Anda di halaman 1dari 13

Hai semuanya😁

Aku Eka Nur Rahmadani. Hobi memancing,


membaca novel dengan genre Thliller dan
juga romance, kadang-kadang novel horor
menjadi pilihan untuk menemani malam
mingguku.

Terima kasih sudah klik cerita ini. Hayuk


dibaca!😽

Kritik dan saran sangat aku nantikan :3


Dahulu kala, seorang wanita berparas cantik
tengah berjalan mengitari pasar—mencari uang
pecahan lima ribunya yang terjatuh. Terdengar
kecil memang, namun mampu mengisi perutnya
yang sudah meraung-raung minta diberi makan.
Itu pun jika hari ini keberuntungan berpihak
padanya.

Wanita cantik itu menghela napas panjang, kala


ia dan bayi dalam kandungnya hanya bisa
meminum air.

Itulah kisah ibuku, dia indah dan kuat. Namun


tak sekuat ketika ia melahirkan aku ke dunia.
Lahirnya diriku membawa ibu pada kematian,
aku sebuah kesalahan?

"Dhara!" Aku menoleh ke arah pria bernama


langit yang tengah berlari ke arahku dengan
wajah sumringah.
Tak begitu kutanggapi dirinya, lagian hanya
buang-buang waktu saja! Ku berjalan lurus
kedepan, membiarkan pria itu mengikuti dari
belakang.

"Pantas saja hari ini cuacanya mendung,


ternyata mataharinya ada di sini," ucap Langit
yang sudah dapat mengimbangi langkahku.

Diam, aku masih diam tak menanggapi


gombalan sok manisnya itu. Lama-lama aku
jengah, mungkin satu tendangan dibokongnya
mampu menghempasnya jauh ke Samudra
Antarktika. Ayolah, aku hanya ingin hidup damai.
Enyahlah kau Langit!

Sialan! Pria ini masih saja mengikutiku, "Langit,


apa aku boleh meminta sesuatu darimu?"
tanyaku datar.

"Apa itu? Dengan senang hati aku akan


mengabulkannya."

"Pergilah! Jangan dekat-dekat denganku. Aku


memohon untuk itu,"

"Tidak mau!" sahutnya cepat.

Percuma saja bicara dengan manusia berkepala


batu, lebih baik aku abaikan saja dia. Nanti juga
dirinya akan bosan, ya kan?

🍁🍁🍁

Akhirnya, Langit mendung itu pergi dengan


alasan harus mengerjakan beberapa tugas.
Pergilah yang jauh Langit mendung! Ehm, terlalu
terik tidak baik. Mendung juga tidak buruk. Aih,
enyahlah kau pikiran konyol.

"Totalnya 63.500 kak. Ada tambahan? Coklat


chucky dor-nya kak, beli dua gratis satu. Promo
akhir tahun."

Begitulah pekerjaanku, menjadi penjaga kasir.


Sangat beruntung aku bisa memiliki pekerjaan
ini, tamatan SMA tidak buruk. Bisa menutupi
keperluan sehari-hari saja sudah lebih dari
cukup. Tidak ada nikmat yang sedikit, jika rasa
syukur itu besar.

Pintu kaca itu terbuka, pertanda ada pembeli.


Aku dengan sigap menarik sudut bibirku —
membentuk lengkungan yang menurutku cukup
baik untuk menyambut pembeli. Bahuku
merosot kebawah ketika kudapati pembeli itu
adalah Langit. Si pengganggu, mirip hama.
Sebaiknya dia mencari gulma agar tak
mengganggu waktuku lagi. Hama dan gulma
terdengar perpaduan yang sempurna.

"Hai Dhara yang cantik," sapa Langit.


Meletakkan permen cupa cupi ke atas meja kasir.
Lihat? Menjengkelkan, bukan? Tapi kutahan
diriku untuk tidak marah, karna bagaimana pun
dia adalah pembeli. Aku harus bersikap
profesional.

"Totalnya 1.500 kak," selesai sudah transaksi


besar itu. Tapi kenapa dirinya masih berdiri di
hadapanku?

"Maaf, ada tambahan?"

Pria itu menggeleng sambil tersenyum.


Sungguh mengerikan.

"Aku akan datang lagi saat jam kerjamu usai."


Langit melenggang pergi dengan melambaikan
tangan, tentu senyum itu tak pernah luput
darinya.

Waktu berputar begitu cepat. Tanpa aku sadari,


sudah satu tahun Langit mengisi hari-hariku
yang datar. Gombalan dan tingkah konyol yang
dulunya terasa sangat mengganggu, kini malah
terasa bagai pelangi setelah hujan.

"Bagaimana dengan pekerjaanmu di kantor


megah itu?" tanyaku pada Langit. Kami cukup
akrab sekarang.

"Seperti biasa, cukup memusingkan karna


beberapa berkas yang menumpuk."

"Hmm, semangat!" ucapan itu keluar begitu saja,


aku terlalu kaku untuk mengucapkan banyak
kata.

