalimat syahadat
dengan suara lirih dan lancar.
***
Aku berharap mimpi buruk ini akan segera berakhir. Kubuka mataku
perlahan, kulihat di sekelilingku peralatan medis tertata rapi dan jarum infus
menancap di tangan kananku. Kupegang sisi bangsal untuk menyeimbangkan
posisi dudukku, kepalaku pening. Kini aku sadar bahwa semua ini bukanlah
mimpi, segera kucabut jarum infus dan berlari mencari suamiku.
***
***
***
***
“Miftahuz Zayanah, coba jawab pertanyaan saya sesuai yang anti tahu!”
perintah Ahmad kepada Ana, gadis manis yang selalu menempati peringkat
pertama di kelasnya. Namun tak disangka perempuan dengan jilbab lebar itu
menjawabnya dengan benar. Ana memang seorang yang pemalu, jadi ia tidak
berani mengangkat tangannya ketika Ahmad mengajukan pertanyaan. Senyuman
tipis tersirat di wajah Ahmad, tetapi Ana langsung menundukkan pandangannya
tanpa membalas senyuman gurunya itu. Itulah pertama kalinya ia melirik
seorang wanita dan tanpa ia sadari, ia menaruh hati padanya.
***
Limpahan rasa rindu dua sahabat yang enam tahun tidak bertemu itupun
meluap sampai tak sadar perbincangan mereka harus berakhir di depan rumah
Ahmad yang berjarak delapan ratus meter dari masjid.
“Assalamu’alaikum.”
“Sudah Bu,” jawabnya sembari mencium tangan keriput seorang Ibu yang
penuh berkah.
“Ibu... jodoh, maut, rezeki itu sudah diatur Allah. Kalau sudah saatnya,
maka tidak ada satupun hal yang akan menghalangi kecuali yang menentukan
takdir itu sendiri. Jadi, Ibu tidak usah khawatir dan jangan bilang seperti itu
ya...” Jawab Ahmad dengan senyuman kepada Ibunda tercintanya sembari
membenarkan selimut hingga ke dada. Mata sang Ibu berkaca-kaca seakan
memang keinginannya itu sudah tidak dapat ia bendung lagi sebelum ajal benar-
benar menjemputnya.
***
***
***
“Saya sudah menganggap kamu seperti anak saya sendiri, kalau kamu
yakin atas pilihanmu in syaAllah itu akan menjadi yang terbaik untukmu, kalau
kamu belum yakin, jalan satu-satunya adalah sholat istikharah. Minta petunjuk
pada Allah, kalau memang itu jodohmu bagaimanapun caranya pasti akan
bertemu, jadi tidak usah khawatir.” Nasehat Pak Kyai menyadarkannya akan
pentingnya kesabaran dan kehati-hatian dalam mengambil keputusan yang pasti
dan tidak meleset.
“Baik kalau begitu persiapkan dirimu untuk berangkat sekitar tiga bulan
lagi, Bapak percaya padamu,” sambil menepuk-nepuk pundak Ahmad.
***
(Ya Allah.. tetap teguhkan keimanan hamba-Mu yang lemah ini agar tidak goyah
oleh bisikan setan dengan adanya seseorang yang hamba sukai, sadarkanlah
hamba apabila beliau memang bukan jodoh hamba, maka jauhkanlah kami
sejauh-jauhnya, namun apabila beliau jodoh hamba, satukanlah kami dalam
ikatan tali pernikahan agar kami tidak terpuruk dalam jurang kemaksiatan.
Untuk saat ini, kalau memang belum saatnya kami bersatu, maka jauhkanlah
kami dahulu agar bisikan setan tidak dapat menggoyahkan iman kami).
***
“Oh.. tidak Ustadz, tanpa antum mungkin nilai saya tidak akan seperti
ini,” jawab Ana latah karena kaget gurunya tiba-tiba berada di belakangnya.
“Ah kamu ini, itu kan tidak pernah Ustadz ajarkan, kalau begitu
bersiplah masuk kelas, study hard!” pintanya sambil berlalu. Ana hanya manggut-
manggut dan bergegas menuju kelas.
***
Siang ini, udara terasa sangat panas karena pertengahan musim kemarau
di bulan Agustus. Terik matahari seakan membakar ubun-ubun kepala dalam
perjalanannya menuju kerumah setelah selesai mengajar.
