Anda di halaman 1dari 12

MIMIPIKU BERAKHIR DI TERAMAM SENJA KALA ITU

Karya : Rhevana Rahma A

Aku tengah berjalan sendirian ditengah temaram senja. Awan jingga mulai menghitam berganti dengan
gelita. Angin bertiup ringan membawa gumpalan awan dari arah timur. Semilir angin meniup daun-daun
kering hingga berhamburan ke angkasa. Meski senja ini temaram, namun senyum riangku masih terbit
senang. Aku tertegun melihat keindahan senja ini. Pikirku melarut dalam cakrawala. Lamunan seketika
buyar ketika ada seseorang menepuk bahuku pelan. Aku menoleh kebelakang, memastikan panggilan
tersebut.

"Mbak, ponselnya dari tadi berdering."

Aku dibuat terkesiap, segera aku membuka resleting tas slempangku dan mengeceknya. Aku menyengir
lebar, ternyata benar ada panggilan masuk hingga tujuh kali dari Ayah. Seketika hatiku merasa sesak,
sulit bernafas, seakan tenggorokan ku tercekat, nafasku jadi naik turun tak teratur. Apa alasan hingga
Ayah terus mencoba menelfonku sebanyak ini?

Sebelumnya aku berterima kasih kepada pria itu. Melihat bayangnya yang kian menghilang. Mataku kian
beralih menatap sebuah benda berbentuk pipih, mencoba menghubungi nomor Ayah. Berselang detik
akhirnya Ayah menerima panggilan dariku. Aku bisa tersenyum lega untuk saat ini.

Aku sebelumnya menarik nafas panjang, menetralkan dadaku yang naik turun. "Halo ayah ada apa,
semua baik-baik saja kan?" Tanyaku disela sambungan telfon. Aku berharap semoga ayah akan
mengatakan kabar baik yang sangat ingin aku dengar. Namun ayah masih bergeming, pikirku sudah
melayang entah kemana, segala pikiran negatif terus berhambur dibenaku.

"Maaf ya nak, kamu harus ayah titipkan ke teman ayah." Dahiku berkerut, kedua alisku saling bertaut,
seketika otakku tak bisa mencerna setiap kata dari Ayah. "Maksud Ayah?" Aku kembali bersuara
bingung.

"Nanti ayah kirim alamatnya oke?" Sambungan terputus secara sepihak. Aku masih takbisa menerima
semua ini, nomor ayah masih selalu aku dial, namun semua nihil, omong kosong, percuma hingga
seratus kali pun ayah juga tak bersedia mengangkatnya.

Tak sadar air mataku hampir menetes, detik ini aku merasa aku manusia paling cengeng didunia. Tak apa
kan menangis jika berat daripada terus berpura-pura tersenyum namun semua bohong apa gunanya.

Aku sangat kesal menendang kerikil kesembarang arah, menginjak-injak pasir hingga sepatuku menjadi
kotor, tak layak sudah disebut sepatu. Bagiku itu hal cukup untuk melampiaskan rasa kecewaku..
Aku menatap langit senja yang sudah hitam pekat. Keindahan senja yang sementara dengan cepat
berganti gelita, mengingatkanku bahwa hidup ini adalah proses. Ketika senja mulai pudar, keindahannya
akan hilang dari pandangan, saat itu aku sadar bahwa hidup ini tak selalu cerah berwarna, akan ada
saatnya warna abu-abu dan gelap yang menyapa. Disaat itu senja mengajarkan bahwa kita harus benar
membulatkan tekad, mampu berdiri dengan siap, meski cahaya senja menyelinap dalam gelap. Senja
membimbing kita bahwa dalam hidup kita pasti merasakan yang namanya pahit, tetap bertahan mesti
gelap yang teramat pekat.

Dengan masalah ini aku bisa belajar bahwa hidup itu harus merasakan asam garam kehidupan, tak bisa
lepas dari suka dan duka. Seperti tengah dilanda dilema yang pedih. Aku selalu menguatkan jika detik ini
aku berada dalam dekapan alam mimpi, tak risau jika bangun aku masih sosok kuat seperti dulu, namun
aku harus sadar menerima keadaan walau sangat terpaksa. Aku tak bisa lagi berharap lebih karena
ujungnya pasti sakit yang terasa. Aku harus bisa membedakan antara realitas dan imajinasi, karena aku
merasa terluka didunia yang ku buat, bahwa aku akan selalu bahagia hidup di dunia ini, tak kan merasa
terpuruk. Sepertinya untuk saat ini melarikan diri tak bisa memperbaiki kenyataan.

Dengan langkah terseok berat aku segera menuju kerumah, memastikan bahwa keadaan tak buruk yang
ku kira.

Sesampai di depan gerbang rumah. Aku dibuat terkejut oleh kehadiran para bapak- bapak yang
penampilannya mirip rentenir. Mereka tengah sibuk mengobrak abrik isi rumahku. Sial, ternyata ini
kenyataan bukanlah mimpi, tolong beri aku tabah, mungkin ini awalan hidup terpuruk dimulai, pada
inilah aku merasakan titik paling rendah dalam hidupku, seakan langitku runtuh kala itu.

Segera aku memutar langkah sebelum salah seorang dari mereka melihat, namun sebelum kakiku maju
satu langkah seseorang menepuk bahuku cukup keras. Aku terjingkat kaget dan menoleh ke arahnya.
Orang itu menyunggingkan senyumnya, berdeham pelan walau masih dapat terdengar jelas, tangannya
bersedekap didepan dada angkuh, aku menelan ludah kasar.

"Cepat beresin barang kamu!" Sentak bapak itu kasar.

Aku berdecak kesal. "Ck, ini rumahku pak, jangan seenaknya dong ngusir orang dari rumahnya sendiri!"
Aku sudah menantang bapak itu, emosiku menggebu gebu. Lagi-lagi bapak itu malah tersenyum
meremehkan.

"Dasar keras kepala!" Cibirnya, aku semakin geram, ingin sekali memukul kepala bapak itu dengan palu
besar.

"Woi sini bawa dia!" Instrupsinya kepada bawahannya. Mereka langsung berhambur ke arahku, sontak
aku membulatkan mata, memberontak dari cekalan para bapak sialan tersebut.

"Lepasin!" Pintaku memberontak, menginjak kaki mereka satu persatu, namun sepertinya caraku ini
bukan mantra ampuh untuk mengusir mereka. Aku hanya bisa menurut ketika mereka telah berhasil
menyeret ku kedalam truk yang isinya perabotan rumah juga koper berisi barang pribadiku. Aku
menghela nafas pasrah.
"Nih ada titipan dari dady kesayangan nona manis." Bapak itu menyodorkan sebuah amplop dengan
terus menggodaku. Aku merebut paksa, tiada ucapan terima kasih sopan untuknya, yang ada tatapan
kebencian, terheran aku membolak balikkan isi amplop tersebut, mulai membaca isinya hingga paragraf
terakhir. Isinya cuma banyak kata maaf dari Ayah, alasan Ayah pergi ke Amerika, dan pada bagian
paragraf terakhir berisi alamat yang seingatku, alamat rumah dari teman Ayah. Aku merotasi mata
malas. Semoga saja tempatnya tak seburuk yang kukira.

Diperjalanan aku merasa sangat bosan. Aku memilih mendengarkan musik dari playlist favoritku dengan
aerphone yang menggantung di kedua daun telinga. Ya aku memang menyukai musik, aku senang
memainkan alat musik, dan impianku menjadi musisi terkenal hingga pelosok dunia pun mengenal
namaku. Namun semua hanya impianku dahulu. Mungkin kali ini aku akan gagal mewujudkannya.
Sebelum mimpi itu bisa kukejar, perlahan mimpi itu malah menghindar.

Sesampai di sana aku dibuat terbelalak dengan nuansa tempat tersebut. Tempat yang sangat jauh dari
imajinasi. Sebuah desa terpencil dimana belum pernah ku kunjungi sebelumnya, kecuali pernah ku liat
dibeberapa film yang berlatar pedesaan. Tempatnya asri jauh dari kerumunan dan polusi. Sejenak aku
menghirup nafas, udara sekitar sini memang sangat segar, siapapun mungkin betah berlama-lama disini.
Tak sadar aku tertarik berada disini, dengan cepat aku mengelak, aku tak mau menjadi gadis kampung.

"Hai kamu Mia ya?" Seorang pria paruh baya yang kira-kira seumur dengan Ayahku tengah berdiri
dihadapanku, menyapaku riang. Aku tersenyum kaku, tanpa balas lambaian tangan darinya.
Disampingnya ada seorang gadis cantik mungkin usianya juga sama denganku. Penampilannya anggun
layaknya gadis bunga desa. Gadis itu mendekat dan mengulurkan tangan untuk berkenalan denganku,
namun aku tak kunjung membalasnya. Memang aku susah menerima orang baru. Tak mendapat respon
dariku, dia menurunkan tangan, senyum yang tadinya manis kini berubah kecut.

"Hai Mia kenalin aku Santi!" Sapanya senang. Aku tak terkejut mendengarnya. Namanya saja
kampungan, mencerminkan dirinya yang anti modern.

Santi tanpa izin langsung menyeret tanganku paksa agar ikut dengannya.

Langkah kami terhenti didepan kamar kecil sangatlah sederhana. Hanya ada ranjang dan lemari pakaian
kecil. Santi kekeuh mengajakku tuk masuk.

