Anda di halaman 1dari 31

PROLOG

Aku berdiri dalam diam menyembunyikan tubuhku di balik tembok kokoh pemisah
ruang tamu dan dapur kediaman Papaku. Aku selalu seperti ini. Keberanian menggebu-gebu
yang aku miliki tidak memiliki fungsi sama sekali ketika aku dihadapkan pada kehadiran
Papaku.

Aku hanya bisa tersenyum menyembunyikan pahit memandangi ketidakpedulian


Papaku atas kehadiranku. Aku tidak bisa melakukan apa-apa pada fakta aku tidak memiliki arti
buat Papaku. Ia mengizinkan aku tinggal di rumahnya saja sudah sangat aku syukuri.

Aku memutar tubuhku, aku meraih gelas dari laci meja dapur. Meletakkan gelas
tersebut diatas meja. Aku beralih membuka kulkas, mengeluarkan sebuah botol putih dari
dalamnya. Aku menuangkan isinya ke gelas yang aku ambil sebelumnya. Susu.

Selesai, aku mengembalikan botol itu pada kulkas, menutup kulkas dua pintu itu. Aku
mengambil gelas yang sudah aku isi dengan susu dingin untuk aku bawa ke kamarku. Aku
melangkah pelan-pelan agar pemandangan indah di ruang tamu tak terganggu oleh
kehadiranku.

Aku bernapas lega kala aku berhasil melewati ruang tamu tanpa mengganggu
pemandangan indah itu. Aku menyandarkan tubuhku pada pintu kayu rumahku. Memejamkan
mata sejenak. Aku meletakkan gelas berisi susu yang aku bawa dari dapur di atas meja. Aku
meraih ponsel pintar berwarna putih milikku yang tergeletak bergetar di atas tempat tidurku.
Sebuah nama terpampang pada layarnya.

Sontak aku menggeser tombol hijau menerima panggilan masuk tersebut. Aku
mendudukkan tubuhku di pinggir tempat tidurku seraya mendekatkan ponselku pada telinga
kananku.

“Assalamualaikum.”, sapa sang penelepon.

Aku tidak mengatakan apa-apa untuk membalas kalimat indah sapaan sang penelepon.
Ini sudah menjadi kebiasaan ku semenjak tinggal di rumah Papaku, tepatnya sejak hari dimana
aku tertampar oleh kata-kata Papaku.

“Kamu masih begini. Jujur aku tidak pernah suka Pacarku menolak menjawab
salamku.”, ujar sang penelepon lagi mengeluh padaku. Yap, sang penelepon itu adalah Pacar
aku.
“Aku tidak punya alasan untuk menjawab.”, jawabku setelah menghela napas.

“Lalu apakah kamu punya alasan untuk tidak menjawab?”, tanya sang penelepon cepat
padaku.

“Aku tidak pantas.”, jawabku pelan.

“Tidak pantasnya di bagian mana?”, tanya sang penelepon kesal pada jawaban aku
berikan padanya.

“Kamu menelpon untuk mendebatkan hal ini?”, tanya aku balik.

“Aku menelepon untuk melakukan tugas rutin aku agar kekasihku tidak menjadi lebih
bodoh lagi.”, jawab sang penelepon dengan nada pasrah khas miliknya. Menyindir aku.
Kebiasaan aku sebelum mengenalnya.

Aku diam, tersenyum saat suaranya mulai mengalun menyanyikan sebuah lagu
untukku. Aku meraih gelas berisi susu yang aku letakkan sebelumnya di atas meja.
Meneguknya hingga habis seraya menikmati nyanyian pacarku. Aku merasa terbang, setiap
rasa sesak aku punya menguap begitu saja kala aku mendengar suaranya. Seolah-olah,
nyanyiannya itu membuatku bodoh, percaya bahwa hidup di dunia itu mudah.

Aku tidak tahu mengapa aku selalu tenang mendengar nyanyiannya. Padahal suaranya
nggak ada bagus-bagusnya sama sekali. Dia buta nada. Mungkin, inilah yang disebut dengan
menghargai. Well, di bumi ini, sejak aku resmi menjadi pemilik dari kamarku sekarang, aku
tidak pernah merasa diperjuangkan kecuali oleh dia.

Tanpa terasa mataku memberat, aku membaringkan tubuhku di atas tempat tidurku
setelah menaruh gelas kosong di tanganku di atas meja. Sayup-sayup sebelum aku benar-benar
terlelap, aku mendengar dia berujar pelan. “Kamu berharga. Trust me. Aku menanti kamu
mengatakan “aku percaya” bukan lagi “aku 'kan berusaha” padaku.”

Dia tidak pernah lelah mengatakan tiga kalimat itu padaku tiap malam, setiap ia berhasil
menyelesaikan tugas rutinnya dengan baik. Aku tersenyum.

&&&

Pagi hari seperti biasa, aku sarapan dengan Papaku dan keluarganya dalam diam. Aku
menjadi pendengar setia untuk tiap-tiap cerita indah keluarganya. Aku tidak masalah soal anak
lelaki berusia lima tahun yang riang berceloteh karena jujur aku menyayanginya, dia adalah
saudaraku. Dia antusias selalu duduk di samping aku di meja makan ini, antara aku dengan
Papa. Beda halnya, pada perempuan setengah baya yang duduk di samping Papaku. Istri
Papaku, pengganti Mamaku.

Dia bernama Nita, bukan sosok Ibu Tiri jahat karena asli hingga hari ini ia selalu
menghargai aku sebagai anak Papaku. Ia setia selalu mengajakku untuk selalu ikut serta
memiliki waktu berkualitas dengan keluarga. Hanya saja, aku selalu ragu padanya. Aku...
Tepatnya, belum ikhlas mendapatinya menjadi pengganti Mamaku. Padahal, ia adalah sosok
guru kesayangku pada masa sekolah dasarku sebelum kepergian Mamaku.

Aku lebih masalah lagi pada sosok perempuan yang duduk dihadapan aku di meja
makan ini. Sosok perempuan bernama Dhara, berusia empat tahun lebih tua dariku, merupakan
seorang guru honorer di sekolah aku.

Dia setia mencari masalah dengan aku. Dia cenderung tepat sasaran melukaiku.
Menyerang aku tanpa takut. Seperti saat ini.

“Kamu benar-benar tidak tahu malu, ya.”, ujar Dhara seraya menatap rendah diriku,
mengulas senyum sinis.

“Dek, jangan mulai. Sarapan pagi ini damai-damai, ya.”, ujar Nita, mengusap senyum
lembut miliknya.

“Kak, aku kalo jadi kakak nggak akan pernah rela semeja makan dengan seorang anak
pelacur suami aku, aku nggak akan pernah ikhlas memasak buat anak dari perempuan hina.”,
ujar Dhara membuatku sontak meletakkan garpu dan sendok yang aku gunakan ke atas meja
dalam gerakan kasar. Semua tatapan tertuju padaku. “Lihat, dia bar-bar, nggak punya etika.”,
ujar Dhara lagi-lagi dengan tatapan menghinanya.

“Kamu lebih nggak punya etika, Dhar. Kamu nggak bisa menjaga ucapan kamu. Aku
pastikan kamu bakalan gagal menjadi seorang guru.”, ujar aku kemudian beranjak dari kursi
makan yang aku duduki.

“Kamu mau kemana?”, tanya Papaku.

“Sekolah.”, jawabku singkat.

“Pagi ini adalah terakhir kalinya saya melihat kamu makan di meja ini bersama keluarga
saya, saya nggak suka ketenangan keluarga saya terganggu oleh anak dari perempuan hina.”,
ujar Papaku.
Perkataan Papaku itu begitu memukulku namun aku tidak punya pilihan lain selain
menganggukkan kepala, menyanggupi kata-katanya. Aku melangkahkan kakiku menjauh dari
meja makan, aku sempat melihat bagaimana Dhara tersenyum kemenangan melihat pukulan
telak baru saja aku terima. Aku juga masih sempat mendengar Nita dan Papaku berdebat. Nita
tidak setuju tapi Papaku tipikal kepala rumah tangga yang tidak bisa di bantah.

Aku menggendong tas berwarna hitam pemberian pacarku pada punggung aku. Aku
melangkah cepat-cepat keluar dari rumah Papaku. Aku mengulas senyum tipis membalas
senyum Pacarku yang memang nggak pernah terlambat dalam hal menjemput aku.

“Assalamualaikum.”, siapanya lembut. Matanya bersinar memandangi aku.

Aku melangkah mendekatinya yang setia berdiri menyandarkan tubuhnya pada tubuh
mobilnya. Aku melambaikan tangan padanya. Aku berusaha mengontrol ekspresi wajahku agar
ia tidak mengetahui kalo aku baru saja menerima pukulan telak dari Papaku sendiri.

“Masih tidak mau menjawab? Nggak apa-apa. Aku kan selalu menyapamu begitu. Aku
tidak akan bosan. Toh, tidak ada opsi lebih baik untuk mengganti.”, ujarnya mengomel.

Aku tertawa kecil melihat ekspresi wajahnya. Aku menepuk bahunya. Ia membalas
dengan mencubit pipiku. “Sering-sering tertawa begini, Pacar. Mumpung tertawa itu masih
gratis.”, ujarnya dengan nada bercanda.

“Bisa saja kamu.”, ujar aku seraya memukul bahunya.

Ia memegangi bahunya, memasang wajah kesakitan seolah-olah aku tadi


memberikannya pukulan keras. Aku meraih tangannya. Membawanya mengitar setengah tubuh
mobilnya. Aku membukakan pintu jok pengemudi untuknya. Menyuruh ia masuk dengan
tatapan mataku. Ia menggelengkan kepala. Menarik aku dalam pelukannya, membuatku goyah.
Aku ingin menumpahkan air mataku tapi...

“Menangislah, Pacar. Jangan terlalu keras dan lama, tapi luangkan sejenak waktu untuk
menguapkan sesak itu. Aku tidak akan tanya apa yang terjadi. Aku hanya perduli kamu tidak
menekan diri kamu. Aku tidak mau peristiwa di pertemuan pertama kita terulang lagi. Aku
takut.”, ujarnya panjang lebar yang seketika membuat mataku mengeluarkan airnya.

