Anda di halaman 1dari 102

KATA PENGANTAR

Jika kamu ingin mengenal dunia, maka MEMBACALAH. Jika ingin dikenal
dunia, maka MENULISLAH.
(Hamid Fahmy Zarkasyi)
Alhamdulillah tsumma alhamdulillah, puji syukur tiada terukur saya
haturkan kepada Allah SWT atas terbitnya buku Cinta dalam Isyarat. Ucapan
terimakasih sebanyak-banyaknya kepada orang-orang yang telah mendukung saya
untuk selalu berkarya, Bapak, Emak, dan adik-adikku tercinta. Juga kawan-
kawan yang sudah bersedia menjadi editor gratis untuk saya, terimakasih atas
waktunya, kalian luar biasa .

Sekedar sharing pengalaman, bahwa saya mulai menekuni bidang


kepenulisan semenjak duduk di bangku perkuliahan. Ustadz saya pernah
berpesan dalam sebuah forum perkumpulan, “Ruh seorang mahasiswa adalah
menulis dan membaca, apabila ia tidak melakukan keduanya, maka seperti jasad
yang kehilangan nyawa”. Setelah melewati renungan panjang, akhirnya saya
putuskan untuk menulis mulai dari cerpen (cerita pendek). Qodarullah cerpen
pertama saya mendapat juara 2 saat acara festival Universitas Darussalam Gontor
di kampus pusat, dan dari sanalah jiwa kompetitif saya mulai mencuat.

Bapak saya juga pernah berpesan, "Kita ini tidak bisa menghindari
perkembangan teknologi, tapi juga tidak boleh menjadi korban teknologi."
Kemudian saya berfikir tentang bagaimana cara yang bijak untuk memanfaatkan
teknologi. Mulai dari laman Facebook, saya mencari banyak informasi tentang
lomba kepenulisan. Alhamdulillah hingga saat ini sudah ada 3 buku yang
memuat karya saya di dalamnya, tergabung dalam antologi cerpen berjudul
Rahasia Hati, Tunggu, dan Cinta dalam Doa.

Sedikit cerita tentang bagaimana buku ini bisa terbit seperti sekarang,
adalah lamanya mengumpulkan rasa percaya diri dalam hati. Namun akhirnya
saya mengambil sebuah keputusan terbesar, yaitu dengan memulai langkah awal
untuk merencanakan masa depan gemilang. Terimakasih saya ucapkan kepada
penerbit Zukses Express, karena melalui mereka buku ini bisa hadir di tengah-
tengah para pembaca. Harapan terbesar, semoga buku ini dapat merealisasikan
cita-cita saya untuk menjadikan tulisan sebagai sarana dakwah dan ladang
jariyah. Aamiin.

Selamat membaca, dan semoga bermanfaat.

Ngawi, 19 Agustus 2017

Khamidah Fajri
DAFTAR ISI

kata Pengantar.............................................................................................................. 2

Kutemukan Cinta Di Balik Keacuhannya ............................................................... 4

Labuhan Cinta Pangeran Surga............................................................................... 10

Tentang Perjuangan................................................................................................... 20

Rahasia Sebuah Nama............................................................................................... 27

Segenggam Amanah ................................................................................................... 33

Catatan Dalam Sebuah Penantian........................................................................... 40

Renungan Di Kala Petang ........................................................................................ 47

Kanvas Sang Pencipta ............................................................................................... 55

Kupeluk Engkau Dalam Sujudku ........................................................................... 72

Janji Yang Tak Teringkari....................................................................................... 79

Di Ambang Penantian............................................................................................... 86

Kenangan Bersama Hujan ....................................................................................... 92

Rapuhnya Benteng Hati ........................................................................................... 96

The Fire Of Love ...................................................................................................... 100

Tentang Penulis........................................................................................................ 102


KUTEMUKAN CINTA DI BALIK KEACUHANNYA

Hari ini, aku kembali berteman sepi, menatap jendela kaca seorang diri,
memandangi pepohonan menjulang yang kokoh tertanam di halaman belakang.
Pikiranku melayang, menerawang sebuah kejadian beberapa tahun silam.
Dedaunan melambai tersibak angin yang berembus kencang, mendung menutupi
pancaran sinar mentari yang menghangatkan. Benar-benar akhir pekan yang
membosankan. Segera tubuhku tergerak untuk mengambil jemuran sebelum Ibu
pulang.

***

Tas berwarna pink melingkar di bahu kanan, lengkap dengan seragam


putih merah kedodoran. Angkutan umum yang kutunggu tak kunjung datang,
tiada teman karena hari masih sangat pagi. Mandiri adalah pelajaran berharga
yang kudapat semenjak masuk TK, tidak sekalipun aku dimanja orangtua seperti
anak-anak pada umumnya, dan bagiku itu hal biasa.

Aku membuka kembali buku tulis bersampul cokelat, kudapati torehan


tinta merah berbentuk bulat. Aku takut untuk kembali mengingat kejadian
semalam.

Brakkkk.....

Buku bersampul cokelat terlempar dengan keras ke sudut ruang keluarga.


Ya, dugaanku benar, Bapak pasti marah besar. Aku hanya tertunduk lesu
mendengarkan perkataan yang teramat memekikkan pendengaran.

"Apa itu nilai nol?! Belajar nggak kamu di sekolah?!!" bentak Bapak. Ibu
yang menyaksikan kejadian itu tak berani menyelak, hanya diam terpaku
sembari menimang adikku. Kejadian malam itu bak tamparan keras mendarat di
pipiku, panas.

Tatapanku semakin dalam, sedalam harapan yang orangtuaku impikan,


dalam keheningan pagi aku berjanji, bahwa mulai saat ini aku takkan
mengecewakan mereka lagi.

Tidak banyak prestasi yang kudapatkan saat Sekolah Dasar, hanya satu
yang paling membanggakan dan tak terlupakan, yaitu saat aku menduduki
peringkat kedua dengan total nilai sama dengan ‘sang juara’. Saat itu aku merasa
sangat bahagia, walaupun keadilan tidak sepenuhnya ditegakkan, setidaknya
janjiku dapat terbayar.

***
Liburan akhir tahun telah usai, masa-masa kelas dua kulalui dengan
penuh suka duka yang mewarnai. Orangtua tetap sibuk dengan pekerjaan mereka
yang semakin hari semakin menguras tenaga, Bapak jadi sering pergi ke luar kota
demi memperlancar usahanya. Kepulangan Bapak selalu kunanti bersama adik
bayi dan Ibu yang selalu di sisi. Kasih sayang yang Bapak berikan sangat berbeda
dari sedia kala, memanjakan kami berdua menjadi kesenangannya.

“Bapaak...” aku kecil berteriak kegirangan menyambut kedatangan Bapak.


Ifa, adik bayiku yang tidak mengerti apa-apa masih asyik dengan mainan di
tangannya. Senyum kerinduan mengembang di wajah Bapak yang tampak sedikit
kelelahan, namun tetap berusaha menemani kami berdua memakan isi bingkisan
yang sejak tadi berada dalam genggaman. “Babpaa..,” mulut mungil Ifa mengucap
satu kata, dan seketika itupun kami tertawa bersama, gemas dengan
kepolosannya.

***

Pelajaran matematika, rumus-rumus tak lekang dari kepala, setiap siswa


begitu antusias mengerjakan soal-soal yang tertera di papan. Keseriusanku buyar
seketika mendengar namaku dipanggil untuk keluar, ”Sekalian tasnya dibawa
nak.” Aku berjalan dengan beribu pertanyaan bergelayut memenuhi pikiran.
Tanpa sepatah kata, aku dibawa pulang oleh seseorang yang memang tidak asing
lagi dalam pandangan. Aku tetap diam, diam, dan diam sembari mereka-reka
peristiwa apa yang terjadi sebenarnya.

Air mataku meleleh, kegaduhan begitu riuh terdengar dari suara tangisan
yang saling bersahutan. “Bapak kecelakaan,” bagaikan karang terhantam ombak
besar di lautan, kokoh, namun tenggelam perlahan, aku masih mematung dan
berharap ini semua hanyalah mimpi belaka, yang akan berakhir ketika aku
membuka mata. Namun harapan benar-benar tidak sesuai kenyataan, adanya
pertemuan pastilah akan diiringi dengan perpisahan, selalu, entah kapanpun itu.

***

Jam dinding menunjukkan pukul dua malam, aku terbangun oleh suara
bisikan, “Ida, Bapak sudah pulang.” Iya, Bapak memang pulang, namun
kepulangannya kali ini sangat berbeda dari biasanya, kepulangan yang tidak
pernah aku harapkan. Tiada lagi kecupan lembut seperti biasa saat aku
menyambutnya dengan gembira, tiada lagi oleh-oleh ditangannya untuk
memanjakan kami berdua sebagai anak-anak yang sangat dicintainya. Hanya sisa
air mata yang kupunya untuk melepas kepergiannya, kepergian untuk selama-
lamanya.

Mataku yang sembab fokus menatap liang lahat, keranda yang membawa
jenazah Bapak perlahan dibuka. Terlihat di seberang sana, pamanku ambruk
seketika melihat jenazah kakaknya yang terbungkus kafan diangkat keluar
keranda, seakan masih tak percaya. Ibuku tak kalah histeris melihat suami
tercinta begitu cepat pergi mendahuluinya, meninggalkan anak-anak yang masih
belia, bahkan si bungsu belum mengerti apa-apa.

***

Kubiarkan televisi itu menyala, di luar sana matahari mulai menyengat


kepala, namun tidak ada tanda-tanda Ibu akan segera tiba. Aku kembali menatap
layar televisi dan mengganti kanal-kanalnya sesuka hati. “Sepi sekali,” pekikku
dalam hati.

“Ibu capek, jangan ganggu,” dan setelah itu aku sama sekali tidak berani
walau sekedar menderapkan kaki. Semenjak kepergian Bapak, pelajaran
kemandirian semakin berat kurasakan, karena tidak adanya pantauan dan
arahan ketika aku melakukan kesalahan, sehingga pada akhirnya aku lebih
memilih untuk diam. Masa depan yang dulu sempat aku gambarkan kini hanya
dapat menjadi angan, aku tak tahu bagaimana cara untuk merealisasikan. Ibuku
kurang perhatian karena harus bekerja ekstra demi mencukupi kebutuhan kami
bertiga. Menjadi single parent memanglah berat untuk usia Ibu yang masih
terbilang muda, karena saat itu usianya baru menginjak dua puluh lima tahun.

***

Bias mentari menyinari pagi, kehangatannya begitu terasa, menguapkan


titik-titik embun yang menggelantung di atas dedaunan. Kicauan burung
menambah kemeriahan suasana pagi yang menenteramkan hati. Tidak ada yang
berbeda, masih tetap sama seperti sebelum-sebelumnya, hanya saja kini aku telah
tumbuh menjadi seorang remaja, masa dimana unsur-unsur kelabilan mulai
melanda. Ketertarikan terhadap lawan jenis adalah hal biasa, tetapi yang
membedakan adalah bagaimana cara untuk menyikapinya. Saat aku jatuh cinta
untuk kali pertama, aku hanya dapat menyimpannya dalam rasa tanpa adanya
ungkapan kepada yang bersangkutan. Ia adalah ‘sang juara’, sainganku ketika
duduk di kelas dua SD, entah apa yang membuatku tertarik kepadanya, hingga
saat ini pun aku masih bertanya-tanya.

“Bu, bagaimana sih rasanya jatuh cinta?” aku berangan melontarkan


kalimat itu saat Ibu pulang kerja. Namun kutepis segera angan-angan tidak
masuk akal itu karena rasanya Ibu tidak akan memberikan jawaban, yang ada
aku malah akan dimarahi habis-habisan karena dianggap membangkang. Dan
pada akhirnya aku harus kembali menyimpannya dalam hati, memendam
keingintahuan tanpa adanya arahan yang pasti. Kucoba menuliskannya dalam
diary, mungkin dengan ini aku lebih leluasa untuk mencurahkan isi hati.

“Apa ini??” aku terperanjat melihat diary-ku ada di tangan Ibu. Aku yang
saat itu, kira-kira tiga tahun yang lalu, masih lengkap dengan seragam putih biru
tertunduk lesu. Menjawab sama dengan membangkang, jadi aku lebih memilih
untuk diam dan mendengarkan kemarahan Ibu yang sudah tidak dapat beliau
tahan. Bukan solusi yang beliau berikan, namun harga mati sebuah pernyataan
tanpa disertai alasan, “Jangan pacaran!”

***

Halilintar menggelegar saling bersahutan, rinai hujan membasahi tanah,


menimbulkan kekhasan bau basah. Tanganku bergetar, air mata tak dapat lagi
kutahan, menetes membasahi buku tebal sedikit kumal yang tak sengaja aku
temukan. Lembar demi lembar kubaca dengan seksama, setiap kata yang tergurat
di atasnya membuat hatiku semakin sedih dan terluka.

Hujan turun dengan derasnya, angin kencang menyelundup ke sela-sela


jendela yang sedikit terbuka. Jam dinding menunjukkan pukul dua siang, namun
Ibu tak kunjung pulang. “Ibuu.. maafkan aku, maafkan aku..” rintihku berkali-
kali sambil memandangi tulisan yang mulai berwarna kekuningan dan hampir
pudar.

***

“Sudah siap?” Ibu bertanya sembari mencampurkan rontokan kelopak


bunga mawar dan irisan daun pandan ke dalam keranjang kecil. “Sudah, Bu,”
timpalku dari balik pintu kamar yang terbuka lebar. Ziarah makam sudah
menjadi rutinitas kami di awal lebaran, lebih tepatnya saat sang mentari belum
mengembangkan senyuman dan hawa dingin masih begitu menusuk hingga ke
tulang.

Dalam kegelapan, tampak beberapa orang berjalan ke arah yang sama,


kilau senter semakin memperjelas berapa jumlah mereka. Aku mengikuti
langkah Ibu, melipat kedua lengan berusaha menghangatkan badan, dan tak lama
berselang, kami pun sampai ke tempat tujuan.

Batu nisan bertuliskan nama seseorang yang kami sayang terpajang,


walaupun kupaksa agar menunjukkan rona wajah bahagia karena dapat
mengunjungi pusara Ayahanda, namun tetap saja kepiluan yang aku rasa,
terutama saat mengingat kembali tulisan Ibu. Beliau memimpin doa, aku
mengaminkan dengan linangan air mata. Selesai berdoa, kami berdua
menaburkan bunga, beberapa kali tangan Ibu mengelus kepala batu nisan,
ekspresi wajahnya datar, namun aku dapat membaca wajah penuh kerinduan di
depanku. Tiba-tiba saja tangan Ibu melambai ke arahku, aku pun mendekat
mengikuti isyarat. Tak kusangka kini matanya sembab, Ibu berbalik dan
memelukku erat, tangisnya tidak bersuara, namun linangan air mata begitu jelas
kurasa, membasahi bahu kananku. Aku pun tak dapat berkata apa-apa.

“Ida, maafin Ibu, kalau selama ini tidak begitu memerhatikan kamu.
Bukan maksud Ibu seperti itu, perlu kamu tahu kesedihan Ibu masih sama
seperti dulu saat Bapak pergi meninggalkan kita semua. Ibu mana yang tega
menyerahkan anaknya begitu saja kepada orang lain tanpa kesedihan yang
tergambar diwajahnya? Bukan begitu nak, bukan begitu...” Ibu sejenak
menghentikan kata-katanya dan isak tangis pun mulai terdengar jelas di telinga.

”Ibu akan selalu mencintai kalian berdua sampai ajal yang memisahkan
kita.” Aku hanya mematung di pelukannya, mendengarkan segala keluh-kesah
yang beliau rasa.

Bias cahaya mentari semakin hangat terasa, aku menggandeng lengan Ibu
seakan ingin dimanja. Aku lega karena tidak hanya mengetahui isi hatinya dari
goresan tinta, namun juga ungkapan jujur yang keluar langsung melalui kata-
kata.

***

Hari ini tepat 5 tahun suamiku pergi,, berat memang bila harus menjadi
tulang punggung keluarga, menjadi Ibu sekaligus Ayah dalam satu waktu. Cobaan
yang Allah berikan begitu berat aku rasakan, hampir-hampir aku terpuruk dalam
keputusasaan. Namun begitu melihat kedua putriku, aku kembali tegar, aku
harus lebih giat bekerja untuk mempersiapkan masa depan cerah mereka. Lika-
liku kehidupan telah banyak aku kenyam, mulai dari yang membahagiakan
sampai yang menyakitkan. Sudah tak terhitung berapa kali aku mengalami rugi
karena barang dagangan yang tak kunjung dibeli, hingga suatu hari aku harus
pulang membawa kekecewaan tanpa sepeserpun uang aku dapatkan. Hatiku
terkoyak begitu membaca buku tebal yang berisikan curhatan putriku tersayang.
Aku sakit ketika dia menuliskan kata ‘jatuh cinta’ pada beberapa lembar
berikutnya, aku tidak ingin belajarnya terganggu dengan urusan-urusan yang
sama sekali tidak perlu. Cukup aku saja yang merasakan penyesalan dengan
memikul kebodohan, putus sekolah karena memperjuangkan satu kata yang
disebut cinta. Bukan tanpa alasan aku melarangnya pacaran, namun aku hanya
tidak ingin kesalahanku kembali terulang. Hidup dengan kebodohan sangatlah
tidak menyenangkan, aku malu jika ditanya putriku seputar pelajarannya di
sekolah, jujur aku sangat malu karena sama sekali tidak tahu. “Nak,, maafkan
Ibu yang kadang ataupun sering terlihat tidak peduli, sesungguhnya sedang
banyak sekali hal yang Ibu pikirkan. Saat kamu menanyakan Ibu tentang
pelajaran, bukan berarti diam Ibu adalah bentuk ketidakpedulian, Ibu hanya
malu karena sudah pasti tidak dapat menjawab pertanyaanmu. Saat Ibu tak
sengaja membaca diary yang kamu tinggalkan di atas meja, jujur nak,, Ibu
khawatir, khawatir kesalahan Ibu akan terulang kembali, Ibu tahu rasanya nak,,
sangat tidak enak hidup tanpa naungan ilmu. Jadi Ibu hanya mau kamu
belajarlah yang rajin dulu, percayalah nak, suatu hari tanpa kamu ketahui ‘dia’
akan datang sendiri menghadap Ibu untuk ‘meminta’ kamu, jangan takut
kehabisan, karena jodoh masing-masing telah ditetapkan. (Parakan, 28 juni
2012).
Terkadang memang sulit untuk memahami sesuatu yang sama sekali tidak
dapat dimengerti, namun percayalah bahwa mereka melakukan hal demikian
pasti ada alasan. Jadi, tetaplah berpikir rasional dan bersabar, karena buah dari
kesabaran itu kelak akan kita ketam dan kemanisan akan kita rasakan.

-TAMAT-
LABUHAN CINTA PANGERAN SURGA

(Februari 2015)

“Apa kau ingin bukti?” tanya lelaki berjaket hitam tebal itu meminta
kepastian.

Anna masih terdiam, tak langsung memberikan jawaban. Menara TV Sapporo


yang berhiaskan cahaya lampu menjadi pusat tumpu pandangan. Wajah putihnya
pucat menahan perpaduan antara angin malam dan musim dingin kota Sapporo,
Hokkaido. Sepanjang jalan menuju taman Odori, kemerlip lampu menghiasi
ranting pohon yang gugur tak berdaun.

Lelaki berumur 22 tahun itu menghentikan langkah, sorot matanya


nampak tajam dari balik bingkai kacamata. Kini Anna berada beberapa langkah
di depannya, pria keturunan Jepang-Indonesia itu untuk beberapa saat
memejamkan mata. Gadis bermata bulat, hidung mancung, dan bentuk wajah
oval khas penduduk Jepang itu membalikkan badan seraya menatap pria yang
berjarak beberapa depa darinya. Tak ada kata, hanya desiran angin malam
seakan menyampaikan gulana, putih salju menjadi saksi bisu.

***

(Flash Back)

Mendung menggelantung, di luar jendela kaca besar itu, butiran putih


mulai turun dari langit Hokkaido setelah beberapa bulan sebelumnya mengalami
musim gugur. Di luar sana, beberapa anak kecil berjaket tebal serta hat wool yang
menutup kepala mereka menyambut datangnya musim salju. Seorang gadis
berusia 25-an kembali menatap kosong ke arah taman, tampak memperhatikan
setiap gerik anak-anak kecil yang sedang asyik berlarian di tengah rintik salju.
Mata bulat berlensa coklat menerawang ke arah langit, buku besar di hadapannya
terbuka, menggamblangkan sub judul yang mungkin sedang bergelayut memenuhi
isi pikirannya.

“Siapa sebenarnya yang menciptakan alam semesta? Tidak mungkin jika


semua ini terjadi secara tiba-tiba,” gumamnya setelah beberapa saat mendalami
kata per kata sub judul dari buku panduan kuliahnya.

Filsafat dan Ilmu Budaya adalah jurusan yang dipilih Nakagawa Anna,
mahasiswi pascasarjana di Universitas Hokkaido karena rasa ingin tahunya
terhadap anutan manusia. Lahir di tengah keluarga tak beragama membuat Anna
tabu dengan hal-hal yang berbau kepercayaan. Hujan salju mulai lebat, jam
dinding terus berdetik, waktu menunjukkan pukul 8 pagi.

Tok..tok..tok
Terdengar suara pintu kamar diketuk dari luar, Anna tak beranjak, geser sedikit
dari tempat duduknya pun tidak. Mata indahnya tetap asyik menatap suasana
taman yang mulai tampak putih terbalut salju.

***

Senyuman mengembang dari balik jas hitam yang dikenakan. Winter coat
tebal berwarna coklat tua yang sedari tadi membungkus setengah tubuhnya telah
tersampir di sandaran kursi. Ruangan itu nampak sepi, tempat khusus para
pembicara untuk mempersiapkan diri sebelum tampil di hadapan para pendengar
dalam forum khusus seperti seminar dan bedah buku. Lelaki berkulit sawo
matang itu sedikit gugup, beberapa kali ia mondar-mandir di depan kaca sembari
membolak balikan secarik kertas di tangannya. Namun untuk beberapa saat ia
kembali terdiam, menatap kaca setinggi tubuhnya sembari menghela nafas
panjang, bayangan perempuan itu kembali muncul, tersenyum tulus seolah
mengirimkan semangat dari negeri seberang.

“Bismillah,” lirihnya sebelum meninggalkan ruangan.

Pamflet-pamflet terpampang di depan balai pertemuan Universitas


Hokkaido. Di sana tertulis pengumuman diselenggarakannya acara bedah buku
karangan Fujisaki Alfa Rizqi. Alfa, begitulah panggilan akrab mahasiswa
jurusan Sastra tahun kedua asal Indonesia. Di usia yang masih muda bahkan
terbilang belia itu, karya pertamanya telah mengundang banyak perhatian
dikarenakan alur cerita menarik yang memaparkan konsep ketuhanan dalam
Islam, hal tabu bagi sebagian besar penduduk Jepang kala itu.

Balai pertemuan kampus tampak ramai oleh peserta bedah buku, Alfa
melirik jam tangannya, pukul delapan tepat, segera ia menyibak tirai merah yang
menyekat panggung aula. Moderator berjas biru tua menyambut gembira, disusul
dengan gemuruh tepuk tangan dari para peserta.

***

“Apa kamu masih marah dengan Papamu nak?” suara itu mengalun
lembut di telinga Anna.

Diam, gadis itu masih diam menatap ke luar jendela kaca, sepatah
katapun tak keluar dari mulut mungilnya. Perempuan setengah baya dengan
pakaian kerja mendekati putri tercintanya, mengelus pelan pundak yang masih
terbalut piama.

“Sudahlah, lebih baik kamu siap-siap berangkat ke kampus. Bukankah


jadwalmu padat hari ini?” ucap Mamanya sembari melangkah pergi.

Rasa kesal masih menyelimuti hati yang rapuh, hati yang tak memiliki
pendirian teguh, terdobrak oleh makian angkuh. Gadis itu mulai beranjak dari
tempat duduknya, meninggalkan suasana taman di balik kaca jendela. Beberapa
orang berjaket tebal nampak berlalu lalang, menerobos lebatnya salju demi
memenuhi aktivitas yang tidak dapat ditinggalkan, sebagian besar dari mereka
adalah mahasiswa dan pegawai kantoran.

Anna berjalan menyusuri jalan yang mulai tertutup salju, sesekali


tangannya membenarkan posisi ear muffs. Rambut hitam lurus tergerai lebat
dengan poni yang menyambangi dahi, overcoat coklat membalut tubuh
semampainya. Anna mempercepat langkah, hawa dingin seakan menembus
pakaian yang ia kenakan. Stasiun kereta cepat bawah tanah menjadi tujuan
utama, Anna harus mengejar kedatangan kereta jika ingin sampai di kampus
tepat waktu. Hari ini adalah hari menegangkan kedua baginya setelah sidang
skripsi, yaitu ujian Tesis Pascasarjana.

***

Wajah tampan blasteran Indonesia-Jepang memancarkan keceriaan.


Tutur kata Fujisaki Alfa Rizqi benar-benar lembut dan sopan. Pembawaan yang
ramah khas penduduk asli Indonesia begitu kental ia praktekan dalam
pengulasan buku pertamanya yang berjudul Labuhan Cinta Pangeran Surga.
Novel tersebut mengisahkan tentang pertemuan tak terduga antara dua anak
manusia yang berbeda etnis serta agama. Perpaduan kisah cinta serta penjabaran
tentang Islam di dalamnya, hampir saja menggoyahkan hati Alfa. Ia sempat takut
bila karyanya tidak dapat diterima karena unsur keagamaan yang menonjol.
Jepang memang terkenal dengan tingkat toleransi beragama yang tinggi, namun
pada akhirnya ia mampu menapik kecemasan pada dirinya sendiri. Sebuah janji
telah menjadi tameng rasa takut yang sempat menghantui, janji yang hingga kini
pun belum ia yakini telah terlunasi.

Waktu begitu cepat berlalu, tak terasa satu setengah jam yang diberikan
hampir tiba pada titik penghabisan, hanya beberapa menit tersisa untuk sesi
pertanyaan. Penataan tempat duduk di balai pertemuan berbanjar setengah
lingkaran. Tak lama berselang, peserta yang duduk di barisan depan mengangkat
tangan.

“Apa motivasi terbesar dalam hidup anda?” Tanya lelaki itu kepada
pembicara.

“Baiklah terimakasih, saya akan langsung menjawab pertanyaan saudara.


Motivasi terbesar saya adalah ingin hidup kekal di dunia...” Alfa menjeda, setiap
wajah terlihat bingung dibuatnya.

“Ingin tahu caranya? Mudah saja, yaitu dengan menjadi seorang


PENULIS,” kata pemuda itu sembari menekankan kata terakhir pada
kalimatnya.

“Berkaryalah sebanyak-banyaknya, ciptakan karya yang bermanfaat bila


dibaca, sehingga nama si penulis akan tetap ada, dan tetap hidup melalui
tulisannya walaupun sejatinya ia tak lagi bernyawa. Guru saya di Indonesia
pernah berpesan, ‘Jika kamu ingin mengenal dunia... maka MEMBACALAH!
Jika kamu ingin dikenal dunia... maka MENULISLAH!’” papar Alfa diikuti
gemuruh tepuk tangan yang saling bersahutan, menggema hingga keluar aula,
terbawa angin mengudara.

***

Bias hitam awan mendung membayang di langit Jepang, menjatuhkan


butiran putih nan menawan, namun dinginnya teramat menusuk hingga ke
persendian tulang. Es serut itu membuat licin jalanan. Gundah hati bukan
karena ujian Tesisnya, namun karena ada kekuatan luar biasa bergejolak kuat di
hati Anna. Ia terus menerobos butiran es yang turun dari gumpalan awan
mendung. Wajahnya pucat menahan kedinginan, hembusan nafas menguap,
membentuk seperti gumpalan asap.

“A’udzubillahi minas syaithaanir rajim...”

Anna sontak menghentikan langkah, sayup suara dalam bahasa yang tak
dimengertinya tiba-tiba bertandang dalam sistem pendengaran. Tak lantang,
namun berhasil mencuri perhatian seserpih hati yang tengah gusar. Anna
mengedarkan pandangan, mencari sumber suara. Matanya bertumpu pada
bangunan kecil di seberang jalan, bangunan yang sekilas nampak seperti
pertokoan.

“Tapi.. sebentar,” gumamnya pelan sembari memincingkan kelopak mata


untuk memperjelas pandangan. Nampak beberapa orang dengan pakaian yang
menutupi seluruh tubuh mereka mulai dari bagian kepala hingga ke bagian kaki
masuk ke dalam, Anna semakin penasaran. Ia pun memutuskan untuk segera
menyeberang jalan, melupakan ujian yang seharusnya ia kejar untuk
mendapatkan gelar Magister, impian sang Papa sekaligus hal yang menjadi
pemicu ditabuhnya genderang pertikaian dengan dirinya semalam.

***

Alfa kembali ke ruangan khusus dengan lega. Ryuzuki, temannya


membuntut di belakang, menepuk bangga pundak sahabat karibnya. Beda agama
tak menjadi masalah persahabatan yang telah berlangsung semenjak semester
awal perkuliahan di Fakultas Sastra Universitas Hokkaido, Jepang. Dari papan
pengumuman penerimaan mahasiswa baru, terjalinlah sebuah persahabatan. Ryu
yang saat itu terlampau senang, tak sengaja merangkul Alfa yang masih belum
menemukan namanya dalam bahasa Jepang. Awkward, sejenak mereka berdua
terdiam sebelum akhirnya Ryu membungkukan badan, meminta maaf karena
sembarangan merangkul orang. Sebuah jalinan persahabatan yang teramat
kebetulan.
“Selamat Alfa san, akhirnya mimpimu jadi kenyataan,” kata Ryuzuki
bangga.

“Tidak Ryu kun, masih belum seberapa,” timpalnya sembari menyuguhkan


senyuman khas yang selama ini telah banyak memikat hati perempuan.

“Ah kau ini, selalu saja merendah. Membuatku iri saja,” ucap Ryu sembari
meninju pelan lengan Alfa.

Tiga tahun bersama, membuat Ryu tahu segala sifat sahabatnya. Tak
jarang ia menemani Alfa ke salah satu masjid di dekat kampus mereka, dengan
setia ia menunggu meskipun hanya di depan bangunan peribadatan umat Islam
itu. Terkadang, ia juga penasaran dengan Islam, Alfa pun dengan sabar
menjelaskan. Ryu sempat tertarik untuk masuk Islam, namun hidayah hanya
datang dari Tuhan Semesta Alam, Alfa juga tidak pernah memaksa karena
itulah yang diajarkan oleh agamanya, masuk Islam bukanlah sebuah paksaan.

***

Anna telah sampai di seberang jalan, kini tubuhnya tepat berada di


pelataran bangunan yang tadi sempat mencuri fokus pandangan. Suara itu
semakin jelas terdengar, mengalun merdu, mendayu syahdu melebihi alunan
musik klasik dalam bahasa yang tak ia tahu.

Fa biayyi aalaai rabbikumaa tukadzibaan...

Hati Anna berdebar kencang, terisak ia mendengar lantunan syahdu dari


dalam masjid yang diberi nama “Hikari Mosque.” Bangunannya bercat putih,
tanpa kubah, tulisan dalam bahasa Jepang yang disandingkan dengan ejaan
bahasa Indonesia menandakan bahwa bangunan tersebut adalah masjid, masjid
yang didirikan oleh kumpulan imigran Indonesia di Jepang. Entah kekuatan apa
yang membuat Anna ingin sekali masuk ke dalamnya. Perlahan ia melepas boots
dan menaiki tiga anak tangga menuju pintu geser dari kayu.

Halakah mingguan sedang berlangsung, beberapa akhwat berjilbab lebar


berkumpul membentuk lingkaran. Salah satu dari mereka dengan khidmat
melantunkan tilawah, suaranya begitu indah, menenangkan hati yang sedari tadi
gundah serta gelisah. Anna termangu di depan pintu, salah seorang akhwat
menghampirinya seraya tersenyum menyambut kedatangan Anna.

“Kyō wa. Watashi wa anata ga tasukete tasukeru koto ga dekimasu ka?


(Selamat siang. Ada yang bisa dibantu?)” ucap Fatimah, seorang imigran
Indonesia menyapa.

Anna membalas senyum tulus perempuan berjilbab merah muda dengan


overcoat coklat tua yang membalut tubuhnya, kain bermotif bunga-bunga
terjuntai hingga menyentuh lantai.
“Sore wa watashi ga kōkishin tsukuranode, watashi wa, chōdo ima, hijō ni
utsukushī merodiasuna koe no kabu ni kyōmi o sosora remashita. Watashi wa
anata ni sanka suru koto ga dekimasu ka? (Saya tertarik dengan alunan suara
merdu barusan, sangat indah, sehingga membuat saya penasaran. Dapatkah saya
bergabung dengan kalian?)” timpal Anna dengan mimik wajah penuh harap.

