Anda di halaman 1dari 15

Si ‘sadar’

yang terlambat bangun

~DRRTT!! DRTT!!!!

Bergetar.

~DRRTT!!!

Hanphone itu bergetar digenggaman dan aku tersadar. Hal yang pertama kali aku lihat
saat membuka mata adalah langit-langit kamarku. Aku mendesis kesakitan dan menghela napas
panjang ketika mencoba duduk dan menenangkan diri. Menunduk, perlahan menjambak
rambutku sendiri untuk menghilangkan pening, mengatur napas. Jantungku berdebar keras.

Ketindihan itu cukup mengerikan. Kurasa, hampir setengah jam lamanya aku mati-matian
bangun dari ragaku yang tertidur pulas seperti ditinggal nyawa. Syukurnya aku tidur dengan
headset dan hanphone digenggaman, sebab jika tidak begitu, katanya, aku bisa meninggal. Orang
yang ketindihan sangat lama itu katanya bisa berakhir dengan kematian. Dan tadi itu termasuk
ketindihan terlama yang pernah kualami dan jujur saja, itu menakutkan.

“Halo…”

“Halo, La? Ya ampun, akhirnya. Kamu di mana?!” sebelum menjawab, aku menjauhkan
barang itu dari kuping untuk memastikan nama pemanggil—‘Meli,’ sang karib yang tanpa sadar
telah menyelamatkan nyawaku barusan.

“Di rumah Mel, ada apa…?”

“Di rumah?!”

“Iya, kenapa?”

“Di rumahmu?! seminggu ini?!” tanyanya balik, tidak biasanya. Aku jadi bingung.

“Maksudmu?”

Cukup lama Meli tidak menjawab, aku jadi diam. Dia hanya mengeluarkan suara seperti
orang kecapekan. Caranya bertanya juga terdengar khawatir.
“Kamu sebenarnya seminggu ini ke mana saja, sih?”

Alisku mengkerut, “Seminggu, ke mana saja?”

“Iya, kenapa kamu nggak pernah masuk kerja?!”

“Hah?”

Tut-Tut. Aku menjauhkan ponselku lagi sekali dan ternyata dayanya habis. Sambungan
telpon kami terputus. Ini agak aneh, biasanya baterainya tahan lama meski dua hari tidak di cas.
Apalagi kalau jarang dipakai.

Aku mengambil charger dan mengisi dayanya. Tiba-tiba menjadi penasaran tentang
maksud Meli tadi sembari menekan tombol powerponsel dan bertanya-tanya. “Maksudnya apa,
ya? Tidak pernah pergi kerja? Seminggu ke mana aja? Aku kan memang dapat off untuk hari
minggu, ” pikirku dengan dahi mengkerut.

Aku mengusap layar ponsel lalu menatap jam yang tertera jelas di sana.

“Ini memang hari minggu, kok, benar, pukul 6 pm—sama persis seperti jam di dinding,”
ujarku dalam hati saat melihat jam itu, sekilas, kemudian menatap layar ponsel kembali. Saat
kedua bola mata ini bergeser tepat pada angka di sampingnya, beberapa detik kemudian,
kenyataan mulai merampas penuh kesadaranku. Tubuh ini terasa kaku dengan waktu yang
seakan berhenti dengan napas yang tersendat, mataku melebar. Aku terkejut.

“tanggal 6 januari… 2021?!”

***

Setahun berlalu. Aku berlari. Berlari ke arah supermarket tempatku bekerja dengan
menggunakan piyama tanpa alas kaki. Aku tidak paham juga kenapa aku harus berlari seperti
mengejar maling begini, namun tubuhku seolah bergerak tanpa kendali. Jantungku berdebar
kencang dan keringat dingin terus mengucur keluar. Tanpa perhitungan aku menginjak semua
kerikil di pinggir jalan dan mengabaikan rasa sakit. Langit sudah redup dan cahaya malam mulai
terlihat. Beberapa menit yang lalu adalah kenyataan yang paling mengerikan sepanjang hidup
karena tertidur selama seminggu. Tepat di penghujung tahun aku mencoba memejamkan mata
dan merasakan tidur nyenyak beberapa jam yang lalu, tapi nyatanya mata ini terbuka satu hari
setelah tahun baru.