Setelah melewati pintu depan dan mengucapkan salam, tidak ada suara
Ibunya yang biasanya spontan menjawab salamnya. Ia lewati kamar sang Ibu dan
ditemukannya wajah keriput nan pucat sudah terbujur kaku di atas dipan. “Ibu!
Ibu kenapa?” teriak Ahmad sambil mengguncang-guncangkan tubuh Ibunya yang
dingin. “Ibu..! Jangan tinggalkan Ahmad sendiri Bu!” Teriaknya sehingga Pak
Darma tetangganya panik dan langsung menerobos masuk lewat pintu belakang
rumah Ahmad.
“Ahmad! Ada apa? Innalillahi wa ina ilaihi roji’un..” kata Pak Darma
sambil memegang bahu Ahmad yang sedang menangis memeluk tubuh Ibunya
yang kulitnya telah pucat. Sesegera mungkin Pak Darma meminta bantuan para
warga untuk menolong Ahmad yang sedang berduka cita.
“Kami turut berduka nak Ahmad, teguhkan hatimu, in syaAllah Ibu nak
Ahmad bahagia karena memiliki anak sholeh sepertimu. Mari nak kita pulang
bersama, Pak Kyai sudah menunggu dari tadi,” ajak Ayah Ana. Ayah Ana sangat
menyukai kepribadian Ahmad, mulai dari ceramah Ahmad yang sangat
menyentuh hati hingga kecerdasan yang dimilikinya, beliau tidak mendahulukan
materi untuk memandang seseorang, namun kepribadian adalah yang paling
utama untuk diketahui. Maka dari itu ketika Ahmad diberikan cobaan ini, beliau
merasa iba dengan Ahmad sehingga memutuskan untuk menemaninya sesudah
pemakaman hingga kuburan sepi.
“Laki-laki sejati tidak cengeng, tidak gentar akan badai yang menghiruk-
pikukan hidupmu sekalipun, jangan pernah menyalahkan dirimu sendiri, karena
jodoh, maut dan rezeki sudah ada yang mengatur, setelah ini jangan pikirkan
yang telah berlalu, yang lalu ya sudah..biarkan saja beralu karena tangisan dan
penyesalanmu tidak akan pernah membangkitkan kembali Ibumu yang telah
meninggal, tetapi doamu akan memberikan kebahagiaan baginya di sana. Mulai
sekarang pikirkan masa depanmu, kamu ini masih muda jangan kamu sia-siakan
kesempatan yang telah Allah berikan kepadamu, Bapak hanya dapat membantu
untuk mewujudkan cita-citamu dan kamu, adalah penentu dari cita-cita itu
sendiri. Secepatnya kamu persiapkan diri karena lusa adalah hari
keberangkatanmu ke Islamabad, sengaja Bapak majukan agar kamu tidak
tenggelam dalam kesedihan, belajar yang benar disana dan pikirkanlah masa
depanmu. Ya? Kalau begitu Bapak pamit, masih ada urusan di pondok yang
harus segera dikerjakan.” Jelas Pak Kyai dan segera bersiap untuk meninggalkan
rumah Ahmad. Ahmad hanya terdiam dan mengangguk men-iyakan nasehat Pak
Kyai lalu mengantarkan beliau ke depan rumahnya.
***
“Iya Zayanah, doakan ustadz supaya berhasil ya.. dan kamu juga jaga diri
baik-baik, tetap jadi juara kelas, dan sukses. Semoga Allah mempertemukan kita
lagi.” Ana tertegun atas kata-kata Ahmad yang terakhir, apa makna yang
sebenarnya dari kalimat itu, apakah pertemuan antara guru dan murid ataukah
pertemuan jodoh.
“Oh, iya Ustadz semoga; hati-hati ustad, jaga diri antum baik-baik,” kata
Ana yang masih berdiri semabari mengiringi kepergian Ahmad. Seulas senyuman
merekah di wajah mereka berdua yang akan berpisah dalam jangka waktu yang
tidak dapat dipastikan.
***
-TAMAT-
DI AMBANG PENANTIAN
Malam ini aku kembali berjalan seorang diri, menyusuri gang perumahan
yang mulai sepi. Purnama tersenyum menghiasi langit malam bertabur bintang,
memantulkan remang cahaya ke pelupuk mata, sehingga membuat wajah malam
tak nampak begitu gulita. Aku menghentikan langkah, sejenak kepalaku
nenengadah, menatap bulan yang begitu indah.