***

Jepang, negara yang kaya akan kebudayaan. Mayoritas penduduk Jepang


percaya dengan ajaran nenek moyang, Shinto dan Budha mendominasi unsur
kepercayaan. Namun disamping itu, toleransi beragama yang kuat membuat
masyarakat Negeri Sakura tetap tentram meskipun bertetangga dengan etnis beda
agama sekalipun. Hal ini dikarenakan salah satu pilar utama nilai-nilai budaya
Jepang adalah wa (harmoni), selain kao (reputasi), dan omoiyari (loyalitas).
Konsep wa mengandung makna menjaga hubungan baik, dan menghindari ego
individu.

Islam berkembang di Jepang sekitar tahun 1877 ketika perang dunia


kedua melalui hubungan diplomatik antara Jepang dan Turki. Pada masa itu,
tersebarlah kisah tentang Nabi Muhammad SAW dan agama Islam yang telah
diterjemahkan dalam bahasa Jepang. Inilah yang membantu Islam mendapatkan
tempat tersendiri di kalangan penduduk negeri sakura meski hanya sebagai
sejarah kebudayaan dunia. Salah satu pemicu pesatnya perkembangan Islam di
Jepang adalah kelemahan hati masyarakatnya terhadap unsur-unsur
kepercayaan. Kebanyakan penduduk Jepang modern tidak lagi mementingkan
unsur agama dan lebih memilih untuk memikirkan kehidupan dunia. Meskipun
kebanyakan penduduk Jepang hanya hidup untuk dunia, namun sejatinya,
kekosongan masih tetap ada dalam hati mereka. Islampun hadir membawa
cahaya sebagai pelita dalam ruang hati yang semula gulita.

Ponsel Alfa bergetar, satu pesan diterima, tulisan “Ustadz Amran” tertera
di layar telepon genggam. Ia segera beranjak setelah memakai coat yang tersampir
pada sandaran kursi, Alfa lupa jika hari ini punya janji. Ryuzuki terperanjat
melihat sahabatnya meninggalkan ruangan dengan tergesa-gesa, “Alfa san! Matte
kudasai! (Tunggu!)”

***

Plakkk...

Sebuah telapak tangan besar mendarat tepat di wajah Anna, limbung


tubuhnya menerima tamparan dari seorang laki-laki yang ia panggil “Papa.”
Anna tersungkur di depan sang Papa yang tengah murka dengan wajah merah
padam, kini tak hanya makian yang ia dapatkan namun juga dalam bentuk
kekerasan.
“Terlalu sempitkah jalan pikiranmu Anna??!!” bentak tuan Nakagawa
garang.

Pipi kanan Anna memerah, darah segar mengalir dari ujung bibirnya.
Diam, Anna hanya diam, tak menyangkal seperti malam sebelumnya, hanya isak
tangis dan bulir air mata membasahi selendang ungu yang menutup seluruh helai
rambutnya. Siang tadi, Anna mengambil keputusan terbesar dengan bersyahadat
di depan para jama’ah masjid tempat ia bertandang, melabuhkan keyakinan pada
Islam tanpa ragu serta unsur paksaan. Sebenarnya baik Papa maupun Mamanya
tak pernah mempermasalahkan perihal keyakinan, namun yang membuat
Papanya murka adalah kenyataan bahwa Anna meninggalkan ujian Tesis
Magisternya demi menjalankan sebuah ritual masuk Islam. Biaya perkuliahan di
Jepang terlampau mahal, sekali tidak mengikuti ujian, maka dapat dinyatakan
telah gagal dan harus mengulang.

Rasa kecewa terlanjur menyelimuti hati kedua orangtua Anna, mereka


merasa usaha banting tulang yang mereka lakukan sia-sia, tak berguna. Puncak
dari kemarahan tuan Nakagawa adalah pengusiran anak semata wayangnya
malam itu juga, tak peduli amukan badai salju di luar sana.

***

“Ibu selalu bilang, ‘Berjanjilah nak, kamu akan mewujudkan cita-cita


Ayahmu. Cita-cita yang kini hanya menjadi angan semata, karena sampai
kapanpun tak akan pernah menjadi nyata, kecuali jika seseorang
mewujudkannya. Sebarkanlah agama Islam di Jepang Fa, tanah kelahirannya..’.”
Alfa mulai bercerita. Ayahnya adalah seorang mu’alaf Jepang, Islam telah
menerangi nurani yang semula kelam tanpa sedikitpun cahaya iman. Tak
disangka, perdebatan tentang penciptaan alam dengan mitra kerja yang tak lain
adalah Ibu Alfa menjadi perantara keislamannya. Cita-cita terbesar tuan
Fujisaki adalah mendakwahkan Islam di Jepang, namun belum sempat mimpi itu
terealisasi, sebuah kecelakaan menyisakan tangisan sang istri yang tengah
mengandung si buah hati.

Ruangan dengan lantai kayu itu sejenak lengang, tungku perapian di


pojok ruangan berkobar, menjaga kehangatan suhu di rumah kecil Ustadz
Amran. Beberapa bingkai foto tergantung menghiasi dinding ruang tamu. Alfa
duduk beralaskan bantal khusus, tak ada kursi, secangkir teh hangat tersaji.
Perbincangan yang seharusnya siang tadi terlaksana sempat tertunda karena
Ustadz Amran diminta untuk menuntun syahadat seorang perempuan Jepang
yang ingin memeluk Islam.

“Tapi Ustadz, saya tidak tahu apakah saya telah menepati janji itu,
sedangkan pendalaman saya mengenai Islam pun masih sangat kurang. Selama
saya tinggal disini, hanya tulisan yang dapat saya gunakan sebagai perantara
dalam mendakwahkan Islam.” Sambung Alfa kemudian.
Lelaki berjanggut hitam itu menghela nafas panjang, “Nak Alfa, dakwah
itu tidak hanya melalui lisan, namun juga bisa dengan tulisan. Masalah kamu itu
masih kurang dalam mendalami agamamu sendiri, bukankah Rasululllah SAW
telah bersabda : ‘Sampaikanlah dariku (ilmu) walau hanya satu ayat?’
Sampaikanlah nak, Bapak tahu kamu mampu.” Pernyataan Ustadz Amran
membuat Alfa mengangguk pelan, kegelisahan dalam hatinya perlahan
menghilang, bak menemukan setitik cahaya dalam gulita. Ia lega, bahwa tulisan
yang kini telah bibaca oleh sekian banyak orang juga dapat menjadi perantara
dakwahnya. Tak terasa perbincangan selesai hampir larut malam. Alfa pun
segera pamit untuk pulang.

***

Angin bergemuruh riuh, butiran salju turun dengan derasnya, langit


malam menyuguhkan gulita. Suhu udara mencapai -5O C, pakaian yang Anna
kenakan tak mampu menangkal kedinginan yang hampir membekukan seluruh
persendian. Malam semakin larut, gadis bermata bulat dengan kulit yang semula
berwarna putih kekuningan berubah menjadi putih pucat bak mayat. Seketika
tubuhnya ambruk di atas hamparan salju, langit tak berbintang menjadi titik
tumpu pandangan sebelum akhirnya kelopak mata Anna terpejam, segalanya
menjadi gelap kemudian.

Sebuah sedan hitam melaju dengan kecepatan standar menembus derasnya


hujan es di kota Sapporo, musim dingin di kota ini memang terkenal sangat
extreme karena kisaran titik bekunya dapat mencapai -5O C. Selajur kemudian
mobil itu berhenti, bunyi derit ban bergesek dengan licinnya jalanan. Dua orang
pemuda keluar tergesa setelah mendapati tubuh kaku yang hampir tertimbun
butiran salju. Salah satu dari mereka memegang pergelangan tangan gadis
malang itu, mencoba memastikan pembuluh nadinya masih berdenyut, pertanda
bahwa ia masih hidup.

“Bagaimana??” tanya kawannya cemas.

“Dia masih hidup. Cepat kita tolong!”

Dengan segera mereka mengangkat tubuh beku yang hampir kehilangan


nyawa itu ke dalam mobil. Mobil pun kembali melaju, namun kali ini dengan
kecepatan hampir maksimal. Cahaya dari lampu rem menghilang setelah mobil
Ryuzuki melewati tikungan.

***

Hari masih sangat pagi, gulita pun masih menyelimuti jiwa-jiwa yang
tergolek tak sadarkan diri, mengitari setiap sudut dunia mimpi.

“Allahu akbar!”
Sayup suara itu membuat Anna membuka kelopak mata. Jarum infus
tertancap di pergelangan tangan kanannya. Ia melihat seorang pemuda tengah
berdiri menjalankan sebuah ritus keagamaan beberapa meter dari bed tempat
Anna terbaring. Gadis itu mencoba menegakkan punggungnya, namun pening di
kepala membuat ia tak dapat menyeimbangkan posisi tubuh yang kini terbalut
piama rumah sakit.

“Assalamu’alaikum warahmatullah.. Assalamu’alaikum warahmatullah..”

Pemuda itu menengadahkan kedua telapak tangan seraya memejamkan


mata, memanjatkan doa-doa kepada Sang Kuasa, Allah SWT. Hati kecil Anna
kembali bergetar, air mata berderai membasahi kedua pipinya.

“Apakah itu sebuah ritus peribadatan dalam agama Islam?” Dengan suara
pelan gadis itu menanyakan. Alfa yang telah selesai menunaikan sholat
subuhnya pun menoleh ke asal suara. Matanya seketika berbinar mendapati gadis
yang ditolongnya semalam telah sadar. Alfa tersenyum meng-iyakan.

“Saya ingin menjalankan keyakinan yang telah saya ikuti secara


keseluruhan. Dapatkah anda menuntun saya untuk melakukan ibadah itu?”

“Dengan senang hati,” senyuman mengembang di bibir Alfa.

Pemuda tampan itu menuntun Anna untuk bertayamum, kemudian


menjalankan ibadah sholat subuh dengan posisi berbaring di atas tempat tidur.
Perlahan tangan lemas itu diangkatnya dan disejajarkan dengan telinga, Alfa
terus menuntun gerakan sholat Anna tanpa sedikitpun saling bersentuhan antara
keduanya. Nurani gadis itu benar-benar menemukan sebuah ketengangan yang
tiada tara, ketenangan yang baru kali pertama ia rasakan, menguraikan seluruh
pintalan benang kesedihan.

***

Dua minggu berlalu semenjak kejadian malam itu. Ustadz Amran dan
istrinya yang tak memiliki keturunan memutuskan untuk mengangkat Nakagawa
Anna sebagai putri mereka. Meski harus letih bekerja dan berusaha, ia
memutuskan untuk mengulang kembali program Magister yang sempat
dilewatkannya. Maklum saja karena sejak kecil ia selalu dimanja oleh Mama-
Papanya.

“Tak apa, aku pasti bisa tanpa mereka,” gumamnya sebelum melangkah
meninggalkan rumah sederhana milik orangtua angkatnya. Ia senang berada di
rumah itu, rumah yang seluruh kasih sayang tercurah, baik dari Ayah dan Ibu
angkatnya dan juga.. seorang pemuda berdarah Jepang-Indonesia bernama
Fujisaki Alfa Rizqi selalu ada untuk menjaganya, demikianlah kiranya petuah
dari sang Ayah “Jaga Anna nak Alfa.”
Kebetulan mereka berdua berada di kampus yang sama, ya, Universitas Hokkaido.
Mungkin bedanya, Nakagawa Anna adalah mahasiswi pascasarjana, sedangkan
Fujisaki Alfa Rizqi adalah mahasiswa yang belum menyelesaikan jenjang
sarjana.
***

(Februari 2015)

“Bukti apa?” Anna kembali bertanya.

“Bukti bahwa selain Ustadz Amran dan Ustadzah Rahma, masih ada
seseorang yang akan menyayangimu dengan penuh cinta serta ketulusan.” Ucap
lelaki itu mantap.

“Oh ya?? Apa kau sedang membicarakan diri sendiri??” Ucap Anna
meledek laki-laki yang secara usia lebih muda dibanding dirinya, namun sifat
dan perkataan Alfa jauh lebih dewasa dari Anna.

Alfa tertawa menanggapi kelakuan gadis berkerudung biru muda di


depannya, “Kau ini, selalu saja merusak suasana.”

“Maukah kau menjadi bidadari surgaku, Nakagawa Anna? Membangun


sebuah mahligai bersama, mahligai yang akan membawa kita hingga ke surga-
Nya..” pertanyaan lelaki itu membuat Anna tersipu seketika.

Desir angin seakan menyampaikan sebuah jawaban, hamparan langit


malam menjadi saksi terucapnya sebuah niatan suci, niatan yang nantinya akan
diucapkan sebagai ikrar di depan wali sang gadis pujaan hati.

-TAMAT-
TENTANG PERJUANGAN

Satu persatu para mahasiswa bertoga memasuki aula dengan wajah yang
menyiratkan kegembiraan tiada tara. Pasalnya, satu semester yang begitu
menguras tenaga sekaligus pikiran telah mereka lewati dengan lancar, dan di hari
inilah mereka semua akan mendapat ganjaran. Ya, wisuda dan penyematan gelar
di belakang nama.

Seorang pemuda terlihat berbeda dari yang lainnya, wajahnya nampak


tidak tenang, mungkin ada hal lain yang sedang ia pikirkan. Ridwan, begitulah
nama panggilan dari pemuda berparas biasa-biasa saja. Disebut biasa karena
memang wajahnya tidak begitu tampan, namun perangainya mampu membuat
setiap orang yang baru mengenalnya merasa segan. Selain pintar, ia juga sangat
sopan dalam setiap tindakan serta perkataan. Tak jarang ia membuat heran
teman-temannya karena dikerumuni banyak perempuan, namun tak satupun dari
mereka mampu memikat hatinya, karena ia tetap teguh dengan prinsip “NO
PACARAN, UNTIL HALAL.” Selain itu, Ridwan juga dikenal sebagai orang
yang berkomitmen tinggi terhadap keinginan, terutama jika berkaitan dengan
keinginan orangtua.

Arloji berwarna silver melingkar di pergelangan tangan kiri Ridwan,


matanya yang tajam tak lekang untuk terus memandangi jarum jam, ia terus
menggerakkan kakinya tanda kecemasan mulai melanda.

“Kenapa Wan?” tanya Sodik yang tengah duduk di sebelahnya


memastikan.

“Emmm... Bapak gue belum dateng,” jawabnya sambil menoleh ke


belakang.

“Masih di jalan mungkin, gak lo telpon?” ujar Sodik dengan bahasa khas
Jakartanya.

Ridwan hanya mengisyaratkan dengan gelengan, karena ia tahu kalau hal


itu tidak memungkinkan.

***

Saat itu, kira-kira enam bulan lalu. Hari masih sangat pagi, gulita pun
masih menyelimuti tubuh-tubuh yang tergolek tak sadarkan diri, mengitari setiap
sudut dunia mimpi. Sebuah kontrakan menyisakan temaram lampu pijar pada
salah satu ruangan, kertas-kertas berserakan, layar laptop masih terbuka, seorang
pemuda terkapar kelelahan di depannya. Tidak ada bantal untuk menyangga,
melainkan tangan kanan yang ia gunakan sebagai alas kepala, kacamata pun
masih dikenakannya.
Ashalaatu khoirun minan naum!! tak lama berselang, adzan subuh
berkumandang, Ridwan terbangun dengan mata sembab, tampak kemerahan
karena waktu tidurnya kurang. Sejenak ia terduduk diam, mengumpulkan
kesadaran sebelum akhirnya ia beranjak pergi ke kamar mandi dan bergegas
memenuhi panggilan ilahi, bergabung bersama para mujahid fi sabilillah untuk
menunaikan sholat subuh berjama’ah.

***

“Bismillah..” kalimat itulah yang selalu Ridwan ucap sebelum melangkah


meninggalkan rumah sederhana yang dikontraknya. Ia harus berangkat lebih
pagi karena rutinitas yang selama ini tak pernah sekalipun ia lewati telah
menanti. Senyumnya mengembang, penuh kebanggaan, rantang di tangannya
sempat beberapa kali berdentang seiring dengan bertambahnya kecepatan langkah
Ridwan.

Jarum jam menunjukkan pukul tujuh pagi, satu jam sudah Ridwan
menempuh perjalanan, menyusuri perkampungan kumuh di sudut Ibukota. Bau
sampah menyeruak, namun bagi Ridwan bak aroma parfum nan semerbak, tak
lagi menyiksa saluran nafasnya. Rumah sederhana berdinding anyaman bambu
telah menumpu pandangan, bergegas pemuda bertubuh jangkung itu masuk ke
dalam.

Time is money, begitulah kira-kira pepatah memaparkan, lima belas


menit berselang, dan Ridwan pun segera berpamitan. Lelaki paruh baya melepas
kepergiannya melalui pintu reot yang setengah terbuka, membiarkan Ridwan
mencium tangannya. Tepukan bangga mendarat di bahu Ridwan, seulas
senyuman benar-benar menjadi penyemangat belajar.

***

“Bro! Ceileee. Dah kelar aja tu skripsi, mantap lah..” kata Anton, sahabat
karibnya memuji. Ridwan hanya membalas dengan senyuman, matanya
menerawang langit-langit kantin yang lengang, tangannya memainkan sedotan
dalam gelas minuman, tanpa sadar bibirnya menyiratkan senyuman.

“Woyy mas bro,, ngapain senyum-senyum sendiri?” tanya Anton heran,


khawatir sahabatnya kerasukan.

“Enggak Ton, gue nggak nyangka aja udah mau wisuda. Tapi gue gak
yakin, kalo semua itu bisa ngebuat orang tua bangga,” kata Ridwan dengan
tatapan masih menerawang.

Anton yang menangkap maksud sahabatnya terdiam sesaat, berpikir untuk


memberikan saran yang tepat. Empat tahun bukan lagi waktu singkat bagi Anton
untuk tahu seluk beluk sahabat karibnya itu.
“Wan, percaya deh, beliau pasti akan sangat bangga. Gue tau itu..” tukas
Anton sambil berlalu, meninggalkan Ridwan yang masih termangu.

Mungkin belajar adalah hal yang paling membosankan bagi kebanyakan


orang, namun tidak bagi Ridwan, seorang pemuda yang dibesarkan dari
background keluarga serba kekurangan, mendapat kesempatan melanjutkan
belajar ke jenjang perkuliahan adalah suatu kesyukuran. Berawal dari sebuah
perlombaan yang diikutinya saat SMA, kecerdasannya benar-benar di atas rata-
rata anak seusianya, luar biasa. Kesempatan mendapat beasiswa ditawarkan
langsung oleh donatur penyelenggara perlombaan, kagum dengan kecerdasan
Ridwan. Entah keturunan dari siapa yang jelas membuat orang tuanya bangga.

Walaupun kuliah dengan beasiswa, namun biaya buku dan fasilitas yang
wajib dimiliki adalah tanggungan pribadi. Beberapa kali Ridwan menolak, tidak
enak hati jika harus memberatkan Bapak. Namun dengan lapang dada, beliau
selalu menyemangati dan membesarkan hati anak semata wayangnya, seperti
janjinya dulu sebelum istrinya meninggal dunia.

***

Rapat organisasi dakwah di kampus baru saja usai, terlihat beberapa


aktivisnya keluar dari ruangan yang telah dijadikan kantor perkumpulan.

“Akhi Ridwan, tadi ada pesan dari Pak Galih, katanya antum disuruh
menghadap beliau setelah rapat,” ucap seorang akhwat kepada Ridwan yang
tengah sibuk memilah dokumen-dokumen di atas meja.

“Oh, iya ukhti. Terimakasih,” balas Ridwan dengan senyum ramah.

Ada sedikit masalah dengan percetakan majalah. Semenjak Ridwan cuti


untuk menyusun skripsi, beberapa program kerja sempat ada kendala. Sebagai
ketua, ia amat menyesal dan merasa telah mendzalimi anggotanya, untuk itu
Ridwan rela menyelesaikan semua kendala, bahkan setelah matahari singgah ke
pertapaannya tertelan hari yang mulai gulita.

Dalam perjalanan, hati Ridwan gusar. Apa majalah yang dikonsepnya


tidak memuaskan? Wah, bahaya nih kalau harus mengulang konsep serupa,
masalahnya percetakan sudah menyanggupi untuk minggu ini majalah sudah
tercetak jadi. Hingga akhirnya pikiran kalut itu terhenti saat pagar besi setinggi
dada tertangkap pandangan mata, tanpa ragu, Ridwan segera membukanya dan
bergegas masuk.

Ridwan terdiam seribu bahasa, duduk termangu menatap cangkir teh di


hadapannya. Tangannya berkumpul di atas paha, keraguan mulai melanda.

“Gimana Mas?” Tanya Pak Galih penasaran dengan jawaban Ridwan.

“Tapi, kalau boleh tau, kenapa Pak Galih memilih saya? Apa Bapak
sudah tahu latar belakang saya?” Ridwan kembali bertanya tak kalah penasaran.
Pak Galih menghela nafas panjang, seperti tak rela jika harus melepas Ridwan,
pemuda yang dianggapnya paling cocok bersanding dengan putrinya.

“Mas Ridwan, saya sudah tahu semua latar belakang kamu, keluarga
kamu. Tapi maaf, Irla belum pulang dari Surabaya, jadi belum bisa Bapak
kenalkan langsung ke Mas Ridwan,” timpal beliau panjang.

“Kalau begitu, bolehkah saya minta izin untuk mempertimbangkannya


terlebih dahulu? Karena saya tidak ingin tergesa-gesa, terutama hal ini
menyangkut masa depan orang lain, bukan hanya diri saya sendiri.” Senyum Pak
Galih mengembang, pertanda meng-iyakan permintaan Ridwan.

***

Seperti biasa, pagi-pagi sekali Ridwan telah siap dengan tangan


menggenggam rantang berisi makanan. Menyusuri perkampungan kumuh menuju
rumah Bapak yang tak jauh berbeda keadaannya, bahkan listrik pun tidak ada,
sebab itulah Ridwan mengontrak rumah sederhana agar tidak menghambat
kegiatan perkuliahan yang membutuhkan teknologi memadai di era globalisasi.

Hening seisi ruangan, Bapaknya nampak sedang berpikir panjang,


Ridwan hanya diam setelah mengutarakan tawaran Pak Galih kemarin malam.

“Wan, kamu sudah besar, sudah waktunya memang untuk mendapatkan


pasangan. Bismillah, istikharahkan dulu, minta yang terbaik. Bapak percaya
sama kamu nak.” Jawaban gamblang yang cukup membulatkan tekad Ridwan.

***

“Berapa Pak?” Tanya seorang remaja yang baru turun dari becak.

“Tidak usah neng,” jawab si tukang becak sembari menyiratkan senyuman


di wajahnya yang mulai menua seiring bertambahnya usia.

“Loh, kok gitu Pak? Saya ndak enak, kan jauh perjalanannya Pak,” tanya
remaja itu kembali dengan nada tak mengerti.

“Mungkin kalau saya orang kaya neng, saya akan bersedekah dengan
harta, tidak apa-apa neng,” jawaban lelaki paruh baya itu sedikit menggantung,
namun cukup mengetuk nurani remaja putri yang berbusana rapi di depan
kampus ternama di kota Jakarta.

“Ma syaaAllah, terimakasih banyak Pak.” Ucap gadis itu terakhir kali.

“Iya neng, sama-sama.”

Pamflet-pamflet ucapan selamat atas wisuda angkatan ke-78 tersemat di


gerbang kampus, menjadi pemandangan utama yang menyambut mata, Pak Karta
pergi mengayuh pedal becaknya, meninggalkan seulas senyuman di depan
gerbang.
“Jambreeeet!!!”, pekikkan suara perempuan melengking tajam, sontak
membuat Pak Karta menghentikan laju becak dan melompat mengejar laki-laki
yang kencang berlari melewatinya tadi. Lima menit berlalu, aksi kejar mengejar
itu tak kunjung usai. Akhirnya penjambret itu berhenti dan melakukan
perlawanan terhadap Pak Karta yang sejak tadi mengejarnya tanpa henti. Entah
mengapa tiba-tiba si penjambret lari begitu saja, meninggalkan tas yang
dijambretnya setelah beberapa kali mencoba merobohkan Pak Karta. Ternyata
beberapa warga berdatangan, perempuan pemilik tas tergopoh menghampiri Pak
Karta yang tengah terduduk kelelahan.

“Ini neng tasnya, lain kali hati-hati,” ucap beliau dengan dahi berlinang
peluh. Perempuan berjilbab lebar itu berekspresi lega.

“Iya Pak, tadi ndak sadar soalnya baru datang juga dari luar kota. Sekali
lagi terimakasih banyak Pak,” ucap gadis yang menaiki becak Pak Karta tadi.

***

Sambutan dari rektor Universitas tengah berlangsung, seluruh wisudawan


dan wisudawati dengan khidmat mendengarkan.

“Saya bangga dengan satu mahasiswa di sini,” ucap beliau di sela-sela


sambutan.

“Selain pandai, dia juga sangat santun terutama kepada orang yang lebih
tua. Dan saya lebih bangga lagi karena dia adalah lulusan terbaik Universitas
tercinta kita tahun ini dengan IPK tertinggi. Ridwan Khoirul Umam, silahkan
maju ke depan.”

Aula riuh dengan gemuruh tepuk tangan yang saling bersahutan. Ridwan
terkejut mendengar namanya sendiri disebutkan, wajahnya tampak pucat, ucapan
selamat ia dapat dari teman-teman yang kebetulan duduk di sekitarnya. Ia tak
pernah menyangka akan diperlakukan teramat istimewa, pengorbanan yang ia
jalani selama ini membuahkan hasil, “Bapak, aku berhasil,” gumamnya dalam
hati sembari berjalan ke atas panggung menuju podium.

“Terimakasih untuk semuanya, Bapak Rektor, para dosen, dan teman-


teman saya tentunya, terimakasih banyak. Saya tidak tahu harus bicara apa, saya
sangat bersyukur perjuangan seseorang selama ini tidaklah sia-sia. Seseorang
yang tak lain adalah Bapak saya sendiri. Terimakasih karena beliau telah banyak
berkorban untuk menyekolahkan saya hingga jenjang sarjana. Jujur, saya bukan
anak orang kaya, Bapak saya adalah tukang becak yang setiap harinya bekerja
bahkan saat akhir pekan tiba, beliau tetap bekerja,” Ridwan menyeka pelupuk
matanya sejenak sebelum melanjutkan bicara.

“Tak bosan-bosannya beliau berpesan, pesan yang membuat mata saya


sedikitpun tak dapat terpejam ketika ada tugas yang belum terselesaikan. Beliau
selalu mengatakan ‘Nak... Bapak ini orang bodoh, Bapak tahu dan merasakan
pahitnya menjalani hidup dengan kebodohan, untuk itu Bapak tidak ingin kamu
juga ikut merasakan apa yang selama ini Bapak rasakan, jangan sampai! Bapak
mau kamu lebih dan lebih baik dari Bapak. Kuliah saja yang benar, fokus
belajar, jangan pikirkan hal lain, karena Bapak pasti akan berusaha untuk
mencari biaya, tidak usah khawatir karena Allah Maha Kaya’,” tutup Ridwan
kemudian.

Tak terasa air mata telah membanjiri pipinya, seisi aula trenyuh
mendengar sambutan yang sama sekali tak ada persiapan. Tepuk tangan
menggema di setiap sudut aula. Mata sembabnya menangkap bayangan seseorang
yang sedari tadi ia bicarakan tengah berdiri tepat di depan pintu aula
menyaksikan putra semata wayangnya berbicara dengan senyuman bangga.
Kemeja putih terbaik dikenakan Pak Karta, matanya sayu menatap Ridwan yang
tengah berlari dengan linangan air mata membasahi kedua pipinya. Ridwan
terduduk memeluk kaki Bapaknya, bibirnya yang bergetar berusaha mengucap
kata-kata, “Te.. rimakasih... Bapak.” Pak Karta tidak membalas ucapan yang
keluar dari mulut putranya, hanya tepukan di bahu Ridwan menandakan bahwa
beliau merasa bangga, ya, sangat bangga kepadanya. Pemandangan itu membuat
seisi aula berlinangan air mata, menyaksikan bagaimana perjuangan keras
seorang Bapak menyekolahkan anaknya bahkan hingga jenjang sarjana, berakhir
bahagia. Pelajaran bagi mereka yang acap kali terlena dengan kenikmatan sesaat,
lupa dengan seseorang yang sedang berjuang melunasi biaya perkuliahan yang
amat mahal.

***

Sorak sorai bergema, menggambarkan kebahagiaan tiada tara, topi-topi


toga mereka lempar keudara. Ridwan bernafas lega, Anton datang
menghampirinya dan seketika merangkul pundaknya, “Selfie...” dan tawa pun
pecah di antara keduanya.

“Cepetan nyusul Ton!” ucap Ridwan mengingatkan.

Anton hanya menimpali dengan ejekan, “Siap Pak dosen! Coba lu aja yang
jadi pengampu skripsi gue, bakal lain cerita nih.”

Ridwan tertawa, “Iye, lu bakal lulus ntar, semester enam belas kalo gue
yang ngampu.”

Anton berdecak kesal dan menepuk bahu Ridwan seraya membisikkan


sesuatu, “Selamat lah mas bro, pokoknya gue harus diundang ya! Hahaha,” ledek
Anton sambil berlalu, meninggalkan Ridwan yang tengah tersenyum lebar.

Sesi perfotoan bersama keluarga dilanjutkan, dan kini giliran keluarga


Ridwan. Pakaian kebesaran para sarjana dikenakannya, Pak Karta berdiri
sejajar dengan Ridwan, mengembangkan senyuman setelah fotografer
memberikan aba-aba, “1, 2, 3.” Pak Galih, Rektor Universistas dan putrinya, Irla,
menghampiri Ridwan dan Pak Karta. Ternyata perempuan yang ditolong Pak
Karta pagi tadi tak lain adalah calon menantunya. Pertemuan dua keluarga
itupun akhirnya terlaksana, rona bahagia terpancar dari setiap wajah, merekah
bak bunga nan indah di musim semi yang cerah.

Begitulah perjalanan kisah hidup Ridwan, seorang anak tukang becak


yang berjuang mati-matian untuk membuat bangga orang tuanya. Bersyukur dan
bersabar adalah dua kata yang dapat berbuah kemanisan pada akhirnya.
Sejatinya, suatu kebahagiaan tidak serta merta dapat dirasakan dengan
melimpahnya harta kekayaan. Namun, kebahagiaan hakiki hanya dapat
dirasakan oleh mereka yang mengamalkan dua kata, SYUKUR dan SABAR.

-TAMAT-
RAHASIA SEBUAH NAMA

Ketika cinta merasup dalam dada, mengisi kekosongan ranah asmara, dan
mendominasi hati yang telah lama sepi.

Ia kembali menuliskan rangkaian kata bertabuh cinta, aku yakin bahwa


ia sedang terpanah asmara. Ya, seperti beberapa rangkaian kalimat yang ia
tuliskan pada lembaran-lembaran sebelumnya.

Mentari pagi kembali menyunggingkan senyuman menyinari seluruh


penjuru alam, menghangatkan, dan mengusir kabut malam yang berasa kelam.
Pagi ini, jalanan menuju kampus nampak masih sepi, pukul tujuh pagi. Gadis itu
melambatkan langkahnya, dan menghirup dalam-dalam udara pagi yang
menyehatkan.

Jika benar ini cinta, aku harap ia tidak seperti udara yang bisa menanggalkan
nyawa ketika hadirnya tiada.

Siapakah gerangan, cinta yang baru saja ia tuliskan? Aku hanya mampu
bergumam dalam diam. Cukup diriku menjadi saksi bisu, dan membiarkan gadis
bermata indah itu percaya untuk menitipkan segala rahasianya pada lembaran
putih yang menyusunku. Menjadi rujukan utama yang akan dibuka saat ia ingin
mengingat kembali waktu yang telah bertransformasi menjadi masa lalu. Ya, aku
tidak perlu tahu.

***

Azmya Raesha, seorang gadis berparas cantik berusia hampir dua puluh
tujuh tahun. Usia yang terbilang sangat matang untuk mengakhiri masa lajang,
namun ia tak kunjung menemukan seseorang yang nantinya akan menjadi imam
dalam rumah tangga, dan sudah dapat dipastikan bahwa kegelisahan mulai
mengusik hati kecilnya. Beberapa tahun belakangan ia sama sekali tidak peduli
dengan urusan perasaan, disebabkan oleh suatu peristiwa yang telah melukai
hatinya ketika ia masih berada di Pakistan.

Hanya melalui perantara do’a aku berani menyapa, meluruhkan segala keluh
kesah yang ada, bahkan aku selalu mencanangkan kata “semoga”, kepada-Nya.