Aku menenggelamkan wajahku pada bahu kanannya. Seperti apa yang ia katakan, aku
menangis, tidak keras dan lama. Aku meluangkan waktuku untuk sedikit menguapkan sesak
dalam diriku. Mengurangi tekanan pada diriku. Aku juga tidak mau menjadi lebih bodoh lagi.
Ia mengurai pelukannya, menghapus lelehan air mata di wajahku dalam gerakan
lembut. Ia mengulas senyum tulus miliknya membuatku ikut tersenyum. Ia membawaku dalam
rangkulannya untuk duduk nyaman dalam mobilnya di samping jok pengemudi. Ia kemudian
beralih masuk lewat pintu lain, pintu samping jok pengemudi. Perjalanan ke sekolah dimulai.

Aku memasang wajah sedatar mungkin kala mobil pacarku telah sampai di parkiran
sekolah. Aku keluar dari mobilnya lebih dulu dalam gerakan penuh percaya diri. Aku
melangkah santai meninggalkan lapangan parkir sekolah, pacarku menyusul langkahku cepat.
Meraih tanganku untuk ia genggam.

Aku menyusuri koridor gedung sekolah dalam langkah pasti. Tatapan datar. Wajahku
tak menunjukkan apa pun. Pacar di samping aku seperti biasa menggenggam erat tanganku.
Aku tahu semua pasang mata fokus padaku dan pacarku sekarang. Tatapan iri jelas,
bagaimanapun pacarku adalah sosok populer di sekolahku ini. Tatapan mencemooh dari
kalangan perempuan jelas tak aku perduli kan, emangnya mereka siapa hingga menganggap
aku tidak pantas memiliki pacarku? Aku juga tidak perduli pada tatapan dari kalangan laki-laki
karena aku tahu itu mereka memandangku dalam kepalsuan.

Aku diantar hingga aku duduk di kursiku paling pojok di ruang kelas sepuluh satu.
Kelasku. Kelas unggulan tingkat satu di sekolah ini. Jelas aku berada di kelas ini bukan karena
aku salah satu terbaik dalam ujian tes masuk sekolah ini tapi karena aku adalah anak perempuan
dari donatur terbesar sekolah ini.

“Aku ke kelasku. Kamu baik-baik ya, pacar.”, ujar Pacarku seraya mengusap rambutku
dalam gerakan lembut.

“Aduh kalian pagi-pagi sudah menodai pandangan mataku.”, ujar Veer yang tiba-tiba
muncul diambang pintu kelas. Ia melangkah santai mendekat. Ia teman semejaku.

“Makanya cari pacar supaya nggak makin memperihatinkan.”, ujar pacarku dengan
nada sok bijaknya.

Veer meninju lengan pacarku membuat pacarku sontak menatap mengaduh padaku,
memegang lengannya yang baru saja kena tinju oleh Veer seolah-olah ia sakit. Aku tertawa
kecil.
“Kok aku baru nyadar ya kamu cantik kalo tertawa begini? Seharusnya dari dulu supaya
aku...”, Veer menggantungkan ucapannya kala mengulas senyuman menantang pada pacarku
yang sudah menatap tajam ke arahnya.

“Jangan cari masalah, Veer.”, ujarku memperingati.

“Iya deh, kamu cantik tapi cantiknya kamu cuma buat pacar posesif kamu ini.”, ujar
Veer ketus.

Aku tersenyum. Mengalihkan pandangan mataku ke pacar yang masih setia menatap
tajam Veer. “Udah, natapnya jangan setajam itu, nanti muka Veer bolong.”, ujarku melerai.
Mengalihkan pandangan pacarku pada diriku.

“Aku ke kelasku dulu. Hubungi aku kapan pun kamu butuh, oke?”, aku
menganggukkan kepala mengiyakan permintaannya. “Wassalamu Alaikum.”, pamit pacarku.

Tidak ada suara yang menjawab. Aku yang memang kehilangan perduli pada kalimat
itu ditambah Veer yang memang non Muslim. Pacarku melenggang pergi dari kelasku. Veer
mengambil tempat duduk di samping aku.

“Sampai kapan kamu tidak akan menjawab salam? Aku memang bukan pemeluk Islam
tapi aku tahu betapa indahnya makna kalimat salam itu. Aku harap kamu lebih baik.”, ujar
Veer.

Aku mengulas senyum tipis merespon perkataannya. Aku kehilangan ide untuk
menanggapi. Aku sendiri nggak tahu, kapan aku kembali perduli pada kalimat itu. Kapan aku
merasa pantas mengucapkan kalimat yang Veer sebut indah sebagai bukan pemeluk agama
Islam.

Aku hanya berharap pacarku nggak pernah lelah mengucapkannya padaku. Biarkan
telingaku selalu mendengar agar aku tidak kehilangan harapan di masa datang aku bisa dengan
percaya diri mengucapkan kalimat itu.

Aku Nadila. Berusia lima belas tahun. Kehilangan Mama kandung di masa kecil.
Tinggal bersama Papaku dan keluarganya. Menyayangi anak lelaki berusia lima tahun bernama
Asraf, putra Papaku dengan istrinya sekarang, pengganti Mamaku. Memiliki sosok Nita
sebagai Ibu tiri yang hingga hari ini selalu abu-abu di mataku. Memiliki Dhara sebagai Tante
tiri yang kerap mencari masalah dengan aku. Memiliki Pacar bernama Aldika, setia padaku.
Memiliki Veer, teman beda agama di kelas unggulan tingkat satu di sekolah.
Aku tidak spesial. Kata Aldika, aku berharga. Maka aku 'kan berusaha...

&&&

Suasana kantin sekolah terasa panas siang ini. Aku melihat kerumunan memadati
tengah-tengah kantin sekolah. Aku mendengar suara baku hantam dengan begitu jelas belum
lagi sahutan-sahutan provokasi dari berbagai sisi. Kedua tanganku reflek menutupi mulutku
sebagai reaksi spontan mendapati Aldika tengah baku hantam dengan preman sekolah,
Antonio.

Sebuah tepukan mengalihkan pandangan mataku. Menguapkan keterkejutan aku. Aku


menatap datar Dhara pelaku penepuk bahuku. Dia berujar tajam padaku. “Lepaskan Aldika,
dia kacau semenjak bergaul dengan kamu.”

Aku terdiam mendengar penuturan Dhara. Aku tahu dan aku membenarkan kalimat
Dhara barusan. Aku bisa melihat Aldika menjadi kacau semenjak mengenal aku. Cowok itu
lebih ringan tangan pada kaumnya.

Haruskah?

&&&

BAGIAN I – Ruang dan Waktu Tuk Bersinar

Aldika duduk memandangi Nadila yang tengah asyik mengikuti kelas taekwondo.
Aldika tersenyum melihat betapa teguhnya Nadila dalam mempelajari bela diri itu. Aldika
melotot tajam kala mendapati ada lelaki lain dalam ruangan ini memberikan tatapan kagum
pada kekasihnya. Lelaki lain itu tidak lain adalah pelatih.

Pelatih muda bernama Firzha. Sosok laki-laki bergaya ala-ala boyband kpop pada
bagian rambut, warna cokelat kehitaman dan potongan panjang dan berponi. BegituBegitu
kontras dengan dirinya yang berambut hitam pekat dan panjangnya tidak melebih dua senti
meter, sesuai dengan peraturan sekolah.

Aldika bangkit dari duduknya. Mendekati Nadila yang baru saja selesai berlatih seraya
membawa sebotol air mineral dan handuk kecil untuk Nadila. Aldika menyerahkan handuk
lebih dulu pada Nadila untuk kekasihnya itu gunakan buat mengelap keringat. Baru sebotol air
mineral setelah Nadila selesai dan mengembalikan handuk kepadanya.

“Makasih.”, ujar Nadila singkat kemudian meneguk air mineral pemberian kekasihnya.
Aldika menatap sekilas sang pelatih kekasihnya. Cowok itu bersedekap dada dan masih
menatap penuh kagum pada kekasihnya. Aldika memutar bola mata malas. Ia meraih tangan
Nadila, pengen membawa kekasihnya itu cepat-cepat keluar dari ruang latihan taekwondo ini.
Namun Nadila menahan langkahnya. Keinginannya. Nadila mengembalikan botol air mineral
pemberiannya kepadanya.

Langkah pasti kekasihnya ikut membawanya pada posisi lebih dekat pada pelatih muda
menyebalkan menurutnya. Aldika melotot tajam melihat senyuman tipis terukir di wajah
kekasihnya kala bertatap mata dengan Firzha.

“Makasih, Zha, untuk latihan hari ini.”, ujar Nadila ramah.

Aldika nggak suka Nadila jadi ramah begini pada Firzha. Aldika pengen nya Nadila
bersikap ketus pada Firzha sama seperti sikap pacarnya itu pada lainnya. Tapi nggak mungkin
juga ia protes saat ini, ia nggak mau mempermalukan kekasihnya karena betapa posesifnya ia.
Aldika memilih menatap awas pada keduanya, mempererat genggaman tangannya pada
pergelangan tangan Nadila namun tidak sampai tahap menyakiti.

“Sama-sama, Nad. Kamu harus rajin dan rutin latihan ya. Aku selalu siap meluangkan
waktu kok.”, ujar Firzha menyalakan alarm lebih waspada dalam diri Aldika.

“Aku pamit.”, ujar Nadila, tidak memberikan respon lebih.

Nadila keluar dari ruangan latihan taekwondo dengan Aldika yang setia mengekor dan
menggenggam tangannya. Nadila membawa Aldika bersamanya ke perpustakaan sekolah.
Tempat yang mungkin dalam pandangan orang lain adalah tempat yang paling ia hindari
padahal sebenarnya adalah surga kecil baginya. Nadila amat menyukai membaca buku. Ia
bahkan bisa dikatakan ensiklopedia berjalan. Well, memang hanya ada beberapa orang yang
tahu hal itu dan mungkin hanya dua yang mengingatnya hingga hari ini. Aldika dan Veer.

Nadila memilih duduk di pojokan ruangan penuh buku itu. Di hadapannya, ada Aldika
yang mulai membaca komik. Nadila mengotak-atik tablet yang terpasang di meja pemisah, di
depannya. Nadila membaca berita-berita penelitian terbaru terkait alam semesta. Well, Nadila
itu sangat menyukai hal-hal berbau luar angkasa.

Aldika asyik membaca buku cerita bergambar di tanganya. Tertawa tanpa suara.
Sementara Nadila menatap takjub gambar-gambar luar angkasa pada tablet di hadapannya.
Nadila menggoyangkan lengan Aldika, mencoba mendapatkan atensi dari pacarnya itu.
Aldika mengangkat pandangannya dari komik di tangannya, menatap Nadila yang
sedang menunjukkan gambar luar angkasa kepadanya. Aldika mengulas senyum. Ikut menatap
takjub gambar tersebut.

“Well, bagaimana kalo pusat kehidupan bukan lagi di bumi, Al?”, tanya Nadila antusias.

“Hmm, aku tidak tahu.”, jawab Aldika seraya mengedihkan bahu, senyum lembut masih
terulas indah di wajahnya.

“Apakah kamu akan pindah ke Mars jika pusat kehidupan benar-benar pindah kesana?”,
tanya Nadila lagi, tampak masih sangat antusias.

Aldika memperlebar senyuman di wajahnya. Mengangkat sebelah tangannya untuk


mengusap salah satu pipi Nadila kemudian mencubitnya gemas membuat Nadila menatap kesal
ke arahnya sekaligus berusaha menepis tangannya. Aldika tertawa lagi tanpa suara membuat
Nadila mendelik tajam ke arahnya.

“Jawab atau kita nggak ngomong selama seminggu?”, tawar Nadila.

“Cuma seminggu nggak saling ngomong ‘kan?”, tanya Aldika.

“Cuma seminggu?”, tanya balik Nadila marah.

“Ah, rupanya pacarku ini nggak bisa diam-diam-an dengan aku.”, ujar Aldika dengan
wajah sumringah, menaik-turunkan alisnya.

Nadila mempertajam tatapan matanya kemudian menginjak sebelah kaki Aldika


membuat sang pemilik reflek meringis kesakitan, membungkuk untuk memeriksa. Baru
menatap Nadila lagi.

“Apa?”, tanya Nadila sewot seraya bersedekap dada.

“Nad, aku bakalan hidup di planet tempat kamu berada. Tidak perduli itu pusat
kehidupan atau tidak, bagi aku, terpenting kamu berada di planet yang sama. Walau nggak ada
jaminan hidup di planet sama, kisah kita berakhir dengan kita selalu bersama tapi semua sudah
cukup dengan yakin kamu berada di planet yang sama. Tentu saja dalam keadaan baik-baik
saja dan bahagia, lebih dari ketika bersama aku.”, ujar Aldika serius menatap Nadila.

Nadila terdiam mendengar penuturan Aldika. Ia bisa di bilang terpesona pada penuturan
Aldika barusan. Sehingga memasang ekspresi bodoh di wajahnya membuat Aldika yang selalu
menatap serius ke arahnya jadi menatap geli.
Nadila menggelengkan kepalanya untuk memulihkan diri. Mendelik tajam agar Aldika
berhenti menatap geli dirinya. Nadila melirik sekilas kaki Aldika yang tadi menjadi korbannya.
Lirih.

“Kaki kamu baik-baik saja?”, Nadila tampak khawatir sekaligus menggemaskan di


mata Aldika.

“Aku baik-baik saja, Nad. Nggak usah khawatir.”, ujar Aldika seraya mengulas senyum
tulus dan aktif mengacak-acak rambut pacarnya itu.

“Syukur deh. Sorry, tadi kelepasan habis kamu ngeselin.”, ujar Nadila.

“Aku mengerti, Nad. Ohya, aku mau tanya, orang tua kamu akan mengadakan pesta?”,
tanya Aldika.

“Nggak tuh sepengetahuanku.”, ujar Nadila seraya menggelengkan kepalanya.

“Benarkah? Tapi aku terima kartu undangan loh.”, ujar Aldika.

“Dari?”, tanya Nadila agak terkejut.

“Dhara. Tante tiriku kamu.”, jawab Aldika hati-hati.

“Kamu habis ngobrol pribadi dengannya?”, tanya Nadila sewot.

“Nggak, Nad.”, jawab Aldika.

“Apanya yang enggak? Jujur, Al. Aku nggak masalah kalo kamu meladeni cewek lain
tapi jangan Dhara. Dia pembenci garis depan buat aku.”, ujar Nadila tampak sangat putus asa.
Berharap Aldika mengerti.

“Nad, aku nggak sengaja berpapasan dengan dia di koridor pas jam istirahat tadi. Tidak
lama kok, hanya sekedar menerima kartu undangan itu doang.”, jelas Aldika.

“Undangan apa?”, tanya Nadila.

“Aku tidak akan bertanya tadi kalo tahu itu kartu undangan apa. Aku belum
membukanya.”, ujar Aldika.

“Kamu bawa undangannya sekarang?”, tanya Nadila langsung di jawab gelengan


kepala oleh Aldika. Nadila menarik napas. Menatap lekat-lekat wajah diam kekasihnya di
hadapannya. “Kamu bisa datang, Al. Kamu seseorang yang di ingat.”, ujar Nadila tampak
sangat berusaha menyembunyikan mendung dalam dirinya.
“Aku nggak bakalan datang ke rumah kamu untuk orang lain, Nad.”, ujar Aldika.

“Itu bukan rumahku. Aku hanya sekedar seseorang yang mau tidak mau di izinkan
tinggal disana.”, ujar Nadila. Masih sangat berusaha menyembunyikan mendung dalam
dirinya.

“Nad, kita lupakan soal topik ini. Kita bisa kencan di perpustakaan pada saat acara.”,
ujar Aldika berusaha membangkitkan keceriaan Nadila.

Nadila terkekeh. Aldika tersenyum seraya memiringkan kepalanya dengan kedua mata
menatap lekat-lekat wajah Nadila.

“Kamu adalah salah satu keindahan dalam hidup aku, Nad.”, ujar Aldika.

Nadila tersenyum. Menghangat mendengar rayuan Aldika barusan untuknya. Aldika


setia membalas dengan hal sama.

&&&

Nadila seakan ingin merutuki jam tangan rusak pada pergelangan tangannya. Ia pulang
terlambat dan mau tidak mau, ia harus siap menerima konsekuensinya. Nadila ragu-ragu
memutar handle pintu depan rumahnya. Aldika sudah pulang beberapa menit lalu. Kekasihnya
itu seperti biasa hanya sekedar mengantar. Well, itu karena permintaan Nadila.

Nadila membulatkan matanya mendapati desain interior rumah Papanya tampak cantik
dan mengagumkan. Di ke-empat sisi dinding, hiasan menggunakan kucing sebagai aktor utama
tampak tertata rapi memanjakan mata. Nadila mengulas senyum lebar saking kagumnya. Well,
ia merupakan penyuka kucing.

“Senyumnya lebar banget sih.”, tiba-tiba suara paling menyebalkan pernah ia dengar
dalam hidupnya datang menyapa telinganya, menarik atensinya sejenak dari pemandangan
mengagumkan di hadapannya.

“Well, Kak Firman memang nggak pernah setengah-setengah dalam hal menyenangkan
orang-orang ia sayang. Termasuk aku.”, ujar Dhara penuh kemenangan. Ia bersedekap dada.

Nadila kembali melarikan tatapan matanya pada Dhara. Nadila tampak kebingungan
dan Dhara lumayan menyukai itu.

“Ini untuk acara ulang tahunku, Nad. Adik ipar kesayangannya.”, ujar Dhara tersenyum
bangga, menatap remeh Nadila.
Mata Nadila kembali membulat. Kali ini murni bentuk keterkejutannya, tidak ada rasa
kagum lagi mengiringi. Malah ia cenderung berharap kalo Dhara baru saja membual.

“Why? Ini tidak seperti yang kau harapkan? Hey, Nad. Kamu bukan pusat dunia. Kamu
hanya sekedar Nadila anak dari seorang pengkhianat, pelacur dan pembunuh. Singkatnya kamu
terlahir dari rahim seorang pendosa.”, ujar Dhara dengan tajamnya. Kelihatan sangat
menikmati muka merah padam Nadila.

Nadila bergerak maju mendekati Tante tirinya itu. Tangan kirinya menampar pipi kanan
Dhara sekuat mungkin. Baru saja ia akan memberikan tamparan kedua, sebuah telapak tangan
kekar lebih dulu menyapu pipi kanannya. Matanya kembali mengeluarkan airnya. Nadila tidak
pernah menduga kalo Papanya berada dalam jarak dekat dengannya dan Dhara. Lebih tidak
pernah menduga lagi kalo Papanya bisa menamparnya.

“Kenapa? Kenapa aku ditampar? Aku hanya sekedar melampiaskan amarahku akibat
pancingan darinya sendiri. Siapa pun tidak akan pernah rela orang tersayang dalam hidupnya
di lecehkan oleh siapa pun baik secara verbal maupun fisik, Pa. Mungkin Papa menyesali
pertemuan Papa dengan Mamaku. Mungkin Papa menganggap kehadiran Mama dulu dalam
hidup Papa adalah sebuah bencana. Mungkin juga Papa menganggap kepergian Mama adalah
sebuah anugerah. Tapi bagi aku, Mama adalah pahlawan sejati ku, Pa. Dia adalah orang yang
paling menghargai kehadiranku. Pernah memiliki Mama bagi aku kini adalah satu-satunya
bukti kalo aku pernah memiliki masa kecil yang begitu indah. Jadi, aku nggak akan pernah
diam saja membiarkan orang lain menghina Mamaku. Siapapun, Pa!”, ujar Nadila kemudian
mengambil langkah ingin pergi dari rumah.

Namun belum langkah kaki berhasil membawa Nadila pergi dari rumah Papanya,
sebuah tangan lembut lebih dulu mencekalnya. Sepasang lengan mungil juga memeluknya dari
belakang. Lelehan air mata pada wajahnya menjadi lebih aktif namun ia tidak sampai bersuara.
Nadila lebih tidak menduga hal ini karena sebelumnya ia tidak melihat kehadiran keduanya.

“Kamu mau kemana, Nak?”, tanya Nita lembut.

“Iya, Kakak mau kemana? Jangan pergi, Kak. Aku sayang sama Kak Nadila. Aku janji
bakalan jadi anak baik dan patuh tapi kakak janji jangan kemana-mana, tetap disini sama
Asraf.”, ujar Asraf penuh permohonan. Kelihatan sekali anak laki-laki berumur lima tahun itu
sangat ketakutan kalo kakak seayahnya itu bakalan pergi. Membuat Firman di belakang
semakin mematung. Papa Nadila tampak kehilangan arah.
“Kenapa Papa diam saja? Seharusnya Papa bersuara. Larang Nadila pergi, Pa.”, ujar
Nita meninggikan suaranya.

Firman masih berdiri mematung dengan mulut mengatup rapat. Dhara di sisi kanannya
kelihatan begitu terbakar. Tatapan matanya pada Nadila menyampaikan rasa benci dan dendam
begitu dalam.

Nadila melepaskan cekalan tangan Nita berikut sepasang lengan Asraf. Nadila menyeka
air matanya. Memutar tubuhnya kembali menghadap Papanya juga Asraf dalam jarak dekat.
Nita di sisi kanannya dan Dhara di sisi kirinya. Nadila menatap lekat-lekat wajah tegas
Papanya.

“Banyak orang mengatakan dan percaya kalo cinta pertama seorang perempuan adalah
Papanya, well, itu menunjukkan kalo dari seorang Papa, perempuan belajar mencintai kaum
Adam. Aku berterima kasih, Pa, karena pernah menerima aku berada disini. Selamat tinggal,
Pa. Wassalamu’alaikum, Pa.”, ujar Nadila susah payah. Menjaga agar tidak ada tetes air mata
meleleh di pipinya. Menjaga ia bisa mengulas senyuman terbaiknya. Walau luka itu jelas
tampak pada tatapan matanya. Pada Papanya, Nadila memiliki alasan mengucapkan kalimat
salam indah khas pemeluk agama Islam.

Nadila kembali memutar tubuhnya. Melanjutkan langkah kakinya yang sempat terhenti
tadi oleh Mama tirinya dan adiknya. Nadila meraih handle pintu rumah Papanya bersamaan
dengan teriakan Dhara menyapa telinganya.

“Apa yang Kakak lakukan? Kakak bersujud buat Nadila? Untuk apa, Kak? Dia bukan
siapa-siapa.”

Nadila menghentikan langkah kakinya.

“Aku mohon, Pa. Hentikan Nadila. Jangan biarkan dia pergi, Pa. Papa tahu aku
menerima lamaran Papa delapan tahun yang lalu itu karena Nadila. Agar aku bisa menjadi lebih
dekat dengannya. Aku mohon, Pa.”, ujar Nita mengabaikan teriakan adiknya.

Asraf berlari memeluk Nadila kembali. Kali ini pelukan lebih erat dari sebelumnya. Air
mata Nadila kembali meleleh. Nita juga menangis, Asraf pun. Sementara Dhara lebih terbakar
amarah dari sebelumnya. Tatapan matanya untuk Nadila lebih menajam. Kadar kebencian
untuk keponakan tirinya itu semakin bertambah. Terakhir, Papa Nadila. Firman. Lelaki itu
masih diam dengan tatapan tertuju ke depan.
Firman sebenarnya juga nggak mau Nadila pergi dari rumahnya. Sungguh, ia sangat
menyayangi Nadila. Bahkan ia paling mencintai Nadila dalam hidupnya, hampir berimbang
dengan kadar cintanya pada mendiang kedua orang tuanya. Ia juga masih sangat mencintai
Tiara, almarhumah istrinya, Mama Nadila. Kekasih yang berpulang lewat bunuh diri. Bahkan
cintanya pada perempuan yang melahirkan Nadila ke dunia itu jauh lebih besar dari pada
cintanya untuk istri yang sedang bersujud di hadapannya. Akan tetapi setiap kali, ia ingin
menunjukkan cintanya, ia selalu di hantam pada bayangan rekaman video itu.

Firman menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir jauh-jauh bayangan rekaman


video itu. Setiap kali mengingat rekaman video itu, ia langsung merasa dijatuhkan pada
terindah dalam puluhan tahun hidupnya sebagai seorang laki-laki dan suami. Ia amat terluka.

“Aku mohon, Pa. Jangan biarkan Nadila melangkah melewati rumah ini. Dia satu-
satunya anak perempuan kita, Pa.”, ujar Nita penuh permohonan. Wajahnya begitu basah oleh
lelehan air matanya.

“Kak, berdiri! Berhenti memperjuangkan Nadila, Kak. Dia nggak pantas. Dia hanya
sebatas sampah terlahir dari perempuan sampah pula. Kak Firman, jangan menahan Nadila
lebih lama lagi di rumah ini. Ingat, Kak. Betapa pedihnya pengkhianatan. Betapa rendahnya
status pelacur. Ingat, Kak. Tidak ada jaminan Nadila adalah putri Kakak.”, ujar Dhara tajam.

Nita marah mendengar penuturan adiknya barusan. Ia berdiri. Menghadapkan tubuhnya


pada adik perempuannya itu. Plak. Bunyi tamparan itu mengagetkan semuanya.

“Berhenti, Dhar. Berhenti memprovokasi suami Kakak.”, ujar Nita setelah menampar
pipi kanan Dhara.

“Tega, ya, Kakakku. Aku semakin yakin, Kak, kalo aku ini nggak pernah berarti buat
Kakak padahal kita dari orang tua yang sama kak. Bukan hanya setahun dua tahun, Kak, kita
tinggal di bawa atap yang sama. Namun aku kayaknya bukan apa-apa di mata jika Nadila
adalah pembandingnya padahal latar belakang Nadila begitu rusak. Ah, tidak, Nadila pun sudah
rusak.”, ujar Dhara menatap terluka pada Nita berikut menatap penuh kebencian pada Nadila
yang diam saja sejak Kakaknya bersujud pada suami kakaknya.

Dhara berlalu. Melarikan diri ke kamar miliknya dalam rumah Kakak Iparnya itu. Nita
tidak menanggapi Dhara. Nita lebih memilih mendekati Nadila dan Asraf. “Maaf, Nak. Atas
nama Dhara, Mama minta maaf untuk semua kesalahan dia pada kamu, nak.”, ujar Nita tulus.
Firman dalam kediamannya berpikir keras. Memikirkan begitu keras padahal
sebenarnya ia sadar ia punya jawaban. Namun bayangan menyakitkan dalam bentuk rekaman
video itu membuatnya tidak mau mengakui jawaban tersebut. Terus menampik jawaban itu.

“Terserah, Papa. Tapi aku tidak akan pernah menyerah pada Nadila. Dia putriku, meski
tidak lahir dari rahimku.”, ujar Nita sungguh-sungguh.

Firman masih tak bersuara. Mulutnya masih mengatup rapat. Namun tatapan matanya
begitu tajam. Langkah kakinya menghentak dan terarah. Telapak tangan besarnya meraih
tangan Nita, menarik Nita untuk berdiri di sampingnya berikut Asraf. Perasaan Nadila jatuh
sedalam-dalamnya. Kecewa itu melambung tinggi.

“Pergi!”, usir Firman seraya tangan sebelumnya yang menggenggam tangan mungil
Asraf kini beralih menunjuk pintu rumahnya. Nada suaranya begitu tegas tak terbantah.

Nita menatap tak suka dirinya, tepatnya pada satu kata yang baru saja ia ucap pada
putrinya. Asraf tidak berbeda. Namun keduanya tidak mengatakan apa-apa, terlebih Asraf, ia
hanya bisa menangis dan memilih melarikan diri dengan masuk ke dalam kamarnya. Nita
mencoba bersuara namun pergerakan Nadila membuatnya kembali mengatupkan mulutnya.

Sementara, Nadila lebih memilih mengulas senyum mengiringi anggukan kepalanya.


Nadila mencoba meraih tangan bebas Papanya namun belum teraih, tangannya sudah tertolak
oleh gerakan tangan Papanya.

Nadila menganggukkan kepalanya, menekuk kedua lututnya demi bisa berlutut di


hadapan Papanya. Tepatnya, demi bisa mencium punggung kedua kaki Papanya secara
bergantian.

“Aku hanya punya dua harapan, Pa. Satu, sepasang lenganku bisa memeluk Papa
sebebasku. Dua, aku bisa membuat Papa tersenyum bangga memiliki aku. Sayangnya, dua
harapan itu begitu mustahil, ya, Pa. Bahkan Papa tidak suka aku meraih tangan Papa. Akan
tetapi setidaknya, aku masih punya satu titik kebahagiaan yang bisa aku kenang, Pa. Aku bisa
pernah mencium kedua kaki Papa. Tepatnya, di hari aku pergi dari rumah ini aku masih punya
izin untuk mencium Papa. Assalamualaikum, Pa. Jaga kesehatan Papa, ya.”, ujar Nadila
kemudian bangkit.

Nadila memantapkan langkah kakinya kali ini. Nadila meninggalkan Papanya yang
kembali tampak kehilangan arah. Nadila meninggalkan Nita yang begitu tidak rela
melepaskannya. Meninggalkan Asraf, adik kesayangannya yang tengah menangis tersedu-sedu
dalam kamar bernuansa alam.

&&&

Aldika melangkah mondar-mandir di ruang tengah rumahnya. Dalam genggaman


tangan kanannya terdapat kunci mobilnya sementara dalam genggaman tangan kirinya terdapat
jaket kulitnya. Sungguh, ia sangat tidak tenang sekarang. Ia diselimuti gelisah, khawatir dan
takut.

Sepupu perempuan Aldika dalam ruangan sama hanya menggelengkan kepala melihat
tingkah Aldika disaat bersamaan kesal juga. Kegiatannya menonton drama Korea jadi
terganggu oleh aksi Aldika.

Kehabisan kesabaran, sepupu perempuan itu meletakkan laptopnya di atas meja setelah
sebelumnya mem-pause video drama Korea sedang ia tonton. Selanjutnya, ia bangkit dari sofa
panjang dalam ruangan tersebut.

“Al, bisa nggak sih kamu nggak mondar-mandir begitu? Aku pusing melihatnya.”,
ujarnya ketus.

“Trisna,”, panggil Aldika pada sepupu perempuannya itu.

“Apa?”, tanya Trisna ketus.

“Aku khawatir Nadila nggak lagi baik-baik saja.”, curhat Aldika.

Trisna merasa jatuh. Tatapan matanya menajam untuk sepupunya. Bukti nyata ia benar-
benar nggak suka pada curhatan Aldika barusan. Trisna bersedekap dada.

“Berhentilah, Al. Jangan memperdulikan Nadila, dia nggak pantas mendapatkan


keperdulian kamu.”, ujar Trisna.

“Trisna, dia sahabat kamu.”, ujar Aldika tajam.

“Aku nggak ingat kalo aku sahabatnya dia. Bagi aku, dia nggak lebih dari sampah.”,
ujar Trisna ketus.

Aldika mengacak-acak rambutnya sendiri. Tatapan frustasi ia berikan pada Trisna tapi
sepupunya itu tidak peduli, tidak mengerti. Alhasil, Aldika memilih pergi. Langkahnya di iringi
dengan teriakan Trisna memintanya mengabaikan Nadila. Aldika tidak perduli. Aldika lebih
perduli pada menemui Nadila secepatnya.
Aldika mengemudikan mobilnya membelah jalanan raya secepat mungkin namun tetap
menjaga kecepatan tersebut agar tidak sampai mengganggu pengguna jalan lainnya. Aldika
masih sadar, kekhawatirannya pada Nadila tidak boleh sampai membuatnya mengabaikan
keselamatan orang lain.

Aldika membawa mobilnya menempuh perjalanan dari rumahnya ke rumah keluarga


Nadila tidak lebih dari dua puluh menit. Aldika memarkirkan mobilnya di depan rumah
berlantai satu namun mewah itu secara sembarang. Aldika dengan langkah cepat dan lebarnya
mendekati pintu rumah itu.

Aldika mengetuk pintu rumah itu seraya menatap layar ponselnya. Ia sedang mencoba
menghubungi Nadila namun masih sama seperti tadi sejak ia sampai rumahnya setelah ia habis
mengantar Nadila, tidak di angkat. Ketakutan semakin menguat.

Saking, fokusnya Aldika menatap layar ponselnya, ia sampai nggak sadar kalo
rumahnya sudah bukan lagi mengetuk pintu rumah melainkan dahi Dhara. Guru honorer di
sekolahnya dan Nadila. Guru paling menyebalkan dalam hidupnya. Aldika baru sadar kala
Dhara menepis kasar tangannya. Aldika tanpa meminta maaf pada Dhara menerobos masuk
dalam rumah itu.

“Al,”, panggil Dhara seraya mencekal langkah kaki cowok paling mengagumkan dalam
hidupnya dengan kedua lengannya memegang erat-erat lengan kokoh cowok itu.

“Nadila mana?”, tanya Aldika cepat. Nada suaranya dan tatapan matanya menunjukkan
betapa perdulinya laki-laki itu pada rival cewek di hadapannya.

Dhara memutar bola mata malas. Melepaskan lengan Aldika. Bersedekap dada. Ia
melangkahkan kakinya ke dalam ingin kembali ke kamarnya namun teriakan Aldika
menghentikannya.

“Dimana Nadila?”, tanya Aldika meninggikan suaranya beberapa oktaf.

Dhara memutar tubuhnya kembali menghadap Aldika. Kedua matanya menyorot tajam
wajah frustasi Aldika.

“Al, jaga sikap kamu! Bagaimana pun aku guru kamu.”, ujar Dhara.

“Anda guru saya? Gelar S.Pd di belakang nama anda berikut status tenaga pengajar di
tempat saya bersekolah nggak membuat anda menjadi guru saya. Anda sangat tidak layak
menjadi guru.”, ujar Aldika.
“Al, tidak ingatkah kamu, orang yang menginspirasi aku menjadi guru itu kamu? Apa
kamu lupa pas kita sama-sama masih murid sekolah dasar, kamu mengatakan ingin melihat
aku berdiri di depan kelas mengajar? Aldika, aku berada di posisi ini karena kamu.”, ujar
Dhara.

“Jangan membahas lebih jauh topik nggak penting ini, oke? Katakan dimana pada saya
dimana Nadila sekarang!”, ujar Aldika.

“Kamu begitu memperdulikan sampah, Al.”, ujar Dhara.

Dhara melangkah pasti meninggalkan Aldika setelah menyelesaikan satu kalimatnya.


Kali ini, langkahnya tidak akan tertahan lagi. Sebelum menghilang di balik pintu kamarnya,
Dhara sempat melihat bagaimana frustasinya Aldika soal Nadila. Dhara sangat tidak menyukai
pemandangan itu. Kedua tangannya terkepal. Tatapan matanya begitu tajam. Dalam hati, ia
berjanji ia pastikan Nadila akan benar-benar menderita. Lebih dari dirinya saat ini kalo perlu.

Aldika memeriksa sendiri semua ruang dalam rumah keluarga Nadila yang bisa ia akses
tanpa kunci. Namun, ia tidak menemukan Nadila. Aldika melangkah keluar dari rumah itu dan
langsung bertemu dengan sepasang pemilik rumah di depan.

Aldika masih cukup sadar untuk tetap bersikap sopan menyalami seraya bergantian
mencium punggung tangan kedua orang tua Nadila. Aldika sekilas beradu tatapan dengan
tatapan tegas milik Papa Nadila sebelum beralih beradu tatap dengan kedua mata sembab Nita.
Mama tiri Nadila. Aldika menjadi semakin khawatir. Perasaan ingin bertemu Nadila
secepatnya semakin menggebu-gebu akan tetapi tidak sopan juga kalo ia pergi sekarang.

“Ada apa, Nak Al? Mau ngapelin Dhara, ya?”, tanya Firman dengan nada meledek.
Mengajak bercanda Aldika meski ia bisa melihat raut khawatir pada wajah remaja laki-laki itu.

“Nadila kemana, Om?”, tanya Aldika penuh harap kalo kedua orang tua Nadila ini
punya jawaban menyenangkan. Kekhawatirannya sekarang pada Nadila itu hanya sebatas
karena ia nggak bisa jauh-jauh dari Nadila. Nadila baik-baik saja gitu.

Nita membuang pandangan matanya, mendengar nama anak tirinya di sebut ia kembali
tidak bisa menahan air matanya. Sementara Firman membeku. Jujur, tanpa orang lain tahu, ia
sangat menyesali telah mengusir Nadila tadi. Ia bahkan sudah mencoba mencari Nadila, meski
ia menggunakan permintaan Nita sebagai kamuflase.
“Om, kenapa diam saja? Beritahu aku dimana Nadila, Om. Om... Nadila baik-baik
saja’kan?”, tanya Aldika mendesak Papa dari perempuan yang ia cintai.

Firman hanya bisa menggelengkan kepalanya namun itu sudah cukup untuk
menghantam Aldika. Aldika melangkah mundur tanpa sadar. Tatapan matanya untuk Papa
Nadila menajam.

“Apa maksud gelengan kepala, Om? Jangan bilang, Om mengusir Nadila dari rumah
ini? Nggak 'kan, Om?”, tanya Aldika. Sorot matanya menginginkan jawaban yang bisa
menenangkannya. Namun sayang, tidak sesuai keinginan.

“Saya memang mengusir Nadila, dia menampar adik ipar saya.”, jawab Firman dengan
berat hati tapi ia malah memasang muka palsu. Ia mengatur wajahnya menampilkan ekspresi
kalo ia sama sekali tidak menyesal.

Aldika mengumpat tanpa sadar membuat Firman dan Nita menatap terkejut dirinya.
Aldika tanpa mengatakan apa-apa, melangkah pasti melewati kedua orang tua Nadila itu. Ia
masuk ke dalam mobilnya. Kembali ke jalan raya untuk melanjutkan pencariannya.

Aldika mengemudikan mobilnya menyusuri setiap area ia pikirkan bakalan Nadila


datangi. Namun nihil, ia tidak menemukan kekasihnya itu. Bahkan di tempat Mama kekasihnya
di makamkan, hasilnya juga sama. Hingga Aldika nggak tahu mengapa ia melanjutkan
pencariannya dengan mendatangi tempat itu. Aldebaran Kamp. Jujur, ia sangat berharap Nadila
tidak berada di tempat itu.

Oke, sedikit informasi garis besar tentang tempat bernama Aldebaran Kamp itu. Tempat
itu merupakan tempat berkumpulnya remaja-remaja populer dan berpengaruh di kota tempat
tinggal Aldika dan Nadila. Jelas, populer dan berpengaruh bukan karena prestasi akademik.
Mereka populer dan berpengaruh karena latar belakang yang mereka punya. Anak dari pemilik
sekolah seperti Nadila, anak dari donatur sekolah, anak dari pejabat, atau anak dari orang-orang
kaya dan berpengaruh di kota atau anak dari maupun orang terkenal se-Indonesia atau minimal
sahabat dekat anak dari donatur sekolah. Lebih-lebih sahabat pemilik sekolah.

Jika di tempat tersebut, mereka hanya sebatas menghabiskan waktu yang mereka punya
dengan gobrolin hal-hal kocak mengundang tawa di temani rokok dan minuman bersoda. Maka
itu jelas hanya kamuflase agar tempat itu nggak ditutup.
Pembahasan mereka terlalu jauh dan menjurus. Mulut mereka seperti enggak punya
rem. Nggak cukup sampai situ, mereka juga menganggap minuman bersoda itu sudah bukan
level mereka lagi.

Mereka merasa hal-hal seperti kuat minum minuman beralkohol sampai puluhan gelas
adalah sebuah pencapaian. Mereka melakukan. Mereka membicarakan 'pertualangan panas
tanpa ikatan sah’ mereka masing-masing kepada satu sama lain seolah-olah itu adalah sesuatu
yang membanggakan. Padahal buruk.

Jelas, seperti apa pesta mereka. Enggak jauh-jauh dari alkohol. Mereka juga bahkan
enggak lagi di tahap mencoba tapi sudah 'kebiasaan menyalahgunakan' narkoba. Mereka juga
tanpa malu memperagakan 'hal-hal panas' disana. Musik di putar keras-keras memenuhi
ruangan hingga menekankan telinga. Ditambah dengan teriakan-teriakan asal saling bersahut-
sahutan.

Oke, mungkin itu sudah cukup untuk menggambarkan bahwa Aldebaran Kamp ini
sangat cocok di sebut ruang dosa.

Ragu-ragu, Aldika keluar dari mobilnya. Aldika memasuki tempat tersebut dengan
harapan kalo ia akan mendapatkan hal yang sama seperti sebelumnya. Tidak menemukan
Nadila. Aldika sangat tidak menyukai Nadila ke tempat ini.

Aldika dengan statusnya sebagai juara olimpiade sains maupun olahraga membuat
kehadirannya di Aldebaran Kamp langsung mendapat berbagai jenis perhatian dari pengunjung
tetap tempat itu. Mereka cenderung merasa kaget dan aneh mendapati murid kesayangan guru
macam Aldika berada di tempat ini. Sebagian besar juga merasa takut, kalo Aldika bakalan
melaporkan tempat ini. Mereka tahu Aldika punya kekuatan untuk menutup tempat ini.

Antonio, rival abadi Aldika dari dulu dalam hal apapun termasuk soal kepemilikan
Nadila langsung bereaksi. Antonio seraya bertepuk tangan melangkah penuh percaya diri
menghampiri Aldika yang kelihatan sangat tidak menyukai suasana tempat ini dan sibuk
melirik sana-sini tapi ragu-ragu juga. Banyak perempuan berpakaian kekurangan bahan di
tempat ini.

“Ngapain loh kesini, Al? Tempat ini nggak cocok buat orang sok suci kayak lo!”, ujar
Antonio.
“Minggir!”, Aldika hanya merespon dengan satu kata itu pun karena Antonio memang
menghalangi langkahnya.

“Mau mengumpulkan bukti keburukan tempat ini agar bisa lo laporin?”, tanya Antonio
ketus.

“Nggak penting!”, ujar Aldika.

Aldika benar-benar tidak perduli. Ia lebih perduli pada satu hal,.yaitu memastikan
Nadila benar-benar tidak berada di tempat ini sesuai harapnya. Namun perkataan Rendy,
sahabat dekat Antonio langsung meruntuhkan harap nya itu. Nadila berada di tempat ini dan
mabuk.

Aldika bergerak lebih cepat dari Antonio yang kesal dengan mulut ember Rendy serta
Rendy yang menunduk takut mengutuk mulut embernya. Aldika melangkahkan kakinya lebar-
lebar menuju ruangan yang di sebut Rendy barusan sebagai tempat Nadila berada sekarang.
Aldika membuka pintu ruangan itu dalam gerakan kasar.

Aldika menatap tajam pandangan di hadapannya. Nadila benar-benar mabuk. Tangan


kanannya memegang mikrofon sementara tangan kirinya memegang botol minuman
beralkohol. Tubuh bergerak nggak jelas juga nyanyian nya. Tatapan matanya sayu.

Aldika menghampiri Nadila. Bau alkohol dari tubuh Nadila begitu menyengat hidung
nya. Aldika merebut botol minuman beralkohol dari tangan Nadila berikut mikrofon di tangan
lainnya. Aldika merangkul tubuh Nadila. Ingin membawa Nadila secepatnya pergi dari tempat
ini namun Nadila berontak.

“Nad, jangan begini. Jangan merusak diri kamu kayak gini.”, ujar Aldika seraya
memegang kedua bahu Nadila.

Nadila tidak perduli pada ucapan Aldika. Gerakan tangannya mencoba meraih
minuman alkohol di atas meja membuat Aldika yang semula menahan diri untuk tidak
bertindak lebih menjadi lost control. Aldika melempar semua minuman beralkohol di atas meja
baik dalam gelas maupun dalam botol, termasuk yang belum terbuka sekalipun dengan satu
tangannya. Membuat Nadila menangis.

“Untuk apa lagi, Al? Aku di tolak oleh Papaku sendiri. Aku udah nggak punya alasan
untuk menghargai hidup aku.”, teriak Nadila frustasi.
“Kamu masih punya aku, Nad. Aku selalu mengatakan kepada kamu, bukan? Akan
selalu ada aku setia berdiri di sisimu.”, ujar Aldika seraya menarik Nadila dalam dekapannya.
Mencoba sepenuhnya mengendalikan dirinya kembali.

“Aku merindukan Mamaku, Al. Berulang kali dia datang menyapaku, meminta aku
untuk segera menyusulnya.”, ujar Nadila dalam dekapan Aldika.

“Kita pergi dari tempat ini, Nad.”, ujar Aldika.

“Nggak, Al. Aku mau disini. Mereka mengatakan Mamaku pelacur berarti aku juga
nggak jauh beda dan seorang pelacur tempatnya seperti ini.”, tolak Nadila yang kembali
membuat Aldika marah.

Namun kali ini, Aldika tidak menunjukkan amarahnya dengan melempar barang atau
membentak Nadila. Aldika lebih memilih menggendong Nadila. Membawa paksa perempuan
itu bersamanya keluar dari ruangan ini. Keluar dari Aldebaran Kamp. Hadangan dari Antonio
bukan apa-apa.

Aldika mendudukkan Nadila di jok penumpang samping jok pengemudi. Aldika


mengusap rambut Nadila lembut. Matanya menatap Nadila yang kini benar-benar kehilangan
kesadaran akibat minuman beralkohol itu. Kedua mata Nadila tertutup. Aldika mendekatkan
bibirnya ke telinga kiri Nadila, berbisik pelan disana.

“Nadila, trust me, mabuk-mabukan bukan solusi tapi masalah baru. Ini terakhir kalinya
kamu begini, ya? Aku sayang kamu, Nad.”

Aldika selanjutnya menutup pintu mobilnya. Masuk ke dalam mobilnya lewat pintu
lain. Ia duduk di balik jok pengemudi. Menyalakan mesin mobilnya. Mobil itu kemudian
melaju meninggalkan Aldebaran Kamp. Aldika membawa Nadila ke rumah sakit.
Bagaimanapun, Nadila harus mendapatkan perawatan medis sekarang. Nadila di tangani oleh
dokter dengan baik. Aldika setia di sampingnya menemani.

BAGIAN II – Ruang dan Waktu Tuk Bersinar

Cahaya matahari di pagi hari mengusik lelap perempuan di atas kasur pasien itu. Ia mau
tidak mau membuka matanya. Toh, ia tipikal yang susah tidur. Apalagi kalo baru bangun. Ia
mengerjap-ngerjapkan matanya menyesuaikan pencahayaan dalam ruang rawatnya. Ia
menunduk, melihat jari telunjuknya sedang di genggam erat telapak tangan seseorang. Ia
mengulas senyuman membalas senyuman pemilik telapak tangan tersebut.
“Bagaimana, Nad?”, tanya Aldika.

“Haus.”, jawab Nadila.

Aldika langsung bergerak cepat. Membantu Nadila bisa duduk menyandar pada kepala
tempat tidur pasien dengan nyaman kemudian mengambil gelas berisi air putih di atas nakas
lalu menyodorkannya pada Nadila. Nadila menerimanya dengan senang hati. Meneguk isinya
hingga habis dalam beberapa tegukan. Nadila mengembalikan gelas yang sudah kosong karena
dirinya itu kepada Aldika untuk kemudian Aldika letakkan di tempatnya sebelumnya.

Nadila menatap heran Aldika yang menatap tajam dirinya seraya duduk di pinggir
tempat tidur pasien yang sedang ia tempati. Sebenarnya Nadila juga terkejut mendapati dirinya
di rumah sakit. Seingatnya kemarin, ia berada... di Aldebaran Kamp. Mata Nadila membulat
menyadari kebodohannya. Ia paham maksud tatapan tajam Aldika sekarang. Pacarnya itu
marah pada kebodohannya kemarin.

“Harus berapa kali aku katakan, aku ingatkan, aku peringatkan, Nad?”, tanya Aldika.

Nadila tidak menjawab. Ia menundukkan kepalanya. Aldika menghela napas berat


kemudian menariknya dalam dekapan. Nadila lebih baik dalam pelukan Aldika serta usapan
lembut tangan kokoh Aldika pada rambutnya juga menenangkan buatnya.

“Jujur, Nad. Tiap kali aku mendapati kamu memilih melampiaskan kekecewaanmu
dengan melakukan hal-hal bodoh dari pada menceritakan padaku, aku selalu merasa gagal. Aku
selalu merasa ingkar janji padamu.”, ujar Aldika.

Nadila merasa bersalah mendengar penuturan Aldika barusan. Sungguh, bagi Nadila,
Aldika nggak pernah gagal ataupun ingkar janji, justru dirinya yang ingkar janji pada Aldika.
Berulang kali, ia berjanji pada Aldika akan menceritakan semuanya pada Aldika, nggak
bertindak bodoh lagi tapi kemarin ia kembali ingkar.

“Nggak, Al. Aku yang ingkar janji sama kamu.”, ujar Nadila pelan.

Pelukan Aldika mengerat. Pelan Aldika berbisik pada sebelah telinga Nadila, “Kalo aku
bisa membuat kamu percaya padaku, kamu juga nggak bakalan ingkar janji. Aku gagal, Nad.”.

Nadila mengurai pelukan Aldika. Matanya menyapukan pandangan intens pada wajah
Aldika. Nadila menghela napas berat, melihat wajah Aldika kacau. Tidak jauh berbeda dari
dirinya.
“Pulanglah, Al. Mandi kemudian makan lalu istirahat.”, ujar Nadila.

“Aku nggak butuh itu, Nad.”, tolak Aldika namun tidak mendapatkan dukungan dari
perutnya. Sama seperti tampilan wajahnya perutnya. Aldika sontak memeluk perutnya.

“Kamu bisa berkata seperti itu tapi tubuh kamu butuh, Al. Itu perut kamu bersaksi.
Wajah kamu juga sedari tadi bersaksi. Kalo kamu khawatir sama aku, aku bakalan baik-baik
saja.”, ujar Nadila membujuk Aldika.

“Nggak, Nad. Biarin aku disini. Aku butuh menghabiskan waktu lebih banyak dengan
kamu untuk meyakinkan diri aku sendiri kalo kamu masih disini bersama aku. Benar-benar
masih disini bersama aku.”, tolak Aldika keras kepala.

“Begini saja, Al. Kamu ke kamar mandi, bersih-bersih lalu keluar beli makanan.
Makanannya beli dua porsi ya, aku nggak suka makanan rumah sakit.”, putus Nadila tidak mau
dibantah.

“Oke, Nad.”, ujar Aldika menyetujui.

Aldika menyempatkan diri memeluk Nadila dan mengusap rambut Nadila sebelum
beranjak melaksanakan keputusan Nadila. Ia masuk ke kamar mandi dalam ruang rawat Nadila.
Bersih-bersih ala kadarnya lalu setelah itu keluar sebentar untuk membeli makanan buat dirinya
dan Nadila.

Aldika kembali duduk di hadapan Nadila satu jam kemudian. Dua kotak berisi makanan
dan dua gelas berisi air putih tersaji di atas meja kecil antara dirinya dengan Nadila. Aldika dan
Nadila menikmati sarapan mereka hari itu.

“Setelah ini, kamu tidur, Al. Jangan ngebantah. Aku pun mau tidur.”, ujar Nadila cepat,
menghindari Aldika memotong perkataannya, membuat Aldika terkekeh seraya menatap geli
dirinya.

Aldika menganggukkan kepalanya, menyetujui perkataan Nadila. Well, tubuh mereka


memang butuh istirahat, toh, hari ini hari libur. Aldika mengacak-acak rambut Nadila seraya
mengulas senyum memandangi senyuman milik Nadila. Senyum itu manis walau butuh
kejelian mata untuk melihatnya.

“Kamu udah cocok, Nad, buat jadi pendamping aku selamanya. Aku menarik kata-kata
ku di perpustakaan kemarin. Aku mau kamu bersama aku selamanya. Aku sayang kamu.”, ujar
Aldika pelan-pelan.
Nadila tersenyum lebih lebar dari sebelumnya. “Aku anggap senyuman itu adalah ya.
Kamu menyetujui kemauan aku.”, lanjut Aldika dengan aura sumringah.

Nadila menggelengkan kepalanya beberapa kali melihat ekspresi wajah Aldika.


Senyuman juga lebih terlihat. Lesung pipi bahkan sudah tampak. Aldika jadi gemas dan
mencubitnya.

&&&

Di tempat lain, masih di kota sama, Trisna melangkahkan kakinya mondar-mandir di


ruang tamu rumahnya. Pandangannya berulang kali tertuju ke luar rumah tiap kali ia
mendengar suara mobil. Ia selalu menghela napas kecewa tiap kali mendapati itu bukan mobil
Aldika.

Sudah berapa kali menghubungi Aldika tapi sepupu kesayangan itu tidak pernah
mengangkat. Trisna tidak khawatir Aldika bakalan kenapa-kenapa karena ia tahu sepupunya
sangat handal dalam hal menjaga diri. Yang membuatnya gelisah sebenarnya karena ia
keberatan sepupunya kesayangannya itu sangat perduli pada Nadila.

Trisna sebenarnya pernah menjadi sahabat terbaik buat Nadila begitu pun Nadila juga
pernah menjadi sahabat terbaik buat Trisna. Akan tetapi itu berubah semenjak berpulangnya
Mama Nadila dengan cara bunuh diri.

Trisna kecil waktu itu dengan jelas mendengar pembicaraan kedua orang tuanya tentang
pengkhianatan Mama Nadila, tentang Mama Nadila seorang pelacur. Nah Trisna kecil sampai
sekarang memang tidak begitu cerdas, ia bahkan sangat jauh dibawah kecerdasan Nadila tapi
Trisna sejak kecil sudah begitu paham bahwa penghianatan dan pelacur itu buruk. Memalukan.
Ia kemudian mulai menjauhi Nadila setelah ia mendengar pembicaraan orang tuanya. Bahkan
ia menjadi orang pertama yang membully Nadila kecil waktu itu.

“Tris, ada apa, nak? Kenapa kamu kelihatan gelisah banget begitu?”, tanya Flara, Mama
Trisna yang merupakan orang psikolog. Flara duduk di atas sofa dua kursi.

“Aldika belum pulang ke rumah sejak kemarin sore, Ma dan itu semua karena Nadila.
Aku jadi menyesal mengajak Aldika sekolah di sekolah yang sama denganku.”, keluh Trisna.

“Trisna sayang, apa salahnya Aldika menaruh perhatian pada Nadila? Kamu juga
kenapa menjauhi Nadila? Nadila itu butuh kasih sayang lebih, Nak. Butuh support nya kamu
sebagai sahabatnya.”, ujar Flara kembali menasehati putrinya.
“Nggak, Ma. Aku nggak mau sahabat sama anak seorang penghianat apalagi sekaligus
anak seorang pelacur. Itu memalukan. Buruk banget, Ma.”, tolak Trisna.

“Trisna sayang, nggak boleh kamu menghakimi Nadila hanya berdasar latar
belakangnya. Toh juga, Mamanya berkhianat dan pelacur itu hanya sebatas berita yang masih
belum seratus persen kebenarannya. Bisa saja 'kan Mamanya Nadila di fitnah.”, ujar Flara
memberikan pengertian kembali kepada putrinya.

“Mama, Om Firman saja percaya pada berita itu bagaimana dengan aku? Tentu saja,
aku percaya. Pokoknya hal paling aku sesalkan adalah pernah berteman dengan Nadila. Uuuh,
menjijikkan.”, ujar Trisna keras kepala.

“Terserah kamu, Nak.”, ujar Flara, frustasi lagi dalam hal membujuk Trisna agar
berbaikan dengan Nadila. Bersahabat seperti dulu lagi.

“Ya, tentu saja, Ma. Aku nggak akan pernah kembali bersahabat dengan Nadila walau
sekeras apapun Mama membujuk aku.”, ujar Trisna yakin.

“Mama harap kamu nggak pernah menyesal, Nak.”, ujar Flara.

Trisna menganggukkan kepalanya, mengambil tempat di samping Mamanya. Matanya


menyiratkan sebuah rencana. Mamanya membalas dengan tatapan awas. Trisna memeluk
lengan Mamanya dengan manja.

“Ma, aku mohon, bujuk Aldika menjauh dari Nadila.”, ujar Trisna dengan suara
manjanya.

“Tidak, Nak. Mama tidak berhak.”, tolak Flara.

“Mama sudah seperti seorang Ibu buat Aldika, Ma. Aku yakin Aldika nggak masalah
Mama ikut campur dalam urusannya. Aku yakin dia bakalan dengerin Mama.”, rengek Trisna.

“Kamu harus tahu satu hal, Nak. Mama memang official mulai hari ini berhenti
membujuk kamu buat baik-kan dengan Nadila but Mama nggak akan melarang siapa pun buat
mendekati Nadila termasuk Aldika. Mama malah senang banget melihat mereka dekat.”, jelas
Flara membuat Trisna cemberut. Bibir mengerucut, kedua lengannya melepaskan lengan
Mamanya.

Trisna beranjak dari duduknya. Pergi dengan langkah kaki begitu cepat dan
menghentak. Flara melihatnya hanya menggelengkan kepalanya tanpa ada niat untuk
membujuk putri satu-satunya itu. Flara meraih remote tv di atas meja kaca depannya. Mulai
menikmati waktu santainya dengan nonton Tv.

Flara menatap heran sekaligus menutup telinga demi kesehatan alat pendengarannya.
Trisna yang sebelumnya pergi kini muncul kembali lengkap dengan teriakan memekakkan
telinga. Flara tidak lama menatap putrinya, ia kembali asyik menonton tv setelahnya. Trisna
kembali menghentakkan kaki melihat reaksi Mamanya.

Fadli baru saja keluar dari kamarnya. Papa Trisna itu keluar karena ingin bergabung
dengan sang istri menonton tv. Tapi apa, ia justru di suguhi pemandangan menggelikan.
Putrinya dan istrinya sedang terlibat perang dingin. Fadli menghela napas berikut melanjutkan
langkah kakinya. Menjatuhkan dirinya di samping istrinya setelahnya. Lengan kokohnya
merangkul bahu istrinya.

“Ada apa ini?”, tanya Fadli seraya menatap penuh selidik keduanya secara bergantian.

“Pa, aku nggak suka ada di antara keluarga kita dekat dengan Nadila. Aku nggak suka
dia.”, ujar Trisna tegas.

“Trisna, apa salahnya bergaul dengan Nadila sih? Dia teman terdekat kamu loh.”, ujar
Fadli heran.

“Masa lalu.”, ujar Trisna mengelak.

“Iya, egomu mengatakan dia teman terdekat di masa lalu dan sekarang bukan siapa-
siapa lagi bagi kamu tapi tanpa sadar caramu menjalani hidupmu hingga hari ini Nak
menjatuhkan ego kamu itu. Sejauh ini, kamu hanya pernah membawa satu orang ke rumah ini
yaitu Nadila loh. Saat kamu memutuskan menjauhnya kamu juga menolak berteman dekat
dengan orang lain.”, nasehat Fadli.

Perkataan Fadli barusan membuat Trisna terdiam sejenak. Remaja kelas dua SMA itu
nggak punya bantahan untuk kata-kata itu. Dalam hati ia membenarkan perkataan Papanya.
Tapi dasar, egonya terlalu menekannya. Trisna menggelengkan kepalanya.

“Kalian nyebelin.”, ucap Trisna sebelum benar-benar berlalu dari hadapan kedua
orangtuanya.

Fadli maupun Flara tidak ada yang mengejar Trisna. Mereka membiarkan putri mereka
pergi dalam keadaan kesal. Fadli mempererat rangkulannya pada istrinya. Flara dengan
nyaman menyandarkan punggungnya pada dada bidang suaminya.
&&&

Aldika menatap lekat-lekat wajah lelap Nadila. Menggenggam tangan Nadila erat-erat,
tentu saja tidak sampai menyakiti Nadila. Aldika tengah di selimuti berbagai pemikiran. Aldika
mengakui betapa beratnya masalah kekasihnya.

Aldika mengusap rambut Nadila dengan tangan bebasnya. Mendekatkan bibirnya ke


telinga Nadila, ia membisikkan beberapa kalimat penyemangat buat Nadila. Kemudian Aldika
beranjak mendekati sofa panjang dalam ruangan rawat kekasihnya itu. Membaringkan
tubuhnya disana. Matanya menatap langit-langit ruangan tersebut dengan otak sibuk berkelana
memikirkan berbagai hal.

Jujur, Aldika dalam kekhawatiran begitu mendalam sekarang. Ia mengkhawatirkan


Nadila. Well, kemarin ia berhasil namun tidak ada jaminan berikut-berikutnya bakalan begitu
terus. Aldika mengusap wajahnya frustasi, memejamkan matanya. Mencoba menuntun diri
sendiri ke alam mimpi.

Aldika belum benar-benar terlelap kala merasakan derap langkah mendekatinya. Ia bisa
merasakan kehadiran Nadila dalam jarak dekat sekarang. Terlebih, kala ia merasakan tangan
lembut kekasihnya itu mengusap rambutnya. Ini adalah sesuatu tidak terlupakan buat Aldika.
Ini pertama kalinya Nadila mengusap rambutnya.

“Makasih, Al. Kamu selalu konsisten berhasil membuatku percaya bahwa aku masih
harus hidup. Bawa bunuh diri tetap bukanlah solusi untukku. Mungkin jika kamu tidak
menemukan dan membawaku pergi dari Aldebaran Kamp tadi malam, mungkin hari ini aku
sudah nggak bernyawa lagi. Bukan karena alkohol tapi karena kehormatan aku. I know you
know tempat itu sangat berbahaya.”, ujar Nadila panjang lebar.

Aldika tetap memejamkan matanya. Membenarkan perkataan Nadila barusan. Namun


ia belum ingin memberikan reaksi dalam bentuk apa pun. Ia ingin mendengar lebih banyak
lagi. Tepatnya, ia memberikan ruang dan waktu buat Nadila untuk curhat sekarang. Mungkin
lebih nyaman begini bagi Nadila. Well, meski itu sedikit membuatnya kecewa. Bukan pada
Nadila tapi pada dirinya sendiri karena belum sepenuhnya berhasil membuat Nadila
mempercayainya.

Rasa-rasanya Aldika ingin membuka matanya berikut meraih Nadila untuk ia dekap.
Mengusap rambutnya dengan lembut. Memberikan ketenangan pada Nadila tengah menangis.
Pacarnya yang tampak kuat, nol terhadap aturan dan suka menindas orang lain di sekolah itu
tampak begitu rapuh sekarang. Well, Nadila memang mengenakan topeng terlalu sering di
depan orang lain. Hanya pada dirinya dan Veer mungkin Nadila menunjukkan dirinya yang
sebenar-benarnya.

“You know, Al, mereka selalu merendahkan aku. Mereka memang sebagian besar
melakukannya di belakang aku dan di depanku tampil begitu baik memuji aku dengan
kebohongan-kebohongan. Menyakitkan Al mendapati kebohongan banyak berkembang karena
aku. Itu yang aku dapati dari sebuah sekolah. Sekolah yang di perjuangkan mati-matian oleh
Veer, teman terbaikku.”

Nadila menjeda ucapannya sejenak. Menyeka lelehan air matanya pada wajahnya.
Mengatur pernapasannya. “Lebih sakit lagi mendapati Trisna adalah orang pertama yang
membuat sekolah menjadi mimpi buatku. Dulu kala aku menyadari Papaku berubah padaku,
aku pikir aku hanya akan kesakitan di rumah. Nyatanya di sekolah pun begitu lewat Trisna.
Sepupu kamu. Alasan terbesarku, mengapa aku belum benar-benar bisa membuka diri
membagi masalah aku dengan kamu itu karena aku takut. Takut kalo kamu bakalan menjadi
Trisna kedua. Baik namun tidak cukup bijak untuk mau benar-benar mengenalku.”, lanjut
Nadila.

Aldika sudah tidak bisa menahan diri lagi. Ia menarik Nadila dalam dekapannya.
Membuat Nadila membulatkan mata terkejut. Tubuhnya menegang sebagai bukti. Aldika
mempererat dekapannya. “Nad, aku mengerti. Aku akan lebih berusaha menunjukkan
ketulusan aku padamu sekaligus aku minta maaf atas nama Trisna.”, ujar Aldika pelan, tepat
di samping daun telinga Nadila.

Nadila tidak mengatakan apa-apa namun menganggukkan kepalanya dan itu sudah
cukup buat Aldika. Aldika paham Nadila ingin lebih di perjuangkan. Aldika tahu hal itu
membuat Nadila di mata orang lain sebagai seseorang yang nggak punya rasa syukur dan selalu
berprasangka buruk pada orang lain namun itu bakalan berlalu kala Nadila sudah bersinar
terang nanti. Aldika akan lebih berusaha dalam memperjuangkan Nadila. Ia berjanji untuk hal
itu.

&&&

Firman duduk termenung sendirian di ruang dalam ruangan kerjanya di kantor


perusahaannya. Tidak ada satu pun orang tahu tentang keberadaan ruangan itu kecuali tim
kontruksi yang mengerjakan bangunan kantor perusahaannya ini. Ruangan itu tidak begitu luas
dan penuh barang. Ruang yang menyimpan semua kenangan sang istri yang telah berpulang
darinya.

Firman memang selalu menampilkan diri sebagai seseorang telah melupakan Tiara tapi
nyatanya tidak. Firman sampai kapanpun tidak akan bisa melupakan Tiara. Perempuan yang
pertama kali mengajarkannya cinta. Mengajarkannya rasa ingin memiliki hingga akhir.
Perempuan satu-satunya yang benar-benar pernah ia perjuangkan. Perempuan itu mengajarkan
indah sekaligus pahit dari sebuah pernikahan.

Firman mengusap foto pernikahannya dengan istrinya dalam pandangan terluka.


Menyampaikan kekecewaannya yang begitu mendalam dalam pandangannya pada foto
tersebut. Seolah-olah itu bisa mengantarkan rasa itu pada seseorang sesungguhnya yang entah
bahagia kah di alam barunya setelah meninggal banyak kepahitan pada orang-orang
terdekatnya.

Firman mengalihkan pandangannya dari foto Tiara kala mendengar ponselnya berbunyi
nyaring di ruangan luar. Firman tahu itu telepon dari siapa. Itu adalah telepon dari istrinya di
rumah. Nita.

Firman mengembalikan perhatiannya pada foto Tiara. Mengabaikan telepon dari sang
istri. Jangan berprasangka buruk dulu. Firman mengabaikan telepon itu karena ia tahu
menerimanya hanya akan membuatnya terlibat perdebatan sengit dengan sang istri. Well, ia
mengetahui baik tujuan dari istrinya menelponnya. Pasti mau merengek memintanya mencari
Nadila sampai ketemu.

Firman sudah melakukan hal itu. Firman tahu dimana Nadila berada sekarang.
Tepatnya, ia selalu mengetahui keberadaan Nadila. Firman menyewa beberapa orang khusus
bertugas untuk mengawasi dan menjaga Nadila kapan pun.

Firman mungkin bisa berakting terlihat tidak perduli pada Nadila tapi nyatanya sampai
kapan pun, ia akan selalu perduli pada Nadila. Firman tahu betapa dirinya begitu menyayangi
Nadila yang statusnya menjadi nggak jelas sejak berpulangnya istrinya. Menyisakan luka
sekaligus mendatangkan berita buruk.

Firman bahkan sebenarnya mati-matian menjaga amarahnya dan mengontrol dirinya


untuk tetap bersikap palsu tiap kali ada pada saat Nadila dan Dhara berdebat. Firman rindu
memeluk Nadila. Ia terluka tiap kali melihat Nadila menangis dan ia tidak melakukan apa-apa
untuk menenangkan.
Firman menghembuskan napas berat. Dering ponselnya di luar ruangan sudah tidak
terdengar lagi. Namun dering ponselnya di atas meja depannya justru berganti berdering.
Firman melirik nama salah satu orang suruhannya tampil di layar ponselnya sebagai id dari
penelpon. Firman menggeser ikon hijau menerima telepon tersebut. Ia mendekatkan ponselnya
ke daun telinganya seraya mengucapkan salam kepada sang penelpon. Sang penelpon
menjawab salam tersebut.

“Ada apa, Liam?”, tanya Firman tegas.

“Saya ingin mengabarkan nona Nadila telah keluar dari rumah sakit, Pak.”, ujar Liam.

“Masih ada Aldika menemaninya?”, tanya Firman.

“Masih ada, Pak. Cowok itu begitu setia terhadap nona Nadila.”, ujar Liam.

“Terus pantau Nadila bergantian dengan rekan-rekan kamu. Jangan sampai kehilangan
jejaknya. Pastikan ia selalu aman dan kemarin ada terakhir kalinya saya menerima laporan ia
masuk ke Aldebaran Kamp. Pokoknya berikut-berikutnya kalian harus melakukan segala cara
agar Nadila nggak kembali masuk ke tempat itu.

“Baik, Pa. Tapi kalo boleh saya mau ngasih saran.”, ujar Liam.

“Apa?”, tanya Firman singkat.

“Bubarkan Aldebaran Kamp dan bersikap lebih baik kepada Nadila. Itu adalah cara
terampuh agar Nadila menjadi lebih baik.”, ujar Liam.

BAGIAN III – Ruang dan Waktu Tuk Bersinar

BAGIAN IV – Ruang dan Waktu Tuk Bersinar

BAGIAN V – Ruang dan Waktu Tuk Bersinar.

Anda mungkin juga menyukai