“Bund, aku pengen dipeluk kayak dulu, boleh ga? sebelum pada
akhirnya nanti aku terbang bebas.”
Setelah aku bepikir aku akan tinggal dimana, aku baru sadar ada
satu kota di negara ini yang belum aku kunjungi yaitu Yogyakarta.
Tanpa pikir panjang aku langsung bergegas mengurus
keberangkatanku ke Yogyakarta.
Sudah terhitung satu minggu aku berada di kota pelajar ini, aku
berdoa kepada tuhan agar aku bisa cocok dengan kota ini.
“Maaf mas, saya tidak bisa berbahasa jawa, saya dari jakarta,
kebetulan saya belum tinggal lama di Jogja.”Balasku.
“Gue juga asli jakarta.”Nada bicaranya langsung berubah.
“Kalo lo cuma bengong disini mending ikut gue ngopi ke
kaliurang, btw kenalin nama gue Yudhistira.”Dengan tidak
sopannya dia berbicara seperti itu dan mengulurkan tangannya
untuk bersalaman. Aku tidak membalas uluran tangannya.
“Lu mau ikut gue ga? Tenang gue bukan orang jahat yang mau
culik lo.”Aku yang sudah malas di desak ikut pun akhirnya
mengiyakan.
Di sepanjang perjalan Yudhis terus bercerita sesekali memberikan
luconan, seperti orang yang sudah kenal lama denganku. Anehnya
aku malah ikut tertawa dan menikmati saat dia bercerita dan
melucu.
Dengan kedai tanpa atap seperti ini, aku dapat merasakan udara
kaliurang yang menusuk tajam kulitku. Semilir angin yang
menyapu surai hitamku, membuatku ingin memakan indomie kuah.
“Mbak nama lo siapa? perasaan dari tadi gue terus yang
ngomong.”tanya Yudis dengan wajah tengilnya.
“Nama gue Dara bukan mbak-mbak.”
Dia terus mengoceh dari tadi, aku tidak tahu apa yang dia
bicarakan, karena aku sudah diserang rasa kantuk.
“Lu ngantuk ya? Ga bisa begadang?”tanyanya membuyarkan
rasa kantukku. Dengan kesadaran setengah aku menganggukkan
kepalaku.
“Dara sebelum kita pisah gue ada amplop buat lo.”dia
menyerahkan sebuah amplop berukuran sedang.
“Amplop?”tanyaku heran, kapan dia membikinnya?
“Nanti dibaca ya tapi pas gaada gue.”lagi dan lagi aku dibuat
bingung olehnya.
Pagi ini matahari tampak malu-malu, sudah jam 05.25 tapi matahri
belum mau menampakkan diri. Tiba-tiba muncul banyak darah dari
hidungku dan rasa sesak menghantam dadaku, aku sangat shok. Aku
langsung menelpon supirku untuk menjemputku menuju rumah sakit.
Pagi ini aku berniat membuka amplop yang waktu itu Yudhis
berikan.
Tertanda, Sadewa
Aku menangis dalam diam, tidak tau harus berkata apa. Sampai rasa
sesak menghantam dadaku, aku terhuyung kebelakang. Aku pingsan.
Aku membuka mata setelah pingsan 4 jam, aku heran kenapa ada
orang yang tidur di sebelah bankar ku.
“Maaf anda siapa ya?”tanyaku
“Eungh, ya Allah Nak akhirnya kamu sadar, maafin Bunda nak,Bunda
salah, Bunda lalai, Bun-”jawab orang itu, betapa terkejutnya aku
ternyata orang itu Bundaku.
“Sstt, udah-udah Bun, aku udah maafin Bunda.”
“Bund, aku pengen dipeluk kayak dulu, boleg ga? sebelum pada
akhirnya nanti aku terbang bebas.”mintaku dengan nada yang sangat
pelan.
Bunda langsung bergegas memelukku dengan sangat erat dan pada
akhirnya aku menutup mata untuk terakhir kali di pelukan sang Bunda.
TAMAT