[Document subtitle]
darmanto radjab
[COMPANY NAME]
Kasur Tanah ilustrasi Polenk Rediasa/Kompas
***
“Kegunaan sortana sebenarnya untuk apa sih, Bu’?” suatu senja, kau sengaja
menghampiri embu’ yang sedang mengelap cangkir dengan sobekan kain beludru;
bekas baju hantaran dari ayahmu waktu mereka menikah dulu. Mata embu’ membeling
dan gerakan tangannya sangat lambat. Ia sempat gugup meski kau datang dengan
langkah nyaris tak terdengar.
Terpercik pertanyaan besar di matamu, karena setiap ada orang meninggal,
keluarganya biasa menghaturkan berbagai macam perabot pada seorang kiai atau guru
‘ngaji sebagai sortana. Apalagi, perabot pesanan yang sering embu’ lap itu katanya
untuk dijadikan sortana juga.
“Selain bernilai sedekah jariyah, juga agar yang meninggal mudah diingat,” jawab
embu’ setelah berhasil menyisihkan kegugupannya.
“Berarti, walaupun kita sudah meninggal, dengan melihat sortananya orang akan
teringat pada kita?”
Beberapa saat embu’ terbatuk. Batuk yang sangat kering dan membuat tulang
rahangnya mencuat. “Iya, salah satu manfaatnya,” setelah batuknya reda.
“Oh.”
“Kalau sortana itu dipakai untuk kebaikan, tentu menambah nilai pahala bagi yang
meninggal. Itu sebab, mengapa dinamai sortana, mengambil dari kata kasorra tana,
atau kasur tanah.”
“Artinya, kasurnya orang yang sudah meninggal?”
Embu’ mengangguk, meletakkan cangkir yang sudah dilap, lalu mengambil piring
dan mengelapnya dengan gerakan halus. Sebentar embu’ terbatuk lagi.
Seminggu ini batuk embu’ tambah parah. Tubuhnya semakin ringkih. Bahkan dua
hari lalu ia mengaku batuk darah padaku. Namun ia memintaku merahasiakannya
darimu. Ia pun menolak dianggap dan diperlakukan sebagaimana orang sakit.
Meskipun pekerjaan dapur sudah kau bereskan sejak sebelum subuh, dan baju-
baju kotornya kau cuci sebelum sinar matahari mengecup gorden jendela kamarnya,
embu’ masih bersikeras menyapu lantai dan halaman yang banyak mengepulkan debu
saat disapu, hingga berakibat napasnya kian sengal gara-gara batuk panjang.
Sudah empat kali kau antar embu’ ke mantri desa, tidak ada perkembangan sedikit
pun. Ketika mencoba dibawa ke dukun, katanya embu’ kena teluh yang dikirim oleh
lelaki yang ditolak lamarannya setelah ayahmu meninggal.
Ah, tidak sedikit lamaran para duda yang embu’ tampik. Ia pun tidak mau
membidik sangka pada salah satu di antara mereka. Katanya, sehat dan sakit adalah
pemberian dari yang Mahakuasa, dan merupakan salah satu kemurahan Tuhan untuk
menggugurkan dosa-dosa si bersangkutan.
“Jika aku meninggal, haturkan perabot-perabot ini ke guru ’ngajimu,” lirih, seolah
Malaikat Jibril sudah menunggu embu’ di luar pintu, hingga kecemasan kian
membelukar di matamu.
“Embu’ tidak akan mati. Yakinlah, Embu’ akan cepat sembuh.”
“Sakit tidak ada hubungannya dengan kematian, Bhing! Yang namanya makhluk
hidup pasti akan mencicipi mati. Entah itu datangnya cepat atau lambat, disebabkan
sakit atau tidak, bila tiba waktunya tidak ada yang bisa menolak,” dengan nada datar
dan senyum tawar.
“Tapi aku tidak ingin ditinggalkan Embu’,” rusuh di dadamu tergetar jelas dari
suaramu.
Embu’ menatapmu. Bibirnya melengkung tipis. “Sekarang kau sudah besar.
Sebelum mati, aku ingin melihatmu menikah.”
Menikah? Kautatap embu’ lekat-lekat. Meskipun wajahnya tampak pucat dan
bibirnya retak-retak, gurat kecantikan masih tersisa jelas. Semasih muda embu’
memang lebih cantik darimu. Ia menjadi perawan desa yang diperebutkan. Namun,
perbedaan status sosial, tradisi pertunangan sejak bayi, hingga martabat yang harus
dijunjung tinggi telah menumbalkan sebiji cinta yang dimilikinya. Tidak ada pilihan
baginya kecuali tunduk di hadapan orangtua. Pada tradisi takdir perjodohan bayi.
Setelah menikah, embu’ memilih setia pada ayahmu, yang telah menjadi
tunangannya sejak masih bayi dan memendam cintanya dalam-dalam. Katanya,
kehormatan seorang perempuan setelah menjadi istri berada pada kesetiaannya.
Bahkan, meskipun menjanda di usia cukup muda, embu’ tidak pernah tergoda
menikah lagi. Embu’ juga tidak suka memedulikan cibiran sinis para tetangga yang
merasa cemas suaminya larak-lirik.
Cinta rumit masa lalu membuat embu’ tegar dan bersikap lebih tenang. Bahkan,
embu’ juga menanggapi dengan santai saat kau adukan bisik-bisik tetangga di warung
mengenai dirimu.
“Kata orang aku bukan anak kandung ayah. Benarkah, Bu?” dengan wajah kesal
kau pulang dan menyemburkan pertanyaan itu.
Ayahmu memang sudah tua saat menikahi embu’, dan ia tidak memiliki keturunan
satu pun dari istri-istrinya terdahulu. Kakekmu terpaksa menjodohkan embu’ yang
baru lahir dengan lelaki kaya yang sudah beristri tiga itu demi membalas budi setelah
membantu biaya kelahiran embu’. Kata kakekmu, ia tidak mau menanggung utang
budi hingga mati.
“Apakah menikah dengan orang yang jauh lebih tua dari kita banyak menimbulkan
prasangka di kemudian hari, Bu?” tanyamu suatu malam, sepulang dari langgar dan
gulungan mukena masih terdekap di dada.
Alis embu’ terangkat hingga bola matanya tampak kian membulat. “Kenapa kau
bertanya demikian?”
Kau menggeleng ragu. Tentu bayangan waktu kecil merimbun di kepalamu. Setiap
ada pertemuan wali santri di sekolah menjelang haflatul imtihan, teman-teman kerap
meledekmu, mengatakan ayahmu lebih pantas kau panggil kakek.
“Jodoh sudah ditentukan sebelum kita lahir. Manusia tinggal menjalani, kecuali
masih ingin menggugat Tuhan, dan itu pekerjaan sia-sia,” embu’ menyentuh
pundakmu lembut. Tangan satunya memegang cangkir. Tidak sedang dilap. Saat kau
menghambur masuk ke kamarnya, kau lihat ia sedang memandangi cangkir itu lekat.
“Kalau aku menikah dengan lelaki yang sudah seusia embu’, apa tidak keberatan?”
Embu’ menatap matamu, seolah ingin menyelami hingga ke dasar hatimu. “Dulu
aku tidak setuju kau dijodohkan sejak bayi, supaya kau bebas memilih akan menikah
dengan siapa. Tidak peduli orang-orang menganggapmu sebagai anak perempuan yang
tidak cepat laku,” sudut bibirnya tertarik sedikit.
Risiko menolak tradisi perjodohan bayi, selain dipandang sebagai anak perempuan
tidak laku, ujung-ujungnya kelak ia menikah dengan orang dari luar daerahnya.
“Apa kau sudah punya pilihan?”
Kau tak segera menjawab.
“Kau masih muda. Pilihlah lelaki yang seusia atau lebih tua sedikit darimu. Jangan
sepertiku,” ada penyesalan berakar yang berusaha embu’ pendam di antara desah
napasnya.
“Seandainya jodoh yang ditentukan Tuhan untukku seusia embu’, apa kita akan
menggugat-Nya?”
Embu’ terbatuk, seolah tersedak oleh perkataannya sendiri. “Apa ia seorang duda?”
selidiknya kemudian.
Kau menggeleng.
Kening embu’ berkerut, “belum menikah sama sekali?”
Kau mengangguk dengan sudut bibir tertarik ke samping. Senyum yang gagal.
“Ia serius padamu? Kenapa tidak datang kemari melamarmu?”
“Beliau memintaku untuk menanyakannya lebih dulu pada embu’, apakah
merestui atau tidak?”
Embu’ terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Kalau sekiranya tidak akan
membuatmu menyesal di kemudian hari, terserah pada keputusanmu.”
Kau tersenyum tawar. Namun ada bias kelegaan di matamu.
“Siapa dia?”
“Beliau…” Kau ragu sejenak, menelan ludah.
Alis embu’ terangkat, sebuah isyarat agar kau melanjutkan kalimat.
“Beliau adalah guru mengajiku, Keh Sakdulla!”
Cangkir di tangan embu’ terlepas jatuh. Kau tersentak. Tatapan embu’ tiba-tiba
serupa bilik kosong yang sunyi meskipun sempat terbelalak sebentar dan menatapmu
penuh kejut. Wajah embu’ mendadak beku. Ia tidak memedulikan cangkir yang
berpuing di lantai. Lidahmu kelu. Kesunyian berkelindan. Kau terpaku heran.
***
Tidak ada sortana berbahan keramik dan bergambar wajah embu’ yang bisa
dihaturkan ke rumah guru ‘ngaji. Perabot-perabot itu telah menjadi puing di lantai
ketika pagi tadi kau memeriksa kamar embu’ karena tak kau lihat ia menyapu halaman
seperti biasa, meskipun sinar matahari sudah mengecup gorden jendela kamarnya
setengah jam yang lalu. Gelas, cangkir, piring, baki, mangkok, tatakan cangkir, tidak
utuh lagi. Tidak ada yang tersisa. Puing-puingnya berserak di lantai, dekat kaki
pembaringan. Kau sempat histeris mendapati tubuh embu’ terbujur kaku dengan
wajah mengapas di atas pembaringan. Raung tangismu menggegerkan para tetangga.
Setibaku di sana bersama tetangga lain yang berduyun-duyun, kau telah terkulai
di lantai, di antara puing-puing perabot keramik yang berserakan. Kau baru tersadar
ketika embu’ sudah diusung ke pemandian. Hanya aku dan lelaki itu yang
menungguimu di kamar, menunggu kau tersadar.
“Embu’?” kau sapu ruangan dengan mata yang baru terbuka.
Kubantu kau bangun.
“Embu’ sedang dimandikan. Ada sesuatu yang ingin kami bicarakan denganmu,”
kutahan pundakmu ketika kau bermaksud turun dari pembaringan.
“Sesuatu apa?”
Kami, aku dan lelaki di sampingku, Keh Sakdulla, menukar tatap. Kau pun
menatap kami bergantian dengan kening berkerut.
***
Sabang tinggal tak jauh dari rumah Kakek Songkok, panggilan sang ayah oleh
warga kampung. Ia memperhatikan sebuah pikap menurunkan pasir, lalu tergopoh-
gopoh menghampiri ayahnya.
“Iye, kita bikin baru rumah kita, jadi rumah batu,” jawab Kakek dengan senyum
mengembang sembari membenahi letak songkok. Karena songkok itulah ia dipanggil
Kakek Songkok oleh warga kampung. Peci tak pernah lepas dari kepala Kakek. Bahkan,
seluruh anaknya kerap memanggil ayah mereka dengan Kakek Songkok.
“Kenapa harus rumah batu? Tak usahlah dengar kata orang,” cecar Sabang. Ia
satu-satunya yang tidak setuju keinginan ayahnya mengubah rumah papan menjadi
rumah batu. Bagi Sabang, rumah masa kecil harus tetap seperti sedia kala. Apalagi
kalau ayahnya mengubah rumah hanya karena omongan tetangga.
“Bukan karena kata orang, sudah lama mau kuubah rumah ini. Lihat ko papannya,
ibumu sudah berapa kali jatuh karena papan-papan itu sudah tua,” ujar Kakek
Songkok lirih, tubuhnya berkeringat. Tidak sanggup ia beradu mulut dengan putra
kesayangannya.
“Aih, tidak, tidak. Rumah kita harusnya biar begini saja. Di sini kenangan kita
semua. Kenapa harus diubah?” Sabang setengah membentak ayahnya sambil
menunjuk sekeliling rumah. Suaranya meninggi, mukanya merah padam menahan
marah.
Sejak hasrat mengubah rumah muncul, dan dikabarkan ke seluruh keluarga, saat
itu Sabang sudah menentang. Kakek mengalah, mencoba membujuk Sabang agar
paham. Tapi, pertengkaran dua hari lalu itu kini bangkit kembali. Sabang memandang
gundukan pasir itu. Ia bayangkan, tak lama lagi pasir-pasir itu akan dicampur semen,
merekatkan batu-batu. Bagi Sabang, batu-batu itu bersatu padu melindas kenangan
masa kecilnya di rumah kayu yang tak lama lagi akan dirobohkan. Ia banyak melihat
keadaan itu terjadi pada kawan-kawan di kota saat sekolah dulu. Saat itu ia hanya
tertawa karena yakin kampungnya tetap teguh mempertahankan rumah adat mereka,
kenangan mereka akan hidup. Tapi, sekarang tampaknya akan pupus pula kebanggaan
itu.
Sabang sadar, tak ada guna lagi menentang. Tak pantas lagi berharap. Semua
bilah-bilah kayu itu, jendela-jendela, lantai, usuk, papan-papan, tempat semua
kenangan masa kecil melekat dan menancap, akan segera lenyap. Rencana sedang
dijalankan, keinginan tengah diwujudkan untuk melumat wujud sejarah sebuah
keluarga. Semua akan tinggal kenangan yang mengambang. Melayang-layang
mendesak-desak dada.
“Ah, kenapa aku marah ke Sabang. Harusnya tak usah sampai begitu,” bisik Kakek
pada dirinya sendiri. Lama Kakek duduk diam, tenggelam dalam pikiran sendiri.
“O, Darman, sini, sini,” sapa Kakek Songkok mendengar suami anak sulungnya
mengucap salam.
Masih berdiri Darman berujar, “Bagaimana jadinya pembangunan rumah ini, Kek?”
Kakek menghela napas, memandang sekeliling rumah lagi, lalu menatap Darman,
sambil berkata muram, “Yah, Sabang tetap tak setuju. Tapi pemesanan bahan sudah
berjalan, akan datang besok. Malam nanti kita bujuk lagi Sabang agar setuju ubah
rumah.”
Darman datang dari pulau sebelah. Belum lama di tanah Mandar, ia merantau
sebagai tukang listrik di Malaysia. Dengan uang hasil kerjanya, ia membangun rumah
batu pertama di kampung itu. “Rumah panggung sudah ketinggalan zaman,” katanya
sengit.
Tak disangka pembangunan rumah batu diikuti warga lain. Menimbulkan gengsi
sendiri kata mereka. Hanya Sabang yang berang, mengatakan rumah panggung adalah
tradisi, adat yang harus mereka rawat. Dalam tiga tahun sejak Darman membangun
rumah batu pertama itu, hampir seluruh warga yang mampu langsung mengubah
rumah mereka menjadi rumah batu. Warga yang tidak mengubah rumahnya dianggap
berkehidupan di bawah standar. Keberadaan rumah batu menentukan tingkat sosial
mereka. Dan tidak ada yang lebih menyakitkan daripada dipandang tidak mampu oleh
warga sekampung.
“Baik, kalau begitu saya permisi dulu,” kata Darman, tidak naik ke rumah. Kakek
Songkok mengangguk singkat.
Sepeninggal Darman, Kakek menaiki tangga rumah, membuat bunyi berderak dan
kriut kencang. Ia berjalan ke kamarnya, berjingkat, menghindari lubang-lubang rapuh
kayu rumah. Kakek lalu berbaring di dipan tanpa kapuk yang dipenuhi sarung dan
baju-baju. Pikirannya dipenuhi rasa sesal karena pertengkaran dengan Sabang pagi
tadi.
Belum lama berbaring, Kakek Songkok terlonjak oleh salam Sabang. Lekas-lekas
Kakek merapikan sarung, menyambut Sabang, siap menerima gelegak marah putranya
lagi.
Tapi kali ini Sabang datang dengan penuh kelembutan. “Sudah saya putuskan.
Lanjutkan saja pembangunan rumah ini. Saya mendukung apa pun yang akan
dilakukan,” ujar Sabang pelan, terasa seperti igauan yang teduh.
“Iye, kalau memang sudah diputuskan dan itu yang paling baik, teruskan,” kata
Sabang. Kakek mengangguk-angguk senang, tak menyangka anaknya akan
mendukung.
“Tapi bagaimana denganmu? Ubah juga rumahmu jadi rumah batu, ya?” bujuk
Kakek.
Sabang hanya tersenyum kecil. Kakek merasa senyum putranya lebih dari cukup
untuk sebuah persetujuan. “Nanti rumah ini juga punyamu, kan. Keluargamu bisa
hidup baik di rumah batu, tak perlu panas-panas karena atap seng ini, nanti ganti juga
jadi genteng,” tambah Kakek kegirangan.
Ketika rumah batu itu rampung, Kakek mengadakan syukuran kecil. Kepala
kampung yang diundang memberikan sambutan betapa bijak keputusan Kakek
Songkok untuk mengubah rumah, dan memuji betapa indah rumah-rumah batu di
kampung yang ia pimpin. Sebelum syukuran, Sabang dipanggil, tapi yang dicari tak
ada di rumah. Acara tetap berjalan tanpa kehadiran Sabang.
Masih subuh, saat akan bersiap ke kebun, Sabang menghampiri ibunya, di depan
rumah. Kakek minum kopi di teras.
“Ke mana saja ko? Kenapa tak pernah datang? Mau ke mana lagi?” tanya Kakek
melambai pada Sabang.
“Saya mau pindah ke Ratte. Tak ada lagi yang sanggup saya bikin di sini, rumah
kita juga sudah berubah,” ujar Sabang menahan isak. Ia menggendong ransel. Di
motornya ada satu tas besar lagi, dipegang oleh Sarti, istri Sabang. Ia akan tinggal di
kampung istrinya di Ratte, letaknya di balik bukit. Di sana ia bisa tetap tinggal di
rumah panggung, terhindar dari tekanan untuk mengubah rumahnya menjadi rumah
batu.
“Tak apa. Rumah saya berikan pada Darman untuk anaknya, mau dijadikan rumah
batu juga. Semua kan sudah aman dalam rumah batu. Lenyap kenangan kita, hilang
juga saya,” jawab Sabang menghidupkan motornya. Ia berlalu, sedih.
“Saya sudah berusaha tahan. Dia tak mau dengar, aih,” tiba-tiba Darman datang,
berusaha selekas mungkin sampai pada Kakek. Sabang sudah tak terlihat lagi.
Kakek Songkok duduk dengan tatapan kosong, matanya sembab, bayangan Sabang
semakin jauh. Deru motornya kian sayup, begitu jauh. Angin tak kuasa lagi
mengantarnya.
Lina PW, lahir dan besar di Pulau Dewata, Bali. Memulai menulis sejak sekolah
menengah dengan menuangkan ide dan pengamatannya melalui tulisan jurnalistik.
Lina pernah menjadi wartawan lepas di beberapa media lokal dan kontributor kisah
perjalanan di sejumlah media nasional. Tulisan-tulisannya antara lain dibukukan
dalam antologi Merajut Mimpi di Sudut Negeri dan Kerlip Cahaya di Perbatasan. Tahun
2016, ia mengikuti workshop penulisan cerpen yang diselenggarakan harian Kompas.
Kini Lina menetap di Bali, bersama teman-temannya, ia tengah merancang komunitas
menulis bagi kaum belia.
AHMAD TOHARI, CERPEN, KOMPAS
Di sekitar jalan simpang tiga dekat pasar, nama Paman Klungsu sudah lama
mapan. Dia adalah sosok yang punya kuasa di tempat itu. Dengan andalan lengking
peluitnya, Paman Klungsu bisa mengatasi kemacetan lalu lintas, terutama di pagi hari.
Pada saat itu, para pedagang laki-laki dan perempuan seperti beradu cepat mencapai
pasar. Mereka naik sepeda atau motor dengan dua keranjang di bagian belakang.
Puluhan anak SMP dan SMA dengan motor yang knalpotnya dibobok juga berebut
keluar dari jalan kampung ke jalan raya. Tanpa helm, tanpa SIM. Tetapi mereka
kelihatan tak peduli dan amat percaya diri. Guru-guru SD, beberapa di antaranya
sudah bermobil ikut menambah kepadatan lalu lintas di simpang tiga itu. Maka, orang
bilang, untung ada Paman Klungsu yang dengan lengking peluitnya bisa memuat
semua menjadi lancar.
Polisi lalu lintas belum pernah datang di sana. Tetapi, Paman Klungsu biasa
memakai rompi lusuh bercap “Poltas Swakarsa” dengan tulisan spidol. Entah siapa
penulisnya. Selain rompi lusuh warna pupus pisang yang berpendar, Paman Klungsu
juga melengkapi diri dengan peluit plastik warna merah. Meskipun kecil, suara peluit
itu amat nyaring dan terbukti wibawanya ditaati oleh para pengendara. Orang-orang
sering bertanya mana yang paling berwibawa di simpang tiga itu; sosok Paman Klungsu
atau peluitnya.
Pada awalnya Paman Klungsu sering dicibir orang. “Ah, kamu cuma polisi non-
batu, polisi-polisian. Kamu hanya berani mengatur pedagang dan anak sekolah, tapi
tidak berkutik bila yang lewat pejabat atau moge. Kamu juga selalu mengistimewakan
Yu Binah. Kalau perempuan itu lewat selalu kamu bukakan jalan.”
Ketika menerima cibiran itu, Paman Klungsu hanya diam. Namun sebenarnya dia
sungguh tersinggung. Jadi suatu kali dia bergerak cepat ketika ada sebuah mobil
bersipongah mau melanggar aturannya. Dengan langkah terpincang-pincang, Paman
Klungsu menghadang mobil bagus berpelat merah itu. Paman Klungsu berdiri tepat di
depan mobil, tangan kanannya tegak lurus. Tetapi, kaki kirinya bersijingkat karena
lebih pendek. Peluitnya melengking-lengking sekerasnya. Pengendara mobil itu
mendengus dan berhenti dengan mata membulat. Kemarahan muncul penuh di
wajahnya. Tetapi, Paman Klungsu bergeming. Dan di luar dugaan Paman Klungsu
semua orang di simpang tiga bertepuk tangan mendukungnya. Peluit Paman Klungsu
melengking makin nyaring dan bertubi-tubi. Tangan kanannya tetap menjulang ke
atas. Orang- orang bersorak makin riuh.
Sejak peristiwa itu, Paman Klungsu makin percaya diri dan merasa lebih gagah.
Dia senang karena ternyata orang-orang berada di pihaknya. Maka, dia mengulangi
sikap itu; tidak mengutamakan siapa saja yang lewat. Juga barisan puluhan moge yang
menderu menggila dari barat pada Jumat dan menggelegar pongah balik dari timur
pada Ahad. Maka, Paman Klungsu dengan peluitnya adalah sosok kekuasaan yang
nyata di simpang tiga itu. Sayangnya, orang-orang juga masih jadi saksi peluit Paman
Klungsu tak pernah melengking nyaring terhadap Yu Binah. Bila dia lewat, Paman
Klungsu selalu mendahulukannya, dengan keramahan yang nyata pula. Terhadap Yu
Binah, peluit Paman Klungsu seakan bisu.
Ketika sedang istirahat pada suatu tengah hari di emper toko, ada orang bertanya,
“Ah, kamu ternyata tetap mengutamakan Yu Binah. Ada apa ya? Awas, Yu Binah punya
suami; kamu jangan macam-macam.”
Pertanyaan itu membuat Paman Klungsu ketakutan. Wajahnya mendadak beku.
Bibirnya gemetar. Dia tergagap, dan kata-kata yang kemudian diucapkan terdengar
patah-patah.
“Yu Binah? Iya. Dia memang punya suami. Dan saya tidak mengapa-apakan dia.”
Paman Klungsu gugup. Namun, lama-kelamaan bicaranya lebih tertata. Katanya, dia
banyak berutang budi kepada Yu Binah. Penjual nasi itu suka memberinya rames
lengkap berapa pun Paman Klungsu membayarnya. Menyadari uangnya sering tidak
cukup, tambahnya, dia biasa hanya minta nasi dan air putih. Lauknya cukup kecap
dan sambal yang memang disediakan cuma-cuma. Tetapi, Yu Binah tetap memberinya
nasi rames lengkap dengan taburan bawang goreng, tahu atau tempe, bahkan kadang
ikan juga.
“Taburan bawang goreng di atas nasi hangat, ditambah sambal dan kecap, wah!”
“Itu seperti tangan orang menari, atau apa. Itu pantes banget, perempuan banget.
Tidak semua perempuan bisa seperti itu,” tambah Paman Klungsu.
“Ah, kamu mengada-ada saja. Cuma bawang goreng dan gerak tangan perempuan
menyiduk nasi mengapa kamu begitu terkesan?”
Jawaban Paman Klungsu keluar lagi setelah dia berdiam diri. Dia mengaku
dirinya orang perasa sehingga mudah tersentuh oleh keanggunan yang tampak
olehnya. Apalagi, tambahnya, keanggunan gerak Yu Binah ketika menyiduk nasi selalu
disertai ketulusan yang nyata terlihat di wajahnya.
***
Ini jam 9 pagi, lalu lalang di simpang tiga sudah mereda. Anak-anak sekolah, para
guru, dan pegawai sudah lama sampai ke tempat kerja masing-masing. Yang masih
berkendara lewat simpang tiga hanya orang-orang yang mau pergi atau pulang dari
pasar. Udara mulai panas dan suara lengking peluit buat sementara tak terdengar.
Karena tidak padat, arus kendaraan bisa mengalir lancar meskipun tanpa lengking
peluit Paman Klungsu. Ke mana dia?
Dengan bekal uang seribu lima ratus pemberian tiga sopir yang menyadari perut
siapa pun harus diisi nasi, Paman Klungsu masuk ke warung Yu Binah. Di depan pintu
warung lelaki pincang itu berpapasan dengan dua pedagang yang baru selasai makan
nasi rames. Paman Klungsu duduk sendiri, meletakkan peluitnya di atas meja, lalu
menyulut rokok. Yu Binah menyambutnya dengan senyum. Ah, Paman Klungsu tidak
akan melepaskan peluang menikmati keanggunan gerak Yu Binah ketika perempuan
itu sedang menyiapkan nasi rames. Atau, barangkali Paman Klungsu sulit menjawab
bila ditanya, mana yang lebih dia sukai, keanggunan gerak Yu Binah atau nasi
ramesnya.
“Ya, tidak apa. Ah, sejak pagi kamu kerja keras tiup-tiup peluit di simpang tiga.
Jadi perutmu tentu lapar. Sekarang makanlah sampai kenyang.”
“Ya, itu kan biasa. Kamu jangan terlalu perasa. Kamu sudah lama mengenal aku,
kan?”
Yu Binah memutar badan, mengambil satu piring lalu bergeser ke dekat wadah
nasi, mengangkat ciduk. Paman Klungsu menatapnya dari samping dengan mata tanpa
kedip. Rokoknya dibiarkan tak tersentuh di atas asbak dengan asap terus mengepul.
“Itu betul sebuah lenggang yang pantes banget, dan aku tidak akan bosan melihatnya,”
ujar Paman Klungsu dalam hati. Dan kemudian hatinya merasa sejuk seperti diguyur
air ketika Yu Binah menyorongkan piring itu. Isinya penuh; nasi putih dengan taburan
bawang goreng dan sayur buncis. Wadah sambal, botol kecap, dan segelas air putih
disorongkan juga.
Suara itu terasa seperti dendang alam di telinga Paman Klungsu. Ketika sekejap
menengadah, Paman Klungsu juga melihat wajah tulus itu. Mata yang jernih,
senyuman yang polos, sederhana. Paman Klungsu menunduk, memperhatikan rokok
di asbak yang hampir habis tanpa diisap. Menarik napas panjang, lalu menarik piring
lebih dekat. Aroma bawang goreng membangkitkan seleranya. Dan Paman Klungsu
sadar, harga nasi rames yang sedang dimakan pasti di atas seribu lima ratus.
Selesai makan, Paman Klungsu minta diri dengan cara orang yang amat mengerti
berterima kasih. Meskipun tahu dari jam sembilan sampai jam satu lalu lintas di
simpang tiga tidak ramai, Paman Klungsu tidak mau terlalu lama meninggalkan tempat
itu. Namun, sampai di depan pasar Paman Klungsu harus berhenti. Yu Binah
memanggil-manggilnya dari belakang. Yu Binah berjalan tergesa-gesa, tangan kirinya
menjimpit sesuatu dengan ibu jari dan telunjuk. Menahan rasa jijik. Tangan kanannya
menutup hidung dan mulut.
“He, ini, peluitmu tertinggal. Idih, ampun! Baunya busuk sekali,” kata Yu Binah
dengan suara teredam oleh bungkaman tangan sendiri. “Peluitmu selalu kena ludah
tapi tidak pernah kamu cuci ya? Idih, minta ampun busuknya!”
“Begitu ya, Yu? Tetapi, peluitku amat penting. Bunyinya berkuasa mengatur
simpang tiga,” jawab Paman Klungsu sambil berusaha menangkap peluit yang
dilemparkan Yu Binah ke arahnya.
“Iya, lah, aku tahu. Namun, mengapa peluitmu yang punya kuasa itu harus bau
busuk? Ah, cucilah barang busuk itu. He, dengar. Kamu jangan ke warungku sebelum
peluit itu kamu cuci. Benar ya?”
Bukit Cahaya
“Namaku Rinai,” katamu, “Aku ingin mengendarai kuda terbang. Aku juga ingin
mencari cahaya bersama malaikat. Di desaku sudah tak ada lagi cahaya. Apakah kau
tahu di mana cahaya disembunyikan?”
“Kau harus mencari dua hari ke arah barat untuk mendapatkan bukit itu. Pada
hari pertama kau akan bertemu dengan sungai jernih dan sepasang kijang. Setengah
hari kemudian kau akan bertemu dengan perempuan buta. Setelah itu kau baru
bertemu dengan petapa penjaga bukit. Petapa itu yang akan menunjukkan di gua mana
cahaya itu disembunyikan.”
Perempuan kecil itu tidak menjawab pertanyaanmu. Ia merasa kau telah bertanya
sebagai pria bongkok yang teramat tua.
***
Kau ragu-ragu. Kau merasa tak mungkin bisa berada di punggung kupu-kupu.
Kau kemudian melompat ke punggung kupu-kupu itu. Kau kaget karena tiba-tiba
sudah berada di punggung satwa indah itu. Kau tidak berani mempersoalkan apakah
kau yang mengecil atau kupu-kupu yang berubah menjadi raksasa.
“Karena tanpa cahaya aku tidak bisa menggambar semut yang menghajar seekor
gajah di hutan yang jauh dan terpencil.”
“Semut menghajar gajah?”
“Ya. Aku juga tidak bisa menggambar ulat yang menelan gunung jika tidak ada
cahaya.”
***
“Ah, kau masih terlalu kecil untuk tahu segala yang terjadi di seluruh semesta.”
***
TENTU saja kau tetap berusia tujuh tahun ketika kupu-kupu itu makin
mengajakmu meninggalkan hutan. Meninggalkan pohon-pohon. Meninggalkan bunga-
bunga berduri. Meninggalkan ular-ular dan danau kecil.
“Apakah kau tahu siapa perempuan kecil yang memintamu terbang bersamaku?”
tiba-tiba kupu-kupu itu melontarkan pertanyaan tak terduga.
“Menipuku?”
“Sebenarnya cahaya yang kau cari tak berada di barat. Cahaya itu memang berada
di Bukit Cahaya, ditunggu oleh seorang petapa, tetapi berada di arah timur hutan.
Cahaya itu sebenarnya muncul dari sorot mata seekor naga yang senantiasa tidur di
dalam gua.”
Kau tidak percaya pada ucapan kupu-kupu itu. Kau merasa sedang diuji untuk
terus atau tidak mencari Bukit Cahaya. Kau merasa lebih baik mempercayai teman
sebaya daripada ditipu makhluk lain.
“Apakah kau keberatan jika tetap mengantarku ke arah barat? Jika keberatan,
kau boleh menjatuhkan aku di sembarang tempat.”
Kupu-kupu itu kaget. Kupu-kupu itu tidak menyangka kau akan taklid kepada
perempuan kecil yang kini mungkin telah berada di dalam salah satu telur yang
bertebaran di pantai.
“Apa yang harus ditakutkan?” kau meniru kata-kata yang pernah diungkapkan
oleh kupu-kupu.
“Bagaimana kalau tubuhmu hancur dan kau mati?” kupu-kupu itu menakut-
nakutimu.
Karena menganggap kau tak memiliki kekhawatiran sama sekali, kupu-kupu yang
merasa telah teramat tua dan sebentar lagi akan mati itu justru kian bersimpati
kepadamu. Bahkan jika boleh memilih, ia tidak akan menanyakan apa pun lagi
kepadamu. Ia hanya ingin terbang secepat mungkin ke Bukit Cahaya. Ia hanya ingin
menjalankan tugas indah terakhir sebagai kupu-kupu.
“Ah, kau memang masih terlalu kecil untuk tahu makna hancur dan mati. Masih
terlalu kecil. Masih terlalu kecil.”
***
KAU berusia tujuh tahun lebih setengah hari ketika tiba di atas sebuah monumen.
Kau melongok ke bawah dan mendapatkan 7.000.000 orang berpakaian serba ungu
bersama-sama mengacung-acungkan pedang ke angkasa.
Kupu-kupu menurut.
“Para pembunuh. Sejuta orang akan berusaha membunuh sejuta kuda terbang.
Sejuta yang lain akan membunuh sejuta malaikat yang tersesat. Yang sejuta orang lagi
akan membunuh seorang raja yang dianggap menista agama.”
“Di kota ini tak ada semut, ulat, dan siput ya?” kau teringat pada satwa-satwa
yang sangat kau kagumi pada usia lima tahun.
“Tentu saja tidak ada,” kata kupu-kupu, “Jadi, kita tidak perlu terlalu lama di
sini. Jangan sampai kita terlambat menemukan Bukit Cahaya.”
***
PADA saat berusia tujuh tahun lebih sehari kau meminta kupu-kupu
menurunkan dirimu di tepi sungai. Kau menghampiri sepasang kijang. Salah seekor
kijang berbisik kepadamu, “Kelak ketika kau berusia 79 tahun, peliharalah jutaan
kupu-kupu dan kunang-kunang. Mereka akan menerangi rumahmu sepanjang waktu.”
Kau terdiam. Kau tidak tahu apa yang bakal terjadi. Kau tak mau memikirkan
apa yang bakal terjadi pada saat berusia 79 tahun. “Sekarang terbanglah lagi bersama
kupu-kupumu.” Kau pun terbang lagi.
***
PADA usia tujuh tahun lebih satu setengah hari kau meminta kupu-kupu
menurunkan dirimu di tengah hutan. Pada saat itu, mungkin siapa pun menganggap
sesuai nubuat, kau bertemu dengan perempuan buta. Kau takjub memandang
perempuan bergaun serbahitam dan bersayap itu.
“Tak perlu takjub pada apa pun. Sebentar lagi dunia hancur. Tak ada lagi yang
perlu dilihat,” kata perempuan itu.
Kau tidak paham pada apa pun yang dikatakan perempuan itu. Kau merasa
bertemu dengan hantu. Kau ketakutan. Kau pun segera bergegas meminta kupu-kupu
membawamu terbang ke arah barat, ke Bukit Cahaya.
***
TEPAT pada usia tujuh tahun lebih dua hari kau benar-benar bertemu dengan
seorang petapa. Tak mudah bertemu dengan sang petapa. Mula-mula badai gajah—
besar kecil kurus gemuk—bertebaran menghalangi kupu-kupu yang kian payah
terbang. Setelah itu koloni kelelawar, beberapa planet kecil, dan puting beliung yang
mengusung bangkai burung menabrak tubuhmu yang kian ringkih.
Memang segalanya cepat berakhir. Namun tak mudah juga menemukan cahaya
di dalam gua. Sang petapa—yang segala penampilannya mengingatkanmu pada
perempuan 79 tahun—memintamu menjawab beberapa pertanyaan terlebih dulu.
“Cahaya,” katamu.
Kau tidak tahu makna ucapan sang petapa. Kau tetap merengek agar
diperbolehkan mencari cahaya di dalam gua.
“Kupu-kupu,” katamu.
“Tak ada kupu-kupu. Yang ada kupu-kupu yang telah menjadi cahaya.”
Kau juga tak tahu makna ucapan sang petapa. Namun kau memang tak lagi bisa
melihat kupu-kupu. Kau justru melihat semacam satwa bersayap merah yang
menyilaukan mata.
“Tak ada?”
“Tak ada.”
Kau bingung. Kau merasa dipermainkan. Meskipun begitu kau berjanji tidak akan
keluar dari gua sampai cahaya itu kau temukan. Kau menunggu sang petapa berubah
jadi cahaya. Kau menunggu gua berubah jadi bagian terindah dari Bukit Cahaya. Kau
menunggu pendongeng cilik segera datang dan menunjukkan kepadamu betapa kisah
tentang Bukit Cahaya bukanlah cerita bohong untuk para pencari cahaya.
Mengapa tak kau telan saja seluruh bukit agar kegelapan segera
meninggalkanmu?
Triyanto Triwikromo adalah penerima anugerah Tokoh Seni Pilihan Tempo 2015 (bidang
puisi) untuk buku Kematian Kecil Kartosoewirjo. Ia juga menerima Penghargaan Sastra
2009 dari Pusat Bahasa untuk antologi cerpen Ular di Mangkuk Nabi. Ia antara lain
menulis Sesat Pikir Para Binatang (kumpulan cerpen 2016), Celeng Satu Celeng Semua
(kumpulan cerpen, 2013), dan Bersepeda ke Neraka (kumpulan cerita ringkas, 2016).
Sepanjang 2003-2015 telah 13 cerita Triyanto masuk Cerpen Pilihan Kompas
CERPEN, KOMPAS, RADHAR PANCA DAHANA
AKU tahu, di tiap “sakit itu”, “tak siapa pun di situ”. Kesendirian, kadangkala juga
sebuah kesunyian, memang adalah watak sakit yang sebenarnya. Tapi tidak kali ini.
“Sakit ini”, rasa sakit yang ada sekarang ini, bahkan “aku pun tidak di sini”. Entah
kenapa. Aku belum paham, apakah ini hikmah atau jati diri sakit yang sesungguhnya.
Yang melampaui kesadaran biologis bahkan kepekaan psikologisku. Ah… aku…aku
sesungguhnya tidak cemas pada “sakit ini atau itu”, aku juga tidak peduli ini watak
atau jati diri sakit yang sesungguhnya atau bukan. Apa yang kucemaskan hanyalah
kesadaran dan kepekaan itu. Adakah aku masih memilikinya?
Aku mencoba paham, jangan-jangan aku sudah “mengatasi” sakit itu, atau ini
keadaan yang “meng-atas-i” sakit ini? Aku mencoba sekuatnya untuk merasakan,
menghayati, sebagaimana biasanya sakit semacam ini datang padaku. Tapi aneh,
bahkan ajaib, untuk pertama kali aku tidak bisa mempekerjakan kesadaran fisiologis
juga kepekaan psikologisku. Akal? Sejak mula sebenarnya sudah tidak bekerja. Ia
berhenti dengan sendirinya. Ia bukan lagi sentrum atau pusat di mana seluruh
kapasitas berbicara tubuh dan perasaanku ditentukan. Akal adalah bagian yang lebih
cepat mati.
Begitupun kali ini, di tingkat “sakit ini”. Seluruh daya kukerahkan untuk
mempekerjakan kekuatan, ilmu hingga kesadaran biologis dan psikisku. Namun sekian
lama, sekian waktu yang kuanggap lebih dari cukup, aku tak merasakan apa-apa, tak
menyadari apa-apa. Apa tubuh dan emosiku sudah tidak bekerja lagi? Atau ia mati
akibat kematian otakku? Tidak. Tubuh dan emosi adalah ilmu dan kesadaran, budaya
dan peradaban tersendiri, kadang lebih kuat dari akal.
Tapi kini keduanya diam, sunyi sendiri. Apakah mereka pun mati? Apa artinya
sesungguhnya sakit ini adalah mati yang sejati? Namun mengapa aku masih bisa
melihat? Dengan penglihatan apa, dengan mata yang mana? Memang, pemandangan
yang kulihat berbeda dari biasa. Langit, awan dan bintang misalnya nampak hanya
sebagai kejembaran atau keluasan yang tak membutuhkan tepi bahkan isi.
Kekosongan ini memenuhi pandang, bahkan mataku. Bahkan seluruh diriku kini
seakan menjadi mata. Mata apa ini? Mataku yang mana? Mata siapa?
Kosong ini memadati aku seperti tenaga yang terus mengumpul tiada henti,
dengan daya atau kekuatan tak terperi. Aku seperti noktah dengan gravitasi terbesar
yang segera akan menciptakan bang, semacam ledakan yang sangat hebat. Seperti
ereksi yang tak mungkin ditahan oleh kejadian atau perasaan apa pun. Beginikah
kematian, puncak semua kesakitan, melenyapkan keseluruhan diri dengan ledakan
besar untuk mengisi kosong yang penuh ini? Bagaimana aku sanggup
menanggungnya? Tidak…tidak aku tak sanggup, Tuhan.
“Mata? Maksudmu?”
“Kamu hanya penglihatan. Hanya bisa melihat. Mungkin memahami, sedikit. Tapi
tak bisa menyentuh…merasakan, memiliki…menciptakan, apalagi.”
“Oh…betul. Tapi mata ini saja sudah begitu luar biasa. Hingga apa yang kulihat
tak mampu menangkapnya, menyimpan atau mencernanya. Tak ada sel otak
manapun, bahkan kata, huruf sekalipun dapat tersusun untuk memahami
semua…semua yang ada pada mataku saat ini.”
“Tentu saja.”
“Tentu.”
“Untuk apa?”
“Kewajiban.”
“Apa tujuannya?”
“Ya…memahami, isinya.”
“Pahamkah kamu?”
….
“Bukan sesuatu yang teranalisa, tersimpan dan tercerna dalam 1.300 cc isi
otakmu. Bukan hal yang melulu akal.”
“Maksudmu…”
“Huruf terlalu terbatas dan miskin, bagi paham yang sebenarnya. Bagi kenyataan
yang terlalu besar untuk tertangkap dan dicerna indera. Seluas apa pun akal dan
imajinasi, ia hanya sungai di samudera hidup sesungguhnya.”
….
“Sesungguhnya paham harus terjadi di seluruh bagian dirimu.”
“Bagaimana…?”
“Bagaimana…bisa?”
“Tidak akan bisa. Karena kamu sudah terjebak sejak dini. Dalam huruf.”
“Kebudayaan yang membuat keliru manusia, begitu lama.” Bibir misteri itu
tersenyum, membuat langit terbuka dan seperti sebuah mata mengintip di baliknya.
“Hah? Jadi…”
“Karena kau merasa ini matamu yang dulu, mata yang biasa, di kepala.”
….
….
Tersenyum lagi.
Kali ini langit lenyap. Semesta kosong, suwung. Aku tak dimana, tapi di sana.
Semua senyum semata.
***
SEJAK tadi, ya sejak tadi, aku berdialog. Begitu saja. Tanpa kesadaran, seperti
dengan diri sendiri, seperti mimpi yang menguap. Begitu saja. Tapi…yang ini, bukan
mimpi. Di depan mataku kini muncul satu wajah. Bukan ilusi atau fana. Nyata
sebenarnya nyata. Wanita pula. Wanita yang tersenyum. Ya, senyum yang tadi. Senyum
yang seperti ironik, mengejek, juga senang dan bahagia karena jawaban-jawaban
terakhirku tadi? Monalisa?
Bukan. Ia lebih sempurna, jauh lebih indah, terlebih kedalaman samudera di balik
pandangannya. Ia memandangku dengan cara yang membuatmu tak berdaya karena
ia memenuhi seluruh kosong yang sebelumnya memadatiku. Sinar matanya seperti
riwayat jutaan tahun peradaban manusia, menukik ke bagian terdalam hati, merenggut
dan menenggelamkanku, untuk selamanya. Untuk selamanya.
Mengapa? Karena aku merasa seperti mendapat bantalan tidur yang tidak
memberi sedikit pun rasa ingin untuk bangun. Aku henyak, seperti duduk di pelaminan
Adam.
Ah…kalimat itu diakhiri oleh nafas yang menghembuskan udara dimana molekul-
molekul penyusunnya bukan hanya menghidupkan makhluk, tapi juga benda mati.
Inilah nafas Kun, benih yang menghidupkan. Begitu pun aku. Barang mati karena sakit
ini.
Dan apa yang dilakukan wanita sepenuh semesta di hadapanku ini selanjutnya,
adalah mimpi semua lelaki dari masa paling purba. Termasuk, tentu saja, penderitaan
lelaki yang sepanjang sejarah kebudayaannya sambil berurai airmata harus menindas
perempuan karena inferioritasnya di hadapan perempuan. Wanita ini
membebaskanku. Menjadikanku lelaki sesungguhnya lelaki, memberi rasa bangga dan
penghormatan sesungguhnya. Menjadi manusia sempurna dalam inferioritasnya.
Ia tersenyum.
“Menjadi pintu terbaik atau bahkan satu-satunya untuk memahami makna dari
semesta tak terkatakan ini.”
Ia memeluk.
Ia mencium.
“Eva…tetaplah di sini. Selamanya. Atau kau akan membuatku jadi puing hina,
sia-sia.”
Hmm…ia memagutku.
“Eva…ehhh…”
….
“Ehhh…ehhhh….”
“Eva…”
Pluk…
“Kamu menangis?”
“Mengapa…mengapa menangis?”
Ia hanya bisu. Tapi matanya seperti dulu. Dengan laut yang lebih dalam, sehingga
tak ada malaikat maupun iblis mampu menjangkaunya. “Eva….”
Aku tak tahu apa yang terjadi. Dengan muka yang kuyup…entah sedih atau
gembira seperti terlukis di bibirnya…wanita segala nabi itu seperti gambar yang
merabun menjelang magrib tiba. Menjauh.
“Mengapa…mengapa Eva?”
Ia tetap menjauh. Tangan tak menggapai, jiwa pun tak sampai. Kecemasan itu
bertamu selekas dan sekuat kepergian itu. Apa yang terjadi?
“Mengapa…mengapa, Tuhan?”
Aku ingin berteriak. Tapi Eva seperti lenyap juga sebagai nama. Berganti
ketakutan yang datang seperti kepepatan dimana satu elemen udara pun tak tercipta
untuk menghasilkan nafas. Semua terasa menghimpit dan sesak. Bahkan airmata tak
tersisa. Hanya sakit. Ya rasa “sakit itu”. “Sakit ini” pun bersatu.
Tuhan.
***
Gelap.
Dengan putus asa atau frustrasi yang begitu genap, aku memejamkan mata.
Menghilang pandang. Aku ingin buta. Aku buta. Aku tak perlu mata. Betapa hikmah
besar itu tak tertanggungkan dalam kekerdilan manusiaku. Gelap…cuma gelap yang
kita rasa mampu menghindari kita dari cemas dan takut yang luar biasa.
Namun kau pun paham. Itu sia-sia, tipudaya percuma. Gelap justru
mendatangkan cemas yang memalu hatiku kian pilu. Tuhan, betapa sakitnya. Betapa
sunyi dan sendirinya, sakit seperti ini. Kenapa gelap tak mampu menutupinya, kenapa
cahaya juga tak kuasa mengusirnya. Tuhan, apa mesti kuperbuat? Masihkah aku
membutuhkan mata. Mata mana lagi?
Plak!
Plak, plak!
Ya, pipiku terasa perih, sakit bener, sehingga seperti refleks aku membuka mata.
“Apa yang kamu pikirkan, lamunkan? Perempuan itu lagi? Eva sekarang,
namanya?”
Ya, aku kenali sekali siapa yang menghadang pandangku itu. Dia perempuan yang
puluhan tahun ini bersamaku. Istri, istilah umumnya orang. Perempuan yang sudah
memberi empat anak, dan menurut dia, membantuku untuk mendapatkan jabatan
sebagai general manager di perusahaan exim tempatku bekerja sekarang.
“Dik…”
“Tidak perlu dakdik dakdik…aku mau kamu jawab jujur saja…siapa Eva?”
Plak!!
“Dik!”
Bibir perempuan itu tidak perlu monyong untuk cemberut atau marah. Tapi
monyongnya itu, yang ia sebut seksi, memang menjadi penggoda banyak pria saat aku
dulu coba memacarinya. Aku sukses. Ya menikahi dia. Menikahi sejarah masa depan
yang hampir membuatku menyesal menjadi lelaki.
Aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Seperti animasi yang berulang, suara
berdebam yang melewati tiga dinding tetangga akan menjadi musik pembuka saat ia
membanting pintu kamar tidur. Lalu seharian ia tidak keluar. Dan keluar beberapa
lama setelah aku keluar rumah menjalani general managerku.
Bila aku tidak bisa memberi jawaban memuaskan mengenai “siapa Eva”, tragik
masa depan itu terjadi lagi, jadi semacam tradisi. Aku bangun menjelang subuh,
bebenah sendiri, membuat sarapan sendiri, makan sendiri, melap mobil sendiri,
memanaskannya, dan berangkat sendiri, tanpa satu pun bisa kusalami.
Sampai bila? Siapa bisa menerka. Karena hingga bila aku bisa menjawab
pertanyaan absurd itu: “siapa Eva”? Aku memang tak mengenalnya. Tahu atau ingat
pun tak. Hanya seolah ia bayangan yang sangat buram yang pernah menjadi bagian
ingatan dari kulit, daging, kepala, hingga mataku. Tapi siapa?
Sesungguhnya aku tidak berani mengorek lebih dalam lagi. Memang masih ada
getar aneh yang membuat kudukku meremang, seperti saat aku melihat Jennifer
Lawrence berakting atau Adele bernyanyi. Hanya ada satu perasaan gelap sembunyi di
situ, ketakutan mengerikan yang tak mampu aku tanggungkan. Apa? Siapa? Mautkah
jangan-jangan itu?
Aku tak berani spekulasi lebih jauh. Saat makan siang tiba. Aku membuka tas
dan mengeluarkan kotak plastik dimana udapan yang kumasak sendiri menjadi pengisi
lunch time-ku. Di meja general manager ini. Sendiri.
Radhar Panca Dahana, terpilih sebagai Tokoh Budaya dari Badan Bahasa,
Kemendikbud RI serta dianugerahi harian Kompas, Cendekiawan Berdedikasi. Buku-
bukunya, Teater dalam Tiga Dunia (2013, Jakarta: Kemendikbud), dan Manusia Istana
(2015, Yogya: Bentang Pustaka), dan Kebudayaan dalam Politik: Kritik pada Demokrasi
(2015, Jakarta: Penerbit Mizan)
CERPEN, INDRA TRANGGONO, KOMPAS
Sumur Gumuling
Di Sumur Gumuling itu, jarum arloji tak lagi menyimpan kecemasan didera
waktu. Di sini, waktu telah istirah, rebah dalam pelukan sunyi yang perkasa.
Namun, gemuruh perasaan tetap saja memenuhi rongga dada laki-laki itu.
Perasaan gamang yang menerbitkan rasa bimbang mengiringinya memasuki lapisan-
lapisan labirin hingga ia sampai di Sumur Gumuling. Penampang sumur yang
menyerupai lubang kue donat itu menyergapnya. Juga retak-retak bangunan tembok
yang mengabarkan bangunan itu telah berusia ratusan tahun.
Mata laki-laki itu menyapu ruang sekitar. Bulu kuduknya kontan meremang tapi
dia tetap bertahan. “Di Sumur Gumuling, kamu bisa bertemu dengan Pangeran
Jonggring. Bertanyalah soal nasibmu dan keselamatanmu.” Begitu guru spiritual laki-
laki itu berpesan.
Meskipun disebut Sumur Gumuling, situs ini sangat jauh dari bayangan orang
tentang sumur pada umumnya. Tak ada air di sana. Apalagi kerek dan tali timba serta
ember. Yang bisa ditemui hanyalah lubang dengan ukuran sekitar 10 meter, dengan
kedalaman sekitar 50 meter. Di sekitarnya terdapat lima tangga terbuat dari susunan
batu bata. Tangga itu menyatu dengan tembok tinggi yang mengepung. Tak ada atap.
Orang pun bisa menatap bulan dan bintang-bintang, saat langit terang. Banyak orang
percaya, dulu di Sumur Gumuling raja-raja Mataram sering semedi untuk
mendapatkan pencerahan berupa wisik, bisikan gaib atau ilham.
Malam telah matang ketika laki-laki itu telah sampai di dasar Sumur Gumuling.
Dia pun termangu. Beberapa kali dia menghela napas agar jantungnya kembali normal
berdegup. Sekaligus juga untuk memompa nyalinya. Lama dia menunggu munculnya
Pangeran Jonggring. Dia telah menyiapkan segepok pertanyaan. Namun, yang ditemui
hanyalah kesunyian. Gelisah pun mulai berkecambah. Pulang adalah pilihan terbaik,
begitu dia membatin.
Ketika dia hendak balik arah, mendadak muncul seorang berwajah dan
berpostur tubuh sama persis dengan dirinya. Laki-laki itu terpana mengamati sosok
laki-laki asing yang kini berdiri hanya berjarak satu meter dari dirinya. Rambutnya
ikal, persis dengan rambutnya. Wajahnya oval, sama dengan wajahnya. Tubuh dan
gerakannya pun tak bisa dibedakan dengan dirinya. Bedanya, laki-laki yang
dijumpainya itu mengenakan baju dan sarung serba putih, sedangkan ia mengenakan
baju coklat muda dan celana hitam.
“Maaf, apakah kisanak ini Pangeran Jonggring?” Laki-laki itu masih bisa
menangkap wajah orang asing dalam temaram sinar lampu minyak yang menempel di
dinding. Abdi dalem keraton selalu menyalakan lampu itu, setiap hari.
“Bukan. Aku adalah dirimu. Namaku Abinaya.” Sosok asing itu mengulurkan
tangannya, menjabat tangan laki-laki itu.
Kontan laki-laki itu kaget. Nama itu sama dengan nama dirinya.
“Namamu juga Abinaya? Benar, nama kita memang sama.” Sosok misterius itu
seperti bisa membaca pikiran dan perasaan laki-laki itu.
Laki-laki itu disergap rasa heran tapi juga kagum. “Tapi namaku Abinaya
Agrapana…” Laki-laki itu mencoba mengelak.
“Benar. Akulah dirimu saat kamu nanti berusia 75 tahun. Tentu, jika kamu
masih diberi hidup.”
Sosok lelaki itu tersenyum. “Siapa Pangeran Jonggring? Di sini tak ada siapa-
siapa, kecuali kesunyian. Dan kenapa kamu heran dengan pertemuan kita? Sejak ada
dalam kandungan ibu kita, aku sudah hidup dalam darahmu, dalam detak
jantungmu….”
“Karena kamu telah jadi orang asing bagi dirimu sendiri. Bahkan, kamu tak
pernah mendengar semua ucapanku yang kukirim melalui gelembung-gelembung
darahmu. Juga saat kamu terjerat perkara gawat ini.”
“Aku tahu sejak pikiranmu bekerja, menyusun taktik untuk mengambil uang
proyek bantuan pendidikan anak-anak yatim dan orang-orang miskin dari kas
negara….”
“Waktu itu, aku sudah bilang, jangan ambil hak orang lain. Apalagi hak anak
yatim dan orang miskin. Tuhan pasti marah.”
Dada laki-laki bertambah sesak. Keringat dingin mengalir deras dari jutaan pori-
porinya.
“He. Jangan mencatut nama setan! Bisa marah dia. Setan itu sama sekali tidak
terlibat dalam perkara ini.”
“Iblis apalagi. Dia sudah lama pensiun. Dia sudah putus asa jadi penggoda
manusia, karena ternyata manusia jauh lebih cerdik, culas, licik daripada iblis. Cepat
minta maaflah pada iblis, sebelum dia meremas jantungmu.”
Kepala laki-laki itu merasa dihantam palu besar. Pusing yang membadai
membuat ia hampir jatuh. Beruntung, tangannya bisa meraih tembok.
“Kenapa kamu datang ke Sumur Gumuling? Mau tobat? Minta ampun pada
Tuhan?”
Laki-laki itu terdiam. Sunyi menguasai ruang. Hawa mendadak berubah sangat
dingin. Mendadak terdengar suara gemuruh, seperti tembok runtuh. Laki-laki itu
pontang-panting menyelamatkan diri. Beberapa saat kemudian suara gemuruh
berubah auman suara binatang.
Laki-laki itu gemetar. “Kenapa kamu lari dari pengadilan? Berapa duit yang
kamu berikan kepada mereka yang memasukkan perkaramu ke dalam peti es?
Berapa?” mata sosok asing itu menyala, “Perkaramu tidak bisa dibekukan karena di
dalamnya ada api kemarahan anak-anak yatim dan orangorang miskin. Api itu
berkobar. Membakar hingga melelehkan peti es perkara yang kalian sangka kuat.”
Laki-laki itu menunduk. Jiwanya terasa pedih disayat-sayat kalimat sosok asing
itu. Dia mencoba menggerakkan tubuhnya. Terasa sangat ngilu. Perih. Panas.
Dirasakan ada ribuan kalajengking yang merayap dalam tubuhnya. Mereka berdesak-
desakan, saling menindih bagai cendol. Kalajengking-kalajengking terus bergerak.
Menyebar. Menyegat dan menebarkan bisa. Racun itu diserap darah, menyebar ke
seluruh tubuh. Tubuh laki-laki itu membengkak. Melepuh. Menggelembung, seperti
balon raksasa.
***
“Kami bersyukur, bapak Abinaya Agrapana tetap selamat. Tim SAR menemukan
bapak dalam keadaan pingsan di Sumur Gumuling. Tempat itu memang terkenal
gawat….” Salah seorang pembesuk menunjukkan selembar surat berisi pemberhentian
penyidikan perkara. “Tapi, sekarang bapak bisa tenang. Karena ada surat ini. Silakan
baca, Pak….”
Laki-laki itu hanya bisa melihat huruf-huruf yang tampak berjatuhan dan kabur.
Seorang koleganya mencoba membacakan surat itu, lirih, tepat di telinga laki-laki itu.
Namun, yang dia dengar adalah raungan binatang hitam lalu disusul jeritan anak-anak
yatim dan orang-orang miskin. Laki-laki itu meronta, menutupkan selimut di
wajahnya. Dia terus meronta. Mencoba berlindung di balik selimut yang membungkus
seluruh tubuhnya.
Gugatan
Sudarma meninggal siang tadi karena serangan jantung, dan sore ini mayatnya
dikubur di sebuah kuburan tua yang ditumbuhi rumput ilalang yang tingginya selutut,
dan rohnya dilempar ke neraka oleh malaikat. Andaikan saja ia tidak mendengar jeritan
dan raungan orang-orang yang tersiksa, dan melihat jilatan api di kejauhan, pasti ia
akan menganggap dirinya tersesat di sebuah kegelapan malam dengan gelap yang tiada
ampun.
Ketika kesadarannya belum pulih benar, dua penjaga neraka dengan tubuh
gempal hitam, wajah bengis, dan bertaring tiba-tiba menyeretnya. “Bajingan, kau mau
bawa aku ke mana?”
Sudarma membentak dan mencoba melawan, tetapi tak digubris.
Lagi-lagi tak ada jawaban. Kedua penjaga itu berjalan lurus menembus kegelapan
malam sambil menyeret tubuh Sudarma. Setelah melewati jalan dengan kobaran api di
kiri dan kanannya, ia diseret melewati anak tangga yang tinggi, entah berapa
jumlahnya. Mungkin 2.222 anak tangga, atau mungkin 22.222 anak tangga, atau
bahkan 222.222 anak tangga.
“Siapa kau?”
“Apa maumu?”
“Kerak neraka?”
“Ya.”
“Salahku?”
“Banyak.”
“Tidak!”
“Itu aku.”
“Kau bohong.”
“Aku ada dalam napasmu, aku ada dalam darahmu, aku ada dalam pikiranmu,
aku ada dalam keringatmu, aku ada dalam pembuluh nadimu, aku ada dalam
jantungmu, aku ada dalam suaramu, aku ada …. ”
“Diam kau bajingan! Aku tidak pernah merasa bersalah, semua yang aku lakukan
adalah benar. Kau tak berhak menyeretku ke neraka. Semestinya di surga tempatku.”
“Bagaimana bisa kau bilang pencitraan? Aku telah berdoa ke semua benua. Aku
berlayar dari ujung timur ke ujung barat, dari ujung selatan ke ujung utara. Setiap kuil
aku singgahi, setiap tempat ibadah aku singgahi, dan di sana aku berdoa, aku berdoa,
dan terus berdoa. Bangun tengah malam aku berdoa, fajar aku berdoa, sebelum mandi
aku berdoa, sebelum makan aku berdoa, siang, sore, senja, sebelum bekerja, di jalan,
aku selalu berdoa. Apakah doaku masih kurang?”
“Tidak ada artinya. Doamu tidak tulus. Kau berdoa, tapi kau selalu nyinyir
mengurus orang yang tidak berdoa. Mulutmu busuk, membuat banyak orang sakit
hati. Apa kau ingat berapa pelacur yang kau sebut anjing karena tidak pernah berdoa
dan tidak kenal Tuhan, sementara kau rajin datang ke tempat pelacuran?”
Ia terdiam. Saat masih hidup, memang benar ia telah melewati semua benua
untuk berdoa. Ia mengejar Tuhan ke mana pun yang ia bisa. Dan saat perjalanannya
mengarungi semua benua untuk berdoa, ia juga tidak lupa singgah ke tempat-tempat
pelacuran terkenal dan mewah di setiap benua yang disinggahinya. Masih terdengar
jelas di telinganya dengus napas pelacur yang ditindihnya. Masih ingat dengan jelas
pula bagaimana ia mengumpat dengan kata anjing kepada pelacur yang habis
ditidurinya setelah ia menanyakan apakah pelacur itu punya Tuhan, dan pelacur itu
mengatakan tidak mengenal Tuhan, dan ia tidak pernah tahu bagaimana pelacur itu
akhirnya gantung diri beberapa bulan setelah itu karena sakit hati.
“Tapi, aku masih punya perbuatan baik. Sewaktu menjabat wali kota, aku
membangun banyak tempat ibadah, dan banyak dari tempat ibadah yang aku bangun,
biayanya keluar dari kantongku sendiri. Aku mengalokasikan dana sebesar-besarnya
untuk pembangunan tempat ibadah, hingga kota yang aku pimpin menjadi kota suci,
tempat para dewa, dan para malaikat baik.”
“Kau membangun banyak tempat ibadah, tapi rakyatmu banyak yang mengemis
di pinggir jalan. Uang yang kau sumbangkan atas nama pribadi, kau ambil dari khas
kota.”
“Apakah aku lebih percaya pada lawan politikmu daripada kemampuanku? Aku
adalah keadilan, aku bertindak seadil-adilnya kepada semua makhluk. Aku tidak
mengadakan yang tidak ada, aku juga tidak meniadakan yang ada. Aku mencatat apa
yang ada, dan sebenar-benarnya.”
“Rakyatku banyak yang menjadi pengemis, itu karena mereka malas. Mereka
malas mencari kerja, mereka hanya ingin hidup mewah, mereka tak mau berusaha.
Mereka pemalas! Sudah sepantasnya mereka menjadi kere dan mengemis di pinggir
jalan.”
“Aku sudah membantu mereka, setiap minggu aku turun ke pelosok-pelosok kota.
Aku berkeliling melihat mereka, dan kadang aku memberikan mereka bantuan dari
kantongku sendiri. Lewat anak buahku, aku juga telah mengirimkan bantuan kepada
mereka. Aku memberikan mereka bahan makanan, pakaian, dan semua yang mereka
butuhkan. Membuat banyak program agar mereka tidak miskin lagi. Tapi toh mereka
tetap miskin, mereka pemalas. Apakah aku salah?”
Sudarma terdiam. Ia tidak menjawab benar atau salah. Ia hanya ingat bahwa ia
telah melakukan yang terbaik untuk kotanya. Menjadikan kotanya kota suci, hingga
banyak para pelancong datang ke kotanya untuk berdoa, atau sekadar untuk menebus
dosa-dosa yang telah menumpuk agar dikurangi setengahnya atau bahkan dihapuskan
semuanya. Tapi dalam hal lain, ia juga pernah menggelapkan dana pembangunan
tempat suci untuk membelikan anaknya mobil, dan sebuah apartemen untuk istrinya,
dan sebagaimana yang dikatakan makhluk aneh itu. Ia juga sering menyumbang atas
nama pribadi, padahal uang yang disumbangkan itu milik pemerintah.
“Bukti?”
Makhluk aneh itu melemparkan buku yang ada di tangannya. Buku itu mengenai
kepala Sudarma yang membuatnya sedikit puyeng karena buku itu sangat tebal.
“Sudah cukup?”
“Biar kau tahu makhluk bodoh, aku pernah membantu temanku yang tidak
membawa bekal saat sekolah dulu. Seharusnya aku dapat sedikit surga.”
“Aku tahu itu, dan seharusnya kau membaca kelanjutan catatan itu.”
Sudarma membaca paragraf selanjutnya. Tercatat ia menagih uang itu dua kali
lipat keesokan harinya.
Ia menutup buku itu dan membukanya kembali dari halaman belakang. Dan
tercatat dengan jelas pula, sehari sebelum meninggal, ia meludahi seorang pemulung
yang kedapatan mencuri sepeda rusak yang tergantung di belakang rumahnya. Tapi,
dalam dua paragraf berikutnya tercatat sehari sebelum meninggal ia menyumbang
untuk pembangunan tempat suci di kotanya.
“Waktumu habis.”
“Tunggu dulu, di sini tercatat aku pernah berpuasa, dan melakukan malam
penebusan dosa sebagaimana yang dilakukan Lubdaka saat …. ”
Ia belum selesai mengucapkan kalimat itu, dan tubuhnya sudah digulung api
yang begitu besar, dan makhluk aneh yang ada di depannya tak mendengar apa pun
yang dikatakan Sudarma.
Keterangan:
Lubdaka adalah seorang pemburu yang memperoleh surga karena berpuasa dan
melakukan malam penebusan dosa saat Siwa Ratri dengan tanpa sengaja saat ia
berburu di tengah hutan. Kisah ini diceritakan dalam kitab Siwaratri Kalpa.
Febri yang baik, Pelupuk mataku hangat. Basah hidungku. Kau bilang aku tak
peka. Engkau juga seperti menimpakan seluruh kesalahan ke pundakku yang tua ini.
Karena dari 12.000 yang diasingkan selama sepuluh tahun di pulau pembuangan itu,
tak ada yang becus untuk menghasilkan tulisan yang menggugah. Jangankan
menggerakkan. Kau katakan, dan terasa seperti menghukumku: “Kakek, tahu enggak,”
begitu kau menyindir, “Anne Frank cuma 13 tahun, tapi dia begitu menukik dan agung
menghayati kecemasan, ketakutan, yang memenjarakannya di belakang lemari
persembunyian, sampai dia digerebek dan dibinasakan. Sementara catatan hariannya
menjadi warisan dunia dan lambang kekuatan manusia dalam menghadapi penindasan
yang membinasakan.”
10 Tahun kerja paksa tanpa secuil perkakas, kecuali sepasang tapak tangan dan
jari-jari yang kami terima dari Tuhan, bagaimana mungkin kau harapkan otakku
mampu melambung sebebas orang merdeka.
Aku tak mengerti, Feb. Dan aku cuma bisa bilang itu bukan citra getir pulau
pembuangan dari beribu manusia yang dihinakan. Aku bersih dari prasangkamu. Aku
tak terlibat. Apa pun yang ingin engkau katakan, ucapkanlah, namun ingat selalu, aku
kakekmu.
Kuceritakan dalam catatan yang kutulis setelah aku pulang, bebas, bahwa kami,
orang-orang rantai yang hina-dina, itu seperti muatan tak berharga dibongkar,
dikeluarkan dari perut perahu, digiring satu-satu menginjakkan kaki di tebing Namlea
yang berbau bakau. Penglihatanku menumbuk belantara. Tetapi, dengan lantang aku
berteriak di dalam hati bahwa di pulau ini kami pasti akan mampu bertahan. Manusia
bisa dikorbankan, tapi takkan mungkin dihancurkan!
Tetapi…. Ah, dasar tapol. Nasib yang lebih malang yang kami temukan. Pas
dengan keinginan kekuasaan yang tak puas-puasnya merendahkan martabat kami.
Ternyata yang kulihat itu bukan sukun, tetapi berembang yang kalau disantap bikin
mabuk. Yang menggantung menggoda itu bukan sarang tawon, tetapi rayap. Hmm…
dikira salak. Padahal, cuma rotan yang menjalar dan tegak berdiri mencari matahari.
Memang tak kasar, Feb. Tetapi, kau menyebutkan aku tak punya imajinasi.
Majal…! Hatiku tidak terluka karena label yang kau tancapkan itu. Bagaimanapun,
pedih membaca kata-katamu itu. Kau sebutkan tulisan yang kususun dengan
berkeringat itu tak lebih dari catatan kerani kelurahan yang terus merengek minta gaji
dinaikkan, sementara isi laporannya hanya mengotori halaman.
Engkau harus tahu, sepuluh tahun kerja paksa tanpa secuil perkakas, kecuali
sepasang tapak tangan dan jari-jari yang kami terima dari Tuhan, bagaimana mungkin
kau harapkan otakku mampu melambung sebebas orang merdeka. Terbang
membubung menemukan kekuatan kata. Bagaimana tidak mati kelaparan. Cuma itu
isi otakku. Otak kami. Kalau kami berkhayal, itu pastilah tak jauh dari pikiran
bagaimana menyelamatkan diri. Kalau kami ikan, maka yang kami renungkan,
kerjakan, setiap detik adalah bagaimana air bisa tetap berada di insang, di sirip, kami.
Tahukah kau bahwa khayal dan imajinasi, juga ikhtiar untuk itu, bisa berakhir dengan
kematian: dibunuh penjaga, dibunuh teman sendiri, atau bunuh diri….
Tak berarti kami mampus sudah. Tinggal sekadar daging yang mau, dan bisa
bergerak, lantaran siksaan militer yang sedang pesta kekuasaan. Kau bisa memojokkan
tikus dan membunuhnya, tetapi sebelum mati dia masih punya akal untuk
menyelamatkan sehelai nyawa. Dan itulah juga kami. Tak ada pintu untuk melawan.
Tetapi, sudah dari sananya kezaliman mesti dilawan. Dengan jalan bagaimanapun.
Kalah total kakekmu ini tak sudi. Walau tak mau mati konyol. Dan tak sia-sia aku ini
pernah menjadi sukarelawan dan anggota resimen mahasiswa Jawa Timur untuk
membebaskan Irian Barat tahun 1962 di bawah komando Soekarno.
“Dia tidak bersalah, Sersan. Saya yang mengambil seng dari gudang,” kataku
mantap.
Empat bulan aku dikurung. Tak pernah melihat matahari. Ditanya macam-
macam. Disiksa dengan rupa-rupa cara yang baru ditemukan tentara yang bengis itu
di sini. Aku dituduh mempersiapkan gudang golok untuk memberontak membebaskan
seisi pulau. Setrum, kaki meja kursi, gada besi bergerigi mendarat di sekujur tubuhku.
Kalau tak sadarkan diri, mereka cemplungkan aku ke dalam perigi. Diseret keluar.
Dipaksa makan cabai rawit sepiring penuh. Kedua mataku tenggelam ditelan pipi,
dagu, dan jidatku yang bengkak mau meletus. Digebuki sampai gempor. Aku tak
percaya bahwa aku bisa berdiri lagi. Tapi, perlu kukatakan, rasa sakit, perih, nyeri,
dari siksaan itu hanya terasa di hari pertama. Selebihnya syarafku kayaknya sudah
mati.
Dua hari selepas aku dibebaskan dari penyiksaan, diadakan apel di bawah terik
matahari.
“Hei, kalian semua, jangan coba-coba seperti Tumiseng ini, ya…!” bentak
komandan kamp menghardik tapol yang berjejer, yang dia perlakukan tak lebih dari
segerombolan tikus. “Atau kalian mau jadi umpan buaya…!” sambungnya lagi, sengit.
Aku sakit hati karena dia menodai nama yang diberikan kedua orangtuaku.
“Tumiseng,” katanya. Tumiso pencuri seng. Pedih. Tapi, baiklah, aku tak usah
membuat perkara lebih besar. Nasib pesakitan memang untuk memuaskan nafsu yang
kuasa.
“Saya perlu enam gulung lagi….” Para tapol yang berjejer kepanasan bergetar
dibuat kata-kataku itu. Dagu mereka tergantung. Melongo. Tak percaya pada setengah
manusia, kawan senasib mereka, yang baru saja berbicara.
Sersan yang berkuasa atas nyawa kami melangkah mendekati daguku. “Mau
kauapakan seng sebanyak itu?” Dia mengucapkannya dengan baik-baik, nada datar.
Tidak membentak. Aku menang dalam pertarungan tak seimbang ini, teriakku di dalam
hati.
“Komandan ’kan tahu keluarga kami akan menyusul. Seng sebanyak itu kami
butuhkan untuk membuat perabot rumah tangga. Ember, panci, anglo, teko, dan
cangkir. Juga tetabuhan guna menghibur keluarga yang datang. Supaya mereka betah.
Saya dan kawan-kawan akan bekerja lebih keras lagi untuk membuat kamp yang
Komandan pimpin ini terbaik dari seluruh kamp yang ada di pulau ini.”
Sersan itu seperti mendapat mukjizat dari ucapanku yang tak pernah dia
bayangkan. Lama dia menikam mataku. Lama sekali. Kaki para tapol pada bergeser
menunggu peruntunganku. Tiba-tiba dia mengamangkan tangan kanannya. Memberi
hormat kepadaku. Aku tegak saja. Diam. Tidak bersorak menyambut kemenangan luar
biasa ini.
Dia melepaskan topi lapangannya. “Ini,” katanya, “tunjukkan ini kalau ada yang
bertanya.”
“Sejauh mana Bung tahu tentang Kristen, kok nekat bikin gereja?” tanya tapol
berdarah Tionghoa.
“Bertahun-tahun saya membaca Injil. Sering dengan mengeja huruf dan kata-
katanya. Tentu tidak sempurna. Aku yakin gereja membebaskan. Paling tidak
membuka celah pintu dunia bagi kita,” jawabku.
Minggu hanya beberapa orang yang hadir beribadah. Kadang aku yang
memberikan khotbah singkat. Acap kali, ada pastor yang datang dari Namlea. Gereja
yang sederhana itu kemudian berubah jadi pintu menuju surga. Aku bebas berjalan
kaki ke Namlea, membantu siapa saja yang memerlukan tenagaku. Ikut memuat dan
membongkar muatan kapal. Pulang-pulang terkadang aku mengempit potongan kertas
koran di pinggangku. Koran yang usianya sudah berbulan-bulan. Untuk memahami
dunia luar, potongan koran bekas itu lebih berharga dari kitab suci. Sembunyi-
sembunyi kami bergantian seperti menghafal huruf-hurufnya yang lusuh. Kami
menyimaknya huruf-demi-huruf, kata-demi-kata. Titik koma. Mengejanya baik-baik
layaknya potongan koran yang kumal itu akan membawa kami ke daratan yang
dijanjikan.
Di kemudian hari, gereja itu pula yang menyadarkan dunia bahwa ada seorang
penulis, yang bertahun-tahun dikurung, telah berkali-kali dicalonkan untuk menerima
Nobel. Sementara Presiden Indonesia malah cuma tercantum dalam urutan teratas di
antara koruptor di seluruh dunia. Dan aku tidak mabuk dengan pencapaianku melalui
gerejaku itu. Walau aku tahu tanpa tanganku yang menyelundupkan naskah Pram ke
Namlea, dunia tak bakalan pernah membacanya.
Ingin kusudahi surat ini dengan permintaan agar kau tidak menuduh aku campur
tangan dalam urusanmu yang sangat pribadi selama kau bekerja di Jeddah ini. Engkau
bilang, Ben kayaknya kesengsem. Mengejarmu ke mana-mana. Kalau menyentuh
tangan lekaki di depan umum akan dihukum, kuanjurkan sambutlah tangannya. Cium
diam-diam. Jangan terlalu memilih-milih. Jangan sampai “Takut titik lalu tumpah.”
Aku tahu, orang Timur Tengah itu tak bisa dipegang. Mereka pasir yang mudah
berpindah kalau diterpa angin gurun. Tetapi, ingat, ngger. Percayalah kepada korban!
Ben keturunan Palestina, korban dari permainan kekuasaan. Kesepakatan dunia,
kalau Israel berdiri, Palestina juga harus menjadi keniscayaan, tegak sebagai satu
negara. Tapi, pada akhirnya aku serahkan padamu. Engkau sendirilah yang tahu
bagaimana menghadapi badai di negeri dataran gurun yang jauh itu. Kalau kau tak
percaya pada pasir, kecuali pada seruan hatimu sendiri, maka sebagai pemuja
kebebasan, aku akan menghormati pilihanmu.
Perihal Tanda-tanda
Aku selalu penasaran bagaimana nenekku bisa selalu benar tatkala menduga
bahwa kematian akan datang pada suatu malam, pagi, siang, petang atau dini hari.
Pertama kali aku mengetahui bakat semacam itu adalah saat nenek berkata
bahwa seorang yang dekat tapi jauh akan pergi bersama orang-orang asing yang tak
diketahui selain nama mereka. Pamanku yang termuda mengatakan bahwa seluruh
orang dekat kami berkumpul dekat-dekat saja, tiada yang jauh, jadi tidak akan ada
orang mati. Empat bulan kemudian paman termuda itu mati saat kapal laut yang
ditumpanginya menuju perairan Filipina lenyap ditelan badai. Ia baru bekerja sebagai
seorang mualim kapal ikan. Kami semua sudah lupa bahwa nenek pernah mengatakan
tentang itu sebelumnya.
Berikutnya, enam bulan sebelum kakek meninggal, nenek berkata bahwa akan
ada pergantian kapten kapal karena kapten yang lama harus segera berpindah kapal,
burung-burung akan mengiringinya. Lagi-lagi, tiada satu pun anggota keluarga kami
yang bekerja di kapal selain paman termuda yang telah meninggal lebih dulu dan dia
bukan kapten. Ternyata, benar terjadi pergantian kapten dalam bentuk seumpama.
Saat lebaran, kapal besar keluarga kami tak lagi berkumpul di rumah kakekku sebagai
tetua yang tertua dan ganti berkumpul di rumah adiknya yang sejak itu jadi orang
tertua di keluarga sepeninggal kakek. Lagi-lagi, kakek meninggal saat kami sudah lupa
bahwa nenek pernah berkata sesuatu tentang itu. Kakek meninggal ketika membeli
makanan burung di seberang pasar. Kami bilang ia meninggal dalam damai, yang lain
bilang kalau kakek meninggal begitu saja tanpa tanda-tanda.
“Kehidupan adalah menanak nasi,” ucap nenek saat upacara kematian ibuku
sedang berlangsung, “tak tercium wanginya sampai sesaat menjelang harus diangkat,
bau kematian adalah nasi yang hampir tanak.”
Kematian di sini memang selalu wangi, penuh bunga-bunga dan cacahan daun
pandan yang ditebarkan dalam peti atau keranda. Mungkin, untuk menutupi bau
mayat yang bisa mengungkit kesedihan. Atau, supaya kematian tidak cuma berwarna
hitam.
Aku berusaha mengingat kata-kata nenek seperti kamus mengingat lema, namun
tetap saja di saat-saat terakhir selalu saja terlupa sampai ada seorang kerabat yang
meninggal. Mungkin, karena otak tak sudi mengingat-ingat kematian. Lalu aku ingat
bahwa nasi yang sedang dimasak sudah mulai tanak, baunya bisa tercium, terasa segar
dan baru. Seperti inikah bau kematian? Nenek hanya mengernyitkan bibirnya sambil
mengangkat dandang dari atas tungku kayu kemudian memindahkan nasi setengah
matang ke dalam kukusan bambu untuk sekali lagi dimasak dengan cara diuapkan di
atas air panas yang menggelegak. Wanginya menyebar.
“Sudah, nenek tak usahlah repot di dapur,” ujar seorang kerabat, “biar kami saja
yang mengurus makanan.”
Namun nenek berkeras untuk tetap berada di pawon dengan alasan: inilah kali
terakhir ia bisa memasak untuk putrinya tercinta—ibuku. Tak ada sedikit juga raut
kesedihan di matanya, mungkin karena ia sudah lebih dulu tahu perihal kematian itu.
Ia juga pasti sadar kalau nasi yang ia masak pada kenyataannya takkan pernah
dimakan oleh putrinya, melainkan masuk ke perut orang-orang yang cuma melayat
mayatnya, banyaknya bukan orang yang akrab. Tapi, bukan itu masalahnya. Nenek
tetap menganggap bahwa kerepotannya ini (yang ia anggap tidak merepotkan) adalah
untuk putrinya sebagaimana sebelumnya ia telah memasak nasi untuk suami dan
putra bungsunya saat mereka meninggal.
Memasak nasi adalah mengolah kehidupan. Mungkin, pikir nenek hingga tak
berhenti memasak nasi meski sedang berdiri di hadapan kematian suami atau
anaknya.
Sebaliknya, aku takut pada saat-saat begini. Nenek akan mulai meracau tentang
tanda-tanda kematian seseorang yang tak diketahui, lalu berikutnya aku lupa.
Aku takut kalau aku lupa bahwa ia pernah berwasiat tentang tanda-tanda. Aku
tak takut jadi tua, tapi aku takut jadi tua dan pikun hingga melupakan perihal tanda-
tanda. Apakah saudara-saudaraku takut jadi pikun juga? Sepertinya tidak. Mereka
lebih takut pada kematian dibanding kepikunan. Menurutku, kepikunan bisa lebih
berbahaya dari kematian. Manusia disebut sebagai manusia karena kelahiran dan
ingatan-ingatannya. Tanpa ingatan, manusia takkan mengetahui apa-apa tentang
siapa dirinya. Manusia yang tak punya kenangan atas dirinya, masihkah bisa disebut
manusia? Atau mayat hidup saja layaknya.
Kerabat-kerabat—walau iba pada nenek yang bekerja keras memasak saat ada
saudara meninggal, juga enggan untuk berada dekat-dekat, sebisanya menjaga jarak.
Rupanya mereka begitu khawatir pada racauan nenek perihal tanda-tanda yang hampir
tak pernah meleset (aku tak ingat kapan racauannya pernah meleset). Mereka
bersyakwasangka tentang siapa yang dimaksudkan dalam ucapan itu. Bisa ayah
mereka, ibu, paman, adik, kakak, atau diri mereka sendiri. Sehingga, ketika hanya aku
yang cukup berani dekat-dekat nenek dalam jangka waktu lebih lama, akulah yang jadi
sasaran pertanyaan-pertanyaan mereka. Rahasia kematian selalu jadi sumber rasa
penasaran, bagaimanapun ditolak kehadirannya.
“Nenek takbilang apa-apa,” jawabku, “lagi pula, mana pernah dia menyebut
nama.”
“Iya, tapi tak mungkin ia tak bilang apa-apa. Pasti kau yang tak peka terhadap
ucapannya,” balas sepupuku.
“Kau menutup-nutupi saja karena kau sebenarnya tahu dan tak mau kami
khawatir.”
“Tidak.”
“Ayolah, ceritakan.”
“Tidak ada yang bisa diceritakan. Kalau kalian mau dengar ucapannya, kenapa
tak dekat-dekat nenek saja?”
Baru mereka semua diam dan aku kembali ke pawon menemani nenek bekerja.
Rapal doa-doa adalah suara lebah dalam sarang yang berdengung-dengung. Lalu
nenek meracau lagi.
Benarkah nenek bisa lupa pada kematian orang-orang yang dicintainya? Aku tak
bisa membayangkan apa rasanya jadi nenek yang terus menua sambil menyaksikan
suami dan anak turunannya mati satu per satu. Usianya sudah lebih dari sembilan
puluh tahun—nyaris seratus, kurasa—dan nasinya tak tanak juga, sementara nasi
yang lain sudah selesai dihidangkan. Apa rasanya jadi dia? Aku tak mengerti.
Untuk banyak hal, ingatan nenek masih tajam, namun saat ia berbicara kematian
ia seperti lupa bahwa orang yang dia bicarakan adalah kerabatnya sendiri yang kerap
terhubung darah sangat dekat. Seperti saat kami mendengar ia berkata tentang
meninggalnya seorang keponakan.
“Bunga bisa gugur sebelum mekar, tapi tetap saja bunga,” ucapnya waktu itu,
“kalau sudah gugur, biarkan saja. Nanti akan ada kuncup baru.”
Baru delapan bulan kemudian keponakan itu meninggal bahkan sebelum lahir.
Sepupuku keguguran di bulan keenam kehamilannya. Nenek sudah meramalkan
kematian sebelum ada kelahiran, bahkan sebelum sepupuku itu menikah. Ketika ia
mengatakan itu, kami semua tahu bahwa akan ada kematian lagi, namun lagi-lagi kami
lupa sampai kematian itu benar-benar terjadi. Buatku ini mengerikan, namun aku juga
tidak bisa mengingat untuk bersiap-siap atau paling tidak mengingatkan seseorang
agar bersiap-siap menunda kematian. Ini yang paling masuk akal buatku. Bahwa,
segala ucapan nenek adalah peringatan agar sesuatu bisa dibendung kedatangannya.
Tapi, bisakah kematian dibendung?
“Nek, bagaimana nenek bisa tahu akan ada kematian?” tanyaku untuk menutup
rasa penasaran.
“Mengucapkan apa?”
“Macam-macam.”
“Nenek tidak sadar bahwa dia sudah mengucapkan itu semua,” bisikku pada
sepupu-sepupu.
Aku diam lagi, mencoba mengingat-ingat. Aku lupa. Aku tak ingat apa-apa. Lalu,
sepupu terkecil berkata, “Nenek pernah bilang: ‘Maling bekerja dini hari, saat semua
orang tertidur. Yang diambil adalah perhiasan keluarga paling berharga’. Diucapkan
padamu.”
Ibuku meninggal dini hari, dan dia perhiasan keluargaku. Aku mengingatnya
dengan jelas. Membayangkan bahwa aku melupakan betapa berharganya sesuatu,
sungguh bukan bayangan yang menyenangkan. Lagi-lagi aku teringat pada nenek yang
gemar menanak nasi, menikmati harumnya sambil melupakan tanda-tanda yang
diucapkannya sendiri.
Udara dari pawon menembus ke ruang makan. Aku mencium bau nasi hampir
tanak. Aku sangat ingin mengaduk nasi setengah matang lalu menuangkannya ke
dalam kukusan. Tapi, ternyata semua nasi sudah diangkat. Mungkin, sisa-sisa bau
saja, karena dari jauh kulihat nenek sudah duduk tenang di teras belakang.
“Kau baru saja bilang: ‘Akhirnya, nasi yang ditanak nyaris seratus tahun matang
juga’. Nasi apa yang ditanak seratus tahun?”
Aku diam sambil berjalan ke teras di belakang dapur dan duduk di samping
nenekku.
“Kau mau menanak nasi?” tanya nenek dengan suara pelan, “kalau sudah
matang, jangan lupa diangkat. Waktunya selalu tepat.”
Aku menggeleng. Aku tak mau menggantikan nenek menanak nasi. Aku tak mau
tua, pikun lalu lupa perihal tanda-tanda.
Keterangan:
Pawon: dapur.
Wisnu Sumarwan, bernama lengkap Wisnu Suryaning Adji Sumarwan. Lulusan
Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta. Pernah jadi direktur program sebuah radio dan
usahawan kuliner. Pemenang 1 Lomba Cerpen Nasional #MyCupOfStory 2016
Nulisbuku.com dan Giordano Indonesia. Peserta Workshop Cerpen Kompas 2016
dengan mentor Agus Noor, Linda Christanty, dan Putu Fajar Arcana. Cerpennya
termuat dalam antologi cerpen Kelas Cerpen Kompas 2016 Cerita Para Perambah.
CERPEN, KOMPAS, MIRANDA SEFTIANA
Aku mengenal ibu sebagai perempuan yang ceria. Dia sering tertawa, meski aku
tidak benar-benar mampu mengeja apakah karena gemar saja atau dia memang sedang
bahagia. Satu hal yang pasti, banyak lelucon yang sedatar papan sekali pun mampu
memantik gelaknya. Persis seperti bocah usia di bawah lima tahun yang menganggap
anjing tercebur ke kubangan lumpur bukan sebagai masalah, melainkan ajang bermain
air dan sabun. Pekerjaan menyebalkan bagi sebagian orang dewasa karena mesti
mengulang aktivitas yang sama padahal bisa dilakukan sekali saja dalam seminggu.
Tapi aku suka ibu. Suka melihat sudut bibirnya yang tertarik nyaris mencapai
tulang pipi. Suka melihat retinanya yang coklat mengembun seperti daun ketika pagi
hari. Segalanya lebih menarik. Tentu. Daripada kau melihat sepasang bahu yang
berguncang atau lima jari yang membekap mulut dengan rapat. Aku tidak suka itu dan
mungkin ibu juga begitu.
“Kana, ambilkan arang dan sekam!” suara Ibu merambati udara. Beradu deru
mesin alkon yang melewati sungai Pangambangan di belakang rumah kami.
Aku tidak berani membantah. Sepanjang hidup pun tak pernah menganggap ibu
salah, terlebih jika sudah melibatkan Tuhan. Bapak juga begitu. Dia tidak suka
mendebat ibu. Paling tidak, demikianlah yang kutahu sepanjang kebersamaan mereka
sebagai orangtua. Meski dalam kesehariannya, lelaki dengan kumis melintang di antara
hidung dan katup teratas bibir itu berbeda minat dengan ibu.
Bapak lebih suka tanaman yang bisa dimakan, terlepas dalam kondisi mentah
atau setelah diolah. Oleh karena itu, di halaman ini kalian bisa melihat perbedaan
keduanya yang kentara. Jika ibu memilih menanam sepasang bunga kertas, putih dan
merah sebagai gerbang, maka bapak memilih menanam mangga di halaman depan.
Bila ibu lebih suka menumbuhkan bunga sri gading untuk mengawetkan pupur
basah—bedak berbahan tepung beras dan air—yang biasa dipakainya tatkala
menjajakan kembang barenteng dengan jukung hawaian, maka bapak condong
menanam sepohon belimbing wuluh di seberangnya.
Bapak suka menyantap ikan goreng, pepes, dan bakar dengan belimbing wuluh
yang dicampur irisan cabai serta bawang merah. Lantaran demikian, hampir tak
sekalipun buah bercitarasa asam sepat itu sempat menghujam tanah. Bapak akan
lebih dulu memetiknya tak lama setelah bakal bunga menjelma buah. Ia akan
menyusunnya ke dalam toples kaca, menyiram dengan larutan garam, lalu menyimpan
di rak gantung sekitar dapur. Sepanjang tahun kalian bisa melihat deretan toples kaca
berisi belimbing wuluh lunak dan berwarna kecoklatan. Bapak suka itu, ia tidak pernah
bosan, tak mau digantikan. Kami menyebutnya jaruk balimbing tunjuk.
Selain belimbing wuluh, bapak juga menaruh perhatian istimewa pada pohon
rambutannya. Sekali dalam seminggu ia akan memupuk akar rambutan yang
menyembul ke permukaan dengan gula. Setiap pagi, sesuai menyesap teh panas
buatan ibu, ia akan menyiramkan sisanya ke pokok rambutan itu. Kupikir tidak bisa
benar-benar disebut sisa, sebab bapak seperti sengaja menyisihkan tehnya lebih
banyak untuk akar rambutan. Pada masa berbunga, bapak akan lebih sering
melakukannya.
Ibu tidak pernah keberatan gula sakarnya berkurang setengah kilo setiap minggu.
Seperti bapak yang juga tidak pernah marah simpanan arang untuk membakar dan
memepes ikan berkurang demi anggrek milik ibu. Sudah kukatakan, mereka nyaris
alpa dari berbantahan.
***
Bapak tidak suka bunga. Aku tahu. Ibu tentu lebih tahu. Tapi bapak adalah lelaki
manis seumpama rambutan jenis batukan yang tumbuh di pekarangan kami. Konon
menurut cerita bapak, rambutan ini tidak bisa dipisahkan daging buah dan bijinya.
Kalian hanya bisa menikmati dengan cara mengemut hingga rasa manisnya
menyisakan hambar. Meski seperti tebu, rambutan ini tidak boleh terlalu banyak
disantap karena bisa menyebabkan batuk. Bisa jadi inilah muasal nama batukan yang
disematkan pada jenisnya.
Manisnya bapak bukan dengan kata cinta. Seumur kebersamaan dengan mereka,
aku tidak pernah mendapati keduanya bertukar panggilan sayang, jelingan menggoda
pun tidak. Ya, paling tidak, itulah yang kudapati dari teras hingga dapur. Selebihnya
barangkali menjadi rahasia yang disimpan berdua oleh bapak dan ibu.
“Kenapa Ibu memanggil Bapak dengan sebutan Bapaknya Kana, bukan kanda
atau sejenisnya?” usutku suatu waktu.
Ibu sedang merangkai kuntum melati dan kelopak mawar dengan sebuah jarum
dan benang dari serat pelepah pisang ketika aku bertanya begitu. Maka dilepaskan
segala kegiatan ke atas sebuah talam—nampan berbahan kuningan. Ibu menatapku
lama, tersenyum sesamar benang serat pelepah pisang.
“Itu cara menyapa pasangan yang dicontohkan Penghulu Zaman,” ucap Ibu lalu
kembali menusuk kuntum melati dengan jarum yang tajam. Aku meringis ngilu
menyaksikannya, terlebih saat giliran kelopak mawar yang lubangnya kentara.
Ibu tidak menyahut, ia hanya memandangiku dengan nanar. Aku balik menatap
mata ibu, menelusuri kebohongan dari retina secoklat air rawa. Tidak ada dusta di
sana. Hanya rahasia yang terlampau dalam untuk diselam.
***
Senampan ketan berhias nanas merah yang dibentuk bagai kepala merak telah
tersaji di depan pelaminan yang berhias arguci. Di sekeliling ketan itu terselip daun
pisang yang dilipat kerucut. Lalu di atas ketan putih yang dimasak dengan santan
berderet-deret irisan telur dadar tipis membentuk gelombang. Kami menyebutnya
lakatan hadap-hadap. Sajian wajib di hari pernikahan perempuan Banjar.
Pada kiri dan kanan pelaminan berdiri kambang sarai—hiasan kertas berwarna-
warni yang dililit ke lidi—yang ditancap pada vas kuningan. Kuning, merah, dan hijau
menjadi warna dominan. Kuning bermakna sakral, merah terselip makna kejujuran,
sedangkan hijau berarti sejuk. Itu kata pahiasan—perias pengantin tradisional
Banjar—yang kini sedang berusaha menyematkan kembang nagasari pada galung.
Bunga ini istimewa, dikumpulkan oleh bapak dan dirangkai oleh ibu.
Perempuan jelmaan yang menuju senja itu menepuk kedua pundakku. Dia
menunduk, kami bertatapan sesaat di pantulan cermin meja rias yang dihadiahkan
calon suamiku sebagai tanda kesanggupannya memenuhi syarat antaran tikar
kalambu; mengisi kamar mempelai wanita dari teras hingga langit-langitnya.
“Melati yang kuncup pertanda kau masih dara,” bisiknya membuat rambut halus
di sekujur tengkukku meremang.
Mataku memicing tajam ke sudut dinding kamar. Di sana, foto pernikahan bapak
dan ibu terpajang, belum dipindahkan ketika pahiasan meminta kamar mereka
menjadi kamar pengantin. Sebab ukuran kamarku yang sempit untuk tukang rias dan
perlengkapannya masuk. Mendadak anganku berterbangan.
Melati pada surai nagasari ibu yang telah mekar, akta kelahiranku yang hanya
memuat satu nama orangtua, ibu yang lebih suka menyatukan kelopak bunga yang
telah tercerabut dari kuntum, bapak yang sering mengumpulkan bunga ranggas tapi
sejujurnya lebih suka menumbuhkan taman yang bisa ia makan. Aku sadar sekarang,
mereka bukan selalu sepaham, melainkan hampir tak pernah bercakap kecuali perihal
anak. Adakah seluruhnya kembang barenteng ibu; rangkaian bunga yang dibawa orang
berduka pada pemakaman orang tercinta?
Akhir Perjalanan
Gozo Yoshimasu
Puluhan pemuda melangkah cepat sambil berteriak riuh menuju markas tentara
Jepang di pojok jalan. Dengan bentangan tangannya, seseorang yang bertubuh besar
menghentikan langkah para pemuda yang dibakar amarah itu. Lelaki bertubuh besar
itu maju ke depan.
“Mana komandan kamu. Panggil dia. Kami datang untuk mengambil semua
senjata yang kalian miliki,” katanya kepada para pengawal.
Gozo Yoshimasu, yang telah mendengar gemuruh teriakan ketika para pemuda
itu semakin mendekati markas mereka, melangkah keluar sebelum pengawal
memanggilnya. Ia berdiri tenang. Semua pemuda yang berada di depannya juga diam.
Rasa takut belum meninggalkan wajah mereka. Susah rasanya melepaskan diri dari
rasa takut, benci, dan amarah setelah lebih dari tiga tahun ditindas oleh tentara-
tentara bermata sipit itu. Tentara Jepang dikenal kejam dan gemar menyiksa.
“Boleh saya tahu mengapa kalian datang ke markas ini?” Ia bertanya tetap dengan
tenang.
Tanpa harus menunggu lama, ia mendengar teriakan lelaki bertubuh besar yang
berdiri di depannya.
“Kami datang untuk mengambil senjata yang kalian miliki. Sebagai bangsa yang
kalah perang, tentara kalian tidak berhak memiliki senjata lagi. Serahkan senjata itu
kepada kami dan kami tidak akan mengganggu tuan dan anak buah tuan.”
Peristiwa yang sedang dihadapi Yoshimasu bukan hanya sekali terjadi di negeri
ini setelah Jepang menyatakan takluk kepada Tentara Sekutu dalam Perang Dunia II.
Karena itu, Yoshimasu tidak terkejut. Ia diam dan berpikir. Para pemuda di depannya
mulai tidak sabar dan kembali berteriak-teriak dengan amarah walaupun tetap
dibarengi rasa takut.
“Senjata kami hanya akan dilucuti oleh Tentara Sekutu, bukan oleh pihak lain.
Jika kami memberikan senjata-senjata yang kami miliki kepada kalian, kami dilarang
keras untuk melakukan itu dan akan ditindak tegas oleh Tentara Sekutu.”
“Serahkan sekarang juga,” ujar lelaki bertubuh besar itu. “Jika tidak, kami akan
menyerbu masuk dan korban akan berjatuhan di pihak tuan. Tuan lihat betapa
banyaknya pemuda di belakang saya.”
Gozo Yoshimasu menatap mata lelaki bertubuh besar kemudian menatap semua
pemuda di depannya. Kapten yang oleh rekan-rekannya dikenal lembut ini tampak
berpikir untuk mengambil keputusan. Ia sadar betul bahwa para pemuda di depannya
benar-benar membutuhkan senjata karena mereka ingin mempertahankan
kemerdekaan yang baru mereka kumandangkan. Namun, jika ia memberikan senjata
yang mereka miliki, Tentara Sekutu akan memberikan hukuman berat kepadanya. Ia
akan dianggap membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tentara Sekutu tidak
menghendaki itu. Mereka memiliki rencana sendiri untuk bangsa ini.
“Masuklah dan ambillah semua yang kalian inginkan,” ujar Yoshimasu dengan
suara keras dan tegas.
Mendengar keputusan itu, semua pemuda menyerbu masuk dan merampas
semua yang terdapat di dalam markas. Yoshimasu menyaksikan semua itu dengan
perasaan tercabik. Namun, ia merasa keputusannya tersebut paling tidak akan dapat
menyelamatkannya dan anak buahnya. Namun, kenyataan berkata lain. Salah seorang
pemuda yang menyerbu ke markas menodongkan ujung bambu runcingnya ke leher
Yoshimasu. Lelaki bertubuh besar merampas bambu runcing itu dari pemiliknya dan
melemparkannya ke halaman markas. Ia tidak ingin Yoshimasu cedera.
Pemilik bambu runcing yang sedang diamuk amarah merampas senapan dari
tangan temannya yang baru mengambil senjata itu dari markas. Ia mengarahkan
senjatanya ke tubuh Yoshimasu yang tidak berdaya. Lelaki bertubuh besar berteriak
mencegahnya. Dengan sekuat tenaga, pemuda pemilik bambu runcing itu menusukkan
sangkur yang melekat di senapan itu ke dada Yoshimasu. Perwira Jepang itu bersimbah
darah. Lelaki bertubuh besar itu mencoba menolong Yoshimasu. Tapi, saat itu juga
sangkur yang masih merah dengan darah itu diarahkan sang pemuda ke dada lelaki
bertubuh besar itu.
***
Kekejaman yang dilakukan para pemuda yang berada di belakang lelaki bertubuh
besar itu tak pernah dapat diusirnya dari ingatannya. Dua puluh tahun kemudian,
kekejaman yang serupa terjadi di negeri ini. Anak lelaki bertubuh besar juga gagal
mencegah kekejaman teman-temannya. Ia tidak dapat berbuat apa-apa ketika para
anggota ormas yang dipimpinnya membantai puluhan orang yang belum tentu bersalah
akibat gejolak politik yang tidak diinginkan.
Ketika anak semata wayang itu mengutarakan perasaan bersalahnya karena tidak
dapat mencegah kejadian yang memilukan itu, sang ayah, lelaki bertubuh besar itu,
berupaya menenangkannya.
“Dua puluh tahun ayah juga merasa dikejar-kejar dosa karena tidak dapat
menyelamatkan perwira Jepang itu dari kekejaman yang dilakukan para pemuda di
Tebing Tinggi itu. Seandainya Yoshimasu bersikap keras dan melepaskan tembakan ke
arah kami, ayahlah orang pertama akan tersungkur ke bumi. Tapi, Kapten Yoshimasu
mengizinkan kami masuk ke markasnya dan mengambil semua senjata yang terdapat
di sana. Ia hanya menyaksikan kami tanpa reaksi apa pun.”
“Lalu, mengapa teman-teman ayah itu harus membunuh Yoshimasu dan semua
anak buahnya?”
Lelaki bertubuh besar itu menarik napas. Ia dapat membaca semua yang
tersimpan dalam benak anaknya. Peristiwa yang membuat anaknya merasa berdosa
itu baru berlalu satu tahun. Itu pun pastilah tidak seberat yang dirasakan ayahnya
selama dua puluh tahun.
“Ketika itu kita memang terbelenggu oleh rasa cemas, takut, dan amarah sehingga
kita tidak dapat berpikir jernih. Mereka telah takluk dalam perang dan apa yang dapat
mereka perbuat sebagai pecundang terhadap kita? Mereka telah menyerah kepada
nasib dan menunggu tindakan tentara sekutu. Hal yang sama juga kau alami. Apa yang
dapat diperbuat kekuatan kiri itu setelah mereka dinyatakan terkubur di negeri ini.
Mengapa teman-temanmu harus membunuh para petani, buruh dan para ibu yang
belum tentu bersalah itu, sedangkan kaua tidak dapat menghentikannya. Mereka
orang-orang sederhana yang diperalat oleh kekuatan politik durjana. Paling tidak kau
telah berusaha menghentikan kebuasan itu, tetapi apalah artinya tenaga satu orang
menghadapi kekuatan massa.
Anak lelaki bertubuh besar menatap ayahnya. Baginya, banyak orang merasa
peristiwa sejarah di masa lampau tak perlu dikenang atau disesalkan. Semua itu harus
diterima apa adanya. Mungkin itu benar buat orang yang tidak bersinggungan sedikit
pun dengan peristiwa sejarah itu. Tapi tidak buat orang yang kehilangan sesuatu atau
terbelenggu kejaran dosa karena peristiwa sejarah itu. Anak lelaki bertubuh besar itu
mengalihkan tatapannya ke arah lain.
“Kemarin aku membaca feature menarik di koran Strait Times yang kubeli di
sebuah toko buku di bandara. Seorang laki-laki yang mengaku dirinya cucu dari
seorang perwira Jepang di Indonesia bernama Gozo Yoshimasu sedang mencari
informasi tentang makam kakeknya dan bagaimana kakeknya terbunuh. Benarkah ia
tertembak karena membangkang perintah Pasukan Sekutu? Aku rasa ayah dapat
memberikan informasi yang benar kepadanya. Alamatnya jelas tertulis di akhir tulisan
itu. Jelaskanlah, Tentara Sekutu sama sekali tidak ada urusannya dengan kematian
Yoshimasu. Jelaskan juga bahwa ayah tidak tahu di mana jenazahnya dikuburkan atau
dibuang bersama dengan mayat-mayat anak buahnya.”
Lelaki bertubuh besar itu membisu. Lama ia berpikir. Adakah manfaatnya jika ia
menceritakan peristiwa sebenarnya kepada orang yang mengaku sebagai cucu
Yoshimasu itu? Apakah tidak lebih baik aku membiarkannya berpikir bahwa Tentara
Sekutulah yang membunuh kakeknya. Dengan begitu aku dapat menyelamatkan nama
baik para pemuda yang menyerbu ke markas Yoshimasu, termasuk diriku.
Anak lelaki bertubuh besar seakan menyadari apa yang tersimpan dalam kepala
ayahnya. Agar ayahnya tidak dikejar-kejar dosa sepanjang hidupnya, ia pun
menyuarakan pendapatnya.
(Diilhami oleh buku The Dawn of Sumatra karya Takao Fusayama, diedarkan oleh
Badan Musyawarah Pejuang Republik Indonesia Medan Area (PRIMA) dan Lina
Computer Press—tanpa tahun penerbitan).
Sori Siregar. Menulis cerpen sukar dihentikannya. Karena ia menulis terus, akhirnya ia
bingung sendiri mau ke mana cerpen-cerpen itu dikirimkan. Media memang banyak,
tetapi untuk mengikuti semua media itu tentu memerlukan kerja ekstra. Karena itu,
cerpen-cerpen tersebut disimpannya sendiri. Kompas adalah tempat utama ia
menyalurkan cerpen-cerpennya.
AGUS NOOR, CERPEN, KOMPAS
Ada yang tak disampaikan ketika ia masuk penjara: mesti menyiapkan banyak
lelucon. Mungkin Join Sembiling SH lupa soal itu. Pengacara yang menangani
kasusnya itu hanya mengatakan kalau ia tak usah terlalu khawatir selama menjalani
8 tahun masa tahanannya karena segala sesuatunya sudah ada yang atur dan urus.
“Percayalah, penjara bukanlah tempat yang menyeramkan bagi koruptor,” katanya
setengah tertawa.
***
Akhirnya ia tahu. Setiap yang hadir bergiliran menyampaikan satu lelucon. Yang
paling lucu akan naik martabatnya karena akan dilayani oleh yang kalah, yakni yang
dianggap paling tak lucu. Menjadi raja dalam seminggu, yang boleh memerintah atau
mengerjai siapa pun yang kalah, misalkan menyuruh berdiri dengan satu kaki,
menangkap seekor kecoa, dicoreng wajahnya dengan spidol dan tak boleh dibersihkan
selama seminggu, memijiti tiap malam, dan bahkan menyuruhnya membersihkan sel.
Pak Hakil, mantan hakim konstitusi, sebenarnya tak pernah bisa membuat
lelucon lucu. Leluconnya nyaris sudah basi dan garing. Tapi semua yang mendengar
selalu tertawa. Misal, suatu kali Pak Hakil melontarkan tebak-tebakan, “Kenapa di rel
kereta api selalu ditaruh batu? Karena kalau ditaruh duit, pasti habis diambil kita
semua.” Ia tahu, itu hanya lelucon lama yang dimodifikasi, tapi semua tertawa.
Bahkan, ketika Pak Hakil menceritakan lelucon usang soal “kereta api yang berhenti di
stasiun karena rodanya kempes”, semua tertawa ngakak. Apa lucunya? Kemudian
Sarusi membisikinya, “Kau harus tertawa meski tak lucu. Pak Hakil sudah cukup
menderita karena divonis seumur hidup, jadi anggap saja kita sedekah tawa karena
ingin membuatnya terhibur. Ingat, menyenangkan orang lain itu dapat pahala. Ha-
ha….”
Kemudian, ia memahami, soal masa hukuman itu termasuk hal penting yang
harus dihormati. Semakin lama masa hukuman, maka akan semakin tinggi
kehormatannya. Yang lebih rendah vonis hukumannya harus menghormati yang
dihukum lebih lama di atasnya. Bila lebih dari 15 tahun penjara, ibaratnya berpangkat
setingkat jenderal. Yang dihukum seumur hidup langsung dapat gelar jenderal bintang
lima anumerta. Kalau cuma dua tiga tahun, itu kelas kopral.
Jumlah yang dikorupsi juga menentukan martabat. Bung Jayus, pegawai pajak
yang masih muda tapi menilep miliaran, dipandang lebih terhormat dari Pak Muad
Arim, bupati yang sudah berumur 70 tahun, tetapi hanya kesandung uang recehan
ratusan juta. Makin banyak uang makin terpandang dan disayang. Setidaknya makin
disayang para sipir penjara, kata Mas Unas, mantan ketua sebuah partai. Mas Unas
tetap merasa dirinya hanya dikorbankan. “Saya tak bersalah. Terbukti saya tidak
menerima satu rupiah pun…, sebab yang saya terima dalam bentuk dollar.” Lelucon-
leluconnya sering mengejutkan.
Di pertemuan malam Rabu itulah—yang sering dibilang Mas Unas sebagai
“tadarus lelucon”— setiap yang hadir seperti ingin saling menghibur, tetapi kadang juga
terasa ingin meneguhkan kehormatan dan martabatnya dengan saling sindir saling
ledek. Dan Mas Unas kerap menjadi bintang dengan lelucon-leluconnya. Bung Jayus
sering kena sasaran. “Kamu tahu, pajak itu mudah, yang sulit membayarnya,” kata
Mas Unas. Semua tertawa. Bung Jayus mesam-mesem. “Orang pajak itu paling pelit.
Saya punya kawan, perempuan yang pacaran dengan pegawai pajak. Tiap makan,
selalu perempuan itu yang bayar. Ketika perempuan itu kesal, pegawai pajak itu bilang,
‘tenang, kamu yang bayar makannya, saya yang urus pajaknya’.” Kembali semua
tertawa.
“Tapi harus diakui, di antara kita semua, pegawai pajak yang akan gampang
masuk surga. Ketika mau masuk gerbang surga, tiap orang akan ditanyai malaikat.
Nah, ketika sampai di gerbang surga, justru pegawai pajak yang malah menanyai
malaikat, ‘Tolong perlihatkan SPT pintu gerbang surga ini?! Apakah sudah melunasi
pajak pintu gerbang surga?’ Mendengar itu, malaikat cepat-cepat menyuruh pegawai
pajak itu masuk surga biar urusan pajak nggak diungkit-ungkit.”
“Mas Unas,” timpal Bung Jayus, “semua orang itu jujur, kecuali soal pajak.”
Kelebihan lain Mas Unas ialah piawai memberi konteks leluconnya dengan apa
yang aktual. “Saya baru baca berita, kalau saat ini jumlah orang miskin hampir 100
juta. Sementara ekonomi hanya dikuasai oleh 10 orang terkaya. Menurut saya, ini
berita bagus.”
“Lho kenapa?”
“Artinya, di negeri ini lebih gampang jadi orang kaya ketimbang jadi orang miskin.
Kalau mau jadi orang miskin, harus bersaing dengan 100 juta orang. Tapi kalau mau
jadi orang terkaya, saingannya hanya 10 orang. Artinya, kalau nanti kita keluar, kita
masih tetap punya harapan untuk makin kaya karena hanya bersaing dengan 10 orang
itu.”
Semua nyengir.
Menyiapkan lelucon seminggu sekali menjadi hal yang paling menggelisahkannya
dalam penjara ini. Memikirkan lelucon yang harus disiapkan untuk pertemuan Rabu
malam itu saja sudah membuat perutnya mual. Ia selalu tak pernah bisa yakin dengan
lelucon yang ia anggap lucu. Barangkali lelucon itu memang lucu, tapi ia tak pernah
bisa menyampaikannya sebagai kelakar yang menarik. Ia pasti langsung keringat
dingin ketika sampai gilirannya.
Hal yang semakin membuat gelisah, ia selalu merasa, apa pun leluconnya, tak
pernah ada yang menganggap lucu. Ia pernah menceritakan lelucon politik paling lucu
tentang Stalin yang setiap pagi selalu mengulangi lelucon yang sama pada para
pengawalnya, dan para pengawal itu tetap tertawa; sebab bila ada yang tak tertawa,
langsung ditembak. Itu satir, tapi tak seorang pun tertawa ketika ia menceritakannya.
Lalu, di pertemuan berikut ia memilih humor asosiatif dan menyerempet porno.
Jangankan ada yang tertawa, tersenyum tidak. Malah ia jadi bahan ledekan. Ia juga
sudah mencoba teka-teki konyol, tetap saja dianggap kalah lucu dengan lelucon Pak
Hakil yang sama sekali tak lucu.
Bahkan, yang membuatnya tak paham sekaligus geram, ia pernah dengan sengaja
memilih lelucon yang sama dengan lelucon Pak Hakil: tentang kenapa anak babi selalu
jalan tertunduk sebab malu punya ibu babi. Ketika Pak Hakil yang cerita, semua
tertawa terbahak. Tapi saat ia menceritakan lelucon yang sama itu, semua diam. Ia tak
bisa marah kepada Pak Hakil sebab sebagaimana “kode etik” sesama tahanan, Pak
Hakil lebih terhormat (hukumannya lebih lama) dan lebih bermartabat (jumlah
korupsinya lebih banyak).
Selama setahun mengikuti malam lelucon itu, ia tak pernah terpilih sebagai yang
paling lucu. Ia menyampaikan rasa penasarannya kepada Sarusi, tapi rekan satu
selnya menghindar menjawab. Ia yakin Sarusi menyembunyikan rahasia. Ia selalu
memancing agar Sarusi menjelaskannya.
“Kau tak tahu?” kata Sarusi suatu malam, saat ia terus mendesaknya. “Kamu
menutupi banyak fakta, hingga hanya kamu sendiri yang masuk penjara. Kamu
melindungi semua atasanmu yang terlibat. Oleh mereka yang diselamatkanmu, kamu
dianggap hebat, pahlawan penyelamat. Tapi bagi kawan-kawan di sini, kamu hanyalah
seorang pengecut. Karena tak pernah berani menyebutkan nama-nama yang ikut
korupsi bersamamu.” Sarusi menatapnya. Ia merasakan kesunyian yang membuatnya
kehilangan semua kebanggaannya.
Membayangkan sisa hukuman dengan harus memikirkan dan menyiapkan
lelucon setiap minggu sungguh-sungguh menjadi siksaan yang lebih mengerikan
dibanding hukuman dalam penjara yang mesti dijalani. Membuatnya merasa seperti
pecundang yang sedang dihukum dengan lelucon-leluconnya sendiri.
Jakarta, 2016-2017
Agus Noor, belakangan lebih dikenal sebagai sutradara dan penulis lakon dalam seri
pertunjukan Indonesia Kita. Dikenal piawai menggabungkan para talent dalam satu
gagasan cerita yang utuh dan menawan. Bukunya yang sudah terbit, antara lain,
Bapak Presiden yang Terhormat, Memorabilia, Selingkuh Itu Indah, Rendezvous,
Matinya Toekang Kritik, Potongan Cerita di Kartu Pos, Sepotong Bibir Paling Indah di
Dunia, dan Ciuman yang Menyelamatkan dari Kesedihan. Agus berdomisili di
Yogyakarta, tetapi lebih sering bekerja di Jakarta.
CERPEN, FAISAL ODDANG, KOMPAS
Nama saya Rahing, usia delapan tahun lebih. Saya baru saja membunuh kakak
saya. Lehernya saya potong pakai parang milik gerombolan. Saya ditangkap tentara.
Tentara banyak sekali pertanyaannya, saya jadi pusing. Saya bilang mau pulang.
Tentara bilang tidak boleh. Saya jadi sedih dan takut. Besok hari Minggu, Guru
Semmang akan cubit saya kalau tidak masuk sekolah. Sekolah kami sekarang, pindah
ke dalam hutan. Saya bilang, saya mau cerita tetapi sesudah itu, saya pulang. Tentara
setuju. Saya bilang lagi, saya mau cerita tetapi jangan bilang sama Guru Semmang.
Dan jangan kasih tahu ayah kalau saya di sini, tentara janji. Saya takut Guru Semmang
cubit saya. Saya takut Ayah lihat saya, dia mau bunuh saya.
“Guru Semmang ajar kami mengaji, kami belajar menyanyi bahasa Arab, saya
suka. Guru Semmang bilang dia pejuang, tidak boleh bilang gerombolan.”
“Kau keras kepala sekali, sama kayak Semmang, kalian sama saja.”
***
Ayah pernah bilang saya akan ditembak kalau tentara tangkap saya. Ayah pasti
sudah berdosa karena bohong, karena tentara tidak tembak saya. Tentara bilang akan
kasih permen, kalau mau cerita kenapa saya memotong leher kakak saya. Saya juga
nanti dilepas dan dibiarkan pulang ke hutan. Saya jadi senang karena besok hari
Minggu dan saya akan diberi hadiah oleh Guru Semmang karena saya sudah hafal doa
sebelum tidur.
Saya suka permen, kata Ayah, tentara punya banyak permen. Jadi harus
berteman sama tentara. Saya sama warga dan Guru Semmang dan temannya, pernah
rusak jembatan. Waktu itu sudah malam. Kata Guru Semmang, kalau jembatan rusak,
tentara tidak bisa ganggu kami sekolah dan mengaji. Saya jadi senang. Besoknya
tentara datang ke kampung kami cari laki-laki yang sudah besar. Ayah juga dipanggil,
jadi saya ikut. Kami disuruh perbaiki jembatan yang rusak. Tentara itu kasih saya
permen karena saya bantu angkat tanah. Kata Ayah, lihat mobil besar milik tentara
itu, semua isinya adalah permen. Saya tambah rajin angkat tanah.
***
Di posko tentara, Rahing duduk sambil menjilati permen gula aren di kedua
tangannya. Ia mengenakan kemeja putih kecoklatan, peci hitam bulukan, sarung yang
kedodoran dan kaki penuh lumpur. Dia bersama seorang tentara yang terus bertanya
banyak hal.
“Dia jahat.”
“Disuruh siapa?”
“Guru Semmang.”
“Apa katanya?”
“Kalau tidak cerita, nanti kau tidak kami pulangkan, ayahmu kami panggil di sini.
Benar, kan, Komandan?” tentara itu memandang, menuntut pengiyaan dari seorang
tentara lain yang berdiri sambil melipat lengan di depan dada.
***
Tentara itu bilang saya tidak boleh pulang. Sudah malam, nanti Ayah tahu saya
di sini. Saya sebenarnya mau cerita lagi, tetapi saya ingat waktu Guru Semmang larang
saya cerita kalau ada yang tanya. Tetapi, saya mau pulang, jadi saya cerita saja karena
mungkin tentara tidak akan kasih tahu Guru Semmang.
Jadi, kata Guru Semmang, kakak saya teman tentara. Karena kakak saya, Ibu
dibunuh. Saya jadi sangat benci sama kakak saya. Saat Guru Semmang kasih saya
parangnya, saya langsung potong lehernya seperti cara Ayah potong leher ayam kalau
mau lebaran. Saya jadi rindu Ibu. Kalau lebaran, Ibu bikin ayam goreng. Saya senang
karena kakak saya mati. Karena kata Guru Semmang, Ibu pasti senang juga di surga.
Karena orang yang bikin dia mati sudah saya bunuh. Saya dapat pahala kalau bikin
orangtua senang. Tetapi, Ayah tidak senang, dia mau bunuh saya juga, jadi saya lari
ke hutan ikut sama Guru Semmang. Saya benci Ayah, dia tidak senang kalau Ibu
senang. Dia juga tidak tahu bikin ayam goreng.
***
Rahing membenci ayahnya seperti benci yang dia miliki ketika melihat leher kakak
laki-lakinya memasrahkan diri pada parang yang diberikan Semmang. Saat itu,
menjelang perayaan kemerdekaan, hari Minggu pada bulan Agustus 1961—Rahing
baru sampai di sekolah ketika tiba-tiba Semmang menyuruh anak-anak lainnya
menyalin bacaan yang ada di papan tulis.
“Saya ada tugas dulu sama Rahing,” kata Semmang sambil menggamit Rahing
untuk mengikuti langkahnya yang buru-buru.
Rahing belum selesai dengan rasa penasaran di kepalanya ketika ia tiba di hutan
kecil di belakang sekolahnya. Sekolah yang hanya punya satu ruangan dengan dinding
anyaman batang nipah serta atap rumbia. Beberapa anggota gerombolan memberi
hormat menyambut kedatangan Semmang. Seorang pemuda awal dua puluh tahunan
terduduk dengan kaki terikat memanjang ke depan serta tangan yang diikatkan pada
batang cokelat di belakangnya. Mata pemuda itu ditutup dengan kain berwarna hitam
dan mulutnya tampak dijejali dedaunan kering. Rahing mengenal pemuda itu, dia
Walinono, kakaknya.
Yang terjadi selanjutnya kurang lebih seperti yang Rahing sampaikan kepada
tentara: Semmang mulai bercerita mengenai Walinono yang pengkhianat dan harus
terima balasan.
“Kau bisa bikin ibumu senang, dapat pahala bikin orangtua senang.”
Rahing maju beberapa langkah dan beberapa saat setelahnya terdengar suara
orokan yang begitu keras disusul darah yang mengalir.
Rahing baru tersenyum ketika Semmang mengatakan: “Ah, pasti ibumu senang
sekali, Rahing!”
Malam baru saja tiba ketika Rahing berjalan pulang menyusuri jalan kecil yang
sudah sepi. Jalan penghubung hutan dan perkampungan; menghubungkan rumah dan
sekolahnya. Ia tampak girang dan sesekali berlari kecil sambil menggigit sepotong tebu
di tangan kirinya, yang diberikan Semmang sebagai hadiah. Di tangan kanannya ia
menenteng sebuah karung goni yang berisi kepala Walinono.
“Kau bawa kepala kakakmu, kasih lihat ke ayahmu. Kalau dia senang, berarti dia
sayang ibumu. Kalau marah, berarti dia tidak suka ibumu senang, jadi kau ikut saja
ke hutan, saya lebih cocok jadi ayahmu.”
Di kepala Rahing, masih melekat jelas apa yang Semmang ucapkan ketika
menyerahkan karung goni itu. Jalan semakin sepi juga sunyi—ia masih butuh berjalan
sekitar setengah jam untuk tiba di rumah. Tebu yang sisa sepah ia lemparkan ke
semak-semak di sisi jalan. Rahing lantas meletakkan karung goninya di tanah. Sambil
berlari kecil ia mulai menyepak karung itu seperti sedang menggiring bola—dan baru
berhenti ketika cahaya pelita di perkampungan mulai tampak.
***
“Saya suka main bola. Kepala kakak seperti bola, jadi saya tendang saja.”
Saya sudah ngantuk. Tentara masih suruh saya cerita. Dia bilang saya tidak boleh
tendang kepala kakak, tetapi Guru Semmang bilang boleh. Saya percaya Guru
Semmang.
Saya memang sudah benci Ayah, tetapi dia tidak bohong, tentara memang banyak
permennya. Saya dikasih lagi, saya disuruh cerita lagi. Saya ditanya lagi, katanya di
mana kepala kakak saya. Saya bilang tidak tahu. Ditanya lagi, bilang di hutan bagian
mana Guru Semmang sembunyi, saya juga bilang tidak tahu. Sebenarnya saya tahu.
“Tahu kau, kapan mereka akan keluar hutan atau merusak jalan sama
jembatan?”
Saya menggeleng ditanya begitu. Saya jadi sedih karena lupa, saya sudah janji
sama Ibu tidak akan menggeleng atau mengangguk, kata Ibu tidak sopan.
Saya bilang, saya tidak tahu. Seandainya tahu, saya juga mau minta. Saya mau
sekali punya senapan, saya dulu suka main senapan tetapi dari pelepah pisang.
***
Memang Rahing tidak tahu siapa yang tertembak oleh tentara waktu itu.
Semmang yang tahu—dan karena itu, dia memburu Walinono yang baginya telah
memasok informasi untuk tentara. Informasi mengenai rencana-rencana merusak jalan
dan jembatan oleh gerombolan memang semuanya tiba di tentara dengan campur
tangan Walinono. Ketika tiga orang gerombolan tertembak setelah keluar hutan, itu
juga berkat Walinono. Untuk informasi yang diberikan dia mendapat imbalan
berbungkus-bungkus rokok dan seragam bekas tentara. Dari tiga gerombolan yang
tertembak, salah satunya adalah adik kandung Semmang.
“Tidak ada cara lain membalaskan dendam Ayah selain begini, Komandan.”
Ia mengingat, malam itu ibunya pamit untuk menjual tenunannya ke Sengkang—
ibu kota kabupaten. Ibunya berangkat, berjalan kaki tengah malam dengan harapan
tiba pagi hari ketika pasar mulai dibuka, seperti biasa. Ibunya berangkat setelah
melumuri tubuh dan wajahnya dengan arang; sudah menjadi kebiasaan bagi
perempuan yang ingin keluar dari kampung itu. Diri mereka dibuat sejelek mungkin
agar terhindar dari tangan tentara atau gerombolan yang ingin melecehkan.
Wajo, 2017
Pena
Subuh itu aku dilahirkan di ranjang perjudian. Orangtuaku adalah penjual lotre
di sebuah kota kecil. Tante, om, tetangga, dan semua yang dekat dengan keluargaku
juga senang berjudi. Saat aku lahir di sebuah rumah sakit, sebuah gelang dilingkarkan
di pergelangan mungilku, sebagai tanda aku adalah anak dari ibuku. Gelang itu
berisikan angka-angka. Dan semua angka-angka itu dipasang di meja lotre. Tak hanya
sampai di situ saja, tanggal lahir, jam dan menitnya pun diikutsertakan. Siapa yang
menyangka, mereka semua riang gembira atas kemenangan angka-angka itu. Tujuh
hari berturut-turut angka-angka itu bergantian keluar menjadi pemenang. Disebutlah
aku sebagai anak perempuan pembawa berkah! Saudara ayahku yang terlibat dalam
salah satu keberuntungan waktu itu menceritakan padaku dengan senyumnya yang
rekah dan mata yang berbinar mengingat kejadian itu.
Apakah agama mengajarkan mereka seperti itu, aku pun tidak tahu. Salah dan
benar, benar menjadi salah, salah menjadi benar, kelihaian manusialah mengotak-
atiknya dengan tingkah dan kata-kata, begitu susah untuk percaya pada manusia,
hanya yang Maha Tunggallah yang kelak akan memberi kebenaran sesungguhnya.
Saat itu mereka memberiku nama Pena. Ayah dan ibuku berdebat mengenai arti
namaku tapi sepakat atas pilihan nama itu. Menurut Ayah, Pena bisa berarti aku
seseorang yang pintar menulis, termasuk menulis hidupku sendiri. Menurut Ibu, jalan
hidupku sudah dituliskan, bahwa akulah pembawa keberkahan, dalam hidupku dan
keluargaku. Mereka terus berdebat, padahal kedua-duanya baik menurutku. Tak ada
yang keliru. Jika saat itu aku sudah mampu berbicara, maka aku akan menyela dan
membuat mereka berdamai. Sejak itu aku berpikir, bahwa orang dewasa
memperdebatkan hal-hal yang begitu gampang untuk disepakati, tapi mereka begitu
angkuh dengan persepsi mereka masing-masing. Bagaimana nanti saat aku dewasa?
Apa mungkin aku akan memperjuangkan pikiranku juga?
Akhirnya orang dewasa mampu mengatasi keinginan anak kecil dengan sedikit
rumit memang, mereka berdiskusi dengan sesama orang dewasa, agar memaklumi
keinginan seorang anak kecil yang belum mampu berpikir dengan baik, agar
menyetujui begitu saja pilihanku agar tetap mau bersekolah, bukankah mereka telah
keliru menilaiku saat itu? Padahal aku rasa aku telah memikirkannya dengan baik
untuk pendapatku yang satu itu. Ibu, ayah, dan kepala sekolahku yang cantik setuju,
aku dinaikkan satu tingkat, aku akan masuk kelas TK Nol Besar. Kegiatannya tepat
seperti apa yang aku inginkan, membaca dan menulis. Saat itu aku hanya punya tiga
teman, dua perempuan dan satu laki-laki. Aku tidak suka bergaul dengan banyak
orang, bahkan kadang di saat istirahat aku lebih suka sendirian. Temanku Nilam dan
Lita mereka suka membicarakan hal-hal yang menurutku tak perlu untuk dibicarakan,
apalagi membicarakan tentang keburukan orang lain. Sedangkan Tomi, selalu
mengajak kami bermain-main di taman dan berlari-lari, aku sedikit lelah dan tak ingin
bajuku menjadi basah dan bau karena keringat.
Aku ceritakan kejadian buruk itu pada Ibu, berharap tak pernah lagi bertemu
dengan sepupuku itu, tetapi anehnya aku tidak mengerti kenapa orang dewasa marah
tidak pada tempatnya. Ibuku, segera memukuliku dan memandikanku, ia
membersihkan seluruh tubuhku dengan kasar, dan kemudian terus memukul
tubuhku, sambil air mata terus-menerus membasahi pipinya dan ia terisak-isak. Aku
benci melihatnya seperti itu. Ia boleh memukulku, tetapi tidak boleh menangis.
Bukankah yang bersalah adalah kakak sepupuku, bukan Ibu.
Tidak hanya kali itu aku menemukan lelaki “gila” dalam hidupku. Saat aku
berumur 8 tahun, aku punya tetangga baru. Mereka semua orang dewasa. Ada satu
yang paling aku benci, yang kepalanya botak dan aksen bicaranya begitu mencolok. Ia
yang paling sering aku pergoki mengintipku di kamar mandi saat aku mandi. Kamar
mandiku dindingnya hanya dilapis oleh seng usang yang banyak lubang-lubangnya.
Kamar mandiku tepat bersebelahan dengan rumah sebelah, hanya seng usang penuh
lubang itu sebagai pembatas. Aku tidak hanya diintip saat mandi, tapi juga saat buang
air. Aku mendengar mereka tertawa-tawa senang dan mengataiku dari dinding sebelah.
Setiap kali aku ingin mandi dan buang air tanpa suara agar tidak diintip oleh mereka,
tapi bagaimana caranya?
Aku semakin bingung dan menceritakannya kepada Ayah dan Ibu. Mereka hanya
tertawa dan mengatakan, “Siapa yang mau mengintip anak kecil sepertimu? Ibu saja
tidak pernah diintip.” Mereka tak percaya ceritaku. Maka aku pun mencari cara sendiri.
Setiap mandi aku selalu memakai baju, dan saat buang air berjongkok aku
menggunakan handuk menutupi kemaluanku dari depan, yang menjengkelkan adalah,
mereka memberi lubang di belakang closetku! Sialan! Aku ketakutan dan bingung.
Sejak saat itu aku mengutuk para lelaki yang matanya tak bisa mereka jaga dengan
baik! Aku mengutuk setiap lelaki yang menyiksa perempuan dengan matanya! Aku
membenci lelaki seperti itu! Seandainya saja aku bisa membunuh semua lelaki yang
mengintipku, ingin rasanya aku melakukannya, tetapi aku tidak dapat. Mereka telah
mencuri hak hidupku! Yaitu kebebasanku mandi dan buang hajat. Mereka patut
menderita selamanya karena mata mereka! Mata yang jahat! Mata yang telah membuat
seorang perempuan menderita dan terluka!
Tapi aku manusia yang tidak akan menyerah untuk melindungi diriku. Aku terus
mencari cara, hingga akhirnya satu cara yang terbaik telah kutemukan. Aku menjebak
mereka. Aku pura-pura buang air. Pintu kamar mandi sengaja kubuka lebar-lebar.
Saat itu beruntung sekali lubang di belakangku tempat mereka mengintip itu semakin
besar dan semakin terlihat dengan jelas tidak hanya mata tapi sebagian wajah. Ibuku
tiba-tiba masuk ke dalam kamar mandi, dan melihat mereka mengintipku juga
mendengar suara mereka cekikikan! Akhirnya! Sejak hari itu, ayahku memperbaiki
seluruh kamar mandi. Ibu memarahi mereka dan meminta orang-orang itu segera
pindah dari tempat itu. Kalau tidak, ia akan lapor polisi. Mereka pun takut dan
kemudian pindah dari tempat itu.
Itu adalah satu hari terbaik dalam hidupku. Tapi hari-hari buruk yang pernah
kulalui, telah terekam selama aku hidup. Aku terus mengingatnya. Aku menjadi sangat
marah dan sekaligus menabung rasa takut dalam diriku.
Saat aku duduk di bangku SMP ketakutanku terhadap laki-laki semakin menjadi-
jadi. Aku merasa lebih aman dekat dengan perempuan. Bagiku lelaki punya senjata
tajam yang tiap saat bisa saja sangat melukaiku. Aku memutuskan sejak hari itu ingin
jatuh cinta pada perempuan saja. Dan aku berhasil membuat diriku menjadi seorang
lesbian. Lama aku hidup dalam kekeliruan besar itu, hingga suatu hari aku merasa
agama dan adat tak mengajarkan demikian. Setajamnya senjata laki-laki bagiku pada
akhirnya aku tetaplah perempuan yang membutuhkan semua itu. Semakin dewasa dan
berpengetahuan, aku menyadari segala hal itu. Hingga akhirnya aku berusaha
membebaskan diriku dari belenggu ketersesatan ketakutanku sendiri.
Aku ceritakan pada ibuku. Dia memelukku. Suatu hari, saat aku dinyatakan lulus
dari SMA, Ibu memberi tahu aku harus menikah untuk menjadi perempuan normal
dan hilang dari rasa takutku. Seorang laki-laki yang baru saja bercerai dengan istrinya
ingin melamarku. Ibuku menerimanya berdasarkan beberapa pertimbangan, aku pun
tak jua menanyakan apa pun selain menyetujuinya. Aku ingin mengikuti segala
keinginan Ibu dan ada dendam yang harus diselesaikan. Lelaki itu bernama Dodi.
Malam pertama aku tak lagi menikmatinya, aku ingat rasanya sama seperti 13 tahun
yang lalu, saat aku masih TK. Hanya saja kurasakan tubuhnya yang lebih besar dari
yang dulu, karena ia orang yang sama, orang yang telah mencuri keperawananku
sebelum waktunya. Seandainya dia sedikit bersabar, aku mungkin akan jatuh cinta
tanpa rasa takut. Tapi tak apa, ada sebilah belati yang telah kuselipkan di bawah
bantalku, yang sudah kuasah seminggu terakhir. Aku yakin belati itu sangat tajam,
akan mampu memusnahkan dendamku.
Rika, menetap di Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Peserta Kelas Cerpen Kompas 2017
dengan mentor Linda Christanty, Joko Pinurbo, dan Putu Fajar Arcana. Beberapa buku
karya Rika adalah Kertas Bintang (kumpulan cerpen dan puisi-2011), Istri Muda (novel-
2016), Jane Fara (novel pada tahun 2017), dan Matahari dalam Hujan (antologi puisi-
2017).
BUDI DARMA, CERPEN, KOMPAS
Tarom
Agen saya tahu, setiap kali saya pergi ke Frankfurt, Jerman, saya tidak mau
transit di bandara mana pun, selain bandara Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Ada dua
teman di bandara ini, yaitu Manfred pemilik restoran dan Gertrude, pramugari darat.
Pada waktu saya berkunjung ke restoran Manfred untuk pertama kali beberapa
tahun lalu, dia mengajak saya bersalaman erat, lalu berbisik: “Ibu kamu pasti orang
Jerman. Ayah kamu pasti orang Asia Tenggara.”
Laki-laki anak ibu Jerman dan ayah Asia Tenggara pasti mirip ibunya, sedangkan
anak perempuan pasti mirip ayahnya. Dan memang, kulit saya putih, mata saya biru,
dan setiap kali saya ke Jerman, kebanyakan orang menganggap saya orang Jerman.
Karena saya tidak membantah, maka setiap kali saya singgah di restorannya,
pasti dia memberi sauerkraut, salad khas Jerman, gratis. Setelah mengetahui nama
saya Tarom Wibowo, wajahnya berbinar-binar, lalu mengajak saya masuk ke ruang
kecil di bagian belakang restoran.
“Lihat, Tarom, saya punya buku kamu.”
Dia mengambil buku New Paradigm of Psycho-Hatred, buku saya mengenai lika-
liku kejiwaan tokoh-tokoh besar, dengan data dari berbagai negara, termasuk Jerman.
“Buku hebat,” katanya. “Maaf, saya belum pernah membaca novel kamu.”
Setelah mengobrol sebentar, dia berbisik: “Di sini ada gadis Jerman, Gertrude
namanya. Pramugari darat. Kalau mau dia bisa menjadi pramugari udara. Terbang ke
mana-mana. Seperti saya, dia malu jadi orang Jerman.”
Dia berbisik lagi: “Kamu pasti suka Gertrude. Cantik. Dan ingat, dia pengagum
penulis hebat bernama Tarom Wibowo. Dia tahu kamu bukan psikolog. Tapi, insting
psikologimu benar-benar hebat.”
Begitu dipertemukan dengan Gertrude, saya agak gemetar, agak bingung, karena
itu memilih untuk diam, dan tampaknya perasaan Gertrude sama. Kami berjabat
tangan sampai lama, telapak tangan dia dan telapak tangan saya sama-sama
berkeringat dan sama-sama malas untuk saling melepaskan pegangan. Tapi, perasaan
aneh merambat perlahan-lahan dari tangan dia, menyusupi tangan saya. Hawa panas
bercampur hawa dingin. Dan begitu saya menatap wajahnya, saya agak merinding, lalu
dia menunduk, tampak malu.
Perasaan saya tidak enak, dan saya putuskan untuk tidak bertemu dengan dia
lagi. Ternyata, begitu saya masuk ke ruang tunggu penumpang, pesan dia melalui WA
masuk. Begitu membuka telepon genggam setelah saya mendarat di Frankfurt, pesan
dia masuk lagi, bukan hanya satu, tapi beberapa. Selama beberapa hari saya di
Frankfurt untuk mengurus jual beli hak cipta sekian banyak pengarang dari berbagai
negara, pesan Gertrude datang bagaikan banjir.
Dan ketika pesawat saya transit lagi di Abu Dhabi untuk kemudian disambung
penerbangan ke Surabaya, Gertrude sudah menunggu, lalu mengajak saya ke ruang
tunggu khusus.
Perhatian dia lebih tertarik pada Berlin sebagaimana yang saya gambarkan dalam
beberapa buku saya dibanding dengan cerita saya mengenai Frankfurt.
Selanjutnya pesan demi pesan berdatangan terus, disertai kutipan lirik lagu
“Imagine” The Beatles, “You may say I’m a dreamer, but I’m not the only one.”
***
Seperti biasa, ketika akan ke Frankfurt lagi, agen saya tidak pernah bertanya saya
ingin naik pesawat maskapai apa asalkan singgah di Abu Dhabi.
Agen saya memilih Angel Air, sebuah maskapai penerbangan baru, berdiri sekitar
tiga tahun lalu. Semua orang penting di Angel Air perempuan, sisanya, pekerjaan kasar,
diserahkan kepada laki-laki. Mungkin Angel Air percaya, perempuan punya otak dan
modal laki-laki hanyalah otot.
Nama pilot dan kopilot sudah beberapa kali saya simak melalui berbagai media.
Saya belum pernah bertemu mereka, tapi andaikata bertemu, pasti saya mengenal
mereka. Pilot bernama Awilia, ayahnya dokter umum dan ibunya dokter mata terkenal,
kopilot bernama Azanil, ayahnya dokter umum dan ibunya dokter jantung terkenal.
Sejak zaman mahasiswa, empat calon dokter ini sudah bersahabat, dan ketika sudah
menjadi dokter mereka bekerja di rumah sakit yang sama.
Awilia lahir jam 10:15, Azanil lahir pada hari dan tanggal sama, jam 10:18, di
rumah sakit yang sama pula. Umur mereka terpaut tiga menit, dan setelah besar Awilia
memperlakukan Azanil sebagai sahabat muda, dan Azanil selalu ingin dijadikan nomor
dua. Sejak TK sampai dengan SMA mereka selalu bersama-sama, dan setelah lulus
SMA mereka sama-sama menentang keinginan orangtua mereka untuk menjadi dokter.
Alasan mereka sama: pada zaman dahulu kala, terceritalah ada dua sahabat karib,
yang laki-laki genius tapi homo bernama Leonardo da Vinci, dan yang perempuan luar
biasa cantik, Monalisa namanya. Sambil melihat burung-burung beterbangan,
berkatalah Leonardo: “Monalisa, lihatlah burung-burung itu. Pada suatu saat, manusia
pasti bisa terbang seperti burung.” Monalisa tidak percaya, tersenyum, tanpa berkata
apa-apa.
Setelah pesawat mencapai 15.000 kaki, seorang pramugari memberi saya kertas
kecil.
“Selamat terbang bersama kami pengarang Tarom Wibowo. Kita nanti bertemu di
Abu Dhabi.”
Saya tidak tahan menahan kantuk. Ada banyak kontrak dan jual beli hak cipta
dari sekian banyak pengarang dan penerbit yang harus saya urus di Frankfurt nanti,
dan ada banyak pula buku yang harus saya baca, khususnya buku Rochus Misch,
bekas pengawal pribadi Hitler, mengenai kematian Hitler. Saya tertidur.
Buah tidur adalah mimpi: ibu saya bercerita mengenai bangsa Jerman dan bangsa
Jepang, dua bangsa besar dan sama-sama tololnya. Bangsa Jerman sangat setia
kepada manusia bernama Hitler, dan bangsa Jepang sangat patuh pada keturunan
Dewi Matahari, yaitu Kaisar Hirohito. Karena ketololannya, atas hasutan Hitler, bangsa
Jerman dengan penuh semangat merusak dunia, demikian pula bangsa Jepang, bukan
oleh hasutan manusia.
Ingat, kata ibu saya, dalam PD I Jerman dikalahkan oleh Jepang, dan semua
tawanan perang Jerman diperlakukan dengan sangat baik oleh Jepang, bahkan lebih
baik daripada serdadu Jepang sendiri.
Perang antara Jerman dan Jepang dalam PD I mirip dengan perang antara
Indonesia dan Malaysia di perbatasan dua negara di Kalimantan setelah Bung Karno
menyatakan perang melawan Malaysia dengan semboyan “Ganyang Malaysia”. Serdadu
Indonesia dan serdadu Malaysia pura-pura saling tembak, kemudian lari-lari menuju
musuh, berangkulan erat, bertukar rokok, kemudian bergurau. Karena hanya pura-
pura, perang ini dengan mudah diakhiri dengan perdamaian. Jepang dan Jerman pura-
pura bertempur, tidak lain karena mereka bersiap-siap bersekutu untuk
menghancurkan dunia dalam PD II.
Karena bangsa Jerman setia kepada manusia dan bangsa Jepang setia bukan
kepada manusia, kesetiaan mereka berbeda. Dalam mimpi ini pula ibu saya
membanggakan kesetiaannya kepada keluarganya, lalu meminta saya membaca
majalah Femina tahun 1980-an, mengenai kesetiaan istri Jepang terhadap suami orang
Indonesia. Istri Jepang sangat setia kepada suami, dan begitu anak dia sudah bisa
dibawa lari, dia akan lari bersama anaknya, kembali ke Jepang, disembunyikan oleh
keluarganya di Jepang. Ibu saya berbicara mengenai dua bangsa ini karena dia tahu
saya pernah jatuh cinta kepada gadis Jepang dan sekarang mungkin kepada gadis
Jerman.
Setelah terbangun, saya ingat cerita ibu saya mengenai pertemuan antara
orangtua saya sebelum menikah. Hati ibu saya berkata, ayah saya mempunyai
kemampuan terpendam, dan ternyata benar: begitu tahu ada pabrik akan bangkrut,
ayah saya membelinya, memperbaikinya, kemudian menjualnya. Terakhir dia membeli
pabrik smelting yang hampir bangkrut di Gresik, selama satu tahun memperbaikinya,
kemudian menjualnya kepada orang India.
Sebelum menikah, ayah saya juga yakin, ibu saya mempunyai kekuatan
terpendam: lidahnya tajam, begitu ada makanan masuk ke mulutnya, dia tahu rahasia
pembuatannya. Buku masakan ibu saya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, dan
dia sering diundang ke mana-mana, termasuk luar negeri, untuk berbicara mengenai
masakan.
Ketika iseng mengambil majalah, saya terkejut: foto Gertrude terpampang di kulit
sebuah majalah, dan di berbagai halaman di majalah-majalah lain. Dia dinobatkan
sebagai pramugari darat terbaik di Negara-negara Teluk setelah juri dari berbagai
negara menyimak bandara di Mesir, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, Oman, dan
Qatar. Gertrude pemalu, pemilihan pramugari terbaik dan pemasangan fotonya pasti
di luar kemauan dia.
Setelah menyimak fotonya, hati saya berkata, Gertrude pasti mempunyai rahasia
terpendam, dan ada kesamaan antara Mandred dan Gertude. Menurut Gertude,
Manfred keturunan serdadu Jerman yang suka menyiksa, merampok, dan memerkosa
di negara-negara jajahan Hitler selama PD II. Dia malu menjadi orang Jerman, tapi
kadang-kadang harus kembali ke Jerman karena ibunya di Jerman sering sakit.
Begitu turun dari pesawat, Amilia dan Azanil menemui saya, minta tanda tangan
buku-buku saya, buku yang, kata mereka, menemani mereka dari bandara satu ke
bandara lain. Dengan membaca novel-novel saya, terasa mereka bisa mengamat-amati
lika-liku jiwa mereka sendiri.
Mereka mengajak saya ke ruang tunggu khusus, dan di sana Gertrude sudah
menunggu. Dengan nada bercanda mereka mengatakan, sebagai pengarang hebat,
pasti saya mampu mengangkat gejolak jiwa Gertrude dalam novel.
Setelah mereka pergi, dengan sangat hati-hati saya berkata kepada Gertrude
mengenai kisah kematian Hitler. Setelah Hitler yakin kalah, dia dan banyak pengikut
setianya bertekad bunuh diri bersama Hitler. Pada saat itulah, salah satu arsitek
holocaust yang sangat keji dan seharusnya ikut bunuh diri bersama keluarganya
melarikan diri.
Gertrude menunduk, lalu berkata: “Saya tahu siapa dia. Martin Bormann
namanya. Darah saya kotor. Saya keturunan Bormann.”
Nio
Namaku Nio. Tapi aku lebih suka dipanggil Nia. Bukan karena mataku tidak sipit.
Bukan karena tulang pipiku tidak menonjol. Bukan karena wajahku tidak bulat. Bukan
karena lidahku tidak cadel. Bukan karena keluargaku kere. Bukan karena kami hidup
dalam gubuk miskin di sebuah kampung, baur dengan pendatang dari Madura, Bugis,
Padang, Medan, dan Ambon. Bukan juga karena aku tidak mau dibilang keturunan
China.
Kenapa harus tidak mau? Nenek moyangku totok dari China daratan. Sanak
saudaraku masih berserakan di sekitar jalanan Sutera. Aku tidak pernah keberatan,
malu, kecil hati atau tersinggung. Bahkan, aku bangga betul berasal dari negeri leluhur
yang menciptakan mesiu, percetakan, dan mi yang sekarang menjadi kebudayaan
dunia.
Bangsa yang pernah melahirkan orang-orang besar, seperti Kong Hu-Cu, Lao Tze.
Bangsa yang begitu hebat etos kerjanya sehingga di seluruh dunia ada China Town.
Kenapa takut?
Sudah lebih dari 20 tahun kami tercampak di lingkungan kumuh ini. Teman-
teman Papa, banyak yang sudah jadi orang kaya. Mereka kadang-kadang bertanya
dengan heran, apa sebabnya Papa bertahan tinggal di tempat yang tidak hoki ini.
Mama jengkel sekali oleh alasan Papa itu. Mereka lalu bertengkar. Pertengkaran
itu begitu kerasnya sehingga akhirnya keduanya terpaksa mengambil jalan yang tidak
menyenangkan. Mereka berpisah.
Aku pun jadi rebutan. Tetapi entah kenapa, Mama akhirnya melepaskan aku ke
tangan Papa. Itu sebabnya aku hidup bersama Papa sampai sekarang.
Baru belakangan ini aku tahu, mengapa Papa menolak pertolongan sahabatnya.
“Aku tidak menolak,” kata Papa dengan suara dingin, “aku tidak cukup sombong
untuk menolak tawaran yang dapat membuat hidup kita lebih baik. Bahkan, aku
sendiri yang sebelumnya meminta, mengimbau, bahkan memohon kepada mereka. Aku
bilang, kalau aku diberikan sedikit pinjaman modal yang bisa aku kembalikan sekitar
10 tahun nanti, aku akan sangat berterima kasih. Tapi dia menolak. Dia tidak mau
meminjamkan. Dia ingin memberikan, tapi meminta lebih banyak. Dia suruh aku
bekerja untuk usaha perjudiannya. Tentu saja aku menolak. Aku ini dagang tahu,
bapakku, kakek kamu, juga tukang tahu. Tapi tahu kami adalah tahu yang disukai
semua orang. Aku ingin menghidupi keluargaku dari tradisi membuat tahu itu. Aku
tidak mau jadi bandar judi, apalagi bandar narkoba. Itu yang membuat dia marah
sehingga aku dijauhi.”
“Jangan salah. Bukan aku yang menceraikan Mama, tapi Mamamu yang
menceraikan Papa. Dia tidak tahan hidup sebagai tukang tahu. Dia ingin menikmati
masa tuanya dengan enak. Lalu dia kawin dengan bekas temannya di SD, tetapi
sekarang sudah jadi orang kaya sekali. Mama kamu tidak salah pilih. Suaminya tidak
hanya berduit, tetapi juga baik. Dia mencintai Mama kamu. Sekarang aku baru
mengerti bahwa aku sudah memperlakukan dia kurang semestinya, padahal aku
sangat mencintai dan menyayanginya. Mestinya aku mencukupi batinnya menurut
ukuran kebahagiaannya, bukan ukuranku sendiri. Ternyata aku sudah terlalu egois.
Seluruh penyesalanku itu lalu aku tumpahkan untuk membesarkan kamu dengan
kasih sayang.”
“Karena dia tahu, itu akan bisa merusak ketenanganku. Dan mungkin juga
mengubah perasaanmu.”
Papa tidak bisa melanjutkan. Dia menangis. Untuk pertama kalinya aku lihat
orang yang kuhormati, kucintai, dan kupuja sebagai orang kuat itu, menjadi lemah dan
cengeng.
“Jadi Nio, semasa kamu masih muda dan kuat, apalagi cantik seperti ini, jangan
sia-siakan kesempatan. Cari uang sebanyak banyaknya!”
Aku kaget. Seperti mendengar suara aneh yang tidak pernah bisa aku mengerti.
Dan tiba-tiba saja aku kehilangan seseorang yang sebelumnya begitu kuhargai,
kukagumi, dan kucintai.
Papa berubah. Setelah mencapai usia senja, ia tidak lagi idealis. Ia menjadi orang
biasa yang menyerah kepada kebutuhan materi.
“Tak ada orang bisa kaya karena menari, buat apa kamu capek-capek menari,
Nio?” katanya dengan ketus, “Hentikan kegiatan yang sudah menghabiskan waktu dan
uang itu. Cari pekerjaan di perusahaan-perusahaan asing yang bisa menggaji dengan
dollar, atau kerja di perbankan. Balikkan hidup kita yang seperti kapal kandas ini.
Tarik aku kepada kehidupan yang terang-benderang supaya aku tidak malu kepada
mamamu. Buktikan bahwa bukan hanya dia saja yang bisa bergelimang uang, kita juga
mampu!”
Tak cukup dengan melarang menari, Papa juga kemudian mau menjodohkan aku
dengan anak seorang importir mobil.
“Robert akan mewarisi semua kekayaan orangtuanya. Meskipun dia sudah punya
istri, tapi dia bersedia menceraikan istrinya, asal saja kamu mau menjadi
penggantinya. Dia sudah melihat foto kamu,” kata Papa dengan gembira.
Bahkan, pada suatu ketika, seperti barang, aku diserahkan bulat-bulat kepada
keluarga Robert untuk dijadikan apa saja, tanpa persetujuanku.
Apakah Papa akan punya waktu kelak untuk mengatakan bahwa segala yang
kulakukan ini adalah yang terbaik, seperti yang dilakukannya terhadap Mama?
Aku selalu berharap dan berdoa agar satu ketika dia akan sadar bahwa aku
memiliki visi kehidupan yang berbeda dengannya. Bahwa ini riwayatku, bukan
riwayatnya lagi!
Aku menjadi penari bukan karena aku ingin kaya, tapi karena tubuhku ingin
menari. Jiwaku ingin menempuh irama. Bahkan, aku bersedia membayar semua itu
dengan melakukan pekerjaan lain. Tetapi bukan dengan cara merebut suami orang
lain. Bukan dengan cara membuat anak-anak itu mengutukku sudah merampok
kebahagiaan mereka.
Hampir tiga tahun aku hidup di Jakarta. Aku berusaha menjadi penari dan hidup
dari menari. Aku memberikan kursus dan menari kalau dipesan. Tapi banyak sekali
penari di Jakarta. Dan aku tidak hoki seperti juga orangtuaku.
Hidupku sangat pas-pasan. Akhirnya untuk bertahan dan sedikit lega bernapas,
aku mulai menari di kelab malam.
Hari pertama sangat menyiksa. Aku merasa hina. Seluruh diriku rasanya
diperkosa. Tetapi kemudian malam-malam berikutnya semuanya mulai terbiasa. Apa
salahnya menari di kelab? Aku hanya menjual tarian, bukan menjual tubuh. Harga diri
dan kehormatanku masih utuh.
Rezeki mulai naik. Uang yang kukumpulkan sudah bisa dipakai untuk mencicil
mobil. Aku sekarang mengerti bahwa mobil bukanlah sebuah kemewahan, tetapi hanya
alat untuk bekerja. Dengan mobil itu, aku merasa aman pulang dan pergi kerja sampai
subuh.
Sementara para tetangga pun mulai sedikit menghargaiku meskipun banyak yang
menduga mobil itu hasil hidupku sebagai perempuan piaraan.
Ketika tabunganku membengkak, aku rencanakan akan meninggalkan hidup
sebagai penari kelab. Aku akan membuat studio dan meneruskan karierku sebagai
penari yang sebenarnya. Mungkin dikombinasikan dengan membuka warung. Nanti
setelah jalan baik, aku akan pulang dan minta maaf kepada Papa.
Tapi sebelum semua itu terjadi, pecah kerusuhan. Lingkungan yang kuhuni ikut
serta jadi sasaran. Massa yang liar datang bagaikan air bah. Dengan muka yang ganas,
mereka menyerbu. Penduduk dipukuli. Rumah dimasuki. Barang-barang dijarah.
Mobilku dibakar. Dan aku sendiri yang sedang berada di kamar mandi ditarik keluar,
lalu diperkosa beramai-ramai.
Tak ada yang menolongku. Aku bangkit sendiri dengan air mata dan darah.
Badanku yang pegal linu dan ringsek dengan susah-payah kuangkat. Seorang tukang
becak yang tua, baik hati, lalu mengantarkan aku ke puskesmas. Dari sana aku dibawa
ke rumah sakit. Dan di rumah sakit, aku diselamatkan, tetapi diancam.
Anak kecil yang tadi kau lihat menyanyi dan menari di depan televisi itu adalah
akibat dari peristiwa itu. Tidak seorang pun yang mengerti, mengapa aku
membiarkannya lahir. Aku pun tidak.
Mungkin anak itu sendiri yang sudah memaksaku untuk melahirkannya. Untuk
menjadi sebuah monumen, betapa biadabnya manusia kalau sudah dimasuki setan.
Namaku Nio.
Bukan karena aku menolak siapa diriku. Bukan karena aku benci kepada
orangtuaku. Bukan karena aku ingin melupakan sejarahku.
“Itu bukan aku. Kamu tidak mengerti …,” kata Nio lirih.
Putu Wijaya, lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali. Pernah menjadi wartawan Tempo,
Zaman, dan Warisan Indonesia. Mendirikan Teater Mandiri, menyutradarai film dan
sinetron, serta menulis cerpen, esai, novel, novel dan lakon
CERPEN, FARIZAL SIKUMBANG, KOMPAS
Penagih Hutang
Bersepeda Kumbang
Si penagih hutang itu, memang sudah tidak ada di kampung Kuranji. Mungkin
itu yang membuat kisah ini tidak abadi di banyak orang. Karena musim mengikisnya,
dan juga masa telah melupakannya. Tapi tentang sepeda kumbang itu? Ia benar-benar
ada. Karena sepeda kumbang itu tergantung rapi di sudut dapur rumah kami.
Rumah kami? Masih seperti dulu. Berpuluh-puluh tahun lampau tidak jauh
berbeda ketika si penagih hutang itu ada. Rumah panggung berdinding papan. Dan
karena usia, sebagian papan-papan itu sudah lapuk dimakan rayap, sebagian lagi
sudah diganti oleh Uni Ida dengan papan yang baru. Uni Ida dan suaminya, beserta
tiga anaknya tinggal di rumah itu. Dan di rumah itu pula, bila aku pulang dari rantau,
aku akan tinggal di sana untuk beberapa lama.
Usiaku dua belas tahun kala itu. Di kala si penagih hutang muncul pertama kali
di kampung Kuranji. Saat itu aku sedang sibuk mencabut rambut putih almarhum
Amak.
“Siapa itu Buyung yang bersepeda kumbang?” Tanya Amak sambil telunjuk lurus
beliau mengarah ke laki-laki itu.
Mataku pun tertuju kepadanya, tapi tanganku masih sempat menarik sehelai
rambut putih Amak.
“Entah Mak, tak kutahu siapa dia. Belum pernah kulihat wajahnya,” jawabku.
“Maaf Amak, aku si pedagang keliling, si tukang jual barang pecah belah. Boleh
kontan dan kredit. Perkenalkan namaku, Udin Leman asal Rengat,” katanya dengan
girang.
“Si tukang kredit? Belum pernah ada orang yang menjajakan barang-barang di
kampung ini, buyung,” jawab Mak.
“Baskom, piring, rantang nasi. Ambillah satu mak, mak cicil pun boleh.”
“Mak ambillah. Harganya lima belas ribu. Mak angsur per hari saja, ya.”
Mak mengambil satu rantang nasi. Mak mencicilnya setiap hari. Kala itu kampung
kami masih sepi. Semak-semak masih semarak di halaman, dan pohon-pohon besar
juga masih melingkari kampung. Alat transportasi umum masih sulit ditemui, yang ada
hanya pedati, dan dengan hitungan jari ada pula bendi.
Laki-laki penagih hutang bersepeda kumbang itu pun setiap hari mengunjungi
rumah kami. Seperti perjanjian Mak dengan dirinya. Setelah itu dia akan mengelilingi
kampung kami. Menjajakan barang dagangannya kepada orang lain. Dan semakin hari,
semakin banyak orang kampung kami yang berlangganan dengannya.
***
Kakakku, Uni Ida baru saja menyelesaikan es-em-a-nya kala itu. Jadi kalau Mak
mau pergi ke pasar atau ada keperluan lainya, beliau akan menitipkan uang pada Uni
Ida yang akan diberikan pada si tukang kredit itu. Aku tidak tahu entah berapa kali
Mak memberikan tugas itu pada Uni Ida.
Namun yang aku ingat adalah, bahwa beberapa hari kemudian, si tukang kredit
itu dengan Uni Ida semakin bersahabat saja. Bukan, bukan seperti orang bersahabat,
tetapi seperti dua orang yang saling menyukai. Mereka sering terlihat duduk berdua di
rumah beberapa lama. Saling berbincang entah apa. Tapi dari wajah Uni Ida, seperti
senang riang tak kepalang, begitu juga dengan laki-laki si penagih hutang.
Pernah beberapa kali aku diusir Uni Ida jika mereka sedang duduk berdua, atau
Uni Ida akan membesarkan dua matanya sebagai isyarat agar aku pergi jauh. Aku juga
sempat berpikir kala itu, begitukah cara bila dua orang saling menyuka?
Berbulan kemudian, hubungan mereka tercium oleh Abak. Dan suatu malam,
Abak menginterogasi Uni Ida. Aku ingat itu malam yang dingin. Hujan turun sangat
lebat memukul-mukul atap seng rumah kami. Mak menggigil di sudut ruang tamu
dengan membisu.
“Kau masih baru tamat sekolah. Kau belum pantas berpacaran. Aku tak ingin kau
berhubungan dengan, si tukang kredit itu.”
Uni Ida hanya diam dengan menekukkan wajah ke lantai. Tak berani menatap
wajah Abak. “Aku tak ingin lagi mendengar bila kau berjumpa dengannya. Aku merasa
dia bukan orang baik-baik. Jangan pernah berhubungan dengan orang yang tak tahu
asal-usulnya. Kau mengerti?”
Uni Ida tak menyahut kata-kata Abak. Mulutnya membisu. Tubuhnya kaku. Ia
serupa patung. Tapi airmata Uni Ida tumpah. Membasahi pipinya. Dan Abak tidak
memikirkan tentang airmata. Bagi Abak, keputusannya tak boleh dilanggar. Mak, tak
berani menyahut. Mak hanya diam. Kaku. Tapi di akhir pertemuan malam itu, Abak
sempat menyalahkan Mak.
“Ini ulahmu, mengundang si tukang kredit itu datang ke rumah,” kata Abak.
Seperti Uni Ida, Mak juga hanya diam.
Di hari berikutnya, Mak tidak pernah lagi menitipkan uang pada Uni Ida. Ini
adalah salah satu cara agar Uni Ida dan si tukang kredit itu tidak pernah lagi berjumpa.
Setiap tukang kredit itu datang ke rumah, Maklah yang memberikan uang cicilannya.
Aku tidak tahu apa yang terjadi pada si tukang kredit itu setelah dia tidak
berjumpa dengan Uni Ida untuk beberapa lama. Yang kuingat tentang Uni Ida adalah,
bahwa setiap malam datang, Uni Ida tidak pernah lagi keluar kamar. Mukanya terlihat
murung setiap hari. Dia pun sudah tidak banyak bicara. Dan Abak, tidak pernah hirau
pada perubahan sikap Uni Ida itu.
Aku tentu kasihan pada Uni Ida kala itu. Beberapa kali aku sengaja membawakan
makanan ke kamarnya. Tapi setiap makanan yang pernah kubawakan, tak pernah
dimakan Uni Ida. Begitu juga bila aku menyapanya, Uni Ida tak pernah menyahut.
Suatu sore, aku mendengar suara gaduh di depan rumah kami. Dengan langkah
gegas aku menyusul asal suara itu. Sesampai di pohon nangka, di samping rumah,
kulihat Abak sedang mendorong tubuh si tukang kredit itu agar meninggalkan rumah.
Di teras rumah, Mak memegangi tubuh Uni Ida yang sedang menangis.
“Pergi kau! Pergi! Pergi!” Berulang-ulang Abak mengucapkan kata-kata itu dengan
lantang.
Abak baru berhenti berteriak setelah tubuh si tukang kredit itu hilang di balik
semak dan sebatang pohon asam kandis. Sedangkan Uni Ida, tak henti-hentinya
menangis, kadang seperti orang meraung. Suaranya mengalahkan kicauan suara
burung, dan pekikan monyet-monyet liar yang hendak mencuri nasi basi jemuran mak.
Tiga hari berikutnya peristiwa aneh terjadi, Abak pulang dengan menaiki sepeda
si penagih hutang. Mak jadi sangat kebingungan. Apa yang telah terjadi? Mungkinkah
Abak telah membunuh si penagih hutang dan merampas sepeda kumbang? Ketika Mak
menanyakan kepada Abak tentang sepeda itu, Abak tidak pernah menjawab. Bukan
hanya tidak pernah menjawab. Abak jadi seperti orang bisu. Tidak lagi mau bicara.
Dalam hal apa saja. Ini terjadi dalam dua minggu. Dan kejadian ini membuat Mak
sering mengalami sakit kepala.
Memasuki minggu ketiga, Abak jatuh sakit. Abak mengalami sakit yang aneh.
Tubuhnya tak bisa digerakkan. Abak hanya bisa terbaring. Apabila Abak bersuara, apa
yang beliau ucapkan nyaris tak terdengar. Kami terpaksa harus mendekatkan telinga
ke mulut Abak setiap beliau hendak bicara.
Seorang mantri desa telah di datangkan Mak. Obat yang mereka berikan tak
mampu menyembuhkan sakit Abak. Bahkan Mak, pernah pula mendatangkan dukun
bermata elang dari kampung seberang. Si dukun mengatakan, bahwa Abak diserang
ilmu hitam nujum orang. Lalu si dukun menyiram tubuh Abak dengan air batang
pisang yang telah dibakar dan diselingi mantra-mantra yang aku sendiri tak paham.
Namun usaha si dukun tak menghasilkan apa-apa. Lalu, apa yang membuat Abak
mengalami sakit begitu rupa? Adakah ini hubungannya dengan si penagih hutang
bersepeda kumbang?
Ya, lima hari setelah kematian Abak, pertanyaan itu terjawab sudah. Adalah
mamak Odang, kakak Mak yang menguraikan semuanya.
“Pagi itu Abak kalian mendatanginya. Ia meminta agar si penagih hutang segera
pergi jauh dari kampung seberang. Dia tentu saja sangat ketakutan. Abak kalian tak
hanya membawa parang, tapi juga menceritakan dirinya, seorang mantan pejuang yang
pernah berkali-kali menebas leher penjajah. Bisa kulukiskan ketakutan penagih
hutang bersepeda kumbang itu. Tubuhnya gemetar. Keringat membasahi mukanya.”
“Jadi, penyakit Abak, karena beban pikiran,” simpulan Mak kala itu.
“Ya. Kalian tahu Abak kalian seorang pejuang. Dia pernah berperang di Rengat.
Dia merasakan sendiri tragedi di kota Rengat itu. Abak kau merasa bersalah telah
mengusir si penagih hutang itu. Seandainya ia tahu si penagih hutang itu anak yatim
korban tragedi Rengat, tak akanlah dia mengusirnya. Setelah kejadian itu, Abak kalian
pernah menyuruhku untuk mencarinya kembali, tapi aku tak pernah menemukannya
sampai Abak kalian meninggal. Abak kalian sungguh menyesal.”
Lalu sampai berapa lama Uni Ida bergelut dalam kesedihan setelah kepergian si
penagih hutang? Entah sampai kapan aku tak tahu, yang tahu hanya Uni Ida. Sebab
dua minggu setelah kematian Abak, Uni Ida kembali hidup seperti biasanya. Tapi ada
kebiasaan aneh Uni Ida yang muncul tiba-tiba, yakni Uni Ida suka sekali merawat dan
membersihkan sepeda kumbang si penagih hutang. Dan sampai sekarang, sepeda
kumbang itu tergantug rapi di dapur rumah kami. Tentang bagian cerita ini, aku yakin
suami Uni Ida tidak tahu sama sekali.
Lelaki Garam
Pada saat bersamaan ketika lelaki itu mengibaskan ujung kerah kemeja di sisi
bahu yang basah oleh keringat, Jenawi tanpa sadar menjulurkan sedikit ujung lidah
untuk melontarkan biji jambu yang tertinggal di mulut sehabis meneguk jus campur
buah lokal. Tepat saat itulah lidahnya mencecap rasa asin yang menggetarkan hati,
asin yang dirindukannya sejak bertahun-tahun lalu.
Ia merasakan angin aneh berembus dari tubuh lelaki itu, angin dengan
kandungan uap garam yang basah. Uap itu mungkin meruap dari keringat yang
terbang ketika ujung kerah kemeja lelaki itu dikibaskan. Mereka sama-sama berdiri di
tepi danau, di pinggiran acara Festival Wisata Air yang digelar Dinas Pariwisata. Jadi,
tak mungkin ada embusan uap garam dari danau, kecuali dari tubuh lelaki dengan
kejanggalan yang menyiksa: keringat berlebih di udara sejuk sekali pun.
Jenawi serasa mabuk. Dan dengan dorongan sensasi asin ia dekati lelaki itu,
lelaki yang melamun sendiri di bibir danau, di antara tonggak bambu tempat nelayan
mengikat jukung kayu. Begitu dekat, Jenawi ingin meraih tengkuk lelaki itu seperti
mengetuk tengkuk seorang teman yang kebetulan ditemukan di tempat asing. Tapi
berdebarlah jantung Jenawi saat tak terduga lelaki itu berbalik. Lelaki itu
merentangkan kedua tangan dengan tingkah hendak menangkap tubuh Jenawi. Dan
seperti sihir, tubuh Jenawi meluncur lalu terjerembab tepat di antara dua rentang
tangan lelaki itu. Tubuh Jenawi tertangkap, lelaki itu menangkapnya.
Mereka berpelukan. Tepat di atas bahu lelaki itu, mulut Jenawi tak henti
menyembulkan ujung lidah, menikmati uap asin yang seperti meletus dari setiap pori
tubuh lelaki yang memeluknya, lelaki yang dipeluknya. Saat pelukan merenggang,
Jenawi sempat melirik dan melihat lelaki itu juga menjulurkan lidah, seperti mencecap
sesuatu, mencecap dengan penuh perasaan, kadang dengan mata yang pejam.
Begitulah awal bertemunya Jenawi, sebulan lalu, dengan Ripah, lelaki itu. Jenawi
datang ke festival diundang selaku pengusaha restoran. Ripah datang selaku
pengusaha hotel. Keramaian mempertemukan mereka, tapi pertemuan itu ia rasa
seperti pertemuan gaib antara mimpi dan kenyataan. Ia pikir, pertemuan itu layak bagi
seorang perempuan lajang meski usianya hampir 35 tahun. Ripah mungkin lebih tua
lima tahun. Jika boleh berkhayal, ia ingin pertemuan itu bagai pertemuan sepasang
burung yang tak perlu saling kenal tapi kemudian bercumbu dengan bebas di hutan
senyap.
Sebulan lewat, Jenawi merasa seperti burung. Burung perindu, bernyanyi selalu,
memanggil pasangan yang entah di mana. Sungguh bukan Ripah dan pelukan itu yang
dirindukannya. Tapi asin itu. Asin dengan satu rasa nan sama dengan asin yang pernah
ia nikmati di masa kanak. Asin uap garam itu, dulu, selalu meruap dari tubuh lelaki
berotot liat berkulit hangus yang ia panggil ayah. Lelaki itu penjual garam. Datang
setiap Rabu ke desanya, ke Desa Uli, sebuah desa tani di lereng Bukit Bedugul. Lelaki
itu selalu ditunggu, tentu karena dia satu-satunya penjaja garam ke desa itu. Lebih-
lebih bagi warga Desa Uli, garam sematalah bahan makanan yang harus mereka beli.
Semua bahan lain diambil cuma-cuma dari alam desa yang raya.
Jenawi satu-satunya anak desa yang menunggu penjaja garam itu dengan getar
harap di setiap Rabu. Selalu di setiap Rabu pagi, ia keluar rumah, memandang lurus
ke ujung jalan setapak. Ia tak pernah kecewa, lelaki itu menyembul dari tikungan di
bawah rimbun sukun dan semak di kiri-kanan. Suara langkahnya jelas, karena beban
berat di bahu menyebabkan kedua kakinya menginjak daun kering yang terserak di
jalan dengan tekanan yang cukup keras.
“Ayah datang!”
Selalu sebelum keliling menjajakan garam, lelaki itu jeda di rumah Jenawi. Usai
keliling, saat sore sebelum gelap, lelaki itu datang lagi, bercanda dengan Jenawi, dan
tidur bersama ibunya setelah sore berubah gelap. Lelaki itu menginap hingga Sabtu
dan pergi di Minggu pagi. Rabu pagi berikutnya ia datang lagi. Selalu begitu. Dan
Jenawi tak pernah hirau siapa sesungguhnya lelaki itu.
“Dia bukan suami ibu. Tapi panggil saja dia ayah!” kata ibunya suatu pagi. Jenawi
tak peduli, tapi ia mengangguk. Sama tak pedulinya ia ketika sejumlah orang desa
mengejeknya dengan cerita-cerita sok tahu.
“Kau anak malang, Jenawi. Lahir tanpa ayah, tapi dipelihara tukang garam,
bukan ayah, tapi sebenarnya ayah!”
Jenawi berkali dengar cerita itu. Ibunya menjalin asmara dengan penjual garam
lalu hamil. Ibunya menolak menikah. Jenawi tetap lahir. Ibunya diusir dari rumah
keluarga. Dibantu lelaki penjual garam, ibunya mendirikan rumah kecil di atas tegalan
agak tinggi, sehingga dari rumah itu akan tampak dengan indah lekuk sungai dan tera
sawah di lembah pedesaan. Bagi Jenawi, rumahnya adalah tempat paling indah.
Apalagi terdapat pohon asam yang rajin berbuah di halaman. Ia biasa naik dan duduk
di atas cabang besar. Dari atas cabang ia tak hanya bisa melihat liku sungai dan sawah
berundak di bawah, tapi juga laut dan sebuah tanjung luas di tempat yang jauh di
selatan.
“Di situlah rumah Ayah, Jenawi. Di kaki pulau itu!” kata lelaki itu suatu sore
ketika mereka duduk di cabang asam yang tinggi. Tangan lelaki itu menunjuk sebuah
tanjung, daratan yang tampak kelabu, menjorok ke laut di ujung selatan Pulau Bali.
“Di tepi tanjung itu, di atas pasir putih, Ayah membuat garam dari air laut yang bening!”
“Ayah ingin sekali mengajakmu tinggal di sana, tentu bersama ibumu. Tapi ibumu
menolak. Katanya ia lebih bahagia di desa ini, di rumah ini,” jawab lelaki itu.
Wajah lelaki itu seketika memerah dan keringatnya melimpah. Keringat berlebih
memang selalu terbit di tubuhnya jika lelaki itu bicara soal perasaan, mungkin rasa
cinta dan sedih yang saling bertabrakan di hatinya. Seperti biasa pada saat seperti itu
Jenawi akan menyembulkan lidah lalu mencecap asin dari uap keringat tubuh lelaki
itu. Jenawi memetik buah asam matang, dikupas segera, lalu daging asam lunak
dilumurkan ke wajah lelaki itu. Lelaki itu akan mengeluarkan lidah dan berupaya
menjilat lumuran asam di sekitar bibir dengan mata terpejam. Lelaki itu menyukai
asam, tentu saja. Di Minggu pagi, lelaki itu selalu mengisi keranjangnya dengan buah
asam untuk dibawa pulang ke tanjung selatan, ke rumahnya, tempat ia bertani garam.
Jenawi ingat, pada Minggu yang dini, lelaki itu menjejali kedua keranjangnya
dengan buah asam matang. Dan ketika hendak beranjak pergi di pagi hari, ia didatangi
kepala desa. Mereka bicara agak lama, tapi intinya lelaki itu diusir.
“Di desa ini akan dibangun pasar modern yang menyediakan semua kebutuhan
warga. Jadi, sesuai kesepakatan kami dengan investor, penjual barang apa pun,
termasuk garam, tak diizinkan masuk desa ini, apalagi ke rumah-rumah,” kata kepala
desa.
Namun lelaki itu tak pernah datang. Jenawi terus menunggu sambil menyaksikan
Desa Uli berubah. Jalan diperlebar, jembatan dibangun, lalu-lalang orang entah dari
mana lewat setiap saat di desa itu. Toko modern berjejaring dibangun di setiap sudut
tikungan. Kemudian ada hotel dan rumah makan. Kebutuhan warga berubah. Yang
harus dibeli bukan lagi semata garam, tapi berbagai barang yang tak mereka perlukan.
Jenawi dan ibunya tak mau tertinggal. Rumah dengan pohon asam di halaman
disulap jadi warung dengan menu masakan lokal. Awalnya Jenawi hanya membantu,
namun setamat kuliah pariwisata ia mengelola warung secara penuh. Statusnya ia
tingkatkan jadi restoran. Ia memimpin ritual memasak dan melayani pelanggan yang
tak pernah sepi, siang dan malam. Menu restoran itu tak terlalu enak. Jenawi tahu.
Pelanggan datang sebenarnya hanya terpesona alam di sekitar restoran, terutama
pohon asam yang makin besar dan kokoh di halaman. Apalagi saat malam, dari pohon
asam itu akan tampak pemandangan jutaan lampu seperti kunang-kunang di sebuah
tanjung di kejauhan, di ujung selatan Pulau Bali.
“Di sanalah rumah ayah saya, di sela lampu-lampu di tanjung itu. Dulu tanjung
itu gelap, kini telah benderang,” kata Jenawi jika melihat pelanggan duduk di bawah
pohon asam sambil memandang jauh ke selatan. Jika restoran sudah tutup, Jenawi
pun lebih sering duduk di bawah pohon asam, kadang hingga tengah malam, sambil
memandang tanjung kelap-kelip di kejauhan. Dengan begitu ia telah merawat rindunya
pada uap asin dari tubuh lelaki yang ia panggil ayah, tentu rasa asin yang
menggetarkan hati, yang tak pernah ia dapatkan dari garam di pasar mana pun yang
pernah dibelinya untuk menu restoran.
Kini asin seperti itu didapat dari tubuh Ripah. Setiap duduk di bawah pohon
asam, ia ingat lelaki penjual garam sekaligus ingat Ripah dan ingin menemuinya sekali
lagi, dua kali lagi, atau seterusnya, bukan hanya di tepi danau, tapi di sebuah tempat
yang amat sunyi, sehingga ia bisa melumat seluruh asin di tubuh lelaki itu. Dan suatu
malam, kerinduannya tak bisa ditahan. Ia menelepon Ripah.
“Bisakah kita bertemu di tepi danau itu lagi?” sergah Jenawi saat hubungan
telepon tersambung, bahkan sebelum Ripah sempat mengucap salam.
Jenawi tak tahu, saat ia menelepon, Ripah sudah berdiri di tepi danau, di tempat
mereka dulu berpelukan. Sejak bertemu Jenawi, lelaki itu hampir setiap hari berdiri di
tempat itu, kadang dari pagi hingga tengah malam. Selain menemu sejuk karena
belakangan tubuhnya selalu berkeringat secara berlebih, ia juga ingin menyingkir dari
hiruk-pikuk perusahaan. Sudah sejak lama ia kerja tanpa henti, tepatnya sejak ia
memelihara dendam dan ambisi untuk jadi pengusaha kaya, melebihi kekayaan
pengusaha asing yang terus berebut membangun hotel di kawasan tanjung selatan
tempat ia lahir.
Ripah tak bisa lupa bagaimana ia kehilangan ayah sekaligus kehilangan uap asam
itu. Pada Minggu sore, sejumlah laki-laki mendatangi ibunya di ladang garam.
Perawakan mereka tegap seperti tentara, namun dari apa yang dibicarakan kentara
sekali mereka calo tanah.Mereka sudah berkali-kali datang. Tujuannya sama,
memaksa ayah dan ibunya melepaskan ladang garam untuk dibeli konglomerat dari
Jakarta. Ladang garam yang diapit laut dan bukit landai itu hendak disulap jadi hotel
paling mewah di Bali.
Ayahnya datang tepat ketika seorang dari sejumlah laki-laki itu membentak
ibunya. Ripah tak akan pernah lupa, saat itu ayahnya datang dari menjajakan garam
dengan wajah sangat sedih sambil memanggul dua keranjang penuh buah asam.
Ayahnya kalap dan langsung mengamuk. Ia menerjang dan mengayunkan keranjang
ke tubuh laki-laki yang membentak ibunya. Lalu terdengar ledakan. Ayahnya rebah.
Darah dan buah asam berserakan di atas ladang garam.
MADE ADNYANA OLE, lahir di Tabanan, kini tinggal di Singaraja, Bali utara. Menulis
cerpen dan puisi. Buku kumpulan cerpennya Padi Dumadi (2007) dan kumpulan
puisinya Dongeng dari Utara (2014). Dua cerpennya masing-masing terdapat dalam
buku Cerpen Pilihan Kompas 2014 dan 2016
A MUTTAQIN, CERPEN, KOMPAS
Mbah Dlimo
Bila kau ingin bertemu Kiai Amuni, datanglah ke Warung Kopi Kotok di sore hari,
sekitar jam empat sampai jam lima sore. Di sana, akan kau dapati lelaki tua, dengan
jenggot yang sederhana, memakai sarung palekat, baju batik dan songkok kuno, duduk
di pojok warung dengan wajah sumringah. Betul, dialah Kiai Amuni. Orang sini biasa
memanggilnya Mbah Dlimo, lantaran ia pemilik pohon delima yang ajaib dan terkenal
di kampung kami.
Tentu semua orang sini mengenal Mbah Dlimo. Ia adalah lelaki tertua di kampung
kami. Umurnya sudah seratus tahun lebih. Bila kau tanya kepastian tanggal dan tahun
kelahirannya, maka orang sekampung kami akan menggeleng. Atau paling-paling
menunjuk Damar Kurung yang dipajang di pinggir jalan sepanjang kampung kami.
Banyak orang percaya, Mbah Dlimo sepantaran dengan almarhumah Sriwati
Masmundari, pelukis asli Gresik pencipta Damar Kurung, yang oleh Tuhan Pengasih
juga dianugerahi umur seratus tahun lebih.
Kini Mbah Dlimo masih tetap hidup dan sehat. Masih menjadi imam salat, muruk
ngaji di langgar, bahkan tiap sore selalu cangkruk di Warung Kopi Kotok ini, dengan
rokok klobot-nya yang berbau khas. Bagi kami, Mbah Dlimo adalah berkah dan
kegembiraan yang melimpah ke warung ini. Kehadirannya selalu dinanti. Setiap masuk
warung, perihal yang tidak pernah ia lupa adalah memberi salam lalu berucap:
“Malaikat memohon ampun untuk para peminum kopi.” Aku tak tahu, itu sabda Nabi
atau hanya karang-karangan Mbah Dlimo sendiri. Tapi, jika sudah begini, kami
biasanya akan senang sekali, menemani Mbah Dlimo yang duduk di pojok warung.
Terus terang, kami sering dibuat heran oleh Mbah Dlimo. Kendati usianya sudah
sangat tua, ia memiliki ingatan cukup kuat dan akurat. Ia bahkan masih menyimak
kisruh politik hari ini. Ia tahu cekcok ketua partai A dan partai B. Ia tahu kiai dan
dukun yang malu-malu mendukung partai C. Ia tahu pelawak yang nantinya bakal
dicapreskan partai D. Ia juga tahu rencana-rencana edan partai E, kongkalikong partai
F dan partai G dan seterusnya. Selain itu, Mbah Dlimo adalah penikmat kopi yang jeli.
Ia bisa menjabarkan secara rinci beda rasa kopi toraja, kopi aceh, kopi bali sampai kopi
arab. Kendati demikian, ia mengatakan kopi kotok di warung ini tak kalah baiknya.
Selain rasanya yang khas, penyajiannya juga unik, tumbukan biji kopinya dibiarkan
kasar, dengan saringan mini untuk menyaring dedak kopi sebelum diminum.
Kadang kami tak percaya, Mbah Dlimo, orang yang kami temui hampir tiap sore
ini umurnya sudah seratus tahun lebih. Banyak orang percaya, rahasia umur panjang
dan kesehatan Mbah Dlimo adalah delima di depan rumahnya. Pohon delima yang
umurnya mungkin setua pemiliknya itu tergolong pohon yang langka. Ia berbuah tiada
henti. Bahkan, di bulan Ramadhan, jika kau datang ke kampung kami, kau akan
mendapati pohon delima itu dipenuhi buah hingga ranting dan cabangnya seolah tak
kuat menyangga berkah buahnya. Kendati semua orang percaya hubungan gaib antara
umur Mbah Dlimo dan pohon delima itu, setiap kali kami tanyakan perihal ini, Mbah
Dlimo tak lupa menunjuk ke atas seraya menambahkan bahwa umurnya memang
anugerah Tuhan lewat buah delima yang ia makan setiap pagi dan sore hari.
Ah, betulkah buah delima yang membuat Mbah Dlimo awet dan sehat seperti ini?
Sebagai buah, delima memang punya daya magis tersendiri. Buah yang konon aslinya
berasal dari Persia ini juga dipercaya bisa mengobati banyak penyakit, mulai gangguan
perut, gangguan jantung, kanker, rematik, kurang darah sampai diabetes. Bahkan,
bangsa Moor memberi nama salah satu kota kuno di Spanyol, yaitu Granada,
berdasarkan nama buah ini. Kendati begitu, kami tetap ragu dengan pengakuan Mbah
Dlimo. Apalagi pohon delima itu jelas bukan jenis pohon delima sembarangan. Ia terus
berbuah. Tak mengenal musim. Buahnya besar-besar. Rasa sangat manis, seperti
dicampur gula saja. Penduduk kampung ini pasti pernah mencicipi buah delima Mbah
Dlimo. Buah itu biasa dibagi-bagi kepada orang kampung sini. Dan waktu masih bocah,
kami juga sering mencurinya, saat melewati rumah Mbah Dlimo sepulang ngaji.
Kendati orang kampung kami percaya buah delima itulah rahasia umur panjang
Mbah Dlimo, tapi aku curiga sebaliknya: jangan-jangan Mbah Dlimolah yang sakti, bisa
nyuwuk pohon delima di depan rumahnya menjadi pohon ajaib. Apalagi, setelah
mendengar cerita getok-tular sekitar pohon delima itu yang aneh-aneh. Alkisah, ketika
terjadi pelebaran jalan kampung, pohon delima itu akan ditebang. Namun, tak ada satu
pun alat tebang yang mampu menumbangkan pohon itu. Parang, perkul, bendho dan
gergaji sudah dicoba, tapi pohon delima itu seperti menjelma besi. Mungkin ini yang
menyebabkan cerita-cerita perihal pohon delima Mbah Dlimo jadi macam-macam.
Banyak yang percaya, pohon delima itu tak lain adalah reinkarnasi sang syekh,
yang sepanjang hidupnya juga seperti pohon delima itu, memberi manfaat tak henti-
henti bagi masyarakat sini. Tentu cerita begini ini sukar dipercaya. Apalagi jika kita
melihat fakta bahwa tak ada warga di kampung kami yang lebih tua dari Mbah Dlimo.
Dengan demikian, tak ada saksi sahih yang bisa menjelaskan asal-usul pohon delima
itu. Namun ketika perkara ini kutanyakan kepada Mbah Dlimo, dengan enteng ia
berkata: “Biasa juga begitu, Mas Takin. Jangan dikira, syekh atau wali-wali yang
sepanjang hidupnya ngabekti itu mati. Tidak. Ia hidup dan Tuhan memberinya rizki.”
Penjelasan Mbah Dlimo ini tentu tidak sepenuhnya kami mengerti. Ketika aku dan
teman-teman yang duduk semeja dengan Mbah Delimo kembali minta penjelasan
tambahan tentang ini, Mbah Dlimo langsung menunjuk Damar Kurung di seberang
warung ini. Mbah Dlimo kemudian menjelaskan kenapa Masmundari diberi umur
panjang. “Selain tentu karena rahmat Tuhan,” kata Mbah Dlimo, “itu lantaran ia tak
beda dengan Damar Kurung ciptaannya, memberi terang dan keindahan ke jalan yang
kita lewati. Masmundari itu ibarat jalan berhiaskan Damar Kurung. Dan seperti sebuah
jalan yang panjang, umurnya juga panjang, bukan?”
“Lalu, bagaimana dengan umur Sampean Mbah?” tanyaku, mengejar penjelasan
Mbah Dlimo yang kian tak kupahami itu.
Tak terasa, warung telah sepi, tinggal kami yang duduk mengapit Mbah Dlimo,
seperti para murid Yesus, dalam lukisan Leonardo da Vinci, “Perjamuan Terakhir”.
Sayangnya, sebelum Mbah Dlimo memberi jawaban yang memuaskan perihal ini,
terdengar azan maghrib dari langgar. Mbah Dlimo tersenyum, lalu membayar kopi dan
buru-buru meninggalkan warung, sebab ia harus menjadi imam salat dan muruk ngaji
seperti biasanya.
Setelah Mbah Dlimo pergi, kami pun membayar kopi. Teman-temanku yang tadi
datang ke warung memakai sarung, langsung menyusul Mbah Dlimo ke langgar.
Sementara aku yang memakai celana-cekak, menghabiskan rokokku sembari pelan-
pelan berjalan pulang melewati rumah Mbah Dlimo. Dalam naungan temaram sore
hari, aku melihat sepuluh, seratus, atau mungkin seribu kunang-kunang, mengitari
buah-buah delima Mbah Dlimo. Dalam kitaran kunang-kunang, buah-buah delima itu
sungguh mirip Damar Kurung ciptaan Masmundari.
A Muttaqin lahir di Gresik dan tinggal di Surabaya, Jawa Timur. Ia mengarang puisi
dan cerita pendek. Buku puisinya yang telah terbit, antara lain, Pembuangan Phoenix
(2010), Tetralogi Kerucut (2014), dan Dari Tukang Kayu sampai Tarekat Lembu (2015).
Cerpennya terkumpul dalam Klub Solidaritas Suami Hilang, cerpen Kompas pilihan
2014.
CERPEN, GDE ARYANTHA SOETHAMA, KOMPAS
Sudah larut malam, barak pengungsi itu dipagut sepi. Mereka saling pandang
ketika hendak memutuskan siapa akan menjemput Ida Waluh di lereng Gunung Agung.
Perjalanan kurang dari tiga jam, tapi penuh mara bahaya, jika gunung yang dalam
keadaan awas itu tiba-tiba meletus.
“Saya bersedia,” ujar seorang anak muda mengacungkan tangan tiba-tiba setelah
sekian lama suasana bisu beku.
“Kalau begitu, saya ikut,” usul laki-laki bersarung, mengenakan kemeja endek.
“Biar saya sendiri saja, Pak Losen. Bapak dibutuhkan di sini menyambut
kunjungan pejabat dan menemani para pembawa sumbangan untuk selfi. Tak ada yang
bersedih kalau saya tak kembali. Ayah, ibu, pacar, saya tak punya. Saya cuma titip
bibi.”
Bibinya justru tegar, memberi semangat. “Kamu penyelamat dusun kita, An.”
Ananta memasuki Pura Desa tempat Ida Waluh. Beberapa bagian tembok pura
retak, atap-atap bangunan miring digoyang ratusan kali gempa sepanjang hari sejak
dua pekan terakhir. Ia berhenti tepekur di depan sebuah meru tumpang tiga beratap
ijuk tempat Ida Waluh berada. Dengan kunci yang ia ambil dari tas pinggang, perlahan
ia membuka pintu dengan dada berdebar, semakin berdebar oleh getaran gempa yang
mengguncang setiap dua menit.
Ida Waluh duduk bersimpuh, menatap teduh Ananta yang mencakupkan tangan
di dada, sebelum dengan takzim membopongnya ke balai piasan, tempat yang dipenuhi
sesaji jika upacara piodalan digelar.
Warga Desa Kesimpar sangat yakin, rambut yang memanjang adalah lingga, alat
kelamin tanda kelaki-lakian Dewa Siwa, dan waluh adalah yoni, kelamin perempuan.
Ida Waluh diyakini sebagai perujudan lingga-yoni simbol kesuburan, pemberi
kesejahteraan dan kedamaian. Warga menjaganya dengan tidur makemit saban malam
di Pura Desa, sejak beberapa tahun lalu, ketika puluhan patung suci pretima di desa-
desa kaki Gunung Agung disatroni maling.
Ida Waluh memang rawan diculik, karena persis di belahan dadanya terbenam
permata hijau lumut sebesar ibu jari tangan. Tersebar kabar ke seluruh desa dan kota,
permata itu sangat bertuah dan murah hati. Banyak tokoh yang turut pemilihan kepala
daerah atau anggota DPRD mohon restu di Pura Desa Kesimpar, mohon petunjuk dan
restu memenangkan pertarungan politik. Mereka yakin anugerah permata hijau lumut
itu menyiramkan wibawa dan pengaruh bagi siapa saja yang memohon pada Ida Waluh,
yang diyakini percikan dari Ida Sang Hyang Widhi.
Ananta menyarankan tidak perlu makemit jika Ida Waluh selalu bersama GPS
tracker untuk melacak dan memberi alarm jika diculik atau dipindahkan. GPS
dipasang di atas lempengan baja yang menyatu dengan kayu, yang menjadi alas duduk
Ida Waluh.
Tapi warga tidak pernah yakin, tak pernah tenang. Laki-laki dusun tidak
semangat mengurus kebun, setiap saat dihantui perasaan was-was dan bersalah jika
Ida Waluh diculik. Orang-orang kampung itu meragukan teknologi, karena teknologi
hebat bisa dilawan dengan yang lebih canggih. Teknologi itu gampang disiasati dan
dikibuli. Beberapa hari setelah pemasangan GPS, tiga wanita kesurupan meminta
warga makemit kembali, bermalam di pura. Ida Waluh memperoleh dua perlindungan:
digital dan manual. Dari tempat kosnya di Jimbaran, dengan smart phone Ananta bisa
memantau Ida Waluh karena GPS tracker tetap terpasang.
Hari menjelang sore tatkala dengan sangat hati-hati Ananta membopong Ida
Waluh, setelah membungkusnya dengan kain kasa kuning yang ia dapatkan di sudut
balai-balai. Gempa mengguncang-guncang semakin sering dan kian kuat. Kadang
Ananta mendengar suara gemuruh seakan gunung meledak. Waktu terasa berjalan
sangat lamban ketika ia bergegas jalan kaki melewati Tukad Gerudug yang dipenuhi
batu muntahan letusan Gunung Agung tahun 1963.
Sejak itu orang-orang Kesimpar di pengungsian menjadi tenang. Tak ada lagi yang
kesurupan. Anak-anak meminjam buku dongeng dari perpustakaan keliling. Untuk
para kakek dan nenek, mereka membaca buku Mendongeng Lima Menit yang
dikumpulkan Made Taro. Kali ini anak muda yang mendongeng untuk orang tua. Meski
Gunung Agung dikabarkan kritis siap meletus, mereka di barak tidur nyenyak. Anak-
anak makan banyak, bayi menetek susu ibunya dengan lahap.
Sampai suatu hari lewat tengah malam ponsel Ananta berdering. Tat-tit-tut-tet-
tet-tet…
Ananta yang sedang duduk-duduk di barak pengungsi lain, tak harus menunggu
dering ketiga, ia menyambar ponselnya. Ia kaget ketika menatap layar, ikon Ida Waluh
bergerak ke luar barak. Ananta membangunkan orang-orang, mengajak mereka
menatap layar selebar telapak tangan itu.
Belasan orang bergegas mengikuti ikon yang bergerak semakin cepat di layar.
Mereka memasuki sawah yang sedang ditumbuhi kedele. Mereka meloncati selokan
tempat mereka mandi dan buang air di tengah sawah. Layar di ikon semakin jauh dan
kian bergegas menerobos sawah. Mereka mengikuti Ananta, yang bagai menjadi
komando dari sebuah pasukan tempur. Ponsel di genggamannya seperti sebuah senjata
otomatis siap menyalak. Matanya tak lepas-lepas dari ponsel, silih berganti mengikuti
arah pematang di depan agar ia tidak terperosok.
Ananta memberi aba-aba agar orang-orang berhenti ketika ikon di layar diam,
cuma berkedip-kedip perlahan. Mereka memandang sekitar, gelap sekali, sawah cuma
diterangi cahaya bintang. Mereka mengendap-endap menuju titik ikon Ida Waluh
berhenti.
Ananta memandang lurus ke arah ikon yang semakin dekat. Matanya tak lepas-
lepas dari layar ponsel. Ia menatap sebuah gubuk kecil beratap alang-alang, dikitari
tanaman jagung yang baru berbunga. Dengan dagunya ia menunjuk ke gubuk itu. Dan
mereka serentak bergerak.
“Serbuuuuu…..!”
Gubuk itu roboh karena tak sanggup menahan belasan orang. Atapnya
beterbangan menghantam batang-batang jagung. Ketika itulah mereka menemukan Ida
Waluh terduduk di sudut gubuk. Mereka segera mengambil pretima, patung suci dari
kayu cendana setinggi tiga puluh senti itu, dan menjunjungnya ramai-ramai ke barak.
Kecuali Ananta, tak seorang pun peduli sama pencuri itu yang tertelungkup.
Dada Ananta berdegup kencang ketika ia membalik tubuh orang itu, dan menatap
wajahnya yang dikenal semua orang Kesimpar.
“Pak Losen. Pak…. Pak Losen.” Ananta menggoyang-goyang tubuh lunglai itu.
Losen perlahan membuka mata yang digenangi darah. “Sejak lama saya ingin
memiliki permata ini, An,” ujarnya sembari merogoh saku celana dan mengeluarkan
permata hijau lumut yang tadi masih tertancap di dada Ida Waluh, yang bercahaya
lembut memantulkan cahaya bintang-bintang.
Ananta tak percaya, ketika orang-orang membawa Ida Waluh ke barak, ia masih
melihat jelas permata itu berada di tempatnya.
“Yang itu palsu, An, saya mencungkilnya tadi, menggantinya. Yang ini asli. Saya
cuma ingin permata ini, tidak patungnya. Akan saya kembalikan patung itu setelah
berhasil menguasai permata lumut ini, agar saya bisa jadi bupati atau gubernur.”
“Bapak yakin?”
“Pan Buyar itu kakekku, pakar batu mulia. Ia kerap menerima berkah batu
bertuah di lereng Gunung Agung, tapi semua untuk penolak bala, tak ada buat
membangun wibawa. Kakekku bilang, permata lumut ini bisa membuat pemiliknya jadi
pemimpin nomor satu.”
“Takdir benda ini milikmu, An, ambillah,” suara Losen melemah. “Rawatlah
dengan baik, kelak kamu bisa jadi bupati atau gubernur.”
Losen terengah-engah, tangannya berayun lemah memasukkan permata hijau
lumut itu ke saku baju Ananta. Setelah itu ia tak bergerak. Wajahnya bengkak
tengadah menatap langit, sekujur badannya berdarah. Orang-orang itu meremukkan
tubuhnya, mematahkan rusuk dan betisnya. Beberapa kali bunyi krok-krok-krok
meluncur dari tenggorokannya, kemudian diam, benar-benar diam.
Gde Aryantha Soethama, meraih Anugerah Kesetiaan Berkarya dari harian Kompas
pada 2016. Buku kumpulan cerpennya Mandi Api (2006) meraih Khatulistiwa Literary
Award. Hampir setiap tahun cerpennya lolos dalam buku Cerpen Pilihan Kompas. Ia
juga menulis buku-buku jurnalistik seperti Menjadi Wartawan Desa (1985), Wawancara
Jurnalistik (1986), dan Koran Kampus (1986).
CERPEN, DJENAR MAESA AYU, KOMPAS
Rumah-rumah Nayla
Entah nama apa yang tepat untuk tempat itu. Bar? Restoran? Warung? Sepertinya
pemiliknya tidak terlalu peduli, sebagai apa kontainer berukuran delapan kali dua
puluh meter persegi itu dimaknai.
Sudah dua jam setelah Nayla membuka tempat usaha barunya yang dinamai
Rumah Nayla. Kedengaran lebih mendekati makna kediaman ketimbang tempat usaha.
Dan memang ia tinggal di sana. Sekitar setahun lalu Nayla membeli sebidang tanah
yang tidak terlalu besar—jika dibandingkan dengan luas tanah rumah sebelumnya,
tapi juga tidak terlalu kecil—jika dibandingkan dengan luas tanah rumah tipe
sederhana. Tak sampai seratus lima puluh meter persegi luas tanahnya. Lalu dibelinya
dua kontainer, satu dijadikan tempat usaha bernama Rumah Nayla, dan satunya lagi
dijadikan sebagai tempat tinggalnya.
Dulu sekali saat Nayla menikah muda, ia tinggal di sebuah rumah mewah
bersama suaminya. Terletak di kompleks perumahan elit, dengan pos penjaga di
halamannya. Tak banyak kewajiban yang harus dilakukannya sebagai ibu rumah
tangga. Mulai dari membersihkan rumah, mencuci, memasak, bahkan kopi untuk
suaminya pun tinggal minta pembantu untuk melakukannya. Nayla juga tidak perlu
pusing tentang masalah keuangan. Suaminya yang bekerja di perusahaan keluarga,
entah benar bekerja atau cuma supaya kelihatan bekerja, hartanya tak akan habis
walau dimakan tujuh turunan. Hidup begitu ringan. Hidup yang bagi kebanyakan
orang adalah bentuk hidup idaman.
Hanya dalam beberapa bulan menikah, Nayla hamil dan melahirkan bayi
perempuan. Dan hanya dalam beberapa bulan setelah melahirkan, Nayla lagi-lagi hamil
dan melahirkan lagi-lagi bayi perempuan. Kendati mempunyai dua balita tak membuat
Nayla kerepotan karena lagi-lagi pengasuh bagi masing-masing bayinya disediakan. Ia
pun memutuskan untuk punya dua anak saja padahal biasanya bagi keluarga
peranakan, kehadiran bayi laki-laki amatlah diharapkan. Tapi lagi-lagi Nayla diberkati
keberuntungan. Suaminya sama sekali tidak keberatan. Hidup begitu ringan. Hidup
yang bagi kebanyakan orang adalah bentuk hidup idaman.
Sering Nayla tak percaya dengan apa yang dialaminya. Di kala media
memberitakan tentang peliknya perekonomian, agama diatas-namakan untuk
membenarkan kejahatan, perkosaan yang berakhir dengan pembunuhan, pembakaran
hidup-hidup terduga maling perabotan, patung dirubuhkan, hewan disiksa tanpa
alasan, dan segudang kekacauan yang terkadang sama sekali tak masuk akal bisa
dilakukan oleh makhluk yang konon nyaris mendekati kesempurnaan Tuhan, hidup
Nayla benar-benar steril tanpa noda. Bisa dibilang tak nyata dalam kehidupan nyata.
Maka, sering Nayla tak percaya dengan apa yang dirasakannya. Bagaimana
rumah yang demikian nyamannya, bagaimana suami yang begitu pengertian dan
mencintainya, bagaimana kedua anak perempuan cantik, pintar, dan sehat walafiat
keadaannya, bagaimana materi bukanlah sesuatu yang harus dirisaukannya,
bagaimana segala yang didambakan kebanyakan orang terjadi di dalam hidupnya,
semua itu tak cukup membuatnya bahagia?
Nayla selalu bahagia ketika berada di depan laptopnya. Ketika jari jemarinya
mengetik kata demi kata. Rasa itu sama seperti apa yang ia rasakan semasa kecil saat
menulis di buku catatannya. Di buku itu, Nayla membuat cerita. Jika ia tinggal di
sebuah rumah yang selalu dipenuhi aroma cinta. Di pagi hari saat ia membuka mata,
selalu tercium aroma kopi dan roti bakar yang sudah dipersiapkan Ibu untuk ayahnya.
Renyah tawa mereka selalu membuat Nayla ingin buru-buru bangun dari tidurnya.
Bergabung dan bercanda. Begitu pun saat Nayla sedang di sekolah. Yang ada di
pikirannya hanyalah buru-buru pulang ke rumah. Di mana aroma kopi dan roti
panggang sudah berganti dengan aroma sosis yang digoreng dalam minyak panas
hingga melepuh kulit luarnya. Tak seperti ibu-ibu temannya yang memaksa bahkan
memukul jika anaknya tak mau makan sayuran, ibunya hanya menghidangkan apa
yang Nayla suka. Dan sedemikian enggannya Nayla saat waktu tidur tiba. Rasanya
baru sebentar kebersamaan yang dilewatkannya sehabis Ayah pulang dan makan
bersama. Mereka akan duduk di sebuah meja makan bundar, tertawa, bercanda.
Rumah yang dipenuhi aroma cinta itu dinamai kedua orang tuanya, Rumah Nayla. Dan
itulah nama, yang diberikan Nayla bagi buku catatannya,
Tapi ia tidak menamakan laptopnya seperti buku catatannya. Walaupun
keduanya membuatnya merasa bahagia. Sebab seperti apa yang Nayla tulis di buku
catatannya yang sebetulnya sangat bertolak belakang dengan apa yang dialaminya,
demikian pula yang ia tulis di laptopnya. Ketika rumah yang dihuni dengan suami dan
kedua putrinya saat itu adalah rumah beraroma cinta yang nyaris seperti apa yang
Nayla tulis di buku catatannya, tapi penderitaanlah yang Nayla tulis di laptopnya.
Tentang sebuah rumah di masa kecilnya yang tak bernama. Di rumah itu tak ada
sedikit pun aroma cinta. Kedua orang tuanya pemakai narkoba. Jika mereka sedang
dalam pengaruh narkoba, semuanya baik-baik saja. Tapi jika mereka kehabisan
narkoba, mereka menjadi bukan seperti manusia. Nayla sering mendapat cacian
bahkan pukulan untuk kesalahan yang tidak diperbuatnya. Di usianya yang sepuluh
tahun Nayla sudah melakukan semua pekerjaan rumah tangga. Mulai dari
membersihkan rumah, mencuci pakaian, hingga memasak seadanya. Jika mereka
merasa rumah tidak terlalu bersih, maka Nayla menjadi sasaran kekesalan mereka.
Padahal Nayla merasa sudah melaksanakan tugas sebaik-baiknya. Awalnya mereka
hanya memakai narkoba berdua saja. Tapi lama kelamaan rumah mereka tak pernah
sepi dari tamu. Ada yang datang hanya sebentar lalu segera pergi. Ada yang menginap
dan mabuk bersama hingga berhari-hari. Ada pernah juga yang datang menagih uang
sehingga mereka harus bersembunyi di dalam rumah yang terkunci. Terjadi seperti itu
berulang kali. Hingga suatu hari tiga orang laki-laki berbadan besar mendobrak masuk.
Mereka memukuli kedua orang tuanya hingga ambruk. Tak berhenti di sana, mereka
bergantian meniduri Nayla. Aroma alkohol menyeruak dari desahan mereka. Nayla
menangis dan mengiba. Tapi tak ada iba di mata mereka. Tak ada aroma cinta.
Semua yang Nayla tulis di dalam laptopnya yang tak bernama itu dibaca
suaminya.
Itu sudah cukup untuk membuat hidup yang didambakan kebanyakan orang
berubah seketika. Suaminya tak lagi bicara. Ia juga tak lagi pulang selepas jam kerja.
Nayla tak bisa dan tak mau menyalahkannya. Ia hanya mencoba memperbaiki dengan
tak lagi menulis di laptopnya. Sepenuhnya waktu ia habiskan dengan kedua putrinya.
Tapi semakin lama, suaminya tak hanya tak pulang selepas jam kerja. Kadang ia pergi
berhari-hari, berminggu-minggu, lantas berbulan-bulan lamanya. Di bulan ketiga
suaminya pulang dan bicara, adalah hari di mana ia menceraikan Nayla. Sudah ada
perempuan lain dalam hidupnya. Yang membahagiakan dan bisa dibahagiakan,
katanya. Lucunya, Nayla bisa mengerti sepenuhnya. Nayla tahu persis rasanya
mencoba mencintai dan dicintai tapi diabaikan. Sama persis seperti apa yang kedua
orangtuanya lakukan.
Saat kedua putrinya bersama ayah dan ibu baru mereka, Nayla sering
membayangkan. Sebuah rumah bertingkat dua dengan kolam renang membelah di
tengah-tengahnya sehingga bisa dilihat dari segala ruangan. Di lantai dua sisi kiri
adalah kamar-kamar kedua putrinya, dan kamar tamu di sisi kanannya. Di lantai
bawah sisi kiri adalah kamar tidur dan kamar studi Nayla, sementara dapur dan ruang
keluarga berada di sisi kanannya. Nayla membayangkan, jika rumah itu sudah menjadi
nyata, ia tak lagi mau menggunakan jasa asisten rumah tangga. Ia akan melakukan
segalanya sendiri untuk menunjukkan cintanya. Ia akan membersihkan rumah,
mencuci pakaian, memasak segala yang mengeluarkan aroma cinta. Ia pun mulai
kembali membuka laptopnya yang tak bernama. Dibacanya ulang catatan-catatan
pendek dan dijadikannya menjadi beberapa cerita. Setelah terkumpul beberapa, ia
kirimkan ke penerbit buku yang dengan segera mau menerbitkannya. Bukan dari buku
itu benar Nayla mendapatkan uang sebesar yang diharapkannya. Tapi, walaupun buku
yang diterbitkannya dicetak ulang berkali-kali, ia juga mendapat banyak pekerjaan
sampingan yang lebih menghasilkan. Menuliskan buku orang tanpa namanya
disebutkan, ternyata jauh lebih menguntungkan. Sedemikian menguntungkannya
hingga ia bisa membangun rumah seperti yang ia bayangkan.
Rumah itu beraroma cinta. Dengan kolam renang yang membelah di tengahnya.
Kedua putrinya sudah lebih banyak tinggal di rumah itu ketimbang di rumah ayahnya
yang sudah memiliki seorang putra. Sebelum mereka pulang dan saat mereka pulang
sekolah ada aroma roti panggang, sosis goreng, apa pun yang mereka minta. Nayla pun
membersihkan dan merawat rumah itu dengan segenap tenaga dan cinta. Nayla juga
hanya membuka laptopnya jika ada tawaran saja. Ia tak tahu mengapa rasanya lebih
mudah bahagia bersama kedua putrinya saja. Mengapa bahagia itu tidak Nayla
rasakan saat ia bersama kedua putri dan suaminya? Mengapa Nayla merasa bahagia
hanya saat berada di depan laptopnya seperti apa yang ia rasakan semasa kecil saat
menulis di buku catatannya yang dinamakan Rumah Nayla? Apakah hati Nayla sudah
sejak lama bercerai dengan laki-laki jauh sebelum mantan suaminya menceraikannya?
Rasanya tak ada lagi daya untuk membersihkan dan merawat rumahnya itu.
Berbagai penyakit pun mulai diidapnya sejak menginjak umur empat puluh lima tahun
awal tahun lalu. Mulai dari kolesterol, hipertensi, hingga paru-paru. Tapi yang
terutama adalah tak adanya alasan ataupun motivasi. Tak ada desakan kebutuhan
bagi dirinya sendiri.
Lalu Nayla membuka kembali laptopnya yang tak bernama seperti rumah yang
ditinggalinya. Di laptop itu ia kembali membuat cerita. Tentang sebuah rumah
kontainer berlantai dua. Di bawahnya adalah tempat usaha, dan Nayla tinggal di
atasnya. Tempat itu menjual apa yang disukai dan tak akan merepotkannya. Kopi
bungkusan, bir kalengan, dan makanan yang hanya pada hari itu ia ingin masak saja.
Jika tak ada yang datang, paling tidak ia bisa menikmati dan mengonsumsi apa yang
ia sukai sendiri. Jika ada yang datang anggap saja ada yang menemani.
Di bagian itu jari Nayla berhenti mengetik. Menemani? Entah sudah berapa lama
Nayla sendiri. Tak berteman, tak juga terlibat asmara dengan laki-laki. Kebutuhan
seksual tak pernah terlalu berarti, karena Nayla sudah kehilangan birahi sejak
perkosaan yang ia alami.
Nayla menatap laptopnya. Sudah dua jam setelah Nayla membuka tempat usaha
barunya yang dinamai Rumah Nayla. Tapi tak ada satu pun yang sepertinya berminat
untuk singgah di sana. Entah nama apa yang tepat untuk tempat itu. Bar? Restoran?
Warung? Kontainer berukuran delapan kali dua puluh meter persegi itu hanya berisi
lima meja. Dua meja cukup besar untuk empat kursi, dan dua meja kecil untuk dua
kursi di sisi kiri dan kanannya. Ke empat meja itu terletak di depan dapur terbuka
dengan satu penggorengan dan kulkas berisi bir kalengan. Ruangan itu didominasi
warna putih dan abu-abu. Demikian pula dengan meja dan kursi di ruangan itu. Tapi
ada satu meja di sudut dekat jendela, tepat sebelum pintu masuk yang berwarna coklat
tua. Berisi satu kursi seolah menegaskan jika meja itu itu tak untuk berbagi dengan
siapa pun juga. Meja itu miliknya.
Pintu terbuka, membuyarkan perhatian Nayla. Yang membuka pintu terlihat ragu
karena tak ada siapa-siapa selain Nayla di dalamnya.
“Buka?”
Djenar Maesa Ayu, ibu dari dua orang putri, Banyu Bening, Bidari Maharani, dan
eyang putri dari Embun Kinnara ini, lahir di Jakarta 14 Januari 1973. Ia telah
menerbitkan enam kumpulan cerpen berjudul Mereka Bilang, Saya Monyet!, Jangan
Main-main (dengan Kelaminmu), Cerita Pendek tentang Cerita Cinta Pendek, 1
Perempuan 14 Laki-laki, T(w)ITIT!, SAIA dan sebuah novel berjudul Nayla. Belakangan
lebih dikenal sebagai sutradara film