***
"Nduuk, itu ada undangan dari temenmu, Ria. Ibu nggak nyangka, dia
nikah duluan daripada kamu," Ibu terkekeh sembari menyelesaikan sisa kain
jahitan. Aku hanya tersenyum dan bergegas menuju kamar mengambil undangan
yang Ibu bicarakan.
Riana & Fahri, kedua nama itu tertera di atas kertas undangan berwarna
biru muda berhias ornamen yang memancarkan rona bahagia. Sejenak kulihat
kertas-kertas yang sama tertumpuk di atas meja, dan sekali lagi aku hanya dapat
tersenyum, berusaha mengobati lara yang menyesakkan dada. Berkali-kali Ibu
bertanya, "kamu kapan?" terlebih pada saat memberikan undangan dari teman,
jawaban yang aku berikan tetap sama, tak ada ubahnya, "Nanti lah Bu, kalau
sudah waktunya. Tenang saja Bu, tulang rusuk nggak akan tertukar," tukasku
dengan sebuah candaan yang membuat Ibu menghentikan topik pembicaraan.
***
Sepagi ini aku sudah rapi, bersiap untuk mengajar di sebuah yayasan
pesantren yang jarak tempuhnya lumayan jauh dari tempatku berasal. Tiga jam
perjalanan biasanya kugunakan untuk menulis karangan-karangan cerita yang
kemudian kupublikasikan di dunia maya. Satu pesan seseorang selalu terngiang,
"Kita ini tidak bisa menghindari perkembangan teknologi, tetapi juga tidak boleh
menjadi korban teknologi."
Bu Ima, itulah sapaan anak-anak didikku setiap hari. Keceriaan dan
kepolosan mereka menjadi hiburan tersendiri, mengisi hati yang telah lama sepi.
"Bu Ima, tadi ada yang nyari," seorang anak bermata sipit dan berkulit putih
menarik-narik baju dinasku. Aku yang sedari tadi fokus disalami dan
dikerumuni anak-anak, segera mengalihkan pandangan, menyapanya dengan
senyuman, "siapa dek?" Tangan mungilnya menunjuk ke arah gerbang, seorang
pria berkemeja biru tua nampak berdiri di sana.
"Ima..." suara paraunya menyapa. "Iya A' Aris," aku menjawab dengan nada datar
tanpa sedikitpun expresi kebahagiaan. "Apa kabar? Kok kamu sepertinya gak
senang Aa' datang?" tanyanya dengan nada suara berbeda dari sebelumnya,
merendah seakan penuh tanya. Wanita berjilbab hitam di sebelahnya tersenyum
sembari menyodorkan tangan, "Assalamu'alaikum Mba’... kenalkan, saya adiknya
A' Aris." Aku tercengang, merasa bersalah karena telah berburuk sangka tanpa
kejelasan, meskipun ada hal yang terasa janggal.
Kebahagiaan di benakku kembali meluap, lega rasanya bila ia, orang yang
setiap hari kunanti kedatangannya tak sedikitpun melupakan janji yang terjalin
di antara kami berdua. Janji itu, enam tahun lalu. Aku kembali dengan nampan
berisi minuman sekaligus senyuman yang mengembang.
Tak ada mendung, tak ada hujan, namun kepalaku bak tersambar petir
yang begitu mematikan. Kata-kata itu begitu tajam bagaikan pedang, menebas
seketika perasaan yang telah lama terpendam. Ingin rasanya air mata ini
kujatuhkan, namun aku masih dapat menahan, meskipun sakit sekali rasanya
hati ini.
***
***
***
“Tapi aku ndak tahu, kapan bisa menikmati pemandangan seperti ini lagi,
bersama Fatima yang sangat Aa’ cintai.”
Tak terasa janji itu begitu kuat terpatri dalam benak Fatima, sehingga ia
pun rela bertahun-tahun menanti kekasihnya kembali untuk menepati janji yang
diucapkannya tempo hari.
***
“Maafkan Aa’ Ima, Aa’ sudah menikah,” kata-kata itu selalu terngiang
ditelingaku, menghantui setiap mimpi-mimpi saat mata ini terlelap di malam
hari, begitu menyayat hati begitu mengingatnya kembali.