"Mia mulai sekarang ini kamarmu, bagus kan?" Perbandingan kamar ini dengan kamarku

sangatlah banyak, tak bisa dibandingkan, akan sangat rumit nantinya.

"Kamu tau kamar ini besarnya empat kali lipat dari kamarku." Aku tersenyum remeh, Santi malah
terlihat antusias..
"Wah benarkah, berarti kamarmu kecil ya, kayak gimana, aku kira besar kan anak orang kaya?" Santi
sangat antusias bertanya terus terang. Aku tak ingin tau yang ia bayangkan, yang aku tau Santi sangatlah
polos, gampang dibodohi.

"Tapi sebaliknya!" Setelah mengatakan kalimat pendek, aku keluar dari ruang penuh debu, dengan
menutup pintu sangat keras. Entah ekspresi apa yang Santi buat aku tak peduli.

Keluarga teman Ayah hanya beranggotakan dua saja, paman Gani dan putrinya Santi. Pantas saja Ayah
menitipkan ku kesini, seolah tak ada tempat lain saja. Aku bosan berada disini, disini serba tradisional,
sinyal internet pun seringkali hilang, sebagai orang kota kadang kita merasa bosan bila tak main gadget.

Santi tak hentinya sejak tadi bercerita tentang kebanggaan disekolah. Sementara paman Gani sibuk
menyiapkan makan seraya menyimak kata Santi. Begitu makanan siap tersaji, Santi bersorak gembira.
Paman Gani mulai menyajikan piring makan kita satu persatu. Aku heran dengan makanan ini, tak ada
letak menarik yang mampu menggiurkan. Aku tak suka makanan seperti ini. Melihatnya saja membuatku
ingin muntah.

"Membosankan, makanan kampungan." Aku menggebrak meja cukup keras. Mereka tersentak. Dari
perubahan raut paman Gani, bisa dipastikan ia akan marah, mukanya merah pias. Aku tak peduli. Aku
langsung bangkit dan berlari jauh meninggalkan kediaman mereka.

Aku hanya ingin sendiri, menyadari terpaksanya aku menerima ini. Aku duduk tersandar dikursi bambu
pos kamling yang terletak disudut desa. Melihat interaksi Paman Gani dan Santi aku jadi teringat Ayah
yang dulu sangat menyayangiku, namun sekarang Ayah sudah pergi jauh meninggalkanku sendiri.
Mungkin Ayah capek memiliki anak seperti ku yang gak mau nurut nasihatnya.

Aku hanya ingin menangis sangat keras, namun tak ingin satupun orang dapat mendengar. Aku sadar
bahwa aku selalu berharap bahwasannya aku selamanya akan hidup bahagia disamping Ayah. Dulu
seolah aku menentang kata-kata "Hidup itu seperti roda berputar, kadang suka kadang suka." Kini aku
merasakannya.

Dulu aku merupakan sosok gadis angkuh yang tercipta jadi manusia, gadis sombong, keras kepala, egois,
suka merundung orang dan kini ku sangat menyesali menjadi pribadi seperti itu. Aku benci diriku saat
ini. Gadis lemah dan cengeng yang dulunya tipekal seperti itu pasti ku rundung habis-habisan. Aku
menjambak rambutku sangat frustasi. Seolah hari esok tak mengizinkan aku hadir di sana.

Keeosok paginya aku bergeming didepan gerbang sekolah. Lalu lalang orang-orang berhamburan masuk
dengan ekspresi menyorot diriku. Santi berulang kali mengajakku agar masuk. Namun aku menolak
mentah-mentah, membuatnya berdecak kesal.

Dulunya saat akan masuk SMA. Ayah ingin berencana mendaftarkan ku ke Julliard School, sekolah musik
terpopuler di luar negri. Aku sangat antusias menyambutnya, Ayah memang sangat peduli padaku,
keinginan ku mesti ia turuti, Ayah selalu tau tentang diriku bahkan tentang mimpi-mimpiku.
Musik memang jiwaku. Dengan musik ku dapat menemukan jati diriku. Namun impian itu seketika
lenyap saat ku melihat temaram senja berakhir, sama impianku juga berakhir ditempat itu dan saat itu
juga. Tak ada yang akan merubah, tak ada yang akan merubah takdirku, Apapun yang telah ditakdirkan,
begitulah yang akan terjadi.

Sudah sebulan lamanya aku menjalani hidup didesa ini. Hari-hari begitu cepat ku lewati, hingga tak
terasa perlahan aku nyaman tinggal disini. Aku tak lagi menyalahkan takdir. Aku belum berubah, masih
sama, masih seorang Mia yang nakal, sering bolos, melawan perintah guru, tukang buat onar. Beberapa
kali Paman Gani kewalahan dipanggil ke ruang BK untuk teguran ku, tak mungkin karena Santi, karena
anak itu murid teladan, sang juara kelas.

