Anda di halaman 1dari 5

Momoye 1942

Oleh : Mawaddah Ikhwani


“Iyem, sayang sini nak” panggil Ndoro, Ndoro yang saat ini sedang bersandar di samping
pintu sambil memegangi gagang pintu
Aku memutar kepalaku kearah asal suara itu, dan kemudian langsung membuntuti nya. Ndoro
menyentuh lembut lenganku seakan memerintahkanku untuk duduk bersamanya. Ketika aku
duduk Ndoro langsung memulai pembincaraan diantara kami. Ndoro Mangun adalah
majikan ku, sebelumnya aku tinggal bersama pamanku, karena ayah dan ibuku sudah tiada.
Aku memilih mengabdi bersama Ndoro karena menurutku paman ku terlalu kaku, beliau
sangat memegang nilai-nilai adat istiadat. Sedangkan aku ingin bebas mengikuti keinginanku
menjadi seorang penyanyi. Ndoro adalah orang yang sangat baik, dia memberikanku waktu
untuk berlatih bernyanyi saat pekerjaanku sudah selesai. Dia sudah kuanggap menjadi
orangtuaku sendiri.
“ Iyem yakin tetap akan pergi ke Telawang nak?”
“Iyem yakin ndoro, Iyem sangat suka bernyanyi, ini kesempatan yang sangat tepat bukan?”
ucapku meyakinkan Ndoro
“Ndoro takut Iyem, Iyem kerja apa disana nak?”
“Iyem bisa jaga diri Ndoro, Iyem kerja baik-baik, Iyem bisa menjadi penyanyi terkenal nanti”
kupeluk erat Ndoro kurasakan hangat pelukannya. Seketika air mataku berderai,
membayangkan serindu apa nantinya aku akan pelukan ini.
Mas Tono memanggilku dari luar pintu rumah. Mas Tono adalah anak tunggal Ndoro. Ia
sudah siap mengantarku sampai ke perbatasan desa. Awalnya aku merasa canggung
dengannya. Karena sebenarnya aku sudah dengar dari temanku Sri, kalau Mas Tono suka
kepadaku. Untungnya ia memulai pembicaraan untuk mencairkan suasana kami. “kamu yakin
bisa sendiri kesana” katanya khawatir.
“yakin mas, Iyem sudah dijelaskan dengan mas santo 5 hari yang lalu, setelah dipikir-pikir
sebaikanya Iyem lebih baik keluar desa untuk bekerja. Apalagi untuk menjadi seorang
penyanyi, pasti diberikan banyak uang lebih. Mas juga sudah tahu Iyem sangat suka
bernyanyi” jelasku meyakinkan Mas Tono.
“bukannya menakuti Iyem, tapi mas sudah dengar dari teman mas, Soejono namanya
sebaiknya kamu tidak kesana Iyem”
Darahku seketika naik keubun-ubun inginku meluapkan semua yang ingin kukatakan
padanya. “ tahu apa kamu tentang pekerja ini, aku tahu kamu ingin mengatakan pekerjaanku
jugun ianfu, aku juga tahu kamu suka kepadaku, itu kan alasannya kamu mengatakan ini
padaku, agar aku tetap disini” aku tak tahan lagi ingin mengatakan itu.
“Iyem aku tidak bermaksud seperti itu” belum selesai Mas Tono berbicara aku langsung
menyelanya, “asal kamu tahu aku pergi kesana untuk menggapai cita-citaku selama ini, aku
bukan jugun ianfu” Mas Tono terdiam atas perkataanku. Aku jadi tidak tega setelah
mengatakan itu. Bukan nya merasa lega tapi aku menjadi merasa sangat bersalah karena
sebenarnya dia mengatakan itu karena peduli padaku. Dengan sabarnya Mas Tono tetap
mengantarkanku sampai ke perbatasan. Tapi, kami semakin canggung tanpa mengatakan
sepatah katapun lagi.
Sesampainya di perbatasan desa, aku melihat truk yang biasa digunakan tentara Jepang.
Melihat truk tentara itu aku menjadi sedikit khawatir. Namun melihat ada Mas Santo yang
mengajakku 5 hari yang lalu, hatiku menjadi sedikit tenang. Aku berkata selamat tinggal
kepada mas tono “semoga kamu merasa yakin apa pekerjaanku, setelah mendengar
perkataanku tadi, titip salam dengan Ndoro, terimakasih telah mengantarku sampai disini”
Mas Santo turun dari kenderaan itu dan membukakan pintu kepadaku. Dengan sopan Mas
Santo memegang tanganku agar aku tidak jatuh “masuk kedalan Iyem” katanya.
Ketika kendaran kami berlalu pergi meninggalkan desa. Aku tidak melihat Mas Tono
ditempatnya lagi. Mungkin dia sudah pergi.
Sesampai nya di Telawang. Aku dan perempuan-perempuan lain yang ikut kesana digiring ke
Rumah Panjang seperti barak tentara. Setiap perempuan mendapatkan fasilitas seperti tempat
tidur, meja dan kursi. Hatiku bercampur aduk, antara khawatir dan bahagia menjadi satu.
Selama 2 hari disana aku berbagi cerita dengan mereka hingga resah di hatiku sedikit reda.
2 hari setelah kami diantarkan kerumah panjang, kecurigaanku kepada tempat ini benar
terjadi. Ada lelaki berkulit kuning mengetuk pintu kamarku. Aku membukakan pintu
padanya. Dan dia mulai memperkenalkan dirinya dengan bahasa yang sedikit sulit aku
mengerti. Intinya dia berkata, dia adalah seorang asisten di klinik kesehatan. Dia bercerita
begitu panjang seperti sudah lama kenal, sampai-sampai dia memberiku nama baru, Momoye.
“karena kau datang kesini sebagai seorang penyanyi sebaiknya kupanggil kau momoye saja”.
Aku hanya tersenyum canggung padanya.
Tak lama setelah itu dia meraba kakiku sambil memuji kecantikanku. Aku menepis
tangannya. Namun, itu membuatnya menjadi kasar. Dia mencengkram lenganku dan
mendorongku sampai terbentur ke dinding. Aku tak menduga dia akan melakukan hal ini
kepada remaja sepertiku. Aku merasa sakit sekali, aku melihat pahaku yang kini mengalir
darah dari bagian sensitifku. Aku merasa lemah, hingga aku hanya terdiam lemas menunggu
sampai dia berhenti melakukan itu padaku.
Dia keluar dari kamarku. Aku segera menutup kamarku dan menangis tersedu-sedu. Rasanya
kakiku tak bisa berdiri lagi. Namun, seseorang kembali menggedor pintu kamar dengan
kencang. Aku merasa malu dengan keadaanku saat ini hingga aku enggan membukakan pintu
pada orang itu. Tak kusangka, dia mendobrak pintunya, hingga aku terjepit di belakang pintu.
Kepala dan badan terbentur dengan pintu, rasanya perih sekali.
Aku melihat orang itu, dia seorang pria mengenakan seragam tentara. Seketika wajahku
menampakkan ekspresi yang sangat memilukan. Berharap dia memberikan pertolongan
padaku, tapi bukan pertolongan yang kudapatkan. Aku mendorongnya berkali-kali dan
berteriak sekencang mungkin tapi dia malah menendang perutku sangat keras hingga aku
pingsan.
Kejadian seperti itu tidak hanya kurasakan dua kali saja. Tidak terhitung rasanya aku
diperlakukan tidak senonoh oleh orang-orang disana. Pernah aku harus melayani 10-15 orang
sekaligus dalam sehari. Bukannya aku pasrah, namun jika aku menolak mereka akan
memperlakukanku lebih kasar lagi. Setelah mereka melakukan hal keji itu, mereka biasanya
meninggalkan 1 karcis. Awal nya aku mengira kalau aku mengumpulkan sehelai kertas itu,
aku bisa menukarkannya dengan uang. Tapi tidak sama sekali. Sudah terkumpul satu
keranjang penuh, tapi tetap saja karcis tidak bisa di ganti dengan sesuatu yang berguna.
Suatu hari, beberapa perempuan kulihat sedang mengerumuni jemuran baju di bagian bawah
rumah panjang ini. Akupun tertarik untuk melihat kesana. Aku mendengar salah satu dari
mereka bahwa perempuan yang tergeletak pingsan itu adalah salah seorang dari kami,
namanya Giyah. Dia mengalami pendarahan yang cukup parah. Ada beberapa perawat klinik
datang kesana, menggotong Giyah keluar dari kerumunan.
2 hari setelah kejadian itu, Surminah salah satu teman dekat disana mengetuk pintu kamarku.
Aku mempersilahkannya masuk ke kamarku. Kupersilahkan untuk duduk, “ada apa?” kataku
curiga.
“kau tahu bukan, Giyah pingsan saat menjemur kemarin” tanyanya. Aku mengangguk
perlahan. “aku dengar mayatnya dibiarkan begitu saja di pasar lama” jelasnya dengan mata
yang melebar pupilnya mengecil.
Aku menutup mulutku, mulutku bungkam tak bisa megatakan sepatah katapun. Kami berdua
menagis sambil berpelukan meratapi nasib kami. Kami saling menguatkan satu sama lain.
Tak habis pikir mereka sekejam itu. Apa nasib kami kedepannya jika terus begini.
Suatu saat aku merasa mual dan pusing, perutku juga membesar dari sebelumnya. Cicada
atau pengelola disana menyadari keadaan yang kualami akhir-akhir ini. Saat itu aku sedang
menjemur pakaianku. “ikut aku” katanya langsung berjalan ke arah klinik. Aku
membuntutinya, awal nya ketika berada di klinik aku berpikir aku akan diberi obat agar aku
kembali pulih. Namun mereka mengunci pintu, ruangan yang agak asing bagiku. Aku
dibaringkan diatas tempat tidur kayu. Tangan dan kakiku awalnya di tahan yang membuatku
takut dan berusah keluar dari ruangan ini. Namun mereka memaksaku kembali duduk. Salah
seorang dari mereka mengurut perutku secara paksa. Rasanya seperti organ-organ dalam
tubuhku akan keluar. Kurasakan ada yang mengalir di kakiku. Rasanya tak tahan lagi untuk
berteriak. kupastikan diriku bisa lebih tenang atau lebih baik pingsan saja.
Setelah hari itu aku tak merasakan bahagia lagi dalam hatiku. Aku tak bisa lagi
menampakkan senyum walau itu dengan teman terdekatku. Kujalani hariku dengan sangat
berat disetiap detiknya. Namun aku berusaha untuk tetap hidup dan menumbuhkan harapan
bahwa aku bisa pergi menjauh dari tempat ini. Tak jarang juga diriku berpikir “apa aku mati
saja”.
Aku sering berusaha untuk mencari jalan keluar namun disetiap sudut daerah ini pasti
kudapati seorang atau lebih tentara. Harapan dan doa tidak akan pernah sia-sia apabila kita
tetap bersabar dan tetap bertahan di dunia ini. Hari demi hari berjalan, hingga di suatu hari
seorang pemberi tiket untuk tamu atau kami biasa memanggilnya kerani. Kerani
mengumumkan kepada kami secara tiba-tiba bahwa kami dipersilahkan untuk menjalani
hidup yang kami inginkan. Bukannya aku tidak bersyukur atas kebebasan ini, tapi aku tak
tahu lagi, diri ini akan melangkah kemana lagi. Aku berlarian tak tahu arah. Mencoba
mencari orang yang bisa aku tanyakan “apa yang terjadi dan bagaimana kita bisa pulang
dengan keadaan seperti ini”.
“kita datang dengan mereka kenapa kita tidak diantarkan pulang?” ujarku pada kerumunan
perempuan yang masih bingung ada apa yang terjadi. Tak ada jawaban dari mereka. “Beri
kami uang untuk pulang” teriakku tegas pada orang-orang Jepang itu. Tiba-tiba suara bom
meledak sangat kencang tak jauh dari tempat aku berdiri. Ini pertama kalinya aku mendengar
suara sekeras itu. Tak ada jalan lain aku memutuskan menyusuri jalan setapak di Hutan
Belantara. Selama berhari-hari disana aku tidak makan atau minum. Syukur saja jika ada air
yang menggenang di jalan yang aku lewati.
Dan, pada akhirnya harapan kutumbuh kembali. 3 hari berada dihutan Belantara aku
menemukan pemukiman. Dan ternyata aku berada di Banjarmasin, sementara aku tinggal di
Perkampungan Dayak.
Tak lama tinggal disana, akhirnya aku bertemu dengan sahabat lamaku, Ribut. Dia sudah
menikah dengan warga Kapuas. Dia mengajakku tinggal bersamanya. “saya takut tinggal di
Kota, banyak tentara”, kataku. Namun Ribut meyakinkan bahwa aku bisa aman disini. Ketika
situasi sudah aman, akupun bersedia ke kota untuk mengantar beberapa barang dagangan.
Disana aku bertemu Amit Mangun dia meminangku. Namun aku menolaknya, kukatakan
padanya “Saya tak mau, saya tak butuh suami. Saya hanya butuh kasih sayang dan
perlindungan. Ini sudah dipenuhi oleh sahabat saya dan suaminya yang telah memperlakukan
saya seperti saudara kandung, kamu juga sudah tahu bagaimana saya dahulu, saya takut
kejadian dahulu terulang kembali pada saya”. Namun Ribut dan Suaminya merayuku untuk
memenuhi pinangannya. Awalnya aku tak yakin namun melihat Amit Mangun yang masih
sampai kini setia menungguku, hatikupun luluh dan berusaha menerimanya juga.
Aku kini tinggal bersama Amit Mangun di asrama KNIL. Aku taidak tahu kenapa masyarakat
disini mengetahui kenangan lamaku yag kelam. Mereka sering mengusikku dengan kata-kata
yang sangat menyakitkan. Bukannya mencari tahu kebenaran tentang bagiamana seorang
Jugun Ianfu mederita mereka malah mengambil kesimpulan bahwa kami adalah seorang
pelacur.
Mereka sering datang ke dekat halam rumahku untuk bergosip dan mencemoohku, katanya
“awas, kita kemasukan orang dari ransum Jepang. Hati-hati suami kita bisa disaut. Mereka itu
orang nakal dan haus seks”. Harga diriku diinjak-injak sejak aku menjadi jugun ianfu, aku
memang merdeka dari pekerjaan itu, namun aku masih dalam penjajahan dan siksaan dari
masyarakat. Suamiku selalu berkata padaku “tak perlu dengar kata mereka, dia tidak hidup
sepertimu dia tidak akan mengerti berapa sempurnanya dirimu”.
Pernikahanku awalnya tidak didasari cinta kepada suamiku Amit, karena aku tidak bisa
mencintai seorang pria lagi. Namun, pernikahan kami akan abadi karena cinta dan
kesabaraannnya padaku.
Atas permintaanku kepada Amit Mangun, kami kembali ke kota kelahiranku agar aku dapat
menenangkan diri disana. Hidupku di Yogyakarta baik aku punya katering disana. Sangkin
laku kerasnya banyak yang ingin menjadi pegawai. Hingga aku punya 5 orang pegawai.
Namun kebahagian tidak akan bertahan lama. Disetiap kebahagiaan akan ada orang yang iri.
Pesaingkutahu kalau dulu aku pernah menjadi seorang jugun ianfu. Fakta itu ia gunakan
untuk menjatuhkan usahaku. Orang-orang tidak mau lagi memesan makananku hingga aku
bangkrut. Aku bingung kenapa orang tidak mau membeli makananku, apa hubungan nya
jugun ianfu dengan katering. Aku bahkan tidka punya penyakit yang menular. Kalau aku
[unya penyakit aku tidak akan menikah dengan ABRI.
Enam puluh tahun adalah waktu yang terlalu singkat untuk melupakan kenangan yang kelam.
Trauma itu masih membekas sampai kini.luka fisik memang bisa diobati namun tekan dari
hati tidak semudah itu. Aku tidak ingin berdiam dimasa tuaku. Aku kemabli ke Telawang.
Kulacak lokasi tempat dimana kami disiksa. Aku juga memperjuangkan keadilan pada kami
dengan berpergian keluar negeri. Aku pergi ke negeri Jepang, para aktivis LSM menunjukkan
rasa simpatinya yang mndalam kepada kami seorang jugun ianfu. Tugas ini begitu berat
bagiku namun harus kuperjuangkan. Teman-temanku kini berada dalm masa tuanya mereka
menaruh harapan yang besar padaku agar perjuangan kami dibayar dengan adil. Kami hanya
butuh pengakuan. Tapi bahkan tokoh-tokoh masyarakat, agama dan orang berpengaruh bukan
nya memberi bantuan tapi malah mengadili kami.
Hingga akhirnya aku mendengar kabar baik bahwa pemerintah Jepang bersedia membayar
ganti rugi terhadap Jugun Ianfu sebesar 380 juta yen. Mengenai dana itu aku memilih
menolak. Karena aku hanya butuh kata maaf dan nama baik kami kembali seperti dulu.

Anda mungkin juga menyukai