Nyinyir suara dari dalam diri mencoba memberontak kegalauan yang aku
alami, “Masih pantaskah ia mendapatkan cinta yang selama ini mati-matian
kujaga? Pikirkan lagi Ima!!! Ya Allah, maafkan hamba karena terlalu
mendewakan cinta dan kini harus menelan pahitnya menunggu kepastian yang
tidak tentu. Maafkan hamba karena telah menyalahi takdir-Mu,” dan tak terasa
air mata meleleh di pipi, keheningan di sepertiga malam menjadi saksi
penyesalan yang telah lama terpendam dan entah mengapa aku tidak pernah
sadar, mungkin karena pengaruh setan yang begitu besar.
Aku masih diam, “Maaf kalau kemarin saya mengagetkan, tapi tenang,
saya bukan orang jahat Mba’.” Candanya dengan iringan gelak tawa, seperti dapat
menerka apa yang sedang kurasa.
Dengan terpaksa aku menghadap ke arah suara, dengan raut wajah datar
aku menatapnya yang masih bertahan dengan seringainya dan mengatakan,
“Wa’alaikumussalam, ada yang bisa saya bantu?”
Wajah yang tampak beberapa tahun lebih muda itu merubah ekspresi
wajahnya, kini dengan nada serius ia bicara, “Mm.. saya hanya ingin mengatakan
sesuatu kepada Mba’. Jatuh cinta tidak mutlak setelah memandang rupa, banyak
jalan yang membuat orang jatuh cinta, salah satunya adalah dari membaca.
Mungkin jika dipandang sekilas, tulisan ya hanya tulisan. Namun tidak bagi
mereka yang memahami adanya emosi, emosi yang begitu jelas menggambarkan
isi hati. Mungkin Mba’ Fatima tidak sadar bahwa kita berteman di salah satu
media sosial, tempat dimana Mba’ sering membagikan tulisan-tulisan, karya-
karya yang begitu mengagumkan, saya terkesima dan kini jatuh cinta... kepada
penulisnya. Saya tidak akan mengumbar janji, tetapi saya akan memberikan
bukti dengan melamar Mba’ Fatima, bukankah Agama kita mengajarkan untuk
menyegerakan jika niatan baik telah diutarakan?” Laki-laki itu menutup
pernyataannya dengan sebuah pertanyaan yang membuatku terbungkam, aku
masih terdiam karena semuanya serba dadakan, mungkinkah ini takdir yang
telah Allah tetapkan?
***
-TAMAT-
KENANGAN BERSAMA HUJAN
"Kamu tahu, mimpi itu takkan pernah menjadi kenyataan apabila kamu
sendiri tidak dapat merealisasikan. Kamu bilang akan mewujudkan mimpi itu,
sedangkan kamu sendiri tak pernah mau bangun dari tidurmu, tak pernah mau
mengusir kemalasan yang tertanam di hatimu." Suara itu selalu terngiang di
telingaku, dan jujur, aku sangat rindu.
***
Aku masih santai di tempat dudukku, “Ndah, aku duluan ya,” ucap Kayla
yang telah memahami dengan kebiasaanku berpamitan. Aku hanya
menganggukkan kepala tanpa keluarnya sebuah kata, seulas senyuman bagiku
telah mewakilinya.
Kelas sudah sepi, tinggalah aku seorang diri. Aku mulai menyalin tulisan
yang tertera di papan hitam, mataku memang sudah tidak normal, pandanganku
bisa tiba-tiba buyar dikarenakan minus yang entah mengapa tidak beraturan, jadi
aku harus rela pulang paling akhir sendirian.
***
“Naik angkutan umum kak, seperti biasa, tapi kali ini nunggu hujan
reda,” aku berusaha menyembunyikan kekhawatiran. Ia melirik jam yang
melingkar di pergelangan tangan, raut wajahnya seperti tak tega bila harus
meninggalkan aku seorang diri di jalanan yang teramat sepi.
“Gimana kalau sekarang kita sholat dulu dek, nanti kakak antar kamu
sampai ke rumah. Jam segini kayaknya angkot udah gak ada,” ucapnya berusaha
meyakinkan.
Aku yang sempat ragu tidak dapat menolak tawaran yang ia berikan.
