Anda di halaman 1dari 8

“DUNIA”

Andai dunia tahu. Setiap detik kehidupan, terdapat beribu kemalangan. Setiap
kemalangan menyimpan berjuta kesusahan. Hari demi hari telah berlalu. Kehidupan semakin
memburuk. Rakyat kecil semakin terpuruk. Setiap tahun, jumlah angka kematian meningkat
drastis. Semua yang ada di dunia hampir hilang ditelan korban jiwa.
Andai dunia tahu. Betapa sulit rakyat menjalani hidup. Bahkan, mendapat sebutir
nasi pun kadang tak bisa. Sayangnya, para manusia kaya itu egois. Tak ingin memberi sedikit
hartanya untuk rakyat kecil seperti kami. Kami yang telah membanting tulang demi kami dan
anak cucu kami, malah mendapat kesusahan. Manusia yang kaya raya itu egois, dengan
senang ia duduk santai. Menjadi boss dan mendapat uang. Namun, tak sedikitpun uang itu
disumbang atau digunakan dengan baik. Malah, uang itu dihamburkan untuk membeli
nark*ba dan barang lainnya yang tak berguna.
Andai dunia tahu. Betapa joroknya dunia ini. Dipenuhi oleh sampah dan barang
yang tak berguna. Kami, rakyat kecil selalu mencari tempat. Untuk membuang kotoran yang
tak berguna. Sisanya, kami mendaur ulang semuanya. Bandingkan dengan boss-boss yang
kaya itu. Mereka hanya melempar sampah kemana-mana. Dan yang lebih menyedihkan,
mereka sering menggunakan kantong plastik yang baru terurai 1000 tahun lagi.
Andai dunia tahu. Betapa kejam dunia ini. Setiap waktu, pasti ada yang menjadi
salah satu korban. Korban pembunuhan, penc*bulan, pemerk*saan, perampokan, korupsi,
dan banyak lagi yang kita tak tahu. Oh ya Tuhan, kami rakyat kecil sungguh memohon.
Tolong, indahkanlah dunia kami. Kami tak mau dunia ini hancur lebur diiriingi oleh keranda.
Kini, hanya tinggalah kenangan. Kabut asap selama 40 hari, memuat banyak
korban jiwa. Namun, keanehan terjadi. Korban jiwa adalah manusia baik hati yang kami
sayangi. Tetap saja itu hanya kenangan. Karena Ka’bah telah runtuh dan matahari sudah
terbit dari barat. Firasat kami pun mengatakan bahwa dunia tak akan indah, namun lebih baik.
Bahkan kami bermimpi seperti itu. Namun, kami tak mengerti tentang arti mimpi dan firasat
yang aneh ini. Mimpi tanpa gambar, bersuara merdu sekali. Al-Quran yang penuh dengan
rangkaian tulisan indah kini polos habis tak tersisa. Pertanda apa ini?
Kami, rakyat kecil tak tahu apa yang terjadi. Rakyat yang tidak berpendidikan
hanya bekerja yang kecil dan gajinya pun sedikit. Kami berdiskusi tentang dunia ini. Namun,
terdengar alunan trompet yang memekakkan telinga. Kami berteriak sembari berlari ke sana
kemari. Tanpa arah, kami tetap berlari. Kami ketakutan, dan samar-samar kami melihat
semua manusia kaya juga. Juga berlari ketakutan layaknya anak yang ketakutan dikejar
anjing.
Mungkinkah memang, firasat buruk kami sudah terjawab. Mungkin memang
kenangan bahwa dunia akan menjadi indah lagi. Jum’at ini, saat kami akan menjalankan
shalat Jum’at. Hal yang paling menyakitkan. Membayangkan itu, perut kami menjadi mulas.
Mungkinkah dunia akan menjadi kacau balau. Itu yang kami pikirkan.
Alunan trompet kembali terdengar. Seketika kami semua sudah tak sadar. Dan
aku melihat sesuatu, seperti di dalam mimpi. Melihat semua hancur berkeping-keping dan tak
ada yang tersisa. Bumi ini sudah hancur, dan tak ada yang hidup. Kami hanya tersenyum
kecil melihat dunia.
Dunia sudah lebih baik tanpa manusia. Biarlah bumi begitu, namun tak ada yang
dapat menyakitinya lagi. Serta tak lupa, kini kami tak mempunyai urusan dengan dunia lagi.
Kami memasuki sebuah tempat yang sungguh sangat indah. Membawa ketenangan dan
kedamaian yang abadi. Surga, inilah rumah kami kini. Tenang, abadi, tak ada yang
menganggu dan mengganjal kami lagi.
SAHABATMU

