Anda di halaman 1dari 4

Terbang Seperti Elang

Seberarapa penting ulang tahun bagimu? Aku yakin semua orang pasti suka ria
menyambutnya. Tapi tidak untukku kali ini. Aku terlalu tua untuk merayakannya. Umurku
sekarang 24 tahun. Katanya itu angka yang ideal untuk mimpi-mimpimu. Katanya itu 1/3 dari
usia manusia. Katanya banyak keajaiban diusia itu. Sepertinya teori itu tidak untukku. Aku
masih bergulat dengan banyak kebimbangan. Semua yang aku kerjakan gagal.
Aku masih tertegun sembari menatap layar ponsel. Scroll media sosial bukanlah
pekerjaanku. Ah… tidak, tadinya aku pikir ini akan mengusir kebosananku. Ternyata
menambah kecemasanku saja. Bagaiman tidak, rasanya semua postingan mengolokku saat
ini. Apa mereka tidak tau disini ada yang single, kenapa harus memposting foto pernikahan
sih. Atau apa mereka tidak tau ada yang pengangguran, kenapa posting tentang keberhasilan
karirinya. Sepertinya tidak ada yang memihak untukku.
Ku hempaskan tubuhku yang lelah di ranjang. Setidaknya itu yang bisa aku lakukan
untuk menyeimbangkan kepalaku yang berat dengan sejuta tumpukan pikiran ini.
“hah…” hela napasku panjang hingga terdengar penuh dalam ruang kecil ini. Aku baru
menyadari ruangan ini telah lama lengang. Kemana dua orang yang tinggal bersamaku.
Oh..tidak, bukan mereka yang tinggal bersamaku. Tapi aku yang menumpang dengan
mereka. Sepertinya mereka masih banyak urusan kuliah yang belum kelar. Mungkin kali ini
hanya ada deringan kipas angin yang menemaniku mengisi kehampaan ruangan ini. 
“Happy birthday to you” terdengar nyanyian dari balik pintu. Suara itu terdengar
familiar. Pintu itu kemudian perlahan terbuka. Aku tersadar dari lamunan panjang yang
memenuhi pikiranku. Dua gadis muda dengan balutan hijab menghampiriku. Mereka
tersenyum dengan membawa kue yang dibaluti coklat dan beberapa tancapan lilin diatasnya. 
“Hufhh” sungguh kali ini aku tidak ingin merayakannya. Ini bukan sebuah pencapaian,
tapi justru beban berat yang akan menimpa punggungku. Tapi tidak, seharusnya aku
bersyukur masih benafas hingga detik ini. Allah masih memberiku kesempatan untuk menata
kembali hidupku dan berpetualang mengarungi duniaku.
“Happy birthday ya kak” terdengar suara lembut dengan senyum sumringah di pipinya.
Terlihat lebih cantik saat itu, dibanding beberapa hari lalu saat kami beradu mulut. Dia
adikku Karin, sejak kecil kami selalu bertengkar. Ya.. mungkin karena perbedaan usia kami
hanya satu tahun. Tapi pertengkaran lusa kemaren tidak seperti biasanya. yang membuatku
tersadar, ternyata kami sudah tumbuh dewasa. Kami bukan anak kecil yang berebut makanan
lagi. 
Namun semua yang diucapakannya memang benar aku terlalu payah untuk menjadi
seorang kakak. Sebagai anak sulung dari enam bersaudara, aku tidak mampu memberikan
apapun untuknya. Bagaimana bisa, bahkan saat ini untuk menolong diriku sendiripun tak
mampu. Hampir saja aku ingin pindah dari ruangan ini ke kolong jembatan. Tapi lagi lagi
tidak, itu terlalu mengerikan.
“Kak” terdengar suara melengkeng ditelingaku yang cukup mengagetkanku dari
khayalanku. Suara itu ternyata dari arah kananku. Andini teman sekamar adikku. Aku sangat
berterimakasih dengan kelapamgan hatinya menerimaku disini. 
“Happy birthday ya kak” ucap andini dengan penuh ketulusan.
“Terimakasih ya adik-adikku” aku menyaksikan tulisan doa yang tertulis diatas kue.
Aku sangat bersyukur dengan doa itu. Semoga ini adalah awal dari perjalanan baruku.
Semoga kali ini akan ada titik terang untukku. Aku tersenyum tapi tidak untuk tulisan angka
yang betengker tidak jauh dari tulisan doa itu. Angka 24 itu terlalu mengganggu pikiranku.
Angka itu membuatku teringat dengan kejadian tahun lalu. Sebuah titik balik yang
menghancurkan semua harapan dan merubah kehidupanku. Sebuah perubahan yang
memaksaku untuk cepat beradaptasi. Tapi semuanya begitu cepat, tanpa sempat aku cerna.