Berdua berboncengan di atas motor matic hitam, mencari masjid terdekat untuk
bersembahyang.
***
Satu tahun berlalu, aku masuk ke kampus yang sama dengan kak Rahma
tetapi jurusan kami berbeda, kak Rahma di Jurusan Sastra dan aku Jurusan
Matematika. Karya-karya kak Rahma begitu mempesona, terkadang cerita-cerita
yang dibuatnya mampu mengalirkan air mata. Beberapa kali namanya tertulis di
majalah kampus dan beberapa cerpennya menyabet juara dalam perlombaan-
perlombaan yang diadakan Fakultas Sastra dan Budaya.
***
Brakk!!!
***
Ketika hujan aku menemukannya, dan ketika hujan pula aku harus rela
melepas kepergiannya. Terimakasih kak Rahma Yulia, kamulah sahabat terbaik
yang pernah ada. Semoga kakak bahagia di alam sana, dan kita dapat bertemu
kembali di surga-Nya. Aamiin.
-TAMAT-
RAPUHNYA BENTENG HATI
***
Kala itu kira-kira empat tahun yang lalu, saat dimana aku berada
dipuncak kelabilan, masih dalam tahap pendewasaan dan belum dapat
sepenuhnya berpikiran matang. Aku berkenalan dengan seorang ikhwan, namun
entah mengapa ada sesuatu yang sangat mengganjal, hatiku gelisah tak karuan,
apakah seperti ini rasanya memendam perasaan kepada seseorang? Tanyaku
dalam hati, mencoba mencari jawaban pasti.
Hari masih pagi, koridor gedung utama kampus masih lekang dari
keramaian mahasiswa. Aku berjalan bersama sahabatku, Nisa. Ia adalah
seseorang yang telah kuanggap sebagai kerabat, dua tahun sudah kami dekat,
lebih tepatnya semenjak aku menginjakkan kaki di tanah rantau ini.
“Da, kamu add facebook Irfan ya. Dia mau kenalan sama kamu katanya,”
pinta Nisa tak berjeda dan membuat langkah kakiku berhenti tiba-tiba.
“Haduh, siapa itu? Pasti kerjaan kamu kan. Gak usah deh bawa-bawa
namaku pas kalian chatting.” tukasku sembari manyun. Nisa hanya tertawa
menanggapinya.
***
Satu per satu tugas kuliah terselesaikan, jam dinding menunjukkan pukul
sepuluh malam, namun mataku tak kunjung terpejam. Dalam diam aku
termenung sendirian, berpikir untuk melakukan suatu hal agar waktuku tidak
sia-sia terbuang. Kaafah Al-Fajri, itulah akun facebook yang kubuat satu tahun
lalu. Tak banyak teman, dalam artian tak sampai berjumlah ribuan, hanya
ratusan dan itupun hanya sebagian yang benar-benar kukenal. Pada saat liburan,
Bapak pernah berpesan, “Kita ini tidak dapat menghindari perkembangan
teknologi, tapi juga tidak boleh menjadi korban dari teknologi. pergunakan dan
manfaatkan saja teknologi secara bijak, agar hanya manfaat yang kita dapat.”
Dari sinilah aku menemukan gagasan untuk terus belajar dan menekuni sebuah
bakat terpendam, khususnya dalam bidang kepenulisan.
Tak lama menunggu, beranda facebook yang dominan dengan warna biru
terbuka, notifikasi tampak menunjukkan beberapa angka. Satu permintaan
pertemanan, Irfan Asadallah send you a friend request. Mataku menelisik tajam,
sepertinya nama itu sudah tak asing lagi di telingaku. Dan benar, dialah Irfan
yang selalu Nisa ceritakan.
***
Namun seiring berjalannya waktu pula, ada yang berbeda dengan Nisa.
Entah mengapa tiba-tiba ia menjadi diam seribu bahasa, bahkan sampai tak
menegur sapa walaupun aku duduk tepat disampingnya. Dalam diam aku berpikir
teramat dalam, jika dapat kutebak hal apa yang sedang Nisa pikirkan, pastilah
hatiku takkan ternaungi kekhawatiran dan pikiranku tidak akan kalut dengan
bejibun pertanyaan, “Mungkinkah aku telah melakukan sebuah kesalahan?”
