Anda di halaman 1dari 4

Kayanda Kihaju

1. Kayanda

Ku lihat samar-samar tangan kanannya melayang dengan cepatnya dan tamparan itu terasa
bak terkena sengatan di pipi yang merebak ke sekujur tubuhku. “Dasar kau perempuan
jalang! Tidak bisa diatur! Tidak mau menurut dengan pacarmu ini!”

“Kiha.. Kiha..!!” Lalu terdengar suara kakak laki-lakiku bergaung di kepala ini.

Tersentak aku membuka mata,

‘Kriingg.. Kriingg.. Kriing..’

“Iya mas aku sudah bangun..”


“Bagaimana tidurmu? Mimpi buruk lagi?”
“Hmm.. tidak..”
“Kuliah jam berapa hari ini?”
“Hari ini aku ada kegiatan bakti sosial dari kampus, Jam 10..”
“Oke, jangan lupa sarapan, minum susu. Nanti pulang jam berapa? Kabari Pak Anto ya.”
“Iya mas...”

“Ternyata yang tadi itu mimpi”, gumamku. Mimpi itu masih terus menghantui. Ingin sekali
rasanya lepas dari belenggu itu. Harus sampai kapan begini?

Namaku Kihaju. Tentu saja bukan nama asliku. Itu singkatan nama yang diberikan oleh
kakak laki-lakiku. Nama asliku Kireina Halwatuzahra Jumila. Karena namaku yang sulit
untuk diverbalkan, namaku disingkat Kihaju. Kalian bisa memanggilku “Kiha..”. Usiaku
sudah beranjak 20 tahun, dan ku rasa sudah saatnya aku mempersiapkan perubahan dalam
diriku, keluar dari garis yang kubuat sendiri untuk membatasi diri ini.

Kayanda Daneswara. Kakak laki-laki ku, yang sekarang tinggal di Australia karena mendapat
tawaran pekerjaan di sana. Dialah salah satu harta yang aku punya saat ini selain pak Anto
supir keluarga kami dan Mbok Minah asisten rumah tangga keluarga kami yang sudah
bersama kami sedari aku kecil dan dua duanya sudah ku anggap seperti keluarga, bahkan bisa
dibilang orang kedua yang terpenting dalam hidupku setelah Kayanda.
Sejak umurku 10 tahun, aku tinggal bersama Kayanda, Pak Anto dan Mbok Minah saja. Pasti
kalian bertanya-tanya kemana orang tua ku? Akan ku ceritakan suatu hari nanti, aku sedang
tidak ingin menceritakannya pada siapapun. Tidak sekarang ini.

Kulihat jam masih menunjukkan pukul 7 pagi, masih banyak waktu untuk berleha. Ku
hempaskan kembali badan ini di tempat tidurku, dan menoleh kepada dua sosok yang
terpajang dalam bingkai di atas meja. Senyumku terulas melihat foto itu, tentu saja dua sosok
itu adalah diriku bersama Kayanda di depan wahana Histeria Ancol. Foto 2 tahun lalu,
merayakan kelulusan Kayanda dari kuliah S1 nya di salah satu kampus ternama di Jakarta. Di
foto itu aku mengenakan kaos kuning bertuliskan “Love Kayanda” dan Kayanda mengenakan
kaos serupa bertuliskan “Love Kireina”. Kaos itu sengaja dipesan oleh Kayanda dari teman
nya yang memiliki usaha di bidang tekstil baju. Orang yang melihat akan menganggap kami
sebagai sepasang kekasih. Namun itulah Kayanda, dengan segala keunikan dan ide nya hanya
untuk membahagiakan aku, adiknya.

Lamunan ku berlanjut jauh ke belakang mengingat semua kisah perjalanan yang telah kami
lalui bersama. Semenjak kami tinggal berdua, Kayanda lah yang menggantikan semua peran
yang hilang dalam hidupku. Ia bisa menjadi kakak sekaligus ayah bahkan ibu untukku.
Kayanda lah orang yang tak akan membiarkan adik satu-satunya ini sedih apalagi terluka.

