0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
113 tayangan4 halaman
Cerita ini menceritakan perjuangan seorang anak tunarungu bernama Fiezza dalam berkomunikasi dengan lingkungannya. Ia diajari berbagai cara berkomunikasi oleh orang tuanya dan eyang-nyangnya, seperti menggambar dan bahasa isyarat. Suatu hari, ayahnya memberinya hadiah laptop untuk memudahkan berkomunikasi dengan menulis.
Cerita ini menceritakan perjuangan seorang anak tunarungu bernama Fiezza dalam berkomunikasi dengan lingkungannya. Ia diajari berbagai cara berkomunikasi oleh orang tuanya dan eyang-nyangnya, seperti menggambar dan bahasa isyarat. Suatu hari, ayahnya memberinya hadiah laptop untuk memudahkan berkomunikasi dengan menulis.
Hak Cipta:
Attribution Non-Commercial (BY-NC)
Format Tersedia
Unduh sebagai TXT, PDF, TXT atau baca online dari Scribd
Cerita ini menceritakan perjuangan seorang anak tunarungu bernama Fiezza dalam berkomunikasi dengan lingkungannya. Ia diajari berbagai cara berkomunikasi oleh orang tuanya dan eyang-nyangnya, seperti menggambar dan bahasa isyarat. Suatu hari, ayahnya memberinya hadiah laptop untuk memudahkan berkomunikasi dengan menulis.
Hak Cipta:
Attribution Non-Commercial (BY-NC)
Format Tersedia
Unduh sebagai TXT, PDF, TXT atau baca online dari Scribd
Mengapa dunia membisu padaku? Tak bisa kudengar derai hujan atau desah angin. Ta k tahu seperti apa dengung kumbang yang mengelilingi bunga-bunga. Atau derik ser angga malam hari. Benarkah mereka bersuara seperti yang diceritakan ayah atau di dongengkan ibu. Kicau burung hanya ada dalam gerak mulut orang tuaku. Pastinya s eperti apa tak kupahami. Suara ayah ibu pun entah seperti apa. Apa ibu memanggil namaku dengan lembut? Apa tawa ayah keras atau pelan. Aku hany a melihat bibir ibu bergerak menipis lalu terbuka. Saat itulah aku paham ia seda ng memanggil namaku. Dan tawa ayah hanya kupahami lewat baris giginya yang terli hat. Yang pasti ayah selalu tersenyum bila memanggil namaku. Aku melihat alam selalu bergerak dalam kesunyian. Kala hujan deras disertai angi n melanda halaman rumah. Ranting-ranting terlihat patah, pohon bergoyang tumbang . Daun berserakan diacak angin yang tak peduli arah. Namun dalam gerak alam yang sedahsyat itu tak kudengar apa pun. Bahkan petir pun hanya sebuah kilatan caha ya di langit yang tetap saja sepi. Sejak awal hidup tak dapat kudengar apapun. Aku hanya melihat gambar bisu. Seper ti film kuno yang hanya dipenuhi gerak tak bermakna. Tak kumengerti dunia. Tak k upahami kata orang tuaku. Tak dapat kusampaikan keinginanku. Aku terpenjara keti dak sempurnaan indera. Keadaan yang tak pernah diduga orang tuaku. Sejak aku bergelung melengkung dalam rahim. Ayah ibu selalu berdoa untuk kebaikanku. Sebab aku adalah anak pertama y ang sangat dinantikan. Ibu telah merawat kehamilannya dengan benar. Tak ada yang terlewat. Makanan sehat penuh gizi. Vitamin lengkap yang diresepkan bidan. Hing ga jamu paling pahit pun diminum ibu. Semua demi aku. Buah hati yang begitu diri ndukan. Ketika mengandungku, kuyakin ibu telah melakukan semua yang terbaik. Lal u kenapa aku terlahir begini? Padahal begitu lama ayah ibu menantikanku. Lima tahun bukanlah waktu yang sebent ar. Banyak yang telah diupayakan untuk mendapatkan keturunan. Tanpa lelah ayah i bu berusaha keras demi kehadiranku ke dunia. Tengah malam ayah ibu melantunkan d oa khusus, memohon anak dari Sang Kuasa. Pagi setelah sarapan ibu rutin minum ob at penyubur kandungan. Ayah berpantang makanan yang dipercaya menghambat pembuah an. Begitu sempurna semua upaya. Tapi setelah lahir, aku tak sesuai harapan. Aku bayi yang tak lengkap. Mereka pasti kecewa dengan kekuranganku. Tapi mereka begitu tegar dengan masalah ku yang tanpa pemecahan. Sabar menerima keadaanku. Tak pernah sekalipun mengeluh . Nrimo dan tak saling menyalahkan. Bukan bibit ayah yang jelek atau rahim ibu y ang buruk. Keduanya justru semakin merapat kompak. Sepakat untuk mengatasi kekur anganku. Tidak dengan cara yang aneh atau tak masuk akal. Tidak pula dengan meny embunyikan kecacatanku. Berdua bahu membahu demi aku. Setelah sekian lama bekerja keras demi kelahiranku, ayah ibu harus kembali beker ja keras untuk menaklukan cacatku. Perjuangan yang tak putus. Panjang sepanjang hidupku selanjutnya. Bisa dibilang setiap tarikan nafasku adalah kerja keras ay ah ibu. Menyulutkan api di dadaku. Agar aku memiliki semangat dan dapat tegak be rdiri di atas kedua kaki. Kurang tak berarti hilang. Aku ada dan berusaha mencat atkan diri pada dunia, walau dengan segala cacatku. Itu yang terus ditanamkan ay ah ibu di dalam mentalku. Sekali lagi beribu cara dilakukan. Segala informasi yang tak mudah ditemukan pun dicari. Dokter ahli hingga pengobatan alternatif di lereng gunung didatangi. Se muanya untuk kesempurnaan inderaku. Walau tak ada cacatan pasti tentang segala d aya upaya orang tuaku. Yang pasti kutahu mereka menyayangiku. Mencintaiku, sejak aku masih berupa janin tanpa ingatan dalam rendaman ketuban. Sesungguhnya aku sendiri pun tak mau lahir dalam keadaan ini. Jujur aku pun sang at kecewa ketika sadar pada keadaanku. Namun melihat semangat ibu, kegigihan aya h menyembuhkanku. Aku pun tak mau melemah. Kutakut mereka akan lebih terluka lag i. Punya anak cacat yang cengeng pula. Sering kutahan airmata demi menyenangkan mereka. Padahal sedang sangat sedih karena menginginkan sesuatu tapi tak ada yan g mengerti mauku. Aku menjadi pendiam dan sangat pasif. Kadang juga marah-marah tak karuan. Kubanting gelas untuk mengatakan tidak mau minum jus itu, aku ingin susu . Kurobek baju baru yang ibu belikan buat menyampaikan aku tak mau pakai, warnanya tak suka . Aku pun pernah menangis seharian hanya karena menginginkan permen coklat dari w arung sebelah. Aku menggerakkan tanganku dengan kacau, menunjuk-nunjuk ke luar. Tapi ayah ibu tetap tak mengerti. Aku mengamuk. Melonjak-loncak tak karuan. Memb antingi barang-barang. Menggedor pintu, jendela. Menggebrak meja kursi yang seda ng ibu duduki. Ibu menggeleng, ayah mengangkat bahu. Menjengkelkan! Betapa sulit menginginkan sebutir permen saja. Sakit sekali hati rasanya. Sulit sekali mendapat hal kecil yang bagi anak lain tinggal berucap satu kata saja. Permen! Tapi untukku memerlukan banyak energi. M enguras batin kedua orang tuaku. Aku sedih. Semua serba berbatas. Seperti berada dalam toples kaca. Tertutup rapat kedap suara. Aku melihat segalanya namun tak mendengar apa-apa. Ayah ibu hanya bisa memandang dari balik kaca. Sambil terus b erusaha memahami semuanya. Kemurungan mulai melanda. Aku putus asa. Ayah ibu tanggap dengan kondisi psikisku, setelah konsultasi dengan banyak orang . Psikolog hingga orang tua lain yang memiliki anak sepertiku. Perlahan mereka m ulai menemukan cara untuk berkomunikasi. Aku diajari cara memegang pensil dan bo lpoin. Ayah menggambar kue, es krim, atau permen. Kutunjuk salah satunya. Lalu aku belajar menggambar benda-benda. Kami bergantian menggambar. Ibu memberikan p ensil warna. Untuk memudahkan memilih sesuatu yang berwarna. Pilih gambar kaos m erah atau kuning? Aku mengacungkan pensil merah. Esoknya ibu membelikanku t-shir t merah dengan gambar bunga-bunga. Aku melompat kegirangan. Kali ini tak salah. Tepat seperti yang kuinginkan! Aku mulai merasa nyaman dan tenang. Kebesaran hati dan keikhlasan ayah ibu benar -benar membuatku ingin maju. Tanpa jeda yang berarti, terus diajarkan cara palin g aman untuh menempuh hidup yang berbeda ini. agar dapat kuraih kesempatan yang sama dengan anak lain yang normal. Aku mulai belajar untuk bertahan hidup dengan segala kelemahanku. Aku berdamai dengan kecacatanku. Kukira tak seorang pun di dunia mau terlahir dalam keadaan tunarungu. Tak juga a ku. Dengan saraf telinga yang lumpuh sejak lahir. Tak bereaksi pada denting spatula yang diketuk dekat daun telinga. Lidahku menjadi bodoh. Tak mampu mengucapkan ka ta karena tak kudengar apa-apa. Lidah hanya menjadi alat bantu bagi mulut untuk mengunyah dan mencerap rasa tanpa bisa menyebut rasa. Asin manis hanya ada dalam pikiranku. Terkunci oleh kebisuanku.* Lalu tibalah suatu masa yang mengubah segalanya. Ibu pindah kerja ke luar kota. Seminggu sekali pulangnya. Ayah tugas belajar ke luar negeri. Dua tahun lamanya. Aku dititipkan pada eyang. Eyang kakung paling perhatian padaku. Aku cucu yang selalu di istimewakan. Dari beliaulah aku belajar menangkap makna kata. Eyanglah yang dengan setia mengajari teknik baru berkomunikasi. Beliau sangat kreatif. B anyak media yang digunakan. Selembar koran bekas pun bisa menjadi alat. Eyang me mperlihatkan gambar-gambar di atasnya. Aku tak perlu menggambar sendiri. Tinggal tunjuk saja. Lebih cepat dan praktis. Apalagi semakin besar makin banyak keingi nanku. Tak cuma permen, es krim atau roti. Yang mudah digambar. Aku menginginkan apel, jeruk, atau jambu. Semuanya berbentuk bulat. Gambarnya hampir sama. Sering menim bulkan salah paham. Pernah kugambar semangka, eyang putri membelikan melon. Ak u tak menangis tapi tak juga mau memakannya. Eyang kakung mengguntingi gambar-ga mbar dari koran atau majalah lalu menempelkannya di buku tulis. Kubawa buku itu ke mana-mana. Supaya mudah menunjukkan keinginanku. Setelah cukup umur aku masuk SLB. Diajari membaca, menulis dan berbicara. Betapa terkejutnya aku ketika kusentuh tenggorokan bu guru. Lehernya bergetar ketika m embuka mulut. Aku tak pernah tahu bahwa leher bisa bergetar seperti itu ketika m embuka mulut. Dan aku pun menirukannya. Berulang-ulang hingga ia mengacungkan je mpol pertanda benar dan tepat. Vokal pertama yang lancar kuucap adalah ee . Je-ruk. Di tunjuk gambar jeruk di dalam buku di hadapanku. Mulutku mengikuti gera k mulutnya dari cermin di hadapan kami berdua. Tak lupa menyentuhkan tanganku di lehernya untuk merasakan resonansi yang pas. Aku juga belajar bahasa isyarat. S ecara khusus eyang kakung ikut mempelajarinya, agar mudah berkomunikasi denganku . Di rumah eyang memberi buku-buku. Setiap menjelang tidur eyang membuka-buka buku penuh gambar warna-warni di tempat tidur. Menjelaskan padaku dengan bahasa isya rat. Mengajakku membaca dongeng-dongeng indah sampai selesai. Tak ada satu kalim at terlewat. Kisah-kisah yang kemudian berlanjut menjadi mimpi indah dalam tidur ku. Ulang tahunku yang kesepuluh bertepatan dengan kepulangan ayah dari luar negeri. Ia sudah selesai kuliah. Gelar di belakang namanya bertambah. Oh, bangganya aku pada ayah. Selain oleh-oleh, ayah memberiku hadiah sebuah benda yang asing. War nanya merah mengkilap, warna yang kusuka. Seperti buku benda itu bisa dibuka di tengah. Ada banyak tombol penuh huruf di dalamnya. Ayah menancapkan kabelnya lal u benda itu pun menyala. Pada layar muncul gambar kartun lucu yang kusuka. Aku tersenyum senang. Lalu ayah memencet beberapa tombol. Selamat ulang tahun Fiezza. Benda itu berbicara padaku. Layarnya berkata-kata. Aku diam sesaat. Ayah membimbing jari-jariku memencet huruf-huruf. Nama saya Fiezza. Itulah kalimat pertama yang kutuliskan. Ibu memelukku. Eyang kak ung mencium keningku. Eyang putri bersorak senang. Hari itu hari terindah untukk u. Hari ini Fiezza ulang tahun, ayah kasih hadiah laptop. Supaya Fiezza bisa menulis apa saja yang ingin disampaikan Begitu tulisan yang tertera di layar. Aku mulai mengerti. Benda ini akan menjadi jembatan untuk berkomunikasi. Setelah itu ayah mengajariku fungsi-fungsi laptop. Aku senang sekali. Aku menuliskan banyak kata . Sudah lama aku ingin bercerita. Mengomentari rambut nenek misalnya. Atau berke luh ketika diganggu teman. Tak hanya itu saja hadiah yang kuterima. Ada benda lain yang berkabel juga, yang menjadi hadiah utama. Dibungkus dalam kotak kecil berpita. Sama seperti sebelum nya aku pun asing dengan alat itu. Ibu memasukkan ujungnya ke telinga kiriku. Uj ung lain kira kira sebesar kotak korek api disematkan di bajuku. Lalu eyang kaku ng menempelkan headphone pada telinga yang dipasangi alat. Apa yang kurasakan se telah itu tak kan pernah kulupakan selamanya. Ini adalah sejarah penting dalam h idupku. Selamat ulang tahun Fiezzaaa ! lalu ada gelak tawa. Oh seperti itukah suara tawa? Sa king terkejutnya headphone sampai jatuh kutepis. Aku kaget ketika pertama kali m endengar suara. Aku menatap ayah ibu dengan bingung. Itu Mbak Indah dan Dik Dini. Sepupumu di Lampung. Ayah menjelaskan lewat laptop. S etelah itu aku merasa gendang telingaku berdengung. Banyak suara yang masuk tiba -tiba. Kulepas alat itu. Sepi seketika. Kupasang lagi. Riuh berikutnya. Aku mena tap ayah. Panggil Fiezza. Kataku. Bisa kudengar suaraku sendiri. Fiezza sayang. Sambil dielus kepalaku. Oh seperti itukah suara panggilan ayah. Ini kali pertama setelah satu dasa warsa. Panggilan ayah yang hanya bisa kulihat da lam gerak bibir dan senyumnya. Lengkap kumengerti. Lembutnya sampai ke dalam hat i. Bagaimana dengan ibu? Eyang kakung, dan eyang putri? Satu persatu kuminta mer eka berbicara. Apa saja. Aku sangat ingin tahu suara mereka. Betapa merdu nyanyian ibu ketika mandi. Aku sering ikut menyanyi bila kebetulan lewat kamar mandi. Lucu sekali suara batuk eyang kakung. Betapa cerewetnya nenek menawar bayam pada tukang sayur. Televisi, radio, bahkan kompor gas menjadi ber nyawa. Semua berbicara. Bisa kudengar kini desis api yang menyembur dari kompor menyala. Dunia tak lagi sunyi. Debur ombak, hujan, riuh angin menjadi biasa di t elingaku. Daya tangkap dan pemahamanku meningkat seiring runtuhnya dinding kaca yang memenjarakanku dalam kebisuan kata-kata. Sejak itu laptop menjadi sahabat utamaku. Dan alat bantu pendengaran adalah pen gganti inderaku yang hilang. Banyak waktu kuhabiskan untuk bermain game atau men onton film. Internet menjadi jendela untuk membuka pikiran. Berlama-lama bersela ncar di dunia maya untuk menambah pengetahuan. Semuanya menjadi menyenangkan. Ak u bisa asyik berjam-jam mengobrol dengan teman di ujung dunia lain. Saling bertu kar cerita tentang negeri masing-masing. Membagi banyak pengalaman hidup. Mereka menyatakan salut, ketika mereka tahu aku seorang tuna rungu. Excelent! You are so smart! komentar Chaty, sahabat dari Australia. Dalam jaringan pertemanan kami. Lama-lama aku jadi bisa berbahasa Inggris. Dibimbing ayah tent unya. Pengalaman belajar di luar negeri membuat ayah lancar berbahasa Inggris. B ertambah satu lagi ilmuku. Tak hanya itu yang kulakukan dengan laptopku tercinta. Kutuliskan mimpi, cita-ci ta, khayalan dan kenangan. Kucatat hari-hariku. Kegiatan, pendapat, pemikiran, a pa saja yang bisa kutulis. Kadang aku berkisah tentang peri kecil ajaib yang hid up di semak belukar. Pernah juga tentang kesedihanku melihat padi siap panen yan g terendam banjir. Ujung bulirnya mengapung lalu kemudian membusuk. Kasihan peta ni gagal panen menderita banyak kerugian. Bagaimana caranya makan atau menyekola hkan anak-anak mereka? Berhari-hari aku merenungkannya. Kusampaikan catatanku pa da eyang kakung. Eyang senang sekali membacanya. Tekun dibaca sambil mengangguk- angguk. Suatu hari eyang mengirimkan sebuah catatan tentang impian masa depanku, pada ma jalah ibu kota. Dan dimuat! Bayangkan seluruh negeri membaca tulisanku. Ayah ibu bangga padaku. Api itu telah menyala. Berkobar penuh semangat di dadaku. Telah berhasil kudobrak penjara kata-kata. Kutembus tempurung yang mengungkung pikrank u. Tak pernah kudengar suara dengan sempurna tapi kumengerti tiap pertanda. Bisa kusampaikan apa pun pada dunia. Dan alam menorehkan semuanya dalam huruf-huruf penuh makna. Aku boleh terlahir tak sempurna tapi aku selalu istimewa. * Juara II LMCR tingkat nasional Primadita Herdiani, Siswi SMU Hidayatullah Semarang Jawa Tengah