Sial, aku tidak tahu harus mengutuk siapa atas kejadian ini. Tapi yang pasti aku marah
setengah mati pada diriku sendiri. Tidak terhitung sudah berapa puluh notifikasi pesan yang
menanyakan keberadaanku dan ratusan panggilan dari atasan. Melihat itu semua membuat
napasku tersendat dan kini aku menangis. Kemungkinan paling buruk telah memenuhi pikiranku
detik ini: ‘aku akan kehilangan pekerjaan.’

Sampai di tempat, aku hanya berdiri. Memandangi Supermarket tempatku bekerja yang
dipadati manusia itu dari sebrang jalan dengan detak jantung yang masih tertalu gila-gilaan.
Mencoba mengontrol isi hati dan mengusap air mata. Melangkah lagi.

Saat berada dalam kerumunan, aku menahan napas sebab kepalaku mendadak pening.
Aroma yang begitu menyengat dari beberapa orang atau kesibukan situasi yang terjadi,
membuatku gundah. Ini sudah biasa terjadi dan aku sudah bekerja selama setahun dengan
kondisi begini. Meski aku berusaha untuk tidak menghiraukan perasaanku sendiri, tapi dari kecil
hingga saat ini, perasaan itu tidak pernah menghilang. Aku tumbuh dewasa hingga kini pun
rasanya masih tetap sama. Seperti baru kemarin.

Sebentar. Aku menghentikan langkah untuk berbalik arah sejenak. Berpikir.

“Nggak mungkin aku masuk ke sana pakai baju piyama begini,” ujarku dalam hati sambil
menunduk melihat kedua kaki. “Mana nggak pakai sandal lagi, memalukan!”

Orang-orang di depan pintu masuk bergerumbul dan beberapa diantaranya memandangku


dengan cara yang aneh. Aku tidak berani melirik ke sekeliling atau sekadar melepas pandangan,
jadi aku hanya diam dengan kedua kaki telanjang sementara isi kepala telah di penuhi awan
pekat dengan badai petir yang berkilat-kilat. Ah, rasa cemas ini masih saja singgah. Aku sudah
tidak tahu lagi bagaimana cara untuk mengatasinya setelah menyadari langkahku yang begitu
pengecut seperti ini. Melangkah satu kali, berhenti, melangkah lagi, berhenti lagi. Aku menghela
napas.

“Huh, oke, Roula, ingat… ada biaya sewa kamar kos yang harus kamu setor per-bulan.
Ada cicilan laptop yang tinggal lima kali. Ada hutang kebaikan yang belum kamu bayar sama
Meli. Ada tunggakan WIFI. Ada mimpi yang belum tercapai. Ada banyak sekali keperluan yang
berhubungan dengan uang dari pekerjaan ini, Roula. Jadi, ayo! sadarlah! Masuk ke dalam dan
katakan kalau kejadian ini terjadi murni tanpa kesengajaan. Ini sepenuhnya bukan salah kamu
atau salah siapapun, yang penting sekarang adalah uang. Kamu sudah hidup selama 20 tahun
tanpa uang yang cukup, ‘kan? Masa iya kamu nggak bisa atasi hal sepele begini? Zaman
sekarang cari kerja itu susah tahu, kalau—”

“Roula?”

“Eh…?”

Aku berhenti. Kakiku berderap. Desir napas yang tertahan. Beberapa bola mata yang
lambat laun berkedip, melihatku menampakkan diri dengan tampilan yang cukup tak biasa.

Tanpa sadar aku ternyata sudah berjalan masuk ke dalam sampai ke depan meja customer
service yang terasa sangat berbeda. Saling memandang sejemang dengan mbak Keli dan mbak
Jia, sebelum akhirnya mereka jadi bertukar pandang sendiri, kemudian kembali melihatku.

“Noumi… Roula?”

Aku benar-benar ingin tahu apa yang terjadi, namun dari ekspresi kaget mereka sudah
cukup menjawab itu semua. Sepertinya memang benar, aku tidur selama tujuh hari.

***

“Sudah tidak ada jalan lagi.”

Brakk,, Seberkas kertas ditumpukan dengan berkas yang lain di atas meja. Aku melihatnya.
Ini mimpi buruk.

“Karena semua karyawan kerjanya di hitung per-hari, jadi kami tidak mungkin
membiarkan satu posisi kosong melompong. Sementara kamu sendiri, menghilang tanpa
kejelasan.”

Aku menggertakan gigi, menahan kegundahan hati. Dalam satu ruangan tersembunyi
minim ventilasi dalam outlet ini, dimana terdapat brankas besar, dengan tempat duduk untuk
kami berdua. Aku dan seorang pria paruh baya bertubuh tegap—Pak Turki, selaku kepala toko
supermarket tersebut—berhadapan denganku untuk satu diskusi.

“Tapi, pak, ini baru seminggu…”

Beliau menghela napas tenang. “Iya, ‘kan sudah saya bilang, jangankan seminggu, sehari
saja tanpa keterangan pun itu sudah melanggar aturan. Terlebih—kamu admin, lho. Cuma satu-
satunya di outlet ini. Dan juga kami sudah telpon kamu berkali-kali, sampai saya sendiri pergi ke
kosanmu tapi hasilnya nihil—tidak ada orang. Di gedor-gedor tidak menyahut. Saya tanya Ibu
kosnya, juga nggak tahu kamunya ke mana.”

Bulu kudukku berdiri. Membayangkan bagaimana diriku terlelap seperti orang mati saat
itu membuat lidahku kelu dan tenggorokanku kering. Sulit rasanya menelan duri-duri kenyataan
ini. Tapi sementara aku hanya mengigit bibir, pak Turki mendongak dan membuang napasnya
secara kasar. Kemudian menatapku heran.

“Saya sendiri nggak nyangka kamu bakal seperti ini, lho, Roula. Padahal kinerjamu baik.
Kalau seandainya kamu bisa bertahan lagi 4 tahun saja, pasti saya rekomendasikan kamu untuk
dipromosikan naik posisi.”

“4 tahun?” Aku menggubris dalam hati. “2 tahun aja sudah lama banget menurutku,
apalagi 4 tahun?”

Tapi aku diam saja, tidak berani menyahut. Membiarkan sedikit waktuku terpakai kali ini
untuk mendengar nasihat beliau. Semoga saja bermanfaat.

“Tapi yah, mau bagaimana lagi. Nasi sudah jadi bubur. Belum tentu juga kamu bisa dapat
pekerjaan dalam waktu dekat. Paling tidak, nganggur dulu. Makan-tidur di rumah,” ujarnya,
menyepelekan. Aku jadi mendelik, sementara beliau memandang arah lain.

“Haduh, sayang sekali… kesempatan emas tidak dipergunakan dengan baik, ckckck…”

Pak Turki geleng-geleng kepala, kecewa. Sementara aku, rasanya ada yang mencelos di
dalam hati. Merasa bahwa kekecewaan pak Turki tak lebih dari kekecewaanku terhadap diri
sendiri.

“Maaf pak…” aku menelan salivaku dengan kaku. “Mohon maaf sebesar-besarnya.”
Meminta maaf atas kesalahan tidak masuk akal begini memang terasa aneh. Sementara
hening mulai menyeruak masuk di saat pak Turki membungkam, aku kini terlihat bagai orang
bodoh yang sedang bingung harus berbuat apa untuk membuatnya berubah pikiran. Semangat
hidupku seketika hancur sehancur-hancurnya. Mengulang reka adegan dalam kepala atas cara
beliau berdecak, sebaris kalimat menohok, gelengan kepala yang tidak pernah sudi kuharapkan
dari dunia ini, sudah merampas kepercayaan diriku seketika. Aku selalu begini, tapi entah kenapa
orang lain di dalam diriku selalu saja menyuruhku untuk bertahan. Meski dalam kondisi sekarat
sekalipun.

“Tapi, Roula.” Pak Turki bersuara lagi, aku terperanjat. Beliau menatap dengan lebih
intens. Mulai mengusap kumis tipisnya dengan raut serius.

“Saya perhatikan kamu selama ini…” Ia menggaruk dagu sejenak, aku menahan napas.
“Terlalu pendiam, ya…?”

Huh, kukira apa, tak tahunya sepele. Semua orang yang baru mengenalku juga pasti akan
mengatakan itu. Aku orang yang sangat pendiam dan kalem. Tapi jika kupikir-pikir, tidak juga.
Menurutku, aku banyak omong, untuk sebagian orang dan beberapa kesempatan. Yah, mungkin
memang dengan pak Turki saja yang tidak.

“Ah, iya, pak. Saya memang agak sulit beradaptasi.”

“Bukan ‘agak’ lagi, tapi sulit ‘banget’. Masa iya sudah 2 tahun masih belum kenal teman-
temannya?”

“Nggak, kok, pak! Siapa yang bilang?”

“Ayolah kalau ingat! Siapa nama kasir yang baru melahirkan?”

Tiba-tiba ia memulai kuis, membuat dahiku mengkerut.

“Di sini kasir yang baru melahirkan ada tiga, pak.”

Pak Turki mengangkat satu alis, mengelak dengan mulus. “Yang bilang satu siapa?”

Aku menarik napas. Mulai memompa ingatan.

“Mbak Sulastri, Mbak Putu, sama Mbak Dwi.”


Kini dahi pak Turki yang mengkerut. “Kalau yang belum menikah?”

“Evi, Puput, Nyoman, Made, Lulu, wah… banyak sekali, pak. Hampir setengah dari
populasi. Termasuk saya.”

“Hm…” pak Turki terlihat mengevaluasiku dengan jempol dan telunjuk di dagu yang
sudah terlihat bagai alat pengupas buah.

“Ternyata kamu cukup hafal, ya.”

“Yaiyalah, pak. Masa gitu aja nggak hafal. Itu, sih, namanya keterlaluan.”

“Tapi kenapa ya, saya merasa kamu ini agak aneh?”

Aneh? Aku terhenyak. Aneh apanya? aku nggak pernah merasa aneh. Memangnya aneh
yang dimaksud itu bagaimana? Kenapa juga aku jadi aneh?

“Kamu sering ada masalah?”

Nah, yang seperti ini selalu sukses membuatku tidak nyaman. Pandangan semua orang
terhadapku begitu sempit. Hanya karena pendiam, dikira sering ada masalah. Karena hafal nama
teman, dibilang aneh. Semua orang memang tidak beres.

“Semua orang pasti punya masalah, pak. Saya juga sama seperti itu.”

“Tapi kamu ini beda, toh. Ada atau tidak ada, rautnya selalu begitu. Jarang senyum.
Kenapa? Masalahmu cukup banyak, ya? Ndak apa-apa, cerita saja sama bapak… jangan
sungkan.”

Duh, jadi ke sana ke mari. Aku menggigit bibir bawah sambil memutar isi otak.

“Bapak lupa menanyakan saya kenapa bisa sampai absen kerja selama tujuh hari, ‘kan?
Mungkin itu bisa jadi masalahnya.”

“Oh! iya, ya! Kenapa? kenapa?” Pak Turki naik antusias yang kemudian membuatku
bersemangat untuk langsung memberitahunya kalau, “saya sudah ketiduran selama tujuh hari,
pak.”

Ia terbelalak. Suara dengung lalat terdengar melintas di hadapannya. Apa aku terlalu to the
point?
“Maksudnya?!”

“Saya tidak masuk kerja selama tujuh hari itu, alasannya karena ketiduran, pak.”

Gerak bibir yang seakan ingin berucap itu terlihat gagap. Ada kalanya pak Turki terlihat
seperti tidak mengerti maksud ucapanku sedikit pun.

“Ma-maksudmu, ketiduran, tidur?! Tidur selama, tujuh hari?!”

“Iya.”

Ia menatapku lekat-lekat. “Tanpa bangun sesekali?”

Aku mengangguk, dan ia melongo. “Tanpa… makan…?”

“Iya. tidur non-stop selama tujuh hari.”

Hening.

Beliau termangu dengan sepasang netra yang masih menatapku kosong. Aku terhenyak,
dan tiba-tiba saja, “Wow!” ia bertepuk tangan sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Bravo!”
pujinya lagi kepadaku. Aku hampir saja ikut bertepuk tangan kalau saja ia tidak merubah gestur
seperti semula dengan sangat cepat. Kembali mengusap dagunya.

“Noumi Roula.”

Aku masih duduk dihadapannya dengan postur yang sama. Tak lupa mengerjap dua kali.

“Kamu itu masih muda belia. Jadi, ketahuilah… masalah itu akan terasa ringan kalau tidak
terlalu dipikirkan.”

“Anu, bukan begitu maksud saya, pak.”

“Iya, iya, saya mengerti, sangat mengerti. Saya juga pernah muda soalnya. Yang lalu
biarlah berlalu, yang terpenting adalah mencari yang lebih baik untuk dijadikan pendamping
hidup dimasa depan. Suatu saat nanti, kamu akan dapat pengganti yang lebih baik. Percaya,
deh.”

Duh, dikira putus cinta. Tebakan pak Turki klise sekali.

“Pak, bapak jangan salah paham dulu,” tahanku sejenak namun ia menyela tak kenal malu.
“Sudahlah, sudah! jangan dibahas lagi. Apapun itu, sudah saya maafkan, kok. Sekarang,
mending kamu pulang saja, deh. Saya mau kerja. ”

“Tapi pak—”

Beliau bangkit lebih cepat lalu melebarkan kedua telapak tangan untuk mendorong
pundakku perlahan-lahan—menggiringku keluar ruangan. Ini semua belum terasa jelas, kenapa
main sudah-sudah saja? apa aku dipecat atau bagaimana?

"Pak—"

"Ah,” selanya kemudian. “Masalah gaji?” tanyanya setengah jengkel bahkan tanpa
memerlukan respon yang senada dariku. “Iya, itu pasti dibayarkan. Tenang saja. 27 hari, kan?"
tanyanya sembari memberi surat keterangan pernah bekerja kepadaku.

Aku tergugu. Sekelompok burung yang sedang mematuk isi otakku seolah kompak
berterbangan. Sial. Jika mengenai yang satu ini entah kenapa gerak-gerikku jadi mudah terbaca.
Demi bumi dan langit, memangnya siapa yang tidak ingin uang? Tapi ini agak berlebihan. Apa
ini sebuah obsesi? Atau ketidakpahaman cara mengelola harga diri? Hah, semakin dipikir-pikir
rasanya jadi semakin aneh. Tapi kalau harus bekerja keras bagai orang gila dengan perasaan
gelisah ini lagi, menurutku itu akan lebih aneh. Egoku tidak pernah menyadari seberapa besar
‘sebuah gaji’ telah membuatku menderita baik secara mental maupun fisik. Yang ia tahu hanya
bagaimana cara agar semua ini bisa berjalan dan terlihat lebih baik.

Benar, ini memuakkan. Aku harus keluar. Labirin ini berbahaya.

Memegang kuat-kuat surat tersebut, kemudian memandang pak Turki mantap, aku sebisa
mungkin menahan air mata untuk menunjukkan senyuman kelewat tipis.

“Ini memang persis seperti maksud saya, pak. Terimakasih banyak.”

***

Pelan-pelan, masih dengan kaki telanjang yang menyusuri aspal dingin malam, goresan
luka kecil disana mulai terasa nyeri disetiap langkah. Sampai di kosan, semua baru terasa lebih
nyata dua kali lipat dari yang tadi. Saat membuka pintu, saat menyalakan lampu, saat terguyur air
di bawah shower, aku tidak pernah luput memikirkan apa yang membuat diriku bisa jadi begini
sekarang. Entah dalam konteks apa. Dipecat sudah jelas bukan berita bagus. Tapi, bagaimana,
ya? dadaku ini terasa cukup lega untuk dipakai bernapas. Seperti satu beban berat dari akar
permasalahan hidup sudah berhasil terangkat dan lenyap.

Aku berbaring, mengosongkan pikiran. Berusaha mati-matian untuk tidak mengulang


reka adegan dalam memori beberapa saat yang lalu untuk menghindari ‘kebawa perasaan,’ yang
tidak jelas lagi.

