Anda di halaman 1dari 4

Sumpah Serapah

Dari balik lembar gorden


Siapa memainkan kabur bayangku
Demi mencari kasih seorang ibu

Kerutnya berserut
Nampak kusut dan keruh
Tergusur setapak demi setapak
Dari tanah kubur terlupakan

Hanya bulan menemai


Tuk hadap dusta
Sebelum beralih ke alam baka

Biasanya malam hari setelah pelatihan aku melewati jalan besar dengan transportasi
berlalu-lalang. Terkadang aku melihat seorang lansia dengan tongkat dan udeng putih
melapisi dahinya. Terkadang juga aku melihat ibu-ibu berjualan jagung rebus. Tetapi
beda malam ini, dengan bulan purnama bertengger diatas kepalaku. Lagi-lagi sang bapak
pengguna udeng putih bagai pedanda itu lewat lagi kearahku. Spontan aku menunduk tuk
menunjukkan kesopanan.
“Untuk apa kau disini..pergi menjauh, apa pula keperluanmu...sana!”
Suaranya sedikit rendah dengan mata melotot. Ya benar, rasanya aku tahu orang ini tapi
masih belum persis siapa dia.
“Maaf pak, saya disini hanya lewat. Saya baru pulang pelatihan...Ini saja alur saya
lalu lalang dari sekolah ke rumah maupun sebaliknya”
“Kalau saya pulang pakai jalur lain susah pak, lika liku. Sudah ya pak..saya
pulang, sudah ditunggu ibu bapak dirumah”
Aku menutup dialog itu. Singkat, namun membuat bulu kudukku naik. Ah siapa peduli?
Yang penting aku sampai rumah dengan selamat.
“Tak sopan kau dengan orang tua! Ku sumpahkan keluargamu tidak harmonis
lagi!”
Sumpah serapah itu terucap dengan mudahnya. Seperti tak tahu malu, ia tak punya akal
sehat.

Akhirnya aku sampai. Rumah lantai satu yang sederhana dengan jendela ruang tamu yang
selalu terbuka mengizinkan deru angin masuk perlahan. Disitulah tempat peninggalan
keluarga kecilku yang harmonis-sepertinya. Dimana ibu memasak makan malam, ayah
menonton acara televisi sepak bola favoritnya dengan volume keras, adikku menggaruk
jari-jemarinya kearah kepala penuh rambut rontok itu tak paham dengan pekerjaan
sekolah yang tak kunjung habis, dan disitulah aku menatap bulan purnama dengan
seruput teh panas dan koran menemaniku.

Walau tak ada hari besar yang terjadi di keluargaku, namun ibu tumben memasak se-
lengkap ini. Ayam saus kecap, sup asparagus, tempe goreng, sambal matah dan
semangkuk nasi yang menjajar membuat wajah aku dan adikku berbinar terang. Enak
sekali! Itu saja yang keluar dari mulutku, sangat bersyukur saat waktu seperti ini dapat
terulang kembali.

Ibu itu orangnya pakai perasaan, apapun yang ia lakukan pasti guna perasaan. Mau
membaca koran, memasak, bahkan bercinta dengan ayah menggunakan perasaan.
Berbalik dengan ayah yang menggunakan logika tiap waktu. Disitu akulah yang
kebingungan menghadap kedua insa tersebut, ketika aku menjadi perantara tiap
terjadinya pertikaian diantara mereka.

Mendengar mereka bercengkrama membuat aku dan adikku berekspresi bingung.


Tumben, biasanya mereka menghabiskan waktu dengan berkelahi hingga larut malam.
Sudah, cukup. Perutku sudah tak kuasa menahan lauk-lauk yang disediakan oleh ibu.
Oleh karena itu aku kembali ke kamar ku. Kamarku kecil sekali, entah berapa meter
persegi. Terdapat kasur yang cukup ditiduri satu insa, lemari kayu jati dan jendela di
sebelah timur. Isinya pun tak ramai terdapat buku komik yang ku gemari. Lemari itu
merangkap sebagai tempat pakaian serta segala rupa keperluan sekolahku. Untuk tahu
berapa luas kamarku , andaikan ada dua meja pingpong bersatu, maka pastilah tak muat
di ruangan itu.

Kata-kata bapak itu masih terlintas jelas dalam benakku, dimana ia menyumpahkan satu
keluarga kecil ku. Mungkin banyak berdoa akan membasmi kutukan itu. Aku melamun,
pikiranku melayang, situasi itu masih membara, meluncuri malamku yang harusnya
damai. Tertiba pintuku terketuk; tidak keras, pelan saja. Dan karena itu aku harus
memperhatikan betul dengan pendengaran yang tajam. Ketokannya berirama dua-dua
satu. Kalau sekiranya aku masih terlalu lelah, maka ketukan itu akan berulang kembali,
dua-dua satu: tok-tok...tok-tok...tok! Dialah itu.

Semua ini yang mengajarkan dam kami lalu saling mengikat janji. Perkara ketukan pintu
mungkin penting. Aku sadar benar, salah-salah pertikaian terjadi. Karena itu aku
putuskan untuk membuka pintu secara tergesa-gesa, melihat bagaimana sang adik
memancarkan expresinya, jelas ia terluka. Rasa sedih itu seakan menerobos masuk ke
dalam hatinya, mencabik-cabik relung jiwanya hingga tak menyisakan bentuk apa-apa
selain kehancuran.
“dek..? ada apa?”
Adikku terus menangis, aku tahu apa yang sedang terjadi. Bergegas aku bawa adikku
masuk kedalam. Malang sekali nasib adikku, dia baru kelas 4 SD.
“jangan menangis ya..kamu diam sini saja dulu, biar bli yang urus”
Suasana rumah menjadi kecam. Bagaimana tidak? Awalnya makan malam terasa mulus
nan indah sebelum menjadi seperti ini. Aku takut. Aku tak tahu nasibku dan nasib adikku
akan menjadi seperti ini. Walau batinku berkata ini semua salah ayahku karena ia
bermain dibelakang ibu. Tapi, ibu juga salah karena tak mau berpisah, alasannya terlalu
cinta dengannya.

Awalnya aku ingin keluar, menghadang mereka dengan pertanyaan yang serius. Sayang,
mereka terlalu ricuh! Aku tak kuat! Aku takut! Tiba-tiba suasana menjadi hening, ricuh
yang baru saja terjadi menjadi sunyi bak kuburan. Haruskah aku keluar? Apakah ini aman
untukku dan adikku? Pertanyaan itu terus terngiang pesat dalam benakku.
“dek-“
“dek? Dek?!”
Adikku menghilang dalam kesenyapan, barusan ia disini meringkuk lututnya dan histeris.
Sekarang ia diam. Furniturku yang mulai menciut kecil dan bersatu dengan kegelapan
dan aku mulai dipeluk kegelapan, rasa sesak menyelimuti, susah sekali tuk bergerak!
Pandanganku mulai gelap, segala hal yang terlintas dalam penglihatanku hanya
“Nak, bangun” “hey, bangun”
Benar, aku terbangun dengan peluh bercucur deras dan ibukku disamping kanan.
Ternyata semua ini hanya mimpi, bapak yang ku lihat ternyata tetangga baru yang pindah
beberapa hari lalu. Ibu penjual jagung rebus itu adalah ibuku sendiri, bingung mengapa
aku tak dapat mengenalnya.
“Susah sekali di bangunkan! Tak lihat jam berapa sekarang?!”
Telat, sudah jam 8.30! tetapi untungnya hari ini sabtu. Apakah mimpi itu membuat
tidurku menjadi sangat lelap? Atau aku saja yang terlalu fokus pada dunia mimpi malam
kemarin? Ah tak ada yang tahu, yang penting aku dapat menjalankan hariku seperti insa
pada umumnya.

Anda mungkin juga menyukai