Aku masih ingat betul beberapa saat setelah kejadian itu. Saat itu usiaku 10 tahun, sudah
cukup besar untuk mengingat rekaman-rekaman kejadian di kehidupan ini.
Yang ku ingat genggaman Kayanda yang tak pernah lepas dari tanganku. Sangat erat.
Bibirnya yang masih mengatup rapat, yang hanya terlihat olehku adalah pipinya yang basah
diguyuri air mata. Waktu itu Kayanda sudah duduk di bangku kelas 3 SMP. Ku peluk
Kayanda kuat sekali. Kedua bola mata yang sipit namun tajam itu memandangku lemah
“Mas janji akan menjagamu. Tidak boleh ada seorangpun yang menyakitimu. Tidak akan
Mas biarkan sedetikpun kamu merasa sedih.. Kihaju.”
Itulah janji Kayanda pada anak 10 tahun yang masih ditepatinya sampai saat ini. Kayanda
mencurahkan semua perhatian, kasih sayang dan perlindungannya kepadaku.

Aku membalikkan badan dari foto itu. Kini ku tatap langit-langit kamar yang penuh dengan
tempelan bulan bintang glow in the dark karya Kayanda tak lama setelah kejadian itu. Aku
mulai menikmati lamunan ini. Aku ingin mengingat kembali kebahagiaanku bersama
Kayanda, sebentar saja.

Aku menunggu di depan pintu rumah sambal menangis. Aku menunggu Kayanda pulang.
Saat itu aku duduk di bangku kelas 6 SD dan Kayanda sudah kelas 1 SMA. “Mas
Kayanda…!!” jeritku menghampiri Kayanda yang turun dari motornya. Dari kejauhan
sudah ku bentangkan tangan ini lebar-lebar untuk menggapai badan Kayanda yang lebih
besar dariku. Kayanda menyambut pelukanku dan membalasnya erat. Rasanya hangat
sekali. “Ada apa?” suara lembutnya yang selalu menenangkan. “Kotak makan siang yang
Mas buatkan untukku tadi jatuh saat aku mengeluarkannya dari tas. Aku jadi tidak bisa
makan roti lapis buatan Mas.” Lagi-lagi tatapan Kayanda yang hangat membuatku merasa
tenang. “Ya sudah, ayo kita masuk ke dalam, Mas buatkan lagi roti lapis nya. Kali ini spesial
Mas tambahkan minuman teh hangat juga untukmu dan kita bersantai bersama di halaman
belakang, gimana?” Tangisku berhenti dan mengangguk.

“Mas Kayandaaa!! Gledek Mas aku takut!! Temani aku sampai gledek nya berhenti..”
“Hahaha.. manja kamu. Ya sudah, cepat tidur sana sudah malam. Mas temani sampai kamu
tidur..”
“Mas Kayanda aku tadi di sekolah mendapat nilai Biologi tertinggi di kelas. Semua teman
memuji kepintaranku. Sepertinya aku ada bakat menjadi seorang dokter..”

“Mas Kayanda, aku mau curhat.. Aku sedang dekat dengan teman laki-laki di sekolahku. Dia
anak OSIS loh Mas…”

“Mas Kayanda…”
“Mas Kayanda…”
“Mas Kayanda…”

Kalimat itu yang paling sering kusebut dari dulu. Rasanya hidup ini hampa tanpa menyebut
nama Kayanda. Aku bergantung sekali padanya. Sampai aku melupakan bahwa kehidupan
Kayanda tidak melulu hanya aku. Namun belakangan ini semesta menyadarkanku, bahwa
sudah saatnya aku yang memikirkan kebahagiaan Kayanda kakakku. Usia nya sudah tak
muda lagi, sudah waktunya ia untuk melanjutkan jenjang kehidupannya. “Mas.. sekarang
giliran kamu yang bahagia” Ucapku sambil bangkit dari tempat tidur, mengambil handuk
yang tergantung di balik pintu dan menuju kamar mandi.

2. Masa Laluku
Jam tanganku menunjukkan pukul 09:17. Mobil yang dikendarai Pak Anto melaju pelan
menuju tempat kegiatan Bakti Sosial yang diadakan oleh kampusku. Kegiatannya tak terlalu
jauh dari kampus, masih di sekitaran wilayah Jakarta Selatan. Pagi ini sepanjang jalan
Fatmawati dibasahi hujan bekas semalam yang masih menyisakan rintik hujan. Ku buka kaca
mobil untuk menghirup bau hujan. Aku dan Kayanda suka sekali bau hujan. Baunya
menenangkan. Hari ini juga ada yang berbeda, pasar pagi yang biasa selalu ku lewati untuk
sampai ke kampus tidak ramai seperti biasanya. Mungkin karena hujan. Orang-orang lebih
memilih untuk berdiam di rumah menghangatkan tubuh mereka. Terima kasih hujan, hari ini
aku tidak kena macet. Rasa syukurku bertambah hari ini karena aku tidak harus berangkat di
jam orang-orang berangkat kerja atau sekolah, jadi aku tidak harus terjebak dalam kemacetan
yang begitu berarti.