Langit malam bertabur bintang, kedinginan merasup hingga ke sum-sum


tulang. Gemeresik dedaunan di luar jendela tersibak angin yang sesekali
berembus kencang. Kulihat sajadah terbentang, dan Azmya masih tetap setia
bersimpuh di hadapan Rabbnya. Kulihat ia menadahkan tangannya, dan dengan
suara pelan ia berdo’a, do’a untuk kedua orangtua, bahkan takdir yang belum juga
tersingkap rahasianya.
“Ya Rabb, jika memang kelak Engkau menakdirkan kami menjadi satu
kesatuan tubuh yang utuh, maka jadikanlah langkah hidup kami langkah yang
istiqomah. Jadikanlah kami pasangan suami istri yang bukan hanya sehidup
semati, akan tetapi sehidup hingga ke surga-Mu nanti. Aamiin.” Malam itu
Azmya menutup do’a dengan kata-kata yang membuatku semakin penasaran,
siapa gerangan orang yang sedang ia do’akan. Namun apalah dayaku, hanya
sebuah diary yang tidak perlu segala tentangnya aku tahui.

***

Dua tahun lalu, ia menuliskan beberapa kisah pilu yaitu perihal


menunggu sesuatu yang tabu, ya, ia termakan janji semu seorang lelaki yang
ternyata memilih untuk pergi dan tidak pernah kembali. Dua kejadian
menyedihkan menimpanya sekaligus. Pertama ketika Azmya harus menjadi
sebatang kara karena orangtuanya meninggal dunia dalam kecelakaan. Mobil
mereka terpental setelah menabrak badan trotoar menghindari laju kencang
sebuah mobil dari arah berlawanan. Hari yang seharusnya bahagia karena ia
telah menyandang gelar sarjana, terpaksa menjadi kenangan pahit dalam hidup
Mya, nama panggilan gadis berjilbab panjang dengan paras nan menyejukkan
saat dipandang.

Kedua, ia harus merelakan Fatir, laki-laki yang dulu pernah berjanji


akan segera menikahinya setelah menyandang gelar Master. Namun, kenyataan
tidak seperti angan-angan, Fatir dijodohkan dengan gadis asli Pakistan oleh
kedua orangtuanya. Rangkaian kata Mya tuliskan dengan air mata berlinang, aku
menyesal, tulisnya untuk membuka cerita. Sejak saat itu Azmya Raesha tidak
pernah lagi memikirkan tentang asmara, ia hanya fokus terhadap kuliah dan
pekerjaan yang terus berdatangan.

“Yaa muqollibal quluub, tsabbit qolbi ‘ala diini wa’ala itho’atik, ” suara
lembut Mya mengudara, seakan mengantarkan lantunan do’anya kepada Sang
Pencipta alam semesta. Do’a di sepertiga malam yang hampir tak pernah
terlewatkan, kecuali saat ia sedang berhalangan.

***

Lagi-lagi aku hanya bisa memandangmu dari kejauhan. Aku mengagumimu,


namun tanpa alasan. Semua terjadi begitu saja, hanya melalui pandangan mata,
tanpa saling menyapa.

Sekali lagi ia menulis tentang seseorang yang entah siapa dan dimana
keberadaannya. Matahari mulai meninggi, Azmya duduk di salah satu kantor
dosen Universitas Indonesia tempatnya bekerja. Laptop di depannya menyala,
tetapi ia lebih memilih fokus menatap lembara-lembaranku di atas pangkuannya.
Masih tersisa beberapa menit sebelum memulai kelas perkuliahan bersama para
mahasiswa jurusan Sastra Budaya semester lima. Ia membuka lembaran
kenangan yang termaktub saat dirinya berada di Pakistan.
(Pakistan, 20 November 2014)

Aku tak berdaya, secepat itukah kalian pergi, Ma, Pa?

Tanpa kalian berdua, aku hanya hidup sebatang kara.

Itu adalah tulisan yang Azmya setelah sepekan orangtuanya meninggal


dunia. Ia seperti hilang arah serta tujuan, tak tahu lagi bagaimana akan
menghadapi masa depan. Saat membereskan laci di kamar utama, ia tertegun
melihat dua buah foto keluarga yang nampak asing baginya. Setelah menelisik
wajah mereka di foto pertama, kemudian ia membalik lembaran ketas usang itu
dan menemukan tulisan “Dieng, Banjarnegara 1988”. Foto lainnya adalah foto
pernikahan orangtuanya, nampak Mamanya mengenakan kebaya berwarna putih,
dan Papanya mengenakan sepasang jas hitam. Di balik foto pernikahan itu
Azmya menemukan sebuah alamat yang ia yakini adalah tempat tinggal mereka
sebelum ke Pakistan. Mengingat orangtuanya selalu bungkam tanpa jawaban
ketika ia bertanya perihal sanak saudara di Indonesia. Dan keputusan
terbesarpun diambil oleh seorang Azmya Raesha. Sebuah keputusan yang akan
merubah alur hidupnya.

***

Indonesia merupakan sebuah negeri yang terkenal akan kekayaan alam,


penduduknya dikenal sangat ramah dan sopan. Panorama keindahan melambai
kepada setiap turis yang datang, seakan menghipnotis mereka agar tak ingin
kembali pulang. Jajaran pegunungan, peninggalan-peninggalan sejarah besar dari
berbagai peradaban disuguhkan saat kaki berpijak untuk pertama kali di negeri
yang dijuluki “Tanah Surga” oleh sebagian penduduknya.

Kali pertama Azmya datang ke Indonesia, ia tidak tahu harus pergi


kemana. Hanya bermodal selembar foto usang dan alamat yang tertera
dibaliknya, ia mulai menelusuri jalanan antar kota setelah keluar dari bandara
Soekarno Hatta, sebuah bandara Internasional di Ibukota Indonesia, Jakarta.
Perjalanan panjang mengantarkannya ke sebuah kota kecil di daerah Jawa
Tengah bernama Banjarnegara. Secercah harapan bersinar dalam hatinya,
terutama saat seseorang menunjukkan letak alamat yang selama ini ia cari.

Saat sampai di alamat tujuan, jarum jam menunjukkan angka enam.


Cahaya mega hampir pudar tertelan malam, adzan maghrib berkumandang,
menyeru dengan lantang ke seluruh penjuru alam, mengajak umat Islam untuk
bersembahyang. Rumah bercat biru muda dengan ukuran sedang menjadi pusat
tumpu pandangan. Dengan sedikit keraguan, ia melangkahkan kakinya ke arah
pintu sebari menyeret koper berukuran besar.

Dua kali Azmya mengucap salam, seorang nenek membukakan pintu


sembari menjawab salam. Sejenak nenek itu terdiam ketika melihat tamu yang
datang, mata sayunya berkaca-kaca, tanpa bertanya beliau memeluk erat Mya dan
berkata.

“MasyaAllah.. Putuku, anake Ranti (cucuku, anaknya Ranti),” ucap


Nenek dalam bahasa khas daerah Banjarnegara. Air mata bercucuran di pipi
beliau yang sudah menua. Azmya hanya diam seribu bahasa, ia seperti merasakan
kembali pelukan Mamanya.

(Dieng, 23 Desember 2014)

Kali pertama aku menginjakkan kaki di tempat asing ini seorang diri, sebuah
tempat yang dulu sangat ingin aku kunjungi. Kini, aku tahu jawabannya
mengapa Mama dan Papa tidak pernah mau menceritakan kisah pilu tentang
pengorbanan yang mereka lakukan. Dari cerita nenek, dulu pihak keluarga Papa
tidak setuju jika Mama menjadi bagian dari keluarga seorang dengan kedudukan
terpandang di Jakarta. Mengingat Mama hanyalah seorang gadis desa yang
menjadi guru ngaji saat kuliah di Jakarta. Mereka berdua bertemu dalam sebuah
forum kajian, dan tanpa mengulur banyak waktu Papa melamar Mama meskipun
ditentang mati-matian oleh keluarga besar di Jakarta. Bagi Papa, perempuan
sholihah lebih utama dibading perempuan elok rupa nan kaya harta. Akhirnya
Papa menikahi Mama tanpa kehadiran orangtua, kemudian membawa Mama ke
Pakistan untuk menemani kuliah S3 dan mengawali karirnya di sana.

Cerita itu ia tuliskan untuk mengenang kisah yang selama ini


orangtuanya tutupi. Mya telah menemukan jawaban atas rasa ingin tahunya
selama ini.

***

Jam dinding menunjukkan pukul delapan tepat. Azmya segera beranjak


dari tempat duduk dan bersiap menuju kelas untuk mengajar. Sarjana sastra IIUI
(International Islamic University Islamabad) Pakistan itu melanjutkan program
Magister di Universitas Indonesia dengan jurusan yang sama, kemudian bekerja
sebagai dosen juga penulis novel, beberapa karyanya telah dibukukan dan
melejitkan nama Azmya Raesha hingga berkali-kali diundang untuk mengisi
seminar kepenulisan.

Suasana kelas tenang saat Mya datang. Para mahasiswa nampak sangat
antusias mendengarkan ketika ia menerangkan mata kuliah yang diampunya.
Mengajar adalah salah satu hiburan selain membantu nenek mengelola bisnis
almarhum kakek di Jakarta. Ya, ia telah bertemu dengan keluarga besar Papa di
Jakarta.

Teringat saat ia kembali ke Jakarta setelah menemui keluarga Mamanya


di daerah Banjarnegara.

(Jakarta, 30 Desember 2014)


Aku kira cinta yang tak direstui hanya ada dalam buku cerita, namun
kenyataannya, kisah seperti itu dialami sendiri oleh kedua orangtuaku. Cerita
dari nenek membuatku sadar, bahwa sesungguhnya harta kekayaan bukanlah
tolak ukur kewibawaan seseorang. Bukan kekayaan, melainkan iman dan
ketakwaan. Beberapa tahun setelah Papa pergi tanpa satupun kabar
menghampiri, kakek sangat menyesal dan berujung sakit-sakitan hingga tiba ajal.
Hanya satu keinginan kakek sebelum meninggal, yaitu meminta maaf kepada
Papa dan Mama atas kesalahan yang pernah beliau lakukan. Tambang batu bara
di pulau Sumatera tidak ada yang meneruskan sepeninggal kakek. Akhirnya,
kepercayaan mengelola tambang diserahkan pada seorang karyawan kepercayaan
kakek.....

Entah mengapa ia tidak melanjutkan tulisannya.

***

Perasaan rindu membuncah dalam kalbu, kubiarkan angin malam


menyampaikan salam, selalu kupanjatkan do’a pengharapan di sepertiga malam,
berharap kita akan segera dipersatukan.

Semburat mega menyingsing di ufuk barat. Matahari sudah tenggelam


beberapa menit lalu. Azmya mempercepat langkahnya sebelum maghrib tiba,
menyusuri parkiran yang mulai sepi menuju halte bus di depan kampus. Mobil
CRV putih berhenti di samping halte tempat Azmya duduk.

“Mba’ Mya!” Panggil seorang lelaki setelah menurunkan kaca mobilnya.

“Mau pulang?”

Azmya menoleh ke arah orang yang memanggilnya. “Eh, Kak Fariz.”

Ia tertegun saat tahu siapa orang di dalam mobil itu. “Iya kak, antum dari
mana?”

“Bareng aja yuk! Kakak juga mau ketemu Ibu,” ajaknya kepada
perempuan yang tidak lain adalah cucu dari seorang yang sudah lama ia panggil
“Ibu”.

Sejak kedatangan Mya ke Jakarta, mereka berdua memang sering bertemu,


pasalnya Fariz adalah orang yang telah dipercaya untuk mengurus bisnis
keluarga Papanya. Seorang pemuda dengan penampilan sederhana yang dulu juga
pernah hidup sebatang kara, bahkan sedari kecil tidak pernah merasakan kasih
sayang kedua orangtua. Meski demikian, ia tetap berjuang untuk kehidupan di
masa depan dengan kerja keras, tanpa lelah dan pantang menyerah. Berbagai
pekerjaan pernah ia lakukan, mulai dari menjadi kuli angkut di pasar hingga
menjadi direktur perusahaan seperti sekarang. Akan tetapi hal itu tidak
membuatnya besar kepala, ia tetap menjadi pemuda sederhana namun penuh
wibawa.
***

Kilas pandang membuatku selalu terbayang, lembut suaramu terngiang di


telingaku.
Menyapamu, hanya membuat lidahku kelu.
Memikirkanmu, hanya membuatku tersipu malu.
Aku ingin seperti Fatimah, yang mencintai Ali dalam tabah.
Dan Allah menyatukan mereka dengan skenario terindah.

Mya mengatupkan matanya sejenak setelah menuliskan rangkaian


kalimat di atas lembaran putihku. Senyuman nan penuh harapan tersungging di
bibirnya yang kemerahan tanpa sedikitpun polesan. Segera ia beranjak dari
tempat duduknya, dan berjalan keluar kamar untuk berwudhu. Semilir angin
malam seakan turut menyaksikan, sekaligus mendo’akan pengharapan Azmya
yang ia tuliskan dalam diary kesayangannya.

“Ya Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Jika memang ia
adalah takdir hamba, maka satukanlah kami dalam taat, jangan biarkan rindu
yang tak halal membuat api neraka menyambangi kulit ari meski hanya menjilat,
karena hamba yakin tidak akan kuat. Wahai Tuhanku sang penguasa seluruh
jagat, jangan biarkan hati kami tertambat, jika tanpa keridhoanmu cinta kami
melekat. Ya Rabb, jika memang ia, lelaki bernama Fariz, Athafariz Hizam, yang
telah engkau tetapkan sebagai jodoh hamba. Maka singkaplah tabir yang
memisahkan kami berdua ketika waktunya tiba. Aamiin.”

Dan akhirnya tersingkap sebuah nama yang selalu Azmya sebut dalam
do’anya. Hanya kepada Allah ia menggantungkan harapan, karena ia yakin tidak
akan mendapat unsur kekecewaan. Bukankah Allah telah berfirman di dalam
Al-Qur’an : “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu,
dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu;
Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

-TAMAT-
SEGENGGAM AMANAH

“Apa yang membawamu kembali ke tempat ini?” Fatih membuka


percakapan.

Dalam gelap malam tanpa penerangan lampu pijar, kami duduk


bersebelahan sembari menjuntaikan kaki, mata kami menatap suasana bumi
Darussalam yang dihiasi lampu-lampu pada setiap sudut bangunan.

“Segenggam amanah,” jawabku sembari menerawang langit malam


bertabur bintang. Sesekali angin berembus kencang, menyibakkan sorban putih
bercorak hitam putih yang aku kenakan.

“Tidakkah kamu ingin pulang Lif?” tanya Fatih kembali dengan nada
sumbang.

Aku hanya menyunggingkan senyuman. Fatih menatapku heran dan


untuk beberapa saat kami berdua terdiam, kedinginan menembus hingga ke
tulang. Sepuluh tahun berlalu semenjak aku dan Fatih mematri sebuah janji, ya,
janji untuk kembali ke tempat ini. Dari atap gedung inilah, bermulanya sebuah
kisah.

***

Sepuluh tahun lalu, purnama berada di ufuk barat, mempersiapkan diri


untuk tenggelam seirinng dengan datangnya pagi.

Allahu Akbar.. Allaahu Akbar..

Adzan subuh berkumandang, mencoba membangunkan setiap jiwa yang


merasa tenang, dalam balutan selimut penuh kehangatan. Di ruangan berukuran
tujuh kali delapan meter, dua puluh lima santri masih terlelap di atas kasur busa
setebal lima senti. Sayup-sayup terdengar suara gebrakan kasar, berurutan mulai
dari kamar yang paling dekat dengan tangga asrama lantai dua. Semakin lama,
suara itu semakin mendekat, brak.. brak.. brak.. tongkat bagian keamanan
mendarat di pintu kamar, berulang-ulang, membuat mimpiku buyar dan seketika
terduduk dalam keadaan setengah sadar.

“Qum!! Qum!! Idzhab ilal masjid!! (Bangun!! Bangun!! Pergilah ke


masjid!!), dan segera aku menyambar sarung yang tergantung di depan almari.
Gerakan kami di pondok ini harus ekstra cekatan, sekali susah dibangunkan,
sudah pasti akan dimandikan oleh bagian keamanan, langsung di atas kasur yang
jauh dari kata tebal.

Tak ada yang lebih menentramkan kecuali suasana masjid Darussalam


saat fajar menjelang. Di sanalah aku menemukan sesuatu yang lain, sesuatu yang
mebuatku bertahan hingga sekarang. Masih jelas tergambar dalam memori
ingatan, aku merasa telah dibuang. Tak sayang lagikah Ayah dan Ibu kepadaku?
Dalam balutan gulita aku mengadukan segalanya, kepada Dzat Yang Maha
Mendengar setelah sholat fajar.

***

“Ibu... aku mau pulang, gak betah...” aku terisak dalam bilik telepon,
butiran hangat terus menganak sungai di pipiku. Antrean di wartel sangatlah
panjang, namun sama sekali tak kuhiraukan. Saat itu, tak ada lagi yang aku
pikirkan selain pulang, pulang dan pulang.

“Coba dulu seminggu, nanti kalau masih belum betah bisa pulang,” kata
Ibu berusaha meyakinkanku. Satu minggu berlalu, aku menagih janji Ibu tempo
hari, namun sama sekali tak kudapati. Hanya jawaban sama yang kudapat pada
minggu-minggu setelahnya, sampai aku bosan dan pada akhirnya memilih untuk
bertahan.

Langit siang nampak begitu cerah, terlihat di bawah sana, para santri
berlari-lari kecil sembari membawa alat makan menuju dapur umum. Antrean
yang sangat panjang terkadang membuatku memilih untuk tidak makan dan
pergi ke tempat ini, ya, atap gedung asrama Saudi. Tempat yang menjadi saksi
sebuah perjuangan, perjuangan yang teramat berat aku rasakan, bak merangkak
mencari mata air di tengah gurun yang gersang, nanar mata ini tuk menatap ke
depan, hilang arah serta tujuan.

“Sedang apa?”

Suara itu membuyarkan lamunanku, tak biasanya ada orang lain di sini,
selain hanya aku seorang diri, termenung dan kadang mengabadikan pengalaman
sehari-hari dalam bentuk tulisan.

“Sedang menulis,” jawabku singkat.

Itulah kali pertama aku bertemu dengannya, Muhammad Al-Fatih,


seseorang yang kuanggap sahabat hingga sekarang. Pondasi persahabatan kami
sederhana saja, adalah hobi yang sama. Dulu, terang di antara kemerlip ribuan
bintang, tempat kami menggantungkan mimpi-mimpi serta harapan.

***

Teng... teng... teng...

Suara lonceng besar menggema ke seluruh penjuru pesantren, pukul tujuh


tepat. Gedung-gedung asrama nampak sepi seperti tak berpenghuni, hanya
beberapa santri yang memang sedang piket terlihat sibuk menyapu dedaunan di
halaman. Gedung asrama terletak berjajar seperti kompleks perumahan, masing-
masing mempunyai halaman dengan pepohonan rindang. Jalan lebar di tengah
jajaran gedung asrama tak beraspal, hanya tanah yang pada musim hujan akan
berubah menjadi genangan. Sudah tak terhitung berapa kali aku harus membeli
alas kaki saat musim hujan, dan yang aku heran, hanya tersisa satu bagian, entah
itu kiri ataupun kanan. Mungkin terselip di selokan. Hahaha, sungguh nostalgia
yang menyenangkan.

“Man saaro ‘alaa darbi washola”

Samar-samar suara teriakan terdengar serentak dari sudut lain pesantren


Darussalam, dengan semangat berkobar kata-kata tersebut kembali diulang.
Suasana kelas hening kala Ustadz menjabarkan maksud dari kata mutiara yang
mereka teriakan sebelumnya.

Aku menyimak dengan seksama, pesan yang terkandung di dalamnya


sungguh membuatku terkesima, “Barang siapa yang berjalan pada jalannya,
sampailah ia.” Energi positif mengalir tiba-tiba, rasa tidak betah yang
menyelimutiku hilang seketika. Aku menghela nafas panjang, seulas senyuman
kutunjukkan demi menyambut masa depan gemilang.

“Alif sehat???” Ledek Fatih yang sedari tadi memperhatikan, matanya


memerah dan hampir terpenjam, kebiasaannya adalah mengantuk saat jam
pelajaran pertama, dan aku tahu betul alasannya.

Aku tertawa dan sedikit meninju bahu Fatih sembari berkata, “Tumben
gak tidur Pak Ustadz..” dan tawa kami pun bergelak.

“Al-waraa’, lima tadzhakumaa? (Yang belakang, kenapa kalian berdua


tertawa?)” Ustadz Ramli mengacungkan telunjuknya ke arah kami, disusul
dengan perintah, “Ukhrujaa wa kumaa tahta dhiyai syams, al’an!! (Keluar kalian
berdua dan berdiri di bawah terik matahari, sekarang!!)” tergopoh kami berdua
keluar untuk mengerjakan hukuman, berani berbuat, harus berani bertanggung
jawab. Hahaha, lagi-lagi nostalgia yang mengundang tawa.

***

“Apa kamu ingat Lif?”

“Apa?” kataku sembari mengalungkan sorban hingga menutup setengah


wajahku karena kedinginan.

“Aku sangat bersyukur memiliki sahabat sepertimu, sahabat yang selalu


ada bukan hanya di saat suka, namun saat duka pun kamu selalu ada, meskipun
harus ikut memikul hukuman untuk kesalahan yang sama sekali tidak kamu
lakukan,” suara Fatih parau.

Aku tersenyum di balik balutan sorban seraya menepuk bahu Fatih untuk
menyemangati, “Lupakan Fat! Jangan ungkit masa lalu yang tidak
menyenangkan, masa depan kita masih panjang, cukup kamu jaga dan bimbing
dek Isma dalam keistiqomahan. Masa lalu jangan dijadikan ratapan, namun
jadikanlah pelajaran. Jangan pernah mengulang kesalahan yang sama untuk
kedua kalinya.”

Kala itu, sebuah peristiwa terpaksa membuat jeda, persahabatan yang


kami jalin bersama hampir saja tiba di penghujung masa. Peristiwa yang hingga
kini menjadi bayang-bayang dalam pikiran, namun demi menjaga perasaan
Fatih, aku selalu menyimpannya dalam diam, walaupun hati ini begitu perih
menahan kekecewaan.

***

Matahari mulai menyongsong pagi, perlahan gulita tersibak pancaran


cahaya yang menyemburat di ufuk timur. Kemuning padi memperindah
pemandangan sisi belakang bumi Darussalam. Dari atas bukit buatan aku
termenung sendirian, di bawah gazebo bambu, pena hitam mulai kuayunkan,
mengisi lembaran demi lembaran buku tulis yang semula putih tanpa ada coretan.

Burung-burung berkicauan riang, terbang bergerombol saling mengejar,


sesekali hinggap di dahan pohon yang rindang. Pikiran dan tanganku bergerak
seirama menciptakan sebuah karya, aku menghela nafas panjang, sesak dada ini
mengenang kejadian tempo hari. Aku merasa telah gagal, amanah yang Ayah
berikan tak dapat sepenuhnya aku emban. Amanah untuk menjaga adikku Isma
dalam keistiqomahan, seperti yang beliau katakan sebelum meninggal. Usia kami
berdua selisih dua tahun, Isma berada di pesantren yang sama, hanya saja
berbeda lokasinya. Jarak pesantren Darussalam putra dan putri adalah seratus
km, seperti syarat yang dikemukakan oleh Trimurti pendiri pesantren
Darussalam. Peristiwa tak menyenangkan itu bermula saat aku mengajak Fatih
untuk menjenguk dek Isma di pondok putri.

Andaikata, adalah suatu keputusasaan nyata. Namun apalah daya, nasi


yang telah menjadi bubur tidak dapat kembali dalam bentuk aslinya.

***

Ustadz Mustaqim terdiam setelah beberapa saat naik pitam, tak henti
mengintrogasi, memarahi, dan menasehati dua orang santri yang telah melanggar
peraturan sekaligus melakukan kesalahan terbesar. Aku dan Fatih hanya
tertunduk diam, tak ada pembelaan yang kami lontarkan jika Ustadz bagian
pengasuhan itu tak memperkenankan kami untuk menjawab, karena semua itu
adalah bagian dari nilai adab.

“Alif, apa kamu tahu kalau ternyata temanmu ini secara diam-diam
menjalin hubungan di luar batas kewajaran dengan ADIKMU yang saat ini
berada di pondok putri?” Ustadz Mustaqim menekankan satu kata yang membuat
mataku terbelalak mendengarnya. Bagaikan disambar halilintar di tengah siang
tanpa adanya mendung ataupun hujan. Aku terdiam, hanya mengisyaratkan
gelengan sebagai jawaban.
Hari itu, kira-kira empat tahun yang lalu, tepat seminggu setelah kami
melalui ujian niha’iy atau ujian akhir KMI (Kulliyatul Mu’allimin Al-
Islamiyah). Seharusnya hal seperti itu tidak terjadi, seharusnya kami sedang tak
sabar untuk menanti hari kelulusan, hari dimana air mata kebahagiaan
bercucuran. Sungguh bukan akhir seperti itu yang aku harapkan, menangis
dalam kepedihan karena harus pulang dengan tidak terhormat, diusir karena
telah melakukan maksiat. Pacaran dalam Islam adalah haram, begitu pula di
pondok ini, konsekuensi bagi si pelanggar adalah DIKELUARKAN.

***

Empat tahun sudah diri ini kuabdikan, kepada pondok yang sudah
mendidikku hingga menjadi seperti sekarang. Tak cukup rasanya bila hanya
melakukan pengabdian dan setelah itu pulang. Tiga hari tiga malam aku
meminta petunjuk kepada Dzat Yang Maha Mendengar, bersimpuh di sepertiga
malam hingga adzan subuh berkumandang.

Ramadhan tahun ini aku pulang, senang rasanya dapat berkumpul


kembali bersama mereka, keluargaku tercinta. Ibu sedang sibuk dengan Alia,
buah hati Fatih dan Isma. Dua tahun setelah peristiwa pengusiran itu, mereka
berdua memutuskan untuk menikah. Aku menghargai pertanggung jawaban yang
Fatih berikan untuk menebus kekhilafan sekaligus mengeratkan kembali tali
persahabatan yang telah renggang semenjak kejadian.

Ibu melambaikan tangannya kepadaku yang sedari tadi termangu di balik


kelambu pintu ruang tengah. Aku tersenyum sembari berjalan ke arah Ibu, gurat
wajahnya semakin menua, aku tak tega untuk mengutarakan niat yang telah
membulat menjadi tekad.

“Ibu..” ucapku sedikit ragu.

“Iya nak, ada apa?” Jawab Ibu sembari memegang kedua tanganku.

“Apa yang ingin kamu katakan?” Tanya Ibu sedikit penasaran.

Aku menghela nafas panjang dan menghembuskannya pelan, “Alif punya


cita-cita Bu, cita-cita yang in syaAllah sangat mulia. Alif merasa apa yang
pondok berikan kepada Alif teramat besar, tak cukup jika hanya bentuk
pengabdian sebagai syarat pengambilan ijazah saja yang Alif lakukan, Alif ingin
mengabdi secara keseluruhan. Jika Ibu berkenan, bolehkah Alif mewakafkan diri
kepada pondok?”

Kulihat mata Ibu berkaca-kaca, dielusnya kepalaku dengan penuh cinta.


“Lif, Ibu bahagia sekali kamu punya cita-cita yang sangat mulia. Ayahmu pasti
bangga di alam sana. Pergilah nak, Ibu tidak akan mencegah.”
Kubenamkan wajah dalam pelukan Ibu, tangis bahagia pecah diantara
kami berdua. Keesokan harinya akupun kembali ke pondok setelah satu minggu
lamanya menghabiskan waktu bersama keluarga.

***

Aku mematung di depan gerbang pesantren. “Ke Darussalam Apa Yang


Kau Cari,” itulah kalimat sambutan yang terpampang di pintu gerbang, kalimat
ini akan terus terpampang agar santrinya tahu, untuk apa mereka datang ke
Darussalam.

Pak Kyai pernah berpesan dalam sebuah forum, “Ke Darussalam adalah
untuk mencari pendidikan dan pengajaran, karena Darussalam adalah tempat
pendidikan mental dan karakter. Di sinilah para santri akan dididik untuk
menjadi seorang ulama’ yang intelek, bukan intelek yang tahu agama. Karena
pemimpin harus mempunyai kriteria pemimpin. Darussalam mencetak kader-
kader pemimpin umat untuk kejayaan bangsa, dari sinilah seorang pemimpin
harus berani berkorban, berpikir keras, bekerja keras, dan berdoa keras.”

Tepat adzan dhuhur berkumandang, para santri dengan pakaian rapi


bergegas memenuhi panggilan Ilahi. Kupandang bangunan kokoh di depanku,
muara pandangan yang takkan pernah lekang, akhirnya mimpi itu menjadi
kenyataan, mimpi yang tempo hari Allah berikan sebagai jawaban atas doaku di
sepertiga malam.

Perlahan kakiku melangkah, mendekati bangunan megah dengan susunan


anak tangga tepat di bagian tengahnya. Hatiku bergetar hebat, butiran bening
tertahan di pelupuk mata, inilah awal masa depan yang dahulu pernah aku cita-
citakan, masa depan gemilang. “Bismillah...” lirihku sembari memijaki satu
persatu anak tangga menuju satu tempat bernuansa surga.

***

Jam tanganku menunjukkan pukul sebelas malam, angin semakin


berembus kencang. Kerikan jangkrik memecah keheningan, tak ada percakapan,
aku dan Fatih masih terdiam menatap langit malam.

“Ini janji kita sepuluh tahun lalu,” aku mengeluarkan bingkisan dari
balik jas hitam yang aku kenakan. Janji sepuluh tahun itu adalah saling
bertukar karya karena hobi yang sama. Sebuah buku bersampul coklat muda
dengan judul Segenggam Amanah kusodorkan kepada Fatih.

“Sudah kuduga, kamu memang hebat kawan,” ucapnya seraya menepuk-


nepuk bahuku tanda rasa bangga. Wajah tampannya kembali cerah setelah
beberapa saat merasa sangat bersalah.

“Where is yours??” Tagihku seraya memincingkan alis.

“In your mind,” Fatih tertawa lepas.


“Hahahaha... aku hanya bercanda Lif. Tenang, sahabatmu ini bukan
orang ingkar.”

“Allahumma ba’id bainaa minar riyaa’, ” ucapku dengan ekspresi sok


datar. Fatih tak henti tergelak, membuatku terpaksa meninju bahunya dengan
sedikit kasar hingga ia mengaduh dan berhenti tertawa. Akhirnya ia
mengeluarkan sebuah buku tebal dari ranselnya. Sepenggal Cerita Di Lorong
Pesantren, buku itu bersampul biru dengan gambar masjid jami’ Darussalam
terpampang di depannya, sebuah nama terukir di sisi kiri bawah, Al-Fatih. Aku
tersenyum bangga menerimanya.

Malam ini telah menjadi saksi sebuah perjalanan, perjalanan penuh


perjuangan. Banyak gelombang yang harus kami terjang, lika liku kehidupan
terus menghadang, namun dengan niat dan tekad, akhirnya kami diberikan jalan
sehingga dapat melewatinya dengan lapang.

-TAMAT-
CATATAN DALAM SEBUAH PENANTIAN

“Berikan aku alasan!”

Nada suaranya meninggi, menghentikan langkah kaki seorang perempuan


yang baru saja beranjak pergi. Pemuda itu begitu meredam amarah hingga
membuat wajahnya kian memerah, mata sayunya menahan lara hingga berkaca-
kaca.

Itu kali pertama ia, lelaki bernama Rangga bertatap muka dengan seorang
perempuan yang dikenalnya lewat dunia maya. Desir angin menggugurkan
dedaunan dari tangkai pepohonan yang rindang, semburan air mancur di tengah
taman menciptakan kesejukan. Sesekali suara burung terdengar berkicau riang,
menambah keramaian taman saat akhir pekan. Tepat di sisi air mancur,
perempuan bernama Rida itu menghentikan langkah dan memutuskan untuk
berbalik arah, menghampiri pemuda yang sekilas nampak berdiri gagah. Wajah
ayunya menyiratkan kecemasan, kerudung panjang dengan motif garis berwarna
pink keunguan berkibar pelan seirama dengan arah angin yang menenangkan.

“Alasannya hanya satu akhi, aku tidak bisa menerimannya jika jalan
seperti itu yang antum pinta. Aku takut Allah murka...” ucap Rida dengan wajah
pasi.

Rangga terdiam seketika, jawaban yang menyerupai tamparan itu


membuatnya sadar, bahwa ia telah melakukan sebuah kesalahan besar. Kali ini
tak ada lagi alasan bagi Rangga untuk mencegah kepergian gadis di depannya.
Sosok Rida dengan cepat hilang di tengah kerumunan orang-orang yang sedang
menikmati libur akhir pekan.

***

Air mata berderai di atas hamparan sajadah, pada sepertiga malam gadis
berparas menawan itu mengadukan seluruh kegundahan yang selama ini ia
pendam, rasa cinta terhadap seorang ikhwan tersimpan dalam diam. Hanya satu
doanya terkait hal itu, “Jika memang ia di takdirkan untuk menjadi imamku,
maka satukanlah kami dalam ikatan tali pernikahan nan suci. Tak rela jika hati
ini harus terkotori dengan umbaran janji yang tak pasti.”