Dan ya hubungan ku dengan Santi lebih akrab dari sebelumnya. Santi definisi teman sangat baik. Sulit
menemukan orang sepertinya dipelosok kota. Teman-temanku di kota tak setia berteman, mereka
berteman denganku hanya demi alasan uang, pantas saja ketika Ayahku bangkrut dan hidupku terpuruk
mereka malah tertawa meremehkan, sahabatku yang dulu sangat ku percayai malah tertawa dibarisan
paling depan.

"Hai Mia, good morning!" Sapa teman kelas namanya Laras, mereka mulai bisa menggunakan konsonan
bahasa Inggris karena diriku. Aku pernah memotivasi mereka agar tergerak maju, ke hal-hal modern.
Kini mereka mulai menerima perkembangan tersebut sama seperti diriku yang mulai menerima
perubahan dengan ikhlas dan tulus.

Bimo sang ketua kelas datang membawa tumpukan selebaran. Alisku terangkat sebelah melihatnya.
Terburu meletakkan tasku dan mendekat kearah Bimo yang tengah sibuk membereskan meja guru.

"Bim apaan tuh?" Tanyaku heran, teringin tau. Bimo menatap diriku ekspresinya setengah kesal.
Mungkin dia kesal dengan ku karena banyak guru menyalahkan dirinya atas perbuatanku, kan emang itu
tugas ketua kelas.

"Tumben gak telat, kerasukan ya?" Tanya Bimo remeh.

"Ya seharusnya kamu senang kan, gak disalahin guru lagi!" Tanganku bersedekap didepan dada.

"Syukurlah kamu mau berubah, Eh jangan bolos lagi ya, aku capek pergi ke ruang BK lagi!" Bimo terlihat
frustasi.

"Asal kamu tau, aku bolos karena aku bosan, coba aja ada hal yang menarik." Aku merotasi bola mataku
jengah.

"Eh ngomong-ngomong apaan tuh, hal penting ya?" Tanyaku penasaran, tanganku sudah jahil ingin
merebut selebaran itu dari tangannya, Bimo dengan cekatan merebutnya.

"Dasar kepo." Umpat Bimo.

"Setidaknya malu bertanya sesat dijalan, lah ini malah bertanya dibilang kepo, uh!"
"Hahahaha." Laras menertawakan aksi perdebatan ku dengan si ketua kelas, sungguh menyebalkan.

Santi dan Wisnu datang dan berhambur mendekat.

"Bim, itu selebaran lomba untuk HUT ya, aku dengar dari anak OSIS kemarin?" Tanya Santi merasa
senang, Bimo hanya mengangguk, menghitung total lembaran kertas tersebut.

"Hah HUT, emangnya sekolah ini mau ultah ke berapa?" Tanyaku antusias.

Mereka malah menertawakan ku, sialan.

"Percaya gak umur sekolah ini seumuran kita?" Celetuk Laras agar aku bisa menebak, aku mengendikan
bahu tak tau.

"Tujuh belas tahun gitu?" Tebakku ragu, mereka mengagguk mengiyakan.

"Oh iya San, lombanya tahun ini apa aja?" Laras bertanya.

"Menulis dan melukis."

"Yeayy." Pekik Laras dan Wisnu bersorak senang, perasaan tak ada yang spesial.

"Hah lomba apaan tuh, gak ada ya lomba nyanyi?" Aku bertanya memastikan Santi mengangguk, namun
urung, aku jadi menunduk lesu, senyumku tertarik kebawah.

"Apa apaan lomba nyanyi, noh kalo mau nyanyi sana ngamen dijalanan!" Ejek Bimo acuh tak acuh. Aku
semakin geram, ingin sekali menginjak kakinya hingga ia mengemis maaf padaku.

"Bim kamu berani sama aku?" Sentaku kasar, namun ekspresi Bimo masih tak berubah datar, seperti
biasa. Teman yang lain berusaha mencekal tanganku menengahi perdebatan ku dengan Bimo si angkuh..

"Berhenti ya Mia, aku gak mau disalahkan, cuma karena berdebat sama kamu!" Setelah mengatakan
Bimo memilih beralih pada bangkunya.

Santi berteriak "Bim, jangan meremehkan mimpi orang lain, karena mimpi setiap orang tak selalu sama."

Bu Herna datang tepat waktu. Para siswa maupun siswi segera berhambur duduk di bangkunya masing-
masing.

"Assalamualaikum, anak-anak berhubungan dengan partisipasi HUT sekolah yang ke 17.Sekolah


mengadakan lomba, diharapkan semua siswa maupun siswi turut menyemarakan acara ini. Bagi siswa
laki-laki wajib mengikuti lomba melukis, sedangkan siswi perempuan lomba menulis. Lomba ini bersifat
wajib untuk siapa saja, jika tak mengikuti akan ada hukuman berat, bilamana tak ada alasan." Panjang
lebar Bu Herna jelaskan. Bu Herna menyuruh Bimo untuk membagikan formulir kepada seluruh siswa.
Aku terdiam menatap lekat formulir tersebut. Melihatnya saja membuat suasana hatiku mendadak
buruk. Apaan lomba menulis, membaca novel saja aku tak minat, lebih baik membaca komik, jangankan
membuat karangan, benar-benar tak habis pikir.

Bu Herna sudah menginterupsi untuk segera mengumpulkan ke mejanya. Begitu para siswa langsung
berbondong-bondong maju ke depan. Tapi lihatlah kertas formulirku masih kosong. Hendra teman
sebangku ku terus saja menawarkan bantuan. Aku tidak bodoh karena tak bisa mengisinya, aku malas
aku membencinya. Bu Herna meneriaki namaku karena cuma aku yang belum mengumpulkan. Semua
mata siswa tertuju padaku.

"Pokoknya aku gak mau ikut, lomba macam apa ini, menyebalkan!" Aku sangat geram, emosiku
meletup, ingin sekali ku berteriak hingga seantero sekolah ini dapat mendengar. Dengan sangat marah
aku merobek formulir menjadi dua bagian. Menggebrak meja dan berlari keluar kelas tanpa
menghiraukan teriakan dari Bu Herna yang akan bosan meneriaki namaku saja..

Aku mulai terisak. Menyembunyikan wajah sembabku pada kedua tangan. Ditaman inilah aku bisa
meratapi siapa diriku sebenarnya, menangis sekencang mungkin, tak kan ada yang terdengar. Mataku
beralih menatap sekitar, tetap sama sangatlah sepi seperti biasa. Bola matanya tertuju pada secarik
kertas yang jatuh di tanah. Aku memungutnya, ternyata itu cerpen, dengan judul "impian yang lain."
Mataku mencari seseorang disekitar taman ini, mungkin saja pemiliknya masih berada tak jauh dari
tempat ini.

Langkahku terhenti tepat pada seorang siswa tengah sendiri. Tangan lentiknya sibuk menciptakan
calitan seni diatas kertas putih. Seperti kelihatannya, siswa itu sangat menikmati kegiatan, seolah larut
akan dunianya sendiri. Apa dayaku yang ingin mendekat.

Hem

Aku berdeham pelan, itulah caraku meminta izin yang sopan daripada berteriak seperti biasa, wah kali
ini aku sudah lelah untuk teriak, tenggorokan ingin putus saja.

Siswa itu menoleh menatapku cukup lama, keningnya berkerut. "Hai!" Dia menyisihkan sebagian
kursinya untukku mempersilahkan duduk sebelahnya.

"Kenalin namaku Damar, kamu Mia ya?" Aku terkejut mendengar pengakuan nya, mataku melotot.

"Kok tau?" Tebakku heran.

"Kamu kan populer."

"Iya populer sebagai siswi nakal, iya kan." Senyumku tertarik kebawah. Damar malah terkekeh geli.

"Nggak kok yang aku tau kamu anak hebat. Jadilah diri sendiri, banggalah dengan dirimu yang sejati,
meski terdengar sangat dangkal, jangan pernah biarkan orang lain mengatakan kamu tak indah " Damar
mengacungkan kedua jempolnya, perasaan ku jadi menghangat kala ia memuji tak lain untukku.
Seumur-umur jarang ada orang yang sebut aku hebat atau memuji, jangankan dipuji, dibenci iya.

"Makasih ya, eh tadi aku nemu ini jatuh, ini punyamu ya?" Tanyaku sembari menampilkan kertas cerpen
itu padanya. Damar mengagguk, ekspresinya seolah kaget namun dengan cepat ia mampu menetralkan.
Aku tengah menahan tawa karenanya.

Aku menyodorkan secarik kertas padanya, senyumnya mengembang kala menerimanya.

"Eh iya lama banget aku carinya dari kemarin gak ketemu, akhirnya kamu yang nemu, makasih ya." Aku
tersenyum simpul. Damar bukanlah teman tipe menyebalkan seperti kebanyakan kalangan lain dikelas.

"Kamu tau gak aku penggemar mu loh." Rasanya aku tersedak ludahku sendiri, ingin sekali tertawa
terbahak-bahak karena ucapannya yang kelewat konyol.

"Hah ngapain ngefans aku, orang gak berbakat gini kok?"

"Gak tau, entah kenapa saat pertama aku dengar suaramu saat bernyanyi aku langsung jatuh cinta sama
suara indah mu" aku menatap lekat manik matanya, dia sangat jujur tak ada letak kebohongan disana.

"Emangnya kamu pernah dengar aku nyanyi?"

"Pernah kok, gak sering sih seingatku cuma lima kali, sampai hafal kamu mesti memilih tempat ini jika
kamu nangis. Seolah tempat ini sandaran hatimu" Aku merasa tak percaya, dia tiga dari sekian
banyaknya orang didesa ini yang mendengar suara indahku setelah Paman Gani dan Santi, apakah
selama ini dia selalu berada dekat. Ku kira selama ini ditaman hanya ada diriku seorang.

"Hanya di tempat inilah pelampiasan diriku saat hancur sehancur hancurnya, mungkin. dunia tengah
menghukum orang paling nakal ini." Air mataku mulai menitik, segera aku mengusap kasar, aku tak ingin
menangis didepan orang lain, mungkin orang lain hanya tau aku seorang gadis kuat anti cengeng, itu
semua salah, padahal aku sangat rapuh.

"Jangan bilang begitu, kita semua pasti akan berada dititik terendah, ngomong- ngomong aku udah lama
loh mengenalmu, tapi aku tak berani dekat, malah kamu yang mendekat." Damar tertawa meledek.

"Jangan kepedean semua cuma karena kertas ini, atau mau aku buang?" Ternyata dia sama
menyebalkan.

"Kamu lebih baik dari kata orang?" Aku tak mengerti perkataan nya.

"Maksudnya?"

"Eh aku pengen tau banget maksud judul cerpen yang kamu buat, boleh tau gak?" Tanyaku.

"Nanti juga kamu tau kalo baca."


"Maaf aku gak terlalu suka baca, paling sukanya baca komik doang" Jujurku menunduk, tak berani
menatap manik mata Damar.

"Seru loh hobi baca, coba deh!" Pintanya.

"Bagiku membuang waktu!" Damar terkekeh mendengar nya.

"Kamu selain bisa lukis bisa nulis juga ya, wah benar-benar sosok jiwa seniman." Pujiku merasa bangga,
mengacungkan kedua jempol ku, Damar mengulas senyum, sangatlah tulus.

"Pengennya sih tambah bisa main gitar, ajarin dong!" Pintanya memelas, aku melirik aneh.

"Eits tapi ada syaratnya, bagi seorang Mia semua tak ada yang gratis, tolong buat aku cinta sama dunia
seni ku mohon." Damar menimang jawaban, sejenak ia berfikir.

"Intinya menulis itu ibarat jiwa yang kesepian, jika tak ada lagi sosok yang sanggup menguatkan kita saat
kita terpuruk, butuh sandaran bahu tuk menenangkan, dan kau selalu merasa sendiri, tenang ada pena
yang bersedia menemanimu dikala itu, pena akan sedia mendengar suara curhatmu, tanpa letih!" Nada
bicara Damar terdengar menyakinkan, seolah aku terpaku dengan segala ucapnya.

"Makasih untuk semuanya, aku doakan segala impian mu akan terwujud."

"Aku tau kamu dalam fase sedang dihancurkan impian?" Tanya Damar hati hati mungkin takut kalau
nantinya akan menyakiti perasaan ku.

"Iya memang tak ada lagi mimpi yang bersedia ku kejar."

"Coba aja kamu bermimpi menjadi sosok penulis, karena aku juga pernah merasa dalam fase tersebut."

"Benarkah, akan ku coba." Jawabku setengah ragu.

Malamnya, Aku membaca cerpen yang ditulis oleh Damar kemarin. Cerpen dengan judul impian yang
lain. Aku begitu larut dalam alur kisahnya. Bahasanya melankolis menggambarkan perasaan runtuh si
tokohnya, sehingga banyak kata-kata kias yang sulit ku pahami. Entah kenapa aku merasa sangat asyik,
kisah ini seolah menyihir ku. Tak pernah ku bayangkan aku akan menyukai karangan, dulu saat ada
teman menyuruhku membaca cerpen karangannya aku menolak mentah-mentah, dulunya aku
membenci penulis. Bagiku penulis adalah orang yang patah hati dan terlarut dalam perasaan yang
sengaja ia buat sendiri.

Aku menyobek kertas dibagian tengah buku tulis, mulai mencoba menulis diatas kertas tersebut. Benar
apa kata Damar, saking asyiknya tak sadar jam dinding tepat menunjukan pukul 23.30 WIB.

Paginya aku menemui Damar di taman kemarin. Berniat mengembalikan cerpen karyanya.

"Damar, ini kisah hidupmu yang kau karang menjadi tulisan, jadi kamu buta warna?" Aku yang tak
percaya setengah berteriak, bukan aku kalau tak terlalu blak blakan, Damar membekap mulutku,
menoleh ke kiri kanan memastikan tak ada yang mendengar kecuali kami.
"Maaf aku keceplosan."