Hening, tubuhku menyamping, memeluk guling dan mematikan lampu. Mencoba


memejamkan mata namun nerakanya adalah: aku tidak dapat terlelap barang sedetikpun. Lama-
kelamaan aku jadi lelah sendiri. Jadi, dengan mengumpulkan sisa-sisa energi, aku bangkit untuk
mengambil ponsel yang sedang ter-charging di soket bawah meja dan kembali menghempaskan
diri di atas kasur. Terlentang menghadap langit-langit kamar, akses internet mulai membawaku
berselancar ke berbagai belahan dunia. dari mulai Google, Instagram, twiter, whatsapp, sampai
line, semua kujelajahi tanpa minat. Seperti sudah kewajiban. Menscroll tak berujung, sederet
artis k-pop muncul pada beranda Instagram tanpa henti bagai rumput liar yang jika dipotong
malah akan semakin tumbuh lebat. Beberapa notifikasi yang tidak penting dari mulai; email,
iklan pop-up pada browser, sampai notifikasi dari youtube pun memampangkan diri sekilas lalu
menghilang hilir-bergilir. Pada status bar, aku memilah-milah mana yang harus dihapus
permanen jika tidak ingin kapasitas ruang memori internal menjadi semakin penuh, berulang
kali. Tanpa sadar, aku telah melakukan hal yang sama setiap hari. Ini agak membosankan.

“Hm-hm-hm…”

Bersenandung sebuah lagu membuatku tiba-tiba teringat BTS. ‘Ah, katanya, mereka akan
mengiklankan sebuah produk, tapi tidak tahu produk apa. Aku belum mencari tahu.’ Sambil
berpikir, aku menatap grup percakapan ‘K-pop Army’ di Line dan kemudian menerka, “Tidak
lama lagi, pesan masuk grup ini pasti akan jadi ribut setengah mati.”

Terkekeh geli untuk beberapa saat, melupakan apa yang baru saja terjadi, aku tiba-tiba
berhenti. Kedua kelopak mata kembali membulat dengan perasaan yang sedikit agak rumit untuk
dijelaskan. Tak lama, aku mematikan ponsel sebelum suasana hatiku mulai berubah kelabu.
Duduk menempel di punggung kasur dengan memeluk lutut, hening menyeruak sebelum
akhirnya suara di dalam kepala mulai ramai tak terkendali.

“Aku nggak habis pikir sama kamu, Roula. Tertawa di situasi begini? Jih!” Mendengus
kasar lalu mengusak surai.

“Bodoh, bodoh, bodoh!” aku memukul kepala sendiri. Beberapa kali membenturkannya di
punggung kasur. Cukup sakit namun kuharap ini bisa lebih baik. Seperti prinsip ayah, anak nakal
harus dihukum dengan pukulan jika tidak ingin melihatnya membangkang.

Aku berpikir, setidaknya ada satu hal yang bisa kulakukan dengan kedua tangan ini jika
tidak mau didepak dari kosan. Mencari pekerjaan dalam waktu dekat atau apalah, dibanding
cekikikan tidak jelas begitu. Tidak tahu diri.

Lama terhanyut, aku tiba-tiba menekan angka satu pada papan nomor kontak untuk
melakukan panggilan cepat karena teringat Meli. Suara tut beberapa kali terdengar sampai
akhirnya hanya tersambung pada operator. Aku melihat jam dinding yang masih menunjukkan
pukul delapan malam sementara Meli biasanya baru akan pulang dijam sembilan lebih sepuluh
menit. Berpikir sejenak, gelisah ini semakin merundung.

“Apa yang bisa kulakukan dijam delapan malam begini? Biasanya toko roti buka sampai
jam berapa, ya?”

Mengingat roti aku jadi ingin kerja di sana. Apa itu namanya? Café dekat pom bensin
seratus meter dari depan gang? Larasa? Sudah jelas kalau untuk menghasilkan uang aku bisa
memilih alternatif apapun dalam waktu dekat. Tapi tidak mungkin malam-malam begini. Paling
lambat besok sore. Sampai besok sore, aku harus telusuri tempat itu sendiri. Siapa tahu saja
mereka sedang butuh karyawan.

Selesai membuat rencana, tak lantas membuatku baik-baik saja. Ada saja sekelumit hal
yang masuk ke dalam pikiran ini. Membuatku terjaga.

Tring,,

Telpon dari Meli. Segera kuangkat.

“Halo? Meli?”
Suara di sebrang masih grasak-grusuk tidak jelas sebelum akhirnya ia berhasil menyahut
dengan susah payah. “Iya, kenapa?”

Ingin sekali mengutarakan langsung keinginanku tapi setidaknya basa-basi itu penting.

“Kamu lagi di mana? Sudah pulang?”

“Hm, sudah. Mau jam dua belas begini, kenapa belum tidur?”

Meli terdengar lelah karena responnya yang tidak begitu antusias, aku jadi merasa
bersalah.

“Ah, kamu pasti capek, ya? istirahat aja, deh.”

“Ah, nggak, nggak,” sergahnya lemah sambil menguap agak panjang. “Ada masalah apa?”

Aku tidak yakin apa benar ia lupa atau bagaimana, tapi yang kuyakini pasti, Meli orang
pertama yang menelponku tadi sore. Oh, atau mungkin saja efek mengantuk. Wajar kalau ia lupa,
namanya manusia.

“Aku juga bingung mau mulai dari mana. Mungkin karena terlalu gelisah, aku jadi pengen
nelpon kamu aja,” ungkapku, tak sepenuhnya benar.

“Gelisah? Ah…”

Meli baru sadar bahwa ini berkaitan dengan masalah yang tadi.

“Kamu mau cerita di tempat makan biasa? Ketemu besok? Aku yang bayarin, mau?”

Tawarannya menarik, tapi aku kehilangan minat. Meski mata tidak bisa terpejam barang
sedetik pun untuk melupakan gundah gulana yang menggerogoti jiwa raga ini, tetap saja saat ini
bukan waktu yang tepat untuk menuangkan segalanya. Meli sebenarnya tidak perlu tahu apa
yang terjadi. Tapi aku butuh seseorang untuk memberitahukanku bahwa ini semua bukan apa-
apa.

“Mel,” panggilku pelan. Ia menyahut lesu.

“Hm…”

Hening. Aku berdeham pelan, mencoba menyusun kata.


“Kamu, sudah bahagia?”

Dahinya mungkin sedang berkerut karena pertanyaan tanpa korelasi ini, tapi syukurnya ia
tetap mau menjawab.

“Bahagia?” tanyanya ulang kemudian ber-hem cukup lama. “Tidak tahu.”

Aku tidak membalas, tidak juga merespon. Sifat Meli lumayan unik. Kadang ia mudah
ditebak, kadang sangat sulit dipahami. “Aku merasa biasa-biasa aja, sih, La. Nggak ada terlalu
sedih atau terlalu bahagia, begitu. Memangnya kenapa?”

Aku menghela napas, menutupi maksud sebenarnya. “Yah, bukan apa-apa juga, sih. Cuma
penasaran aja. Apa Cuma aku sendiri yang ngerasain itu atau nggak, tapi ternyata kamu juga, jadi
buat aku sedikit lebih tenang.”

“Iya, hehe. Namanya juga sahabat. Pasti selalu ngerasain hal yang sama, lah.”

Sahabat? Lama juga kata itu tidak menyapa telinga. Kukira pertemanan di dunia ini hanya
sebatas sapaan. Apa yang bisa membedakannya dengan sahabat?

“Roula?”

“Hm?”

Meli menjeda beberapa detik untuk menanyakan satu hal yang dapat kurasa telah diberi
empati didalamnya.

“Belakangan ini, kamu lagi banyak pikiran, ya?”

Aku tergugu. Memandangi buku jariku yang memutih dan menggigitnya sedikit demi
sedikit. Suara tengkerek bersahut-sahutan disepanjang malam, dan Meli tiba-tiba melantunkan
cerita. “Dulu aku juga pernah dilanda stress berat, La,” katanya sendu, membuat mataku terbuka
lebar. Yang kumaksud seperti tanpa sengaja disinggung oleh Meli dengan cara yang tidak begitu
kentara. Merasakan bagaimana sebuah kesamaan bisa membuat kami saling paham, membuatku
yakin dia orang baik.

“Jangankan untuk beberapa tahun atau beberapa bulan, seminggu saja ngerasain itu aku
nggak kuat. Merasa kalau masalahku ini paling berat, jadi aku sering pingsan. Orang tuaku
kocar-kacir cari anaknya yang hilang tapi aku enggan kasih kabar. Aku menumpang nginap di
rumah temanku dan banyak menyalahkan diri. Melihat dia mengepel lantai saja, sabunnya ingin
kuminum. Ada banyak cara lain yang aku susun untuk menghabisi nyawa sendiri, La. Itu
mengerikan.”

Aku cukup tercengang karena cerita dramatis ini tersaji dengan begitu gamblang.

“Memangnya, kamu dulu pernah stress karena apa?”

Meli berpikir, kemudian mendengus kasar. “Nggak tahu juga, ya. Aku sampai lupa gara-
gara apa.”

Garis di jidatku mengkerut karena bingung. Tapi, yah, mungkin saja bisa begitu. Tidak
ada yang pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi didalam diri sendiri. kadang itu
membingungkan dan juga penuh misteri.

“Karena setelah kusadari, perasaan insecure atau apapun itu hanyalah diri kita sendiri. Kita
mungkin ngerasa nggak ada yang peduli sama kita, tapi nyatanya nggak begitu, kok. Stress itu
hanya sebuah pola pikir negatif yang berlebihan.”

Jika harus jujur, aku sebenarnya tidak memahami dengan selektif pesan apa yang Meli
ingin sampaikan. Perasaanku sedang tidak baik dan entah kenapa nasihatnya sama sekali tidak
membantu. Berhubung aku orang yang selalu penasaran melebihi siapapun, jadi aku berkata:
“langsung saja, kesimpulannya bagaimana? Aku nggak paham soalnya.”

Dan dengan kejutan, ia membalas dengan nada bicara yang seringan kapas.

“Jangan bunuh diri. Apapun alasannya.”

***

Malam itu pikiranku jadi seribu kali lipat lebih kompleks dari yang tadi. Menengok jam
dinding, sudah hampir jam empat dini hari. Tidak tahu karena apa dan sebenarnya kenapa,
perasaan ini selalu saja sama seperti hari-hari sebelumnya. Bahkan mungkin dari aku masih
kecil. Orang-orang tidak mengerti rasa sakit apa yang kuderita. Orang tuaku tidak tahu atau tidak
mau tahu, aku tidak tahu. Tapi salah satu dari itu adalah alasanku untuk meninggalkan rumah—
mencabut beban menahun mereka untuk kupikul sendiri. Tapi ternyata itu tidak selamanya
mudah, bahkan yang terlihat tanpa usaha sekalipun. Semua hari adalah penyiksaan. Membuatku
selalu tidak tahan.

Sadar akan lamunan, air mataku menitik. Seluruh isi dunia ini begitu mengganggu.
Terbesit keinginan seperti yang Meli larang tadi, namun itu selalu samar-samar. Kau tahu,
seseorang biasanya akan menerobos sesuatu yang terlalu dilarang. Kalau pun aku memutuskan
mati, apa masih akan ada kehidupan setelahnya? Jika ada, jangan mati lebih baik. Aku sudah
muak kalau harus hidup lagi. Aku lahir ke dunia ini juga bukan atas keinginanku, lantas untuk
apa kupergunakan ego? Katanya ini semua atas kehendak Tuhan, tapi, kenapa juga Tuhan repot-
repot menciptakan aku untuk menjadi tidak berguna begini? Maksudku, untuk apa? Apakah Ia
juga merasa kesepian, sama sepertiku?

Jika seseorang mendengar pikiran kotor ini, pasti aku akan dihakimi tanpa ampun. Aku
tahu itu. Itu yang menjadi sebab utamanya mulut ini jarang berbincang dengan manusia lain.
Caraku berpikir jika dipertemukan oleh cara berpikir kebanyakan orang maka akan
menghasilkan: pertengkaran, kerusuhan, tawuran, kepanikan, histeris dadakan, dan lain-lain.
Skalanya besar, seratus banding satu. Tentu mustahil bagiku untuk menang meski
mempertaruhkan nyawa sekalipun.

Namun tiba-tiba, seperti hilang tanpa makna. Aku terdiam memandangi lampu yang telah
padam. Tersenyum tanpa alasan dan merasa sangat mengantuk.

Temanku, malam. Sebentar lagi ini akan berakhir. Mari berhenti berpikir dan ayo
habiskan rasa sakit ini bersama-sama.

***

Anda mungkin juga menyukai