Buku tebal berwarna hitam tergeletak di atas dipan, pada sampulnya


terukir jelas sebuah nama, Farida Nisa. Di waktu tertentu, Rida tidak pernah
absen untuk mengisi buku tebal berukuran sedang itu. Hampir setengahnya telah
tergores pena, membentuk rangkaian kata yang menyimpan alur cerita rahasia
dalam hidupnya.
Kerikan jangkrik memecah keheningan malam, teramat gulita tanpa
adanya cahaya sebagai sumber penerang. Wajah sang bulan tertutup awan,
kemerlip bintang hilang ditelan kegelapan. Lampu pijar menyisakan temaram
cahaya pada salah satu ruangan, seorang gadis muda masih setia bersimpuh di
hadapan Rabb-nya. Ia amat menyesali perbuatannya pagi tadi karena telah
menemui laki-laki yang bukan mahramnya seorang diri, meski tempat itu jauh
dari kata sepi.

***

Cangkir kopi masih tergeletak di atas meja, tumpukan kertas tercecer tak
beraturan, seorang pemuda terkapar kelelahan. Tak lama kemudian, adzan subuh
berkumandang memecah keheningan di penghujung malam. Perlahan mata
Rangga terbuka masih dengan kacamata minus yang belum sempat dilepasnya.

“Astagfirullah... Tugas!!!”

Matanya nanar menatap ceceran kertas di atas meja, tugas akhir D3


Teknik Informatika sebuah Universitas ternanama di Ibukota. Akhir-akhir ini
waktu Rangga habis untuk melakukan revisi, menebus ketidak seriusannya
selama ini. Kalau saja bukan karena kejadian tempo hari, mungkin sampai saat
ini ia akan tetap menunda revisi.

Cahaya mentari menyambut pagi, mengganti dinginnya malam dengan


kehangatan. Rangga masih serius dengan runtutan kertas yang keluar dari printer
hitam di samping meja, sesekali ia membenarkan posisi kacamata. Handphone di
atas meja terus berbunyi, pesan-pesan dari sosial media memenuhi notifikasi.
Biasanya, Rangga akan segera meraih ponselnya, dan dapat seharian menatap
layar telepon genggam untuk sekedar chit chat dengan teman-teman. Namun hari
itu ada yang berbeda, ia mengabaikan seluruh antrean pesan, tak satupun dari
mereka mendapat balasan. Rangga memilih untuk fokus menyelesaikan tugas D3
yang akan menentukan kelulusan. Kata-kata Rida bak tamparan keras yang
mendarat di wajahnya. Memang tak seharusnya ia memaksa Rida untuk bertatap
muka.

Kini layar smartphone dipenuhi rentetan notifikasi, tetapi Rangga tak


kunjung menemukan apa yang ia cari. Matanya berkaca-kaca, penyesalan
semakin jelas terlukis di wajah manisnya.

***

Jika memang sudah ditakdirkan, meski diperebutkan seribu orang, bagaikan


sebuah kapal, tetap akan kembali ke pelabuhan.

Pun sebaliknya, jika memang tak ditakdirkan, sekeras apapun kita mengejar,
tetap akan menjauh walau perlahan.
Rangkaian kata pelipur lara, penyembuh goresan luka di dada. Rangga
menghembuskan nafas lega setelah membaca tulisan Rida.

Badan bus melaju dengan kecepatan standar, tubuh jangkung Rangga


beberapa kali terguncang saat roda bus bertuliskan “Trans Jakarta” melewati
lubang akibat kerusakan jalan. Matanya menerawang ke luar kaca jendela, ponsel
di tangannya berdering tak henti-hentinya, puluhan pesan masuk dari sosial
media, namun seperti biasa, Rangga mengabaikannya. Hati kecilnya berbicara,
“Jika memang kamu, akan kuperjuangkan,” dan seketika senyuman di bibirnya
mengembang.

***

Anugerah terindah dari-Nya adalah CINTA.

Terkadang cinta membuat kalap mata, berpijar bak bintang kejora.

Jika aku lengah tuk menjaga, kemungkinan besar aku akan kalut dalam buaian
cinta semu yang dapat menggoyahkan kekokohan benteng hatiku.

Aku masih setia tuk menjaga, menjaga cinta dalam dada, hingga tiba hari di
mana kau akan memilikinya.

Buku biru itu terbuka, terungkap sudah satu rahasia di dalamnya. Rida
menyebutnya, “Catatan Dalam Sebuah Penantian.” Tiga tahun sudah ia menjaga
hati, memantaskan diri, dan tidak berinteraksi dengan laki-laki. Jera dengan
pengalaman masa lalu, saat Rangga memintanya untuk menunggu sekaligus
mengumbar janji semu.

“Perempuan baik tak butuh janji, hanya perlu bukti jika benar-benar
serius untuk mencintai!” Kalimat ini seolah terpatri dalam sanubari.

Sebagai jebolan Fakultas Sastra dan Budaya, karya-karya Rida begitu


mempesona, dan tak jarang cerita-cerita yang dibuatnya mampu mengalirkan air
mata tanpa terasa. Beberapa prestasi telah diraihnya, jajaran piala dari berbagai
macam lomba kepenulisan, juga beberapa penghargaan menghiasi dinding kamar
bercat putih nan elegan. Salah satu piagam bertuliskan Novelis Muda Berbakat
adalah bukti kerja keras seorang Farida Nisa selama ini. Tajuk Al-Qur’an
menjadi bumbu yang berbeda dalam novelnya, membuat pembaca tenang dengan
ulasan hikmah dari tarjamahan kitab suci umat Islam.

Lika-liku dalam perjalanan telah Rida lalui sebelum mencapai tempatnya


saat ini. Dia bisa karena berani meramukan hal berbeda dalam karyanya, tak
gentar walau harus berkali-kali gagal, Rida terus mencoba, memperbaiki
kekurangan yang ada, tanpa sedikitpun berputus asa.

Tiga tahun berlalu, ketenaran tak membuat gadis berusia 24-an itu lupa
daratan, tak melambungkannya walaupun acap kali diminta untuk mengisi acara
seminar kepenulisan. Sifat rendah hati telah terpatri sebagai pondasi dalam diri.
Sudah fitrah manusia memiliki rasa cinta, namun cinta hakiki hanya dimiliki
mereka yang dapat menjaga hati, mengontrol diri agar hawa nafsu terkendali.
Diam-diam hati Rida mulai merindukan sosok orang yang akan memberinya
perlindungan, hatinya mulai gusar, secercah harapan masih tersimpan, dan nama
Rangga Putra Sanjaya masih terselip dalam doa. Tetapi apa mau dikata, takdir
yang akan berbicara.

***

Suara tangis anak laki-laki berusia sekitar tiga tahunan itu semakin
keras, perempuan dengan rambut hitam yang tergerai lebat berusaha
menenangkan.

“Ngga, tolong antar Fatih ke toko buku sebentar ya, ada rapat dadakan
nih,” ucapnya kepada seorang laki-laki berdasi yang tengah duduk santai di atas
kursi menikmati secangkir kopi. Piring di atas meja telah kosong tak bersisa,
potongan terakhir sandwich telah dihabiskannya.

Dengan sigap ia berdiri sembari memasang posisi hormat, “Siap


komandan!! Ayo jagoan, kita berangkat,” ajak Rangga menghibur Fatih yang
masih berurai air mata, senyuman akhirnya mengembang di bibir mungilnya.

Tak sampai satu jam, bangunan berisikan banyak buku yang dijual telah
menumpu pandangan. Mata Rangga menelisik dalam, membaca tulisan di atas
pamflet-pamflet yang terpampang di depan toko buku, menyambut lalu lalang
orang-orang yang berdatangan. Sejenak ia terdiam, pikirannya berusaha memutar
memori, nama penulis novel Diary Kehidupan itu seperti tak asing lagi.

“Ayo beli buku cerita.”

Tangan kecil Fatih menarik-narik kemeja Rangga, membuat lamunannya


buyar seketika.

Antrean panjang berjajar, novel berjudul Diary Kehidupan dibawa oleh


setiap orang, “Rupanya sedang ada sesi tanda tangan,” batin Rangga sembari
mengangguk pelan. Memori di otaknnya berputar seketika setelah melihat
senyuman terpancar dari wajah seorang perempuan yang dulu sempat mengisi
kekosongan hati. Perlahan kaki Rangga mendekati sebuah meja yang terletak di
tengah-tengah karangan bunga, senyuman itu begitu merona, disuguhkan kepada
setiap penggemar novelnya.

“Rida...” serak suara memanggil nama sang novelis yang tengah asyik
membubuhkan tanda tangan di atas karya terbarunya. Kepalanya menengadah,
mencari asal suara yang memanggilnya, rona keceriaan memudar seketika, antara
percaya dan tidak percaya melihat kembali wajah seseorang yang diam-diam ia
rindukan.

“Buku... buku... buku”


Fatih meronta, tak sabar untuk membeli buku cerita Kancil dan Singa.
Pemandangan itu membuat butiran bening tertahan di pelupuk mata Rida,
secercah harap seakan sirna. Rangga tak sempat berkata-kata, lidahnya kelu
mengingat kenangan masa lalu. Hanya kata terbata yang sempat keluar dari
mulutnya, “I..i..iya sebentar,” menuruti rengekan anak kecil yang sedari tadi
menarik-narik lengan kemejanya.

***

Hembusan angin menyejukkan suasana taman kota, udara segar menjalar


hingga ke alveolus paru. Burung-burung berkicauan riang, semburat air mancur
membiaskan cahaya mentari membentuk gabungan warna pelangi. Di tempat
inilah Rida bernostalgia, kelebat bayang dua orang yang baru pertama kalinya
bertatap muka begitu terasa, bak sedang menyaksikan satu scence dalam sebuah
drama.

Laptop warna biru muda menyala, akhirnya novel terbaru karya Farida
Nisa yang berjudul Catatan Dalam Sebuah Penantian telah tiba di penghujung
jalan, ending dari cerita telah Rida tetapkan. Novel yang menceritakan tentang
realita kehidupan, serta lika-liku dalam sebuah penantian dari sang empu.
Telisik mata menyusuri rangkaian kata pada halaman word di layar laptopnya.
Jemari yang sedari tadi terus menari di atas keyboard, tiba-tiba terhenti, Rida
melepas bingkai kacamata, memijit kening yang mulai pening.

“Nduk, kamu mau ya Ayah kenalkan sama junior Ayah di kantor. In


syaAllah orangnya sholeh,” perkataan Ayah semalam membuat Rida semakin
dirundung kegalauan. Sejenak ia memejamkan mata, mencoba tuk mendengar
kata hatinya, “Apa salahnya jika mencoba, siapa tahu ini adalah jalan yang telah
Allah tetapkan, skenario indah yang mungkin belum pernah terbayang.”

Sejatinya, tidak ada kesia-siaan dalam sebuah penantian. Cukup gunakan waktu
menunggu untuk melakukan hal-hal yang baru, merealisasikan mimpi dan
mengukir prestasi. (Farida Nisa)

***

Matahari semakin meninggi, merubah kehangatan menjadi terik yang


kian mendidihkan ubun-ubun. Rida segera mengemasi barang bawaannya. Di
balik balutan gamis hitam dan kerudung hijau muda, tersimpan perasaan yang
amat menyesakkan, namun itu semua ia tepis seketika dengan senyuman. Rida
memilih bangkit dari keterpurukan, akhirnya doa di seprtiga malamnya telah
terjawabkan, bahwa mungkin memang bukan nama Rangga Putra Sanjaya yang
menjadi takdirnya. “Bismillah... Ya Allah, aku telah pasrah..” air mancur taman
kota seolah menjadi saksi, merekam suara lirih yang menggambarkan isi hati.
Aroma masakan telah tercium mulai dari pintu depan, sedikit melangkah,
aromanya semakin menggoda lidah. Bermacam makanan terhidang, Ibu Rida
nampak sibuk mengaduk-aduk sesuatu diatas teflon berukuran sedang.

“Ada acara apa Bu?” tanya Rida sembari mendekati Ibunya.

“Eh nduk, sudah pulang. Ini, Ayah mengadakan jamuan makan untuk
teman kantor,” dentingan teflon dan spatula saling beradu di sela-sela
percakapan, senyuman tersirat di wajah Ibunya yang sudah mulai banyak
kerutan. Gadis itu sedikit mengulum bibirnya, seakan tahu maksud dari jamuan
makan yang Ibunya bicarakan.

***

Jam dinding menunjukkan pukul empat, para tamu yang sengaja Ayah
Rida undang telah datang. Ruang tamu riuh dengan gelak tawa, dua orang laki-
laki berkemeja rapi, dan satu orang perempuan berambut panjang yang
merupakan teman kantor Pak Arif, Ayah Rida, tengah asyik bercengkerama
seputar pekerjaan.

Salah seorang pemuda yang diceritakan Ayah Rida tengah berbicara


tentang bidang informatika yang kini dikontrolnya. Rambutnya hitam, dengan
potongan sederhana ala pekerja kantoran. Kacamata minus tak lekang dari
pangkal hidungnya, membingkai sepasang mata berlensa cokelat. Kulit sawo
matang tak sedikitpun memudarkan ketampanan, sirat senyuman membuat
wajahnya semakin menawan. Tak heran jika banyak perempuan yang
menggantungkan harapan, namun tak satupun dari mereka mendapat kepastian,
karena hati pemuda itu masih bimbang.

Rida telah rapi dengan gamis ungu muda dan kerudung senada yang telah
disiapkan Ibunya. Ia menghela nafas panjang, wajah cantiknya menyiratkan
kecemasan, jantungnya berdegup kencang.
Bismillah... Rida telah pasrah, hanya berharap dirinya tidak akan menemukan
orang yang salah.
***

Sepoi angin menyapu dedauan kering di halaman, seorang perempuan


tengah sibuk mengejar anak laki-laki yang berlarian kesana kemari, begitu
lincah seperti tak punya rasa lelah. Dari teras rumah, seorang laki-laki
berkacamata minus mengamati, berteman secangkir kopi. “Farid! Sini sayang..”
panggilnya kepada anak kecil yang masih berusia lebih kurang dua tahunan.

“Ya Allah.. Mas Rangga, anak kita lincah sekali,” ucap perempuan
berjilbab putih panjang masih dengan nafas tersenggal. Rangga melemparkan
senyuman, “Persis sama mamanya, Farida Nisa. Iya kan sayang?” ucapnya
sembari mengangkat Farid ke atas pangkuan. Rida terkekeh mendengar jawaban
suaminya.
Senja datang menyapa, semburat mega memperindah suasana, putra kecil
mereka tengah asyik menikmati biskuit di tangannya.

“Kamu ingat nggak Da, waktu dulu kita bertemu kembali setelah sekian
lama?” ucap Rangga bernostalgia.

“Iya ingat,” Rida mengangkat kepala yang tadinya bersandar di bahu


Rangga, senyuman mengembang menghiasi wajah ayunya.

“Sebenarnya, waktu itu aku sangat terluka, merasa bahwa penantianku


telah berujung sia-sia, cinta yang kusampaikan lewat doa seakan tiada guna.”

Kejujuran terlukis di mata Rida, membuat Rangga terkesima, dengan


penuh kasih sayang, ia langsung memeluk erat anak dan istrinya. Menciptakan
akhir bahagia bak sebuah kisah dalam buku cerita.

Jika hati telah pasrah dan sungguh-sungguh untuk berhijrah, jangan resah,
karena skenario Allah jauh lebih indah. (Farida Nisa)

-TAMAT-
RENUNGAN DI KALA PETANG

Jika ada mahasiswaku yang bertanya, “Apa motivasi terbesar anda?”

Aku hanya tersenyum dan menjawab seadanya, “Jangan pernah meratapi


kegagalan, akan tetapi jadikan kegagalan sebagai batu loncatan menuju
kesuksesan.”

Keheningan malam adalah suasana paling menenangkan, karena di saat


itulah konsentrasiku tidak akan buyar. Kerikan jangkrik di luar sana menjadi
teman saat kebanyakan orang terlelap kelelahan. Aku memilih untuk terjaga
hingga sepertiga malam tiba, menuntaskan sebuah karya yang telah kukerjakan
sejak lama.

Jam dinding menunjukkan pukul dua, layar komputerku masih menyala,


jemariku dengan lihai menari di atas keyboard, sesekali ia terhenti, dan di
situlah aku kembali mencari inspirasi. Scene demi scene kenangan beberapa
tahun silam masih kuat terpatri dalam ingatan, bayang-bayangnya tak sedikitpun
lekang dan terus-menerus berkelebat dalam angan. Lembar demi lembar word di
layar komputer kembali kubaca dengan seksama, menelaah setiap kata untuk
sekedar mendalami makna dari karya yang telah kucipta.

Saat itu, kira-kira sepuluh tahun yang lalu, dari sanalah bermula seluruh
kisahku.

***

Awan mendung menggelantung, menampung beban yang tak lama lagi


akan tertumpahkan. Mataku menatap sayu jejeran bangunan di bawah sana,
sejauh mata memandang, hamparan sawah tampak berwarna kekuningan
pertanda musim panen akan segera datang. Perlahan, butiran hangat mengalir di
pipiku, tatapanku berubah menjadi sendu, bagaikan mawar merekah yang tiba-
tiba saja layu.

Kelebat bayang memenuhi isi pikiran, kejadian itu sungguh membuatku


terpuruk ke dalam lubang tanpa sedikitpun cahaya sebagai sumber penerang. Aku
merasa segala usaha telah sampai di penghujung masa, berakhir sia-sia.

Air mataku mulai mengucur dengan derasnya, nafasku tersengal menahan


isak tangis agar tidak keluar. Langit semakin menghitam disebabkan awan
mendung yang terus menerus berkumpul. Cahaya kilat menjilat-jilat diikuti
suara guntur yang mulai bergemuruh riuh. Tetesan air mulai jatuh dari langit,
beberapa saat kemudian hujan lebat disertai angin kencang menerjang apa saja
yang menjadi penghalang. Aku tak peduli dengan hujan, beberapa saat kemudian
hawa dingin mulai menusuk hingga ke tulang.
Sore itu aku benar-benar merasa seakan telah kehilangan arah serta
tujuan. Bersama derasnya hujan, meledaklah tangis yang semula kutahan.
Namun tak lama berselang, seseorang menarik lenganku dengan kencang,
membuat tubuhku terseret seolah melayang.

***

Bingkai piagam bertuliskan Siswa Teladan terpampang di dinding ruang


tamu, sebuah kebanggaan tersendiri bagi seluruh penghuni rumah itu. Jajaran
piala dan foto-foto yang diambil tepat setelah lomba membuat suasana ruangan
kian sempurna. Najma Annisa itulah ukiran nama pada seluruh bingkai piagam
perlombaan yang sebagian besar dalam bidang kepenulisan. Menjadi seorang
penulis adalah cita-citaku sejak dulu.

“Najma, kamu sudah yakin dengan pilihanmu? Apa ndak sayang sama
tawaran masuk ke Universitas negeri?” Suara parau Ayah memecah keheningan
di meja makan. Mata tajam Ayah menatapku heran mengingat keinginanku yang
sudah bulat dan tak dapat di ganggu gugat, yaitu kuliah di Universitas berbasis
pesantren.

Televisi di ruang keluarga menyala, salah satu kanal tengah menyiarkan


sebuah berita duka. Pemirsa, bom nuklir kembali meneror warga sipil di kota
Aleppo, Suriah. Sebuah ledakan besar yang terjadi pada pukul dua dini hari
menyebabkan ribuan orang menjadi korban, ratusan orang meninggal dunia dan
banyak yang mengalami luka-luka.

“Najma punya cita-cita Yah..” kataku sembari menyodorkan brosur salah


satu Universitas berbasis pesantren. “Cita-cita untuk merebut kembali ilmu
pengetahuan yang telah dirampas dan disekulerkan oleh kaum Barat,” lanjutku
dengan nada mantap.

Ayah menatapku sejenak, kemudian beranjak perlahan dan berjalan ke


arahku. Entah sudah berapa lama Ayah menolak mentah-mentah keinginanku
untuk masuk ke Universitas itu. Ibu hampir menyerah untuk membujuk Ayah,
untuk itu beberapa hari lalu pamanku datang ke rumah setelah tahu persoalan
keluargaku. Paman Adi adalah adik kandung Ayah, dan satu-satunya anak nenek
yang bersekolah di pesantren hingga jenjang sarjana. Aku tahu Universitas
Darussalam melalui Paman, beliau suka bercerita tentang pengalamannya saat
sekolah dulu, dan aku sangat tertarik akan hal itu.

“Pergilah nak, Ayah setuju dengan keinginanmu,” ucap beliau sembari


mengelus pelan kepalaku. Ibu tersenyum lega mendengar keputusan Ayah, begitu
pula denganku.

***

Pintu gerbang yang biasanya hanya dapat kulihat di gambar, akhirnya


nampak jelas kupandang dalam kenyataan. Dari sanalah akan kutemukan jalan
menuju kesuksesan, jalan untuk meraih cita-cita yang telah kugantungkan
sejajar dengan bintang-bintang di angkasa luar.

“Bismillah,” ucapku sembari melangkah memasuki pintu gerbang yang di


desain megah. Matahari mulai menyongsong pagi, sinarnya terpancar menerangi
seperdua bagian bumi. Neon box dengan ukuran satu kali dua meter bertuliskan
Kawasan Wajib Berbusana Muslim terpampang jelas tidak jauh dari gerbang,
dalam benak aku bergumam penuh keyakinan “Tenang saja Ayah, in syaAllah
Najma tidak salah jalan.” Kutarik kembali koper besar yang telah menjadi
barang bawaan, menyusuri lorong di gedung utama kampus putri Universitas
Darussalam.

***

Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Hari-hari kulewati dengan mudah,
dan yang paling penting kesemangatanku semakin bertambah. Padatnya kegiatan
hingga nonstop 24 jam terkadang membuatku kewalahan, namun sebisa mungkin
aku menyeimbangkan antara kegiatan akademik dan non-akademik. Aku selalu
ingat pesan Ibu, “Jangan kesampingkan hal yang seharusnya menjadi prioritas.
Pandai-pandailah dalam mengatur waktu.”

“Najma!” seseorang berteriak memanggil namaku.

Aku pun menoleh dan mencari asal suara, nampak Ida, sahabat karibku
tengah tergopoh berlari ke arahku.

“Congratulations Najma! Your article was published in the magazine of


campus,” ucapnya sembari menyodorkan majalah bertuliskan MALIKA,
singkatan dari Majalah Lintas Kampus. Aku tertawa melihat ekspresi seseorang
yang telah kukenal sejak lama. Dengan nafas tersengal dan wajah nampak
kelelahan, ia berusaha mengatur ritme detak jantungnya agar kembali normal.

“Limaa tajriina? While I can know about it later (Lagian kamu ngapain
sih lari-lari? Ntar juga aku bisa tahu sendiri),” ucapku sembari menyeringai
lebar.

“That's you. Not change, same as previous, never know how to say thanks,”
ketusnya pura-pura kesal. Komunikasi keseharian kami memang menggunakan
dua bahasa pengantar, yaitu Arab dan Inggris.

Pentingnya mempelajari dan menguasai dua bahasa ini pernah dibahas


dalam sebuah seminar, “Language is very important thing in our live. No one
knows, about the future. Who knows, that five, six, or ten years later, you being
visited Jerman or USA for example, you can communicate with German and
American people with English language if you don’t know about the local
language that they have, because English is the International language and both
of them understand about it, except, you talk English language with the mute
people (seluruh peserta pun tertawa). In same condition if we go to Jazirah Arab,
we can use Arabic language to make conversation with Arabian.”

Kehidupan ala pesantren tetap diterapkan di Universitas Darussalam,


konsep kesederhanaan tak pernah lekang dari keseharian mahasiswa, mulai dari
makanan, pakaian, serta kamar tidur yang tetap mengusung istilah “ukhuwah”.

“Na’am, syukron jaziilan ukhti Ida al-mahbuubah, wal-jamiilah (Iya,


terimakasih banyak saudari Ida tersayang, dan yang paling cantik), ” dan seketika
kami berdua tertawa.

***

Announcement! To our beloved sister, she is Najma Annisa, hope to come


to BEM’s office after this announcement, exactly! Suara bagian penerangan
nyaring terdengar dari sound sistem paralel di depan kamar. Aku melirik jam di
laptop, pukul dua siang, segera kutinggalkan proyek tulisan yang sejak tadi
kukerjakan. Beberapa pertanyaan tiba-tiba saja muncul memenuhi isi pikiran.
“Ada apa? Kenapa hanya aku yang dipanggil?”

Kuterjang panasnya siang yang mendidihkan ubun-ubun kepala dengan


mengayuh pedal sepeda semakin kencang. Komplek asramaku terletak lumayan
jauh dari kantor BEM.

“Najma, besok kamu diundang untuk menyambut kehadiran Duta Besar


Jerman untuk Indonesia di kampus pusat. Usahakan untuk aktif bertanya dan
banggakan kampus putri kita tercinta. Kami memilih kamu karena prestasi
gemilang yang telah kamu persembahkan beberapa tahun terakhir untuk
Universitas, jangan berpuas hati, apalagi berbangga diri, akan tetapi niatkan
segalanya demi ilahi” ucap ukhty Wafa selaku ketua BEM di kampus UNIDA
(Universitas Darussalam) putri.

Aku hanya mengangguk pelan tanda meng-iyakan. Menjadi satu-satunya


delegasi merupakan kesempatan langka, untuk itu aku harus menyiapkan
segalanya dengan seksama.

***

Pamflet besar yang menggamblangkan informasi kedatangan Duta Besar


Jerman untuk Indonesia ke kampus UNIDA terpampang di samping gapura.
Hamparan sawah di sisi kiri dan kanan nampak berwarna kuning keemasan saat
terkena sinar mentari yang baru saja menyongsong pagi. Kabut tebal perlahan
menghilang seiring dengan posisi meningginya matahari. Jarak kampus putra
dan kampus putri diperkirakan mencapai seratus kilo meter atau membutuhkan
waktu tempuh dua setengah jam perjalanan dengan kendaraan darat. Mobil yang
membawa delegasi dari kampus putri mulai berjalan memasuki pintu gerbang.
Suasana aula mulai ramai dipenuhi para peserta, menunggu acara yang
sebentar lagi akan dibuka. Kebanyakan dari peserta adalah mahasiswa, hanya
sedikit delegasi dari kampus putri. Tempat duduk di aula ditata sedemikian rupa,
sehingga tidak berbaur antara mahasiswi dan mahasiswa. Beberapa saat
kemudian, rombongan orang berwajah kebarat-baratan memasuki ruang
perkumpulan. Pembawa acara mengisyaratkan para peserta untuk berdiri.

Pukul sebelas siang, acara berjalan dengan lancar. Kesan pertama yang
disampaikan Duta Besar Jerman untuk Indonesia kepada UNIDA adalah rasa
kagum dengan sistemnya yang begitu tertata. Hanya Universitas pesantren yang
memiliki sistem pendidikan full time 24 jam, karena bukan sekedar pendidikan
dalam perkuliahan yang diberikan, namun kegiatan sosial di luar perkuliahan
juga diajarkan. Semua serba terjadwal, konsep kesederhanaan tetap menjadi
semboyan dalam kehidupan, peraturan disamaratakan, tidak ada perbedaan
antara anak menteri dan anak petani, jika melanggar, maka sama-sama akan
diberikan sanksi. Mu’amalah sesama teman dan tata krama terhadap orang yang
lebih tua juga harus dipraktekan dalam keseharian, bukan sekedar teori yang
hanya mengendap dalam pikiran.

“At least, I wanna make a student exchange between UNIDA and Freie
Universität Berlin for one month. I need two students to being the delegation for
this agenda.” Kata beliau dengan bangga, diiringi tepuk tangan meriah dari
seluruh hadirin yang ada di aula.

Pergi ke jantung kota Eropa adalah salah satu impianku, impian untuk
menyusuri jejak kejayaan Islam. Miris hati ini jika teringat kembali perampasan
dan pengakuan karya-karya para ilmuwan muslim yang disekulerkan oleh
peradaban Barat. Mereka beranggapan bahwa ilmu pengetahuan tidak ada
sangkut pautnya dengan agama, sehingga dengan tamaknya mereka menciptakan
sesuatu untuk menghancurkan demi berebut kekuasaan. Lihat saja teror bom di
Palestina dan Suriah yang terus menerus menumpahkan darah, menghilangkan
banyak nyawa yang tidak bersalah.

Dengan tekad bulat dan niat kuat aku mengikuti seleksi, berharap salah
satu mimpiku dapat terealisasi. Namun ada kalanya keinginan tidak sesuai
dengan kenyataan, pada tes wawancara aku gagal, karena pertukaran pelajar
akan diadakan secepatnya, dan paspor menjadi syarat utama. Aku menghela nafas
panjang, berusaha tegar menyembunyikan kekecewaan.

***

Hujan turun semakin deras, sesekali suara petir menggelegar, terdengar


mengerikan. Hari semakin petang, sedangkan Ida terdiam setelah menarik
lenganku dengan kencang mencari tempat perteduhan. Akupun hanya duduk
menahan kedinginan, tak ada percakapan.
“Mau sampai kapan kamu terus-terusan meratapi kegagalan?” Ucapnya
sembari mengguncangkan tubuhku sedikit kasar berusaha untuk menyadarkan.

“Masih banyak kesempatan Najma, dan kesempatan itu takkan pernah ada
jika kamu tidak berusaha mewujudkannya!!” Teriak Ida diiringi suara guntur
dan petir yang begitu memekikkan telinga.

Aku hanya terdiam, merenungi kesalahan yang telah aku lakukan. Ya,
tenggelam dalam kesedihan hanya karena hal sepele adalah sifat yang harus
kuhilangkan. Mungkin memang benar, segala hal yang kulakukan selama ini
selalu sempurna. Kontribusi prestasi dalam bentuk tulisan yang selama ini aku
berikan, hampir seluruhnya menjadi kebanggaan.

Hati kecilku berbisik pelan, bak tiupan angin yang berembus


menenangkan, “Gagal menjadi delegasi student exchange ke Jerman hanya karena
paspor???? Hmmm... Ida benar, masih banyak kesempatan.”

Sore itu telah menjadi saksi bisu akan renunganku. Api semangat yang
hampir saja padam kembali berkobar. Aku pun tersenyum menatap Ida seraya
berkata, “Terimakasih banyak teman, karena selalu ada di sisiku kala suka
maupun duka.”

***

Aula kampus pusat UNIDA dipenuhi para mahasiswa bertoga, hari itu
adalah ganjaran atas kerja keras mereka menuntaskan jenjang sarjana, ya,
wisuda. Kurang lebih empat tahun lamanya mereka berkutat dengan tugas-tugas
perkuliahan serta eksperimental yang begitu menguras tenaga serta pikiran, dan
di hari itulah seolah semua terbayar.

Para Rektor dan petinggi Universitas duduk berbanjar di barisan


terdepan. Kebahagiaan terpancar dari setiap wajah, hampir semuanya melupakan
perasaan gundah serta gelisah. Beberapa saat kemudian rentetan acara wisuda
dibuka. Rektor Universitas menyampaikan sambutan sekaligus pengumuman
pemberian beasiswa pascasarjana untuk salah satu mahasiswa UNIDA secara
cuma-cuma dari Kedubes Jerman untuk Indonesia, para wisudawan dan
wisudawati mendengarkannya dengan seksama.

“Saya bangga dengan salah satu mahasiswa UNIDA,” ucap beliau di sela-
sela sambutan.

“Bukan karena kepandaian, namun karena kegigihannya untuk meraih


impian. Saya dengar, setiap minggu dia mengirim tulisan berupa artikel, opini, ke
Kedubes Jerman di Jakarta. Saya sedikit heran, kenapa harus Jerman? Ternyata
setelah membaca riwayatnya, anak ini mempunyai cita-cita mulia yang juga
menjadi landasan utamanya masuk UNIDA, yaitu Islamisasi ilmu pengetahuan
yang ingin dia mulai dari jantung kota Eropa, Jerman. Baiklah, langsung saja
kita panggil saudari Najma Annisa untuk maju ke depan.”
Aula riuh dengan gemuruh tepuk tangan yang saling bersahutan. Aku
terkejut mendengar namaku disebutkan, butiran hangat tertahan di pelupuk
mataku, dengan langkah sedikit gemetar aku berjalan menuju panggung.
Sungguh tak kusangka, perjuanganku tidak sia-sia. Benar apa kata Ida, “Dimana
ada kemauan, disitu pasti ada jalan, dan dibalik kesusahan, pasti akan ada
kemudahan. Inna ma’al ‘usri yusro.”

***

Malam semakin larut, tak terasa proyek cerita yang telah kukerjakan
sejak lama akhirnya selesai juga. Tiket pesawat garuda Indonesia tergeletak di
atas meja, besok sore adalah waktu penerbanganku untuk pulang ke Jerman. Ya,
sekarang aku adalah dosen tetap di Freie Universität Berlin. Ternyata benar kata
dosenku dulu “No one knows about the future.”

Ahmed : Liebe, seien sie vorsichtig auf dem weg. Schnell zurück nach
Berlin, so scheint es Fahma seine Mutter vermisst (Cinta, hati-hati di
jalan. Cepat kembali ke Berlin, tampaknya Fahma sangat merindukan
Ibunya).

Ponsel yang tergeletak di atas meja kerja bergetar, satu pesan terpampang pada
nyala layar.

Aku mengurungkan niat sejenak untuk beranjak, rasa rindu membuncah


dalam kalbu. Rindu kepada suami dan anakku yang saat ini berada di Berlin.
Tiga tahun lalu aku menikah dengan teman kuliahku, Ahmed, seorang muslim
Berlin. Kami menikah di Indonesia, dan sampai saat ini kami berdomisili di
Ibukota Jerman. Kerinduanku semakin tak tertahankan saat melihat foto Fahma
yang sengaja dikirimkannya. Satu minggu sudah aku meninggalkan mereka
berdua ke Indonesia untuk memenuhi panggilan dari Rektor UNIDA. Beliau
memintaku menjadi pembicara pada even seminar kepenulisan dan membukukan
kisah perjalananku hingga “terdampar” sampai ke Jerman.

Najma : Oh, so einfach Fahma die vermisst seine Mutter. Was Ahmed
entging ihr nicht ??? Gut, morgen sehen, keinen lieblings rendang gericht
auf dem tisch (Oh, jadi hanya Fahma yang merindukan Ibunya. Apa
Ahmed tidak merindukan istrinya??? Fine, lihat saja besok, tidak ada
sajian rendang kesukaanmu di meja makan)

Ahmed : Haha... I really... really miss you my honey

Ahmed : Love you so much

Ahmed : Schnell zurück liebe, ich will rendang zu essen (Cepat kembali
cinta, aku ingin makan rendang) *\(^_^)/*

Pesan balasan datang beruntutan, aku hanya tertawa membaca pesan ketiga yang
dikirimkannya.
Sepertiga malam, waktu dimana banyak mata memilih untuk terpejam
daripada mengambil air wudhu dan terbalut kedinginan. Di atas sajadah
panjang, kubenamkan wajah dalam sujud panjang. Air mataku bercucuran saat
mengingat betapa besar kenikmatan yang telah Allah berikan. Betapa angkuhnya
manusia jika sampai melupakan Rabb-nya, Dzat yang telah menciptakan dunia
beserta seluruh isinya. Berpasrah hanya jika tertimpa musibah. Na’udzubillah.

-TAMAT-
KANVAS SANG PENCIPTA

Embun pagi menyejukkan suasana, membasahi padang rumput yang


berselimut kabut. Perlahan semburat mega merubah suasana, kegelapan mulai
pudar dan rerumputan hijau remang-remang mulai kelihatan. Kubentangkan
tangan seraya menghirup dalam-dalam udara pagi yang menyejukkan.

Lima tahun sudah, namun tiada yang berubah. Suasananya tetap sama
seperti sedia kala, dimana air mata meleleh mengiringi kepergianku untuk
meraih cita-cita. Berat sekali rasanya harus berpisah dengan keluarga, namun
apa daya aku adalah tulang punggung keluarga, tak patut rasanya bila hanya
menghidupi mereka ala kadarnya. Untuk itu, kuwujudkan angan yang selama ini
aku pendam.

***

"Dek..." tak kuasa kulanjutkan kata-kata setelah mendengar isak


tangisnya. Wajahnya yang teduh seketika berubah setelah air mata jatuh
berlinang membasahi pipi merahnya. Aku hanya bisa larut dalam diam.

"Pergilah mas, In syaAllah aku ikhlas," suara lembutnya mencairkan


suasana. "Hanya satu pesanku dan jangan sampai engkau lupakan itu. Jagalah
hubungan baikmu dengan Allah SWT, niscaya Ia akan memudahkan jalan atas
segala yang engkau cita-citakan. Aku akan selalu berdoa untukmu, kekasihku,"
lanjutnya dengan berlinang air mata.

Betapa beruntungnya aku memilikinya. Ia rela meninggalkan kemewahan


demi mengikuti suaminya yang hidup terlampau sederhana. Aku memang tidak
dapat menjamin suatu kebahagian untuknya, akan tetapi Allah yang bisa
menjamin kebahagiaan hamba-Nya. Aku selalu berdoa agar kami dapat hidup
bersama tidak hanya di dunia, tetapi hingga ke surga-Nya. Akan kubangun
bahtera rumah tangga di atas ridho-Nya, karena hanya itulah kunci bahagia.

***

Rasa rindu membuncah dalam kalbu, wajahnya selalu terbayang, suara


lembutnya selalu terngiang. Butuh perjuangan untuk menahan kerinduan dalam
jangka waktu panjang. “Apa kabar cinta? Aku pulang,” lirihku saat melihat
sebuah pedesaan di penghujung jalan. Aku tersenyum sambil membayangkan
wajah manisnya menyiratkan senyuman penuh makna menyambut kedatangan
kekasih yang dicintainya karena Allah semata.

Hamparan padi membentang menghiasi persawahan yang aku lewati.


Warnanya kekuningan, memancar bak emas yang bersinar. Musim panen akan
segera datang. “Assalamu’alaikum! Mas Irwan ya?” tegur petani yang sedang sibuk
dengan aktivitas hariannya.

“Wa’alaikumussalam warahmatullah, iya pak, saya Irwan. Pak Kasim


ya?” tanyaku sambil mengerutkan dahi berusaha untuk mengingat kembali.

“Alhamdulillah Wan, akhirnya kamu pulang juga,” katanya sambil


menepuk-nepuk pundakku. Raut wajahnya yang tak lagi muda menyiratkan rasa
iba, entah mengapa. Tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya ketika aku
bertanya, “Ada apa?” Hanya isyarat yang beliau berikan agar aku segera pulang.

Suasana pagi sudah tidak dapat lagi kunikmati. Nafasku tersengal-sengal


tak beraturan, sesekali aku berhenti untuk mengatur nafas, kemudian kembali
berlari hampir tanpa henti. Peluh mengalir membanjiri dahi, namun dzikir
selalu terucap dalam hati. Aku optimis bahwa tidak ada hal buruk yang terjadi,
tidak ada.

Aku berhenti, tidak kuat lagi rasanya untuk berlari. Kuletakkan tas besar
disisi jembatan yang menghubungkan antara dua pedesaan. Tatapanku nanar,
sejenak kuistirahatkan tubuh ini yang sejak tadi tak henti-hentinya berlari.
Pikiranku melayang mengingat peristiwa-peristiwa tak terlupakan beberapa
tahun silam.

***

“Ustadz Irwan!” tegur salah seorang santri yang membuatku menghentikan


langkah kaki.

“Ada apa Aziz?” sahutku menimpali panggilannya yang setengah


berteriak.

“Assalamu’alaikum Ustadz, maaf sebelumnya, antum diminta datang ke


rumah Kyai Latif setelah sholat ashar.”

“Wa’alaikumussalam warahmatullah, iya in syaAllah nanti saya datang,


terimakasih ya Ziz,” timpalku meng-iyakan.

Kutadahkan tangan untuk berdoa, di hadapan-Nya aku begitu hina, tak


pantas rasanya untuk meminta, namun Allah Maha Bijaksana, Ia mengabulkan
seluruh doa yang dipanjatkan para hamba-Nya, walaupun acap kali mereka
melupakan kewajiban untuk beribadah kepada-Nya. Tak terasa butiran hangat
menetes, di pipi.

***

Enam tahun sudah aku mengenyam pendidikan di pesantren, susah


senang telah aku rasakan, hingga tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Enggan
rasanya untuk meninggalkan pondok ini karena hati sudah terpatri dan sulit
untuk menariknya kembali. “Ada apa gerangan Kyai Latif memanggil? Tak
biasanya,” gumamku dalam hati. Kupercepat langkah agar segera sampai di
kediaman bapak Kyai yang sudah aku anggap seperti Ayah sendiri, begitu pula
sebaliknya.

Aku berhenti sejenak di depan rumah yang jauh dari kata mewah namun
selalu dialiri berkah. “Bismillah...” ucapku lirih seraya memasuki halaman
rumah Pak Kyai. Sepoi angin menyapu dedaunan yang berguguran di halaman.
Perlahan namun pasti, kuucapkan salam sambil menunggu tuan rumah
membukakan pintu.

"Wa'alaikumussalam, eh nak Irwan, mari masuk nak," ucap perempuan


berjilbab panjang mempersilahkan.

Suasana ruang tamu kala itu sangat kaku, wajah Pak Kyai berbeda dari
biasanya, raut wajahnya nampak muram, mungkin karena banyak hal yang
beliau pikirkan. "Begini Wan.." kata beliau memulai percakapan. "Saya minta
tolong sama kamu, besok datanglah ke rumah Pak Burhan untuk membimbing
keluarganya mendalami ajaran Islam yang benar, kamu adalah orang pilihan
Wan, jadi Bapak harap kamu jangan sampai mengecewakan. Deg! Mulutku
bungkam setelah mendengar nama Pak Burhan disebutkan. Hatiku sempat ragu,
mampukah diriku mengemban amanah yang telah Pak Kyai percayakan?

***

Dinginnya malam menusuk hingga ke tulang, kulangkahkan kaki menuju


kamar mandi dengan badan sempoyongan dan mata masih setengah terpejam.
Berat memang bila sholat malam belum menjadi sebuah rutinitas harian
layaknya makanan. Sangat disayangkan apabila tidur menjadi penghalang
mendapatkan ganjaran besar yang telah Allah janjikan.

Jam dinding menunjukkan angka tiga, keheningan selalu aku rasakan di


sepertiga malam, sangat tenang. Aku terlarut dalam doa, hatiku gelisah tak
menentu, amanah yang Pak Kyai berikan tadi siang selalu terngiang dan kata
“mampukah..” selalu memenuhi pikiran. Tak terasa adzan subuh berkumandang,
saling bersahutan, membangunkan orang-orang pilihan.

***

Pagi ini begitu indah, burung-burung berterbangan dengan riang.


Kukayuh pedal sepeda perlahan untuk menikmati udara pagi yang baik bagi
kesehatan. Jalan raya masih sepi kendaraan, hanya delman lah satu-satunya
kendaraan yang telah berjajar. Sebuah delman melaju tepat di depanku. Tidak
banyak penumpang, hanya dua orang perempuan yang duduk di kursi belakang.
Untuk pertama kalinya mataku berani memandang seorang perempuan,
senyumnya begitu menawan, wajahnya begitu rupawan tertutup jilbab panjang
berwarna terang. Aku segera tersadar dan lekas membaca istighfar. Hatiku
berkecamuk, bercampur menjadi satu antara kebahagiaan dan penyesalan.
Kupercepat laju sepedaku melewati delman itu.

Baju koko biru dan celana hitam panjang aku kenakan, setidaknya dari
segi penampilan sudah mendapat nilai tambahan dari seorang Pak Burhan, orang
terpandang di Kecamatan. Pesan Pak Kyai selalu terngiang, aku bukanlah
seorang pecundang, untuk itu aku tidak boleh gagal dan mengecewakan. Aku
dilahirkan untuk menjadi seorang pejuang, pejuang sejati tidak akan gentar
dengan ribuan permasalahan yang akan dihadapi. Berani mati demi menegakkan
panji Islam. “Bismillah,” ucapku optimis sambil mengayuh sepeda menuju rumah
Pak Burhan.

Peluh mengalir membasahi dahi, sesekali aku berhenti untuk sekedar


mengusapnya dengan sapu tangan. Perjalanan panjang aku lakukan demi
menyebarkan syiar Islam, dua jam sudah aku mengayuh sepeda, lelah pun mulai
terasa.

"Bismillah,, sebentar lagi sampai," lirihku sambil mempercepat laju


sepeda. Tak berselang lama, kuhentikan sepeda tepat di depan pagar rumah yang
termasuk mewah. Rasa takut sempat tersirat dalam pikiran, namun sesaat dapat
hilang ditepis keyakinan dari lubuk hati terdalam.

***

"Maaf sebelumnya Pak, saya Irwan dari Pesantren Al-Barokah. Maksud


kedatangan saya kemari demi menjalankan amanah dari Pak Kyai untuk
membimbing keluarga Bapak mendalami seluruh ajaran Islam yang benar,"
ucapku memulai percakapan dengan Pak Burhan.

"Ooh, kamu ternyata murid kebanggaan Kyai Latif?" sahut Pak Burhan
dengan senyum yang mengembang.

Aku tercengang, "Murid kebanggaan?" bisikku dalam hati tak mengerti.


Sore itu menjadi saksi penyesalanku menuduh orang sembarangan tanpa bukti.
Ternyata Pak Burhan tidak seperti yang orang lain katakan, beliau begitu ramah
dalam menyambut tamu, tidak pandang bulu entah siapapun itu. Tidak banyak
yang kami bincangkan, Pak Burhan lekas membawaku ke ruang tengah dimana
pengajian akan dilangsungkan.

Istri dan dua putri Pak Burhan tengah duduk rapi di atas kursi
menungguku sedari tadi. Betapa tekejutnya aku saat melihat kembali wajah
rupawan pagi tadi. Ternyata perempuan itu putri Pak Burhan, entah suatu
kebetulan atau memang sudah ditakdirkan, aku merasa sangat bahagia karena
dapat bertemu kembali dengannya.

Pandangan pertama masih dapat dimaafkan karena unsur ketidak


sengajaan. Aku bimbang, sukar dan berpikir amat dalam, “Bagaimana aku dapat
menjaga pandangan? Ya Allah, berikan aku jalan agar pandanganku ini tidak
terus menjadi sesuatu yang Engkau haramkan. Aamiin,” bisikku dalam hati
seraya meneguk secangkir teh yang telah Bu Burhan sediakan.

“Mas Irwan.” Secangkir kopi diteguknya sebelum melanjutkan kata-kata


yang belum Pak Burhan selesaikan. “Jadi, sudah berapa lama mondok di Al-
Barokah?” lanjut beliau penuh introgasi.

Dengan raut wajah datar dan nada bicara sopan aku menjawab
“Alhamdulillah Pak, saya sudah enam tahun mondok, dan sekarang sedang
menjalani masa pengabdian mengajar di Al-Barokah sebagai guru.”

“Oo... begitu,” sahut Bapak dua orang anak ini sambil menganggukkan
kepala pelan tanda mengerti. Diambilnya kembali secangkir secangkir kopi yang
masih mengepul di hadapannya. “Apa Mas Irwan ada rencana untuk menikah?”
celetuk Pak Burhan tanpa basa-basi. Spontan aku tersedak minuman yang baru
saja masuk ke tenggorokan mendengar pertanyaan yang mungkin orang lain
anggap normal.

Aku berusaha tenang seakan tidak ada yang terjadi. Hanya senyuman
yang dapat aku berikan sebelum menjawab pertanyaan itu, “ Belum bertemu
jodoh Pak,” sahutku sekenanya. Beliau hanya tertawa melihatku salah tingkah
menjawab pertanyaannya.

Tak terasa obrolan kami berlangsung cukup lama. Jarum jam


menunjukkan angka delapan, waktunya untuk berpamitan pulang. “Ran, tolong
antar Mas Irwan ke depan sebentar nduk,” pinta Pak Burhan setengah berteriak
agar putri sulungnya keluar kamar. Aku sangat gugup, jantungku semakin
kencang berdegup.

“Saya pulang dulu Pak, semoga ilmu yang kita pelajari hari ini
bermanfaat,” ucapku seraya menjabat tangan beliau lalu beranjak keluar rumah
diikuti Rani.

Aku dan Rani tidak berjalan berdampingan, tetapi ia mengikuti


langkahku dari belakang. Sesampainya di depan gerbang aku menoleh ke
belakang untuk sekedar mengucapkan perpisahan, “Sampai sini saja Mba’,
terimakasih sudah mengantar saya,” ucapku dengan sedikit menyunggingkan
senyuman.

“Sama-sama Mas, terimakasih banyak atas bimbingannya. Hati-hati di


jalan,” jawabnya sambil menundukkan pandangan.

“Astaghfirullah, ini ketiga kalinya aku memandang wajahnya. Ya Allah,


maafkan hamba..” penyesalan penuh harapan berbisik dalam hati, mengalir
hangat dalam nadi. Bintang-bintang bertaburan menghiasi langit malam,
kukayuh pedal sepeda meninggalkan Rani yang masih berdiri menungguku pergi.
"Ya Rabb, tak sepantasnya hamba berlebihan dalam meminta sedangkan
ibadah yang hamba jalankan belum setimpal dengan segala hal yang telah
Engkau berikan. Tak sepatutnya hamba tergesa-gesa dalam menentukan pilihan
karena bisa jadi dibalik ketergesa-gesaan terdapat sesuatu yang pada akhirnya
akan menjerumuskan. Ya Allah, hanya kepadaMu lah segala sesuatu yang telah
tercatat di lauh mahfud hamba serahkan." Kedua telapak tangan kutangkupkan
ke wajah seraya mengaminkan doa yang kupanjatkan. Sepertiga malam ini begitu
berarti, menjadi saksi kemesraanku bersama Ilahi Rabbi, karena aku takut cinta
dalam hati akan terbagi hanya karena sesuatu yang belum pasti.

***

Kemeja merah kecoklatan aku kenakan, kusambut pagi dengan senyuman


agar setiap hari dapat terlewati dengan penuh keceriaan. Hal paling
menyenangkan bagiku adalah ketika dapat berbagi ilmu, untuk itu cita-citaku
sejak dulu ingin sekali menjadi guru.

"Baiklah anak-anak, sekarang kumpulkan tugas yang Ustadz berikan


minggu lalu, bagi yang belum mengerjakan silahkan keluar dan berdiri di tengah
lapangan," aku berjalan perlahan menuju bangku paling depan, "Tolong
ambilkan tugas teman-teman kamu," pintaku kepada salah seorang santri dengan
nada datar. Kedisiplinan selalu aku terapkan agar anak didikku tidak malas
belajar. Tugas dalam setiap pertemuan selalu aku berikan, dan bagi mereka yang
tidak mengerjakan, maka harus siap menerima hukuman. Bukannya kejam,
namun diberikannya hukuman bertujuan agar kedisiplinan yang telah ditetapkan
tidak dilanggar.

Suasana kelas tenang, para santri mendengarkan penjelasanku tentang


sebuah Hadits dengan seksama, beberapa dari mereka menulis apa yang sedang
aku katakan. "Baik, 10 menit tersisa. Ada yang ingin ditanyakan?" tanyaku
sambil mengambil buku absen yang tergeletak di meja. Belum sempat
membacanya, salah seorang guru masuk ke kelasku dan membisikkan sesuatu.

"Disuruh cepat Ustadz Irwan," katanya sambil berlalu.

"Maaf anak-anak, Ustadz ada keperluan mendadak. Jangan ada yang


keluar kelas sebelum bel istirahat berbunyi. Wassalamu'alaikum wa
rahmatullahi wa barakatuh," kupercepat langkah keluar kelas diiringi jawaban
salam anak-anak serempak.

Langkah kakiku beradu kecepatan, saling bersalipan. Kabar apa gerangan


yang ingin Pak Kyai sampaikan kembali. "Mari Ustadz, sudah ditunggu," kata
utusan yang tadi memanggilku mempersilahkan. Aku hanya menjawabnya
dengan senyuman yang dipenuhi rasa keingin tahuan. Segera aku melepas alas
kaki dan mengikuti langkah Mizan masuk ke dalam. Perasaanku berdebam, “Apa
aku melakukan suatu kesalahan sehingga dipanggil dadakan seperti ini?”
Tanyaku pada diri sendiri di dalam hati.
Sepertinya aku memang melakukan suatu kesalahan, pikirku setelah
melihat Pak Burhan di ruang tamu bersama Pak Kyai. Tangan Pak Kyai
melambai, mengisyaratkan kepadaku untuk duduk. Aku duduk di sisi Pak Kyai,
kepalaku menunduk, mataku tak berani menatap para tamu, disini seakan aku
adalah narapidana yang tengah pasrah untuk menerima hukuman setimpal
dengan kesalahan yang aku lakukan, meskipun aku belum tahu, jenis kesalahan
apakah itu.

“Irwan!” Pak Kyai menatapku dengan santai. “Tegang sekali wajahmu


nak,” ledek beliau dengan senyum menyeringai, menghiasi wajah teduh penuh
keindahan cahaya iman. Aku menoleh, masih dengan ekspresi wajah datar yang
kupasang sejak pertama kali datang. Aku hanya tersenyum simpul, mulut ini
kaku untuk menyatakan rasa ingin tahuku yang masih terpendam.

“Wan..” Pak Kyai menepuk bahuku. “Kalau saya menyuruh kamu


mengerjakan suatu hal yang mungkin kamu belum siap untuk menjalankan,
belum punya modal, belum ada persiapan matang, apa kamu akan tetap
melaksanakan hal yang saya perintahkan?” mimik wajah Pak Kyai berubah. Aku
kembali menundukkan pandangan, mencoba mencerna kata-kata yang beliau
sampaikan. Keyakinan menjalar dari lubuk hati terdalam, menggerakkan bibir
yang bungkam, aku menghela nafas panjang dan mulai memberikan jawaban,
“Pak Kyai..” kataku sambil memandang wajah Kyai Latif dalam-dalam. “In
syaAllah saya siap melaksanakan perintah itu, karena saya tahu Bapak tidak
akan menjerumuskan saya ke dalam jurang kenistaan atas perintah yang antum
berikan.” Jawabku dengan penuh keyakinan.

Pak Burhan tersenyum lebar, begitu pula dengan dua orang di sebelahnya.
Sekarang giliran Pak Burhan untuk angkat bicara, “Irwan, maukah kamu
menjagakan anak saya, Rani? Tentunya dalam sebuah ikatan tali pernikahan.”

Aku menelan ludah mendengar tawaran yang sangat mengejutkan.


Kucubit lenganku untuk memastikan bahwa ini bukanlah mimpi, “Aw” lirihku
dalam hati tanpa ekspresi. Aku tidak dapat menafikan bahwa inilah yang sangat
aku inginkan, namun aku harus tetap melibatkan Allah dalam setiap urusan
termasuk mengambil keputusan menerima tawaran Pak Burhan. Untungnya
beliau tidak keberatan setelah aku meminta sedikit waktu untuk memikirkannya
matang-matang agar tidak timbul sebuah penyesalan kelak di kemudian hari.

Aku bersimpuh kembali di sepertiga malam, dua, empat, enam, delapan


rakaat tahajud telah aku selesaikan. Dinginnya malam begitu menusuk tulang,
badanku menggigil kedinginan, namun itu semua tidak menjadi penghalang
bagiku untuk segera menyudahi munajat cinta ini.

***

Embun pagi menggelantung di pucuk dedaunan yang meliuk-liuk tertiup


hembusan angin malam, jatuh perlahan, menetes di atas rerumputan. Kedinginan
malam masih tersisa, menemani langkahku menuju pemakaman umum tak jauh
dari desa. Kulipat tangan di depan dada, berusaha mempertahankan kehangatan
badan. Jaket putih tebal aku kenakan.

Kutatap lekat-lekat dua makam yang berdampingan, seribu kenangan


telah terpendam. Air mataku jatuh berlinang, aku terisak sambil memegang batu
nisan. Penyesalanku saat ini sudah tiada arti, hanya doalah satu-satunya cara
menebus segala kesalahanku kepada kedua orangtua. Aku berdoa agar Allah
menerima arwah mereka berdua disisi-Nya.

"Bapak, Ibu, Irwan sudah dewasa" aku terisak, terbata-bata dalam


mengungkapkan kata, "Irwan akan menikah Pak, Bu, Irwan hanya meminta
restu" dadaku kembang kempis, tak kuasa menahan tangis. Sholat istikharah
sudah tiga hari ini kujalani, dan hatiku semakin mantap untuk melamar Rani.

Rambutku berkelibat tertiup angin yang berhembus cukup kencang,


kutinggalkan makam dengan hati lapang.

Sorban putih melingkar di leher Pak Kyai, menjadi ciri khas tersendiri
dan mudah untuk dikenali. "Sudah siap Wan?" tanya beliau kepadaku yang sejak
tadi terpaku menunggu. Segera aku tersadar dari lamunanku mendengar
pertanyataan itu, "in syaAllah Pak saya siap" jawabku mantap, mata kami saling
bertatap. "Alhamdulillah, kalo begitu mari disegerakan saja kebaikan yang telah
kita niatkan." Beliau menepuk pundakku.

Hari ini akan menjadi salah satu hari bersejarah yang tak dapat
kulupakan. Hari dimana aku akan melamar langsung gadis yang baru saja aku
kenal dalam kurun waktu tidak lebih dari satu minggu.

Maharani Putri, gadis berparas menawan dengan balutan hijab longgar


yang telah meluluhlatakkan hati seorang Irwan. Usianya 25 dan aku 22, namun
wajahnya terlihat begitu muda. Untungnya aku tidak memanggilnya "dek" saat
pertama kalinya kami bicara. Aku sama sekali tidak keberatan dengan perbedaan
usia, toh selisihnya juga tidak sebanyak Baginda Nabi dan istri pertamanya,
Khadijah. Jantungku berdebar semakin kencang ketika kendaraan yang kami
tumpangi berhenti tepat di depan pagar rumah Pak Burhan.

Sambutan Pak Burhan begitu hangat aku rasakan, pakaian beliau rapi
disertai peci hitam menutupi rambutnya yang mulai berubah keperakan.
Senyumnya lebar, begitu pula perempuan berjilbab coklat disisinya yang tak lain
adalah Bu Burhan. Rasa-rasanya begitu singkat proses ta'aruf yang aku jalani,
tetapi jika hati sudah dapat diajak kompromi, untuk apa berlama-lama menanti
sesuatu yang sudah pasti? Suatu kebaikan harus disegerakan, tukasku dalam hati.
Percakapan berlangsung lama, inti dari kedatangan kami bersilaturahmi kesini
belum juga disampaikan oleh Pak Kyai. Aku hanya menyimak percakapan,
seketika wajahku menegang setelah paras rupawan tiba membawakan hidangan.
Allahu akbar... wajahnya memancarkan cahaya iman. Aku begitu terpesona
melihat keanggunannya, sampai lupa kalau aku belum halal untuk
memandangnya. Aku segera mengalihkan pandangan kepada Pak Burhan.
Wajahnya tertunduk malu, tangannya sibuk memindahkan hidangan dari atas
nampan. Sesaat kemudian meja di depanku penuh dengan hidangan berupa
gorengan dan kue-kuean.

"Pak Kyai, Mas Irwan, silahkan dicicipi jajanan buatan Rani," senyum
beliau mengembang. "Dari pagi dia sibuk sendiri di dapur, mau latihan masak
katanya," ungkapan Pak Burhan sukses membuat wajah Rani yang duduk di
sebelah Ibunya berona kemerahan, aku tersenyum lebar, seakan gelak tawa akan
keluar apabila aku tidak dapat mengendalikan.

Akhirnya perbincangan kami sore ini sampai ke inti, tanggal pernikahan


ditentukan satu bulan dari sekarang, terlalu cepat memang, tetapi bukankah
suatu kebaikan harus disegerakan?

Islam memang melarang keras hubungan pacaran, namun solusi yang


diberikan jauh lebih indah dari yang dibayangkan, yaitu dengan jalan ta’aruf.
Suasana taman kala itu sangat kaku. Untuk pertama kalinya aku duduk
bersebelahan dengannya, dia yang akan aku sebut namanya kala tanganku
menjabat tangan Ayahnya untuk mengucapkan, "Saya terima nikahnya..." dia
yang nantinya akan menjadi Ibu dari anak-anakku, ya, Rani. Walaupun kami
duduk bersebelahan, namun jarak masih terbentang. Tidak terlalu jauh dari
tempat duduk kami, Anggita duduk sendiri dengan sedikit mengawasi. Jantungku
semakin berdegup tak menentu, aku masih kikuk untuk memulai sebuah
percakapan, ia pun hanya terdiam. Hanya keheningan yang beradu pada saat itu.

"Mas Irwan." Suara lembutnya mencairkan suasana, "Boleh aku bertanya


sesuatu?"

"Iya, silahkan," sahutku seraya menyerongkan posisi badan.

Ia masih menunduk dan terdiam, diserongkannya perlahan posisi


duduknya sehingga kami berdua bertatap muka. "Apa yang menjadi jaminan
antum untuk membahagiakan aku nantinya?" nada bicaranya datar, pertanyaan
yang ia lontarkan bak sebuah tamparan, itulah yang aku rasakan. Mata
beningnya menatap tajam, Rani masih menunggu jawaban dariku, pandangan
kami saling bertemu.

"Sejujurnya, aku tidak bisa memberikan jaminan apa-apa" aku terdiam


sejenak, ia kembali meluruskan posisi duduknya seperti sedia kala, raut wajahnya
seperti kecewa. "Tapi Allah bisa, Allah yang bisa memberikan jaminan
kebahagiaan bagi hamba-Nya, atas kehendak-Nya," lanjutku menyambung kata-
kata. Wajah yang semula terlihat kecewa, kini mengembang sebuah senyuman
penuh makna di bibir tipisnya.
"Bolehkah sekarang aku yang bertanya?" pintaku. Ia menganggukkan
kepalanya pelan tanda mengiyakan. "Sebesar apa cinta yang akan kamu berikan
kepadaku?"

Tanpa ragu Rani menjawab "Jujur mas, belum ada cinta yang dapat aku
berikan untukmu saat ini, cintaku belum dapat kubagi karena antum masih
belum hahal untuk kucintai." Ia diam sejenak sebelum melanjutkan jawabannya
kembali, "Meskipun nantinya antum sudah halal untuk kucintai, tapi tetap saja
cintaku kepada Sang Pencipta akan lebih besar dibandingkan kecintaanku pada
seorang hamba," tukasnya mengakhiri kata-kata.

Kutatap wajah cantiknya, jawabannya sangat mengena, dan inilah yang


bisa kusebut obat pelipur lara. Memang Allah telah memisahkanku dari kedua
orang tua, namun kini Ia mengganti mereka berdua dengan seorang wanita yang
begitu mempesona. Subhanallah, Fabiayyi alaai robbikuma tukadzibaan.

Adzan maghrib berkumandang, langit biru berubah menjadi kemerahan,


tanda bahwa malam akan segera datang. Prosesi lamaran berjalan dengan lancar,
harapanku kala itu hanya satu, diberikan kemudahan atas segala sesuatu yang
telah aku niatkan, tentunya dalam hal kebaikan.

***

Perasaan bahagia membuncah di dada, segala keperluan pernikahan telah


disiapkan dengan matang. H-7 pernikahan, aku semakin luruh dalam angan-
angan yang membahagiakan.

Sore ini aku pergi bersama Gita dan Rani, berjalan menikmati indahnya
pemandangan taman kota di sore hari. Sesaat kemudian hal memalukan terjadi,
perut yang sedari pagi belum kuisi berbunyi. Anggita yang berjalan didepanku
membalikkan badan, "Mas Irwan lapar? Makan yuk kak Ran, Gita lapar..."
rengeknya kepada Rani yang juga ikut berhenti. Kami bertiga saling
berpandangan sebelum akhirnya Rani mengiyakan permintaan adiknya
tersayang.

Masakan padang menjadi tujuan utama. Aku, Rani dan Gita duduk satu
meja. Sambil menunggu pesanan tiba, kami bertiga asyik bercanda. Saat itu
Anggita yang baru saja lulus SMA menceritakan perihal pengalaman uniknya
dan berhasil mencairkan suasana dengan membuat kami tertawa. Kepribadian
Rani dan Gita memang sedikit berbeda. Sang kakak cenderung menghemat kata
yang keluar dari mulutnya, sedangkan Gita justru sebaliknya, banyak bicara.

Aku berandai-andai di tengah candaan riang mereka berdua. Bagaimana


rasanya memiliki saudara, mengingat diriku yang hidup sebatang kara.
Terkadang kesepian yang amat dalam aku rasakan, dan itulah penyebab utamaku
terlalu larut dalam kesedihan. Kupandang wajah mereka secara bergantian,
senyum bahagia begitu jelas kurasa. Tidak ada lagi kata sepi yang merasup ke
dalam sanubari, karena aku akan memilikinya sebentar lagi, akan kami bangun
sebuah bahtera rumah tangga yang bahagia di bawah naungan Ridho-Nya.

***

Sore ini begitu tenang, kuambil buku bertuliskan Kunci Bahagia yang
tergeletak di atas meja. Burung-burung berkicauan, berbondong-bondong untuk
kembali ke sarang. Pak Kyai memberiku cuti panjang menjelang hari-H
pernikahan. Agak bosan memang, tetapi waktu dalam kehidupan begitu mahal,
sehingga merugilah orang-orang yang membiarkan waktunya berlalu begitu saja
dan terbuang sia-sia. Untuk itu aku harus memanfaatkan waktu sebaik-baiknya,
salah satunya adalah mengenal dunia dengan cara membaca. Dengan membaca,
aku tahu tentang negara-negara di seluruh penjuru dunia tanpa harus datang
langsung ke tempatnya. "Bila kamu ingin mengenal dunia, maka membacalah!
Bila kamu ingin dikenal dunia, maka menulislah! Bila kamu ingin memimpin
dunia, maka berilmulah!" kata-kata ini selalu menjadi motivasi yang tertanam
dalam diri, dan inilah kata-kata Pak Kyai. Subhanallah.

Cahaya sore mulai terlihat remang-remang sebelum akhirnya berubah


menjadi gelap gulita. Mataku terfokus menatap bayangan seseorang yang
mendekat perlahan. "Assalamu'alaikum Ustadz Irwan," ucap seorang laki-laki
yang ternyata santri dengan nafas terengah-engah, mungkin karena ia datang
kemari berlari.

"Wa'alaikumussalam, ada apa nak?" aku segera datang menghampirinya.

"Dipanggil Pak Kyai Ustadz, katanya penting sekali." Aku mengernyitkan


dahi tak mengerti, dengan segera kuambil sepeda dan langsung mempercepat
lajunya dengan tergesa-gesa.

Aku sudah tak berdaya, tubuhku gemetar setelah mendengar sebuah


kabar. Lidah ini kelu, tatapanku kosong, "Mimpikah ini?" gumamku dalam hati.
Kejadian sore tadi membuat bulu kudukku berdiri, tabrak lari telah membuat
Rani sudah tak bernyawa lagi. Ya, Rani telah pergi, pergi dan tidak akan pernah
kembali lagi ke dunia ini. Pelupuk mataku basah oleh air mata, Pak Kyai
mengusap-usap pundakku dan tidak berhenti menasehati, "Istighfar Wan, sebut
Asma Allah. Percayakan semuanya kepada Allah, yakinlah bahwa Ia telah
mengatur segala alur skenario kehidupan setiap manusia di dunia. Yang sabar
nak.." Isak tangisku semakin menjadi-jadi, nafasku tersengal-sengal tak
beraturan, aku tidak percaya bahwa kejadian seperti ini terulang kembali dalam
hidupku untuk kedua kali.

"Ya Allah, apa salah hambaMu ini? Tak pantaskah hamba untuk
mencintai?" ucapku sambil terisak-isak sehingga tidak seorangpun mengetahui
pertanyaan tak pantasku ini termasuk Pak Kyai. Hatiku terasa sakit sekali, aku
sangat berharap semua ini hanyalah sebuah mimpi.
***

Langkahku gontai, halaman rumah Pak Burhan terlihat sangat ramai


dipenuhi puluhan orang yang berlalu lalang. Aku berjalan perlahan melewati
gerbang dan masuk ke halaman, kakiku gemetar memasuki pintu rumah Pak
Burhan. Suara tangisan dan bacaan surat Yasin berpadu, menggema di telingaku.
Aku terduduk di samping jenazah Rani, perempuan yang sebenarnya akan
kusebut sebagai istri tidak lama lagi. Kubuka perlahan kain yang menutupi
wajah Rani, kulitnya sudah pucat, hanya pelipisnya yang meninggalkan luka
memar akibat sebuah benturan. Pak Kyai setia menemani, beliau merangkulku,
begitu juga Pak Burhan setelah melihatku datang. Suara tangisan dan Yasinan
sudah tidak terdengar, tatapanku tiba-tiba nanar, aku melihat sekelilingku
berbinar-binar bak lampu pijar yang dinyalakan secara bergantian, dan seketika
aku pun jatuh pingsan.

Tiga hari berlalu, aku masih larut dalam kesedihan yang teramat dalam,
luka di dada tak kunjung reda. Seketika aku teringat pada sebuah hadits yang
menerangkan tentang hukum meratapi orang mati. Hadits itu berbunyi:

Dari Abu Hurairoh radhiallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah SAW


bersabda, “Dua hal yang ada pada manusia dan keduanya menyebabkan mereka
kafir : mengingkari keturunan dan meratapi kematian” (HR. Muslim).

"Astaghfirullahal'adzim, astaghfirullahal'adzim," kuulang-ulang bacaan


istighfar agar aku tidak terjerumus dalam kesedihan terus-terusan. Aku harus
ikhlas atas kepergiannya, karena kematian merupakan sebuah awal kehidupan
abadi bagi orang yang meninggal dan ujian bagi orang-orang yang ditinggalkan.
Tidak ada gunanya juga aku terus meratap, lebih baik kupanjatkan banyak doa
agar ia di sana bahagia dan di lapangkan kuburnya.

***

Takdir berkata lain, pernikahanku tetap dilangsungkan sesuai jadwal


yang telah ditentukan. Jas hitam menutupi kemeja putih yang kukenakan. Aku
melangkah keluar kamar menghampiri Pak Kyai yang menungguku sedari tadi.
Aku tersenyum penuh rasa syukur, Pak Kyai berdiri dan membalas senyumanku
dengan penuh haru. Pagi ini akad nikah akan segera dilangsungkan di masjid
Pondok Pesantren Al-Barokah. Kini aku hanya bisa tawakal kepada Allah, aku
menyesal karena sempat menyalahkan keadaan, tak ingin kuulangi lagi
perbuatanku tempo hari yang pada akhirnya malah menjadi bumerang bagi diri
sendiri. "Terimakasih Ya Allah..." ucapku dalam hati.

Telapak tanganku semakin erat menjabat sembari menyimak lafad akad.


"Saya terima nikahnya Anggita Putri binti Burhanuddin dengan mas kawin
seperangkat alat sholat dibayar tunai."
Penghulu yang duduk berhadapan denganku mengedarkan pandangan
kepada orang-orang yang menyaksikan. "Bagaimana saksi? Sah?" Sebuah
pertanyaan dilontarkan, dan diikuti ucapan "Saaah" yang terdengar saling
bersahutan. Kulepas telapak tangan yang sedari tadi berjabatan dengan Pak
Burhan, doa pun dipanjatkan dan kutangkupkan ke wajah untuk mengaminkan.
Perasaanku bercampur menjadi satu, berpadu antara bahagia dan haru.
Pandanganku mengarah kepada wanita berkebaya yang kini kusebut sebagai istri,
wajahnya basah oleh air mata, ia menangis tanpa suara. Entah perasaan seperti
apa yang dirasakannya, jika bukan karena wasiat Almarhumah kakaknya,
mungkin akad nikah ini tak akan pernah terlaksana. Aku salut dengan
keteguhan hatinya, sampai-sampai ia rela mengorbankan perasaannya dan
menikah dengan laki-laki yang sudah jelas bukan pilihannya sendiri bahkan
tidak terprediksi.

***

Matanya masih sembab, namun senyuman di wajahnya tetap tersirat.


Diraihnya tangan kananku dan menyalaminya penuh khidmat, kuusap kepalanya
yang dibalut kerudung berwarna biru muda. Anggita belum mau bercerita tentang
detik-detik menjelang kepergian kakaknya, air matanya akan luruh seketika
mendengar nama kakak tercintanya, untuk itu aku tidak boleh terlalu memaksa
karena mungkin ia masih trauma.

Jarum jam menunjuk angka tiga, kami berdua larut dalam doa. Seperti
biasa, udara malam menusuk hingga ke tulang, namun keheningan sudah tidak
begitu aku rasakan karena kini aku tak sendiri lagi. Pernikahan kami memang
diawali dengan masalah yang datang bertubi-tubi, namun ini tidak menjadi suatu
penghalang bagi kami untuk terus merajut mimpi dan memperkokoh pondasi
rumah tangga ke depannya. Langkah awal yang harus kami tempuh adalah
dengan banyak bersabar dan bertawakal agar Allah senantiasa memberikan jalan
sekaligus kemudahan dalam melalui segala cobaan. Aku percaya bahwa Allah
tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya.

Pagi ini kumulai kembali aktivitas sehari-hari yang sudah lama terhenti.
Gita sibuk berkutat dengan peralatan dapurnya, menyiapkan sarapan untuk kami
berdua. Seperti biasa, kukenakan kemeja dan celana panjang yang telah
distandarkan oleh Pesantren tempatku mengaplikasikan ilmu.

Tak berselang lama, sarapan sudah tersusun rapi di atas meja. Kami
duduk berhadapan. "Mas Irwan.." panggilnya sembari mengisikan piringku
dengan nasi.

"Iya dek, ada apa?" sahutku menatap wajahnya, sembab di matanya sudah
tak tersisa. Sifat periangnya perlahan mulai kembali, senyuman di wajahnya
membuatku lega. "Terimakasih.. atas kesabaran antum dalam membimbing Gita."
Matanya berkaca-kaca, tangisnya pecah seketika sebelum sempat melanjutkan
kata-katanya.

***

"Kak Ran, bagaimana rasanya menjelang hari pernikahan?" Gita


memulai percakapan di tengah perjalanan mencari kendaraan untuk pulang
karena hari sudah menjelang malam.

Rani tersenyum, dielusnya kepala Gita, "Kakak bahagia dek.


Mendapatkan Mas Irwan adalah suatu kebahagiaan, untuk itu kakak tidak ingin
mengecewakannya apabila saat itu tiba."

Gita mengernyitkan dahi tak mengerti, "Maksud kak Ran mengecewakan


bagaimana?" ditatapnya wajah teduh Rani mengharap jawaban pasti. Rani masih
belum memberikan jawaban, pandangannya lurus menatap jalan.

"Dek, Mas Irwan itu laki-laki sholeh. Kakak banyak belajar darinya,
belajar tentang memaknai kehidupan serta agama tentunya. Untuk itu kakak
berharap kamu juga belajar seperti kakak kepada Mas Irwan, dan jangan sampai
kamu mengecewakan." Gita hanya mengangguk pelan, ia tak sadar bahwa itu
adalah kata-kata terakhir yang diucapkan kakaknya.

Kuraih tubuhnya yang gemetar, berusaha untuk menenangkan. Kuhapus


perlahan air mata di pipinya, aku lega Gita sudah dapat mencurahkan segala
perasaan yang membebani pikirannya.

***

Dua bulan sudah kami hidup bersama, berbagai rintangan telah kami
lewati berdua. Gita sama sekali tidak mengeluhkan kehidupan barunya yang
terlampau sederhana, ia begitu khidmat dan bersemangat dalam belajar ilmu
agama.

Aku menghela nafas panjang, kali pertama aku membuka kotak simpanan
berisi uang yang kukumpulkan tiap awal bulan. Aku mulai sadar, sadar bahwa
aku butuh uang tambahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Pendapatanku tiap bulannya tidak seberapa dan kini aku hidup berdua. Siang itu
aku terlalu larut dalam pikiran, sampai-sampai tak sadar Gita sedari tadi
memperhatikan.

“Mas Irwan mikirin apa?”

Aku segera tersadar dan mencari asal suara. “Tidak dek,” jawabku lesu.

Kini Gita duduk di sampingku, memegang lembut pipiku, “Katakan Mas,


jangan antum pendam sendiri.” Kutatap matanya penuh ketulusan, lidahku kelu,
tak satupun kata yang keluar dari mulutku.

***
Keheningan malam mulai kurasa, aku duduk berdua dengan Gita.
Kucurahkan segala kegundahan dalam dada kepadanya.

"Dek..." tak kuasa ku lanjutkan kata-kata setelah mendengar isak


tangisnya. Wajahnya yang teduh seketika berubah setelah air matanya jatuh
berlinang membasahi pipi merahnya. Aku hanya bisa tenggelam dalam diam.

"Pergilah Mas, In syaAllah aku ikhlas," suara lembutnya mencairkan


suasana. "Hanya satu pesanku dan jangan sampai engkau lupakan itu. Jagalah
hubungan baikmu dengan Allah SWT, niscaya Ia akan memudahkan jalan atas
segala yang engkau cita-citakan. Aku akan selalu berdoa untukmu, kekasihku,"
lanjutnya dengan berlinang air mata. Aku terperanjat mendengar kata-katanya,
lagi-lagi aku terkagum-kagum dibuatnya.

***

Adzan subuh berkumandang, beberapa pejuang mulai terlihat memasuki


pelataran masjid. Kubulatkan tekad, kumantapkan niat, kutunaikan sholat dua
rokaat. Ketenangan mengalir hangat, menjalar ke seluruh nadi, menentramkan
hati.

Belajar memaknai sebuah Hadits Nabi yang berbunyi, Dari ‘Aisyah


radhiyallahu ‘anha dari Nabi SAW bersabda : “Dua raka’at Shalat Fajr lebih baik
dari pada dunia dan seisinya (HR. Muslim).” Hadits ini telah menjadi motivasi
pembangun optimisme diri.

Mentari pagi masih belum menampakkan diri, hari ini aku akan pergi
bekerja ke luar negeri, Malaysia menjadi tujuan utama karena banyak teman
yang tinggal di sana baik untuk bekerja maupun untuk melanjutkan jenjang
pendidikan mereka. Alhamdulillah mertuaku tidak keberatan atas keputusan
yang telah kami sepakati, untuk sementara waktu Gita ditemani oleh Ibu. Hari
itu adalah terakhir kalinya aku melihat wajahnya, tak tega rasanya
meninggalkan Gita yang sedang hamil muda, namun apa daya karena ini juga
untuk masa depan kami bersama nantinya, kuserahkan segalanya kepada Sang
Pencipta, sebagai seorang hamba aku hanya dapat berusaha mewujudkan apa
yang telah aku cita-citakan.

***

Bertahun-tahun kami hidup berjauhan, bertahan dengan hanya


berkomunikasi lewat lembaran kertas yang berisi curahan hati masing-masing
dari kami. Rasa rinduku sudah tak tertahankan lagi, kuputuskan untuk pulang
ke Indonesia walaupun sebenarnya masih ada ikatan kontrak kerja.

Dan disinilah sekarang aku berada, di desa tempatku pertama kali


melihat dunia, desa yang menyimpan banyak kenangan dengan orang-orang yang
kusayang. Nafas ini telah normal kembali, aku lanjutkan kembali perjalanan
untuk menemui istri dan anakku tersayang. "Nak, Ayah pulang."
Sinar matahari mulai menyengat hingga lapisan kulit ari, kakiku terus
melangkah menelusuri jalanan yang membelah desa menjadi dua bagian. Orang-
orang mulai berlalu lalang, sibuk menekuni kegiatan individual. Sukar rasanya
untuk menyapa, beribu kata tak dapat terucap, berbagai pertanyaan tak dapat
terjawab. Hanya ada satu hal yang sedang aku pikirkan, keluarga kecilku.
Sepanjang perjalanan pikiranku melayang, berusaha mereka-reka air muka Pak
Kasim.

Aku tersadar setelah mendengar suara benturan. "Aduh.." lirih anak


perempuan yang terjatuh dari sepeda mininya. Dengan segera aku menghampiri
dan menolongnya. Lututnya terluka, namun tak keluar setetes pun air mata.

"Sakit?" tanyaku sambil mengusap lututnya yang terluka, ia hanya


nyengir menahan sakit. "Adek dari mana? Kok sendirian?" aku kembali bertanya.

"Habis beli obat om, buat Ibu" jawabnya polos.

Aku terdiam, terharu menatap wajah mungil di pangkuanku, umurnya


sekitar empat tahunan namun rasa sayang dan pengabdiannya kepada orang tua
tidak seperti anak-anak pada umumnya.

"Om, Ata pulang dulu ya, Ibu sudah nunggu," tegurnya membuyarkan
lamunan.

"Oh, biar om antar ya dek?" tak tega aku membiarkannya pulang


sendirian, langkahnya sedikit pincang dikarenakan luka pada kedua lututnya, ia
hanya mengangguk pelan.

"Itu rumah Ata om," tunjuk jari mungilnya kearah sebuah rumah. Aku
berhenti, berdiri mematung. Mulutku bungkam, tak mampu mengucap perkataan.
Tanganku gemetar melihat sebuah pemandangan yang mencampur adukkan
perasaanku. Tas besar dan sepeda mini kugeletakkan begitu saja, tubuh kecil Ata
naik turun diatas punggungku seirama dengan derap langkah yang kecepatannya
semakin lama semakin bertambah.

"Assalamu'alaikum," aku segera menerobos masuk tanpa menunggu


seseorang membukakan pintu terlebih dahulu. Kulihat seorang wanita tergolek
lemah di atas dipan, kuturunkan Ata dari gendongan. Matanya masih terpejam,
sesekali wajahnya mengernyit menahan rasa sakit.

"Ibu, bangun..." pinta Ata sembari menggoncangkan lembut tubuh wanita


yang ia sebut sebagai Ibunya. Perlahan matanya terbuka, ia tersenyum melihatku
yang berdiri di samping tempat tidurnya.

"Mas Irwan! Aku pasti sedang bermimpi," lirihnya sambil memejamkan


matanya kembali.
Kupeluk erat-erat tubuh mereka, aku tak dapat lagi menahan air mata.
Kami bertiga diam seribu bahasa, terlarut dalam tangisan yang berlangsung lama,
menumpahkan segala kerinduan yang telah terpendam teramat dalam.

-TAMAT-
KUPELUK ENGKAU DALAM SUJUDKU

Jarum jam menunjukan angka dua, kuseka mataku sebelum mengambil


air wudhu untuk menunaikan ibadah sholat tahajjud. Kulihat wajah mungil di
sampingku sedang terlelap, kubentangkan selimut yang sudah berada di kakinya
agar kembali menutup dada. Roka’at demi roka’at aku jalankan meskipun mataku
terasa berat akibat begadang mengerjakan Tesis Pasca Sarjanaku. Rutinitas
ibadah yang berat ini selalu kujalani dengan penuh tawakkal setiap malamnya.
Hawa dingin menusuk hingga pori-pori, namun berkat imam rumah tanggaku
yang selalu membimbing dan menuntunku ke jalan lurus-Nya, rasa ini sudah
menjadi teman dalam ibadah malam tanpa ada keluhan yang kulontarkan.

Kenangan indah itu tak akan pernah luput dari ingatan, kenangan yang
tersirat dua tahun silam. Mataku berkaca-kaca setiap kali melihat bingkai foto
yang terpajang di meja belajar.

***

Ketika seseorang terlahir ke dunia, maka telah ditetapkan baginya jodoh,


rejeki dan maut yang tersurat di lauhil mahfudh. Maha Suci Allah yang telah
menciptakan manusia dengan bentuk yang paling sempurna dibanding makhluk-
makhluk lainnya. Sangat disayangkan apabila rasa syukur masih belum dapat
terucapkan di lisan dan tertanam di lubuk hati yang paling dalam.

Sebuah kata bijak tersirat dalam relung kalbu, “Menjadi wanita itu
kehendak Allah, menjadi cantik itu relatif, menjadi muslimah itu anugrah,
tetapi menjadi muslimah yang sholehah itu pilihan.” Mulai sekarang telah
kuputuskan untuk tak hanya sekedar menjadi muslimah, namun juga muslimah
yang sholehah. Karena, semakin kuat niatan seseorang untuk kebaikan, maka
semakin besar pula ganjaran yang akan ia dapatkan. Hal ini apabila
digambarkan dalam struktur pemerintahan, bak tanggung jawab seorang atasan
yang jauh lebih besar dari bawahan, akan tetapi upah yang ia dapatkan juga
sepadan dengan apa yang ia kerjakan. Konsistensi dalam pengendalian hati dan
pikiran pada niatan tinggi penerapan hukum Islam memang tidak mudah, namun
apabila niat dan tekad sudah bulat, seakan topan badai tak dapat merobohkan
kekokohan hati yang telah mantap.

Memasuki semester tiga Fakultas Tarbiyah di sebuah Perguruan Tinggi,


kuputuskan untuk membuang semua celana jeans yang selama ini kukenakan
dalam keseharian. Kuganti semua pakaian dan jilbab tipis dengan pakaian
muslimah yang telah disyari’atkan, yaitu pakaian longgar dan jilbab panjang.
Kuluangkan waktu yang amat padat untuk dapat mengikuti kajian harian
pendalaman Agama Islamku yang masih dangkal.
***

Kulihat jam di tangan menunjukkan pukul delapan tepat ketika sampai


di depan kampus. Segera kuberlari ke arah tangga menuju kelas yang terletak di
lantai empat karena jam kuliah akan segera dimulai. Pada lantai pertama,
kutengokkan kepalaku kearah lift yang terletak beberapa langkah dari tangga
yang akan kunaiki selanjutnya, namun rasa kesal akan antrian membuatku tak
dapat lagi menunggu. Beruntung kali ini aku tidak terlambat, tapi ini sudah jam
delapan lewat dan dosen kami belum juga terlihat.

Fyuh... kuatur nafas yang sudah tak beraturan, kuseka keringat yang
mengucur di dahi dengan sapu tangan. Tiba-tiba kelas yang semula ramai
menjadi hening bak keheningan malam. Kutengadahkan kepalaku yang semula
menunduk, seorang laki-laki berjas hitam dengan kemeja biru dan dasi serasi
berdiri di depan kami dengan wajah teduh disertai senyuman manis yang
menghiasi. Ternyata beliau adalah dosen pengganti, karena Pak Rizal sudah
sepuh beliau memutuskan untuk pensiun dan mengutus putranya untuk
melanjutkan amanah yang belum sempat terselesaikan.

Dalam setiap kajian, akan ada kata-kata singkat penuh makna yang
selalu terngiang. Salah satunya adalah “Zina yang paling sulit dihindari dan
hanya sedikit manusia yang selamat dari padanya adalah zina mata.” Segera
kutundukan kembali kepalaku dan beristighfar dalam hati. Selama ini, mataku
lebih sering menatap tanah dan alas kaki orang-orang ketika berjalan, hingga
pernah tidak bertegur sapa dengan orang yang kukenal, namun hal ini tidak
masalah apabila zina itu dapat dihindarkan.

***

Pagi ini aku bangun lebih awal dari biasanya, kukeluarkan semua isi
tasku untuk mencari flashdisk yang berisi rancangan skripsi. Setelah semua
berantakan, baru kusadari belum mencabutnya dari laptop akibat begadang dan
akhirnya ketiduran kemarin malam. Segera kupersiapkan bahan yang akan
kukonsultasikan dengan dosen pembimbing skripsiku.

Kulangkahkan kaki menuju rumah dengan gaya arsitektur elit dengan


tiang penopang atap teras yang terbuat dari kayu jati. Gemercik air mancur
menyambut kedatanganku setelah memasuki pintu utama rumah Pak Rizal,
dosen pembimbing skripsiku. Setelah beberapa saat membunyikan bel, seorang
pemuda yang tak asing lagi dimataku keluar dengan mengenakan kemeja putih
membukakan pintu. Ternyata Pak Rizal tidak dapat membimbing skripsi kami,
namun beliau meminta putranya, Mas Farid untuk menggantikan beliau dalam
hal ini juga.

Ya! Muhammad Farid Anwar, itulah awal aku bertemu dengan suamiku
yang tidak lain adalah dosenku. Skenario pertemuan yang tidak dapat
dibayangkan, sungguh diluar dugaan. Allah berfirman dalam Al-Qur’an,
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang
keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik
adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-
wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang
dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki
yang mulia (surga)”(QS An-nur:26).

Sebagai seorang remaja, aku berbeda dari kebanyakan remaja lainnya.


Aku sangat menentang hubungan pacaran yang sudah menjadi kebiasaan dalam
menghabiskan masa lajang. Aku percaya ketika Allah telah menetapkan jodoh,
maka skenario pertemuan juga akan dirancang. Mau bagaimanapun caranya,
jodoh pasti akan datang, tidak perlu melalui jalan pacaran yang akan
menjerumuskan lebih dalam ke jurang kemaksiatan.

***

Liburan semester ini orang tua memintaku untuk langsung pulang ke


rumah. Biasanya aku diizinkan untuk beberapa hari menikmati awal liburan
panjang dengan teman-teman. Mereka sangat percaya bahwa aku tidak akan salah
pergaulan, untuk itu aku harus bisa memegang kepercayaan yang telah mereka
berikan. Aku patuhi permintaan mereka untuk segera kembali ke rumah setelah
UAS usai.

Pertemuan keluarga akan digelar malam ini. Aku sempat merajuk karena
Ibu tidak memberitahu sebelumnya dan meminta persetujuanku. Namun apa
daya, kuturuti saja permintaan mereka, aku yakin sepenuhnya dengan pilihan
orang tua, Insyaallah yang terbaik. Gamis biru dengan motif kotak-kotak nan
anggun kukenakan malam ini, kumantapkan hati dengan menatap wajah sendiri
di depan cermin. Beberapa saat kemudian, terdengar suara Ibu memanggilku dari
balik pintu.

Aku mengambil tempat duduk di tengah-tengah Ayah dan Ibu tanpa


menatap satu persatu wajah para tamu. Jantungku berdebar tak menentu, entah
rasa senang atau gelisah yang beradu. Ayah memulai percakapan dengan para
tamu dengan sebuah pertanyaan yang membuatku semakin menundukkan
wajahku, “Apakah anak kami ini yang Mas Farid maksud?” Tanya Ayahku
kepada lelaki yang berniat menyempurnakan setengah dien-nya denganku.

Hatiku semakin tak menentu setelah mendengar namanya, kulirik sejenak


laki-laki yang duduk diseberangku, “Farid itu kan, dosenku...” gumamku dalam
hati.

“Benar Pak,” jawabnya mantap sembari menggenggam kedua telapak


tangannya di atas paha tanda gelisah. Tanganku mulai berkeringat dingin ketika
Ayah mengajukan pertanyaan untukku, “Bagaimana Firda? Apa kamu bersedia
menerima lamaran Mas Farid?”
Aku hanya bisa terbungkam, dalam suasana terjepit ini, aku ingat nasehat
Pak Kyai dalam pengajian tempo hari, “Apabila telah datang kepadamu seorang
laki-laki sholeh, maka tidak baik bagimu untuk menolaknya, karena hal pertama
yang harus dilihat oleh seorang wanita muslimah dalam menentukan pasangan
hidupnya adalah dari akhlak seorang laki-laki, bukan ketampanan ataupun
kekayaan yang ia miliki.” Mengingat perkataan itu aku sedikit melirik raut
wajahnya yang teduh penuh keimanan, dan hatiku semakin mantap untuk
menerima pinangannya. Keimanan tersirat jelas diwajahnya. Kuanggukkan
sedikit kepalaku untuk menyetujui niatannya. “Alhamdulillah” ucap semua orang
yang menghadiri pertemuan keluarga kami saat itu.

Tanggal pernikahan kami ditetapkan dua bulan mendatang, rasanya


memang canggung harus menikah dengan orang yang belum lama dikenal, namun
aku percaya bahwa Allah telah mengatur dan menetapkan sedemikian rupa
hukum-hukum Islam untuk kebaikan hamba-Nya yang menerapkan dalam
kehidupan. Karena hidup di dunia tanpa keridhoan Allah SWT, bagaikan bejana
kosong yang terombang-ambing di tengah lautan tanpa arah dan tujuan.

***

Lantunan ayat Al-Qur’an terdengar syahdu terucap dari mulutnya dalam


suasana ijab kabul yang diselenggarakan tanggal 15 Agustus 2012. Bagiku, mahar
paling mahal yang telah Mas Farid berikan adalah hafalan Q.S Ar-Rahman.
Suaranya yang merdu menyejukkan kalbu.

Bak raja dan ratu, kami duduk di pelaminan dalam acara resepsi yang
diselenggarakan di gedung pertemuan hotel Cakra Mandala. Suasana haru dan
bahagia meliputi keluarga kami, khususnya keluargaku yang harus melepaskan
anak perempuan mereka mengikuti suaminya. Ayah memelukku erat seakan
enggan untuk melepasku. Namun begitulah hukum kehidupan yang beredar,
dimana suatu saat seorang Ayah harus rela menjadi sosok lelaki kedua yang
melindungi putri tercinta setelah suaminya.

***

Hawa dingin menusuk hingga ke pori-pori. Sepekan sudah hujan deras


membasahi bumi mulai dari sore hingga larut malam.

Jam dinding menunjukkan angka dua belas, kulihat suamiku masih


terdiam dengan headset menutupi telinganya. Tangannya terus menekan tombol
tasbih dengan mata tertutup dan bibir yang tak henti-hentinya berucap. Perlahan
aku berjalan mendekatinya yang duduk di shofa ruang keluarga. Seminggu
terakhir ini ia jarang memejamkan mata, ia memilih berdzikir setelah
menyelesaikan pekerjaannya hingga sepertiga malam tiba, kemudian berlanjut
untuk menunaikan sholat malam bersama. Ia hanya sejenak memejamkan
matanya untuk menunggu waktu subuh tiba, itupun karena kupaksa. Aku
khawatir ia akan jatuh sakit karena kurang istirahat, kutegur dengan nada suara
pelan agar ia mau istirahat, namun tetap saja ia selalu berkata, “Aku baik-baik
saja, ada Allah yang selalu melindungi setiap hamba-Nya yang bertakwa.” Nada
suara lembutnya, senyuman manis yang selalu mengiringi perkataannya, juga
candaan renyah darinya takan pernah kulupa untuk selamanya.

Suatu ketika aku bertanya kepadanya setelah menikah, “Mas, kok bisa
tahu rumahku?”

Kulihat ia berpikir sejenak, “Penasaran?”

“He’em,” jawabku sembari menyeruput secangkir teh hangat setelah sholat


isya’.

“Aku kan dosen kamu. Yaa tinggal lihat aja di data mahasiswa,” ucapnya
sembari menyeringai lebar. Ia tertawa melihat wajahku berekspresi sebal.

“Terus, kok bisa milih aku?” tanyaku mengintrogasi.

Mas Farid tersenyum, “Inilah skenario yang telah ditetapkan oleh Allah
perihal jodoh.”

***

Dua bulan hidup bersamanya aku merasa sangat bahagia. Hingga sempat
tak terpikir olehku, hidup di dunia hanyalah sementara dan kebahagiaan di
dalamnya bersifat fana.

Jalan basah akibat hujan deras semalaman mengiringi perjalanan kami


menuju kampus. Dalam perjalanan, ia memintaku menyalakan lantunan ayat Al-
Qur’an di tape mobil. Kupandang wajahnya yang teduh penuh dengan keimanan,
sunggingan senyuman terpancar dari wajahnya yang menawan membalas
pandangan, mata kami saling bertemu sesaat dan kembali fokus seperti semula
dengan stir mobilnya seraya berkata, “Kebahagiaan sejati adalah ketika kita
dekat dengan Allah SWT,” kata singkat penuh makna yang tak akan pernah
kulupa. Hingga pada akhirnya mobil pengangkut barang melaju kencang dari
arah yang berlawanan tepat ke arah kami. Spontan suamiku membanting stir
menghindari tabrakan, mobil kami menabrak trotoar dengan keras dan pohon di
pinggir jalan. Dengan kepala yang masih pening akibat kecelakaan, kucoba untuk
membuka pintu mobil. Kuarahkan pandanganku ke arah suamiku, aku sangat
panik melihat darah yang mengalir dari kepalanya yang terbentur stir mobil
terlebih lagi pohon yang ditabrak tepat berada di depan kaca mobilnya. Orang-
orang berdatangan mengerumuni kami, suara ambulan terdengar beberapa saat
setelah kecelakaan.

***

Kulihat tubuhnya yang terbujur di atas bed ambulan. Melihat darah yang
terus mengalir dari pelipis dan nafasnya yang sudah tak beraturan, kutahan
butiran bening keluar dari ujung mata. Dadaku sesak menahan tangis,
kufokuskan sisa kekuatan untuk menuntunnya mengucapkan dua kalimat
syahadat di telinganya. Kudengar jelas bibirnya mengucap dua kalimat syahadat
dengan suara lirih dan lancar.

Keringat membasahi keningnya yang berdarah, wajahnya tenang dengan


mulut yang tak henti-hentinya mengucap kalimat “Allah.” Aku merasa ini sudah
waktunya, aku tidak ingin hanya bersama dengannya di dunia, tapi aku ingin
selalu bersama dirinya sampai di kehidupan selanjutnya. Jangankan manusia
biasa, Nabi Muhammad, manusia yang paling sempurna tetap merasakan betapa
sakitnya saat malaikat maut datang mencabut nyawa dari raga manusia.
Kugenggam tangannya yang sudah dingin, saat mulutnya berhenti mengucap
kalimat “Allah,” bibirnya menyiratkan senyuman tipis, matanya yang semula
terbelalak menahan rasa sakit menutup perlahan, Inna lillhahi wa inna ilaihi
roji’un, beliau telah berpulang untuk menghadap Sang Pencipta alam semesta
dan seisinya.

Dadaku semakin sesak menahan tangis, aku yakin Allah lebih


menyayanginya daripada aku harus melihatnya menderita menahan sakitnya.
Aku harus kuat karena ini cobaan yang diberikan Allah SWT untuk menguji
seberapa besar keimanan dan kesabaran yang aku miliki, aku pasti dapat
melaluinya karena “Allah tidak memberikan cobaan kepada hamba-Nya diluar
batas kemampuannya.” Namun apa daya aku hanya seorang manusia yang jauh
dari kata sempurna, tubuhku semakin lemah dan seketika pandanganku menjadi
gelap.

***

Aku berharap mimpi buruk ini akan segera berakhir. Kubuka mataku
perlahan, kulihat di sekelilingku peralatan medis tertata rapi dan jarum infus
menancap di tangan kananku. Kupegang sisi bangsal untuk menyeimbangkan
posisi dudukku, kepalaku pening. Kini aku sadar bahwa semua ini bukanlah
mimpi, segera kucabut jarum infus dan berlari mencari suamiku.

Kupercepat langkahku menuju meja resepsionis, suster mengatakan bahwa


korban kecelakaan mobil yang masuk satu jam lalu telah di bawa ke ruang
jenazah. Kulangkahkan kakiku menuju ruang jenazah, pikiranku tak karuan
seakan tak percaya kenyataan ini telah terjadi padaku. Suster merangkulku dan
membawaku pada salah satu jenazah yang tertutup kain putih di samping pintu
masuk ruangan. Dadaku tak kuasa menahan tangis, nafasku tersengal tak
beraturan. Segera kuberlari menuju masjid terdekat untuk menenangkan diri,
aku tak sanggup walau sekedar menitikan air mata di depan jenazahnya.

***

Kakiku mati rasa, mulutku bungkam, namun hatiku tiada henti-hentinya


berdzikir dan berdoa. Aku harus kuat, karena Allah memberikan ujian kepada
hamba-Nya sesuai batas keimanannya. Sabar adalah kunci utama untuk melalui
cobaan yang Allah berikan. Sekarang hatiku mulai tenang, walaupun orang yang
aku kasihi telah pergi dan tiada pernah kembali. Tapi aku yakin bahwa Allah
akan mempertemukan kami kembali di surga-Nya nanti. Aamiin.

Seorang Ibu paruh baya menghampiriku yang sedang melepas mukena,


disodorkannya satu botol air mineral kepadaku. Ternyata beliau telah
memperhatikanku semenjak kedatanganku ke masjid dengan linangan air mata,
menangis hingga tak bersuara. “Minum dek, tenangkan hatimu.” Sembari
menepuk-nepuk pundakku pelan agar aku tidak larut dalam kesedihan yang
mendalam.

***

Kubuka kain putih yang menutupi tubuhnya. Kulihat cahaya keimanan


menyelimuti wajah pucat dengan sedikit senyuman di bibirnya yang sudah biru.
Mataku bengkak, air mataku tak lagi menetes, aku tidak ingin menangis di depan
jenazahnya. Aku ikhlas atas segala kehendak Allah. Aku hanya mampu berbisik
di telinganya, “Terima kasih Mas, telah membimbing dan menuntunku ke jalan
yang diridhoi Allah.” Kini aku lega beliau berpulang ke rahmatullah dengan
husnul khotimah.. In syaAllah.

Memang berat harus menerima kenyataan ditinggal wafat suami disaat


pembangunan pondasi awal rumah tangga kami. Tetapi Allah pasti akan
memberikan hikmah atas cobaan yang Ia berikan untuk menguji keimanan
seorang hamba kepada-Nya. Kini kewajibanku adalah mendoakannya agar ia
bahagia menungguku di sisi-Nya.

***

Semilir angin menyibakkan kerudung panjangku. Dedaunan menari-nari


menyambut kedatangan kami pagi ini. Fakhri meminta turun dari gendonganku,
ia duduk di pinggir makam yang bertuliskan “Muhammad Farid Anwar bin H.
Rizal Haryanto.” Kupandangi sekeliling makamnya, tidak ada yang berubah,
masih sama seperti dua tahun lalu ketika tubuhku ambruk setelah jasadnya
dimasukkan ke liang lahat.

Setiap hari selalu kuceritakan kepada anakku perihal Ayahnya.


Kuusahakan agar ia banyak mengenal Ayahnya walaupun sama sekali belum
pernah bertemu dengannya. Mas Farid adalah orang yang sangat cinta kepada
Allah, maka sudah menjadi kewajibanku untuk menanamkan kepada buah hati
kami rasa cinta kepada Tuhannya melebihi dunia dan seisinya.

Pertanyaan polosnya menegunkan lamunanku, “Ibu, Ayah sekarang ada di


tempat yang jauh ya? Tapi tempat ini kan dekat dengan rumah Fakhri..” Aku
tersenyum kecil dan memeluknya erat. Aku sangat bahagia memilikinya, Maha
Suci Allah yang telah memberiku nikmat yang tiada tara setelah cobaan berat
yang aku terima. - TAMAT-
JANJI YANG TAK TERINGKARI

Gemercik air mancur taman kota menyejukkan suasana pagi, sang


mentari memancarkan sinarnya memantulkan cahaya embun di dedaunan bak
kristal yang bersinar dalam kegelapan. Itulah keindahan alam yang selalu
Ahmad saksikan di pagi hari kota Islamabad menemani lari paginya. Rutinitas
ini selalu ia jalankan semenjak datang ke Pakistan dua tahun silam, karena ia
sadar penting dan nikmatnya kesehatan tanpa harus merasakan sakit dahulu
untuk menyadarinya. Sesaat ia termenung menatap dedaunan hijau di depannya,
matanya menerawang jauh masa sebelum ia berada di Pakistan untuk megambil
program S2 di International Islamic University Islamabad melalui bantuan yang
ditawarkan Pak Kyai di pesantren tempatnya menuntut ilmu dahulu sebagai
penghargaan atas kecerdasan yang ia miliki, bahkan setelah lulus dari IIUI
beliau memintanya untuk kembali ke pondok pesantrennya dan berjuang
membantu pondok.

***

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakaatuh,” salam Ahmad


setelah masuk kelas pertama kalinya untuk mengajar di MAN yang terletak tak
jauh dari tempat tinggalnya. “Wa’alaikum salam warahmatullahi wa
barakaatuh,” jawab para siswi kelas XII MAN Al-Mubarokah serempak mewakili
kesemangatan mereka untuk mendalami ilmu agama dengan guru baru lulusan
Al-Azhar Kairo. Pertama-tama Ahmad memperkenalkan identitasnya terlebih
dahulu karena pepatah memaparkan “Tak kenal maka tak sayang.” Di tengah
pelajaran, ia mengajukan pertanyaan tentang riwayat hidup Imam Syafi’i, karena
tidak satupun dari muridnya yang tahu maka pilihan terakhirnya adalah
mengambil absen yang tergeletak di atas meja dan menunjuk satu dari nama-
nama yang tertera diatasnya.

“Miftahuz Zayanah, coba jawab pertanyaan saya sesuai yang anti tahu!”
perintah Ahmad kepada Ana, gadis manis yang selalu menempati peringkat
pertama di kelasnya. Namun tak disangka perempuan dengan jilbab lebar itu
menjawabnya dengan benar. Ana memang seorang yang pemalu, jadi ia tidak
berani mengangkat tangannya ketika Ahmad mengajukan pertanyaan. Senyuman
tipis tersirat di wajah Ahmad, tetapi Ana langsung menundukkan pandangannya
tanpa membalas senyuman gurunya itu. Itulah pertama kalinya ia melirik
seorang wanita dan tanpa ia sadari, ia menaruh hati padanya.

***

Sepulang menjalankan ibadah sholat isya’ di masjid, Khoirul, teman satu


pondoknya dahulu menyapanya setelah lama memperhatikan untuk memastikan
apakah orang di depannya benar-benar Ahmad, teman paling cerdas di
angkatannya dahulu. “Ahmad? Ahmad Syauqy?” tanya Khoirul memastikan.

“Eh Khoirul! Apa kabar?” jawabnya sembari merangkul bahu temannya


itu.

“Betah sekali kamu di Mesir sampai lupa kampung halaman,” canda


Khoirul kemudian.

“Bisa saja kamu ini. Bagaimana sekarang? Masih mengabdi di pondok?”

“Masih, satu tahun lagi in syaAllah masa pengabdianku di pondok


selesai,” jawab adik kelas Ahmad sewaktu di pesantren dulu.

Limpahan rasa rindu dua sahabat yang enam tahun tidak bertemu itupun
meluap sampai tak sadar perbincangan mereka harus berakhir di depan rumah
Ahmad yang berjarak delapan ratus meter dari masjid.

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam. Sudah pulang le?” Tanya Ibunya yang terbaring


lemah di atas dipan.

“Sudah Bu,” jawabnya sembari mencium tangan keriput seorang Ibu yang
penuh berkah.

Ibunya menghela nafas dalam-dalam dan mengatakan dengan mata


berkaca-kaca, “Le, rasanya sebelum Ibu pergi kok kepingin menimang cucu.”
Ungkapan singkat sang Ibu menegunkan pandangan anak semata wayangnya.

“Ibu... jodoh, maut, rezeki itu sudah diatur Allah. Kalau sudah saatnya,
maka tidak ada satupun hal yang akan menghalangi kecuali yang menentukan
takdir itu sendiri. Jadi, Ibu tidak usah khawatir dan jangan bilang seperti itu
ya...” Jawab Ahmad dengan senyuman kepada Ibunda tercintanya sembari
membenarkan selimut hingga ke dada. Mata sang Ibu berkaca-kaca seakan
memang keinginannya itu sudah tidak dapat ia bendung lagi sebelum ajal benar-
benar menjemputnya.

***

Malam itu ia larut dalam doa tahajjudnya. Jam dinding menunjukkan


angka tiga, ayam jantan mulai berkokok menandakan bahwa hari mulai pagi. Di
tengah kesunyian sepertiga malam, ia selalu berdoa agar Allah memberikannya
yang terbaik dalam segala hal termasuk jodoh di dalamnya. Selama ini, tidak
seperti pemuda pada umumnya yang menghabiskan waktu untuk hal-hal yang
tidak berguna, pacaran kesana-kemari dan menghamburkan uang orang tua, ia
lebih memilih mengajar ngaji sebagai pekerjaan sampingan saat kuliah di Mesir,
meskipun ia kuliah di sana menggunakan beasiswa.
Ketika teman-temannya mendapat kiriman dari orangtua mereka, Ahmad
justru sebaliknya, mengirim uang untuk Ibunya di rumah yang keseharian
merawat ladang peninggalan almarhum Ayahnya. Ahmad sangat bersyukur
karena dapat melanjutkan sekolah ke jenjang sarjana tanpa membebani sang Ibu
dengan mahalnya biaya kuliah. Namun ia juga sedih karena harus jauh dari
Ibunya yang kini hanya tinggal sendirian di rumah. Hidup sederhana adalah hal
biasa yang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari Ahmad. Bahkan di kala ia
sangat membutuhkan kebahagiaan sekalipun, namun keteguhan hati dan
kekuatan imannya mengalahkan keinginan semata itu, ia selalu yakin bahwa
Allah akan memberikannya sebuah kebahagiaan kelak di kemudian hari. Ia
ambil Al-Qur’an di atas meja samping tempat tidur, cucuran air mata membasahi
kedua pipi ketika dilantunkannya kalam ilahi.

***

Ustadz Ahmad, begitulah ia dipanggil oleh siswa-siswinya di sekolah.


Teks hasil ujian siswa-siswi kelas XII menumpuk di meja kerjanya, ia isi jam
istirahatnya untuk mengoreksi seluruh kertas ujian karena sore ini ada panggilan
dari Kyainya di pesantren. Setelah merekap seluruh nilai, ia menentukan siapa
yang memperoleh nilai tertinggi dalam pelajarannya, dugaannya tidak meleset,
Ana menempati nomer satu disusul oleh teman-temannya yang nilainya jauh di
bawahnya. Hatinya menggumam, betapa pandainya anak ini padahal soal yang ia
berikan di luar buku yang ia ajarkan tetapi berdasarkan besarnya pengetahuan
mereka tentang Agama Islam. Ia pun semakin mantap dengan pilihannya
meskipun harus menunggu Ana menyelesaikan S1-nya.

***

Di kediaman Bapak Kyai, ia mengutarakan niatnya untuk memenuhi


keinginan Ibunya yang sudah sakit-sakitan sekaligus meminta pendapat beliau
bagaimana yang terbaik untuk dirinya dan Ibu tercinta agar tidak ada penyesalan
di akhir nanti atas pilihan yang ia ambil.

“Saya sudah menganggap kamu seperti anak saya sendiri, kalau kamu
yakin atas pilihanmu in syaAllah itu akan menjadi yang terbaik untukmu, kalau
kamu belum yakin, jalan satu-satunya adalah sholat istikharah. Minta petunjuk
pada Allah, kalau memang itu jodohmu bagaimanapun caranya pasti akan
bertemu, jadi tidak usah khawatir.” Nasehat Pak Kyai menyadarkannya akan
pentingnya kesabaran dan kehati-hatian dalam mengambil keputusan yang pasti
dan tidak meleset.

“Minggu lalu, Rektor IIUI datang silaturahmi kemari, beliau menjelaskan


tentang kuliah di IIUI untuk Pascasarjana. Saya sarankan untuk saat ini kamu
melanjutkan S2 dulu, baru setelah lulus kamu menikah dan turut berjuang
membantu pondok. Bagaimana, apa kamu berminat melanjutkan jenjang
Pascasarjana?” Ahmad terdiam sejenak, hatinya menangis gembira, betapa Allah
sangat menyayanginya bahkan tatkala ia terjepit, Allah datang memberikannya
pertolongan yang tak pernah ia duga sebelumnya.

“In syaAllah saya akan belajar sungguh-sungguh dan tidak mengecewakan


Pak Kyai.” Jawabnya singkat.

“Baik kalau begitu persiapkan dirimu untuk berangkat sekitar tiga bulan
lagi, Bapak percaya padamu,” sambil menepuk-nepuk pundak Ahmad.

“Terimakasih Pak Kyai,” jawabnya sambil menunduk penuh haru.

***

Ana terdiam di depan meja belajarnya, dipandanginya diary hijau yang ia


beli sebelum masuk MA. Sebenarnya ia tidak senang menulis sehingga diary tipis
itu tak pernah penuh terisi oleh goresan tinta curahan hatinya. Ia hanya menulis
apabila hal itu sangat penting dan bersejarah baginya. Ia buka lembar ketiga yang
masih halus tanpa goresan tinta di atasnya, mengapa lembar ketiga? Karena
kebiasaan Ana menulis diary secara acak, bahkan ia menoreh tinta kali pertama
di halaman paling belakang.

(Ya Allah.. tetap teguhkan keimanan hamba-Mu yang lemah ini agar tidak goyah
oleh bisikan setan dengan adanya seseorang yang hamba sukai, sadarkanlah
hamba apabila beliau memang bukan jodoh hamba, maka jauhkanlah kami
sejauh-jauhnya, namun apabila beliau jodoh hamba, satukanlah kami dalam
ikatan tali pernikahan agar kami tidak terpuruk dalam jurang kemaksiatan.
Untuk saat ini, kalau memang belum saatnya kami bersatu, maka jauhkanlah
kami dahulu agar bisikan setan tidak dapat menggoyahkan iman kami).

Ana menutup diary-nya sambil meng-amini apa yang ia tulis. Sebenarnya


hatiya bimbang karena ia mengetahui rencana orang tuanya untuk
menjodohkannya dengan Fahri, saudara jauhnya, meskipun mereka belum
meminta pendapatnya tentang perjodohan ini. Namun yang ia takutkan apabila
harus memilih salah satu dari pilihan orangtua atau pilihannya sendiri.

***

Pagi ini terlihat teman-teman sekelasnya mengerumuni Ustadz Ahmad


yang sedang memasang kertas di atas papan pengumuman. Setelah sedikit sepi, ia
melangkah menuju papan pengumuman itu, dicarinya nama Miftahuz Zayanah,
dari belakang tampak Ahmad memperhatikan Ana. Ia mengira bahwa
pemandangan yang akan ia saksikan adalah Ana yang melompat kegirangan
karena memperoleh nilai terbaik, namun dugaannya kali ini meleset, Ana
mengucapkan hamdalah sambil mengusapkan kedua telapak tangannya ke
wajahnya yang teduh. Ia tidak melihat pemandangan seperti ini sejak tadi ketika
murid-muridnya yang lain melihat hasil ulangan Ahmad tersebut.
“Wah selamat Zayanah, nilaimu bagus,” ucap Ahmad sambil
mengacungkan jempol kanannya pada Ana.

“Oh.. tidak Ustadz, tanpa antum mungkin nilai saya tidak akan seperti
ini,” jawab Ana latah karena kaget gurunya tiba-tiba berada di belakangnya.

“Ah kamu ini, itu kan tidak pernah Ustadz ajarkan, kalau begitu
bersiplah masuk kelas, study hard!” pintanya sambil berlalu. Ana hanya manggut-
manggut dan bergegas menuju kelas.

***

Siang ini, udara terasa sangat panas karena pertengahan musim kemarau
di bulan Agustus. Terik matahari seakan membakar ubun-ubun kepala dalam
perjalanannya menuju kerumah setelah selesai mengajar.

Setelah melewati pintu depan dan mengucapkan salam, tidak ada suara
Ibunya yang biasanya spontan menjawab salamnya. Ia lewati kamar sang Ibu dan
ditemukannya wajah keriput nan pucat sudah terbujur kaku di atas dipan. “Ibu!
Ibu kenapa?” teriak Ahmad sambil mengguncang-guncangkan tubuh Ibunya yang
dingin. “Ibu..! Jangan tinggalkan Ahmad sendiri Bu!” Teriaknya sehingga Pak
Darma tetangganya panik dan langsung menerobos masuk lewat pintu belakang
rumah Ahmad.

“Ahmad! Ada apa? Innalillahi wa ina ilaihi roji’un..” kata Pak Darma
sambil memegang bahu Ahmad yang sedang menangis memeluk tubuh Ibunya
yang kulitnya telah pucat. Sesegera mungkin Pak Darma meminta bantuan para
warga untuk menolong Ahmad yang sedang berduka cita.

Setelah Ibunya selesai disemayamkan, di depan tanah kubur yang masih


basah, air matanya tak dapat berhenti membanjiri pipi. Penyesalan yang
mendalam tersirat dalam hati Ahmad, karena ia belum dapat mengabulkan
permintaan Ibundanya.

“Ustadz,” tiba-tiba suara seorang wanita memecahkan keheningan


tangisnya yang tak lagi bersuara, dengan mata sembab Ahmad menoleh ke
belakang, didapatinya Ana beserta Ayahnya.

“Kami turut berduka nak Ahmad, teguhkan hatimu, in syaAllah Ibu nak
Ahmad bahagia karena memiliki anak sholeh sepertimu. Mari nak kita pulang
bersama, Pak Kyai sudah menunggu dari tadi,” ajak Ayah Ana. Ayah Ana sangat
menyukai kepribadian Ahmad, mulai dari ceramah Ahmad yang sangat
menyentuh hati hingga kecerdasan yang dimilikinya, beliau tidak mendahulukan
materi untuk memandang seseorang, namun kepribadian adalah yang paling
utama untuk diketahui. Maka dari itu ketika Ahmad diberikan cobaan ini, beliau
merasa iba dengan Ahmad sehingga memutuskan untuk menemaninya sesudah
pemakaman hingga kuburan sepi.
“Laki-laki sejati tidak cengeng, tidak gentar akan badai yang menghiruk-
pikukan hidupmu sekalipun, jangan pernah menyalahkan dirimu sendiri, karena
jodoh, maut dan rezeki sudah ada yang mengatur, setelah ini jangan pikirkan
yang telah berlalu, yang lalu ya sudah..biarkan saja beralu karena tangisan dan
penyesalanmu tidak akan pernah membangkitkan kembali Ibumu yang telah
meninggal, tetapi doamu akan memberikan kebahagiaan baginya di sana. Mulai
sekarang pikirkan masa depanmu, kamu ini masih muda jangan kamu sia-siakan
kesempatan yang telah Allah berikan kepadamu, Bapak hanya dapat membantu
untuk mewujudkan cita-citamu dan kamu, adalah penentu dari cita-cita itu
sendiri. Secepatnya kamu persiapkan diri karena lusa adalah hari
keberangkatanmu ke Islamabad, sengaja Bapak majukan agar kamu tidak
tenggelam dalam kesedihan, belajar yang benar disana dan pikirkanlah masa
depanmu. Ya? Kalau begitu Bapak pamit, masih ada urusan di pondok yang
harus segera dikerjakan.” Jelas Pak Kyai dan segera bersiap untuk meninggalkan
rumah Ahmad. Ahmad hanya terdiam dan mengangguk men-iyakan nasehat Pak
Kyai lalu mengantarkan beliau ke depan rumahnya.

***

Hari ini Ahmad Syauqy pergi ke MAN Al-Mubarokah untuk berpamitan


kepada kepala sekolah dan murid-muridnya. Seluruh dewan guru dan murid-
muridnya mengucapkan bela sungkawa atas cobaan yang sedang Allah berikan
kepada Ahmad sekaligus berterimakasih banyak karena telah bersedia membantu
mengajar di sekolah mereka.

Ketika hendak pulang, suara seorang wanita memanggilnya, “Ustadz


Ahmad, antum mau pergi sekarang?” Tanya Ana yang tak biasanya mau menemui
Ahmad seorang diri.

“Iya Zayanah, doakan ustadz supaya berhasil ya.. dan kamu juga jaga diri
baik-baik, tetap jadi juara kelas, dan sukses. Semoga Allah mempertemukan kita
lagi.” Ana tertegun atas kata-kata Ahmad yang terakhir, apa makna yang
sebenarnya dari kalimat itu, apakah pertemuan antara guru dan murid ataukah
pertemuan jodoh.

“Oh, iya Ustadz semoga; hati-hati ustad, jaga diri antum baik-baik,” kata
Ana yang masih berdiri semabari mengiringi kepergian Ahmad. Seulas senyuman
merekah di wajah mereka berdua yang akan berpisah dalam jangka waktu yang
tidak dapat dipastikan.

***

Jarum jam menunjukkan angka 8 waktu setempat. Ia tersadar dari


nostalgianya dan segera pulang ke asrama. Dalam perjalanan pulang ia
menggumam dalam hatinya, “Zayanah, tunggu Ustadz ya,, karena apa yang
Ustadz cita-citakan akan segera terwujud sebentar lagi.” Senyuman kebahagiaan
merekah di wajah manisnya, tidak hanya karena sebentar lagi S2-nya selesai juga
karena ia mendapatkan penghargaan sebagai mahasiswa berprestasi dalam
jurusan Aqidah dan Filsafat dengan nilai GPA (Grade Point Average) tertinggi.
Inilah kebahagiaan yang Allah berikan kepada hamba-Nya yang selalu sabar,
tawakkal dan tidak pernah mengeluh akan cobaan yang terus menerus
menimpanya. Karena pada saatnya, Allah akan memberikan kebahagiaan sebagai
hadiah kepada hamba-Nya yang bertakwa.

-TAMAT-
DI AMBANG PENANTIAN

Malam ini aku kembali berjalan seorang diri, menyusuri gang perumahan
yang mulai sepi. Purnama tersenyum menghiasi langit malam bertabur bintang,
memantulkan remang cahaya ke pelupuk mata, sehingga membuat wajah malam
tak nampak begitu gulita. Aku menghentikan langkah, sejenak kepalaku
nenengadah, menatap bulan yang begitu indah.

Aku tersenyum simpul, melihat wajahnya selalu muncul. "Apa kabar?"


Lirihku sembari memeluk erat sajadah di lengan. Aku percaya bahwa dia, sosok
nan jauh di sana juga sedang menatap langit yang sama meski terpisah oleh
luasnya samudera. Desir angin seakan membawa pesan, membuatku kalut dalam
kebimbangan, menanti sebuah kepastian akan janji yang diucapnya tempo hari.

***

"Nduuk, itu ada undangan dari temenmu, Ria. Ibu nggak nyangka, dia
nikah duluan daripada kamu," Ibu terkekeh sembari menyelesaikan sisa kain
jahitan. Aku hanya tersenyum dan bergegas menuju kamar mengambil undangan
yang Ibu bicarakan.

Riana & Fahri, kedua nama itu tertera di atas kertas undangan berwarna
biru muda berhias ornamen yang memancarkan rona bahagia. Sejenak kulihat
kertas-kertas yang sama tertumpuk di atas meja, dan sekali lagi aku hanya dapat
tersenyum, berusaha mengobati lara yang menyesakkan dada. Berkali-kali Ibu
bertanya, "kamu kapan?" terlebih pada saat memberikan undangan dari teman,
jawaban yang aku berikan tetap sama, tak ada ubahnya, "Nanti lah Bu, kalau
sudah waktunya. Tenang saja Bu, tulang rusuk nggak akan tertukar," tukasku
dengan sebuah candaan yang membuat Ibu menghentikan topik pembicaraan.

Terkadang rasa kesal membuncah memenuhi pikiran, namun sebisa


mungkin kubendung luapan kemarahan dengan hati lapang. Cukup tidak
mempedulikan apa kata orang jika hanya akan menjatuhkan dan mempersulit
persoalan.

***

Sepagi ini aku sudah rapi, bersiap untuk mengajar di sebuah yayasan
pesantren yang jarak tempuhnya lumayan jauh dari tempatku berasal. Tiga jam
perjalanan biasanya kugunakan untuk menulis karangan-karangan cerita yang
kemudian kupublikasikan di dunia maya. Satu pesan seseorang selalu terngiang,
"Kita ini tidak bisa menghindari perkembangan teknologi, tetapi juga tidak boleh
menjadi korban teknologi."
Bu Ima, itulah sapaan anak-anak didikku setiap hari. Keceriaan dan
kepolosan mereka menjadi hiburan tersendiri, mengisi hati yang telah lama sepi.
"Bu Ima, tadi ada yang nyari," seorang anak bermata sipit dan berkulit putih
menarik-narik baju dinasku. Aku yang sedari tadi fokus disalami dan
dikerumuni anak-anak, segera mengalihkan pandangan, menyapanya dengan
senyuman, "siapa dek?" Tangan mungilnya menunjuk ke arah gerbang, seorang
pria berkemeja biru tua nampak berdiri di sana.

Perlahan aku berjalan ke arahnya, semakin dekat, mataku semakin


menangkap sosok seorang yang tak asing lagi dalam pandangan, seseorang yang
telah lama aku rindukan. Namun semakin dekat pula, ada satu hal yang
mengganjal. Siapa perempuan di sampingnya? Dalam hati aku bertanya-tanya.

Senyuman itu menyambut kedatanganku, senyuman yang telah lama


hilang, tersapu derasnya ombak lautan di pulau seberang. Dahulu kedatangannya
adalah satu hal yang sangat aku nantikan, namun sekarang, sungguh
kedatangannya tak lagi aku harapkan, kekecewaan menyeruak jauh sebelum mata
kami saling bertatapan.

"Ima..." suara paraunya menyapa. "Iya A' Aris," aku menjawab dengan nada datar
tanpa sedikitpun expresi kebahagiaan. "Apa kabar? Kok kamu sepertinya gak
senang Aa' datang?" tanyanya dengan nada suara berbeda dari sebelumnya,
merendah seakan penuh tanya. Wanita berjilbab hitam di sebelahnya tersenyum
sembari menyodorkan tangan, "Assalamu'alaikum Mba’... kenalkan, saya adiknya
A' Aris." Aku tercengang, merasa bersalah karena telah berburuk sangka tanpa
kejelasan, meskipun ada hal yang terasa janggal.

Kebahagiaan di benakku kembali meluap, lega rasanya bila ia, orang yang
setiap hari kunanti kedatangannya tak sedikitpun melupakan janji yang terjalin
di antara kami berdua. Janji itu, enam tahun lalu. Aku kembali dengan nampan
berisi minuman sekaligus senyuman yang mengembang.

Tak ada mendung, tak ada hujan, namun kepalaku bak tersambar petir
yang begitu mematikan. Kata-kata itu begitu tajam bagaikan pedang, menebas
seketika perasaan yang telah lama terpendam. Ingin rasanya air mata ini
kujatuhkan, namun aku masih dapat menahan, meskipun sakit sekali rasanya
hati ini.

"Maaf sebelumnya, aku sungguh minta maaf," ungkapnya saat aku


mengantar mereka berdua ke beranda. Kami pun berpisah untuk kedua kalinya,
bahkan mungkin untuk selamanya, "Iya... A', hati-hati," jawabku lemah dengan
senyuman yang amat kupaksakan.

***

Lagi-lagi purnama kembali menemaniku menyusuri gang perumahan


yang mulai sepi. Aku kembali berhenti, menatapnya dalam, namun kini bukan
kerinduan yang aku sampaikan, melainkan kepedihan. Mengapa, mengapa sulit
sekali melupakan aku sendiri seakan telah dicampakkan.

"Assalamu'alaikum," suara parau dari belakang membuyarkan lamunan,


aku menoleh ke asal suara, seseorang tengah berdiri sembari mengumbar senyum
di wajahnya. Wajah itu, begitu asing di mataku. Berusaha menghilangkan
ketakutan, aku menjawab salam yang ia ucapkan, "wa'alaikumussalam," dengan
nada yang menampakkan kebingungan.

"Astaghfirullah, astaghfirullah," ucapku masih dengan nafas terengah-


engah, namun setelah kupikir-pikir kembali, kenapa harus lari? Pikirku bingung
sendiri. Ah sudahlah yang penting selamat, gumamku dalam hati sembari
mengelap peluh di dahi. "Ono opo nduk?" tanya Ibu heran ketika mendengar
suara pintu terbuka tiba-tiba tanpa ucapan salam yang mengiringinya. Aku hanya
menyeringai untuk menghilangkan kekhawatiran di wajahnya, "ndak papa Bu."

***

Lantunan ayat suci Al-Qur'an begitu indah untuk didengar, dedaunan


menari tersibak angin malam yang menenangkan. Sepertiga malam, adalah waktu
yang sangat istimewa, Allah SWT berfirman "Dan pada sebagian malam,
lakukanlah sholat Tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu; mudah-
mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji" (Al-Israa' : 79).

"Shodaqallaahul 'adzim," kututup Al-Qur'an di tangan, sejenak merenungkan


sebuah keputusan yang telah kupikirkan matang-matang. Yaitu keputusan untuk
melepaskan, mengikhlaskan orang yang selama ini kunanti dan telah mengisi
kekosongan dalam relung hati. Klung.. handphone di sampingku berbunyi, "Rinai
hujan membasahi tanah yang kerontang, perlahan namun pasti, akhirnya sang
hujan dapat menyuburkan tanah yang semula gersang." Aku tercengang, mencoba
memahami isi pesan, "Siapa sih? Iseng banget," gerutuku kesal.

Kulipat sajadah berwarna merah, menggantungkannya kembali dengan


rapi. Kurebahkan badan di atas dipan, kasur empuk menjadi tatakan, langit-
langit menjadi pusat utama pandangan mata yang kian lama terpejam jua
menanti waktu subuh tiba.

***

Ilalang menari-nari di tepi sungai, airnya yang jernih menambah


indahnya pemandangan sekitar, nan jauh mata memandang, kemuning padi
bersinar bak kilauan berlian, sang mentari baru saja menampakkan sinar.
Sepasang kekasih dengan riang saling mengejar, terkadang jahil, sang pria
sengaja meninggalkan kekasihnya di belakang, untuk kemudian membuatnya
berteriak penuh kemanjaan tidak mau ditinggalkan, “A’ Arisss, tunggu Ima..”
“Indah ya Ma,” tangan kanannya merangkul bahu perempuan di
sebelahnya, kaki kecilnya memainkan air sungai yang mengalir tepat dibawah
batu besar tempat mereka berdua duduk sekarang.

“Tapi aku ndak tahu, kapan bisa menikmati pemandangan seperti ini lagi,
bersama Fatima yang sangat Aa’ cintai.”

Perempuan itu menurunkan lengan kekasihnya, “maksud A’ Aris??”


Tanyanya untuk memastikan. Aris menghela nafas panjang, tatapannya lurus ke
depan, tertambat pada jejeran ilalang bergoyang tersibak silir angin yang begitu
menyejukkan.

“Aa’ harus pergi ke Sumatera, ditugaskan di sana menjaga perbatasan


Negara kita,” ia menjelaskan dengan dada sesak menahan kesedihan.

Mendengar pernyataan itu, Ima tersenyum menyembunyikan kesedihan,


walau berat untuk melepaskan, namun ia tetap mencoba membuat Aris tetap
tegar, “Ndak papa A’, pergilah, mengabdilah pada Indonesia. Jangan terlalu larut
memikirkan, jangan terlalu larut merenungkan, yakin saja, kalau memang kita
sudah ditakdirkan, pasti akan kembali dipertemukan.”

Mata Aris berkaca-kaca, melingkarkan lengannya, mendekap kekasih


yang sangat dicintainya, “Kamu mau kan nunggu Aa’? Aa’ janji akan segera
melamar Ima sepulang dari Sumatera nanti.”

Tak terasa janji itu begitu kuat terpatri dalam benak Fatima, sehingga ia
pun rela bertahun-tahun menanti kekasihnya kembali untuk menepati janji yang
diucapkannya tempo hari.

***

“Maafkan Aa’ Ima, Aa’ sudah menikah,” kata-kata itu selalu terngiang
ditelingaku, menghantui setiap mimpi-mimpi saat mata ini terlelap di malam
hari, begitu menyayat hati begitu mengingatnya kembali.