***
***
Analoginya begini, ada satu jenis barang dijual dalam sebuah toko. Satu
barang sengaja dijadikan sampel oleh si penjual, dan barang lainnya dipajang di
etalase. Salah seorang pembeli memasuki toko, setelah berbincang lama dan
sepakat dengan harga, pembeli itu bertanya, "yang masih bersegel ada?"
Hijrah memang tak mudah, bagi yang berniat hanya setengah-setengah. Jika diri
mau berhijrah secara kaaffah (keseluruhan), aku yakin Allah akan
mempermudah. -TAMAT-
THE FIRE OF LOVE
***
Aku masih termenung seorang diri mencari inspirasi, malam pun kian
larut, namun katup mataku tak kunjung tertutup. Sebagai pendengar setia, aku
banyak belajar dari pengalaman teman-teman yang sering mereka ceritakan,
mulai dari persoalan remaja seperti kegalauan yang tiada ujungnya atau bahkan
hampir mengakhirinya dengan menghilangkan nyawa. Tiba-tiba aku mendapat
inspirasi mengingat curahan hati teman sebangkuku tempo hari, tanganku
kembali berkutat dengan keyboard, mengabadikan sebuah kisah dalam bentuk
tulisan. Jam dinding menunjukkan pukul dua, aku lega karena akhirnya dapat
memejamkan mata tanpa ada beban yang tersisa.
***
“Istighfar Ran. Bunuh diri tidak akan mengakhiri semua ini. Ingat!
Masih ada kehidupan setelah dunia, kehidupan kekal yang Allah janjikan hanya
ada dua pilihan. Jika kamu berakhir seperti ini, mampukah kamu menahan siksa
neraka yang panasnya beribu kali lipat dari api dunia?? Jangan ambil ‘jalan
pintas’ Ran, aku mohon!!”
Aku berteriak dengan tubuh gemetar melihat Rani yang tengah berdiri diatas
kursi berusaha mengaitkan lehernya dengan ikatan tali tampar. Matanya sembab,
butiran air terus mengalir dari dari pelupuk mata, jatuh membasahi pipinya.
Perlahan aku mendekatinya, merengkuh sebagian tubuh yang masih mematung di
atas kursi, Rani terlihat begitu depresi. Aku tidak dapat membayangkan jika
terlambat datang ke kamar kostnya, mungkin akan lain lagi ceritanya. Fyuh, kau
beruntung.
Kubiarkan Rani menangis sejadi-jadinya, tanganku mengelus lembut
rambutnya yang sudah tak beraturan. Dengan begini ia dapat melampiaskan
segala kekesalan yang terpendam di lubuk hati paling dalam. Perasaan wanita
memang sangat sensitif terutama terhadap luka, aku tahu karena dua hari lalu
kekasih yang selalu dibanggakannya lima tahun terakhir menikah dengan
perempuan lain, seketika tubuh Rani ambruk mendengar kabar yang saat itu
masih belum dapat dipastikan. Sebagai teman, aku tidak pernah bosan untuk
mengingatkan, entah berapa kali kata-kata ini selalu kuulang, “Ran, kamu boleh
mencintai seseorang, tapi nanti kalau dia sudah halal untuk kamu cintai. Kalau
sekarang aku sarankan jangan dulu cintamu itu menggebu, karena bagaimanapun
juga masalah jodoh sudah ada yang mengatur.”
***
Tema kajian hari ini “Cinta atau Nafsu,” aku pasrah setelah menerima
amanah kedua dari senior tempatku bekerja. Ya, Pak Imron, selain sebagai ketua
editing majalah, beliau juga seorang aktivis dakwah di kantor kami, hanya sekali
ini beliau minta diganti dengan adanya urusan dadakan yang sama sekali tidak
boleh beliau tinggalkan. Aku menghela nafas panjang, lidahku terasa kaku,
mungkin karena ini pertama kalinya aku berbicara di depan khalayak. Semua
mata menatap, keringat dingin mulai mengalir, mimik ketakutan mungkin sudah
tak dapat lagi aku sembunyikan, namun keyakinan untuk tidak mengecewakan
membuat semuanya kembali normal. “Bismillah, aku bisa,” gumamku dalam hati.
-TAMAT-
TENTANG PENULIS
Kritik dan saran dari para pembaca dapat dikirimkan melalui akun pribadi
penulis:
Email : khamidah95@gmail.com