Makanan telah tersaji di meja. Bakso yang


mengepulkan asap, menggugah selera bagi
siapa saja yang melihatnya.

"Terima kasih atas traktirannya, lain kali aku akan


mentraktirmu juga," ucapku.
"Aku tunggu traktirannya. Ngomong-ngomong,
kenapa kau masih saja kaku jika berbicara
denganku? Aih, maafkan aku. Kau mau bicara
denganku saja sudah sangat bagus."

Apa aku sekaku itu? Aku akan berusaha agar


membuatnya merasa lebih nyaman. Tunggu
dulu! Ada apa denganku? Kenapa aku seperti
tidak mengenal diri sendiri.

"Aku jadi naif sekarang," gumamku tanpa sadar.

Langit menatapku dengan alis menjungkit.


Astaga! Kututup mulutku dengan kedua tangan.
Tingkah ku sukses menambah lipatan di dahi
Langit, dia mengernyit heran? Aku tertangkap
basah sekarang. Memalukan. Dirinya masih
memberi tatapan bertanya, apa yang harus aku
lakukan? Bilang padanya kalau aku mulai
merasakan debaran aneh yang berhasil
membuat jantungku berpacu lebih cepat? Tidak!
Aku tidak mau. Itu sangat konyol.
"Apa yang naif, Dhar?"

Pandanganku tak tentu arah, aku gugup


sekarang! Berbohong untuk menutupi sebuah
perasaan tidak buruk, bukan?

"Aku naif, pernah menganggap dirimu hama


dan langit mendung. Maaf." Aku memainkan
jariku untuk menutupi rasa gugupku. Apa yang
aku katakan bukan sebuah kebohongan, aku
hanya menutupi perasaan yang ada. Untuk
sekarang.

Respon baik aku dapatkan, anggukan tanda


mengerti, "Tak apa, sekarang kita sudah lebih
dekat. Apa kau sudah memiliki kekasih?"

Deg!

Seperti ada yang menggertak jantungku, yang


lagi-lagi membuatnya berdetak lebih dan lebih
cepat lagi.

"Itu... Aku tidak-bukan... A-aku tidak memiliki


kekasih." Aku mengutuk diriku sendiri yang
bertingkah seperti orang bodoh. Itu pertanyaan
yang mudah, tapi kenapa sulit sekali untuk
menjawabnya!

Dia diam. Hanya sebentar. Karna setelahnya dia


mengeluarkan kalimat yang berhasil
membuatku seperti tersengat listrik.

"Kalau aku mendaftar jadi kekasihmu, boleh?"

"Tidak!" jawabku spontan. "M-maaf." lanjutku.


Aku menunduk merasa bersalah. Aku tahu
kalian kesal dengan pembohong ulung
sepertiku.

"Tak apa," Dirinya sedikit memajukan badan,


dengan tangan telulur ke puncak kepalaku.
Memberikan tepukan lembut di awal, lalu
setelahnya elusan hangat yang membuatku
nyaman.

Langit tersenyum, tapi senyuman kali ini


berbeda. Bukan senyuman yang biasanya aku
dapatkan. Aku sadar diri untuk itu, aku yang
membuat senyuman itu berubah arti. Di sini aku
penjahatnya. Pembohong adalah penjahat kan?

"Kau tidak marah?"

"Tentu tidak, aku akan mencari gulma untuk


hama." Langit tertawa kecil.

Aku bodoh. Merasa sakit mendengar


penuturannya, yang aku tahu itu artinya adalah
menyerah. Dia akan mencari bahagianya. Dan
itu bukan lagi aku.

🍁🍁🍁
Semenjak kejadian minggu lalu, di mana ia
mengutarakan perasaannya, mengajakku masuk
dalam sebuah hubungan yang melibatkan cinta.
Yang sayangnya aku tolak, karna sebuah
ketakutan di masa lalu. Laki-laki yang
seharusnya kusebut ayah tidak pernah hadir
dalam hidupku. Orang tua angkatku
mengatakan, ibu kandungku adalah korban dari
laki-laki bejat yang tengah mabuk. Setelah
membuatku ada di dunia, dia malah pergi entah
ke mana.

Orang tua angkat yang selama ini mengasuhku


dari bayi. Kini keduanya telah meninggal.
Membuatku merasa, semua yang aku cintai akan
pergi. Termasuk ibuku. Jadi sangat berat bagiku
untuk memulai lembaran penuh bahagia.

Ia tak lagi terlihat, tak lagi ada hama yang aku


rindukan. Hama yang aku anggap pengganggu
dan perenggut waktu kini lenyap tanpa kabar.
Aku sudah terbiasa kehilangan, dan itu salahku.
Jadi aku terima semuanya dengan lapang dada.

“ Tidak semua cerita cinta berakhir bahagia.


Kadang mereka lah yang berakhir.”

Terima kasih sudah membaca cerita ini💕

Anda mungkin juga menyukai