Anda di halaman 1dari 6

EVIDENSI TAK SEMANIS FATAMORGANA

Cristina Nita Rianti

Aku mulai membuka mata dari kegelapan menuju kecemerlangan. Disebutlah


masa pasca dari sebuah keterpurukan yang terjadi kurun waktu kurang lebih 2 tahun.
Dari aku di bangku Sekolah Menengah Pertama hingga kini menjadi siswa remaja yang
sesungguhnya. Tempatku menimba ilmu memang berbeda dari yang lainnya. Disini aku
berjuang lebih keras lagi sebagai bentuk tanggung jawabku kepada masyarakat.
Awalnya semua dimulai dari sebuah layar tancap tetapi tiba-tiba suara notifikasi datang
yang membawa dilema antara perasaan senang ataupun sedih. Sesuai dengan jalan
yang aku pilih sendiri, detik ini adalah momentum puncak dari resiko keputusan yang
telah aku ambil. Jauh dari sebuah alasan dibalik semangatku hingga di titik ini. Hal itu
mungkin akan menyakitkan bagiku. Namun demi membanggakannya akan ku tahan
rasa sakit ini.

Diturunkan di sebuah gerbang megah, aku pun berjalan dengan penuh percaya
diri. Namun tidak bisa dipungkiri juga, mataku kini mulai berkaca-kaca melihat lambaian
sebuah tangan.  Aku sudah berusaha menutupi, namun pada akhirnya itu terpecah
pula. Aku tetap maju pada tekadku dan menantang diriku sendiri. Hingga tibalah pada
sebuah gedung megah perkasa yang bahkan belum pernah aku lihat sebelumnya.

“Dik, bisa kesini sebentar?” Sepatah dua patah kata sekilas terdengar
memanggilku dari kejauhan. Suaranya ditutupi oleh hembusan angin yang kencang
hingga berhasil menampar sebuah pintu ruang kelas.
“Iya?” Jawabku sambil menoleh ke arah belakang untuk memastikan.
“Namamu Christiani bukan?” Inilah satu kalimat pertama yang keluar setelah
beberapa waktu terdiam tanpa ada yang memulai.
Aku bingung harus jawab apa karena sejujurnya aku pun tidak tahu siapa orang ini.
“Iya benar, namaku Christiani”. Jawabku seorang siswa baru yang teramat lugu.

“Tak kenal maka kamu akan tersesat disini. Namaku Jackly, orang lain akrab
menyapaku Jack. Kalau ada apa apa kamu bisa menghubungiku”. Lantas dia
mengulurkan tangan kanannya ke hadapanku. Biasalah seperti sebagian orang pada
umumnya ketika bertemu dengan orang yang belum dikenal, hal ini pun menghampiri
diriku.
“Ihh apa sih orang itu, sok kenal sok dekat banget, akan tersesat apa coba
maksudnya” Fikirku dalam benak yang tak berani kuucapkan langsung.
“Ehh tapiiiii……Siapa ya kira kira orang tadi? Kok bisa-bisanya dia tau namaku”.
Disusul oleh kalimat ini yang tiba-tiba terlintas.
“Ngapain juga mikirin itu, gak penting juga. Yaudah deh lupakan saja.” Aku
mengalihkan pikiranku, lalu bergegas mengambil barang-barang bawaanku ke sebuah
tempat yang akan menjadi tempat ternyamanku disaat Sang Surya redup digantikan
oleh Dewi Rembulan.

Pagi hari yang cerah, hari yang berbeda dari hari-hari sebelumnya. Di tempat ini,
aku tidak hanya ingin mendapatkan sebuah ilmu, tetapi aku juga ingin berkembang
mencari pengalaman untuk menjadi bekalku nanti. Dengan bermodalkan sebuah
keberanian, sedari pembelajaran daring akupun tergabung pada salah satu organisasi
tertinggi yang ada di sekolahku yaitu OSIS. Namun awalnya hanyalah sebatas
formalitas belaka, aku belum bisa berkontribusi banyak hal. Hingga suatu ketika
pembelajaran tatap muka pun berlangsung.

Waktu tak terasa karena semuanya masih baik-baik saja. Bayanganku


semuanya akan berjalan mulus seperti ini. Satu bulan berlalu dengan tenang banyak
yang bilang karena itu adalah masa percoban. Bulan kedua aku baru merasakan sedikit
demi sedikit cobaan yang datang kepadaku. Bahkan aku sempat dikumpulkan akibat
dari permasalahan yang bukan aku perbuat. Saat itu pula perkumpulan pertama
dengan seluruh anggota OSIS diadakan. Datanglah aku dengan wajah yang ceria.
Dannn…. sungguh aku merasa terkaget melihat orang yang sedang duduk di depan
memimpin kegiatan rapat kami pada sore hari itu.
“Selamat sore, kamu terlambat silahkan konfimasinya yaa! Engga engga
bercanda, santai aja jangan tegang banget ga bakalan dimakan kok, percayalah (dia
sambal tertawa). Bahkan ini kurang dari 15 menit dari jam rapat yang telah ditentukan”
Ujar orang yang sedang duduk di depanku ini, dia adalah Jack. Orang pertama yang
mengajakku kenalan. Sungguh aku tidak menyangka dengan posisinya. Parahnya aku
tidak tahu wajah ketua OSIS ku dan nama yang aku tahu tidaklah nama saat awal
perjumpaan kami di sekolah. Rupanya dia sengaja memakai nama samaran ketika
berkenalan denganku.
Aku mencoba untuk menyapanya kembali, tapi tidak didukung oleh badan ku yang
mulai bergetar.
“Ka kaa kamu yang waktu ini memanggilku ya? Ujarku perlahan-lahan ketakutan.
Aku teringat dengan perkataannya pertama kali mengajakku berkenalan kala itu.
“Busettt, syukur hanya kutanyakan dalam benak kalimat-kalimat pertanyaanku
ketika berkenalan dengannya” Aku berbicara sendirian dengan nada yang teramat kecil
bahkan tidak didengar oleh semut sekalipun.

Perkumpulan itu membahas banyak hal tentangku, dibilang kurang inilah, itulah
dan banyak sekali. Yasudahlah aku mencoba menerimanya dengan lapang dada.
Ternyata berada di posisi saat ini tidaklah mudah. Dan bayanganku lagi posisi ini akan
menjadi yang termanis bagaikan manisnya gulali. Namun nyatanya sangat tidak sesuai.
Walau aku memikul beban yang berat di pundakku aku berusaha menyemangati diriku
sendiri. Sekali dua kali aku terkena masalah, aku lebih memilih memendamnya sendiri
tidak berani menceritakan pada saudara-saudaraku apalagi dengan orang rumah.
Setiap kali aku ditelpon, wajah ceria tanpa masalah lah yang selalu aku perlihatkan
dihadapannya agar mereka tidak khawatir denganku disini.

Bulan ketiga dan bulan keempat merupakan bulan-bulan tersulit yang aku
rasakan. Aku semakin dituntut banyak hal dalam posisi ini. N+1 lah namanya yang
merupakan kata kata setiap hari aku dengar. Prestasi di kelas juga ingin aku dapatkan.
Dituntut untuk mengikuti berbagai event lomba. Manakah yang harus aku pilih? Aku rela
waktu istirahatku berkurang agar aku bisa meraih target ini. SKS adalah sistem kebut
semalam, sebuah sistem baru untuk menyelesaikan tugas-tugasku. Bangun pagi
mendahului untuk mengerjakan laporan lomba sering terjadi pada diriku. Namun apalah
daya ini, sebagai seorang manusia yang lemah, perasaan capek pun menghampiriku.
Bayanganku kalau nanti aku purna dari tugas dan tanggung jawab yang besar ini, aku
akan bisa menikmati hidup ini seperti mereka.

Waktu terus berjalan begitu cepat, akhirnya aku pun terlepas dari sebuah
tanggung jawab besar ini. Namun lagi dan lagi bayanganku tidak sesuai dengan yang
terjadi. Disaat sudah tidak berada dalam posisi ini pun aku selalu dikait kaitkan dengan
posisi ku terdahulu. Dimana-mana di cemooh oleh orang orang, sebagian ada yang
menuduhku tanpa tahu apa yang terjadi di balik semua itu. Sungguh menyakitkan tapi
inilah yang namanya hidup. Pengumuman dari berbagai lomba-lomba yang aku ikuti
dengan penuh perjuangan belum ada yang membuahkan hasil. Benar-benar kondisi
terpuruk berada di roda yang paling bawah yang aku rasakan saat ini. Hal ini pula yang
memunculkan perasaan rindu pada orang tuaku.

Siang hari yang terik suara handphone ku terdengar dari kejauhan.


KRING……KRINGG……KRINGGG…… Aku bergegas dari kejauhan untuk
mengambilnya.
“Halo, bagaimana kabarmu nak?” terdengar suara yang sudah lama aku
rindukan, terdengar sekali nada bahagianya. Entah kenapa air mata ini keluar tak bisa
tertahankan.
“Halo bapak, ibuk, anakmu disini baik baik saja hanya kerinduannya padamu tak
bisa ditahan lagi” suaraku dengan nada bergetar berusaha menutupi tangisan ini.
Orang tuaku sepertinya menyadari anaknya yang sedang menutupi tangisan kerinduan.
“Kenapa nak, apakah kamu bosan? Ibu, bapak akan berkunjung ke sana ya” Ujar
orang tuaku melaui percakapan telepon.
Mendengar kata kunjungan tiba tiba membuatku menghapus air mata yang terjatuh dan
tersenyum bahagia.
“Tapi kasihan Pak, Bu. Ibu, bapak jauh-jauh kesini belum lagi harus cuti bekerja.
Aku tidak mau merepotkanmu” Ujarku
“Tidak apa apa nak, masalah bekerja bisa diatur. Melihatmu bisa tersenyum lebih
penting bagi kami” Ujarnya. Inilah yang membuatku selalu kagum sama mereka.
Bayangan ku saat ini akan memeluknya erat-erat, mencurahkan keluh kesahku selama
ini. Namun lagi, lagi, dan lagi, bayanganku itu tidak sesuai dengan yang apa yang
terjadi. Bayanganku dipupuskan oleh suatu keadaan yang tidak adil bagiku.

Kala itu aku sedang duduk di depan laptopku ditemani dengan derasnya hujan,
langit bergemuruh, petir menyambar dan angin yang kencang. Salah satu temenku
datang dengan basah kuyup terlihat seperti menerobos derasnya hujan.
“Christiani kesini bentar, ada hal yang penting” Ujarnya
Aku belum menghiraukanya, aku masih terfokus pada laptop ditemani oleh handset
dengan sebuah lagu Melukis Senja.
Tiba tiba dia datang menarik handset dari telingaku.
“Ihh apa-apaan kau, tiba-tiba main tarik aja” Ujarku sedikit kesal karena laguku
terhenti gara-gara dia.
“Sorry-sorry, kamu sih udah dari tadi dipanggil gak nyahut-nyahut. Udah aku
gamau berdebat lagi. Ada informasi penting yang mau aku kasi tau, makanya aku lari-
larian sampe basah kuyup seperti ini”
“Ahh informasi penting apaan?” Ujarku penasaran
“Jadi aku baru aja datang dari office dan aku dengar sendiri bahwa per hari ini
kunjungan orang luar terhadap peserta didik itu distop sementara”.
“Hah apa? Di stop?” Dengan segera aku memotong kalimatnya.
“Iya benar karena pertimbangan situasi dan kondisi saat ini yang tidak
memungkinkan.” Ucapnya berusaha menjelaskan padaku sambil menahan tangisnya.

Dia adalah Dira. Teman sekelasku yang paling kocak. Aku dan Dira adalah
sepasang partner dalam hal tidak pernah kedatangan tamu kunjungan ataupun
menerima paketan dari orang rumah. Namun ketika kami sekarang sangat
membutuhkan itu semua untuk membangkitkan motivasi, malah hancur begitu saja.
Sungguh merasa dunia ini tidak adil kepada kami. Aku dan Dira duduk bersedih
meratapi nasib ini. Seketika Dira menangis tersedu-sedu di pundakku tidak menerima
dengan keadaan ini. Akupun sama tidak bisa menahan lagi tangisan ini, menyenderkan
kepala di pundak Dira. Dantara kami tidak ada yang bisa memberikaan semangat satu
sama lain karena posisi kami sama sangat rapuh, benar benar berada di roda
terbawah. Derasnya hujan dan kilauan petir lah yang menjadi saksi kesedihan ku atas
semua kenyataan yang tidak sesuai dengan bayanganku.

Evidensi merupakan sebuah kata yang diartikan sebagai realita atau kenyataan.

Sedangkan Fatamorgana menggambarkan sebuah bayangan.

Evidensi Tak Semanis Fatamorgana merujuk pada sebuah kenyataan yang tidak
sesuai dengan bayangan.

Anda mungkin juga menyukai