Hingga aku hilang kendali dan terhempas oleh ombak kesebuah lembah yang gelap. Bahkan
aku tidak bisa melihat petunjuk arahnya. Sial..aku tidak tau lagi harus melangkah kemana.
***
Aku menyebut tahun itu adalah tahun keterpurukan. Tahun itu adalah tahun pertama bencana
menyerang negeriku. Makhluk kecil yang tak kasap mata telah menggegerkan kota ini.
Sekilas terlihat semua akan baik-baik saja. Hingga waktu itu tiba, dimana jalanan lengang.
Dengan kondisi ekonomi terpuruk, banyak kejahatan merajalela. Aksi-aksi pembegalan
berselancar di lorong yang sepi ini. 
Waktu itu WFH telah menjadi program utama semua perusahaan. Tapi tidak untukku
yang harus berinterkasi dengan tanaman. Aku adalah pengelola di salah satu perusaan urban
farming di kota medan. Aku harus melawan semua ketakutan, dan memberanikan diri
melewati lorong sepi ini. Selain dihantui virus, maraknya kejahatan membuatku wanti-wanti
melewati lorong ini. Benar saja, aku kehilangan hp dan uang yang aku bawa saat itu hanya
dengan sekali tatapan yang membius.
“hipnotis” kata itu tadinya tidak pernah aku percayai, tapi kali ini aku mengalami
sendiri. Tapi kejadian itu malah beruntun saat aku naik angkot yang sepi penumpang. Aku
kehilangan hp ku lagi tapi kali ini hp kantor. Tapi aku baru menyadari hal ini setelah sampai
ke tempat tujuan. Dan angkot itu sudah berlalu jauh dariku. 
Anehnya kejadian itu terjadi ditanggal yang sama dengan bulan yang berbeda. 
“Somoga tidak ada kejadian buruk lagi menimpaku” gumamku dalam hati sambil
merebahkan tubuhu yang letih. Uangku sudah menipis setelah sebulan berlalu dari kejadian
itu. Belum sempat mataku terpejam, tiba-tiba suara dering hp jadul yang baru aku beli
beberapa hari lalu berbunyi.
“Dara” aku melihat tulisan Dara terpampang dilayar hp jadul itu. 
“Syifa….huhuhu” terdengar suara tangis dari seberang. Sepertinya Dara ada masalah
berat. Aku mengenal Dara semenejak kuliah. Kami membangun bisnis bersama. Dia orang
yang kuat dan berpendirian. Dia jarang banget nangis, mungkin bisa dihitung jari. 
“Eh…kamu kenapa” sahutku semakin penasaran
“Syifa..aku kena tipu” suaranya terdengar samar ditelingaku. Tapi aku masih
menangkap apa yang dia sampaikan. Hanya saja berita itu terlalu spontan membuatku kalang
kabut seketika. Aku masih menunggu penjelasannya. Memposisikan hp jadul itu persis
ditelingaku, agar terdengar lebih jelas.
“Aku kena tipu, uang bisnis kita di bobol orang, dan tidak ada sisa sedikitpun, aku
minta maaf” Kali ini suaranya terdengar jelas, dia menjelaskan dengan penuh histeris dan
panik. Aku yang sedang berbaring sontak meloncat dari ranjanngku. Aku tidak tahu harus
merespon apa. Ingin marah tapi sepertinya itu tindakan yang buruk. Bagaimana bisa aku
menerima ini semua, belum genap sebualan dari kejadian perampokan menimpaku. Sekarang
diakhir bulan ini juga aku mendengar kabar puluhan juta lenyap dari rekening bisnis kami.
Jadi, selain ngantor aku juga jalanin bisnis sampingan tapi ternyata tidak berjalan sesuai
ekspektasi.
“Huh….” Aku mencoba menghela napas, membuangkan semua kegundahanku tertuap
keluar. Nyatanya tidak, aku mengira cahaya matahari yang menembus kamar kecil ini telah
redup. Tapi ternyata pandanganku yang berubah gelap gulita. Tidak..ini bukan waktunya
pingsan.
“Kamu tenangin diri dulu ya Dara, kita cari jalan keluar sama-sama. Kamu sadarkan ini
kesalahanmu, Karena itu kamu harus bertanggung jawab menggantinya dengan bekerja keras
untuk bisa memajukan usaha kita kembali. Sekarang kita bisa mulai dari awal. Berapa sisa
uang kita di rekening yang lain” tiba-tiba aku berubah menjadi orang yang bijaksana,
walaupun sebenarnya dalam hati memberontak keras. Jika aku ingin marah-marah tidak ada
gunanya, nasi sudah jadi bubur. Sekarang bagaimana caranya agar bubur ini menjadi enak.
“Hanya ada Rp100.000” jawabnya
“What??, uang segitu mana cukup untuk mutar modal usaha rempah yang kami geluti 6
bulan ini” celetukku dalam hati tapi aku tak ingin mematahkan semnagat rekanku. Ini bukan
waktunya menghujat apalagi rekan yang selama ini memiliki peran penting dalam proses
bisnis ini. 
Beberapa kejadian bertubi ini membuatku drop. Sakit dimasa pandemi itu parnonya
cukup tinggi. Belum lagi mendengar celetuk teman sekamarku waktu itu.
“Syifa…aku baca atikel tanda-tanda gejala corona, itu sama deh dengan yang kamu
alami” pernyataan Gita cukup mengagetkanku, hingga aku yang sebelumnya batuk tiba-tiba
terhenti.
“ Aku cuma sakit biasa kok Kak Gita” jawabku 
“Kamu sesak nafas gak” kali ini tatapannya semakin tajam, aku merasa seperti di
introgasi telah melakukan kesalahan.
“ng…nenggak” ah…petanyaannya semakin membuatku parno. Perlahan aku mencoba
menarik nafas kemudian menghembuskannya. Untuk memastikan apakah aku sesak nafas.
Aku memang sedikit kesulitan nafas, tapi sepertinya karena hidungku tersumbat. Ah…konyol
sekali saat itu. 
“Tes swab aja deh Syif” kali ini dia bukan cuma membuaku parno tapi ketakutan.
Waktu itu adalah bulan-bulan awal virus menyerang kota ini. Tes swab masih sangat terbatas
dan hanya ada satu rumah sakit yang mnyediakannya. Pergi ke rumah sakit sepertinya sangat
menegangkan. Aku memilih isolasi mandiri saja. Aku tidak tau apakah aku terpapar atau
hanya gejala yang mirip saja, yang jelas selama 14 hari itu aku sudah sembuh dan bisa
kembali ke kantor dan mengurus tanaman.  
Aku kira kejadian buruk waktu itu adalah yang terakhir, nyatanya tidak. Kali ini aku
mendapat telpon dari bosku yang memberiku waktu libur Ramadan hingga lebaran. Waktu itu
aku sangat bersyukur karena sudah lama aku tidak menikmati Ramadan di kampung halaman
secera penuh. Ternyata itu adalah hadiah terkhir darinya sebelum akhirnya mengirim
pesangon. Ya… aku kehilangan pekerjaan. Lengkap sudah, sekarang aku menjadi
pengangguran dan bisnisku bangkrut.
*** 
“Syifa…!! Bangun..!!” Itulah terikan yang sama setiap pagi ku dengar semenjak pulang
ke kampung halaman ini.
“Bangun…rezekimu nanti dipatok ayam” dan inilah quote yang selalu menyambut
pagiku.
“Udah dipatok ma..” celetukku dengan nada berat setengah sadar. Sejak itu aku tidak
mengenal pagi lagi. Maaf pagi kali ini aku harus mengabaikanmu lagi. Aku tau dibalik
jendela kamu telah melambai dan tersenyum riang memanggilku. Memintaku untuk
menyambutmu. Mata ini terlalu berat untuk dibuka. Semilir angin pagi yang menyelip masuk
ke kamarku terlalu dingin hingga aku tak bisa lepas dari hangatnya selimut ini.
Bukan hanya kehilangan pagiku, aku bahkan sudah kehilangan diriku sendiri. Ingin
rasanya menggerutu, menyalahkan takdir, menyalahkan pandemi. Bahkan menyalahkan
diriku sendiri. Setiap hari aku hanya mengutuk diri 
Aku membiarkan tubuhku rebahan tanpa aktifitas. Ah…kepalaku rasanya makin berat.
Kini aku sudah seperti zombie hidup. Hingga tiba saat aku menemukan inkubasi startup.
Mendengar itu seperti ada angin segar dalam kehidupanku. Ya.. setidaknya ada harapan
untukku berkembang. Setidaknya ada yang bisa aku lakukan untuk diriku sendiri.
Tapi lagi-lagi sukses bukan seperti membalik telapak tangan. Tidak segampang itu.
Kali ini ketakutanku lebih besar dari sebelumnya. Kegagalan kemaren cukup membuatku
berpikir dengan matang. Bagaimana tidak 90% startup gagal dan hanya 10% yang berhasil.
1% jadi unicorn. Alih-alih jadi bagian 1% menjadi bagin 10 % jantungku berdebar kencang.
Aku masih tertegun menatap layar berisi formulir itu. Kejadian yang lalu membuatku
ragu. Namun, aku tidak bisa membiarkan diri terpuruk seperti ini. Aku harus bergerak,
mungkin saja ini jawaban membangkitkan semangatku kembali. Mungkin juga ini saatnya
naik lift dan menjadi CEO di startupku sendiri. Ah..seperti Seo Dalmi drakor startup saja. 
Keluar dari perusaan dan memberanikan diri membangun startup dengan harapan bisa naik
lift keatas. 
Meskipun aku sudah melewati dan lolos semua seleksinya. Tetap saja aku belum
memilki tim, sepertinya kualifikasiku terlalu rendah. Skilku juga masih kurang. Aku juga
pemula dalam dunia startup. Hampir saja aku menyerah dengan mimpi ini. Hampir saja aku
ingin berhenti ditengah jalan. 
Namun aku disadarkan oleh sebuh kata-kata yang tidak tau kenapa seperti tertuju
padaku. Perbedaan elang dengan itik. Elang memiliki mata yang tajam mampu membidik
mangsanya dengan tepat. Terbang bebas diangkasa. Tapi itik berbedea dia suka mengekor
tidak memilki prinsip untuk berjalan sesuai dengan yang dia inginkan. Hidup itu pilihan dan
aku memilih menjadi elang. Aku berhak untuk bebas menentukan hidupku, tujuanku, dan
mimpiku tanpa harus mengikuti ekspetasi orang lain. Karena hanya akulah yang bertanggung
jawab dengan apa yang aku inginkan dan hanya aku yang bisa mewujudkan mimpiku sendiri.
Akhirnya saat itu aku memberanikan diri menjadi CEO dari startup yang aku bangun.
Yap..ternyata gak mudah memberntuk tim juga tidak mudah. Tapi aku tetap harus berjuang.
Saat perjalanan aku bertemu dengan mentor yang sangat luar biasa mengubrak abrik pitch
deckku. Dia jua memaksaku keluar dari zona nyaman.
“Ini mah…pitch deck anak sekolah menengah” sontak gertakan mentorku membuatku
tercengang.
“Kami akan perbaiki kak fei” aku berusaha meredakan emosi kak fei yang semakin
memuncak
Melihat peserta lain degan kualifikasinya, aku tidak percaya diri. Jadwal Pitching
semakin dekat. Berapa kali pun aku latinan sepertinya sama saja, mungkin startup ini akan
sayonara sebelum luncur. Sebenarnya aku lebih suka pitching langsung dan melihat jurinya
tanpa perantara. Tapi kali ini berbeda, semua kegiatan dilakasakan online. Mau gak mau aku
harus latihan pitching secara online. Yang dipersiapkan juga ternyata lebih banyak dari
offline. Aku harus memastikan semua akan berjalan lancar tanpa hambatan jaringan atau
suara bising dari luar. 
Tapi siapa sangka, aku terpilih menjadi yang terbaik pertama. Ah,…ini mengejutkan
bahkan aku belum mempersiapkan kata sambutan. Dan kami juga terpilih masuk demo day.
Ini pencapain diluar dugaanku. Aku kira aku akan gugur bahkan saat masih pembentukan
tim. Tapi ini bukan akhir, perjalanan selanjutnya akan semakin terjal. Setelah launch aku
harus berusaha mendapatkan revenue untuk startup karena masih boostraping. Selanjutnya
aku juga harus mencari investor mendanai satartup ini. 
Masalah belum usai tapi setidaknya aku tau apa yang harus aku lakukan. Aku tidak
perlu mengikuti standar sukses orang lain. Aku terlalu istimewa untuk membandingka
kesusesanku dengan orang lain. Prosesku berbeda dengan proses mereka. Garis finishku juga
berbeda. Bagaimana bisa aku menyamakan kesuksesanku dengan mereka. Aku adalah aku.
Aku tidak perlu memenuhi ekspektasi mereka. Itu terlau melelahkan. Inilah aku versi
suksesku sendiri. Perjalananku masih panjang. Mungkin tiga tahun lagi. Ya…tiga tahun lagi
kantor startup yang halu ini menjadi nyata. Tiga tahun lagi jumlah kayawanku bertambah.
Dan tiga tahun lagi aku bisa terbang bebas layaknya elang tanpa terbelenggu dalam jeruji
ketakutan ini.

Profil Penulis

Armila Fazri Nasution adalah seorang entrepreneur yang jatuh bangun dalam
membangun bisnis semenjak lulus dari Politeknik pembangunan Pertanian Medan pada 2019
lalu. Selama dua tahun memulai karir dan bisnis tidak sedikit mengalami kegagalan. Bisnis
terakhir yang dia luncurkan adalah startup ehaidro sebuah platform edukasi dan e-commerce
untuk urban farming. Selain enterpreneur, akhir-akhir ini penulis mulai aktif menulis, dengan
berbekal pengetahuan dari kegitan KMO Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai