Anda di halaman 1dari 12

Cerita Pendek

Selingkuh
bersihar lubis
Di kafe yang sepi ini, aku menunggu seseorang. Aku
seorang jurnalis karena itu selalu berusaha tepat
waktu. “Dalam perang, jika kau terlambat satu menit
saja, apalagi 5 menit, kota ini hancur,” kata seorang
jenderal yang pernah kuwawancarai. Namun beda
dengan menunggu kekasih, meskipun hanya mantan,
kian lama selalu semakin mendebarkan. “Kian
cantikkah dia,” bisik hatiku.
Kupilih meja yang menghadap televisi kalau-kalau ada
berita teranyar tentang calon walikota. Aha, benar!
Tokoh yang diinterviu sang wartawan bicara gombal.
“Pedagang kakilima akan kutebar di pasar-pasar kecil
di segenap kelurahan,” kata si tokoh. Aku tersenyum.
“Kopi hitam, susu, cappuccino?” tanya si pelayan.
“Secangkir air panas dengan sesendok kopi, dan
gulanya biar kuseduh sendiri.” Si pelayan tersenyum
manis. Eh, tiba-tiba kuingat dia yang sedang
kutunggui.
Sonia, namanya. Raut wajah dan bentuk bibirnya
sangat memikat. Ada aura, barangkali tepatnya
sejenis surat undangan dengan narasi “mampir lah
jika sedang resah”, begitulah aku menafsirkannya.
Ah, aku tak dapat menolak undangan macam itu.
Bertahun-tahun lalu sebelum deadline redaksi, aku
suka mampir ke biro travel tempat ia bekerja saat ia
hendak pulang. Di kafe ini kami menghabiskan waktu,
melabuhkan kegelisahan seraya saling beremasan
tangan. “Ada mawar di bibirmu,” kataku, kala itu.
Jika bertemu nanti apa yang akan kukatakan? “Ada
kearifan di bibirmu?” Aku tertawa kecil membuat si
pelayan empat meter dari mejaku terheran-heran.
Tapi aku tak tersipu walau sudah kepala enam yunior
yang tak bisa menghafal lagu Peter Pan. Sementara
syair Nat King Cole sudah jauh di masa lalu.
Hampir 37 menit, Sonia muncul. Ia melangkah lurus
ke mejaku karena toh ia kenal aku seorang lelaki
yang menggemari bau lehernya bertahun lampau.
Tadi siang aku bercanda di handphone. Kusebut
posisi kafe itu sembari kubilang, “aku memakai
kemeja putih lengan pendek dan rompi hitam.” Di
seberang ia tertawa. “Oke. Aku datang dengan bunga
pita merah di rambutku.” Canda yang gairah.
Aku lebih tua sembilan tahun dari Sonia. Umurnya 50
tahun. Wajahnya tidak setua umurnya, kuharap,
tetapi ini pengaruh syarat hatiku bergetar ke bola
mataku sehingga bibirnya tampak seperti mawar.
“Hai,” kataku melambaikan tangan. Ia tertawa kecil
dengan lesung pipitnya yang mengkristal. “Lama
menunggu,” katanya. “Lumayan. Setidaknya bisa
menulis satu jabang puisi,” sahutku.
Seperti semua orang yang pernah saling sayang
meski atas nama perselingkuhan, rasanya tak
berbeda dengan cinta tulen. Hatiku berdesir ketika
tubuhnya merapat. “Bau lehermu masih seperti dulu,”
kataku. Ia mencubit lenganku, dan untunglah sang
pelayan datang menginterupsi. “Mbak, pesan apa?”
Dia masih sememikat dulu, termasuk bentuk
rambutnya. Dengan rok panjang, yang juga seperti
dulu, serasa tak ada yang berubah. Ah, lagi-lagi ini
gara-gara syaraf hati yang bergetar ke mataku.
“Aku sengaja memakai gaun panjang,” katanya.
“Membangkitkan kenangan,” potongku. Ia tertawa
renyah. Aku semakin mafhum mengapa aku
mencintainya, dulu.
Kami duduk dibatasi meja yang kecil sehinga jemariku
dan jemarinya saling mengusap. Kutatap wajahnya
dalam-dalam dan berusaha mengenang yang indah-
indah saja. Kukira Sonia juga, mungkin karena kami
berpisah dulu dengan cara yang…..ah.
Mana ada perselingkuhan yang berakhir ke pelaminan
jika masing-masing saling mencintai pasangannya.
Aku menyangangi istriku, ia juga mencintai suaminya.
"Akhirnya, abang pulang juga.” Suaranya seperti
prosa yang dibaca dalam kamar. Nada suara itu dulu
yang membuatku tenggelam di danau bola matanya.
Kadang menginspirasiku menulis sajak. “Sendirian
begini/ bayu berembus/ dari bau tubuhmu… /
“Ya, pulang ke kota yang…..,” kataku. “Kita sudah
semakin tua, kapan-kapan akan bercucu pula,”
sahutnya. Aku beranak lima orang, tiga pria dua
perempuan. Dia sudah ibu empat anak. “Yang sulung
tinggi ganteng,” katanya. “Seperti ayahnya,” kataku.
"Apa kabar suamimu,” kataku. Dia terdiam. Mohon
maafku kepadanya kuucapkan melalui Sonia belasan
tahun silam. “Jika aku di posisinya, aku juga tak
terima jika istriku berselingkuh….” Kuingat ucapanku
sebelum meninggalkan kota ini.
Mestinya orang mengerti jika cinta kami sangat
platonik. Tak hendak menguasai. Hanya berbagi rasa,
kukira. Bukan berbagi cinta. Sonia bahagia dengan
suami dan anak-anaknya. Begitu juga aku dengan
istri dan anak-anakku.
Jika tumbuh cinta, bisakah dimengerti sama sekali tak
mengurangi cinta lama, yang tak pernah lapuk?
Seakan-akan cinta dikirimkan lagi dari langit dan
mekar di hati kami, dan salahkah itu?
"Aku ingin kita tak pernah bertemu lagi,” kata Sonia,
belasan tahun silam. Terasa suara itu tertekan, tapi
sudah telanjur kudengar.
Kami terdiam. Dulu itu. Aku tak bisa menerima karena
apiku masih tiga lima percik, dan belum berkobar-
kobar. Ia bilang justru harus disetop sebelum
terpanggang. “Api cinta tak pernah sejahat itu,”
kataku. “Api cinta itu bahkan bukan api,” lanjutku. Ia
masih diam. “Api itu suasana hati,” kataku.
Kuingatkan Sonia tentang dialog kami dulu. Ia
tertawa. “Aku tak mau hangus,” katanya. “Itu hanya
prasangkamu,” kataku. “Buktinya, api itu masih belum
padam, sehingga kau dan aku masih mau bersua,”
kataku. “Api itu yang mendorongmu mau bertemu
sekarang, bukan?” Aku terus menyerang.
Menurut Sonia, dulu kami masih lebih muda, tidak
cerdas mengendalikan api sehingga maunya
membara senantiasa. “Lama-lama pasti
terpanggang,” katanya.
Aku sebaliknya. Hati bukanlah benda yang bisa
terbakar seperti kertas atau kayu. “Hatimu dan hatiku
tidak terbuat dari benda-benda mati itu,” kataku,
sekarang, persis kalimatku dulu.
Sonia tersenyum. Mengangguk juga. Setidaknya di
hati, tidak di nalar. Perempuan melihat dengan hati,
dan lelaki dengan pikiran. “Mungkin karena dulu aku
lebih muda,” katanya. “Sekarang juga kau lebih muda
dariku,” sahutku. “Tapi kini aku hampir 50 tahun.
Lebih matang,” katanya, tertawa renyah.
Terakhir kami kencan belasan tahun lampau, Sonia
menangis. Saat itu tubuh kami menyatu dan
gemetaran. Kucoba menghitung helai alisnya.
Kutaksir-taksir helai bulu matanya. Ujung jemariku
menyusuri lekuk bibir. Kemudian lekuk bibirku
menjalari lekuk bibirnya. Ah, Sonia menangis.
“Jangan. Apiku hendak ……,” desisnya.
Aku sebal. Aku menjauh. “Apa yang kau maksud
dengan api?,” kataku. Ia diam. Aku membatin.
Kukatakan besi terpanggang bahkan bisa bengkok.
Api membuat bentuk. Api adalah kreatifitas. Api
adalah sajak. Api tak memunahkan seperti ilalang
dibakar. “Api cintaku bukan zat,” kataku. Nada
suaraku menaik.
“Tapi aku tak tahan,” kata Sonia. “Apa maksudmu?”
kataku. Ia menangis. Dan menangis.
Aku merasa bersalah juga. Sonia mungkin merasa
kami sedang bermain-main di bawah langit tetapi
juga di tepi jurang. Langit tidak akan runtuh, tetapi
Sonia membayangkan kami berdua luruh ke jurang.
Menghakimi perasaan Sonia tidak adil. Lebih tidak adil
menghakimi dia karena tidak tahu tentang apiku.
Apiku dan apinya rupanya beda sehingga tafsir atas
kemungkinan yang terjadi sehingga menjadi beda.
Wah, ini bagai sebuah mahkamah mengadili imajinasi
mengenai api dan api.
“Sudahlah,” katanya bak mengulangi ucapannya dulu.
“Tak kutahu apimu lain,” lanjutnya. “Ya, memang
sudah lampau,” kataku.
Siang ini apiku di depan Sonia di kafe yang sepi masih
menyala. Ingin kuselidik lagi sinar matanya. Ingin
kurasa-rasakan bau lehernya, yang aku telah lupa-
lupa ingat.
Melihat sinar mataku ia bisa membacanya. “Jangan di
sini..,” katanya. Aku tersenyum. “Kau kecolongan, aku
baru saja melakukannya,” kataku.
Sonia heran. “Tapi kau hanya menatapku,” katanya.
Dulu apiku tak membakar. Walau ada kehangatan
yang kian lama membesar tapi hanya pada batas
tertentu. “Hangus aku di api matamu,” katanya,
seperti mengutip sajak Chairil. Tapi itu dulu.
Batas itu sampai di bibirnya. Bibirnya bereaksi pada
batas tertentu pula. Manis. Mengesankan. Tak
berkobar bagai api diembus badai. Hanya angin
sepoi-sepoi. “Terima kasih,” kataku dulu. Ia
mengangguk dengan kelopak matanya.
Di waktu lain tak hanya tiba di bibirnya. Juga di lekak-
lekuk lain yang walaupun di ambang batas tertentu
pula. Kadang kami hendak menerobos lebih jauh.
“Heh….,” katanya, tersentak. Kami surut. “Kok.. ,”
kataku. Ia setengah tersenyum setengah mencibir.
Drama menggemaskan itu dulu kerap terjadi. Aku silih
ganti mengucapkan “terima kasih” dan “maaf” di
waktu-waktu dan tempat-tempat yang berbeda. Dan
kuingat lagi isyarat dari kelopak matanya.
“Benar-benar hendak melakukannya,” kata Sonia. Itu
diucapkannya sekarang di kafe yang sunyi ini. Setelah
belasan tahun tak bertemu. Aku terperanjat karena
masih asyik mengingat-ingat bau tubuhnya. “Atau kita
ke hotel…..” Aku meraih cangkir kopi. Kuhirup
seteguk. “Abang gugup ya?” Sonia tertawa kecil.
Tiba-tiba kuingat kami pertama bertemu berbelas
tahun lampau di sebuah hotel di kota ini. Seorang
pelukis impresionis berpameran, dan saya sedang
menikmati lukisan perempuan nyaris separo bugil.
Saya tertarik karena sapuan warna si pelukis tidak
realistis. Warna-warna obyek lukisan itu bersemu
hijau muda dan merah muda jauh dari aura mesum.
Lekak lekuk tubuh perempuan di kanvas itu bagaikan
silhuet tak memancing adrenalin. Tapi bola mata dan
seulas bibirnya setengah realistis. Kubayangkan mirip
putri kahyangan yang turun dari awan gemawan lalu
mandi di sungai yang berkabut. Gemulai tubuhnya
memancar tetapi tak mengundang berahi.
Aku bergumam sendirian di pojok ruang pameran
yang sepi. Hari sudah hampir malam. “Perempuan ini
bagai putri kahyangan yang turun dari awan
gemawan lalu mandi di sungai yang berkabut.
Gemulai tubuhnya memancar tetapi tak mengundang
berahi,” kataku, mengulangi suara benakku.
Siapa duga bisik hatiku itu lepas dari bibirku dan
didengar seseorang di belakangku. Aku tahu karena
ada tawa kecil, dan saat aku menoleh seorang
perempuan berdiri di depanku. “Anda penggemar
lukisan,” katanya. “Tapi bukan kolektor,” sahutku.
Kami serba canggung karena belum kenal.
Aku menyebut namaku. “Sonia,” balasnya. “Sudah
ada beberapa orang mengagumi lukisan ini, tapi tak
seorang pun membelinya,” katanya. “Anda
pelukisnya?” kataku. Dia menggeleng. “Biro travel
tempatku bekerja menjadi sponsor pameran ini,”
katanya. “Oh,” balasku.
“Lukisan ini anggun,” kataku. “Karena obyeknya
perempuan,” potongnya. “Lelaki lebih ekspresif,
sedang perempuan impresif,” kataku. “Maksudnya?”
katanya. “Lelaki mudah ketahuan, sedang perempuan
menampilkan misteri,” kataku.
Sonia memandangiku lurus-lurus. Kuberkesempatan
menatapi bola matanya. Aduh, seteduh danau.
“Bola matamu seperti lukisan,” kataku. Ia tertawa
kecil. “Aku sudah bersuami,” katanya. “Aku juga
sudah beristri,” balasku. Kami terhening beberapa
jenak seraya memandangi lukisan.
“Beristri tak berarti tabu melihat lukisan dewi dari
kahyangan itu,” kataku. “Tak tabu juga menatap
bolamataku?” Suaranya datar. Tak kutahu pasti ke
mana arahnya. Aku gugup juga. “Publik berhak
memandang sesuatu yang indah,” kataku
memberanikan diri.
Tiba-tiba kuingat deadline. Kulirik arlojiku. “Enak
berbincang denganmu, tapi aku harus pergi,” kataku.
Kami berbagi kartu nama.
Semenjak itu kami kian sering bertemu, sekedar
berbincang. “Kembang di taman boleh dipandang
siapa saja ,” kataku, pada waktu yang lain, belasan
tahun silam, di kafe ini juga. “Dipandang boleh
dipegang jangan,” katanya memetik lirik lagu lawas.
Aku teringat papan pengumuman kecil yang dipasang
Balai Kota di taman dekat sebuah rumah sakit dekat
kantorku. Ada tulisan “dilarang memetik bunga.”
Kuingat teks itu juga tertera dalam naskah drama
Iwan Simatupang berjudul “Petang di Taman” yang
pernah kami tonton belasan tahun silam di kota ini.
“Sonia, kau masih ingat Petang di Taman,” kataku. Ia
tertawa. Bahkan berderai-derai. “Dilarang memetik
bunga itu ditulis Balai Kota untuk Abang,” katanya
dengan tawa yang masih tersisa.
Kutahu ia sedang menyindirku. Bagiku, menatapi
bunga, menikmati warna-warninya, bahkan
menghirup wanginya persis seperti mengapresiasi
lukisan putri awan yang turun ke bumi, yang
dipamerkan biro travel tempat Sonia bekerja, dulu itu.
“Masih hendak melakukannya,” potong Sonia
membuyarkan lamunanku belasan tahun silam. Aku
tahu ia memperkental sindirannya. Ia pun tahu aku
tak mungkin melakukannya. Mengapa tak sedari dulu
saja ketika jendelaku dan jendela dia bagai
menyerahkan kamar kepada angin berembus dari
pepohonan?
Sore itu kami seperti menetapkan lagi komitmen
bahwa kesetiaan tidak akan pudar meskipun
merembes ke suasana yang kata orang sebuah
perselingkuhan.
“Tak ada yang hilang dari dirimu dan diriku,” kataku.
Entahlah. Di hatiku aku ragu, meski kalimat itu
kuulangi berkali-kali kepada Sonia, walaupun
kumaksudkan untuk diriku, dan aku berjuang untuk
mempertahankannya.
Matahari telah rebah ke ufuk barat. Kupanggil
pelayan, membayar bill, dan merangkul Sonia
meninggalkan kafe itu. “Apiku tak pernah padam,”
bisikku. Kelopak mata Sonia mengangguk. **
(Medan, 2010)

Anda mungkin juga menyukai