"Kamu udah baca kan?" Damar menanti jawaban.

"Tapi aku gak ngerti maksudnya, kata-katanya berat sih, banyak kias nya."

"Biar ku perjelas, tapi kamu harus diam, gak bisa diam sih." Aku cengengesan memang benar,aku tak
bisa tuk diam barang sejenak.

"Dulu aku bermimpi menjadi seorang pelukis, seniman besar. Waktu kecil ayah selalu menemaniku saat
aku belajar melukis, ayah berharap banyak pada mimpiku. Tekadku semakin bulat, aku mulai mencoba
mengikuti perlombaan melukis tingkat kabupaten. Namun selang sehari sebelum hari H dimulai, salah
seorang panitia mengetahui rahasia besarku. Pimpinan perlombaan marah besar padaku. Aku dengan
sangat terpaksa harus mundur. Seorang kelainan buta warna haram menjadi pelukis, karena pelukis
harus bisa membedakan setiap warna. Saat itu aku merasa dihancurkan sedalam dalamnya oleh mimpi,
mimpi ku benci tuk ku raih. Ketika itu ayahku meninggal. Hilang sudah semua cahaya ku. Tak ada lagi
tempat diriku berpulang saat letih menyambar. Saat hari-hariku gelap pekat, aku mencoba tuk bangkit,
aku menemukan brosur di jalan lomba menulis cerpen. Ketika itu aku mulai menulis kisahku. Akhirnya
cerpen itu meraih posisi pertama. Banyak pula rumah editor yang berlomba lomba meminang karyaku.
Akhirnya aku berhasil meraih impian ku. Ayah mungkin senang diatas sana. Biarkan jika satu mimpi tak
bisa kuraih, masih ada mimpi lain yang bersedia menungguku."

Tangis Damar luruh saat itu juga, terus mengalir tanpa enggan terbendung. Semesta Damar seketika
goyah dalam ceritanya. Aku yang menjadi pendengar jika ikut merasa terluka, nafasku tercekat setiap
kali Damar melanjutkan kisah hidupnya. Penderitaan Damar lebih menyakitkan daripada penderitaan ku
selama ini, jika dirimu merasa orang paling rapuh didunia masih ada orang yang lebih rapuh lagi karena
diatas langit masih ada langit.

Pengumuman lomba diselenggarakan hari ini. Semua murid berbondong bondong menuju aula. Santi
juga Laras merasa sangat bahagia sambil menyeret ku paksa. Entah kenapa aku biasa saja tak merasa
penasaran seperti yang lain, mungkin juga bukan aku, membuang waktu saja lebih baik menonton
konser musik.

Pak Hartono kepala sekolah memberi sambutan kemudian mulai membacakan juara lomba. Damar
meraih juara pertama dalam bidang lombanya. Damar terlihat sangat senang, itu memang mimpinya.
Aku ikut tersenyum. Damar memang sangat berbakat, namun sayang ada hal lain yang menghalangi
bakat terbaliknya.

Kemudian berganti dengan bidang menulis khusus siswi, para siswi bersorak nama mereka masing
masing sangat percaya diri.

"Juara pertama diraih oleh Mia!" Semua orang memekik heboh. Aku membekap mukutku tak bisa
dipercaya, seorang Mia yang dulunya membenci penulis, kini meraih gelar tersebut, benar tak habis
pikir. Mungkin saja juri salah memasukan namaku disitu. Santi dan Laras ikut senang mendorong
tubuhku agar cepat ke atas panggung hingga badanku nyaris terjungkal, tak minta maaf malah meledek
ku. Damar juga ikut tersenyum.

Semesta apakah ini awal tabir mimpi baru terbuka lebar, semoga saja aku tak lagi dikecewakan untuk
kesekian kalinya, namun ini terlalu awal tuk ku bahagia, ku mohon jangan lagi, jangan menghindar
sebelum ku raih.

Bu Dona tengah membimbing ku menyelesaikan naskah novel. Sejak saat aku memenangkan lomba itu
pihak sekolah memaksaku ikut seleksi perlombaan novelis dengan mengangkat tema impian remaja. Aku
berhasil lolos seleksinya. Ingin sekali aku berterima kasih kepada Damar untuk segala motivasi dan
semangat darinya, dengannya aku bisa perlahan membuka lembaran kisah baru. Namun batang
hidungnya tak lagi terlihat sejak hari pengumuman lomba, di hari itulah terakhir kalinya Damar memberi
semangat untuk ku, aku berhutang banyak darinya. Sifatku juga sedikit berubah kearah lebih baik,
semua teman banyak yang memuji bakatku, aku menjadi siswi populer bukan karena kenakalan tapi juga
bakat.