Nyinyir suara dari dalam diri mencoba memberontak kegalauan yang aku
alami, “Masih pantaskah ia mendapatkan cinta yang selama ini mati-matian
kujaga? Pikirkan lagi Ima!!! Ya Allah, maafkan hamba karena terlalu
mendewakan cinta dan kini harus menelan pahitnya menunggu kepastian yang
tidak tentu. Maafkan hamba karena telah menyalahi takdir-Mu,” dan tak terasa
air mata meleleh di pipi, keheningan di sepertiga malam menjadi saksi
penyesalan yang telah lama terpendam dan entah mengapa aku tidak pernah
sadar, mungkin karena pengaruh setan yang begitu besar.

Adzan subuh berkumandang, “Assholaatu khoirun minannaum” purnama


masih menampakkan sinarnya, begitu indah sampai-sampai kepalaku tak lelah
untuk menengadah. Suara derap langkah berhenti tepat di belakangku,
memisahkan diri dari deretan para pejuang yang berlalu lalang memenuhi
panggilan Ilahi.

“Assalamu’alaikum,” suara paraunya menyapa, suara yang pernah


kudengar sebelumnya, saat dimana aku berlari dengan kecangnya setelah
menjawab salam darinya kemarin malam.

Aku masih diam, “Maaf kalau kemarin saya mengagetkan, tapi tenang,
saya bukan orang jahat Mba’.” Candanya dengan iringan gelak tawa, seperti dapat
menerka apa yang sedang kurasa.

Dengan terpaksa aku menghadap ke arah suara, dengan raut wajah datar
aku menatapnya yang masih bertahan dengan seringainya dan mengatakan,
“Wa’alaikumussalam, ada yang bisa saya bantu?”

Wajah yang tampak beberapa tahun lebih muda itu merubah ekspresi
wajahnya, kini dengan nada serius ia bicara, “Mm.. saya hanya ingin mengatakan
sesuatu kepada Mba’. Jatuh cinta tidak mutlak setelah memandang rupa, banyak
jalan yang membuat orang jatuh cinta, salah satunya adalah dari membaca.
Mungkin jika dipandang sekilas, tulisan ya hanya tulisan. Namun tidak bagi
mereka yang memahami adanya emosi, emosi yang begitu jelas menggambarkan
isi hati. Mungkin Mba’ Fatima tidak sadar bahwa kita berteman di salah satu
media sosial, tempat dimana Mba’ sering membagikan tulisan-tulisan, karya-
karya yang begitu mengagumkan, saya terkesima dan kini jatuh cinta... kepada
penulisnya. Saya tidak akan mengumbar janji, tetapi saya akan memberikan
bukti dengan melamar Mba’ Fatima, bukankah Agama kita mengajarkan untuk
menyegerakan jika niatan baik telah diutarakan?” Laki-laki itu menutup
pernyataannya dengan sebuah pertanyaan yang membuatku terbungkam, aku
masih terdiam karena semuanya serba dadakan, mungkinkah ini takdir yang
telah Allah tetapkan?

Suara iqomah menutup pertemuan kami yang kurasa adalah sebuah


mimpi, mengiringi langkah kaki untuk memenuhi panggilan ilahi, tempat
dimana seorang hamba mendekatkan diri kepada Penciptanya, bersujud dan
berdoa, memohon ampunan serta meminta segala sesuatu hanya kepada-Nya.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya
kepadamu (Muhammad) tentang Aku, Maka sesungguhkan Aku adalah dekat.
Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia (benar-benar)
berdoa kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku)
dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam
kebenaran” (QS. Al-Baqarah: 186).

***

“Saya terima nikahnya Fatima Zahra binti Almarhum Supardi dengan


seperangkat alat sholat dibayar tunai,” tangan Akbar begitu erat menjabat tangan
pamanku, menggantikan Bapak sebagai waliku yang telah lama meninggal dunia,
“Bagaimana saksi? Sah?” Ucap penghulu disamping paman sembari mengedarkan
pandangan untuk memastikan tidak ada yang keberatan. “Saaah,” suara hadirin
serentak menjawab pertanyaan yang pak penghulu lontarkan.

Muhammad Akbar, dialah laki-laki yang akhirnya menjadi suamiku hari


ini dan sampai di akhirat nanti in syaAllah, dialah laki-laki yang selalu
menilikku dibalik sibakan kelambu. Walaupun Akbar tiga tahun lebih muda
dariku, kesholihan dan ketulusan yang kulihat selama proses ta’aruf membuatku
percaya, bahwa ia dapat membimbingku agar lebih taat kepada Allah SWT,
berdua membangun mahligai rumah tangga di bawah naungan ridho-Nya. Dan
inilah janji Allah, begitu nyata karena penuh dengan rahasia yang sama sekali
tak dapat diterka, namun akan selalu indah pada akhirnya, ketika saatnya tiba.

-TAMAT-
KENANGAN BERSAMA HUJAN

Halilintar menggelegar saling bersahutan, angin kencang menusuk hingga


ke tulang, hujan yang sedari tadi mengguyur tanpa henti, membuatku semakin
erat memeluk diri sendiri, pakaianku kuyup karena berlari tanpa payung yang
menaungi. “Dingin sekaliiii,” ucapku pelan dengan bibir gemetar. Mengalami hal
semacam ini, aku akan kembali mengingat peristiwa tak terlupakan beberapa
tahun silam, peristiwa diamana aku tak dapat menahan perihnya kehilangan.

"Kamu tahu, mimpi itu takkan pernah menjadi kenyataan apabila kamu
sendiri tidak dapat merealisasikan. Kamu bilang akan mewujudkan mimpi itu,
sedangkan kamu sendiri tak pernah mau bangun dari tidurmu, tak pernah mau
mengusir kemalasan yang tertanam di hatimu." Suara itu selalu terngiang di
telingaku, dan jujur, aku sangat rindu.

***

Bel sekolah nyaring berbunyi, menandakan usainya jam pelajaran yang


menjenuhkan. Teman-teman sekelasku sibuk membereskan barang-barang
mereka bersiap untuk pulang, percakapan-percakapan begitu akrab terdengar
membuat riuhnya suasana kelas di kala petang menjelang.

Aku masih santai di tempat dudukku, “Ndah, aku duluan ya,” ucap Kayla
yang telah memahami dengan kebiasaanku berpamitan. Aku hanya
menganggukkan kepala tanpa keluarnya sebuah kata, seulas senyuman bagiku
telah mewakilinya.

Kelas sudah sepi, tinggalah aku seorang diri. Aku mulai menyalin tulisan
yang tertera di papan hitam, mataku memang sudah tidak normal, pandanganku
bisa tiba-tiba buyar dikarenakan minus yang entah mengapa tidak beraturan, jadi
aku harus rela pulang paling akhir sendirian.

***

Matahari mulai tenggelam, menyiratkan pancaran cahaya orange


kekuningan, perlahan hilang ditelan gelap pertanda siang mulai berganti malam.
Pemandangan indah seperti ini selalu menemaniku menyusuri jalanan yang
mulai lengang, sendiri berteman sepi mencari kendaraan pulang. Bosan rasanya
bila hari-hariku terus berlalu seperti itu, tidak ada secuil pun hal istimewa yang
kurasa. Pikiranku melayang, membayangkan hari ini ada seseorang yang
berjalan menemaniku, bercengkrama dalam kenyataan, bukan sekedar dalam
angan. “Ah, aku bosan,” pekikku lirih sembari menendang kerikil di depanku.

Angin tiba-tiba berembus kencang, sepertinya akan turun hujan. Dan


benar, selang beberapa langkah, hujan deras menguyur tanah hingga basah, aku
segera berlari mencari tempat berteduh. Seragam putih abu-abu panjang yang
kukenakan basah, aku mulai resah, memikirkan bagaimana cara untuk segera
pulang ke rumah.

“Baru pulang dek?” Tanya perempuan berjilbab lebar membuyarkan


lamunan.

“E, iya, kak,” jawabku sekenanya. Ia terlihat begitu ramah dengan


keteduhan senyuman yang merekah. Tangannya tampak memeluk beberapa map
berisikan kertas, sepertinya ia seorang mahasisiwi. Beberapa kali mataku sedikit
meliriknya, dan kakak tanpa nama itu begitu membuatku terkesima. Sambil
menunggu hujan reda, ia membaca Al-Qur’an kecil di tangan kanannya, bibir dan
mata tampak bergerak seirama, menyusuri rangkaian ayat-ayat cinta dari Sang
Pencipta.

Adzan maghrib berkumandang, samar-samar terdengar karena beradu


dengan gemuruh hujan yang terus berjatuhan. “Nanti pulangnya gimana?” Kakak
itu kembali bertanya.

“Naik angkutan umum kak, seperti biasa, tapi kali ini nunggu hujan
reda,” aku berusaha menyembunyikan kekhawatiran. Ia melirik jam yang
melingkar di pergelangan tangan, raut wajahnya seperti tak tega bila harus
meninggalkan aku seorang diri di jalanan yang teramat sepi.

“Gimana kalau sekarang kita sholat dulu dek, nanti kakak antar kamu
sampai ke rumah. Jam segini kayaknya angkot udah gak ada,” ucapnya berusaha
meyakinkan.

Aku yang sempat ragu tidak dapat menolak tawaran yang ia berikan.
Berdua berboncengan di atas motor matic hitam, mencari masjid terdekat untuk
bersembahyang.

***

“Indah! Kak Rahma nunggu kamu tuh,” panggil Ibu megingatkanku.


Rahma Yulia, itulah nama panjangnya, tetapi aku memanggilnya kak Rahma.
Saat mengantarku pulang hari itu, akhirnya aku tahu namanya dan tidak lagi
memanggilnya kakak tanpa nama. Kami berdua semakin dekat, lebih dari
kedekatan seorang sahabat, namun lebih tepatnya aku menganggapnya sebagai
kakak. Kak Rahma begitu dewasa, dia selalu mendengarkan semua keluh kesah
yang kurasa. Dengan seksama ia mendengarnya, dan di akhir cerita pasti akan
ada nasehat penggugah jiwa yang diberikannya. Ah, aku begitu sayang padanya.

Satu tahun berlalu, aku masuk ke kampus yang sama dengan kak Rahma
tetapi jurusan kami berbeda, kak Rahma di Jurusan Sastra dan aku Jurusan
Matematika. Karya-karya kak Rahma begitu mempesona, terkadang cerita-cerita
yang dibuatnya mampu mengalirkan air mata. Beberapa kali namanya tertulis di
majalah kampus dan beberapa cerpennya menyabet juara dalam perlombaan-
perlombaan yang diadakan Fakultas Sastra dan Budaya.

Ketenaran tak membuatnya lupa bahwa kakinya masih memijak daratan,


tak melambungkan walaupun beberapa kali diminta untuk mengisi seminar
kepenulisan. Ia tetap apa adanya, rendah hati begitu kuat tertambat sebagai
pondasi hidupnya.

***

“Indah... tunggu!!” kak Rahma berteriak lantang melihatku pergi begitu


saja saat dia mencoba menjelaskan kejadian yang menorehkan luka di dada. Aku
menyesal telah bertindak kekanak-kanakan kala itu, aku berpikir seandainya
waktu dapat diulang, maka tak sedikitpun tubuh ini kugeserkan. Aku akan
mendengarkannya dengan seksama, seperti yang sering dilakukan kak Rahma.
Buruk sangka telah merubah segalanya.

Hujan turun begitu derasnya, aku berlari menerobos hujan tanpa


naungan. Sorot lampu kendaraan yang berlalu lalang menghiasi jalan. Pikiranku
terus dibayangi sosok Fadli dan kak Rahma sedang asyik bercengkrama.

Brakk!!!

Suara benturan begitu keras terdengar, mengalahkan derasnya suara


hujan. Aku menoleh kebelakang, samar-samar mataku memandang seorang
perempuan berjilbab lebar terkapar di tengah jalan, beberapa orang tampak
mengerumuni, seketika jantungku terasa berhenti.

“Kakaaak,” pekikku sembari berlari menghampiri. Darah segar mengalir


tersiram air hujan, kerudung putihnya berubah menjadi merah berlumuran
darah. Aku segera memangku kepala kak Rahma dan menangis sejadi-jadinya.
Nafas kak Rahma tak beraturan, namun bibirnya tak henti-hentinya digerakkan.
Perlahan matanya terbuka, bibirnya menyiratkan senyuman saat melihatku
tengah tersenggal-senggal dengan air mata bercucuran. Wajahnya tak sedikitpun
menunjukkan kesakitan, tatapannya mulai nanar, tangan kanannya berusaha
menyentuh wajahku. “Maaa.. aaff.. dek,” itulah kata terakhir kak Rahma yang
membuatku semakin meronta, karena tidak seharusnya ia mengucapkannya.

***

Malam semakin larut, aku masih termenung memikirkan kesalahan fatal


yang telah kulakukan, dan kini aku merasa sangat kehilangan. Terlebih
mendengar pengakuan jujur Fadli tentang kebersamaan mereka di hari terakhir
kak Rahma, “Aku dan Rahma diundang sebagai partner untuk mengisi seminar.”
Penyesalan dalam diri tak dapat kututupi, tiga hari aku termenung sendiri
berteman sepi selepas kak Rahma pergi. Tiada lagi yang mendengar cerita-
ceritaku, tertawa melepas rindu ketika beberapa hari ia pergi keluar kota untuk
mengisi acara. Memberiku solusi soal kegalauan remaja masa kini dengan dalil-
dalil Al-Qur’an yang menenangkan.

Memang, adanya pertemuan pasti akan diiringi dengan perpisahan,


karena kehidupan di dunia hanyalah sementara, tidak ada seorangpun yang akan
hidup kekal selamanya. Dan sebelum perpisahan itu datang, tidak ada salahnya
kita menyayangi mereka sebanyak yang kita bisa, sebelum terjadi penyesalan
karena berpisah dengan kesalahan yang belum sempat terbayar, kata maaf yang
tidak sempat terucap.

Ketika hujan aku menemukannya, dan ketika hujan pula aku harus rela
melepas kepergiannya. Terimakasih kak Rahma Yulia, kamulah sahabat terbaik
yang pernah ada. Semoga kakak bahagia di alam sana, dan kita dapat bertemu
kembali di surga-Nya. Aamiin.

-TAMAT-
RAPUHNYA BENTENG HATI

Dalam gelap malam aku termenung sendirian, di bawah sinar rembulan


yang tertutup awan, bintang-bintang tak begitu jelas tuk dipandang. Sesekali
angin malam berembus kencang, merasuk ke jendela kamar yang sengaja kubuka
lebar. Sepoi angin membasuh wajahku dengan kedinginan, aku masih mencari
jawaban atas pertanyaan yang tiba-tiba saja muncul tak berasal, “Bagaimana
caranya menjadi wanita mahal? Apa aku ini termasuk wanita murahan, karena
kedekatanku dengan seorang ikhwan yang menurut penilaian sesaatku teramat
mengagumkan?” Kutopang dagu sembari menatap sang rembulan yang menyapaku
dengan senyuman, berharap aku dapat menemukan jawaban atas kedua
pertanyaan itu.

Setelah beberapa hari dirundung kegelisahan karena mencoba untuk


melepaskan dengan hati lapang, entah mengapa ia kembali datang, menyapaku
dengan senyuman yang tak nampak dalam pandangan. Itulah yang kurasakan
seolah batin kami memiliki ikatan. Terkadang hati ini begitu rapuh hingga tak
sanggup melawan, kembali bermaksiat tanpa sadar Allah sedang memperhatikan.
Memang sulit rasanya jika harus meredam perasaan menggebu, dan ingin
menghubunginya setiap waktu. Rasanya, seperti menikam hati sendiri dengan
ketajaman belati.

***

Kala itu kira-kira empat tahun yang lalu, saat dimana aku berada
dipuncak kelabilan, masih dalam tahap pendewasaan dan belum dapat
sepenuhnya berpikiran matang. Aku berkenalan dengan seorang ikhwan, namun
entah mengapa ada sesuatu yang sangat mengganjal, hatiku gelisah tak karuan,
apakah seperti ini rasanya memendam perasaan kepada seseorang? Tanyaku
dalam hati, mencoba mencari jawaban pasti.

Kusambar handphone yang tergeletak di atas meja, televisi ruang tamu


masih menyala. Tanpa pikir panjang akhirnya kuputuskan untuk mengutarakan
perasaan yang mengganggu jalan pikiran. Kutulis untaian pesan di layar telepon
genggam dan segera kukirimkan kepada orang yang bersangkutan. Beberapa detik
kemudian, masuklah pesan balasan, tubuhku terhuyung pada sandaran sofa usai
menerima pesan singkat darinya. Untuk pertama kalinya aku jatuh cinta, dan
untuk pertama kalinya juga hatiku terluka.

Semenjak itu aku belajar untuk tidak menumbuhkan cinta dengan


mudah, apalagi kepada orang yang salah. Cukup menjaga hati agar tidak
ternodai, karena pada saatnya nanti akan datang seorang lelaki yang memang
berhak memiliki cinta suci ini.
***

Hari masih pagi, koridor gedung utama kampus masih lekang dari
keramaian mahasiswa. Aku berjalan bersama sahabatku, Nisa. Ia adalah
seseorang yang telah kuanggap sebagai kerabat, dua tahun sudah kami dekat,
lebih tepatnya semenjak aku menginjakkan kaki di tanah rantau ini.

Kertas-kertas laporan sementara praktikum hari ini telah rapi dalam


genggaman, sepanjang perjalanan Nisa berbicara tentang pengalamannya
berselancar di dunia maya. Panjang kali lebar ia berbicara, entah itu tentang
berita-berita yang kebetulan lewat di beranda facebook, atau pun soal teman-
temannya di dunia maya.

“Da, kamu add facebook Irfan ya. Dia mau kenalan sama kamu katanya,”
pinta Nisa tak berjeda dan membuat langkah kakiku berhenti tiba-tiba.

“Haduh, siapa itu? Pasti kerjaan kamu kan. Gak usah deh bawa-bawa
namaku pas kalian chatting.” tukasku sembari manyun. Nisa hanya tertawa
menanggapinya.

***

Matahari terbenam di ufuk barat, menyisakan cahaya kemerahan mega


yang menyemburat, dan sebentar lagi hari akan berubah menjadi gelap. Gedung
asrama telah nampak di pelupuk mata, ingin rasanya untuk segera sampai disana,
padatnya jadwal perkuliahan membuat tubuhku teramat kelelahan. Namun
bagaimanapun juga itu adalah kewajibanku sebagai seorang mahasiswa, tak adil
rasanya bila jerih payah orangtua harus dibayar dengan kemalasan bahkan urung
dalam belajar. Sungguh tak setimpal.

Satu per satu tugas kuliah terselesaikan, jam dinding menunjukkan pukul
sepuluh malam, namun mataku tak kunjung terpejam. Dalam diam aku
termenung sendirian, berpikir untuk melakukan suatu hal agar waktuku tidak
sia-sia terbuang. Kaafah Al-Fajri, itulah akun facebook yang kubuat satu tahun
lalu. Tak banyak teman, dalam artian tak sampai berjumlah ribuan, hanya
ratusan dan itupun hanya sebagian yang benar-benar kukenal. Pada saat liburan,
Bapak pernah berpesan, “Kita ini tidak dapat menghindari perkembangan
teknologi, tapi juga tidak boleh menjadi korban dari teknologi. pergunakan dan
manfaatkan saja teknologi secara bijak, agar hanya manfaat yang kita dapat.”
Dari sinilah aku menemukan gagasan untuk terus belajar dan menekuni sebuah
bakat terpendam, khususnya dalam bidang kepenulisan.

Tak lama menunggu, beranda facebook yang dominan dengan warna biru
terbuka, notifikasi tampak menunjukkan beberapa angka. Satu permintaan
pertemanan, Irfan Asadallah send you a friend request. Mataku menelisik tajam,
sepertinya nama itu sudah tak asing lagi di telingaku. Dan benar, dialah Irfan
yang selalu Nisa ceritakan.
***

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, waktu begitu cepat


berjalan, dan aku semakin akrab dengan Irfan. Tidak ada yang spesial, hanya
sebatas kekaguman akan bakat, bentuk perhatian, serta sifat bersahabat yang
selalu ia berikan. Prestasi gemilang khususnya dalam dunia persilatan berhasil
diraihnya bahkan sampai ke tingkat Nasional. Pada intinya, Irfan adalah sosok
lelaki yang amat mengagumkan, tak heran jika mayoritas perempuan yang sudah
dekat dengannya akan jatuh cinta seketika, tetapi aku adalah pengecualian.

Namun seiring berjalannya waktu pula, ada yang berbeda dengan Nisa.
Entah mengapa tiba-tiba ia menjadi diam seribu bahasa, bahkan sampai tak
menegur sapa walaupun aku duduk tepat disampingnya. Dalam diam aku berpikir
teramat dalam, jika dapat kutebak hal apa yang sedang Nisa pikirkan, pastilah
hatiku takkan ternaungi kekhawatiran dan pikiranku tidak akan kalut dengan
bejibun pertanyaan, “Mungkinkah aku telah melakukan sebuah kesalahan?”

Secangkir kopi tergeletak di atas meja, kepulan asap menandakan bahwa


kopi itu baru saja disajikan, kehangatan menjalar setelah masuk ke dalam
kerongkongan, mengusir kedinginan malam yang menusuk hingga ke tulang.
Jendela kaca sengaja kubuka, laptop didepanku masih menyala, rangkaian kata
yang tertera diatas layar monitor tak kunjung tiba di penghujung cerita. Kerikan
jangkrik meramaikan susasana, hanya gulita yang nampak oleh mata, purnama
pun tak menyapa, sama seperti Nisa. Inspirasiku buyar seketika jika teringat
akan Nisa, pesan singkatku tak kunjung dibalasnya. Pikiranku benar-benar
dipenuhi oleh satu kata, “Mengapa? Mengapa? Dan Mengapa?”.

Tiba-tiba Irfan mengirim pesan, “Aku tahu kenapa Nisa diam.”

Bak menemukan batu permata tergeletak ditengah jalan, mataku sontak


berbinar, “Kenapa Fan?” tulisku dengan nada penasaran. Ternyata dugaanku
beberapa hari yang lalu benar, itu semua karena keakrabanku dengan Irfan.
Nafasku tertahan, perlahan kuhembuskan dan menariknya kembali dalam-dalam
sembari menyeruput secangkir kopi berusaha untuk menenangkan diri.

***

Belakangan ini kegundahan dalam hati semakin menaungi, apalagi


setelah tahu kalau sahabat karibku mendiamkanku karena rasa cemburu. Seakan
ada yang janggal semenjak aku dekat dengan Irfan, kalimat “Mengapa kamu
begitu menikmati kemaksiatan?” Selalu terngiang, kalimat yang hadir dari lubuk
hati yang paling dalam. Setelah kejadian empat tahun silam, aku berhasil
memperkokoh benteng hati, menghindari interaksi berlebihan dengan laki-laki
dan berusaha untuk terus memperbaiki diri. Di sepertiga malam aku mengadu,
menangis sendu karena rindu, rindu akan Rabbku. Entah berapa lama aku sudah
menjauh dari-Nya, bahkan tega tuk menduakan-Nya. Astaghfirullahal’adzim...
Ada orang mengatakan bahwa masa lalu yang menyakitkan tak patut
untuk dikenang, namun jika sekedar menjadikannya sebagai tamparan agar dapat
lebih baik di masa depan, aku rasa tidak ada salahnya. Aku malu, dulu setelah
jatuh cinta untuk kali pertama sekaligus merasakan sakit hati tiada tara serta
hampir putus asa karena cinta, barulah aku kembali mengingat-Nya, menangis
sejadi-jadinya. Tapi apa, kini aku kembali mengulanginya, mengingkari janji
yang kubuat sendiri.

“Allah masih sayang, makanya mengingatkan,” ucap salah satu kawanku


meyakinkan. Mungkin benar, akan lebih baik jika aku meninggalkan Irfan, aku
harus tega sebelum rasa nyaman berubah menjadi perasaan yang malah akan
menjerumuskanku dalam kemaksiatan. Akupun mulai menjauh perlahan.

***

Dalam gelap malam aku termenung sendirian di bawah sinar rembulan


yang kembali menyapaku dengan senyuman. Sesekali angin malam berembus
kencang, menyapu wajahku dengan kedinginan, jendela kamar memang sengaja
kubuka lebar. Kali ini aku membalas senyuman sang rembulan, akhirnya telah
kutemukan jawaban atas dua pertanyaan yang tempo hari sempat kupikirkan,
jawaban atas murah mahalnya seorang perempuan.

Analoginya begini, ada satu jenis barang dijual dalam sebuah toko. Satu
barang sengaja dijadikan sampel oleh si penjual, dan barang lainnya dipajang di
etalase. Salah seorang pembeli memasuki toko, setelah berbincang lama dan
sepakat dengan harga, pembeli itu bertanya, "yang masih bersegel ada?"

Mengapa demikian? Jawabannya sederhana, karena barang yang masih


tersimpan belum pernah dijamah oleh tangan-tangan pembeli lainnya. Bahkan
jika barang di etalase telah habis terjual, si pembeli pasti akan berpikir kembali
jika harus mengambil barang yang dijadikan sampel dagang. Pada intinya,
murah atau mahal sebuah barang, tidak selalu ditentukan dari kualitas. Karena
barang yang kualitasnya sama, bisa jadi nilai jualnya berbeda seperti analogi di
atas.

Kini, aku seperti terlahir kembali, ketenangan menjalar di setiap nadi,


berusaha untuk terus memperbaiki diri, menjaga hati dan menggapai ridha ilahi.
Mungkin sekilas Irfan memang pribadi yang mengagumkan, bahkan Nisa sempat
bilang, “Irfan itu sosok lelaki idaman.” Tapi apa guna rasa kagum di dada jika
hanya menjerumuskanku kedalam jurang nista? Bukankah akan lebih baik jika
kutinggalkan dia karena Dia? Aku telah yakin sepenuhnya bahwa Allah telah
menyiapkan sosok lelaki idaman yang nantinya pantas untuk menjadi Imam,
membimbingku selalu kejalan yang benar. Bismillah..

Hijrah memang tak mudah, bagi yang berniat hanya setengah-setengah. Jika diri
mau berhijrah secara kaaffah (keseluruhan), aku yakin Allah akan
mempermudah. -TAMAT-
THE FIRE OF LOVE

Cinta, sebuah keindahan yang tak tergambarkan baik dengan tulisan


maupun perkataan. Keindahannya begitu terjaga, namun pernyataan ini hanya
berlaku bagi mereka yang tahu arti cinta sesungguhnya. Karena ada kalanya
cinta dan nafsu sangat sulit dibedakan, dan ini berawal dari perasaan yang tak
dapat dikendalikan, dan pada akhirnya hanya akan menjerumuskan ke dalam
jurang kemaksiatan.

Perlahan namun pasti, bisikan demi bisikan merasuki sanubari,


mengganti kesakralan cinta dengan hawa nafsu belaka, mengatas namakan cinta
untuk sekedar memenuhi hasrat di jiwa yang menggelora.

***

Indahnya langit malam bertabur bintang, lantunan musik kawanan


jangkrik memekikan kesunyian. Jemariku terus menari beriringan dengan
jalannya pikiran, mataku fokus menatap layar monitor, menelisik kata per kata
yang tersambung menjadi satu haluan, mewakili suara hati yang dilanda
kegelisahan. Peristiwa demi peristiwa jelas tergambar dalam angan, bergelayut
memenuhi isi pikiran. Kulirik tulisan yang terpasang di atas meja belajar,
deadline penulisan tersisa delapan belas jam dan sampai saat ini aku belum dapat
menyelesaikan artikel yang Pak Imron amanahkan. “Hmm.. apa lagi ya..” aku
menggumam sendiri sembari menatap langit-langit kamar, mengedarkan
pandangan seolah ada jawaban yang dapat aku temukan.

Aku masih termenung seorang diri mencari inspirasi, malam pun kian
larut, namun katup mataku tak kunjung tertutup. Sebagai pendengar setia, aku
banyak belajar dari pengalaman teman-teman yang sering mereka ceritakan,
mulai dari persoalan remaja seperti kegalauan yang tiada ujungnya atau bahkan
hampir mengakhirinya dengan menghilangkan nyawa. Tiba-tiba aku mendapat
inspirasi mengingat curahan hati teman sebangkuku tempo hari, tanganku
kembali berkutat dengan keyboard, mengabadikan sebuah kisah dalam bentuk
tulisan. Jam dinding menunjukkan pukul dua, aku lega karena akhirnya dapat
memejamkan mata tanpa ada beban yang tersisa.

***

“Istighfar Ran. Bunuh diri tidak akan mengakhiri semua ini. Ingat!
Masih ada kehidupan setelah dunia, kehidupan kekal yang Allah janjikan hanya
ada dua pilihan. Jika kamu berakhir seperti ini, mampukah kamu menahan siksa
neraka yang panasnya beribu kali lipat dari api dunia?? Jangan ambil ‘jalan
pintas’ Ran, aku mohon!!”
Aku berteriak dengan tubuh gemetar melihat Rani yang tengah berdiri diatas
kursi berusaha mengaitkan lehernya dengan ikatan tali tampar. Matanya sembab,
butiran air terus mengalir dari dari pelupuk mata, jatuh membasahi pipinya.
Perlahan aku mendekatinya, merengkuh sebagian tubuh yang masih mematung di
atas kursi, Rani terlihat begitu depresi. Aku tidak dapat membayangkan jika
terlambat datang ke kamar kostnya, mungkin akan lain lagi ceritanya. Fyuh, kau
beruntung.
Kubiarkan Rani menangis sejadi-jadinya, tanganku mengelus lembut
rambutnya yang sudah tak beraturan. Dengan begini ia dapat melampiaskan
segala kekesalan yang terpendam di lubuk hati paling dalam. Perasaan wanita
memang sangat sensitif terutama terhadap luka, aku tahu karena dua hari lalu
kekasih yang selalu dibanggakannya lima tahun terakhir menikah dengan
perempuan lain, seketika tubuh Rani ambruk mendengar kabar yang saat itu
masih belum dapat dipastikan. Sebagai teman, aku tidak pernah bosan untuk
mengingatkan, entah berapa kali kata-kata ini selalu kuulang, “Ran, kamu boleh
mencintai seseorang, tapi nanti kalau dia sudah halal untuk kamu cintai. Kalau
sekarang aku sarankan jangan dulu cintamu itu menggebu, karena bagaimanapun
juga masalah jodoh sudah ada yang mengatur.”

***

Tema kajian hari ini “Cinta atau Nafsu,” aku pasrah setelah menerima
amanah kedua dari senior tempatku bekerja. Ya, Pak Imron, selain sebagai ketua
editing majalah, beliau juga seorang aktivis dakwah di kantor kami, hanya sekali
ini beliau minta diganti dengan adanya urusan dadakan yang sama sekali tidak
boleh beliau tinggalkan. Aku menghela nafas panjang, lidahku terasa kaku,
mungkin karena ini pertama kalinya aku berbicara di depan khalayak. Semua
mata menatap, keringat dingin mulai mengalir, mimik ketakutan mungkin sudah
tak dapat lagi aku sembunyikan, namun keyakinan untuk tidak mengecewakan
membuat semuanya kembali normal. “Bismillah, aku bisa,” gumamku dalam hati.

“Rasullah Saw, bersabda, Cintailah kekasihmu sewajarnya saja karena


bisa saja suatu saat nati ia akan menjadi orang yang kamu benci. Bencilah
sewajarnya karena bisa saja suatu saat nanti ia akan menjadi kekasihmu. (HR.
Al-Tirmidzi).” Kata-kata terakhir itu membuat diriku sendiri menyadari, bahwa
sekeras apapun kita mengusahakan atau bahkan memaksakan seseorang sebagai
jodoh yang telah ditetapkan, apabila Allah tidak berkehendak ya mau diapakan.
Semua telah diatur-Nya, jauh sebelum manusia sendiri memikirkannya.

-TAMAT-
TENTANG PENULIS

Khamidah Fajri Ma’murroh, lahir di Banjarnegara 30 Oktober 1995. Saat


ini tercatat sebagai salah seorang mahasiswi Jurusan Farmasi, Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Darussalam Gontor.

Ia menyadari mempunyai bakat menulis semenjak masuk ke perguruan


tinggi dan berkeinginan untuk mengembangkan bakatnya melalui karya tulis
seperti cerpen, essay dan makalah singkat. Cita-citanya adalah berdakwah baik
secara lisan maupun tulisan. Dakwah lisan sering dilakukan untuk mengisi
kekosongan ketika bulan Ramadhan melalui kegiatan pesantren kilat. Sedangkan
untuk tulisan, cerpen pertamanya yang berjudul “Janji Yang Tak Teringkari”
berhasil meraih juara 2 pada Festival UNIDA Gontor di Kampus Pusat,
Ponorogo.

Kini, ia aktif membuat karya tulis untuk dikirimkan kepada majalah


kampus UNIDA (Universitas Darussalam) Gontor Divisi Mantingan, Ngawi,
Jawa Timur. Ia berharap karyanya dapat bermanfaat bagi para pembaca seperti
cita-cita awalnya.

Kritik dan saran dari para pembaca dapat dikirimkan melalui akun pribadi
penulis:

Facebook : Khamidah Fajri

Email : khamidah95@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai