Anda di halaman 1dari 83

BEJAT:

sebuah kumpulan cerpen

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

PENGANTAR BEJAT: sebuah kumpulan cerpen adalah salah satu tugas yang dibebankan pada mahasiswa Matakuliah Pengembangan Kepribadian Terintegrasi (MPKT) FIB-UI kelas 4, semester ganjil 2009/2010. Tugas ini diberikan sebagai penambah nilai pada pokok bahasan pertama yang bertema kekerasan. Dengan demikian, dapat kita pastikan bahwa tema-tema yang termuat dalam cerita-cerita yang terkumpul di dalamnya adalah cerita tentang kekerasan. Kekerasan di sini mempunyai beragam bentuk. Di antaranya kekerasan suami kepada istrinya, orang tua kepada anaknya, senior kepada junior, hingga manusia kepada hewan. Kekerasan tidak melulu dalam bentuk fisik. Seseorang yang mengalami penderitaan secara psikis juga dapat disebut sedang mengalami kekerasan mental. Kembali ke topik kumpulan cerpen ini. Dengan membaca kumpulan cerpen secara tidak langsung kita mengenal karakter seseorang dari tulisannya. Tiap orang memiliki pengalaman dan pemahaman yang berbeda memandang sesuatu hal. Dari perbedaan tersebutlah karakter seseorang dapat kita ketahui. Ada yang menulis cerita berdasar pada pengalaman hidupnya, ada yang menulis berdasar pada perasaan pada saat ia sedang menulis, dan ada yang menulis berdasar pada ide atau angan-angan yang ia harapkan. Semua menjadi satu, dan menarik untuk Anda pelajari satu per satu. Selamat menikmati.

Penyusun Arie Toursino Hadi

halaman 2 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

DAFTAR CERPEN Cerpen Bertema Kekerasan...................................................................................................................M Reza Fatahilla

The Apartement..........................................................................................................................Ervilia Lupita Andriyanti


Kekerasan Dalam Kehidupan........................................................................................Glory Meirisa Pakpahan Diaz dan Anwar.............................................................................................................................................Indah Permata Sari Yumi...................................................................................................................................................................Indra Puspita Kusuma Kau Bukan Ayahku.......................................................................................................................................Intan Puji Lestari Keluarga dan Sekolah.........................................................................................................................Irvanuddin Rahman Liburan Lebaran.............................................................................................................................................Jodia Pravita Dini Cinta, Kinanti!.........................................................................................................................................................Juwita Anindya (untitled)............................................................................................................................................................Dwi Cahyaningtyas Cerpen Tentang Kekerasan..............................................................................................................................Kartika Putri Tindak Kekerasan Pemerintah Terhadap Anak-anak Jalanan.......................Khamim Hudori Kau dan Kekerasanku.....................................................................................................................................Khaula Fathina Cinta Terlarang.............................................................................RA Koeshamimurti Tosani Natya Laksitha Benderaku.....................................................................................................................................................................Krisna Karim Z Eyang Neli......................................................................................................................................................Lestari Sari Pambudi Bejat.......................................................................................................................................................................Fauzana Fidya Rizky Akhir dari Cinta Sejati................................................................................................................................................Lia Pratiwi Murti................................................................................................................................................................Louise Viranti Lasnida Si Cantik yang Malang...................................................................................................................Fazra Fatima Azzahra Jangan Main Hakim Sendiri............................................................................................................Lourin Hertyastiwi Jan............................................................................................................................................................................................Marsha Jozana Kenangan..........................................................................................................................................................Muhammad Garit N Kekerasan Terhadap Anak...................................................................................................Munadhilah Ummahat Balada Sarimin.......................................................................................................................................................Nadia Khaerani ! ! ! ....................................................................................................................................................................................Arie Toursino Hadi

halaman 3 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

CERPEN BERTEMA KEKERASAN


Oleh: M Reza Fatahilla

Dahulu

saat kepemerintahan Hitler di Jerman, hiduplah seorang saudagar Yahudi yang sangat kaya bersama tiga anak lelakinya. Aku adalah anak orang kaya berkewarganegaraan Inggris yang bekerja sebagai fotografer untuk sebuah perusahaan media jurnal di Inggris Raya dan menetap di Jerman semasa kepemerintahan Hitler. Pada suatu hari sedang dilaksanakan patroli militer Jerman terhadap orangorang Yahudi, yang menyebabkan kekacauan dan kerusuhan. Rumah-rumah banyak yang terbakar akibat patroli tersebut, pasar-pasar pun berantakan akibat tindakan semena-mena dari tentara Jerman. Saudagar Yahudi yang sangat kaya bersama tiga anak lelakinya mendadak menjadi jatuh miskin, selain itu mereka juga disiksa dan dikucilkan karena mereka keluarga Yahudi. Siang itu aku sedang berjalan di pasar yang telah porak poranda akibat patroli Yahudi tadi siang untuk melihat-melihat dan tidak sengaja aku melihat saudagar Yahudi yang sangat kaya dengan tiga anak laki-lakinya sedang bermain sulap, lalu aku tertarik untuk mendekatinya. Hai kalian, tunjukan sulap terhebat yang pernah kalian punya kepadaku,
halaman 4 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

kataku. Baiklah tuanku, jawab mereka berempat. Mereka bermain dengan lincah dan sangat hebat. Membuat bunga dari kertas, membuat api dari plastik dan lain-lain. Aku sangat terhibur lantas memberi mereka uang logam 5 pence dan tidak lupa menyuruh mereka bergaya menghadap kamera serta memfoto mereka sebagai bahan dokumentasi jurnal. Setelah itu aku pergi meninggalkan mereka. Lalu aku berjalan ke depan sejauh 50 km dari pasar tersebut dan aku sampai di kota Berlin. Aku disajikan pemandangan sebuah monumen besar di tengah taman kota yang hijau rumputnya dan ramai akan banyak orang. Monumen itu adalah monumen Hitler yang sangat megah dengan penjagaan oleh tiga orang polisi militer jerman di sekelilingnya. Lalu aku berjalan melewati monumen itu dan mencari sebuah toko yang menjual air mineral, karena leher sudah terasa sangat kering dan haus. Saat itu, terlihat lima orang polisi militer Jerman bersama tiga wanita orang warga Jerman sedang berjalan di tepi jalan. Namun, tiga wanita tersebut disiksa habis-habisan. Mereka diperlakukan bagai binatang. Mereka ditendang, dipukuli, dan diludahi oleh polisi militer Jerman itu. Dan aku sesaat baru menyadari bahwa mereka yang disiksa adalah warga Jerman yang beragama Yahudi. Saya mohon ampun, Pak! Sudahi penderitaan saya. Saya adalah Yahudi. Saya punya harga diri! sayup-sayup suara isak tangisan salah seorang Yahudi itu. Ya, benar. Kami punya harga diri! Kami ingin bebas! sahut suara temannya itu. Namun tetap saja polisi militer Jerman tidak mendengarkan rintihan mereka. Mereka tetap dipukuli dan disiksa sampai babak belur di pinggir jalan tersebut. Aku pun heran, mengapa mereka bertindak tidak manusiawi seperti itu. Aku terus melihat dan memfoto kejadian tersebut sebagai bahan dokumentasi. Dan tiba-tiba ketiga wanita Yahudi tersebut menyerang kelima polisi militer Jerman tersebut dengan mendorong-dorong. Kami ingin bebas! Kami tidak ingin disiksa seperti ini terus! Kebebasaaaaaaaan! teriak mereka bertiga. Dengan cepatnya polisi militer Jerman mendorong ketiga wanita Yahudi tersebut sampai mereka tergeletak jatuh di aspal jalanan dan beberapa saat kemudian terdengar bunyi tembakan senjata sebanyak tiga kali, DAAWR! CKCK DAWR! CKCK DAWR! Suara tembakan polisi militer Jerman kepada tiga orang Yahudi itu. Sekejap nyawa ketiga wanita Yahudi itu pun lenyap. Dan aku hanya bisa melihat dan memfoto segala kejadian yang terjadi saat itu untuk bahan dokumentasi jurnal. Lalu aku berjalan menuju toko yang menjual sebuah air mineral. Saya mau beli satu botol air mineral pak, pintaku kepada penjual toko. Ini silahkan tuan, harganya 10 pence jawab penjual toko. Pak, apakah kejadian seperti barusan di jalanan sudah sering terjadi? tanyaku.
halaman 5 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

Ya, sebenarnya saya juga sudah gerah melihat kelakuan polisi-polisi militer itu, namun itu sudah menjadi peraturan semenjak Hitler berkuasa. jawab penjual toko. Setelah itu aku memfoto bapak penjual tersebut dan pergi menuju stasiun kereta api yang bernama Zoo yang terletak tidak begitu jauh, kira-kira 55 km dari toko itu. Sesampai di sana, aku membeli tiket dan naik kereta sampai kota Munich dan sore telah menjelang. Pemandangan matahari yang sangat indah saat terbenam di kota Munich. Setelah itu aku langsung menuju bandara dan melakukan penerbangan menuju Manchester, Inggris. Selama perjalanan di pesawat terbang aku hanya terdiam dan menulis sebuah catatan perjalanan selama di Jerman pada sebuah buku kecil yang muat di saku jas hitam yang sore itu aku pakai di pesawat terbang dan tidak lama kemudian aku tertidur lelap. Setelah tiga puluh menit tidak terasa perjalanan aku mencoba bangun dari tidur, dengan mata yang masih mengantuk- ngantuk dan tiba-tiba seorang pramugari yang cantik membangunkan aku. Selamat sore, Tuan. kita telah sampai di Manchester, periksa kembali barang bawaan anda, Tuan. Terima kasih. kata pramugari cantik tersebut. Aku langsung mengambil tas bawaan dan menuju lobby bandara Manchester dan terdengar suara yang sudah familiar di telinga. Haaai! Kamu apa kabar? tanya wanita itu kepadaku. Aku bingung dan baru menyadari ternyata dia adalah teman kantor dari perusahaan media jurnal. Oh, aku baik saja. Mungkin sedikit lelah perjalan dari Jerman jawab diriku. Lalu aku diantar ke perusahaan dan di sana aku bertemu teman-teman kantorku dan mereka bergembira menyambut kedatanganku karena sudah lama sekali mereka tidak bertemu denganku. Lalu, aku menceritakan hasil laporan jurnal yang aku dapat di Jerman. Mereka tercengang mendengar hasilnya, namun mereka sangat puas, karena jurnal yang aku buat sangat detil dan berdasarkan kejadian faktual. Seminggu kemudian, jurnal tersebut masuk dalam berita utama televisi terkenal di kota Manchester tersebut. Selamat siang. Selamat, jurnal anda terpilih menjadi topik utama televisi terkenal kota Manchester. Dengan ini saya promosikan anda untuk naik jabatan dan naik gaji. pernyataan ketua direksi perusahaan media jurnal. Yeeeeeeeeeesss! Im freee! Yuhhuu! aku berteriak akan keberhasilan. Aku pun kini naik jabatan dan terus memberikan kontribusi yang bagus bagi perusahaan media jurnal tersebut. Dan ceritaku berakhir sampai di sini. Tamat.

halaman 6 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

THE APARTMENT

Oleh: Ervilia Lupita Adriyanti

Saat

ini sudah pukul lima lewat dua puluh satu menit ketika kami, aku dan seorang temanku, Rei, tiba di depan pintu apartemen milik Aya, salah satu teman dekat kami ketika masih duduk di bangku SMA. Oleh karena itu, ketika Aya menghubungi kami dan mengundang kami untuk makan malam bersama di apartemen barunya, kami berdua segera mengiyakan lalu dengan semangat pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli beberapa bahan makanan yang dimasak bersama nanti. Di depan pintu apartemen Aya, aku teringat beberapa bulan yang lalu Aya mengabarkan kepada kami kalau ia akhirnya memutuskan untuk tinggal di apartemen kekasihnya, Ryo. Sebenarnya itu adalah kabar yang sedikit mengejutkan. Mengetahui hubungan keduanya yang sudah cukup lama, agak heran mengapa mereka tidak langsung saja memutuskan untuk segera menikah. Oleh karena itu, kedatangan kami ke apartemen mereka kali ini, juga ingin melihat sosok seorang Ryo yang selama ini kami hanya kenal melalui cerita-cerita dari Aya saja. Sebuah senyum terlukis di bibir Rei ketika aku menekan bel apartemen Aya dengan siku kananku seakan tidak sabar menunggu Aya membuka pintu apartemennya. Namun, pintu itu tidak terbuka. Detik selanjutnya pun kami saling
halaman 7 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

berpandangan dan mulai bertanya-tanya mengapa Aya belum membuka pintu apartemennya. Coba tekan belnya sekali lagi. Rei menunjuk bel apartemen Aya dengan dagunya. Kini aku menurunkan kantung belanja yang aku jinjing di tangan kananku lantas menekan sekali lagi bel tersebut. Kali ini dengan jari telunjukku. Setelahnya, kami berdua mulai memasang telinga baik-baik, menunggu adakah suara derap langkah kaki dari dalam sana. Rasa penasaran kami tiba-tiba terbayar ketika kami sama-sama mendengar suara langkah kaki dari dalam apartemen. Suara itu kemudian disambung dengan suara kunci pintu yang dibuka. Perlahan, pintu apartemen itu terbuka dan kami melihat teman kami, Aya, di belakang pintu itu. Ia tersenyum lebar ketika melihat kami berada di depan apartemennya. Maaf, tadi Aku ketiduran. Kalian belum lama, kan? Aya sedikit bergeser ke sebelah kanan dan mempersilahkan kami masuk ke dalam apartemennya. Lalu, ketika ia lihat aku membawa dua buah kantung belanjaan, dia mengambil salah satu kantung itu dariku dan mulai melihat ke dalamnya. Kalian sudah membeli tepung okonomiyaki-nya juga, kan? sambil mengenakan sandal berwarna putih polos yang diletakkan tidak jauh dari pintu, aku mengangguk. Ya. Kami juga membeli lebih kalau kamu ingin memasaknya lagi. Rei menambahkan. Kini ia sudah berada di ruang tengah apartemen dan melihat ke sekeliling ruangan. Aya pun mengucapkan terima kasih sambil menutup kembali pintu apartemennya dan menguncinya lagi. Tom, duduk saja dulu. Biar aku dan Rei yang menyiapkan semuanya di dapur. Aya melangkahkan kakinya dengan cepat ke arah dapur sambil mempersilahkanku untuk duduk di sofa ruang tengahnya. Hah? Benar tidak apa-apa aku tidak membantu? Tidak. Biar wanita saja yang memasak di dapur. sambil melambaikan tangannya cepat, ia seakan menahan langkahku yang berusaha memasuki dapur apartemennya. Bersamaan dengan itu ia menunjuk sofa ruang tengahnya dan memberi isyarat dengan matanya agar aku duduk saja di sana. Tidak ada jalan lain, aku hanya mengangguk-angguk pelan sambil mulai melihat ke sekeliling ruangan tersebut. Jam berapa Ryo pulang dari kantornya? dari arah dapur aku mendengar Rei bertanya. Pertanyaan itu disusul dengan suara pisau yang mulai bekerja memotongmotong bahan makanan. Mungkin itu wortel, karena kami berencana membuat nasi kare. Mmm, tidak lama lagi. Kalian tidak memajang satu pun foto di sini..., aku dengan cepat mengganti topik ketika sadar tidak ada satu pun figura foto yang tergantung di dinding ataupun dipajang di atas meja. Agak mengherankan memang ketika sebuah rumah tidak
halaman 8 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

dihiasi paling tidak satu foto pemiliknya. Aku saja yang seorang laki-laki masih memajang foto kelulusanku ketika SMA di ruang tengah apartemen. A, yaa..., Bahkan tidak ada foto Ryo satu pun di sini. aku menambahkan tanpa mengindahkan jawaban terbata-bata yang dilontarkan oleh Aya. Kemudian, di saat yang bersamaan terdengar bunyi bel pintu. Suara bel yang kedua menyusul kemudian. Apakah itu Ryo? terdengar suara Rei bertanya dari dalam dapur. Aku langsung mengalihkan pandanganku ke arah pintu apartemen. Mungkin. Tunggu sebentar. Aya dengan segera keluar dari dalam dapur kemudian disusul oleh Rei. Lalu, ia pun melepaskan celemek yang ia pakai dan menyampirkannya di kursi meja makan. Yaa... bersamaan dengan itu ia kembali membuka kunci pintunya. Ketika pintu mulai terbuka, dari kejauhan aku melihat seseorang mengenakan setelan jas di luar sana. Aku mulai menebak kalau orang itu adalah Ryo. Kenapa lama sekali kamu membuka pintunya? laki-laki itu mulai memasuki apartemennya. Sepertinya dia belum menyadari kehadiran kami. Aku... sedang memasak. Masak? Laki-laki itu kini membuka jasnya. Ketika ia mulai melangkah masuk, langkahnya langsung terhenti ketika melihat kami di ruang tengah. Matanya memandang kami penuh dengan rasa penasaran. Mereka.... Mereka teman SMA-ku, Ryo. Tom dan Rei. Benarlah ternyata laki-laki itu adalah Ryo. Laki-laki berperawakan tegas. Rambutnya pendek dan tingginya hampir sejajar denganku. Sementara itu, kulitnya agak sedikit coklat jika dibandingkan dengan warna kulitku, Rei, dan Aya. Teman SMA? Ryo mulai melangkah mendekat. Aku tersenyum sambil menundukkan badanku sedikit. Rei juga melakukan hal yang sama. Jarang sekali Aya mengundang temannya datang ke sini. Bahkan, tidak pernah. ucapnya dengan suara yang sedikit berat. Entah mengapa ia terus saja memandang ke arahku. Hanya sesekali ia memandang Rei. Kini, entah mengapa suasana menjadi sedikit tidak nyaman. A, yaa... aku berpikir ada baiknya kamu juga mulai mengenal teman-teman baikku, Ryo. Aya mulai berusaha mencairkan suasana. Bersamaan dengan itu, Ryo mengalihkan pandangannya ke arah Aya dan mulai mengangguk-angguk. Hmm. Benar juga. Ryo mengiyakan ucapan Aya. Ia lalu tersenyum kepada kami. Namun, aku mulai merasakan ada sesuatu yang aneh di sini. Senyuman yang disunggingkan Ryo seperti dipaksakan atau bahkan sebenarnya Ryo tidak menyukai kehadiran kami sejak awal. O, iya. Apakah mobil putih di parkiran bawah milikmu, Tom? Sepertinya kamu memarkirkannya di tempat orang lain. Sebaiknya di pindahkan saja.
halaman 9 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

Masih dikuasai oleh suasana canggung beberapa saat yang lalu, Aku hanya bisa memperlihatkan ekspresi benarkah? tanpa berkata-kata. Kalau begitu aku ke bawah dulu. sambil memberikan isyarat kepada Aya, aku pun segera berjalan ke arah pintu apartemen. Sepertinya aku ikut saja ke bawah. Rei pun membuntutiku dari belakang. Kami kembali menuju apartemen Aya dengan perasaan bingung. Ketika kami sampai di parkiran sekitar lima belas menit yang lalu, tidak ada tanda-tanda bahwa kami memarkirkan mobil di tempat yang salah. Setidaknya tidak ada orang yang menunggu di sana dan mengatakan bahwa kami harus segera memindahkan mobil kami ke parkiran yang lain. Langkah kami berhenti di depan pintu apartemen Aya untuk kedua kalinya. Ketika Rei mulai menekan bel, terdengar suara sesuatu jatuh kemudian pecah dari dalam apartemen. Kami terlonjak kaget dan mulai berpandangan. Apa yang terjadi? Rei terlihat syok. Mimik wajahnya berubah menjadi sangat khawatir. Sudah aku katakan kamu tidak boleh membawa laki-laki ke apartemen ini!! kini terdengar suara bentakan Ryo dari dalam apartemen. Kami sontak tercengang dan mulai menggedor-gedor pintu apartemen tersebut sambil meneriakkan nama Aya. Sesaat kemudian kami mendengar suara Aya dari dalam. Suaranya lirih. Tom hanya temanku. Teman?! Maafkan aku... Kami semakin kuat menggedor pintu tersebut walaupun sepertinya Ryo berusaha tidak mengindahkannya. Tiba-tiba aku dengan refleks mencoba memutar kenop pintu dan ternyata pintu itu tidak terkunci. Dengan cepat aku buka pintu tersebut dan mendapati Aya tersungkur di lantai ruang tengahnya. Ia menangis dan Ryo berdiri sambil mengarahkan pemukul baseball ke arahnya. Tidak jauh dari mereka, sebuah lampu kaca sudah terjatuh dan pecahannya menyebar tidak beraturan. Tidak sampai di situ, Ryo juga mengarahkan tendangan kakinya ke arah tubuh Aya yang sudah tidak berdaya. Hei! aku dengan geram melangkah masuk dan mencoba merebut pemukul baseball tersebut. Sementara itu, Rei juga berlari memasuki ruangan dan langsung memeluk Aya yang masih tergeletak di lantai. Apa yang kamu lakukan?! Apa kamu sudah gila?! aku balik meneriaki Ryo ketika kami saling berebut pemukul itu. Namun, Ryo seperti sudah hilang kendali dan ia mendorongku dengan kuat hingga Aku terjatuh. Ini bukan urusan kalian!! Kini Ryo mengarahkan pemukulnya kepadaku dan mulai memukulnya kepada secara membabi buta. Aku berusaha menghindar, tapi pukulannya yang bersarang di punggungku mulai meruntuhkan kekuatanku.
halaman 10 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

Ryo! Hentikan! Aya berteriak keras sambil terus menangis di pelukan Rei. Tangannya mulai menggapai-gapai pergelangan kaki Ryo dan memeluknya. Aku mohon hentikan... suara Aya mulai melemah. Sementara itu isak tangisnya semakin menjadi-jadi. DIAM!! Ryo menendangkan kakinya hingga Aya kembali tersungkur di lantai. Ketika itu, konsentrasi Ryo seperti terpecah dan aku menemukan kesempatan untuk merebut pemukul baseballnya. Sekarang hentikan semua ini atau aku akan menelpon polisi! aku berusaha berdiri dan berbalik menodongkan pemukul itu kepadanya. Tapi, Ryo seakan tidak peduli dan ia kembali balik menyerangku. Ketika kami terus berbaku hantam, tanpa sadar Aya sudah berada diantara kami dan berusaha memisahkan kami berdua. Rei pun mulai menarikku kebelakang agar menjauh dari Ryo. Namun, tanpa pikir panjang, Ryo langsung mendorong Aya ke arah belakang. PRANG... Tiba-tiba semuanya hening. Kami bertiga langsung mengalihkan pandangan kami ke arah sumber suara. Aya!! diiringi teriakan keras dari Rei, kami melihat Aya tergeletak tidak sadarkan diri dibawah sebuah rak kaca di dekat meja makan. Darah mulai mengalir keluar dari balik rambutnya yang sudah acak-acakan. Aya..., Aya..., seperti sudah tersadar, Ryo mendekati Aya lalu menggoncanggoncangkan tubuh wanita muda itu. Tapi tidak ada respon sedikitpun. Seperti bukan Ryo yang beberapa saat lalu sangat menakutkan, Ryo yang sekarang mulai memeluk Aya dan menangisinya. aku dan Rei hanya terpaku saja melihat pemandangan itu. Seminggu kemudian, kami mendengar kabar Aya sudah melewati masa kritisnya dan tidak lama lagi akan segera meninggalkan rumah sakit. Namun, yang paling melegakan ketika kami juga diberitahukan bahwa Aya memutuskan untuk kembali tinggal bersama kedua orang tuanya. Sementara itu, Ryo berada di bawah tahanan polisi setelah Aya menceritakan segala bentuk kekerasan yang dilakukan Ryo kepada dirinya selama mereka tinggal bersama di apartemen tersebut.

halaman 11 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

KEKERASAN DALAM KEHIDUPAN


Oleh: Glory Meirisa Pakpahan

Pada

suatu hari di daerah pinggiran kota Jakarta, hiduplah sebuah keluarga yang mapan dan berpendidikan. Keluarga itu terdiri dari seorang ayah, ibu, dan ketiga anaknya yang bernama Faris,

Gisel, dan Gina. Kepala keluarga itu bernama Susanto, direktur utama dari salah satu perusahaan ternama di daerah Jakarta. Ibu Susanto pun adalah seorang wanita karir yang bekerja di salah satu perusahaan asuransi terkemuka di Indonesia. Gisel dan Gina adalah anak kembar yang saat ini sedang meneruskan pendidikannya ke tingkat SMA. Orang tua mereka ingin sekali kedua anak kembarnya itu bisa bersekolah bersama di SMA unggulan. Memang pada dasarnya kedua anak itu adalah anak yang cerdas, maka keduanya bisa bersekolah di SMA unggulan yang sama. Orang tua mereka sangat membanggakan dua putri kembarnya itu, Gina dan Gisel. Namun lain keadaannya dengan Faris, kakak tertua dari Gina dan Gisel. Saat ini Faris sedang melanjutkan pendidikannya di salah satu universitas swasta di Jakarta. Kedua orang tua Faris sangat kecewa dengannnya karena Faris tidak dapat memenuhi keinginan orang tuanya untuk melanjutkan kuliah di
halaman 12 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

universitas negeri. Nasib Faris cukup dibilang kurang beruntung, ia selalu diremahkan dalam keluarganya. Hingga suatu ketika ia meneleponku dan mengajakku untuk bertemu di salah satu cafe. Akhirnya pada malam itu pun aku menemuinya. Saat itu Faris hanya bercerita bahwa ia sangat tidak dihargai di rumah. Kedua orang tuanya pilih kasih. Mereka lebih menyayangi Gina dan Gisel karena menurut mereka Gina dan Gisel tidak membuat malu nama keluarga mereka. Aku pun sedih mendengar kesaksian dari Faris, sahabatku. Saat itu aku menyarankan kepada Faris untuk membuktikan pada orang tuanya bahwa Faris mampu dan tidak bisa dipandang sebelah mata. Waktu terus berjalan hingga pukul 21.00, aku dan Faris mengakhiri pertemuan malam itu dan berharap semoga Faris bisa menjalani kehidupannya dengan sabar. Dua minggu berlalu dan aku tidak mendapat kabar dari Faris, baik lewat telepon atau sms. Aku mulai curiga dengan keadaan Faris, biasanya ia selalu sms atau paling tidak meneleponku saat akhir pekan. Namun saat ini Faris bener-benar menghilang bagai ditelan bumi. Untuk menghilangkan rasa penasaranku, aku pun berniat mendatangi rumah Faris yang tidak terlalu jauh dari komplek rumahku. Ketiaka sampai dirumah Faris, aku hanya dapat bertemu dengan pembantu yang biasa bekerja disana. Aku pun bertanya, Mbak, Farisnya ada? Lalu si Mbak menjawab Maaf Non, Mas Faris sedang dihukum tuan dan nyonya karena di kamar Mas Faris ditemukan rokok dan minuman keras. Saat itu aku merasa terenyuh dengan keadaan Faris, aku sangat memehami apa yang ia rasakan. Sesekali dari luar aku mendengar suara ribut dari arah kamar Faris. Aku mendengar suara ayah Faris dan ibunya yang sedang membentak Faris. Karena aku tidak ingin terlalu banyak ikut campur, aku pun memutuskan untuk kembali pulang. Dua hari setelah aku mendatangi rumah Faris, tiba-tiba handphone-ku berdering. Dan kudapati satu buah pesan dari Faris yang berisi, Pagi, maaf ya gw ganggu. Klo lo ada waktu, lo mau ga ketemu gw siang ini ditaman deket komplek humz gw? Cepat-cepat aku membalasnya dan setuju untuk bertemu dengannya. Ketika sudah bertemu dengannya, ia mulai bercerita tentang kehidupannya di rumah. Orang tua Faris sangat memaksa Faris untuk menjadi yang terbaik, namun Faris tidak bisa memenuhi segala keinginan orang tuanya. Faris merasa malu, ia merasa rendah dan tak berguna bagi keluarganya. Ia merasa seperti benalu dalam kehidupan keluarganya. Ia tidak bisa memenuhi keinginan orang tuanya untuk masuk perguruan tinggi negeri, tidak dapat lulus S1 dalam waktu 4 tahun, dan selalu menjadi bahan pembicaraan rekan-rekan di kantor ayahnya. Oleh sebab itu Faris selalu dihukum oleh kedua orang tuanya bahkan orang tua Faris suka melakukan kekerasan pada dirinya. Goresan ikat pinggang pada badannya sudah menjadi hal yang biasa. Pukulan yang diberikan ayahnya pun sudah
halaman 13 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

jadi makanan Faris setiap hari. Sungguh perasaan Faris bercampur jadi satu. Ia ingin marah, menangis, dan merasa rendah. Sehingga pada minggu yang lalu Faris merusak tubuhnya dengan mencari pelampiasan seperti rokok dan alkohol. Kekerasan yang dialami Faris bukan kekerasan yang baru terjadi sesekali ini, tapi sejak Faris duduk di bangku sekolah dasar ia memang sudah mendapat kekerasan dari ayahnya. Saat itu aku hanya bisa memberi dorongan dan semangat pada Faris, supaya ia tidak menyia-nyiakan hidupnya dan tidak merusak tubuhnya dengan benda-benda haram itu. Dan mungkin jika ada waktu yang tepat, Faris memang harus berbicara pada kedua orang tuanya secara baik-baik tentang masalah yang dihadapinya. Dan menjelaskan pada kedua orang tuanya bahwa kekerasan bukanlah menjadi kunci dalam suatu permasalahan, melainkan kekerasan hanya dapat menimbulkan masalah baru.

halaman 14 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

DIAZ DAN ANWAR


Oleh: Indah Permata Sari

Kau

berdiri di sana, di sudut ujung jalan. Menunggunya yang tak juga menghampirimu walaupun sudah sejam berlalu. Akhirnya kau tak sabar dan menghampirinya. Kau pun diam tak tau ingin bicara apa. Setelah ribuan masalah yang telah kau hadapi bersamanya, kini masalah sudah selesai, tapi tak tahu terasa ada yang berbeda. Kau memulai sedikit kata, Hai. Kau pun memulai pembicaraan. Tapi dia yang kau ajak berbicara hanya menjawab sapaanmu dengan air mata yang tumpah ruah tak ada tara. Kau pun bertanya, Ada apa? Apa yang terjadi? Bukankah masalah kita sudah selesai. Rani, wanita yang kau sapa itu menjawab, Iya, memang sudah selesai. Tapi aku telah banyak menyakitimu dan akan terus menyakitimu. Kenapa? Dengan cara apa? kau pun bertanya dengan hati bergetar. Setelah ribuan masalah datang menghampiri kita. Aku tahu sekarang jawabannya. Jawabannya adalah aku tidak lagi mencintaimu. Tanpa sadar aku mencintai ayahmu yang sudah tak beristri itu. Dan dia pun sudah merenggut keperawananku. Dan aku pun mencintainya!
halaman 15 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

Bumi serasa berguncang, seakan tak mampu menahan langit yang mulai bergeming. Jadi selama ini kamu menghianatiku. Dan itu kau lakukan dengan ayah kandungku sendiri. JAHANAM KAU! BEDEBAH KAU! SAMA SAJA DENGAN AYAHKU! Kau pun membelalakkan mata dan air mata pun tumpah tak terkira. Ingin rasanya kau membunuh ayahmu sendiri. Yang telah merenggut belahan jiwamu yang sedari dulu kau jaga. Tapi apa daya. Nasi telah menjadi bubur. Kau tak bisa berbuat apa-apa lagi. Aku harus berbuat apa, ya Tuhan? Apa yang harus kulakukan? Inikah balasan untukku yang telah menjaga dengan baik belahan jiwaku? Kau berteriak seperti tak berakal. Beruntung ujung jalan sedang sepi tak ada satu pun orang. Hanya kicauan burung di beberapa pohon besar. Setelah kejadian itu, Rani menghilang bersama ayahmu. Kau pun melanjutkan hidupmu seperti biasa walaupun setiap harinya hatimu hancur tak terkira. Tak ada kejadian pun yang kau lupakan, semua kau ingat dengan jelas. Lima tahun kemudian, Rani dan ayahmu kembali. Tanpa merasa berdosa mereka mengenalkan adik barumu Yoga. Diaz, kenalkan. Ini adik barumu, Yoga. Dan mulai hari ini kami akan tinggal bersamamu. Ayahmu memaksa kamu untuk menerima kenyataan pahit ini. Kau harus memanggil mantan kekasihmu Rani dengan sebutan 'Ibu'. Dan menerima adik barumu, Yoga. Sudah lima tahun kau tidak mendapat pengganti Rani, tapi ternyata hubunganmu dengan Rani membuatmu trauma menjalani hubungan. Dan kini kau menjalin hubungan cinta bersamaku tanpa sadar. Bersamaku, Anwar. Dan kami bahagia menjalani hubungan sesama jenis ini.

halaman 16 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

YUMI
Oleh: Indra Puspita Kusuma

Aku

terkejut ketika mendapati tulisan nama yang berkedip-kedip tanda ada seseorang menelepon ke telepon genggamku. Jarang sekali Yumi meneleponku enam bulan terakhir ini. Sejak dia mulai berpacaran dengan Kibum. Dia menjelaskan bahwa dia memergoki Jun selingkuh dengan gadis lain. Sejujurnya, hatiku sangat gembira, sudah lama aku menunggu hari ini. Tetapi, di sebrang telepon, suara isak tangisnya membuatku tidak tega dan segera ingin datang kepadanya, memberikan bahuku untuknya dan menghapus air matanya. Aku pun berkata padanya untuk tetap tinggal di tempat dia berada, karena aku akan segera menghampirinya. Selama perjalanan aku ke tempatnya, pikiranku selalu tentang Yumi. Bisa dibilang dia adalah sahabat dan orang yang selalu ingin aku lindungi. Aku mengenalnya sejak SMA. Kami terlibat dalam satu klub ekskul softball di sekolah kami. Kebetulan rumah kami berdekatan maka kami jadi semakin akrab. Tak disangka sekarang ini, kami diterima di fakultas yang sama. Yumi adalah gadis yang sangat cantik, cerdas dan juga ceria. Selain prestasi akademiknya yang tinggi, prestasi non-akademiknya juga sangat memuaskan. Dia adalah gadis yang paling mendekati sempurna menurutku. Penampilannya yang
halaman 17 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

berbeda dari semua gadis seusianya membuat banyak lelaki mengejarnya. Hati Yumi pun berlabuh di hati Kibum, salah satu senior yang cukup terkenal karena prestasinya di bidang olahraga. Tetapi lelaki ini ternyata juga berhasil melukai hati Yumi. Ketika aku sampai di taman itu, aku lihat Yumi duduk tertunduk di ayunan yang tidak bergerak. Aku menghampirinya sambil menyodorkan sapu tanganku kepadanya seraya berkata, Jangan menangis lagi. Aku berlutut didepannya dan mencoba menenangkannya. Yumi, bagaimana jika kita cari minum untukmu? Yumi pun tersenyum dan mulai berdiri. Kau mau teh? tanyaku. Hmmboleh juga, kayaknya itu enak. jawabnya. Aku sengaja tidak menanyakan kejadian Kibum dulu kepadanya. Karena aku tahu itu akan menyakiti hatinya. Kami menuju kafe teh langganan kami itu dengan berjalan kaki, kebetulan memang tidak terlalu jauh. Di perjalanan, aku mencoba menghiburnya sedikit dengan lawakan-lawakan garingku. Matanya masih berkacakaca. Aku mengerti, pasti dia sangat dikecewakan oleh Jun. Sesampainya di kafe tersebut, aku menyuruhnya untuk duduk saja. Aku sudah hafal teh yang biasanya dia pesan. Ini teh mu. aku menaruh cangkir tehnya di depan dia. Wah, kau masih ingat saja dengan teh kesukaanku. Terima kasih, Minho. jawabnya sambil tersenyum. Apakah kau sudah siap untuk menceritakannya? tanyaku. Hhh Baiklah Pagi tadi ketika aku mau berolahraga ke taman, aku melihat mobil Kibum di depan taman, Yumi terhenti, suaranya mulai bergetar dan matanya mulai berair. Aku memegang tangannya. Aku melihat Kibum didalam mobil dengan gadis lain. Jarak mereka dekat sekali. lanjut Yumi. Ia mulai menangis lagi. Kali ini tangisnya deras. Aku tidak tega melihatnya, aku duduk disebelahnya dan memeluknya. Kau tidak pantas menangisi lelaki macam dia. Percaya padaku, kau akan melupakan ini semua. jelasku. Tangisannya reda tetapi air matanya masih keluar. Dia terdiam dan tetap terlihat cantik. Aku masih tak percaya posisinya sekarang adalah di dalam pelukanku. Aku sangat mencintai Kibum. gumamnya Apakah kau yakin itu bukan sepupu Kibum? tanyaku Yakin! Hanya keluarga dia yang ada di Jakarta. Seluruh keluarga besarnya ada di Seoul. jelas Yumi. Dia terdiam sejenak. Lalu ia bertanya lagi, Apakah yang harus aku lakukan, Minho? Aku sangat mencintai Kibum, ulangnya lagi. Jika kau masih mencintainya, mungkin ada baiknya kau tanyakan dulu kepadanya. Jelaskan bahwa kemarin kau memergoki dia dengan gadis lain. Tanya padanya siapakah gadis itu. Terpaksa aku berbohong. Betapa aku ingin dia segera
halaman 18 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

mengakhiri ini semua dengan Kibum. Sudahlah, jangan tangisi dia lagi. Kau jadi terlihat jelek sekali jika menangis, candaku. Yumi pun tersenyum. Aku mulai menghibur dia, mengajaknya mengobrol yang tidak ada hubungannya dengan Kibum. Kami menghabiskan waktu di kafe tersebut hingga larut malam. Paginya aku melihat Yumi di taman kampus. Tak lama kemudian datanglah Kibum menghampirinya. Ternyata Kibum memberikan Yumi selusin mawar yang telah terbungkus indah. Bisa juga akal bulusnya! kataku dalam hati. Yumi yang memang gadis manis yang baik hati menerimanya dan sepertinya dia tidak jadi menanyakan Kibum tentang kejadian kemarin. Mereka berjalan berdampingan, melewatiku. Aku hanya tersenyum pada mereka berdua. Yumi membalas senyumanku dengan tatapan yang aneh. Siangnya, ketika aku sedang duduk menikmati internet gratis di perpustakaan, aku dikejutkan oleh Yumi yang tiba-tiba datang. Minho! Sedang apa kau? sapanya dengan ceria. Eh kau, Yumi. Aku hanya bermain internet saja. Kau masih ada kuliah sesudah ini? tanyaku Hmm tidak ada sih Kenapa kau menanyakan itu? Mau mentraktirku teh lagi? tanya Yumi dengan nada iseng. Hahahaha. Kau mau teh? Hmmm, boleh juga. Tapi aku lebih ingin membalas budimu kemarin. Aku berhutang kan padamu? Berhutang? Iya, teh yang kemarin kau belikan untukku belum aku ganti duitmu. Mau nggak kalau aku gantinya dengan kue saja? tanya Yumi dengan senyuman termanis yang pernah kulihat. Baiklah. Tapi aku sendiri yang memilih kuenya, ya. Oke! Ya sudah, aku bereskan barang-barangku terlebih dahulu ya. Sini aku bantu! Aku sangat penasaran mengapa dia sangat ceria hari ini. Aku ingin menanyakan padanya tentang Kibum. Mungkin Yumi memang sangat pemaaf. Dan mungkin Yumi benar-benar mencintai Kibum. Setelah kami selesai membereskan barang-barangku, kami keluar dari perpustakaan bersama. Aku mencoba bertanya pada Yumi tentang Kibum. Hmm, Yumi, Kibum di mana memang? Kau tidak bertemu dengannya? Oh, Kibum sedang latihan basket di lapangan basket Fakultas Ekonomi. Oh iya, Minho, beli kuenya di toko kue yang ada di Fakultas Ekonomi saja, yuk! Sekalian, aku ingin melihat Kibum latihan. Sudah lama aku tidak melihat dia berlari di lapangan
halaman 19 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

Baiklah. Aku juga ingin makan kue coklat yang dijual di toko itu. Dasar kau, Minho! Giliran mau dibeliin kue aja langsung semangat deh. Biasanya kau tak mau menemaniku. Ya, aku tak suka melihat Yumi dengan Kibum. Makanya aku tidak pernah mau menemani Yumi jika ia mau melihat Kibum latihan. Tetapi entah mengapa, ada sesuatu yang mendorong hatiku untuk tetap menemaninya saat ini. Aku akhirnya memberanikan diri bertanya tentang kelanjutan dia dan Kibum, Hmm Yumi, aku boleh bertanya nggak? Boleh, kau mau nanya apa? Bagaimana jadinya kau dengan Kibum? Kau sudah tanyakan padanya? Yumi terdiam. Ekspresi mukanya berubah. Aku masih mencari waktu yang tepat, jawabnya. Bukannya kau luluh karena diberikan seikat mawar tadi pagi? Kau melihatnya, Minho? Ya aku melihat kalian dari kejauhan. Aku tidak tahu deh. Tapi yang pasti aku akan menanyakan pada Kibum jika, tiba-tiba Yumi seperti dikejutkan oleh sesuatu. Dia diam tak berkutik, tatapannya terpaku pada sesosok yang berada di lapangan basket. Aku mengikuti arah matanya dan mendapati dua sosok manusia yang sedang duduk berdampingan dengan romantis di pinggir lapangan basket. Jelas sekali itu adalah Kibum dan mungkin dengan wanita yang kemarin dipergoki oleh Yumi. Aku melihat Yumi kembali. Aku tahu apa yang dipikiran Yumi. Apakah kau mau menanyakan pada Kibum sekarang?! tanyaku dengan tegas. Minho, aku tak bisa bertemu Kibum sekarang. kata Yumi. Matanya masih tertuju pada sosok Kibum. Aku tak ingin Yumi kembali menangis, aku mengajaknya segera pergi dari tempat itu. Yumi, aku antar kau pulang ya. Mau kan? Yumi mengangguk. Aku mengantarnya pulang menaiki motorku. Di perjalanan hening, hanya suara angin yang terdengar di telingaku. Yumi yang kubonceng, memelukku dengan erat. Hatiku bergetar tetapi aku tau dibelakang sana dia sedang menangis. Tiba-tiba ia berkata padaku, Minho, aku ingin ke taman, bisakah kau mengantarku kesana? Aku segera melajukan motorku ke arah taman. Di taman, Yumi langsung turun dan menuju ayunan. Bisakah kau mendorongku? Aku mendorong ayunan itu dengan pelan. Kau pasti mengira aku sangat pengecut. Aku tidak mengerti lagi harus bagaimana ke Kibum. Aku bingung. Hatiku sakit melihat Jun dengan gadis itu. Aku yakin, gadis yang kita lihat tadi, adalah gadis yang sama dengan gadis yang aku lihat kemarin. air mata Yumi pun mulai menetes. Aku berhenti mendorongnya dan berlutut didepannya. Yumi, aku akan selalu melindungi mu. Aku tidak akan merelakan kau
halaman 20 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

terluka karena siapapun. jelasku. Terima kasih, Minho. Kau memang sahabatku yang paling aku sayang. jawab Yumi seraya tersenyum. Walau tanggapan Yumi tak sesuai dengan apa yang ingin ku dengar, tapi aku masih bisa menahan diri. Setidaknya, aku dapat menjadi tempat yang nyaman untuknya. Aku mulai mendorong ayunannya lagi. Keesokan harinya, aku mendapatkan SMS dari Yumi. Isinya, Pagi Minho! Tolong jemput aku di taman ya :D Betapa senangnya hatiku mendapat SMS dari Yumi. Aku segera mandi dan berpakaian. Aku jadi ingat ketika dahulu, Yumi masih belum berpacaran dengan Kibum. Aku menjemputnya setiap pagi di taman adalah kebiasaan kami dulu. Sesampainya di taman, aku melihat Yumi berdiri sendiri membawa tas dan menurutku dia sangat cantik. Yumi melambaikan tangannya padaku lengkap dengan senyum manisnya. Maaf ya, Yumi. Kau sudah lama ya menungguku? Oh, tidak kok. Aku juga belum lama datang. Kau pasti belum sarapan kan? Ah kok kau tahu saja? Tuh kan. Kamu selalu lupa sarapan. Kebiasaanmu itu dari dulu tak pernah berubah! Ini aku membawakanmu susu dan sandwich yang aku bikin sendiri. Waduh, mengapa aku jadi membuatmu repot begini? Ih tidak apa-apa kok. Aku malah senang. Kau makan ini dulu ya. Ayo kita duduk di kursi itu. Aku benar-benar curiga mengapa Yumi berubah seperti dahulu lagi. Tetapi aku memutuskan untuk diam saja dan menikmati makanan yang ia buatkan untukku. Sandwichnya enak. kataku sambil melahap sandwich itu. Yumi tidak menjawab lagi. Dia bengong. Yumi, jangan bengong dong Eh, maaf, hehehe. Kau kenapa sih? tanyaku. Semalam, Kibum kerumahku. Aku tersentak. Apa yang ia lakukan dirumahmu? Dia mengakhiri hubungan kita. kata Yumi. Ia mulai tak bisa menahan tangisnya. Aku makin tersentak. Apakah Kibum gila?! Apa alasan Kibum??? tanyaku. Dia bilang, dia bosan denganku. Benar? Ya, benar. Aku sudah cukup menangisinya semalaman. Aku teringat katakatamu, Minho, bahwa aku tak pantas menangisi lelaki seperti dia, Aku tersenyum. Aku bersyukur Yumi mengingat perkataanku. dan aku juga merasa, selama ini kau yang selalu setia mendampingiku, di saat aku senang dan susah. Walaupun selama aku berpacaran dengan Kibum, kita
halaman 21 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

tidak terlalu sering bertemu dan berkomunikasi. Tetapi aku bisa merasakan kau selalu siap menemaniku. lanjutnya. Apakah kau yakin kau sudah bisa melupakannya? Ya, setiap aku bersamamu, aku selalu bisa menjadi diriku sendiri, dan aku merasa nyaman. Sepertinya, rasa sayangku untukmu, lebih dari sekedar sahabat. Aku menggenggam tangan Yumi dengan erat. Menghapus air matanya dan berkata, Yumi, aku akan selalu ada selamanya untukmu. Percayalah padaku, cinta lama akan terhapus oleh cinta baru. Sekarang, lihat aku, yang selalu berada disampingmu. Aku mengecup bibirnya. *TAMAT*

halaman 22 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

KAU BUKAN AYAHKU


Oleh: Intan Puji Lestari

Di malam

itu gue jalan sendiri pulang dari kampus, suasana sepi, dingin pula, dan gw nggak bawa jaket. Mungkin karena malas atau

ribet ya. Hehehe. Nah ternyata gue inget kalo hari itu gue ada janji mau ke rumah temen gw, Sari namanya. Tanpa pikir panjang, gue langsung cepet pulang ke rumah, makan dikit, trus langsung cabut lagi. Setibanya gue di rumah Sari, gue langsung dipersilahkan masuk sama Mamanya Sari. Mamanya Sari udah kenal banget sama gue. Sampe-sampe gue anggep dia kaya mama gue sendiri. Orangnya baik, ramah, dan satu yang penting jago masak! Hahaha....Lengkap banget deh itu mama-mama kayaknya. Tapi di hari itu, gue ngeliat ada yang beda dari raur muka Mamanya Sari. Tatapannya kosong, dan ada semacam bekas merah2 deh di tangan dan mukanya. Ah, ga mau gue pikirin, ah. Bukan urusan gue juga kayaknya, urusan orang yang udah berumah tangga mah beda sama urusan orang kuliah kayak gue. Gue paling yaa, mikirnya masih pacaran gitugitulah, belom mikirin keluarga jadinya. Tiba-tiba Ayahnya Sari datang dan langsung masuk ke dalam rumah, dan menutup pintu dengan kencang. Wah, gue pikir pasti ada yang gak beres nih antara
halaman 23 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

mereka berdua. gue mulai curiga deh, dari cara Bokapnya Sari ngeliat istrinya, kayaknya kesel gitu deh, tatapan mukanya juga sinis banget. Gue nyapa dia tapi kayaknya dia gak menanggapi dan pasti karena mungkin dia kecapean kali ya. Namanya juga orang kantoran. Trus gue mulai memberanikan diri, nanya ke nyokapnya, eh dia diem aja sambil ngelamun, dan ternyata Nyokapnya Sari lagi nangis!! Wah gak salah lagi pasti ada masalah antara mereka berdua!! Ya udah tanpa gue pikir panjang, langsung gue peluk Nyokapnya si Sari. Sambil gue bisikin, Sabar ya, Tante. Pokoknya gue bikin supaya dia bisa kehibur deh. Tiba2 Bokapnya Sari keluar dari kamar, dan mengajak Nyokapnya ngobrol di teras belakang. Gue ga ngerti apa yang diomongin antara mereka berdua, dan akhirnya gue sibuk chating-chatingan sama pacar gue. Hahaha. Lagi asik chating sama pacar gue, gue denger suara. GUMPRANG!! Dari teras belakang. Trus gua liat Nyokapnya Sari udah duduk sambil nangis, di sampingnya udah ada vas bunga yang pecah, kayaknya itu abis dilempar deh sama si om. Gue ngintip dari sela-sela sofa dan nyoba buat dengerin apa yang diomongin sama si Om. Dan yang gue kagetnya, si Om ngeluarin gesper yang tadi dia pake kerja, trus tangannya si Tante langsung dipukulin. Wah gilaaa, pantesan aja dari tadi gue liat tangannya Nyokapnya Sari penuh merah-merah di mana-mana. Gue langsung ke kamarnya Sari, dan ngeliat tuh anak lagi diem aja di atas kasurnya, tatapannya kosong, dan dia cuma ngeliatin foto dia sama Bokap dan Nyokapnya waktu liburan. Pelan2 gue deketin si Sari, gue tanya ada masalah apa antara Bokap dan Nyokapnya. Tapi dia kayak orang gila gitu, trus gue liat juga di pahanya banyak tanda2 yg sama seperti yang gue liat di tangannya si Tante. (Gue yakin si Om udah ngelakuin hal yang ga pantes dilakuin seorang bapak pada mestinya). Gue tanya sama dia, tapi dia tetep aja diem sambil terus ngelamunin foto keluarganya itu. Gue liat matanya udah item. Kayaknya ini orang kebanyakan nangis deh. Tiba-tiba gue inget sama keadaan si Tante yang di luar. Akhirnya gue langsung keluar dan menuju teras belakang. Gue liat si Om udah ga ada, tinggal Nyokapnya si Sari yang ada sambil nangis. Baru gue mau deketin dia, dia langsung ngomong gini sama gue, Mendingan kamu pulang aja ya. Tante lagi ada masalah sama si Om. Tante ga mau kamu ngeliat kelakuan si Om yang udah jahat sama Tante dan Sari. Oh iya kamu jangan cerita ke siapa2 ya, kalo Tante lagi ada masalah sama si Om. Ga enak kalo sampe Mama sama Papa kamu tau kejadian ini. Tante minta maaf sama kamu, karena kejadian ini ya. Gila! Ga tega gue ngeliat Nyokapnya Sari yang ngomong sambil terbata2 nangis begitu sama gue. Tanpa mikir panjang, gue langsung pamitan sama Tante, dan langsung ninggalin itu rumah. Di jalan gue mikir terus, kenapa ya, ada orang yang setega itu
halaman 24 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

sama keluarganya, susah2 cari duit buat keluarga, tapi malah digituin keluarganya. Gue bersyukur sama Allah, karena gue dikasih keluarga yang baik2 aja, dan alhamdulillah jauh dari masalah yang seperti ini. Besoknya gue liat Sari nggak ada di kampus, kayaknya dia masih syok sama kejadian yang menimpa keluarganya. Gue jadi kasian sama Sari karena dia juga jadi korban kegilaan bapaknya sendiri. Hari2 gue lewatin tanpa hadirnya seorang teman baik gue, yaitu Sari. Tiga hari kemudian gue liat Sari nongol di kampus dan langsung cerita banyak sama gue, mukanya udah kembali ceria seperti dulu, kayaknya dia udah bisa ngelupain kejadian yang menimpa keluarganya itu deh. Dia cerita banyak banget ke gue, dia cerita kalo Ayahnya ternyata lagi stress berat karena ada masalah di dalam kantornya, dan karena Nyokapnya Sari ga kuat dengan perlakuan kayak gitu, Nyokapnya Sari ngelaporin suaminya itu ke polisi, dan langsung diproses secara hukum. Sebenernya gue kasian juga sama Bokapnya si Sari, tapi mau gimana lagi. Harusnya sebagai ayah yang baik, harus bisa ngejagain keluarganya, jangan malah dikasarin istri dan anak2 nya. Yah ya udahlah, ga usah dipikirin orang kayak gitu. At lease sekarang gue udah bisa ngeliat temen gue senyum dan ceria kayak dulu lagi.

halaman 25 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

KELUARGA DAN SEKOLAH


Oleh: Irvanuddin Rahman

Cerita

ini berawal saat saya menjadi siswa baru di salah satu SMA Negeri ternama di bilangan Jakarta Selatan. Sekolah ini memang sudah terkenal dengan tradisi bulying atau kekerasan pada junior-juniornya sejak 10 tahun terakhir, baik perempuan maupun lelaki. Tetapi bulying pada junior perempuan sudah tidak pernah lagi ada sejak 3 tahun terakhir. Namun hal itu tidak mengurungkan niat saya untuk menjadi siswa di sekolah ini dan juga bergabung dengan kelompok yang terkenal dengan tradisi bulying-nya berlandaskan ingin mendapat pengalaman yang lebih. Singkat cerita, saya langsung kenal dengan Radit dan kami menjadi teman yang bisa dibilang dekat. Ternyata Radit juga tertarik untuk masuk ke dalam kelompok tersebut, sebut saja kelompok Gorazper. Saya dan Radit mulai menanyakan mekanisme perekrutan kepada senior di sekolah yang pada waktu itu duduk di bangku kelas 3 SMA. Setelah diberitahu segala sesuatunya, Kami mulai mengumpulkan temanteman seangkatan sesuai dengan jumlah yang diminta oleh senior yaitu sekitar 40 orang. Senior Gorazper menunjukkan sikap yang baik dan ramah kepada kami para junior, dengan memberikan tempat duduk di kantin saat jam istirahat yang penuh sesak, bahkan ada yang rela berdiri memberikan tempat duduknya. Di akhir istirahat,
halaman 26 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

Radit yang sudah dikenal di kalangan senior diminta untuk menjadi koordinator angkatan 2009 dalam hal perekrutan/inisiasi/penataran dan lain sebagainya. Namun saat penataran pertama, sikap baik itu berubah 180 derajat menjadi sikap yang sangat beringas dan tidak berkeprimanusiaan. Dan seperti itu juga pada tataran-tataran berikutnya. Kekerasan yang saya dan teman-teman saya alami memang sama, namun lain halnya dengan Radit, selain di sekolah dia juga mendapat perlakuan kasar di rumahnya lantaran ayahnya yang sering memukulinya karena kesalahan-kesalahan sepele Radit. Pernah suatu kali saya mengunjungi rumah Radit untuk sekedar menghabiskan waktu sepulang sekolah dan juga dengan dua orang teman lain yaitu Rama dan Amar. Lalu Radit mengambilkan minuman sirup kepada saya dan yang lain. Setelah itu Radit dipanggil ke kamar Ayahnya lalu terdengar suara orang memukul dengan benda keras dan suara orang merintih kesakitan, saya pun tercengang dan kaget apakah itu suara Radit atau bukan. Selang 10 menit kemudian, Radit keluar dari kamar dengan wajah pucat dan mata yang berkaca-kaca. Saya langsung menanyakan apa yang terjadi namun Radit hanya terdiam sambil menggelengkan kepalanya. Karena suasana yang garing dan tidak bersahabat, tidak lama kami di rumah Radit, kamipun berpamitan dan pulang. Keesokan harinya di sekolah saya ingin sekali menanyakan apa yang terjadi pada Radit, namun kegiatan siswa baru sangat sangat disibukkan dengan kegiatan ini itu sehingga tidak memungkinkan saya berbicara dengan Radit. Begitu juga sepulang sekolah, langsung disuruh kumpul di tongkrongan oleh senior-senior Gorazper dan lagi-lagi mendapat kekerasan. Keadaan seperti itu hampir setiap hari dirasakan. Hingga pada suatu hari kami angkatan 2009 disuruh berjualan bunga untuk keperluan pencarian dana acara pensi sekolah. Saya dan Radit kedapatan bagian berjualan di daerah Kemang, dengan sepeda motor saya, Radit dan kawan-kawan yang lain segera bergegas menuju tempat yang ditentukan dan langsung berjualan, di sela-sela berjualan itu kami diberikan waktu istirahat oleh para senior. Kesempatan itu saya gunakan untuk menanyakan hal yang terjadi tempo hari di rumahnya kepada Radit. Akhirnya Radit menceritakan semuanya kepada saya namun dengan syarat hanya saya yang boleh mengetahuinya. Dia meceritakan kisah hidupnya panjang lebar. Rupanya kekerasan yang dialami oleh Radit ialah karena keadaan keluarganya yang broken home dan juga Ayahnya yang baru menjadi korban PHK karena kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo yang sampai saat ini tidak jelas penyelesaiannya. Radit bercerita setelah Ayahnya bercerai dengan Ibunya dan dipecat dari perusahaan Lapindo Brantas, keadaan keluarganya sangatlah berantakan, Ibunya tidak pernah mendatanginya lagi bahkan mungkin Ibunya tidak tahu apa yang terjadi sekarang terhadap Radit dan Ayahnya. Radit berasumsi bahwa Ayahnya mengalami gangguan jiwa dan saya juga
halaman 27 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

berfikiran begitu karena tindak kekerasan yang dialami Radit disebabkan permasalahan sepele, seperti misalnya tempo hari Radit memberikan sirup kepada saya, Rama dan Amar, ia langsung dipukuli oleh Ayahnya dengan balok yang selalu ada bersama Ayahnya kemanapun Ayahnya itu pergi. Alasan yang diceritakan Radit kepada saya membuat saya sangat kaget sekaligus prihatin karena hanya karena mahalnya harga sirup dan menurut Ayahnya tidak sepantasnya kami teman-teman Radit disuguhkan sirup, cukup dengan air putih saja. Saya benar-benar terpukul saat Radit menceritakannya, bukan karena saya tidak terima diberikan air putih tetapi cara Ayahnya itu yang benar-benar tidak wajar. Saya dan Radit menghabiskan malam itu dengan cerita sedih yang dialami Radit sampai saya mengantarkannya pulang. Di rumah saya selalu kepikiran kisah Radit dan saya benar-benar bersyukur mempunyai keluarga yang sakinah dan rukun. Namun muncul dalam hati saya keinginan untuk menolong Radit sebagai sahabat. Tetapi saya bingung bagaimana cara saya menolongnya. Saya berfikir bahwa Ayah Radit perlu rehabilitasi untuk kembali menyadarkan jiwanya dan menyembuhkan jiwanya dari gangguan jiwa yang dialaminya akibat stres. Saya menceritakan hal tersebut kepada teman-teman dekat saya tanpa sepengetahuan Radit, namun lama kelamaan berita itu menyebar di angkatan 2009 walaupun tidak semuanya tahu tetapi realtif banyak yang tahu dan tetap tanpa sepengetahuan Radit. Kami pun berinisiatif untuk mengumpulkan dana swadaya untuk membantu Radit dan keluarganya karena mengingat juga banyak sekali kontribusi Radit dalam hal mengompakkan angkatan, membela angkatan di depan senior dan tidak jarang pula Radit menanggung dampak dari kesalahan yang diperbuat angkatan seperti misalnya jumlah orang tidak sampai batas minimal yang ditetapkan senior saat menjadi supporter pertandingan basket sekolah kami dengan sekolah lain, dan sebagainya. Kami pun diam mengumpulkan dana swadaya tersebut secara diam-diam tanpa sepengetahuan Radit agar dia tidak minder dalam bergaul. Memang agak susah mengumpulkan uang yang diperlukan karena pasti sangat besar jumlahnya, maka dari itu kami membutuhkan waktu yang lama untuk mengumpulkan uang sampai target. Seiring waktu berlalu, Kekompakan angakatan kami semakin timbul dan setiap permintaan dari senior untuk menambah jumlah orang yang ikut dalam kelompok Gorazper tidak pernah gagal. Dari 40 orang, menjadi 50 orang, dan terakhir para senior meminta harus ada 60 orang saat tataran berikutnya. Hal yang sangat sulit tentunya bagi kami untuk mengumpulkan sebanyak itu, namun lagi-lagi berkat kemampuan Radit akhirnya kami dapat menggenapkan jumlah kami menjadi 60 orang di tataran berikutnya. Tidak terasa waktu terus berlalu dan hampir tiba saat pelantikan angkatan baru Gorazper yang notabennya adalah angkatan kami, angkatan 2009. Malam pelantikan itu diawali dengan acara menonton bareng di bioskop di salah satu mall di bilangan Pondok Indah, Jakarta Selatan dan ditutup dengan acara pelantikan di sebuah jalan yang biasa menjadi tempat tongkrongan anak-anak remaja seumuran
halaman 28 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

kami. Dan malam itu menjadi malam yang sangat ditunggu-tunggu oleh saya, Radit dan juga teman-teman 2009 lainnya karena setelah malam pelantikan itu kami sudah resmi menjadi anggota Gorazper dengan membawa angakatan 2009 dan itu artinya tidak ada lagi penindasan-penindasan yang selama kurang lebih satu tahun kami alami. Benar-benar malam yang sangat menyenangkan, terlebih bagi Radit, karena di malam itu juga kami memberikan bantuan yang berupa dana yang selama ini kami kumpulkan untuk membantu Ayah Radit. Perasaan kaget bercampur bahagia sangat terlihat dari raut wajahnya saat saya menyerahkan amplop berisi uang itu kepadanya. Semoga malam itu benar-benar menjadi malam terakhir bagi Radit mangalami kekerasan baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan keluarganya.

halaman 29 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

LIBURAN LEBARAN
Oleh: Jodia Pravita Dini

Liburan

ini, aku dan keluargaku akan berlibur ke Makassar tempat Tanteku. Pagi ini aku berangkat ke Makassar, aku dan keluargaku segera bergegas ke bandara pada pagi hari. Sesampainya di Bandara Hassanuddin, Tanteku dan keluarganya menjemput dengan menggunakan mobil keluarga. Rasanya rindu sekali karena sudah lama tidak bertemu mereka. Tujuanku kesana adalah melihat kedua sepupuku yang masih kecil, Andrew dan Darrent namanya. Tetapi aku lebih dekat dengan Darrent. Darrent adalah anak kedua Tanteku, wajahnya mungil dan menggemaskan. Ekspresinya polos saat aku memberinya sebuah coklat. Hari kedua di Makassar, kedua sepupuku itu sungguh manis dan tidak cengeng. Tetapi ketika Darrent melakukan kesalahan kecil yang biasa anak kecil lakukan,Tanteku langsung memarahi dan memukulnya. Aku dan Ibuku kaget karena hal tersebut sangat wajar dilakukan anak seumur Darrent. Dia pun menangis tersedusedu dan berlari kearahku. Aku peluk dia, dan tak lama dia bercerita dengan kosa kata seadanya. Ternyata Tanteku sudah sering memarahi bahkan main tangan kepada anak-anaknya. Selama aku di sana memang terlihat sering sekali Tanteku melakukan hal itu. Ibuku sebagai kakak dari Tanteku sudah member nasihat, tetapi tak didengarkannya.
halaman 30 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

Aku hanya bisa diam jika Tanteku melakukan hal itu lagi. Akhirnya aku mengajak Andrew dan Darrent untuk jalan-jalan ke pantai Losari. Mereka terlihat senang dan lepas dari kejenuhan. Aku senang bila sepupu-sepupuku senang.

halaman 31 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

CINTA, KINANTI!
Oleh: Juwita Anindya

Anak

itu bernama Cinta. Umurnya baru 15 tahun tapi ia terlihat seperti 20 tahun. Badannya tinggi, langsing, wajahnya cantik mirip seperti Ibunya. Tapi ia sudah dekat dengan kehidupan malam. Cinta mencoba melarikan diri dari kehidupannya, mencoba melarikan diri dari Ibunya, Kinanti Maharani. Seperti biasanya, pagi itu aku dan Kinan, sahabatku, berangkat ke kampus yang tidak terlalu jauh dari rumah kami. Rumahku dan rumah Kinan memang berdekatan, hanya berbeda jalan saja. Saat berangkat kuliah, aku selalu bergantian membawa mobil dengannya. Kinan adalah sahabat terbaikku sejak aku bersekolah di Taman Kanakkanak. Ia baik, ramah, ceria, dan bisa menemaniku saat susah maupun mudah, saat sedih maupun senang, serta saat aku kesepian. Saat aku memiliki masalah, aku selalu menceritakannya pada Kinan. Begitu juga dengannya. Kinanti Maharani, gadis yang saat itu berusia 18 tahun dengan wajahnya yang cantik, gayanya yang anggun, serta tubuhnya yang tinggi ramping membuat semua orang tertarik padanya. Sebagai sahabatnya, kadang aku pun ingin menjadi dirinya. Sepertinya hidup Kinan sangat sempurna.
halaman 32 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

Hari itu Kinan terlihat cantik dengan bando pita putih di kepalanya. Ia juga selalu memakai pakaian yang modis. Tak pernah lupa ia percantik bibirnya dengan sentuhan lipgloss warna softpink. Tiba-tiba handphone-nya berdering. Dengan gayanya yang anggun ia mengangkat panggilan itu. Aku sendiri tidak tahu siapa yang menelponnya. Pembicaraan mereka terdengar sangat akrab. Sesekali Kinan menengok ke arahku yang sedang menyetir lalu tersenyum centil. Sampai saat itu Kinan belum mempunyai pacar. Untuk gadis secantik Kinan, wajar kalau ia sangat perfeksionis dalam mencari pasangan. Bahkan tak jarang lakilaki yang ditolaknya mentah-mentah. Itulah salah satu kekurangan Kinan, ia tidak memikirkan perasaan laki-laki yang menyatakan cinta padanya. Bila ia tidak suka, maka ia akan langsung menolaknya dan berkata bahwa ia tidak mau dengan lakilaki itu. Oleh sebab itu tidak sedikit pula laki-laki yang sakit hati dibuatnya. Kinan masih asyik bercakap-cakap di handphone-nya. Aku mulai bisa menebak sepertinya yang meneleponnya adalah laki-laki yang sedang dekat dengannya. Setelah lama mereka bercakap-cakap, aku mendengar mereka akan bertemu malam itu juga. Dugaanku semakin kuat. Nin, tau nggak siapa yang nelepon gue barusan? tanya Kinan padaku sambil memasukkan handphone ke tasnya lagi. Aku menggeleng, Siapa, Nan? Namanya Paul. Paul? Temen baru? Ya. Dia kuliah di Universitas Nusantara, lho. Kemaren gue ketemu dia di kafe. Dia oke banget, Nin! Kayaknya sih dia juga suka sama gue, soalnya dia ngajakin gue kenalan. Pokonya oke banget deh. Nanti kapan-kapan gue kenalin ya. Boleh. Lo nanti malem mau ketemuan ya? Iya, gue sama dia mau jalan. Paling nonton sama makan aja. Dia ganteng? Ya. Tajir? Ya. Seagama? Ya. Badannya atletis? Ya. Bawa mobil kemana-mana? Ya. Wah perfect banget dong, sesuai sama persyaratan lo. Pastinya. Kami pun sampai di kampus. Semenjak berkenalan dengan Paul, hari-hari Kinan semakin berwarna. Ia terlihat sangat bahagia. Kinan dan Paul sering jalan berdua, sampai akhirnya mereka
halaman 33 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

resmi berpacaran atau biasa disebut jadian. Tak lama kemudian Paul bisa mengakrabkan diri denganku dan juga Dino, pacarku. Tak jarang pula kami pergi bersama. Tak ada sesuatu yang aneh pada hubungan mereka. Mereka terlihat cocok sampai akhirnya mereka menikah satu tahun setelah jadian. Saat itu umur Kinan baru menginjak 19 tahun sedangkan Paul 22 tahun. Resepsi pernikahan mereka digelar begitu meriah. Gaun pengantin Kinan pun sangat mewah. Tapi entah apa yang membuat mereka memutuskan untuk menikah begitu cepat. Kinan hanya bilang kalau ia sudah merasa cocok dengan Paul. Beberapa bulan setelah mereka menikah, Kinan menceritakan semua kronologi kejadian sampai mereka menikah. Aku baru mengetahui kalau ternyata Kinan telah hamil dua bulan saat menikah. Aku tersentak tak percaya. Aku melihat ke arah perut Kinan, ia hanya terlihat gemukan, tak seperti orang hamil. Kinan menangis. Sepertinya ia teringat sesuatu dan segera menceritakannya padaku. Di suatu malam, Kinan bertemu dengan Paul. Seperti biasanya, mereka nonton dan makan malam. Namun saat itu Paul meminta lebih. Kinan pun menyanggupinya dengan senang hati dan tanpa pikir panjang. Mereka pun menuju rumah kedua Paul yang hanya dihuni oleh dua orang pekerjanya. Sesampainya di sana, Kinan menuruti semua instruksi Paul. Percaya, adalah satu kata yang Kinan tanamkan dalam hati. Paul pun meyakinkan Kinan kalau semua akan baik-baik saja. Malam itu, mereka pun terlarut dalam hubungan badan. Kinan bilang beberapa kali ia melakukan hal tersebut meskipun ia tahu kalau semua itu dilarang oleh agama dan hukum. Tapi hatinya selalu berdalih dan berusaha meyakinkan kalau semua itu akan aman dan baik-baik saja apalagi Paul selalu memaksa. Masalah pun datang saat Kinan memeriksakan diri ke dokter dan hasilnya ia hamil. Kinan bingung. Ia merasa malu dan takut menghadapi kenyataan. Tapi akhirnya kedua orangtuanya pun tahu sampai akhirnya Kinan dan Paul menikah. Rumah tangga yang dibina Kinan dan Paul semakin tidak harmonis. Entah mengapa saat teringat masa-masa mereka berpacaran Kinan selalu marah. Tak tanggung-tanggung seringkali Kinan melemparkan barang-barang di rumahnya sambil menangis. Menghadapi kelakuan istrinya, Paul semakin tidak tahan. Seringkali Paul memarahi, menampar, memukul, bahkan mengurung Kinan di kamar mandi karena Paul menganggap Kinan sudah gila. Masalah Kinan dan Paul semakin rumit. Sebulan sebelum Kinan melahirkan, Paul menghilang. Semua keluarga besar sudah mencari Paul kemana-mana, tetapi Paul tidak ditemukan. Mungkin Paul melarikan diri ke luar negeri. Kinan pun semakin sakit hati. Hari demi hari ia lalui dengan perasaan yang kacau balau. Lalu tibalah saat yang ditunggu-tunggu oleh setiap pasangan. Hari itu Kinan melahirkan di sebuah rumah sakit ternama. Namun sayang, saat semua kelarga dan sahabat-sahabatnya menjenguk, Paul justru tidak terlihat kehadirannya. Wajah Kinan pun terlihat sangat bersedih.
halaman 34 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

Bayi mungil yang cantik itu pun diberi nama Cinta Kinanti Ananda Paula. Kinan berharap dengan hadirnya Cinta, Paul bisa kembali dan mereka bertiga bisa berbahagia. Namun seiring berjalannya waktu, Paul tak kunjung kembali. Harapan Kinan pupus sudah. Entah masalah apa yang membuat Kinan semakin terguncang. Hari demi hari ia lewati dengan berdiam. Mungkin ia putus asa dengan keadaannya sekarang. Anehnya, setiap melihat Cinta, Kinan malah menangis dan terkadang ia memarahi Cinta. Tetapi saat orangtua Kinan datang menjenguknya, Kinan bisa bersikap biasa. Bahkan di hadapanku Kinan masih bisa bercerita tentang kehidupan kelamnya. Tak ada yang tahu secara detail bagaimana Kinan membesarkan Cinta tanpa seorang suami. Sampai akhirnya semua mulai terlihat saat Cinta sudah berumur 10 tahun. Cinta sangat kuat. Ia hampir tak pernah menangis. Ternyata sejak kecil ia biasa diperlakukan kasar oleh Kinan, Ibunya sendiri. Kinan selalu mengancam jika Cinta menangis maka ia akan menambah hukumannya menjadi semakin berat. Bila Cinta melakukan kesalahan, yang lebih tepatnya tidak sesuai dengan keinginan Kinan, tanpa segan-segan ia memarahi anaknya itu serta memberinya hukuman mulai dari mencubit, memukul, mengurung di kamar mandi, sampai menyuruh Kinan memakan makanan basi. Saat Cinta mulai bersekolah, ia semakin terlihat sebagai pribadi yang pendiam, tidak bisa bergaul, dan tertutup. Entah apa yang ada di hati Cinta, tapi aku merasa kasihan. Cinta menjadi korban dari kebodohan kedua orangtuanya sendiri. Aku mencoba mengajak Kina ke psikiater, tapi Kinan justru marah padaku. Aku berusaha mencari Paul, tapi hasilnya nihil. Aku berusaha menghibur Cinta, tetapi Cinta tak mau berbicara sepatah katapun padaku. Semenjak Kinan marah padaku, ia hampir tak pernah mau lagi bercerita padaku. Bahkan beberapa bulan kemudian Kinan dan Cinta pindah rumah ke Bandung. Aku pun belum sempat mengunjungi mereka. Hidup terasa mulai normal. Orang tua Kinan selalu berkata kalau Kinan dan Cinta baik-baik saja di tempatnya yang baru. Aku pun memercayainya. Suatu hari aku ingin sekali menjenguk Kinan, aku ingin memperbaiki hubungan persahabatan kami yang sempat renggang. Aku pun ke Bandung dan mencari alamatnya. Sesampainya di sana aku melihat seorang gadis belia yang aku kenal. Dia pasti Cinta. Tapi wajahnya sudah berbeda. Cinta sudah dewasa, ia cantik tapi tetap saja ia tidak bisa ramah. Termasuk kepadaku. Aku mencari Kinan, tapi Cinta malah memberi selembar kertas berisi alamat yang ia bilang itu alamat rumah Kinan bersama suami barunya. Aku langsung kaget mendengarnya. Aku merasa Kinan sudah tidak menganggapku lagi. Bahkan yang aku herankan Kinan meninggalkan Cinta tinggal sendirian. Alamat Kinan memang masih di Bandung, tapi tidak dekat dengan Cinta. Aku merasa keluarga mereka memang benar-benar hancur. Melihat aku termangu, Cinta pun berbicara padaku.
halaman 35 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

Gue lebih baik hidup tanpa Ibu. Ibu selalu ngasih gue hukuman. Dia nggak pernah peduli sama gue. Nggak kayak Ibu yang lain. Bahkan dia kawin lagi juga nggak bilang gue. Gue mati dia juga nggak peduli kayaknya. Ibu cuma bisa marahmarah, cuma bisa mukul, cuma bisa nyiksa, dan cuma bisa bikin aku diperkosa. Aku tersentak.

halaman 36 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

Oleh: Dwi Cahyaningtyas

(untitled)

Semua

itu berawal dari kelulusan kami dari SMP, yang berarti kami akan menjejak ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yaitu SMA. Kami semua sangat senang karena berhasil masuk salah satu SMA unggulan di Jakarta. Meskipun tidak semua dari teman kami diterima di SMA tersebut, karena dari SMP kami hanya kami berempatlah yang diterima di SMA tersebut. Kami berteman sejak duduk di kelas dua SMP, saat itu Tia dan Nia yang sudah berteman lebih dulu menyapaku yang duduk sendirian di dalam kelas. Lalu datang Niken yang langsung nimbrung pembicaraan yang kita bertiga lakukan. Niken orangnya supel, sedangkan Tia dan Nia tidak pernah ketinggalan hal-hal yang menyangkut tren dan mode yang ada. Pada hari pertama MOS, semua berjalan biasa saja tidak ada yang istimewa. Kami berpencar untuk mencari kelas kami masin-masing. Untungnya, Niken dan aku sekelas, sedangkan Tia dan Nia berada di kelas lainnya. Sampai saat MOS berakhir di hari ketiga pun tidak terjadi suatu kejadian yang berarti. Keesokan harinya kami mulai masuk sekolah seperti biasa, siap memulai pelajaran pertama. Guru pun masuk kelas dan semua berjalan wajar sebagaimana harusnya. Sampai pada saat bel pulang sekolah dibunyikan, salah satu teman sekelas
halaman 37 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

kami mengumumkan agar kami tidak pulang dulu, melainkan berkumpul si suatu daerah dekat sekolah atas perintah anak kelas tiga. Sebagian dari kelas memutuskan akan datang ke tempat yang sudah ditentukan tersebut karena takut akan kelas tiga, sebagian lagi tidak peduli dan memilih segera pulang ke rumah. Niken mengajakku untuk ikut menghadiri perkumpulan itu atas dasar solidaritas teman, akhirnya kami berempat ikut berkumpul sepulang sekolah. Seseampainya di tempat yang ditentukan, ternyata di sana sudah banyak anak-anak kelas satu yang berkumpul. Tak ketinggalan, anak-anak kelas tiga juga sudah banyak yang datang. Kami pun merasa tegang akan situasi tersebut, setelah dirasa cukup banyak anak kelas satu yang berkumpul, kelas tiga segera memerintakhkan kami untuk berbaris, kami pun dimarahi habis-habisan dan aku mellihat beberapa temanku ditampar dan dipukuli. Perlakuan itu terus berlanjut hingga kami memiliki nama angkatan, pada akhirnya anak laki-laki disuruh tawuran dengan sekolah lain oleh kelas tiga. Pada saat kami menjadi siswa kelas tiga, kini giliran kami untuk mendidik kelas satu seperti pada saat kami dididik dulu. Tiga tahun sudah kami bersekolah di sana, perlakuan kekerasan yang kami alami sudah menjadi tradisi turun-temurun di sekolah kami yang akan terus berulang di tahun-tahun berikutnya.

halaman 38 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

CERPEN TENTANG KEKERASAN


Oleh: Kartika Putri

Di tempat

ini aku dilahirkan, Jakarta. Hiruk-pikuk sibuk ibukota, tebalnya polusi udara, suara bising robotbaja-berjalan, tembok-tembok beton gedung perkantoran, dan semakin sedikitnya lahan hijau yang ada menambah panas matahari ini semakin terasa menyengat. Jakarta, pusat ibukota beserta keramaian yang bercampur aduk di dalamnya, tidak terlepas dari kekerasan yang menyelimuti. Senang atau tidak itu fakta yang ada. Oh iya, namaku Ananda, mahasiswi salah satu universitas di Indonesia, aku suka dipanggil Nanda. Tidak terlepas dari kegiatan sebagai mahasiswi, aku juga suka memperhatikan keadaan lingkungan sekitar dan menuliskannya dalam beberapa kata sederhana yang orang-orang biasa menyebutnya puisi. Sungguh jauh perjalanan menuju kampus, robot-baja-berjalan begitu padat merayap di pagi hari, aku putuskan untuk berjalan kaki, Toh sebentar lagi aku juga sampai pikirku dalam hati. Jalan kaki lebih menyehatkan dan mengurangi polusi selain itu aku juga mencuri waktu untuk menghabiskan waktu itu sendiri tanpa ada gangguan. Aku berbelok ke jalan kecil yang berhubungan dengan kampusku. Hei!!!! Sungguh, aku tersentak, teriakan itu seketika membuyarkan lamunanku, aku
halaman 39 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

menoleh. Tiga orang laki-laki bertato, perawakan besar lengkap dengan baju serta gelang tangan anyaman menghiasi tangan mereka, kulit gelap yang membuat semua orang akan merinding melihatnya. Ya, mereka preman. Hei!!!! Iya sini bocah!!! Masih tertegun dengan teriakan itu, aku memutuskan untuk berhenti. Tidak mungkin mereka memanggilku. Aku bukan anak-anak lagi. Semua orang tanpa harus bertanya berapa usiaku juga tahu itu. Aku yakin bukan aku yang mereka maksud. Aku memutuskan untuk duduk di dekat warung dan membeli sesuatu agar bisa mengamati preman-preman itu tanpa harus dicurigai. Dugaan dan firasat yang kuat salah satu kelebihanku. Tiga preman tadi memanggil seorang bocah pengamen dengan gitar kecil, baju yang entah berwarna putih atau cokelat pudar lusuh itu sudah tidak jelas warnanyakumal dimakan waktu, sandal jepit lusuh yang sudah tipis solnya. Ia melangkah takut-takut menghampiri tiga preman tadi. Bocah pengamen itu seakan-akan tahu dan cemas apa yang akan terjadi pada dirinya. Heh! Mana setoran, lu?! Iya mana? Jangan berlaga bego, deh. Pasang tampang polos pula!! Bocah pengamen itu seraya berjalan agak mundur sedikit dan menunduk, Ng... nggak... a... ada..., Bang. Saya belum ngamen hari ini. Eh, bohong aja lu! Berani bohong sama gua!! Cepet periksa sakunya!! Pasti dia bohong! Nggak Bang, saya... saya... saya... Pengamen itu gemetar. Langkahnya gontai. Aku melihat di kejauhan dan tetap melihat, menyaksikan setiap adegan-adegan yang seperti di tuai dalam acara reality show di televisi kebanyakan, tetapi ini terasa lebih nyata. Ini apa??!! Bukan duit?! Berani lu ya sama gua, masih kecil juga! Itu uang untuk beli obat ibu di warung, Bang. Ibu lagi sakit demam. Jangan diambil, bang. Saya mohon.... Iba-ibu! Siapa juga yang peduli sama ibu, lu! Orang juga nggak ada yang peduli sama gua!! Ibu lu nggak bakalan mati kalo nggak minum obat! Lain sama kita, bakalan mati kalo nggak makan! Pengamen itu bersikeras merebut kira-kira lima lembar uang seribuan dan satu lembar uang lima ribuan dari tangan-tangan kotor si preman. Malangnya si pengamen, tangannya ditarik dan dipukulnya kepala si pengamen oleh tangan besar sang preman. Ya, lagi-lagi kekuatan berjaya. Pengamen itu jatuh tersungkur di tanah, salah seorang dari preman tersebut menoyor kepala pengamen cilik itu, premanpreman meninggalkannnya dengan tawa keras, tawa membahana, dan tawa yang lebih tepatnya tawa kekejaman. Pengamen kecil itu berdiri memegang kepalanya sesekali ia berjalan agak sempoyongan ke arah warung dan duduk di sebelahku. Rupanya kening si pengamen lecet begitu juga dengan lengan kanan yang menopang kepalanya tadi. Lengan yang begitu kecil diselimuti berbagai macam luka, si pengamen hanya bisa mengelushalaman 40 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

ngelus kepala dan lecet di lengan kirinya. Ibu penjaga warung memberikan air mineral kemasan kecil dan memberikan plester kepada si pengamen. Wah, terima kasih ya, Bu.... Ibu sudah sering menolong saya Nggak apa-apa, Dek. Saya kesian aja ngeliat kamu dianiaya sama mereka. Hati-hati kalo bawa uang nanti diminta preman lagi. ibu penjaga warung benarbenar tulus membantu. Wajah bocah pengamen berseri sekali saat memakai plester pemberian ibu itu dan meminum air mineral yang rasanya biasa saja, tetapi begitu menyimpan makna. Ternyata di jalan sempit ini menyimpan begitu banyak cerita, begitu banyak duka, tak hanya duka tetapi juga suka. Duka bocah pengamen tertindas, gelak tawa mereka di kala hujan, nyanyian kebahagiaan mereka, dan rasa terima kasih mereka, semua menjadi tumpah ruah di sini. Setidaknya, kebahagiaan seperti itu dapat mereka orang tertindasrasakan melalui uluran tangan-tangan Yang Maha Kuasa, walaupun kelihatannya kecil.

halaman 41 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

TINDAK KEKERASAN PEMERINTAH TERHADAP ANAK-ANAK JALANAN


Oleh : Khamim Hudori

Kekacauan

dunia politik di tanah air dan kekerasan-kekerasan yang terjadi belakangan ini di berbagai daerah dan ibukota menyisakan kerisauan yang mendalam bagi anak-anak. Gambaran tentang kondisi sosial yang mengenaskan, potret wajah-wajah bocah yang kelaparan dan kepedulian para orang tua di pengungsian dapat disaksikan di media masa, dunia fantasi anak, taman bermain anak, yang senantiasa menampilkan keindahan, kenaifan dan kebebasan seakan tanpa kontaminasi sudah tidak dapat kita lihat lagi. Di kolong jembatan itu. Jembatan dekat ITC Cempaka Mas, Jakarta Pusat. Aku melihat dengan nyata praktek kekerasan oleh orang dewasa kepada anak kecil yang terjadi di jalanan ibukota. Banyak sekali anak-anak sekitar usia 4-12 tahun yang sudah mencari penghasilan dengan cara menjadi pengamen dan pengemis. Sedih sekali melihat Jakarta yang katanya kota metropolitan, banyak gedung-gedung megah berdiri, tetapi masih ada satu sisi yang sering dilupakan oleh pemerintah, yaitu
halaman 42 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

nasib anak-anak jalanan yang tak sekolah dan dapat perlakuan yang tidak wajar oleh para orang tua mereka. Tepat di lampu merah Cempaka Mas, terdengar suara anak kecil sedang menyanyikan lagu ST 12 di depan mobil Alphard. Dapatkah aku memeluknya, menjadikan bintang di surga, memberikan warna yang bisa menjadikan indah.... Setelah lampu hijau, sang bocah tadi pun kembali ke kolong jembatan. Di kolong jembatan itu, ada seorang bapak sekitar umur 35 tahun. Woy, Buluk. Sini lo! panggil bapak tadi ke bocah yang baru mendapat uang receh dari mobil Alphard. Ada apa, Pak Bruto? tanya anak itu. Yee.... Pake nanya lagi. Ya, uang receh lo tadi. Sini, kasih ke gua! bentak bapak tadi ke anak kecil itu. Maaf, Pak. Ini uangnya. jawab bocah tadi. Besoknya, aku berjalan di jembatan itu lagi untuk mengenal bocah tadi. Dek. Coba ke sini sebentar! aku panggil anak kecil itu. Iya, Kak. Ada apa? tanya anak kecil itu. Namanya siapa, Dek? Panggil saja saya Buluk, Kak. Sebenarnya nama asli saya Luki. Kamu umur berapa, Dek? Apakah kamu masih sekolah? Saya umur 9 tahun, Kak. Mmm. Saya sudah putus sekolah, Kak. Sudah tidak ada biaya untuk melanjutkan sekolah. Ibu saya sudah tiada, bapak saya juga entah kemana, Kak. Terpaksa saya hidup di jalanan seperti ini. Saya juga maunya sekolah. Yaaa... apa boleh buat. Luki berbicara dengan sedihnya. Di sanalah aku kenal seorang bocah kecil yang biasa dipanggil Buluk. Padahal nama aslinya adalah Luki. Karena dia berpakaian yang sangat kusam dan agak kotor, maka dia dipanggil Buluk di lingkungan sekitar kolong jembatan. Tidak lama, ada suara memanggil Luki dengan nada keras. Dan ternyata itu Pak Bruto yang kemarin. Buluk!!! Cepetan sana ngamen lagi, lampu merah tuh!! bentak Pak Bruto sambil menghisap sebatang rokok dan menghitung uang setoran anak-anak dari hasil mengamen. Iya, Pak. Luki langsung lari ke deretan mobil yang sedang menanti lampu hijau menyala. Setelah Luki selesai ngamen dan memberikan setoran ke Pak Bruto. Saya panggil lagi bocah itu. Luki, sebenarnya pak Bruto itu siapa? tanya saya. Pak Bruto itu yang ngajarin anak-anak di sini ngamen, Kak. Bagaimana cara untuk kita dapat bisa dapet uang di jalanan. Nah, nanti abis ngamen, kita ngasih duit hasil ngamen tadi ke dia, Kak. Trus nanti kita dapet bagian juga. jawab Luki dengan ketakutan dilihat oleh pak Bruto. Sungguh, anak sekecil itu sangat tidak pantas untuk mencari uang di jalanan
halaman 43 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

dengan cara mengamen. Mereka yang seharusnya sedang asyik-asyiknya bermain dan sekolah dengan teman sebaya, tapi malah menjalani hidup dengan keras di alam kolong jembatan tersebut. Saya sedang berpikir, apakah ada seorang bapak yang tega membiarkan anaknya hidup di kolong jembatan seperti ini dan apakah pemerintah sudah menjalankan apa yang seharusnya mereka kerjakan, yaitu memelihara dan menjamin anak-anak tidak mampu itu untuk mendapatkan pendidikan yang layak? Bukankah tindakan pemerintah yang tidak menjamin anak-anak itu sekolah juga suatu tindakan kekerasan? Semoga saja pemerintah benar-benar serius dalam menjamin pendidikan anak-anak tersebut. Karena anak-anak itu mempunyai hak untuk bersekolah dan untuk menatap masa depannya. Dan semoga saja, semua anak-anak Indonesia berhak mendapat pendidikan yang murah dan tidak ada lagi anak-anak jalanan seperti Luki tersebut. Amin.

halaman 44 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

KAU DAN KEKERASANKU


Oleh: Khaula Fathina

Kamu

jahat banget sama aku! kalimat ini kan yang ingin kau katakan untukku?! Tapi selama ini kau hanya diam saja aku perlakukan seperti itu.

PAKK!!! Tamparan keras mampir di pipimu. Hampir setiap hari tanganku ini menamparmu. Apa yang kau kerjakan dari tadi! Suami bangun bukannya dikasih kopi atau apa! Ini malah sibuk beres-beres rumah! Istri macam apa kau! satu tamparan lagi kena di wajahmu. Kau menunduk diam membisu. Tak berkata apa-apa dan tidak melakukan apa-apa. Malah diam saja lagi! Cepat buatkan aku kopi! bentakku. Dan kau pun tetap diam membisu sambil berlalu ke dapur. Begini tiap hari suasana pagi, kau bebenah rumah, aku bangun dan membentak. Kau bosan dan aku pun bosan. Tiap hari aku berlaku kasar padamu, tapi kau terima saja. Kau merasa bersalah karena sampai saat ini kau belum mempunyai anak. Padahal sudah 8 tahun kita sudah menikah. Dan kau tahu sikap kasarku selama ini karena alasan itu. Mas, aku mau belanja dulu ke pasar, tolong jaga rumah ya.
halaman 45 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

Kau pamit. Aku hanya mengangguk dan kau pun pergi ke pasar. Di pasar, kau hanya membeli sayur dan lauk pauk yang akan dimakan hari ini. Setelah selesai semua, kau pun bergegas pulang ke rumah. Hatimu was-was takut kena bentak lagi olehku. Pulang ke rumah pun seperti mengendap-endap. Seperti tidak mau terlihat olehku, dan langsung menuju ke dapur. Kau memasak sayur asem kesukaanku dan ayam goreng. Rupanya hari ini kau terlihat ingin berdamai denganku. Cih! Masakan apa ini? Sayur asem manis begini! ludahku sewaktu mencicipi sayur buatanmu. Kau mencicipi sedikit sayur asem itu. Maaf, Mas. Aku akan buatkan yang baru. ujarmu. PRANG!! Kau tersentak kaget waktu aku membanting mangkuk sayur asem itu. Tidak usah! Aku makan di luar saja! Kau jadi istri kok gak becus ngurus suami! bentakku kepadamu. Kau diam menerima omonganku. Kau mulai beres-beres rumah kembali setelah aku pergi meninggalkan rumah. Saat-saat sendiri di rumah adalah saat yang membuat kau tenang. Tidak ada amarahku. Tidak ada pukulan keras dariku. Tidak ada tamparan di pipimu. Setelah rumah rapih, kau masuk ke dalam kamar. Kau mengambil secarik kertas dari laci lemari dan sebuah pulpen. Kau menulis beberapa baris kalimat di kertas itu. Lalu meninggalkannya di atas meja samping ranjang. Kau menuju lemari dan memasukkan beberapa pakaian ke dalam tas. Lalu memasukkan juga beberapa barang keperluan lainnya ke dalam tas. Tanpa berkata apa-apa kau meninggalkan rumah dengan terburu-buru. Seakan-akan takut diikuti seseorang. Kertas itu, kertas yang kau tinggalkan. Terbuka rapih di atas meja, membuat siapapun yang melewati meja itu dapat membacanya. Barisan-barisan kalimat yang kau tulis di kertas itu menunjukkan alasan mengapa kau pergi meninggalkan rumah dan suamimu begitu saja.

Mas, maaf aku pergi meninggalkanmu. Aku sudah tak sanggup lagi untuk menahan segala perlakuanmu kepadaku. Aku tahu, aku tidak bisa memberikan keturunan kepadamu. Aku bukan istri yang baik. Dan aku merasa tertekan mas atas hal itu. Aku selama ini selalu sabar menerima puukulan dan tamparan juga bentakanmu padaku. Tapi kali ini aku menyerah mas. Maaf, aku pulang ke rumah orang tuaku. Aku titip rumah, Mas. Jaga dirimu baik-baik.

halaman 46 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

CINTA TERLARANG
Oleh: RA Koeshamimurti Tosani Natya Lakshita

Flora.

Gadis itu masih termenung di antara batuan cadas hitam yang menemani setiap jeritan lamunannya. Ia terduduk dengan wajah yang masih menatap kelamnya cahaya langit. Aliran sungai terasa begitu deras di setiap detakan jantungnya. Ditatapnya langit kelam yang tak memberi kasih tanpa cahaya lekat-lekat seakan meminta pada Tuhan agar diberi sedikit saja kesempatan untuk bisa mengecap nikmatnya dunia tanpa siksaan batin yang mahadahsyat dan mencekam. Namun tampaknya itu semua hanya bunga khayalan saja. Wajahnya tetap gelap tanpa ada cahaya yang menerangi. Angin hanya lalu-lalang dengan wajah iba. Flora hanya bisa menjerit di batinnya. Wajar bila Flora tak dapat menyebarkan senyum anggunnya. Telah belasan tahun batinnya tersiksa dan perasaan tenang pun tak dapat ia raih, dan Tuhan pun tak kunjung memberinya pertolongan. Begitu berat ia menggenggam rantai kebencian pada hidup bersamaku yang dijalaninya, walau pada wajah mulusnya begitu ringan rasanya ia menebarkan bunga cinta kasih pada orang-orang. Itu semua karena cinta kami berdua, cinta Flora dan Fajar. Sejak kami mengucapkan sumpah sehidup-semati saat pernikahan kami, tak sedikit pun cinta kasih kami direstui oleh orangtua. Tak sedikit pun senyum keluarga
halaman 47 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

mengharumkan pernikahan kami. Dan bila kami tetap melanjutkan mahligai pernikahan kami, cinta kami akan selalu dipisahkan dengan cara apa pun. Keesokan harinya tercium kabar bahwa orang tua Flora akan menyuruh para preman jalanan untuk membunuhku agar kami tak bisa lagi bersama. Mendengar kabar itu Flora menghampiriku dan berkata dengan tangis yang terisak-isak, Fajar, aku sudah lelah dengan semua ancaman orang tua kita yang terus memisahkan kita. Aku sudah lelah dengan ancaman-ancaman yang terus menyiksa batinku. Aku tak ingin kau dibunuh. Aku tak ingin kau mati sendiri tanpa kehadiranku. Aku tak ingin berpisah selamanya denganmu. Aku ingin kau terus ada disampingku. Aku merasa dunia bukan tempat cinta yang bahagia, tetapi di surga sana. Maka aku akan membunuh diriku sendiri sebelum kau dibunuh, agar di surga nanti aku dapat menyambut dirimu dan berbahagia selamanya di sana. Aku hanya dapat bergumam pasrah dan kemudian air mataku jatuh tak tertahan lagi. Kau boleh pergi dahulu ke surga sebelum diriku, tetapi kau harus yakin, cinta kita tetap abadi. Dengan berpasrah segalanya pada Tuhan, Flora pun mengambil sebuah pisau tajam yang telah diasah olehku, pertanda bahwa Flora sudah siap menjalani niatnya untuk mengakhiri hidup di dunia menuju kehidupan abadi. Sebelum ia bunuh diri, ia menggenggam tanganku erat. Cinta kita akan terus abadi. Setelah mengucapkan sumpah setianya pada cinta kami berdua, Flora pun menebaskan pisau itu ke lehernya dan bercucurlah darah. Aku pun menjerit histeris melihat Flora telah mati di sampingku. Namun, aku percaya aku akan menyusulnya nanti di alam sana. Saat tiga preman jalanan datang menyiapkan pedang maut mereka, aku sudah siap dengan sebilah badikku. Saat pertama aku berhasil melumpuhkan dua orang pemuda, namun kekuatan pemuda terahir telah melumpuhkan nyawaku. Sebuah pedang tajam menembus jantungku semakin dalam. Aku hanya bisa menahan kesakitan. Namun tiba-tiba, di sela jerit kesakitanku, aku melihat pintu gerbang cahaya kematian datang di depanku. Flora ada di sana. Dia tersenyum menyambutku dan ingin menjemputku ke surga. Mataku pun terpejam dan bayanganku pun menggenggam erat tangan Flora, siap pergi bersama ke dalam surga cinta yang sejati. Di sana aku berbahagia bersama Flora selamanya, menjalani kehidupan abadi yang penuh dengan bunga cinta dan kasih...

halaman 48 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

BENDERAKU
Oleh: Krisna Karim Z

Nih

Pak, benderamu! Ibuku menyodorkan bendera yang baru digosok kepada Bapak. Terdengar ada nada mengolok pada suara ibu ketika menyebut benderamu. Bau harum pelembut kain menyebar keseluruh ruangan. Bapak menuju almari jati kuno yang berada di kamar Bapak sambil mendekap bendera di dadanya. Dengan hati-hati ditaruhnya bendera itu di atas sebuah peti kecil dari kulit yang usianya sebaya dengan usia almari, yang ditaksir sekira hampir seabad. Peti itu berisi lencana-lencana, piagam penghargaan, dan benda kesayangan bapak lainnya. Di sebelah kanan peti diletakkan Al-quran yang berukuran lebih besar daripada biasanya. Begitulah tatanan rak paling atas dalam almari Bapak. Tidak pernah berubah sejak bapak pensiun dari pekerjaanya. Bapak adalah mantan pejuang angkatan 45 dan telah pensiun dari kepala satpam di pabrik gula. Sejak dulu memang Bapak sangat mencintai bendera merah putih dan tampak menjadi-jadi setelah tidak mempunyai kegiatan lagi. Diperlakukannya bendera merah-putih dengan khusus, dicucinya bendera itu sendiri, kemudian disimpan di tempat yang spesial. Dan setiap kali tiba hari-hari bersejarah, bendera itu selalu siap dikibarkan di halaman rumah.
halaman 49 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

Sikap berlebihan Bapakku terhadap bendera itu menurut kami sering menimbulkan masalah kecil dalam keluarga. Ibu selalu mengomel kalau hanya halaman rumah kami yang dipasang bendera. Malu, begitu alasan Ibu. Kakak perempuanku yang bawel suka sekali menggoda dan mengolok-olok Bapak dengan pertanyaan, Pak, kok tidak pasang bendera? Padahal ia tahu betul itu bukan hari bersejarah. Pernah suatu hari ia marah kepada Bapak karena malu sama pacarnya. Ceritanya hari itu tanggal 10 November. Sejak pagi hujan gerimis terus turun. Di bawah rintik-rintik hujan, Bapak memasang bendera, kemudian dari teras rumah dipandanginya bendera yang basah terkena hujan. Rupanya Bapak tida rela jika benderanya basah. Oleh karena itu, kemudian ia cabut tiang bendera yang terbuat dari bambu dan dipanggulnya menuju tempat yang teduh. Tak lama setelah hujan reda, Bapak memasang kembali bendera itu. Namun, beberapa jam kemudian hujan turun lagi. Lantas diambilnya lagi tiang bendera itu dan dibawa ketempat teduh. Hal itu terulang beberapa kali. Tentu saja melihat ulah Bapak seperti itu, Mas Toro, calon suami Mbak Nurul tertawa. Dan hal itu yang membuat kakakku malu. Setelah makan siang, dengan suara keras kakakku bercerita, Ibu kenal Pak Samsur, Pak Dhe Mas Toro? Dia juga pejuang 45. Dulu katanya pernah berjuang bersama Bapak. Namun, orangnya sederhana ya, Bu. Tidak pernah menunjukan kalau dirinya mantan pejuang. Dia terus bicara seperti bunyi penyiar radio yang tanpa meminta pendapat pendengarnya. Kami semua tahu kepada siapa cerita itu ditunjukkan, dan bapak juga mengerti kalau kakakku tengah menyindirnya. Dengan kalem Bapak menyahut, Samsuri itu tentara, tapi tidak ikut perang. Wong tugasnya di bagian logistik. Jadi, tahunya cuma makanan saja. Bilang sama Toro, pacarmu itu, kalau Pak Dhe-nya tentara yang takut sama bedhil. Adik lelakiku pernah juga terkena marah sama Bapak gara-gara ketika menurunkan bendera merah putih secara tidak sengaja ia gunakan kain bendera itu untuk mengelap keringat di lehernya. Akibatnya selama satu jam lebih ia harus menerima ceramah dari Bapak perihal bendera itu. Ada-ada saja. Saat memperingati hari kemerdekaan RI, aktivitas Bapak kian repot lagi. Pagi hari Bapak memanggul tiang bendera untuk dipasang di halaman. Dan sore hari menjelang maghrib dipanggulnya kembali ke dalam rumah. Pekerjaan itu dilakukan selama 4 hari berturut-turut sejak tanggal 14 sampai tanggal 18 Agustus. Juga setiap tanggal 17 Agustus, Bapakku pun selalu menyempatkan melaksanakan sholat dilanjutkan dengan sujud syukur. Setelah itu, bendera didekap di dadanya, mulut komat-kamit sambil matanya terpejam entah doa apa yang dipanjatkan barulah kemudian bendera dipasang ke tiang. Ritual ini dilakukan dua tahun berturut-turut semenjak Bapak pensiun. Mula-mula kami khawati Bapak menderita gangguan jiwa. Ternyata tidak ada gejala yang mengarah kesitu. Akhirnya kami biarkan Bapak berbuat sesuka hatinya meskipun kadang-kadang terasa aneh bagi kami.
halaman 50 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

Hati Ibu mulai terusik ketika suatu hari Pak Lik Khasim, adik Ipar Ibu, yang sok tahu mengatakan, Yu, Mas Abu lama-lama kelihatan makin aneh ya. Mungkin suamimu terkena penyakit post power syndrom. Itu Yu, penyakit yang timbul setelah pensiun. Lihat saja bagaimana ia memperlakukan bendera, seperti memperlakukan benda keramat saja. Hati-hati lho, kalau dibiarkan terus Mas abu terseret dalam perbuatan syirik. Kasihan kalau tidak diingatkan. Dengan menggebu-gebu Pak Lik menerangkan akibat dosa besar itu. Aku jadi geli mendengarnyaapa hubungannya post power syndrom dengan perbuatan syirik. Sementara itu Ibu mulai terpengaruh dengan perkataan Pak Lik. Dengan nada prihatin, Ibu berkata, Ya, ya, namun siapa yang berani mengingatkan Masmu, wong ndableg gitu. Sudah sering ponakanmu mengingatkan namun tak pernah dihiraukan. Coba, bagaimana kalau kamu yang mengingatkan, siapa tahu Masmu mau mendengarkan! Suara Ibu terdengar bersungguh-sungguh. Siang hari setelah makan siang, Pak Lik Kashim sengaja ikut duduk-duduk dengan Bapak di ruang makan sambil mendengarkan musik keroncong dari RRI Jakarta. Setelah basa-basi sejenak, segera menuju pembicaraan. Ibu yang berada di ruang tengah sesekali menimpalinya,sedangkan aku dan Yana, adik perempuanku, yang sedang asik menonton telenovela, sama sekali tidak tertarik ikut nimbrung karena sudah bosan dengan persoalan yang dibicarakan. Seperti biasa Bapak enggan menanggapi taktala ada orang yang membicarakan perihal kecintaanya pada bendera. Sikap Bapak yang diam membuat Pak Lik kebingungan, dia pun akhirnya menghentikan pembicaraan. Semua diam, hanya suara radio dan televisi yang berlomba. Tiba-tiba, suara bapak mengagetkan kami, Kamu ngawur Sim. Kamu kira pikiranku sudah gila, begitu? Kamu memang tidak pernah ikut berjuang merebut negara dan penjajahan. Makanya kamu ndak bisa merasakan bagaimana rasanya merdeka dari penjajah! Dengan penuh semangat bapak menceritakan kisah perjuanggannya di masa lampau. Pak Lik bosan mendengarnya, karena itu dia memotong cerita Bapak, Ya, Mas. Saya mengerti. Kita boleh saja cinta kepada negara dan bendera, namun jangan sampai keblinger. Saya lihat Mas mulai berlebihan dalam memperlakukan berdera, saya takut... Ragu-ragu paklik melanjutkan kalimatnya karena Bapak menampakkan rasa tidak suka. Kenapa? Kamu takut aku mulai gila. Itukan yang ada di kepalamu? suara Bapak menunjukan kemarahan. Maaf, bukan itu yang saya maksud. Saya khawatir kalau kalu Mas mulai mengeramatkan bendera. mantap sekali Pak Lik mengucapkan kalimat terakhirnya. Lho, lho. Kok, kamu tambah ngawur. Dengar Sim. Untuk merebut bendera itu tidak mudah, banyak temanku yang mati! Mati Sim. Dibunuh sama musuh.
halaman 51 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

Bapak diam sejenak menunggu Pak Lik berbicara, namun kelihatannya Pak Lik malas menanggapi. Bapak melanjutkan ceritanya lagi. Teman-temanku harus mati karena mengibarkan bendera merah putih. Kalau sekarang aku memperlakukan bendera dengan istimewa, bukan berarti menggangap benda itu keramat dan menyembahnya, itu salah besar. ujar bapak. Pak Lik Khasim menyela, Lalu kenapa setiap tanggal 17 Agustus, Mas Abu selalu bersujud, kemudian berdoa sambil mendekap bendera? tanyanya. Setiap melihat bendera merah putih, aku selalu bersyukur kepada Allah karena masih diberi kesempatan untuk mengibarkannya sepuas hati tanpa ada rasa takut dibunuh musuh! Kali ini Bapak terdengar bersungguh-sungguh mempertahankan pendapatnya tanpa disertai rasa jengkel. Demi Tuhan. Untuk bendera aku juga harus membunuh sesama manusia. Membunuh saudara-saudaraku yang sebangsa yang pernah berjuang bersama-sama melawan penjajah, seperti pemberontak RMS, APRA.... Bapak diam sejenak, kemudian dengan suara parau melanjutkan perkataanya, Bahkan oleh tanganku.... Tanganku ini harus membunuh pemberontajk DII/TII, padahal mereka adalah saudara-saudara yang seakidah denganku. Mereka harus kubunuh hanya karena ingin mengganti merah putih dengan bendera mereka.... Suara Bapak bergetar menahan tangis dan tampak mata tuanya berkacakaca. Hening. Semua tiada bersuara. Terharu mendengar cerita bapak. Ibu yang biasanya cerewet dan adikku yang tidak pernah memperdulikan bapak dengan bendera, kali ini hanyut dalam perasaan Bapak. Terlihat air mata bening di mata mereka. Pak Lik Khasim menjadi salah tingkah. Untuk menutupinya ia memberikan nasehat. Mas Abu tidak bersalah, membunuh pemberontak berarti membela negara, membela negara diwajibkan oleh Tuhan. Aku kini benci sekali mendengar ucapan Pak Lik. Kini kami mengerti alasan bapak memperlakukan bendera dengan istimewa. Ternyata di mata Bapak dalam bentangan kain itu terdapat gambar hidup yang menimbulkan pergolakan batin antara perasaan syukur dan penyesalan yang sangat dalam. Selanjutnya, kami tidak pernah meributkan lagi soal bendera. Setelah Bapak meninggal, tidak ada lagi perlakuaan dan tempat spesial terhadap sang Dwi Warna. Kami sering lupa mengibarkan bendera pada saat harihari bersejarah dan baru ingat ketika diberi tahu oleh Ketua RT. Lama-lama Ketua RT bosan memberi tahu keluarga kami yang nyaris lupa kepada bendera dan tidak pernah mengibarkannya lagi. Hal tersebut berlangsung bertahun-tahun, hingga suatu ketika aku membaca e-mail dari kakakku yang kini tinggal di Den Haag, yang membuat aku sadar terhadap sesuatu yang aku lupakkan selama ini. Tulisan yang membangunkan kesadaranku adalah bagian terakhir dari e-mail itu, begini isinya:
halaman 52 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

Semoga Indonesia segera damai dan mendapat pemimpin yang baik serta jujur agar tidak ada lagi wilayah yang memisahkan diri dari RI. Sedih rasanya menyaksikan teman-teman dari Tim-Tim yang berpesta pora merayakan kemerdekaan mereka dari penjajahan Indonesia (begitu menurut mereka). Dan lebih sedih lagi ketika mereka menurunkan bendera merah putih dan menggantikannya dengan bendera mereka, sedangkan bendera merah putih mereka campakkan begitu saja. Aku benar-benar menangis ketika menyaksikan peristiwa itu. Baru kali ini, Mbak menangis untuk bendera dan baru kali ini aku merasakan memiliki bendera. Menyesal rasanya dulu aku sering mentertawakan cinta Bapak terhadap benderanya. Benar kata Bapak kalau bendera adalah martabat dan harga diri suatu bangsa. Makanya mulai hari ini jangan abaikan lagi benderamu agar tiada orang lain yang menggantikannya dengan bendera lain.
Kepalaku mengangguk. Mengiyakan isi e-mail kakakku, dalam hati aku berkata, Baiklah insya Allah mulai bulan Agustus tahun depan, Ketua RT tidak perlu menyuruhku memasang bendera, karena aku sudah akan memasangnya sendiri.

halaman 53 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

EYANG NELI
Oleh: Lestari Sari Pambudi

Bicara

soal sifat pelupa, anda harus mengenal Eyang Neli, kerabatku dari pihak Ibu. Aku pertama kali mengenalnya ketika pernikahan sepupuku beberapa tahun lalu. Saat itu beliau semobil denganku dalam perjalanan menuju tempat resepsi. Di mobil itulah beliau bercerita tentang sifat pelupanya yang luar biasa. Pernah suatu pagi, Eyang Neli pergi ke kantor pos di kota tempat tinggal. Usai keperluan di kantor pos, ia bergegas ke tempat parkir sepeda. Namun, Eyang Neli tidak dapat menemukan sepedanya. Beliau mulai panik. Petugas parkir pun kelabakan karena merasa bertanggung jawab atas raibnya sepeda tua milik Eyang Neli. Akhirnya, petugas itu menyarankan Eyang Neli untuk melaporkan kehilangan sepedanya ke kantor polisi terdekat. Beliau setuju. Hari sudah sore ketika Eyang Neli keluar dari kantor polisi. Dengan langkah gontai beliau melangkah pulang menyusuri jalan menuju rumah. Saat melewati tukang tambal ban, si tukang tambalsudah sangat dikenal Eyang Neli, bertanya, Dari mana saja, Pak ? Dari kantor pos, ternyata sepeda saya hilang lalu saya lapor ke polisi, makanya sore begini baru pulang, jawab Eyang Neli memelas. Makjrengat.....! Seketika tukang tambal ban tersentak kaget, Loh, Bapak ini
halaman 54 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

gimana sih? Kan, tadi pagi sepedanya di tambal di sini. Lah ini, Saya gak pulangpulang karena nungguin bapak! Ganti Eyang Neli yang tersentak kaget lebih kaget lagi, karena ia melihat sepedanya bertengger di ruang kerja si tukang tambal ban. Baru kemudian ia ingat saat berangkat ke kantor pos tadi pagi, ban sepedanya kempes. Karena itu ia menuntun sepedanya ke tukang tambal ban tak jauh dari rumahnya. Tapi karena sudah ada beberapa sepeda yang di reparasi maka daripada ia menunggu ban sepedanya di tambal, Eyang Neli memutuskan naik angkot ke kantor pos. Dan menitipkan sepedanya pada tukang tambal ban itu. Oh, tidak hilang toh? komentar Eyang Neli, sedikit bingung. Cepet deh di ambil sepedanya, Pak. Bisa-bisa saya di tangkap polisi karena ngembat sepeda. kata si tukang tambal seraya menutup kiosnya. Eyang Neli sangat suka menyetir mobil memang. Walaupun sudah tua dan pelupa, fisik Eyang Neli masih sehat dan kuat. Beliau juga sangat percaya diri. Namun justru karena sifatnya itu ia sempat membuat sengsara istrinya. Ceritanya, Eyang Neli mengajak istrinya keluar kota. Yakin dengan kekutan fisiknya, Ia menolak menggunakan sopir atau naik kendaraan umum. Ia bersikeras menyetir sendiri. Ternyata perjalanan memang lancar. Beliau dan istri selamat sampai tujuan. Seperti kebiasaannya, di rumah kerabatnya itu Eyang Neli bercerita ngalor-ngidul hingga tak terasa hari sudah sore. Takut nyasar dalam perjalanan pulang, istrinya buru-buru mengajak pulang saat hari belum benar-benar gelap. Ternyata yang ditakutkan terjadi. Mereka nyasar. Tapi karena khawatir istrinya panik, Eyang Neli tak mengakuinya. Ia mencoba setiap jalan mana pun yang tampak layak dilalui di kota yang tak terlalu dipahaminya itu. Baru setelah beberapa jam kemudian saat bensin mulai habis. Eyang Neli berbelok ke kantor polisi untuk menanyakan jalan yang benar. Sang istri pun cemberut sepanjang jalan. Lain waktu, ia dan istrinya berjalan ke pusat perbelanjaan. Tiba di sana dengan alasan menghemat waktu, keduanya sepakat berpisah untuk bisa mencari keperluan masing-masing. Eyang Neli menuju pusat elektronika, sedangkan sang istri menghilang ke kios baju. Mereka berjanji bertemu di pusat jajanan untuk kemudian pulang bersama. Di pusat elektronika, Eyang Neli tidak begitu lama. Sebab bisa segera mendapatkan barang yang diperlukan. Setelah membayar, beliau pun bergegas pulang dan tidur! Sore hari saat bangun tidur, dan menyadari istrinya tak ada di sisinya, beliau mencari ke segenap penjuru rumah, dan sang istri tetap tak di temukan. Tin, Ibu kemana? tanyanya pada pembantunya. Lho, kan tadi sama Bapak, ke mal... Seketika Eyang Neli ingat janjinya untuk ketemu di food center! Ia pun bergegas kembali ke mal, dan menemukan sang istri duduk terkantukhalaman 55 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

kantuk di salah satu sudut pusat pusat jajanan. Seraya menghampiri sang istri, Eyang Neli cuma senyum-senyum saja membayangkan bagaimana raut wajah istrinya bila tahu ia lupa akan janjinya tersebut.

halaman 56 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

BEJAT
Oleh: Fauzana Fidyarizky

Ajeng

adalah istri yang menjadi menjadi korban kekerasan suaminya. Mereka menikah karena hamil di luar penikahan yang membuat keduanya tidak mempunyai pilihan lain kecuali

menikah. Yanto, suaminya, adalah anak seorang kepala desa yang saat ini memimpin di kampung yang ditinggali Ajeng pada saat ini. Setelah menikah perlakuan Yanto terhadap Ajeng mulanya biasa saja, tidak terlalu baik maupun terlalu jahat. Yanto pada saat ini adalah seorang pengangguran. Maklum, Yanto hanya mengenyam bangku pendidikan hanya sampai tingkat sekolah menengah. Suatu saat, Ajeng meminta diantarkan ke rumah sakit untuk mengecek kandunganya. Yanto pun mengantarkannya ke rumah sakit. Setibanya di rumah sakit, Ajeng dan Yanto langsung memeriksakan kandungan Ajeng. Setelah selesai, mereka berdua menuju tempat administrasi untuk menyelesaikan pembayaran. Pada saat membayar, Yanto kaget karena biayanya sangat mahal dan tidak terpikirkan sebelumnya. Setibanya sampai di rumah, Yanto sambil memegangi kepalanya berkata pada Ajeng, Lain kali kalu mau ke rumah sakit, jangan minta diantarkan sama aku, aku tidak punya uang untuk membayarnya.
halaman 57 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

Ajeng pun menjawab, Mas, gimana kita bisa tahu keadaan anak kita, kalau kita tidak memeriksanya. Lagi pula kan itu sudah menjadi tanggung jawab Mas untuk menanggung semua kehidupan kita. Yanto mulai berbicara dengan nada kerasnya, dan tiba-tiba Yanto menghampiri Ajeng dan langsung menamparnya. Ajeng kesakitan sekaligus kaget Yanto bisa berbuat seperti itu. Keesokan harinya, Ajeng meminta maaf kepada Yanto karena Ajeng merasa bersalah tidak menghormati suaminya atas perkataaanya. Tapi apa yang dilakukan Yanto, dia malah menampar Ajeng untuk kedua kalinya. Ajeng pun menangis dan merasa sakit pada saat itu. Tiap dua hari sekali kejadian itu terulang, dan terulang lagi. Caci maki, tamparan, bahkan tendangan ke arah perut Ajeng pun, Yanto pernah lakukan. Pada suatu saat Ajeng dipukuli habis-habisan oleh Yanto, dan secara refleks Ajeng membalas perbuatan Yanto. Tetapi kekuatan Yanto lebih besar dari pada Ajeng. Dan Ajeng pun cuma bisa teriak dan minta tolong. Para tetangga yang sudah geram mengetahui prilaku Yanto terhadap Ajeng, menolong Ajeng dan langsung membawa Ajeng ke rumah sakit. Yanto kabur pada saat warga menolong Ajeng. Setelah keluar dari rumah sakit, Ajeng tahu bahwa suaminya akan menemukannya cepat atau lambat. Benar saja ia bertemu di rumah ayah dari Ajeng, yang kosong karena keluarga Ajeng pulang ada acara di balai desa. Tanpa disangka Yanto mengambil sebuah kayu dan langsung memukuli Ajeng. Ajeng pun pingsan dan saat terbangun mata bengkak dan telanjang karena Yanto baru memperkosanya. Kondisi ini berbutut kepada Yanto yang harus mendekap dipenjara selama satu tahun.

halaman 58 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

AKHIR DARI CINTA SEJATI


Oleh: Lia Andika Pratiwi

Pada

suatu desa yang dinamakan Pulau Telo, hiduplah sepasang kekasih yang saling mencintai yang bernama Rafli dan Nia. Aku Santi, kakak Nia. Rafli adalah seorang anak yatim piatu yang menggantungkan hidupnya dengan kerja kerasnya sendiri, sedangkan Nia adalah anak bungsu. Ayah kami adalah seorang Kepala Desa yang terpandang. Dalam perjalanan cinta mereka tak pernah mulus. Berbagai rintangan selalu mereka lalui dengan kesabaran hati mereka. Pada suatu ketika, Rafli sedang merantau jauh ke negeri seberang. Tak banyak orang dapat mempertahankan hubungan cintanya jarak jauh. Tetapi Rafli dan Nia, dapat mempertahankan hubungan mereka dengan sangat baik. Sebelum Rafli berangkat merantau, Rafli berpesan akan selalu ingat dan berjanji akan menikahi Nia, setelah pulang dari perantauanya. Dan Nia juga berjanji akan selalu berdoa untuk keberhasilan Rafli, sang kekasih. Dan mereka berjanji akan hidup dan mati bersama di bawah pohon cemara pinggir laut, sebelum Rafli merantau. Dua tahun berlalu, Ayah kami, Pak Bowo, Kepala Desa Mantaren, terkait hutang yang cukup besar kepada Pak Sugih, yang kebetulan ayah dari seorang pria tampan yang bernama Tono. Dalam permasalahan tersebut, Ayah tidak dapat menyanggupi membayar hutangnya kepada Ayahnya Tono. Dalam permasalahan
halaman 59 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

tersebut, Pak Sugih, ayah dari Tono, berkata kepada Pak Bowo, ayah kami, untuk menikahkan anaknya dengan putranya, maka semua utang yang ada pada ayah kami, semuanya akan dianggap lunas. Dari permintaan Ayah Tono tersebut, disetujui oleh Ayah, tanpa sepengetahuan Nia. Setelah Nia mengetahui semuanya itu, muka Nia memerah dan tidak mau menikah dengan Tono. Ayah berkata, Nia, kamu sayang kan, dengan ayah? Nia menjawab, Iya, Ayah. Lalu ayah berkata, Kamu mau bantu ayah kan? Lalu Nia menjawab, Ya, iyalah Nia bisa dan mau bantu Ayah. Lalu ayahnya berkata, Nia, kamu mau kan menikah dengan Tono, anak Pak Sugih untuk membantu melunasi hutang-hutang ayah? Dengan kesal lalu Nia menjawab dengan ketus, TIDAK AYAH! Nia memang sayang dengan Ayah, tapi cinta Nia tidak bisa dipaksakan, apalagi demi melunasi hutang Ayah. Ayah yang berbuat, mestinya Ayah juga yang mesti bertanggung jawab. Lalu Nia berlari ke bawah pohon cemara di pinggir laut, di mana tempatnya terakhir bertemu kekasihnya Rafli, dan berjanji akan hidup dan mati bersama. Lalu Nia berkata, Tuhan cobaan apa yang kau berikan pada hambamu ini, ya Allah. Begitu berat ujian yang kau berikan ini, ya Allah. Rafli, pulanglah. Aku di sini merindukanmu. Datanglah sebelum Tono melamarku!!!! Sebagai kakak, aku pun merasakan kesedihan yang dialami oleh adikku, akan tetapi aku tidak dapat berbuat banyak, keputusan Ayah telah bulat. Apalagi karena Tono sejak dulu memang memendam perasaan cinta untuk Nia, adikku. Maka ketika ayah terlilit utang dengan keluarga mereka, dengan serta merta ayah Tono mengajukan persyaratan tersebut. Beberapa hari kemudian, Rafli beserta teman merantaunya kembali ke desa Pulau Telo. Lalu Rafli menemui Nia yang sedang menjemur pakaian di belakang rumah. Lalu Rafli memangil Nia dari atas pohon. Lalu Nia terkejut mendengar suara yang dulu sering dia dengar. Setelah itu, Rafli pun melompat dari atas pohon tersebut, bagaikan Spiderman. Lalu Nia berlari dan memeluk erat tubuh Rafli. Tidak lama kemudian, Ayah Nia melihat, dan langsung mendorong Rafli. Lalu Nia berkata, Ayah, apa yang ayah lakukan? Dia kekasih Nia yang selama ini membuat Nia bahagia. Lalu Ayah berkata, Tapi kamu sudah punya calon suami Nia. Lalu Rafli menjawab, APA??! Nia, teryata kau. Dan Rafli pun, langsung pergi meninggalkan Nia. Dan Nia pun terpaksa menuruti perkataan ayah, dan menikah dengan Tono, anak seorang saudagar yang kaya raya. Satu tahun dari pernikahan Nia dan Tono, Rafli menghilang bagaikan di telan bumi. Dan ternyata Nia pun sudah tiada. Dia mengakhiri hidupnya di pohon cemara pinggir laut. Nia sangat menyesali dirinya. Dia lupa, bahwa Rafli pernah berkata,
halaman 60 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

bahwa tempat pohon cemara itu adalah tempat di mana mereka berjanji, akan hidup dan mati bersama. Dan akhirnya, Nia pun mengakhiri hidupnya di pohon cemara itu juga. Dan berakhirlah sudah cerita ini. Ternyata begitu besar cinta yang terjalin antara Rafli dan Nia.

halaman 61 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

MURTI
Oleh: Loise Viranti Lasnida

Mbak

Murti keluar dari rumah besar itu, membawa ember penuh berisi pakaian yang aku yakin pasti bukan pakaiannya, karena yang ia jemur adalah pakaian yang bagus dan besarbesar ukurannya. Pasti baju-baju Ibu Tanti dan Pak Adri, pikirku. Ngjemur nih ye,mbak. godaku pada Mbak Murti. Mbak Murti hanya cengengesan menanggapiku. Aku diam melihatnya dari luar pagar. Hari ini ada yang lain lagi dari Mbak Murti, rahang bawahnya kebiru-biruan dan bengkak dan bibir bawahnya yang sobek juga tambah bengkak. Mbak Murti jadi terlihat seram dengan wajah yang bengkak-bangkak begitu. Itu mukanya kenapa, Mbak? Kok yang sininya jadi biru? tanyaku sambil memegang rahang bawahku. Biasa.... Sudah sana, gih. Kamu wis mandi? Sudah pagi, ntar kamu telat masuk sekolahnya. Ntar aja aahh mandinya. Lah aku masih libur kok, Mbak. Sudah ya. kataku sambil berlalu masuk ke dalam rumah. Selalu begitu, setiap ditanya, Mbak Murti selalu menjawab, Biasaa... Aku tidak pernah mengerti maksudnya. Waktu itu aku pernah ikut duduk-duduk di warung Bu Warsih saat ibu-ibu
halaman 62 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

sedang belanja memilih-milih sayuran. Mereka belanja dengan ribut sekali. Awalnya aku tidak memperhatikan apa yang mereka ributkan. Toh setiap ibu-ibu berkumpul akan seperti itu, bergosip. Aku tetap asik memakan agar-agar yang kubeli sambil bengong melihat ayam-ayam di depan warung Bu Warsih, yang mondar-mandir sambil mematuk-matuk beras yang tersebar di tanah. Sampai aku mendengar salah satu ibu yang rumahnya tak jauh dari rumah sewaan keluargaku, menyebut nama Mbak Murti dan Bu Tanti. Aku menoleh ke wajah ibu yang sedang menjadi pusat perhatian karena bersemangat bercerita itu dan mendengarkan. Emang deh, Bu Tanti itu sudah keterlaluan. Kemarin malam si Murti saya lihat sedang tidur di luar. Sepertinya Murti disuruh tidur di luar sampai pagi. Terus, pas paginya saya tanya sama si Murti, dia malah nangis. Kasian banget deh si Murti. cerita ibu itu dengan wajah yang semangat. Tidak ada ekspresi prihatin dari wajahnya. Begitu juga ibu-ibu yang lain. Tuh kan, seharusnya kita laporkan saja Bu Tanti sama polisi. Biar kapok dia! sahut ibu yang lainnya, yang aku kenal betul wajahnya karena ia pernah ke rumahku, memanggil ayah untuk meminta ayah membetulkan genting rumahnya. Ya begitulah pekerjaan ayah, kuli bangunan yang suka menganggur jika tidak ada yang membutuhkan tenaganya. Tapi nanti kalo kita laporkan Bu Tanti, kita mau tinggal dimana? Hahaha.. Wong rumah kita aja masih nyewa sama dia. timpal ibu lain yang rumahnya di sebrang rumahku. Lalu aku pergi dari warung Bu Warsih, jengah dengan obrolan ibu-ibu tersebut. Jadi apa biasa yang dimaksud Mbak Murti itu maksudnya adalah dipukul oleh Ibu Tanti? Kok disiksa seperti itu dianggap biasa? Aku kasihan sama Mbak Murti, padahal Mbak Murti baik. Dulu waktu ia baru-baru datang, Mbak Murti suka bermain denganku dan ngobrol-ngobrol. Ia suka bertanya-tanya tentang sekolahku dan sering mengajariku matematika. Mbak Murti sangat peduli dengan pendidikan dan sekolahku. Katanya karena sebenarnya ia ingin sekali melanjutkan sekolahnya, tapi tidak bisa karena tidak ada biaya. Berbeda denganku, yang bisa bersekolah karena SD saat ini dibiayai pemerintah, tapi aku sangat malas dan pernah tidak naik kelas. Aku selalu dinasehati Mbak Murti setiap kali malas belajar. Tapi sekarang aku jarang bertemu Mbak Murti. Dari pagi sampai Maghrib Mbak Murti sudah jarang sekali keluar rumah, kecuali kalau sedang menyapu teras atau menjemur pakaian seperti tadi. Aku pergi ke rumah Resih, temanku yang mempunyai televisi di rumahnya dan menonton bersama orang-orang yang sedang ikut menumpang. Acara di televisi sedang diganti dengan iklan, iklan-iklan makanan yang ditawarkan untuk berbuka. Aku ingat ini bulan Ramadhan, sebentar lagi lebaran. Lalu aku memikirkan Mbak Murti. Kira-kira ia akan mudik ke rumah ayahibunya tidak, ya? Mbak Murti pernah bilang padaku bahwa ia sangat rindu kampungnya. Aku tidak tahu kampungnya di mana. Tapi toh apa bedanya, di sini juga
halaman 63 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

kampung. Meskipun Jakarta adalah kota yang megah dan besar, bagiku tetap saja aku tinggal di kampung. Jakarta adanya di balik gedung-gedung bertingkat dan jalan tol yang macet, bukan di dalam gang seperti ini. Dulu Mbak Murti datang dari kampungnya karena dibawa oleh Pak Adung, seorang kuli panggul di stasiun yang juga menyewa kamar milik Ibu Tanti, sama seperti keluargaku. Hampir semua tempat tinggal di sini milik Ibu Tanti. Ada rumahrumah kecil dan juga kamar-kamar petakan seperti tempatku dan keluarga tinggal. Setahuku semua rumah dan kamar ini adalah milik Ibu Tanti yang setiap bulan menagih pembayaran sewaan pada kami. Berbeda dengan tempat tinggal kami, rumah Bu Tanti adalah rumah yang paling besar. Rumahnya tingkat dan pagarnya berukir tinggi. Mungkin karena rumahnya yang besar itu, ia membutuhkan pembantu untuk membantunya mengurus rumah. Karena itulah Mbak Murti datang. Awalnya Mbak Murti terlihat senang-senang saja bekerja dengan Ibu Tanti. Setiap sore ia biasa keluar dan bermain denganku. Tapi sudah tiga bulan ini sepertinya semua berubah. Apalagi sejak Pak Adung, kerabat dari paman Mbak Murti yang membawanya ke sini tidak kembali ke kamarnya. Sudah dua bulan batang hidung Pak Adung tak terlihat, mungkin ia sudah pindah atau malah sudah pulang kampung. Dan sepertinya Pak Adung pergi dengan meninggalkan hutang sewa kamarnya. Karena waktu itu aku pernah melihat Ibu Tanti berdiri di depan kamar Pak Adung sembil bersungut-sungut, Dasar si Adung kurang ajar, lima bulan nunggak sekarang malah ngilang. Awas saja dia! *** Pagi ini aku bangun kepagian. Aku lihat jam dinding yang diletakan di atas tumpukan baju ayah menunjukkan pukul setengah lima pagi. Pantas saja di luar seperti masih gelap. Tapi aku terlanjur bangun. Panas sekali di dalam kamar ini, aku pun keluar. Dari depan tempat tinggalku, bisa terlihat besarnya rumah Ibu Tanti dan kulihat ada Mbak Murni duduk di teras rumah itu. Aku berjalan ke depan rumah megah itu dan memegangi pagar. Eh Mbak Murti, ngapain di situ, Mbak? panggilku dengan setengah suara. Mbak Murti terlihat kaget dan berjalan menghampiri aku di seberang pagar dengan tertatih-tatih, aku penasaran ada apa dengan kakinya yang membuat jalannya terseret. Loh kamu kok sudah bangun, Ndah? Kakinya kenapa itu, Mbak? tanyaku sambil melihat ke arah kaki Mbak Murti. Tapi Mbak Murti hanya diam dan menunduk ikut melihat kakinya. Dipukul ya, Mbak? Sama kayak tuh muka? Kok betah sih, Mbak? tanyaku langsung. Mbak Murti mengerutkan dahinya.
halaman 64 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

Loh, kok kamu tau, Ndah? Kamu lihat? wajah Mbak Murti panik sambil memegangi rahangnya yang masih bengkak dan biru. Aku denger gosipnya, Mbak. Waktu ibu-ibu lagi belanja di warung Bu Warsih. Mbak diapain toh Mbak? kok bisa jadi begini? Mbak Murti hanya diam lama sekali sampai akhirnya buka suara dengan wajah sendu dan berkaca-kaca. Aku dipukuli, Ndah. Kalau nyapu ngepel ndak beres, aku ditampar. Kalau nyuci ndak bersih, aku ndak boleh makan. Ibu Tanti keras banget, Ndah. Aku ndak boleh salah. Ini muka jadi biru karena dijedotin ke meja, Ndah. Gara-gara Bu Tanti kesel sama Mang Adung. Aku kan ndak tau apa-apa. Tapi jadi aku yang diomelin. Mbak Murti menangis. Aku sendiri tidak tega melihatnya. Mendengar ceritanya langsung seperti ini aku jadi ikut sedih. Lawan toh Mbak. Jangan mau digituin. kataku dengan kesal dan geram. Ntar makin jadi-jadi kalau aku lawan. Kamu jangan bilang apa-apa ya ke orang-orang sini. Ntar aku diomelin sama Ibu. Udah dulu ya, Ndah. Nanti kalau ibu bangun terus lihat kita, aku bisa diomelin. Sudah sana kamu pulang. Aku mengangguk dan berbalik pulang ketika kulihat Mbak Murti juga berjalan masuk ke dalam rumah. *** Beberapa minggu setelah aku mengobrol dengan Mbak Murti, Ibu Tanti kewalahan mencari-cari Mbak Murti. Kayanya ia kabur dari rumah. Ibu Tanti sesumbar, ia bilang Mbak Murti pergi dengan mencuri perhiasanperhiasannya dan ia bilang selama ini Mbak Murti tidak pernah beres kerjanya. Ia memaksa kami, warga sekampung, melaporkan keberadaan Mbak Murti apabila melihatnya. Tapi sudah seminggu sejak kepergian Mbak Murti, tidak ada kabar lagi tentangnya. Sedangkan Bu Tanti masih tetap panik dan berusaha mencari Mbak Murti. Mungkin Bu Tanti takut Mbak Murti melaporkannya ke polisi, pikirku. Terkadang rindu juga aku dengan Mbak Murti. Tapi di manapun dia sekarang, aku lega. Setidaknya ia tidak dipikuli dan disiksa lagi oleh Bu Tanti. Dulu kupikir kekerasan seperti itu hanya ada di televisi dan berita-berita saja. Kupikir hanya orang di negeri seberang sana saja yang suka menyiksa pembantu. Ternyata di sinipun ada. Bahkan orang sekitarku sendiri. Aku berharap, semoga saja Bu Tanti sadar dan kapok menyiksa pembantu seperti Mbak Murti. ***

halaman 65 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

SI CANTIK YANG MALANG


Oleh: Fazra Fatima Azzahra

Di suatu

pagi yang cerah, seperti biasa aku menuju sekolah di antarkan oleh kakakku. Sesampainya aku di sekolah, aku langsung menuju ruang kelas ku. Tiba-tiba mataku tertuju kepada seorang perempuan cantik yang asing bagi ku. Sepertinya dia murid baru di sekolahku. Aku ingin menyapa, tapi ah, sepertinya tidak perlu. Dia terlihat angkuh, lagi pula bel masuk sudah berbunyi. Waktunya pulang sekolah. Aku segera berlari ingin pulang karena film kesukaanku siang ini akan diputar di televisi. Tiba-tiba...., syuuuttt. Aku terpeleset di lantai yang basah. Aku malu. Ooo.... Murid baru itu menolongku. Ternyata dia baik. Dia tersenyum kepadaku cantik sekali. Tidak disangka, semua itu merubah pikiranku sebelumnya. "Hihi... lain kali hati-hati ya, sepertinya terburu-buru sekali, siapa namamu?" Waaa suaranya halus sekali. Ckckck... bikin iri jadinya. "Saya Oca. Kamu murid baru, ya? Siapa namanya?" "Ya benar. Saya Nanda." Keesokan harinya. "Hai, Nda. Kelasnya di mana sih?" "Kelas 12 Sos D. Oca?"
halaman 66 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

"Oo kalo gitu kita depan-depanan dong. Tuh di seberang kelas 12 IPA A." Bel masuk pun berbunyi. Kita memasuki kelas masing-masing. Bel pulang lima menit lagi berbunyi. Senangnyaa. "Eh eh, doyan banget gosip sih." aku menghampiri teman-temanku. "Ia kenapa ya gosip itu enak. Abis sebel tahu liat anak baru... gayanya belagu. Sok ngartis. Mukanya kaya orang pengen ngajak ribut. Wkwkwk.... Menurut lo gimana, Ca?" sahut Dania. "Hmm... emang sih dia jutek mukanya, tapi gue juga ngga berani nilai orang sembarangan. Kan kita juga belum kenal sebenernya dia gimana, hehe...." Kring kring. Bel pulang berbunyi. Aku segera bergegas pulang. "Hai, Ca. Aku pulang bareng kamu yah?" Haa...? Nanda udah nungguin aku di depan kelas? Rajin banget. "Eh, iya. Oke oke." "Tapi kamu yang ikut mobil aku, yah." "Oke lah. Sipp." Ketika di mobil tiba-tiba Nanda menitikan air mata. "Nanda kenapa?" "A... a... aku... hiks.... Aku ngga ngerti kenapa semua orang benci sama aku.di sekolah juga, Ca?" Emang siapa yang sebel sama kamu?? Emang mereka ngapain kamu, Nda??? Nanti aja ya, di rumah aku ceritanya. Sesampainya di rumah Nanda, Nanda, kamu kenapa sih tadi??? Hikksss. Temen-temen di kelas semua mencibir aku. Mereka nganggep aku sombong, belagu. Banyak gaya. Tetangga aku juga semua bersikap dan berfikir seperti itu. Padahal setiap kali aku coba ramah atau senyum sama mereka, mereka justru yang memandang aku sinis. Kenapa ya, mereka berfikir seperti itu?? Mereka berfikir aku ini sok pamer, Ca. Setiap aku dari luar negeri dan memberi oleh-oleh untuk mereka, mereka menganggap aku ini hanya ingin mendapat pujian, dan yang terpentingdan sangat pribadi sebenarnya, aku ini merasa sangat tersiksa di rumah ini, Ca. aku merasa seperti di neraka, diperlakukan seperti boneka. Aku jadi sedih. Tapi kenapa kamu kok terbuka banget cerita masalah ini sama orang baru kayak aku?? Karena cuma kamu yang mau berteman sama aku, Ca. Pertama kali liat kamu, aku ngerasa kamu itu ramah, ngga seperti orang-orang yang lainnya. Terus kenapa kamu ngerasa hidup kaya di neraka di rumah ini? Padahal kan di sini enak, rumahnya gede?? karena aku di sini tinggal bersama orang yang tidak aku kenal. Memang orang tua kamu kemana, Nda?? Kamu tahu tidak?? Aku dijual oleh mereka, dan sekarang aku tinggal bersama laki-laki paling kejam. Aku di sini disiksa, Ca. Setiap hari. Oya, sebaiknya
halaman 67 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

kamu cepat pulang, karena kalau aku ketahuan membawa kamu ke sini NANDAAAAA NANDAAAAA!!!!! DI MANA KAMU????!!! BRAKKKKK. Maaf maaf. Saya minta maaf. APA-APAAN INI???!!!! SIAPA DIA??!!! SUDAH KUBILANG, JANGAN PERNAH MEMBAWA SIAPA PUN KE DALAM RUMAH INI!!! SUDAH BERAPA KALI KAMU BERBUAT KESALAHAN, HAH??!! Aa aku... min minta maaf. ISTRI MACAM APA KAMU INI!!!! Aku shock dalam hati. Astaghfirullah istri???? Tega-teganya orang tua yang menjual anaknya sebagai istri orang lain. Kemudian aku diseret paksa oleh lelaki paruh baya itu ke luar. Aku mendengar teriakan dan isak tangis Nanda. Sungguh aku tidak kuat mendengarnya. Ocaaaaaa. Ocaaaaa. Tolong aku, Caaaaa... huhuuuuu... Aku tidak dapat berbuat apa-apa selain berdoa meminta perlindungan dariNYA, dan segera aku menelepon polisi. DIAM KAMU!!!!! RASAKAN!!!! AAAAAAAAAAAAA. Sebelum polisi itu datang sepertinya semua sudah terlambat untuk menolong Nanda, karena aku melihat percikan darah yang sangat banyak memuncrat di gorden kamarnya yang berwarna putih. Nanda telah tewas karena ulah lelaki itu. Sungguh kejam.

halaman 68 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

JANGAN MAIN HAKIM SENDIRI


Oleh: Lourin Hertyastiwi

Pamanku

adalah seorang petani yang sangat giat bekerja. Ia tidak pernah mengeluh sekalipun tentang pekerjaannya yang hanya seorang petani. Dan keluarganya pun adalah keluarga yang sangat baik. Mereka juga tidak pernah mengeluh dengan kehidupan mereka. Pamanku seakan-akan mempunyai hidup yang sangat nyaman dan nikmat. Aku pun yang hanya keponakannya yang menumpang di rumahnya, dikarenakan orang tuaku yang pergi merantau entah kemana, merasa sangat senang dan nyaman tinggal di keluarga ini. Seperti tidak ada masalah sama sekali dalam keluarga ini. Hidup terasa aman, nyaman, dan tentram. Ingin rasanya di kala besar nanti aku menjadi seperti pamanku yang selalu bersyukur dengan keadaannya. Tanpa perlu mengeluh dan mengatakan hal macam-macam yang tidak bisa dicapainya. Tetapi ternyata kabahagiaan Pamanku diusik oleh sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab. Mereka adalah para pencuri padi yang sering berkeliaran di malam hari dan mencuri padi-padi para petani. Aduh bagaimana ini? Padiku dicuri orang. Mau makan apa keluargaku kalau begini? Mana bisa aku dapat uang selain dari bertani ini. keluh Pamanku ketika ia tahu kalau padi-padinya yang siap panen dicuri oleh pencuri-pencuri jahat
halaman 69 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

itu. Sungguh jahat pencuri itu. Kenapa ia melakukan hal sebegini jahat pada kita sih, Paman. Dasar orang-orang yang tidak bertanggung jawab kalau ketemu, awas mereka. kataku dengan mengebu-gebu. Kebetulan aku sedang berada di sawah menemani Paman yang ingin segera memanen padinya. Aku memang suka melihat paman bekerja di sawah dan sesekali membantunya sebisaku. Tetapi kalau padinya saja hilang, apa yang bisa aku bantu untuk Paman? Aku hanya bisa mengumpat saja dalam hati agar si pencuri itu ditemukan dan diberikan ganjaran yang setimpal. Kalau mereka baik tentu saja mereka tidak akan menjadi pencuri, Nak. Sudahlah, Paman capek. Paman ingin merenung dulu. Mungkin Tuhan memberikan cobaan ini karena paman kurang bersyukur kepadanya. jawab Pamanku dengan sedikit kesal tetapi tetap saja terdengar bijaksana bagiku. Sebenarnya menurutku Paman sudah banyak bersyukur, tetapi kenapa Tuhan memberikan ganjaran seperti ini kepada Paman. Hanya Tuhan yang tahu jawabannya kenapa. Keesokan harinya, Aduh, aduh... ampun, Pak... ampun. Saya minta maaf, Pak. Tolong jangan bawa saya ke kantor polisi. Saya kan hanya berusaha mencari makan. Terdengar suara seperti itu dari alun-alun desa ketika aku melewatinya. Akupun mendatanginya dan ternyata yang berbicara seperti itu adalah pencuri padi-padi warga. Tadi malam pasukan Siskamling memergoki si pencuri itu sedang mencuri padi di sawah. Dan ternyata orang itu adalah seorang laki-laki dari desa sebelah. Dan sekarang dia sedang diadili di alun-alun desa. Hei, sudah cukup. Janagn kau pukuli lagi orang ini. Lihat mukanya sudah babak belur begitu. Kau masih tega memukulinya?! Dia itu sendiri dan kalian beramai-ramai memukuli dan menghakiminya. Apa itu adil?! tiba-tiba Pamanku datang dan langsung menghentikan warga yang berusaha menghakimi si pencuri itu dengan pukulan-pukulan yang tentu saja tidak ringan tetapi pukulan yang keras. Kasihan juga pencuri itu. Tapi kan Pak, dia sudah mencuri padi-padi kita dan bapak juga salah satu korbannya, kan. kata salah satu dari orang-orang yang memukuli pencuri itu. Ya, tapi janganlah kita main hakim sendiri. Seharusnya kita memberikannya kepada pihak yang berwajib atau kepada Kepala Desa, biar nanti mereka yang mengadili. kata Pamanku dengan sangat bijak. Pamanku itu memang orang yang benar-benar bijak, aku sangat bangga kapadanya. Benar juga sih yang Bapak bilang. Ayo kita bawa dia ke pihak yang berwajib. kata salah satu orang dari mereka. Maka berbondong-bondong lah mereka ke Kepala Desa, agar nanti Kepala Desa untuk melapor. Setelah itu barulah si pencuri itu dibawa ke kantor polisi untuk diadili. Paman.... Kok Paman biarkan pencuri itu begitu saja? Maksudku kok Paman tidak ikut memukuli pencuri itu? Memangnya Paman tidak merasa dendam kepada si pencuri itu? tanya ku kepada paman. Aku memang penasaran kenapa paman bisa
halaman 70 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

sesabar itu kepada si pencuri. Tidak seperti warga yang lainnya yang mencoba menghakimi sendiri si pencuri itu. Nak... negara kita ini kan negara hukum, dan kita mempunyai hukum-hukum yang harus ditaati. Dan hukumnya bukan hukum rimba yang suka mengadili sendiri si penjahat, tetapi hukum yang adil untuk semuanya. Dan jika si pencuri sudah melanggar hukum, kita tidak seharusnya melanggar hukum juga seperti memukuli si pencuri itu. Dan kalau dendam, kita sesama manusia tidak boleh dendam. Mungkin bukan hanya salah si pencuri saja makanya padi Paman hilang, mungkin saja karena ada ke cerobohan Paman makanya pencuri itu bisa mencuri padi Paman. jawab pamanaku panjang lebar. Loh kecerobohan paman apa? Tanya ku karena tidak mengerti apa yang pamanku bicarakan. Kecerobohan Paman, karena Paman tidak menjaga padi itu dengan baik. Sebenarnya Paman tahu kalau sudah ada pencuri yang berkeliaran, tetapi Paman bukan menjaganya tapi malah pulang dan tidur dengan nyenyaknya. Jadi Paman ceroboh juga kan sehingga pencuri itu bisa mencuri padi Paman. Pamanku menjawab dengan sangat jelas dan sangat bijak. Itu lah ciri-ciri Pamanku. Iya selalu bijak di setiap kondisi. Dan bijaksana Wah Paman baik dan bijaksana sekali. Aku bangga punya paman seperti Paman. pujiku kepada Paman. Ah kau bisa saja. Ayo kita pulang. jawab Pamanku dengan wajah yang sepertinya agak malu-malu. Pamanku adalah paman paling hebat di seluruh dunia. Dia tidak hanya baik kepada keluarganya ataupun orang-orang yang dikenalnya, tetapi kepada penjahat pun ia masih dapat menunjukan kebaikannya. Jika sudah besar nanti aku ingin menjadi seperti Pamanku. Yang selalu baik dan bijaksana kepada siapa saja.

halaman 71 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

JAN
Oleh: Marsha Jozana

Nama

saya Siska. Saya adalah seorang aktivis perlindungan dan hak asasi anak. Dalam menjalankan aktivitas saya, saya sering menemukan kasus kekerasan orang tua terhadap

anak-anaknya. Salah satunya sebut saja namanya, Jan. Ia adalah seorang bocah laki-laki yang masih berumur 9 tahun. Ia dan keluarganya memang tidak hidup berkecukupan. Kehidupan ekonomi yang serba sulit mungkin membuat Ayahnya mudah marah. Apalagi kedua orang tuanya sering sekali bertengkar. Jika sudah begitu, Ayahnya akan memanggil Jan hanya untuk memarahi dan memukulinya. Jan juga sering disuruh Ayahnya untuk mengemis. Dan jika Jan pulang tidak membawa hasil yang memuaskan, sang Ayah akan memarahinya dan memukulinya. Saya ingat sekali ketika saya datang ke rumah Jansetelah mendapat laporan dari tetangganya bahwa sang Ayah bunuh diri dan sang Ibu telah lama pergi dari rumahnya. Jan hanya bisa berjongkok sambil menangis tersedu-sedu dan memanggil-manggil Bapaknya, Bapak, kalo Bapak gak ada..., Jan tinggal sama siapa...? tangis Jan. Setelah kasus Jan di proses, sekarang Jan tinggal di panti asuhan bersama dengan teman sebayanya dan juga ia bisa bersekolah. Tapi sayang tangan Jan agak
halaman 72 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

tumpul. Karena dulu, saat memarahinya, sang Ayah suka melempar benda tumpul ke tangannya. Sehingga sekarang tangannya tak bisa di gerakkan. Kisah Jan ini dapat menjadi pelajaran bagi kita semua. Sekarang Jan dapat bermain dan melakukan aktivitas seperti anak-anak seusianya. Walaupun ia masih terlihat trauma dan sedih jika mengingat kedua orang tuanya. Apalagi ia tidak mendapat kasih sayang dari kedua orang tuanya sebagai selayaknya seorang anak.

halaman 73 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

KENANGAN
Oleh: Muhammad Garit N

Pada

suatu hari ada sekumpulan anak di pekarangan. Di sekumpulan itu ada anak yg paling besar bernama Rudi. Dan Rudi paling suka memperolok- olok dan menyiksa teman-teman yang badannya lebih kecil dari pada badannya. Tiba-tiba aku teringat masa lalu. Masa di mana aku pun berlaku sedemikian rupa. Kenangan saat indah itu datang dan pergi. Aku terhanyut dalam lamunan, sampai akhirnya Rudi menghampiriku. Kemudian aku terngiang masa laluku yang kelam. Lalu si Rudi berbicara, Bapak, yang dulu jadi preman itu kan? Aku menjawab, Iya, Nak. Kok sekarang pake peci dan sarung? tanyanya. Aku berjengit dan teringat saat aku mulai bertaubat. Dan aku juga teringat masa masa di mana aku memukul, menikam, memalak orang-orang yang lewat di depan aku. Lalu aku terhenyak lagi. Bisakah aku melawati ini semua? Mungkin ini hanya cobaan dalam masa laluku ini. Kenapa, Pak? Matanya kok berair? tanya Rudi. Tidak. Bapak hanya teringat dengan masa lalu Bapak. Pasti masa lalu bapak mengharukan. Sampai membuat bapak menangis." Memangnya kenapa, Pak? tanyanya, Sampai-sampai bisa membuat Bapak
halaman 74 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

menangis? Tidak. Masa lalu saya yang sangat kelam tidak baik untuk dibuka lagi. Dan setelah melihat kamu, Nak. Hati saya terasa teraduk aduk. Seolah-olah telah tertanam masa lalu saya yang kelam dalam dirimu, Nak. Mana mungkin ah, Pak. Kita kan baru ketemu. Bingung kenapa, Pak? Wajahmu memngingatkan aku pada seseorang yang sepertinya paling terluka oleh perlakuan saya di masa lalu. Terluka kenapa, Pak? Emang disakitin sama Bapak? Aku menghela napas mendengar pertanyaan anak itu. Sebegitu mudahnya ia mengajukan pertanyaan yang sudah kukubur jauh di dasar pikiranku. Ya, walaupun sakitku menerpa lagi, akan kuceritakan kepadanya, agar tidak ada lagi kejadian yang pernah kubuat. Waktu itu ada gadis yang mencintai saya, yang di mana gadis itu telah menjadi belahan hidup saya sendiri, Nak. Jadi, wanita itu istri Bapak? Iya. Tapi dia sudah lama meninggal, Nak. dengan tetes air mata yang keluar aku pun bersedih karena teringat istriku yang telah tiada itu. Memangnya sekarang belahan hati Bapak kemana? Dia sudah tiada. tambah deras lagi air mata yang aku keluarakan. Memangnya beliau sakit? Dia tidak sakit fisik, tapi saya yakin batinnya sangat tersiksa. Memangnya belahan hati Bapak tersiksa kenapa? Saya sudah melakukan hal yang sangat memalukan terhadap dirinya. Dia mencintai saya dengan tulus, menerima saya apa adanya. Tapi saya malah memanfaatkan dia. Memanfaatkan seperti apa? Menyakitkan, kah? tutur Rudi. Ya. Dia hanya saya jadikan mainan, sampai akhirnya dia mengandung. Tapi saya tidak mau mengakuinya. Waaahhhhhh... lalu setelah dia mengandung, Bapak tinggal saja? Ya. Tidak cuma itu.... Bahkan saya menuduhnya berzina dan membuatnya malu di hadapan orang-orang sekampung. Dan aku beralasan, Karena saya belum siap dan saya juga merasa tidak bisa menghidupi dia apabila saya menikahinya. Oleh karena itu saya mengusirnya dan melarangnya menemui saya lagi. Lalu, belahan hati Bapak sekarang di mana? kata Rudi. Saya tidak tahu hal itu. Tapi melihatmu saya jadi merasa rindu yang teramat sangat. Karena kamu menyerupai dengan belahan hati bapak. Aku juga berkata lagi, Dan saya pernah mendengar juga bahwa dia telah melahirkan anak laki-laki gagah perwatakannya. O iya, orang tuamu di mana, Nak? Saya hanya punya ibu, Pak. Kata Ibu, Bapak saya mengadu nasib keluar negeri. Dan sekarang sudah meninggal karena kecelakaan. Ooo, memangnya kamu tinggal di sekitar sini?
halaman 75 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

Iya Pak. Rumah saya di belakang lapangan ini. Di sana ada Ibu saya. Bapak mau mampir ke rumah? Boleh saja. Sekalian saya mau tahu ibu seperti apa yang mempunyai anak sebaik kamu. Kalau Ayahmu masih ada, pasti dia sangat bangga kepadamu. Itu Pak, rumah saya. Dan di depannya, Ibu saya. Tadi Bapak tanya, Ibu saya namannya siapa? Iya. Memangnya siapa? tutur aku. Setelah beberapa jarak lagi sampai di rumah Rudi, aku terhenyak. Tidak, ini tidak mungkin. Di sana, di depan pintu rumah Rudi, berdiri seorang wanita yang begitu kukenal. Wajah yang selalu terbayang sejak 10 tahun yang lalu. Wajah yang dulu memelas memohon belas kasihanku, wajah yang dulu kusia-siakan begitu saja. Aku diam seribu bahasa dan terdiam mengenang belahan jiwa yang dahulu aku sakit.

halaman 76 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

KEKERASAN PADA ANAK


Oleh: Munadhilah Ummahat

Siang

yang terik, panas yang ditimbulkan terasa sangat menyengat. Aku sedang berjalan pulang ke rumah ketika kulihat Dinda tetangga sekaligus teman sebangku kuberdiri di halaman depan rumahnya sambil mengangkat satu kakinya dan menjewer kedua telinganya sendiri. Dengan rasa iba, kuhampiri Dinda. Dinda, mengapa hari ini tidak masuk sekolah? Dan sedang apa kau di sini? tanyaku. Aku sedang dihukum. jawabnya singkat dengan raut wajah yang malu. Ketika aku hendak bertanya kembali, dengan raut wajah yang berubah cemas, dia berkata, Sudahlah, cepat kau pergi dari sini! Jangan hiraukan aku. Percayalah, aku baik-baik saja. Lalu sesuai dengan perintahnya, aku pun pulang dengan segudang pertanyaan yang masih menggantung dalam benakku. Dinda termasuk anak yang pendiam dan sangat tertutup di sekolah. Dia tidak mudah bergaul. Karena itulah teman-teman di sekolah sering menjahilinya. Aku sangat kasihan melihatnya. Kadang aku pun selalu berusaha ingin membantu segala masalah yang nampaknya sedang dihadapinya. Namun dia selalu menghindar dan selalu mengatakan bahwa dia baik-baik saja.
halaman 77 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

Aku jadi teringat, pernah suatu hari dia datang terlambat ke sekolah dengan baju seragam yang robek di beberapa bagian. Sebenarnya Pak Guru ingin menghukumnya tetapi melihat keadaannya yang seperti itu beliau mengurungkan niatnya. Beliau hanya bertanya, Kenapa baju seragammu robek, Dinda? Lalu Dinda menjawab dengan agak ragu, Mm... saya jatuh saat berlari menuju sekolah tadi, Pak. Oo... ya sudah, kalau begitu lain kali hati-hati di jalan dan jangan terlambat lagi ya kata Pak Guru Dinda pun mengangguk dan langsung menuju kursinya. Sejujurnya, aku tidak yakin dengan jawabannya itu. Lamunan ku pun buyar ketika tak terasa aku telah sampai di rumah.. Keesokan harinya, Dinda masuk sekolah. Saat bel istirahat berbunyi, seperti biasa, Dinda diam di kursinya, menunggu seluruh siswa di kelas kosong. Kemudian dia akan mengeluarkan bekal makan siangnya. Kali ini aku mengurungkan niat untuk istirahat di luar kelas. Kukeluarkan bekal makan siangku dari dalam tas. Mau? tawarku pada Dinda sambil menyodorkan bekal makanan. Dengan lirikan yang malu-malu akhirnya Dinda pun menyambut tawaran ku tersebut. Menit berganti menit. Tak terasa kami mulai akrab. Dia banyak bercerita tentang kehidupannya, tentang Ibunya yang sering memukulinya. Pernah suatu hari, saat ingin berangkat ke sekolah, Dinda disuruh Ibunya untuk mengepel seluruh lantai rumahnya. Dengan tergesa-gesa Dinda pun mematuhi perintah Ibunya. Tak sengaja ember yang berisi pembersih lantai tersenggol dan tumpah olehnya. Ibunya marah-marah sambil memukulinya dengan ikat pinggang hingga baju seragamnya robek. Sebenarnya, itulah penyebab seragamku robek. ucapnya di sela-sela ceritanya. Tidak berhenti sampai di situ, Ibunya pun mengatakan bahwa beliau tidak akan memberikan bekal makan siang untuk Dinda dan hukumannya pun akan dilanjutkan setelah Dinda pulang sekolah. Mendengar kisahnya tersebut, keesokan harinya aku pun segera melaporkannya ke Wali Kelas. Tak lama kemudian, ibu Dinda pun dipanggil untuk menghadap Wali Kelas. Apa benar Ibu sering memukuli Dinda? tanya Wali Kelas, memulai pembicaraan. Ibu Dinda pun mengakui perbuatannya tersebut dengan alasan bahwa hal itu pantas diterima oleh Dinda, karena Dinda adalah anak yang ceroboh dan sering melakukan kesalahan. Beliau berpendapat bahwa perbuatannya itu benar, itu merupakan awal dari kedisiplinan. Akhirnya, Wali Kelas pun menjelaskan bahwa didikan tersebut merupakan didikan yang salah. Sebaiknya, seorang anak diberi contoh yang benar dan nasihat yang baik bila melakukan kesalahan-kesalahan. Apalagi bila kesalahan tersebut bukanlah termasuk kesalahan yang besar.
halaman 78 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

BALADA SARIMIN
Oleh: Nadia Khaerani

Sarimin

pergi ke pasar. Sarimin naik kuda kayu. Sarimin memakai topeng. Sarimin memakai payung! Teriak sang Pawang monyet untuk memperjelas aksi Sarimin kepada anak-anak yang berada di sekelilingnya. Di tempat itu bukan hanya ada Sarimin dan sang Pawang namun beberapa pemain gamelan yang mengiringi Sarimin beraksi. Aku duduk menanti kedatangan kereta yang sudah telat lebih dari satu jam memperhatikan dari awal aksi Sarimin di peron seberang. Sesekali anak-anak yang menonton tertawa melihat tingkah Sarimin. Ya, Sarimin artis topeng monyet yang menjadi pusat perhatian anak-anak di setiap aksinya. Walaupun anak-anak terlihat senang dengan aksi Sarimin, Sarimin terlihat tidak begitu nyaman dengan kuda kayunya, topengnya, payungnya, apalagi dengan rantai di lehernya yang rapuh. Pawang Sarimin menarik-narik rantai yang panjang untuk menyuruh Sarimin melakukan aksi berikutnya. Namun Sarimin terlihat berjalan terseok-seok dan terpaksa memegangi rantai mungkin lehernya kesakitan karena ditarik. Di akhir pertunjukan terlihat Sarimin meminta uang kepada penonton yang telah melihat aksinya tadi.
halaman 79 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

Setelah penonton bubar Sarimin ditarik dengan kasar untuk masuk ke dalam kandang yang dipikul oleh sang Pawang. Kandang itu kecil sehingga Sarimin harus menunduk untuk bisa duduk di dalamnya. Setelah Sarimin masuk ke kandang sang pawang pindah ke peron dimana aku duduk. Pawang memulai lagi aksinya. Namun setelah ditarik dengan rantai, Sarimin tetap tidak mau keluar dari kandang. Sang Pawang menghampiri Sarimin dan memukul kepala Sarimin. Sarimin yang kelelahan terpaksa harus menuruti sang Pawang dan melakukan atraksi lagi. Mungkin karena kelaparan, Sarimin mengambil korek api dari jalan dan mengunyah-ngunyahnya. Di akhir pertunjukan saat Sarimin meminta uang kepada penonton, ada seorang anak yang memberi sepotong kue kepada Sarimin. Sebelum Sarimin mengambil kue itu, Pawang menarik rantai Sarimin sambil berkata, Jangan dikasih makan, Dek. Nanti dia nggak mau kerja. Mendengar hal itu aku bertanya dalam hati, untuk apa sebenarnya Sarimin ini? Diperlakukan kasar, dan tidak diberi makan. Untuk menjawab pertanyaan itu, aku mendekati Pawang Sarimin dan bertanya, Dulu ngelatihnya gimana Pak? Dan jawaban yang kudapat cukup mengagetkan, Awalnya sih nggak dikasih makan supaya dia nurut. Yah kalo tetep nggak nurut pukul aja. Nah abis itu, baru dikasih rantai supaya ngerti yang harus dia kerjain. Kurang puas dengan jawaban itu aku bertanya lagi, Tapi tetep dikasih makan kan, Pak? Ya, jarang-jarang. Soalnya kalo sering dikasih makan nanti dia kenyang dan gak mau kerja. Astaghfirullah! Ternyata benar. Sarimin hanya dieksploitasi tanpa diperhatikan hak hidupnya. Menurut Pawang mungkin itu cara yang benar untuk mendisiplinkan Sarimin, tetapi bagaimana kalau Sarimin mati kelaparan? Menurutku itu hal yang sangat kejam. Namun mungkin sang Pawang hanya berfikir, Toh hanya sewaanpawang topeng monyet hanya menyewa, monyet-monyet tersebut bukan milik mereka. Sarimin tetap makhluk hidup yang memiliki hak untuk bertahan hidup, kalau begini berarti pertunjukan topeng monyet termasuk animal abuse yang merupakan kekejaman bukan hiburan. Awalnya aku cukup prihatin dengan redupnya topeng monyet sebagai salah satu hiburan tradisional. Tetapi setelah mendengar pernyataan dari sang Pawang aku merasa senang dengan hal ini. Sudah seharusnya topeng monyet dihentikan kalau tetap menggunakan kekerasan. Aku berdoa dalam hati agar usaha topeng monyet yang seperti ini mati dan si pawang mencari pekerjaan lain sehingga Sarimin-Sarimin yang lain dapat terselamatkan.

halaman 80 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

!!!
Oleh: Arie Toursino Hadi

Aku

berdiri di sebuah batang pohon. Kupandangi seluruh semaksemak yang ada di hadapanku. Sudah tiga hari ini aku tidak makanatau lebih tepatnya belum sempat makan. Nafsu makanku seakan terkubur oleh perasaan dendam yang membara dalam hatiku. Aku terbiasa makan binatang liar seperti kancil, rusa, atau kerbau liar. Jika semua itu tidak ditemukan, aku biasa pergi ke perkampungan untuk sekedar mencuri hewan ternak mereka. Aku jarang memangsa manusia. Biasanya jika ada manusia yang akuatau bangsa kami terkam, hanya kami gigit satu bagian tubuhnya, lalu kami tinggal pergi. Tapi itu beberapa hari yang lalu. Kini yang ada dipikiranku, bagaimana cara mengalahkan Wulu Ireng yang sudah menghabisi semua anak-anakku. Hal itu berawal dari perebutan wilayah kekuasaan pada tahun-tahun yang sudah lampau. Aku dan Wulu Ireng memperebutkan tempat yang sekarang menjadi milikku. Tempat itu adalah hutan rimba yang dekat dengan lapangan yang biasa dijadikan warga sebagai tempat mengembala hewan ternaknya. Cukup banyak tempat yang dapat dijadikan persembunyian, sehingga kami sulit dilacak warga. Sudah berkali-kali Wulu Ireng datang padaku, dan mencoba mengalahkanku. Namun ia tidak pernah berhasil. Hingga pada waktu itu, demi mendapatkan aku agar keluar dari tempat
halaman 81 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

persembunyianku, Wulu Ireng menyerang anakku dan membunuhnya. Aku diberi tahu burung Jalak yang melihat kejadian tersebut. Dan kini, aku sudah berada di wilayah kekuasaannya. Satu lompatan besar sebelum akhirnya aku berada di depan sebuah gua yang biasa menjadi tempat persembunyian Wulu Ireng. Dari sini aku bisa mencium baunya yang khas. Aku pikir dia pun demikian. Apalagi kini aku sedanng berdiri di depan pintunya. Mungkin dia sudah mempersiapkan sedikit kejutan buatku. Aku harus waspada. Ku langkahkan kaki masuk ke dalam. Semakin dalam aku masuk, ruangan gua semakin gelap. Aku harus waspada karena bisa saja tiba-tiba Wulu Ireng menerkamku dari mana saja. Setiap satu langkah, mata kucingku yang mengkilat tajam memandang setiap sudut ruangan. Berjaga terhadap kemungkinan terburuk. Hingga akhirnya aku sampai di ujung gua itu. Aku masih belum juga menemukan sosok Wulu Ireng. Indra penciumku mengatakan bahwa di tempat inilah Wulu Ireng berada. Tapi di mana dia? Kembali aku perhatikan sekeliling ruangan. Aku tidak mau ambil resiko dengan berjalan ke sekeliling ruangan ini. Aku terdiam agak jauh dari pojok ruangan itu. Dari sini aku melihat ceceran darah di lantai, dan... sinar dari bola mata yang kecil. Hmm. Aku yakin itu anak Wulu Ireng. Ternyata pencarianku tidak sia-sia. Hukum di bangsa kami menyebutkan, bunuh anak harus dibayar dengan anak. Aku bersiap untuk menerkam. Gigiku kuperlihatkan. Suara geraman juga aku perdengarkan agar lawan yang ada dihadapanku takut. Semua peralatan perang sudah aku siapkan hingga akhirnya... sepasang sinar mata yang lebih besar muncul di atas mata yang kecil itu. Pemilik sinar mata itu memperlihatkan giginya. Ia pun menggeram. Tapi ia tidak beranjak maju. Sejenak aku terdiam. Ku perhatikan ceceran darah yang ada di lantai. Ooh, ternyata Wulu Ireng sedang tergeletak sekarat di sana. Ia terluka oleh sesuatu hal yang aku tidak tahu. Yang aku tahu, ia tidak bergerak maju sekarang. Aku melangkah maju. Aku sudah unggul satu angka sebelum kami berkelahi. Tidak ada rasa cemas bagiku jika ia menyerangku sekarang. Yang bisa ia lakukan hanya menggeram. Dan terus menggeram setiap aku langkahkan kakiku untuk menghampirinya. Bagiku, suara geraman itu pada awalnya terdengar seperti ancaman agar aku tidak mendekatinya. Makin lama, suara itu makin keras, hingga terdengar seperti tangisan memohon agar aku tidak membunuh anaknya. Tapi nasi sudah jadi bubur. Aku pikir ia pun tahu konsekwensi hal tersebut. Suara tangisan itu mulai mengganggu pendengaranku. Kembali kuperlihatkan gigiku, tanda bahwa apapun yang terjadi, aku akan tetap membunuh anaknya. Kusiapkan kuda-kuda untuk melompat. Belum sempat aku melompat, terdengar suara erangan yang lebih keras. Namun kali ini bukan suara Wulu Ireng. Suara lengkingan itu lebih kecil dari suara Wulu Ireng. Itu lebih terdengar seperti suara anaknya. Suara sayatan itu seolah terdengar hingga keluar gua ini. Kulihat dengan tajam yang ada di hadapanku. Wulu Ireng kini tengah
halaman 82 dari 83 halaman

BEJAT: sebuah kumpulan cerpen

menggigit dan mencabiki anaknya sendiri. Ia tidak rela anak yang kini ada di pelukkannya terbunuh oleh tanganku. Makin lama suara tengisan kecil itu menghilang, berganti dengan suara tangis bahagia bercampur sedih dari Wulu Ireng. Berteriak bangga karena aku gagal melaksanakan dendamku.

halaman 83 dari 83 halaman

Anda mungkin juga menyukai