Ku ambil ponselku yang kuselipkan di saku depan tas medis yang ku bawa untuk keperluan
Bakti Sosial nanti. Aku mulai mencari kontak Kayanda. Tak butuh waktu lama menunggu
untuk melihat wajah Kayanda dalam layar ponselku. “Mas.. aku sudah di jalan menuju
tempat kegiatan kampusku..”. Kayanda membalas ucapanku dengan senyumannya,
menghangatkan pagi yang dingin itu. “Baiklah.. Hati-hati di jalan. Semoga kegiatannya
berjalan lancar Kiha..”
Seperti ada tombol otomatis di diri ini untuk selalu melaporkan setiap jejakku pada Kayanda.
Ingin ku temukan tombol off nya. Aku sedang berusaha mencarinya, percayalah.

Kalau ditanya mengapa hal itu bisa terjadi, itu terjadi begitu saja. Kejadian 10 tahun lalu yang
menimpa keluargaku, ditambah kisah percintaanku yang berujung kandas dan
memprihatinkan, semua membuatku tak menaruh percaya kepada siapapun di dunia ini. Dan
membuatku hanya bergantung pada satu nama, Kayanda.
Meskipun usiaku belum terlalu tua, tapi aku sudah merasakan titik terpuruk dalam hidupku,
ku rasa. Ku beri tahu namanya, Zahran. Jika aku bisa menyaksikan rekaman kejadian yang
akan aku alami sebelum jalan itu aku pilih, layaknya sinetron yang sering menampilkan
tayangan adegan bertuliskan ‘Episode Berikutnya…’ di tiap akhir tayangan episode yang
sedang tayang saat itu, tentunya aku akan memilih untuk tak mengenal Zahran. Sayangnya
hidup ini tak se-simple dunia yang diceritakan Doraemon yang bisa menuju masa ke masa
kapan saja dengan kecanggihan mesin waktu. Yang bisa kita lakukan hanyalah menghadapi
yang ada di depan mata. Bila jalan yang kau pilih benar, pertahankan. Namun bila salah,
belajar dari kesalahan dan perbaiki. Dan ternyata jalan yang kupilih kala itu adalah salah
besar. Yang kukira baik ternyata tidak, yang kukira bisa memberiku segalanya nyatanya
justru merenggut sebagian jiwaku, yang kukira dialah orang yang kucari ternyata bukan.

Zahran adalah mantan kekasihku saat memasuki bangku 2 SMA, dan saat itu Zahran kelas 3
SMA. Kami bersekolah di sekolah yang sama. Hubungan kami berjalan hampir genap 2
tahun. Di awal hubungan kami segalanya terasa indah, bahkan kufikir dialah orang yang bisa
membantuku keluar dari keterpurukanku. Orang kedua setelah Kayanda. Namun dengan
berjalannya waktu, aku baru mulai mengenali tabiat aslinya. Tempramennya, caranya
membatasiku dalam banyak hal, dan menyerangku secara fisik maupun verbal bahkan sampai
bermain api dalam hubungan kami dulu. Bisa dikatakan Toxic Relationship, dimana akulah
yang berada di posisi korbannya. Perlakuan tak menyenangkan sering ku terima. Kala itu
Kayanda marah besar padanya karena sering mendapatiku pulang ke rumah dengan tanda
biru di pipi, lengan, kaki, perut, bahkan tak jarang ia mendapati luka bekas cakaran di
tanganku. Kayanda pun pernah melayangkan pukulannya pada Zahran, namun tak membuat
Zahran jera justru membalasnya kepadaku atas perlakuan Kayanda.
Kala itu aku meyakini satu hal bahwa setiap orang bisa berubah. Ku yakin betul Zahran suatu
saat bisa berubah, untuk itu aku bertahan pada Zahran. Namun setelah hampir 2 tahun aku
mempelajarinya, ternyata yang berjudul kepribadian itu bisa diubah namun tidak untuk tabiat.
Kepribadian itu selalu berkembang dan bisa berubah tergantung hubungan antara raga dan
lingkungannya. Namun tabiat, dari buku yang aku baca ia permanen, tak berubah walau
terkena pengaruh dari luar. Tabiat Zahran tak bisa kuperbaiki, sampai akhirnya semesta
menyadarkanku akan hal itu.

Sudahlah, aku belum siap untuk membuka kembali kisahku bersama Zahran. Nanti, ada
saatnya.

Anda mungkin juga menyukai