Anda di halaman 1dari 4

Prolog

Bau menyengat yang menusuk hidung membangunkanku. Ruangan ini gelap, dengan bau
yang sangat busuk. Dengan susah payah, sambil meregangkan badan yang kaku aku berusaha
mengingat-ingat memori terakhir yang kupunya sebelum berakhir di ruangan yang menyesakkan
ini. Seingatku, terakhir kali aku masih berada di depan sekolah menunggu jemputanku, Mang
Soni, datang. Sisanya aku sama sekali tidak ingat. Di saat-saat seperti ini aku selalu membenci
kemampuanku yang lemah dalam mengingat sesuatu.

Pada selang-selang waktu yang singkat itu, tiba-tiba cahaya menyeruak masuk ke dalam
ruangan, membuat mataku kembali menyesuaikan pandangan yang sudah terbiasa dengan
kegelapan. Seorang wanita berusia sekitar awal 40-an datang membawa tawanan–sejauh ini
hanya perkiraanku. Tetapi sialnya, karena cahaya yang tiba-tiba masuk, aku tidak dapat melihat
dengan jelas wajah wanita serta tawanan baru yang dibawanya itu. Tiba-tiba saja, duniaku
kembali gelap. Sial. Benar-benar sial. Mungkin ini adalah hari tersialku selama 16 tahun aku
hidup di dunia ini. 

Mengapa aku tidak bisa mengingat kejadian sebelum ini? Rasanya seperti memoriku
pada bagian itu terhapus. Dipikir-pikir selama ratusan sampai ribuan kali pun aku tidak bisa
menemukan alasan yang tepat mengapa aku berakhir di ruangan bau dan lembab ini dengan
kondisi yang sepertinya mengenaskan. Jujur saja, aku memang bukan tipe anak baik-baik yang
tidak punya musuh, tetapi tidak sampai di tingkat seseorang ingin membunuh dan menculikku.
Atau itu hanya pikiranku saja? Bagaimana kalau sebenarnya ada banyak orang yang
membenciku, tetapi aku tidak sadar karena aku tidak peka dan tidak peduli dengan lingkungan
sekitarku? Ah sudahlah, kebanyakan berpikir aneh-aneh semakin membuat kepalaku pusing.
Sebaiknya aku tidak menyia-nyiakan oksigen yang terbatas ini untuk berpikir keras.

Saat aku terlalu terhanyut dalam pikiranku dan mengenang beberapa memori tidak
menyenangkan, tiba-tiba saja sebuah tangan kekar yang sepucat salju mencengkeram seragam
sekolahku. "Aaaak..." Sebelum teriakanku menjadi lebih keras, tangan pucat itu menutup
mulutku. Samar-samar aku dapat melihat gesture tubuhnya yang menyuruhku untuk diam.
Baiklah, untuk saat ini tidak ada salahnya saling bekerja sama sesama tawanan. Apabila ada
orang yang dengan ganas menarik-narik seragam sekolahku yang selalu rapi ini dalam kondisi
normal, sudah pasti aku akan dengan ganas mencabik-cabik balik lengan pelaku tersebut. Tapi,
dalam kondisi yang mengenaskan ini, aku memilih untuk tenang dan menghemat energiku
sebanyak mungkin.

Aku tidak tau apakah ini merupakan sebuah keberuntungan atau tidak, tetapi aku sangat
bersyukur rekan tawananku wangi dan tidak berbau apek keringat atau bau-bau tidak
mengenakkan lainnya. Wangi badannya lembut dan tidak menusuk hidung. Jangan anggap aku
mesum ya! Aku berpikir demikian karena sekarang kami duduk berdekatan, saling bersandar
punggung lebih tepatnya. Baiklah, untuk saat ini aku percaya padanya, sekitar 40 %. Tapi, satu
hal yang kusayangkan, dia seperti batu. Maksudku, dia tidak mengeluarkan suara dari sejak
memasuki ruangan. 

"Ehm" Aku berdeham, sebagai kode untuk memulai percakapan. "Lo tau ga kita ada
dimana sekarang? Soalnya tadi sepertinya lo masuk ruangan tanpa penutup mata, jadi mungkin
lo punya clue tentang tempat kita berada sekarang?" tanyaku dengan pelan. Hening. "Hello
there! Are you not speaking Indonesian? Do you speak English?" Kembali hening. Shit! Ini
orang bisu atau apa sih? Aku bisa-bisa mati kebosanan -- dan mati sesak nafas, bila begini terus.
Tuhan, tolonglah aku ingin keluar dari sini!!!

Akhirnya karena pertanyaanku tidak dijawab oleh oknum tawanan batu sebelahku, aku
mengoceh dan bersenandung pelan sampai akhirnya aku ketiduran. Dan, setelah menunggu
cukup lama, tiba-tiba saja muncul cahaya keemasan yang berasal dari arah rekan tawananku –
aku tidak tahu ingin menyebutnya apa. Dan, betapa terkejutnya aku melihat wajah familiar yang
selalu kurindukan itu...
1

Pelangi di Musim Kemarau

“Musim apa yang paling kau suka?” Jika ada seseorang yang mengajukan pertanyaan ini
padaku, aku akan menjawab dengan yakin dan lantang, “Musim kemarau.” Aku tahu mungkin
bagi sebagian besar orang, musim kemarau merupakan musim yang tidak menyenangkan. Sinar
matahari yang terik, cuaca yang panas membuat make up luntur, keringat bercucuran yang
menyebabkan bau-bau tidak enak pada badan, dan banyak lagi. Tapi, tidak denganku. Aku
sangat menyukai musim kemarau, karena pada musim ini aku dapat melihat pelangi. Pelangi
yang berwarna-warni dan indah. Konyol bukan? Ibuku selalu tertawa setiap mendengar
jawabanku itu. Tetapi hal itu benar adanya.

Pelangi musim kemarau. Begitu aku menyebutnya. Sekedar informasi, pelangi yang
kumaksud disini bukan pelangi yang muncul karena pembiasan cahaya. “Pelangi” ini adalah
sosok orang. Aku menyebutnya pelangi sebagai metafora, lagi pula sebutan itu sangat cocok
untuknya. “Anne? Annelyse?” Tiba-tiba saja aku terbangun dari lamunanku karena mendengar
suara bass Ayaka, teman sebangkuku. “Ya? Kenapa?” Aku menjawab acuh. “Lo dengerin
omongan gue ga sih? Daritadi bengong aja. Ngelamunin apaan?” Ayaka kembali bertanya
dengan suara bass khasnya. “Ah, itu, bukan apa-apa kok. Emangnya lo ngomong apa tadi?”
Jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari handphone.

“Anne lo itu kebiasaan deh, kalo orang ngomong tu diperhatiin, jangan malah lihat yang
lain-lain. Gue udah bertahun-tahun kenal sama lo ga bakal masalah. Tapi, kalo orang lain yang lo
perlakuin kayak gini, bakal jadi masalah.” Oke, kalimatnya tidak salah sama sekali, tapi juga
tidak benar. Aku memang terlihat seperti tidak mendengarkan perkataan orang-orang yang
berbicara kepadaku, tetapi sebenarnya tidak demikian. Aku mendengar tiap perkataan yang
dikatatakan Ayaka, aku hanya tidak menatapnya, lebih tepatnya aku tidak menatap matanya.

”Hmm, ya yaa. Sorry, Ka, udah kebiasaan.” Sahutku, kali ini sambil menatap matanya,
agar dia tidak sensi lagi padaku. “Awas aja ya, kalo sampe gue liat lo kayak gitu lagi!” Balasnya
galak. “Iyaaaaa Ayakaaa.” Aku menjawab sambil mencubit lengannya dengan gemas. Baru saja
dia ingin membalas mencubit pipiku, bel sekolah berbunyi, dan bersamaan dengan itu wali kelas
kami, Bu Nuri memasuki ruangan kelas.

Anda mungkin juga menyukai