Di penghujung hari, aku berdiri di depan jendela kamarku yang sengaja kubuka
sembari memandang bintang yang tidak pernah lelah menghias malam. Saat ini pukul 11.35
pm tetapi mataku belum juga terpejam. Terlalu banyak masalah yang sedang memenuhi
pikiranku. Ada-saja masalah yang terjadi dalam hidupku ini. Padahal, aku ingin sehari saja
hidup tanpa masalah. Namun, aku hanyalah manusia biasa yang memiliki sekedar keinginan.
Aku hanya bisa berdoa dan Dialah yang menentukannya.
Di langit, aku melihat sebuah bintang yang cahaya sangat terang. Terangnya lebih
daripada bintang yang lainnya. Ingin sekali aku memetik bintang itu dan ku genggam erat
dengan tanganku. Namun, hal itu tidak mungkin terjadi. Menurutku, ada tiga alasan yang
membuatnya tidak mungkin. Pertama, bintang itu sangat jauh. Kedua, bintang lebih besar dari
tanganku walau dari kejauhan memang terlihat kecil. Ketiga, bintang itu pasti memiliki
panas. Oleh sebab itu, lebih baik aku hanya menikmatinya saja. Itu sudah lebih dari cukup.
Ku lihat jam di dinding kamarku yang terpajang indah di dinding yang ada di depan meja
belajarku. Ya, aku sengaja memasang benda itu di dinding depan meja belajar agar aku bisa
dengan mudah melihat waktu saat aku belajar. Dengan begitu, aku dapat mengontrol
belajarku.
Pukul 01.45 am, aku mulai menguap. Aku pun memutuskan untuk tidur. Sebelum
tidur, aku menutup jendela kamarku terlebih dahulu. Setelah itu, aku merebahkan badanku di
atas ranjang. Dan beberapa menit kemudian aku tebuai dalam mimpi.
Beberapa jam kemudian…
Di pagi buta, sekitar jam 03.00am, aku terbangun akibat handphoneku bordering
dengan nyaringnya dan mengganggu tidurku. Aku melihat handphoneku, orang yang
menelepon itu adalah Ela, sahabatku. Dia tidak mungkin telepon di pagi buta seperti ini kalau
bukan ada kepentingan mendesak. Aku memutuskan untuk mengangkat teleponku.
“Fin, ini benar-benar gawat…!” serunya di seberang sana. Dari suaranya, aku tahu dia sedang
menghadapi masalah besar.
“kenapa? kenapa?”
“fin…fin…” Dia tak bisa berbicara dengan baik karena nafasnya tersengal-
sengal.
“tarik nafas panjang dan hembuskan, tenangkan dirimu, bicara pelan-pelan.” Aku
memberinya saran atau lebih bisa disebut sebagai instruksi.
Aku mendengar dia mengikuti instruksiku. Menarik nafas panjang dan
menghembuskannya. Tenang sejenak, beberapa saat kemudian, dia mulai berbicara dengan
pelan-pelan, “laporan dan data penelitian ilmiah kita hilang.”
Deg. Kenapa bisa hilang? Yang benar saja, laporan itu telah aku dan Ela buat
dengan susah payah. Dan sekarang, semuanya hilang begitu saja. Aku sebenarnya marah
karena dia tak bisa menjaganya dengan baik. Akan tetapi, aku mencoba untuk menahan
amarahku dan bertanya, “kenapa bisa terjadi?”
“Aku ngga tahu, Fin. Semuanya ilang gitu aja..” jawabnya.
“ya udah, nanti kita cari atau kalau tidak kita buat lagi.”
“Fin, maafin aku, aku ngga bisa jaga sesuatu yang telah kita buat susah payah..”
ucapnya dengan penuh penyesalan.
“udah, ngga apa-apa.”

Aku berangkat ke sekolah dengan malas. Aku begitu berantakan. Kulit kusam,
mata berkantung hitam seperti panda. Ini terjadi karena aku kurang tidur. Aku hanya tidur
satu jam lebih 15 menit. Setelah Ela meneleponku, aku tidak bisa tidur lagi karena
memikirkan masalah penelitian ilmiah itu.
Di koridor kelas, aku bertemu dengan Ela. Wajahnya tidak lebih baik dari aku.
Dia juga sama berantakannya denganku. Saat bertemu denganku, dia kembali menunjukan
penyesalanannya. Aku lihat dia benar-benar menyesal telah begitu ceroboh. Sebenarnya, ini
bukan murni kesalahannya. Ini juga salahku, kesalahan kami bersama. Kami tidak menjaga
dengan baik sesuatu yang sangat penting ini.
Aku mencoba menenangkannya dan menjelaskan kalau semua ini bukan murni
salahnya. Perlahan-lahan, dia mulai membaik dan tenang. Setelah benar-benar tenang, aku
mengajaknya pergi ke kelas bersama. Di tengah perjalanan menuju kelas, aku berpapasan
dengan Rama. Rama, seseorang yang minggu kemarin menyatakan cintanya padaku tetapi
aku menolaknya. Aku memiliki segudang alasan kenapa aku menolaknya. Akan tetapi, yang
paling utama adalah aku tidak memiliki perasaan lebih padanya selain sebagai teman satu
sekolah.
Sikap Rama begitu dingin padaku. Mungkin, dia tidak terima karena aku
menolaknya. Selama ini dia memang terkenal sebagai Prince Charming yang tidak pernah
ditolak cewek. Jadi, kalau dia bersikap dingin padaku, ini tidak terlalu aneh. Akan tetapi, ada
sesuatu yang menurutku sangat aneh. Rama tersenyum dengan manis tapi terkesan tidak
ikhlas pada gadis yang disampingku, Ela, dan Ela membalasnya dengan senyum manis yang
ceria. Biasanya Rama tidak pernah bersikap seperti ini pada Ela. Melihat saja kadang ogah-
ogahan.
“Pagi, Ela.” Ucap Rama, dia bahkan menyapa Ela.
“Pagi juga, Rama.” Ela membalas sapaan Rama.
Aku menyikut lengan Ela dan menanyakan perihal keanehan Rama. Aku
menanyakannya setelah Rama pergi tentunya. Mana mungkin aku berani bertanya tentang
Rama jika Rama ada di depanku. Dia menjawab pertanyaanku dengan ketus “memang salah
dia menyapaku? Aneh?”. Setelah menjawab pertanyaanku dengan nada yang tidak
mengenakan itu, Ela langsung pergi meninggalkanku. Dia benar-benar aneh. Tadi raut
wajahnya penuh rasa penyesalan tetapi sekarang dia lebih terlihat marah dan sebal. Dia marah
padaku?
Di kelas, sikap Ela bersikap cuek padaku. Berbeda 180o dari tadi pagi. Berkali-
kali aku berusaha membuatnya tersenyum dan mau berbicara padaku. Namun, hasilnya nihil.
Aku lelah untuk membujuknya lagi. Besok aku akan mencobanya.

Siang harinya, sepulang sekolah, aku menemui Bu Endang, pembina


Ekstrakurikuler PIR. Aku datang tanpa Ela. Dia langsung menghilang sesaat setelah bel
panjang berbunyi. Aku datang ketempat itu untuk meminta perpanjangan waktu.
Perpanjangan waktu untuk menyelesaikan menyelesaikan laporan dan data penelitian.
Seharusnya, hari ini sudah dikumpulkan.
“tunggu disini, sebentar lagi Bu Endang akan datang.” Ucap salah seorang guru
yang juga mengajar di kelasku, namanya Bu Farida. Aku hanya mengangguk sambil
tersenyum.
“Ya, Finda…” Orang yang aku tunggu-tunggu telah datang dan menyapaku.

Aku pun menjelaskan maksud kedatanganku menemui Bu Endang. Bu Endang


mendengarkanku dengan baik. Tak lama kemudian, Bu Endang setuju untuk memberi
tenggang waktu. Akan tetapi, hanya dua hari yang beliau berikan untuk kelompokku. Aku
tidak akan menyia-nyiakan kesempatan kedua yang telah diberikan oleh Bu Endang.
“terimakasih, Bu. Sekali lagi terima kasih…” Ucapku pada Bu Endang. Bu Endang
tersenyum dengan lembut.

Berulang kali aku menelpon Ela. Akan tetapi, dia tidak mengangkatnya. Dia
sungguh aneh. Aku harus ke rumahnya untuk mengerjakan tugas bersama. Aku pun ke rumah
sahabatku itu dengan mengendarai sepeda kesayanganku yang berwarna hijau.
Ada pemandangan yang cukup menarik saat aku tiba di dekat rumah Ela. Aku
melihat Ela keluar dari sebuah mobil mobil mewah berwarna merah metallic, Ferrari F70. Di
sekolahku, Orang yang memiliki mobil mewah seharga kurang lebih 10 Miliar itu hanyalah
Rama. Ya, mobil itu memang milik Rama. Aku semakin yakin saat aku melihat Rama keluar
dari mobil itu dan berbicara pada Ela.
Bagaimana mereka bisa sedekat ini? Sungguh aneh dan cukup menarik
perhatianku. Cukup menarik juga untuk diselidiki karena pasti ada ‘sesuatu’ dibalik semua
ini. Akan tetapi, aku tidak mungkin menyelidikinya, tidak mungkin. Ingat, Ela itu sahabatku.
Kalaupun memang benar ada ‘sesuatu’, nanti juga akan terbuka dengan sendirinya tanpa
perlu diselidiki.
Setelah Rama dan mobilnya itu pergi, aku mendekati Ela. Aku berpura-pura tidak
melihat dia datang bersama Rama. Aku tidak mempedulikannya.
“hi, La. Kamu kok ngga angkat teleponku?” tanyaku pada Ela.
“Emm aku..ngga bawa handphone” jawabnya, terdengar kaku.
“ada kabar bagus buat kita.”
“apa?”

Aku mencerritakan kabar bahagia tersebut, kesempatan kedua dari Bu Endang.


Dia juga terlihat senang dan mengajakku untuk masuk ke dalam rumahnya. Setelah sampai di
ruang tamu, dia mempersilahkanku duduk. Sementara dia mengambil minuman untukku, aku
mempersiapkan beberapa bahan yang diperlukan.
“ini, Fin, minumnya..”
“makasih, La”

Aku langsung menengguk jus orange yang dibuat oleh Ela. Tenggorokanku yang
sangat kering terasa sejuk saat air jus orange melewati tenggorokanku. Sedari tadi aku
memang haus. Maklumlah, aku mengayuh sepeda dari rumahku sampai ke rumah Ela yang
jaraknya tergolong jauh.
“kita mulai darimana ya?” tanyaku, Ela hanya diam. Dia malah terlihat melamun.
Aku tidak bisa membaca pikirannya kali ini. Belakangan ini dia memang bersikap aneh.
Ela..halo halo..” aku mengibas-ibaskan tanganku di depan wajahnya untuk
menyadarkannya dari aktivitas melamunnya.
“eh..ya, Fin..aa apa..?” tanya Ela padaku dengan gugup. Dia seperti orang yang
baru saja tersadar dari mimpi buruknya.
“La, apa kamu punya sesuatu yang disembunyikan dariku?” entah mengapa aku
bisa bertanya seperti itu pada Ela.
“tidak.” Jawabnya singkat dan terlihat tidak wajar. Dia memang jarang berbicara
singkat padaku. Akan tetapi, aku berusaha untuk tidak mempermasalahkannya.
“emm baiklah..ayo kita lanjutkan.”
“baiklah, mari kita lanjutkan.”
Aku dan Ela berkolaborasi untuk melanjutkan penelitiannya bersama-sama.
Menyusun laporan dan berbagai macam data yang telah hilang.

Hari ini adalah hari dimana aku dan Ela serta kelompok lainnya
mempresentasikan hasil penelitian. Jantungku berdegup lebih kencang daripada biasanya.
Aku merasa laporan dan data yang telah kelompokku buat tidak sebaik data pertama yang
telah hilang. Banyak sekali kekurangan karena waktu yang kami miliki begitu terbatas.
Hanya dua hari, sedangkan data yang hilang itu membutuhkan waktu lebih dari satu bulan.
Kelompok yang mendapatkan kesempatan pertama untuk presentasi adalah
kelompok Rama. Rama maju kedepan, dia terliat begitu percaya diri saat memasukan
flashdisknya ke dalam laptop milik sekolah lalu membuka slide power point milik
kelompoknya, tentu saja.
Namun, aku melihat ada keanehan pada slide yang mereka tampilkan. Isinya neh.
Aku sangat mengenali data yang mereka presentasikan. Data yang mereka tampilkan sama
persis dengan milik kelompokku yang hilang. Tentu saja, aku sangat tidak terima. Ternyata,
Rama yang telah mencuri data kelompokku.
Ku kepalkan tanganku, geram. Aku ingin sekali melampiaskan amarahku pada
orang itu. Akan tetapi, aku tidak mungkin melakukannya. Aku harus menahan amarahku.
Aku terus menatap Rama tajam saat dia mempresentasikan data yang bukan miliknya itu.
Saat presentasinya berakhir, semua orang yang ada di ruangan itu memberi tepuk tangan yang
meriah. Rama tersenyum dengan bangganya, begitu juga dengan teman sekelompoknya. Dua
orang itu sama saja.
Kini, tiba saatnya aku dan Ela mempresentasikan hasil kerja kami. Aku harus
yakin presentasi ini berjalan dengan lancar walaupun temanya sama dengan data yang Rama
dan temannya sampaikan. Selama presentasi berlangsung semua orang yang ada di
hadapanku menatap tajam seolah mempertanyakan kok sama? Dalam hal ini mereka kira aku
yang salah. Padahal, seharusnya bukan aku yang salah tapi Rama. Meski begitu, presentasi
tetap berjalan dengan lancar. Walaupun tidak ada tepuk tangan meriah saat aku dan Ela
mengakhiri presentasi kami.
Semua kelompok yang ada di ruang multimedia sudah menyelesaikan presentasi
mereka. Suasana ruang multimedia menjadi sepi, hanya ada aku dan Rama. Rama masih
sibuk memasukan peralatannya ke dalam tas. Disaat itulah aku datang menghampirinya.
“ehm…pakai cara apa tuh ngambil datanya?” tanyaku pada Rama. Rama
mendongakkan kepalanya untuk melihatku. Posisinya sekarang duduk sedangkan aku berdiri.
“cara yang tidak pernah terlintas sedikitpun diotakmu.”

Aku memutar otakku tapi aku tak paham dengan jawabannya. “maksudmu?”
“tanyakan saja pada sahabatmu.” Jawabnya lagi. Dia menggendong tasnya, lalu berdiri
sebelum akhirnya dia pergi. “oh ya, satu lagi. Aku ngga nyuri data kamu, aku cuma minta.”
Tambahnya sebelum pergi.

Keluar dari ruang multimedia, aku langsung menemui Ela di kelasnya. Dan aku
langsung menanyakan perihal data penelitian. Aku bertanya tanpa berpikir panjang karena
terbawa emosi.
“kamu ya yang ngasih data itu ke Rama?” tanyaku tanpa basa-basi. Ela tidak
menjawab pertanyaanku. “data itu ngga hilang ‘kan?”
“kamu nuduh aku?”
“aku tanya bukan nuduh. Atau mungkin memang kamu yang merasa tertuduh.”

Ela mengeluarkan beberapa kalimat yang berisi pembelaannya. Entah kenapa dia
bersikeras untuk tidak mengakuinya. Padahal, aku sudah tahu kalau memang dia berbohong.
Aku bukan begitu saja mempercayai orang lain daripada sahabatku. Akan tetapi, bahasa
tubuh Ela memang mengatakan begitu. Dia berbohong.
“baiklah kalau kamu ngga mau mengakuinya. Tapi, aku udah tahu kok. Aku
hanya ingin kamu jujur, jika kamu masih menganggapku sahabatmu.” aku pasrah.
“iya, memang aku melakukannya.” Ucap Ela setelah lama membisu.
“tapi, kenapa?”
“an interesting offer.”
“maksudnya?”
“kamu tahu, aku sudah lama menyukai Rama tapi Rama menyukaimu.
Sebenarnya, bukan hanya Rama. Orang yang menyukaimu sebelumnya juga begitu. Aku
menyukai mereka tapi mereka menyukaimu. Aku lelah. Dan hari itu ada sebuah tawaran
menarik dan bodoh dari Rama. Dia mau menuruti apa mauku asalkan aku bersedia
memberikan data-data itu. Aku menerimanya begitu saja, seperti terhipnotis.” Jelas Ela
panjang lebar.
“aku lega, ternyata kamu masih menganggapku sahabatmu. Kamu sudah berkata
ujur.” Ucapku lantas memeluknya, pelukan sahabat.
“maafkan aku, La. Aku sudah mengecewakanmu. Menghapus mimpimu untuk
ikut lomba PIR tahun ini.”
“sudahlah. Ada data itupun belum tentu lolos.”
Hari pengumuman kelompok pemenang yang akan mengikuti lomba PIR
mewakili sekolah. Semua menunggu dengan jantung yang berdegub lebih cepat daripada
biasanya. Mereka semua ingin terpilih tetapi hanya satu pasangan yang berhak ikut.
“saya umumkan kelompok yang mewakili sekolah kita adalah..” Bu Endang sengaja
menggantungkan kalimatnya. “adalah kelompok Finda dan Ela.” Lanjut Bu Endang.
Aku tidak percaya kalau namaku disebut. Begitu juga dengan Ela.
“selamat untuk Finda dan Ela. Untuk yang lain jangan kecewa, masih banyak
lomba PIR yang lain..”
Semua orang yang ada di ruangan tersebut memberi selamat kepadaku dan Ela.
Akan tetapi, itu tidak termasuk Rama. Rama pergi sesaat setelah pengumuman. Dia terlihat
begitu kecewa. Ya, dia sangat menginginkan kesempatan ini. Akan tetapi, dia telah berbuat
curang. Mungkin, itu juga buah dari kecurangannnya. Curang belum tentu menang.

Aku berbaring di atas rerumputan taman belakang bersama Ela. Malam ini Ela
menginap di rumahku. Kami berdua tengah menatap bintang-bintang yang sangat indah
menghias langit malam. Beberapa hari terakhir kami mendapat banyak masalah dan saat ini
kami sedang merenungi untuk diambil hikmahnya.
“kau tahu kenapa kita menang?” tanyaku pada Ela yang tampak tersenyum
menatap langit. Dia sudah kembali menjadi sahabatku yang seperti biasanya.
“karena kita memang ditakdirkan menang.”
“selain itu, kita memang sudah berusaha keras dengan jerih payah kita sendiri.”
“benar.” Dia membenarkan ucapanku. “sekali lagi, aku minta maaf atas
kebodohanku.”
“sudahlah, yang penting jangan diulangi dan kita ambil hikmahnya.”

Ela tesenyum padaku , aku juga tersenyum padanya. Suasana mulai hening dan
kami terlarut dalam suasana malam.
“kamu tahu tidak, tenyata Rama ceroboh sekali. Masa kata Bu Endang, dia lupa
ganti nama kita di data yang dia kumpulin.” Kataku, membuka pembicaraan lagi.
“yang benar?”
“iya, beneran. Maka dari itu Bu Endang curiga, dan kecurigaan terbukti. Ya..
Rama ngaku kalau data itu bukan milik kelompoknya.”
“bodoh sekali dia, sudah susah payah membujukku untuk memberi data itu,
eh..dianya ceroboh gitu..”
“buah dari kecurangan.”
“benar.”

Langit malam menjadi saksi kebahagiaanku. Bintang di langit tersenyum melihat


aku dan sahabatku saling menyatu setelah sebuah masalah menerjang kami. Setelah masalah
itu selesai, aku merasa kami memang sudah ditakdirkan untuk bersahabat. Walaupun
diterjang masalah, kami tetap menyatu. Dan, setelah menyelesaikan masalah, kami jadi
semakin kuat.

Anda mungkin juga menyukai