Anda di halaman 1dari 6

Yogyakarta dan Dara 29 hari

“Bund, aku pengen dipeluk kayak dulu, boleh ga? sebelum pada
akhirnya nanti aku terbang bebas.”

Secangkir kopi dan alunan musik dipagi hari ini yang


menemaniku di kala aku sedang merenung tentang bagaimana
aku akan hidup setelah ini. Ucapan seorang barista yang tadi
melayaniku berputar kembali di kepala, ucapan itu seakan
memberikan dorongan bahwa aku memang harus kembali ke
negara asalku. Setelah kupikirkan kembali akhirnya aku akan
kembali ke negaraku, aku buru-buru memesan tiket kepulanganku
hari ini juga.

Aku sampai di Indonesia pukul 05.25 WIB setelah 7 jam duduk


dibangku pesawat, aku sudah mencoba menempati 15 negara dan
26 kota di dunia untuk mencari tempat yang akan kutinggali , tapi
dari semua negara yang sudah ku kunjungi tidak ada satupun yang
cocok denganku. Bukan karena tempatnya tapi karena dirikulah
yang sangat susah beradaptasi. Dan pada akhirnya sekarang aku
memilih pulang ke negara asalku, walaupun aku tidak yakin apakah
aku akan bertahan di negara seribu pulau ini.

Sebelum aku melanjutkan secuil kisahku ini aku akan


memperkenalkan diriku, kalo kata orang tak kenal maka tak sayang.
Jika orang bertanya nama lengkapku, aku akan jawab Dara. tidak
usah heran, sewaktu lahir bundaku hanya memberiku nama empat
kata saja, jika kalian bertanya alasannya tanyakan saja dengan
bundaku. Aku lahir di Jakarta pada tgl 19 Maret 1999 dari Rahim Ibu
Zalina Fortuna, itu saja yang akan kuberitahu selebihnya privasi
HAHAHAHA, tidak usah ketawa karena aku dasarnya memang
bukan pelawak.

Setelah aku bepikir aku akan tinggal dimana, aku baru sadar ada
satu kota di negara ini yang belum aku kunjungi yaitu Yogyakarta.
Tanpa pikir panjang aku langsung bergegas mengurus
keberangkatanku ke Yogyakarta.

Sudah terhitung satu minggu aku berada di kota pelajar ini, aku
berdoa kepada tuhan agar aku bisa cocok dengan kota ini.

Aku menyalakan mesin mobilku menuju swalayan di tengah kota.


Tidak banyak yang kubeli, hanya kebutuhan dasar untuk mengisi
rumah baruku. Malam ini kota Yogyakarta sangat cerah dengan
jalanan yang macet, aku pikir kota pelajar ini jarang ada kemacetan,
ternyata sama macetnya seperti jakarta. Setelah belanja aku
menuju ke Malioboro unntuk mencari angin, kebetulan ini malam
minggu jadinya Malioboro sangat ramai.

Kini ku sudah duduk di bangku Malioboro ditemani coffe late dan


disuguhi tugu jogja. Tiba-tiba ada yang mendatangiku,
“Wong wedok kaya mbak ora apik kluyuran neng kene tengah
wengi ngene, ati-ati mbak akeh lanangan ra genah.”( Orang
perempuan kayak mbak gak baik keluyuran disini tengah malam
gini, hati-hati mbak banyak laki-laki ga benar)

Aku panik kenapa tiba-tiba datang dan berbicara kepadaku,


memakai bahasa jawa lagi, padahal aku tidak bisa berbahasa jawa.

“Maaf mas, saya tidak bisa berbahasa jawa, saya dari jakarta,
kebetulan saya belum tinggal lama di Jogja.”Balasku.
“Gue juga asli jakarta.”Nada bicaranya langsung berubah.
“Kalo lo cuma bengong disini mending ikut gue ngopi ke
kaliurang, btw kenalin nama gue Yudhistira.”Dengan tidak
sopannya dia berbicara seperti itu dan mengulurkan tangannya
untuk bersalaman. Aku tidak membalas uluran tangannya.
“Lu mau ikut gue ga? Tenang gue bukan orang jahat yang mau
culik lo.”Aku yang sudah malas di desak ikut pun akhirnya
mengiyakan.
Di sepanjang perjalan Yudhis terus bercerita sesekali memberikan
luconan, seperti orang yang sudah kenal lama denganku. Anehnya
aku malah ikut tertawa dan menikmati saat dia bercerita dan
melucu.

Setelah 20 menit di perjalanan kini kami sudah berada di Kopi


Merapi. Kami mengentre lumayan lama, namanya juga malam
minggu.

“Sugeng ndalu, Mas Mbak badhe pesen nopo?”(selamat malam,


Mas Mbak mau pesan apa), sapa Mas kasirnya.
“Tolong Mas, buatkan dua kopi yang menurut Masnya cocok
sama kita,”ucap Yudhis dengan gaya tidak sopannya yang selalu
membuatku jengkel.

Dengan kedai tanpa atap seperti ini, aku dapat merasakan udara
kaliurang yang menusuk tajam kulitku. Semilir angin yang
menyapu surai hitamku, membuatku ingin memakan indomie kuah.
“Mbak nama lo siapa? perasaan dari tadi gue terus yang
ngomong.”tanya Yudis dengan wajah tengilnya.
“Nama gue Dara bukan mbak-mbak.”
Dia terus mengoceh dari tadi, aku tidak tahu apa yang dia
bicarakan, karena aku sudah diserang rasa kantuk.
“Lu ngantuk ya? Ga bisa begadang?”tanyanya membuyarkan
rasa kantukku. Dengan kesadaran setengah aku menganggukkan
kepalaku.
“Dara sebelum kita pisah gue ada amplop buat lo.”dia
menyerahkan sebuah amplop berukuran sedang.
“Amplop?”tanyaku heran, kapan dia membikinnya?
“Nanti dibaca ya tapi pas gaada gue.”lagi dan lagi aku dibuat
bingung olehnya.

Setelah dia menyerahkan amplop itu dia langsung bergegas pergi


meninggalkan ku sendiri. Aku memesan ojol untuk pulang
kerumah, emang kampret yudhis, ngajak pergi gamau nganter
pulang.

Sudah 1 minggu ini aku memikirkan seseorang yang baru satu


kali kutemui, entah rasanya aku sangat merindukan senyum
manisnya. Setiap malam minggu ke malioboro tapi nihil tidah ada
satupun tanda-tanda kedatangan Yudhis.

Pagi ini matahari tampak malu-malu, sudah jam 05.25 tapi matahri
belum mau menampakkan diri. Tiba-tiba muncul banyak darah dari
hidungku dan rasa sesak menghantam dadaku, aku sangat shok. Aku
langsung menelpon supirku untuk menjemputku menuju rumah sakit.

“Pasien bernama Dara bisa tolong ke ruang dokter,”panggil


suster yang tadi melayaniku.
“Sebelumnya perkenalkan nama saya Rangga, saya harap anda
tidak kaget dan bisa tabah setelah mendengarkan penjelasan
saya.”kata sang dokter yang membuat jantungku berdetak tiga
kali lebih cepat, aku merespon sang dokter dengan anggukan.
“Anda mengidap kanker paru-paru stadium 4, dimana suatu
kondisi sel-sel tumbuh secara tidak terkendali didalam organ paru-
paru.”jelas sang dokter yang mebuat jantungku berhenti
berdetak seketika.
“Apakah masih bisa sembuh dok?”tanyaju dengan panik.
“Kanker stadium 4 ini adalah tingkatan kanker paling parah,
pada tingkat ini, penyembuhan memang sulit untuk
dilakukan. Meski begitu, perawatan tetap bisa dilakukan untuk
memperpanjang angka harapan hidup dan meradakan gejala yang
terjadi." Jelas sang dokter.

Hari demi hari aku melakukan kemo, tetapi kondisiku malah


semakin parah, sebenarnya ada kemungkinan sembuh jika aku berobat
ke Singapura, tetapi aku menolak mentah-mentah karena
feeling ku mengatakan aku harus tetap di Jogja. Aku sudah pasrah
kepada Tuhan jika memang jodohku adalah kematian.

Hari ini hari ke 27 ku di Jogja, aku masih menunggu kedatangan


seseorang yang selama ini terus berada di pikiranku. Tubuhku
semakin lemah, mungkin sebentar lagi Tuhan memang akan
menjemputku.

Jika kalian bertanya apakah aku masih ada keluarga? ya aku


masih punya, tapi aku tak tahu mereka dimana. Ayahku meninggal
saat aku masih berada dikandungan, Bundaku membenciku
semenjak aku beranjak dewasa, makanya aku memilih kabur dari
Bunda. Pada dasarnya aku memang anak yang dibuat karena
ketidak sengajaan, yap benar aku bisa dibilang anak haram.

Pagi ini aku berniat membuka amplop yang waktu itu Yudhis
berikan.

untuk Ayah, Ibu, dan siapapun kamu yang beruntung mendapat


surat ini.
Ini Sadewa Deriatma, saya benci nama itu sampai-sampai saya
mengganti nama menjadi Yudhistira
Sebelumnya saya berterimakasih sudah melahirkan saya ke dunia
ini.
Tidak terlintas di benak saya, bahwa ayah adalah pemeran
antagonis di keluarga ini. Dulu anda selalu berkata bahwasannya
lelaki dewasa harus bisa memegang omongan. Tetapi buktinya
anda malah bermain dibelakang dengan kembaran ibu, dan anda
membuat ibu saya koma dan meninggal. Membuat saya menyudahi
semua ini.
Pada akhirnya aku kalah, aku memilih pergi dan bebas.
Maaf untuk semuanya, saya hanya ingin bebas
Terimakasih, dan sampai bertemu kembali.

Tertanda, Sadewa
Aku menangis dalam diam, tidak tau harus berkata apa. Sampai rasa
sesak menghantam dadaku, aku terhuyung kebelakang. Aku pingsan.

“Astagfirullah, Retno siapke mobil, Nduk Dara semaput”(astagfirullah,


Retno siapkan mobil, Nduk Dara pingsan.”ujar Mbok Amik ke Mang
Retno.

Aku membuka mata setelah pingsan 4 jam, aku heran kenapa ada
orang yang tidur di sebelah bankar ku.
“Maaf anda siapa ya?”tanyaku
“Eungh, ya Allah Nak akhirnya kamu sadar, maafin Bunda nak,Bunda
salah, Bunda lalai, Bun-”jawab orang itu, betapa terkejutnya aku
ternyata orang itu Bundaku.
“Sstt, udah-udah Bun, aku udah maafin Bunda.”
“Bund, aku pengen dipeluk kayak dulu, boleg ga? sebelum pada
akhirnya nanti aku terbang bebas.”mintaku dengan nada yang sangat
pelan.
Bunda langsung bergegas memelukku dengan sangat erat dan pada
akhirnya aku menutup mata untuk terakhir kali di pelukan sang Bunda.

Hari ke 29 Dara di Jogja, Tanggal 19 Maret 2022 tepat di hari ulang


tahun Dara. Jam 4 pagi lebih 20 menit 10 detik di RS. Panti Rapih, Dara
menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya.

Dara, Yudhis selamat jalan.


Selamat Kalian sudah bebas.

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai