Anda di halaman 1dari 3

Puas mendengar ceritaku, ayah kemudian terlelap.

Mungkin ayahku lelah dengan perdebatan


ini. Aku yang masih memikirkan kelanjutan cerita serta jawaban dari pertanyaan ayah,
memikirkan nasib wanita kesepian dirumah seberang. (Ya, cerita barusan memang cerita nyata
dari riwayat hidup tetanggaku.) Jelas saja ayah tidak menyadarinya, ia sudah mulai melupakan
banyak hal.

"Ayah memimpikan kehidupanmu, bagaimana jadinya jika nanti aku mati?" Katanya begitu ia
membuka mata dan terbangun dari tidurnya. "Mungkin aku akan mengerti rasanya menjadi
wanita dalam ceritaku kemarin" begitu jawabku. "Tentang wanita kesepian yang ditinggal pergi
anaknya?" Aku tercengang, tumben sekali ayah mengingatnya. "Ayah mengingatnya?" Ya,
akhirnya aku menanyakannya. "Bagaimana tidak, cerita itu berputar dikepalaku. Tamat yang
kau sebutkan itu belum benar-benar tamat" katanya, "bukankah itu yang aku katakan
kemarin?" "Ya, begitu ceritamu meresap kedalam mimpiku, rasanya akan sangat tragis bila
akhir ceritanya benar-benar selesai tanpa ada kelanjutan yang bahagia"

Di hari yang masih sepagi ini ayahku ingin melanjutkan perdebatan kemarin? Memang benar
keluargaku selalu ingin aku mengalah diakhir perdebatan dengan ayah, tapi kali ini aku puas
dengan pembelaanku kemarin. Tidak disangka jawabanku bisa sampai terbawa mimpi olehnya.
"Hidup harus terus berjalan, tidak perduli siapa yang pergi, tidak perduli apa yang hilang. Hidup
harus terus maju" lanjutnya kemudian. "Ya, aku yakin wanita itu pasti bisa melanjutkan
hidupnya" "bukan tentang wanita itu, ini tentangmu." Begitu jawabnya. Ku pikir ayah sedang
membahas ceritaku kemarin, ternyata ayah membahas tentang mimpinya.

"Bagaimana mungkin itu tentangku ayah? Aku tidak kesepian, aku bersama ayah disini" aku
menjawab begitu sekalipun aku tau usia ayahku sudah sangat renta. Setidaknya seperti itu
harapanku. Melihat ayahku yang terbaring ditempat tidur, dengan tabung oksigen yang tak
pernah jauh darinya membuatku sesekali terpikir "bagaimana jika aku tanpa ayah?" Tapi pikiran
itu selalu aku musnahkan, sekalipun aku harus melawan kenyataan.

Jika nantinya memang aku harus sendirian, aku tidak tau bisa sekuat wanita di seberang jalan
itu atau tidak. atau mungkin aku akan jadi pecandu untuk menumbuhkan rasa berani dan
menghilangkan rasa kesepian? Entahlah, apa jadinya jika ayah tau isi kepalaku. Anak
perempuannya menjadi pecandu begitu ia tinggalkan. Mungkin ia akan menyesal telah
meninggalkan ku?

"Bisa lanjutkan cerita kemarin?" Pinta ayahku. "Cerita kemarin sudah sampai ditahap akhir
ayah", "tidak, maksudku bagaimana kelanjutan hidup wanita itu? Apakah ia sudah bisa
menerima kepergian anaknya?" Tanya ayahku penasaran. "Ayah begitu penasaran dengan
kelanjutan ceritanya?", "Tentu saja, aku ingin tau bagaimana ia bisa bertahan hidup sendirian".
"Entahlah ayah, wanita itu terlihat lebih tegar. Tapi bukankah kita tidak pernah tau isi kepala
seseorang?" Ya, wanita itu benar-benar terlihat tegar. Tapi kembali lagi, apa yang terlihat
hanyalah penampilan luar, kita tidak pernah tau sehancur apa didalamnya, dan sesulit apa dia
menyusun kembali hidupnya sampai bisa terlihat setegar sekarang.

"Ku harap ia benar-benar bisa melanjutkan hidupnya. Begitu juga denganmu." Sedetik ayah
selesai berbicara, ayah kembali menutup matanya. Ku pandangi wajahnya, begitu damai setelah
ia menyampaikan pesan tersembunyi dibalik rasa penasarannya atas ceritaku.

Ayah benar-benar menutup matanya. Dan kali ini tidak akan pernah terbuka lagi. Tanpa
menyiapkan apapun, tanpa firasat apapun. Hanya dalam waktu semalam ceritaku menjadi
kenyataan dan semua pertanyaan ayah yang ku pikir adalah rasa penasarannya, ternyata
menjadi pesan terakhir dari ayah.

Hancur. Dan kehancuran ku disaksikan oleh wanita dalam ceritaku. Benar, wanita di seberang
rumahku hadir dalam sesi pemakaman ayahku. Terasa bersalah karna telah menceritakan kisah
tragis seseorang, namun kisah tragis itu yang juga menjadi pesan terakhir dari ayahku.

Kesepian, aku merasakannya. Tak ada lagi yang memintaku membuat cerita tiba-tiba, bahkan isi
kepalaku tidak ada lagi satupun cerita. Hanya terlintas pikiranku sebelumnya untuk menjadi
seorang pecandu, yang tentu saja tidak ku lakukan. Kembali lagi, karna teringat bagaimana
ayahku akan sangat marah jika benar aku menjadi pecandu.

Hari demi hari aku lewati yang kini hanya seorang diri. Kosong, kini aku menjadi wanita
kesepian didalam ceritaku. Aku menjadi pemeran didalam ceritaku sendiri. Ku lanjutkan
perjalanan cerita tentang wanita kesepian, ku ingat bagaimana pesan terakhir ayah. Aku
mengisi hariku dengan mencari kegiatan, tak jarang tangis juga mengisi keseharian ku.

Kini aku berteman dengan wanita di seberang jalan, sekaligus meminta kekuatan untuk
menyusun hidup kembali. Ia masih tetap bekerja, akupun mendapat pekerjaan disebuah panti
jompo dan bertemu dengan banyak lansia. "Ayah, wanita kesepian yang sempat aku ceritakan
itu sudah tidak lagi kesepian. Belum lama ini putra dari wanita itu kembali. Ia datang dengan
penuh haru tapi juga membawa kebahagiaan bagi sang ibu.", "Ayah, kau tau? Wanita dalam
cerita itu adalah tetangga kita, cerita yang ku bacakan adalah kisah nyata. Wanita itu hadir saat
pemakaman ayah, dan sekarang wanita kesepian itu adalah aku."

Betapa menyedihkannya seorang wanita bersimpuh dan berbicara pada sebuah batu nisan.
Mungkin itu yang ada dipikiran orang-orang jika ada yang melihatku. Aku tak begitu perduli, aku
sangat merindukan sosoknya. Sosok ayah sekaligus teman bertukar pikiran. "Wanita itu sangat
beruntung, walaupun putranya sempat pergi namun berkesempatan untuk kembali. Tidak
denganku, ayah pergi namun tidak ditakdirkan untuk kembali." Air mata yang sudah menjadi
teman keseharianku, kini ikut hadir didepan pemakaman ayah. Beriringan air mata, ku paksa
menarik bibirku "aku sempat terpikir menjadi seorang pecandu saat membayangkan hidupku
tanpa ayah. Tapi ku urungkan, karna aku tau bagaimana ayah akan membenciku. Aku akan
melanjutkan hidupku seperti yang ayah katakan."

-TAMAT -

Anda mungkin juga menyukai