Tiba tiba Santi datang dengan nafas tersengal membawa telfon dan menyerahkan nya kepadaku

"Ayahmu pulang Mia, kamu senang kan?" Aku kembali menyerahkan benda kecil itu segera berlari tanpa
pamit meninggalkan mereka, jika ditanya aku sesenang apa, sangatlah senang tak bisa dideskripsikan
dengan kata kata ataupun kalimat, akan sangat panjang jadinya. Segera aku memeluk tubuh yang kini
semakin kurus, air mataku pecah dalam peluknya.

Malam ini aku menghabiskan waktu hanya dengan Ayah, tak ada orang yang berhak menganggu kami.

"Nak kamu masih ingin masuk Julliard kan?" Tanya Ayah sembari menyeduh kopi. Aku yang tengah
membaca novel best seller keluaran terbaru, menatap lekat mata Ayah.

"Gak tau Ayah, entah kenapa aku sekarang jadi gak tertarik." Ayah meliriku sinis, seolah membenci sikap
baruku.

"Sejak kapan kamu suka novel, kata Gani kamu mau jadi novelis ya, lebih baik kamu saja musisi saja,
novelis tuh gajinya murah nak, gimana dengan masa depan kamu?" Ceramah Ayah sangat menganggu,
aku benci mendengar nya, seolah apa keinginan Ayah. Aku capek, aku tak mau mengejar yang tak pasti
lagi.

"Ayah kenapa sih, apa hidup ini menjanjikan, dan kenapa aku dipaksa tinggal disini?" Aku meletakan
novel diatas meja menjauh dari Ayah yang terus memanggil namaku. "Kebiasaan kamu dari dulu gak
pernah hilang, selalu saja lari sebelum selesai, pokoknya bulan depan kamu ikut ayah."

"Aku masih anak ayah kan?" Seperti nya dengan perkataan ku ini. Ayah kehilangan kata- kata, ayah
semakin menyebalkan saat kembali dari Amerika, seolah dia bukan ayahku yang dulu.
Sudah hampir sebulan ayah selalu memaksakan untuk ikut dengan dirinya, aku selalu menolaknya.
Memang dasar aku keras kepala. Ayah selalu melampiaskan kekecewaannya kepada Paman Gani dan
Santi yang sangat jelas tak bersalah. Katanya mereka berdua yang menghasut diriku padahal ini murni
keinginanku sendiri.

"Mia jangan sedih lagi, menangislah, aku yang aku menemani mu menangis." Aku terisak, Santi
mengelus puncak kepalaku lembut.

"Maaf ya Santi ayah selalu menyalahkan mu atas diriku?"

"Tak apa Mia, mungkin jika aku diposisi ayahmu, akan melakukan hal yang sama."

"Kenapa saat kita ingin berubah kearah langkah baik. Keadaan memaksaku tuk kembali lagi kenapa,
padahal aku ingin melupakan segala rasa sakit dan rapuhku, aku ingin merupakan langit ku runtuh kala
itu dan menyaksikan mentari bersinar lagi, aku trauma pernah menginginkan mimpi itu, mimpi itulah
yang menghancurkan hidupku?"

"Mia jangan bilang begitu, percaya semua akan baik baik saja."

Ayah memutuskan tuk menuruti keinginan ku, namun dengan syarat dalam sebulan tak kunjung ada
kabar baik ayah terpaksa menyeret ku pulang ke kota dan menuruti segala perintah ayah. Aku
mengangguk menyetujui aku yakin semua akan berjalan lurus.

"Mia selamat naskah mu akan diterbitkan." Santi memeluku turut senang. Seakan aku tak mengerti
harus memasang ekspresi seperti apa. Aku sangat bahagia. Ayah dan Paman Gani juga memberiku
semangat. Aku memeluk Ayah dan ia juga membalas pelukanku.

"Ayah bangga denganmu nak, mulai sekarang Ayah gak akan memaksa lagi keinginan mu, maafin ayah
ya nak!"

Semesta terimakasih atas pelajaran nya. Dan senja aku sangat lebih berterima kasih padamu telah
mengajarkan apa arti bertahan dalam peliknya makna hidup, saat kita tak kan mungkin bangkit lagi.
Engkau hadir memberiku cahaya dipekatnya malam gelita. Walau impianku berakhir sama dengan mu,
kita selalu akan bangkit memberi senyum tuk mereka. Dan untuk Damar terimakasih atas segala
motivasinya walau terlambat sudah, aku berhutang makasih padamu.

Jika kau melihat keajaiban di kisah dongeng, bahwa kau bisa meraih masa depan meskipun kau gagal.
Bukan soal seberapa cepat sampai kesana, Bukan pula soal apa yang sedang menunggu di seberang
sana, tpi soal pendakiannya. Kejarlah mimpimu sampai mimpi itu merasa lelah kau kejar.

SELESAI

Anda mungkin juga menyukai