Anda di halaman 1dari 117

[Document title]

[Document subtitle]

darmanto radjab
[COMPANY NAME]
Kasur Tanah ilustrasi Polenk Rediasa/Kompas

Cerpen Muna Masyari (Kompas, 17 September 2017)


Apa kau tidak merasa bahwa embu’ sengaja menjadikanmu sebagai sortana,
menggantikan perabot yang semula ia tata rapi dalam kotak lemari paling atas, dan
setiap senja dilapnya seolah takut ada debu hinggap? Perabot sortana yang berupa
satu gelas, cangkir (lengkap dengan tatakannya), piring, baki ukuran kecil, dan
mangkok itu dipesan khusus oleh embu’, dan baru datang dua bulan lalu. Tepatnya,
sejak embu’ mulai sakit-sakitan. Entah pada siapa embu’ memesannya. Yang
mengantarkan adalah seorang pemuda tanggung yang tidak pernah kau kenal, dan
sepertinya embu’ pun demikian. Barangkali ia sekadar orang suruhan.
Semua perabot sortana itu terbuat dari keramik perak bergambar wajah embu’
pada tepi piring, pada tengah-tengah tatakan cangkir dan baki, pada dinding luar
cangkir, gelas dan mangkok. Gambar itu diambil dari foto embu’ saat masih berusia
sekitar 30 tahun. Sangat cantik! Meskipun kepalanya ditudungi selembar kerudung
panjang berenda emas, gelung berhias roncean kembang melati di belakang telinga
masih sedikit terlihat.
Pada hari pernikahan sekaligus kematian ini, barangkali kau tidak merasa bahwa
embu’ sengaja menjadikan dirimu sebagai pengganti perabot sortana yang pernah
diperlakukan istimewa itu.

***

“Kegunaan sortana sebenarnya untuk apa sih, Bu’?” suatu senja, kau sengaja
menghampiri embu’ yang sedang mengelap cangkir dengan sobekan kain beludru;
bekas baju hantaran dari ayahmu waktu mereka menikah dulu. Mata embu’ membeling
dan gerakan tangannya sangat lambat. Ia sempat gugup meski kau datang dengan
langkah nyaris tak terdengar.
Terpercik pertanyaan besar di matamu, karena setiap ada orang meninggal,
keluarganya biasa menghaturkan berbagai macam perabot pada seorang kiai atau guru
‘ngaji sebagai sortana. Apalagi, perabot pesanan yang sering embu’ lap itu katanya
untuk dijadikan sortana juga.
“Selain bernilai sedekah jariyah, juga agar yang meninggal mudah diingat,” jawab
embu’ setelah berhasil menyisihkan kegugupannya.
“Berarti, walaupun kita sudah meninggal, dengan melihat sortananya orang akan
teringat pada kita?”
Beberapa saat embu’ terbatuk. Batuk yang sangat kering dan membuat tulang
rahangnya mencuat. “Iya, salah satu manfaatnya,” setelah batuknya reda.
“Oh.”
“Kalau sortana itu dipakai untuk kebaikan, tentu menambah nilai pahala bagi yang
meninggal. Itu sebab, mengapa dinamai sortana, mengambil dari kata kasorra tana,
atau kasur tanah.”
“Artinya, kasurnya orang yang sudah meninggal?”
Embu’ mengangguk, meletakkan cangkir yang sudah dilap, lalu mengambil piring
dan mengelapnya dengan gerakan halus. Sebentar embu’ terbatuk lagi.
Seminggu ini batuk embu’ tambah parah. Tubuhnya semakin ringkih. Bahkan dua
hari lalu ia mengaku batuk darah padaku. Namun ia memintaku merahasiakannya
darimu. Ia pun menolak dianggap dan diperlakukan sebagaimana orang sakit.
Meskipun pekerjaan dapur sudah kau bereskan sejak sebelum subuh, dan baju-
baju kotornya kau cuci sebelum sinar matahari mengecup gorden jendela kamarnya,
embu’ masih bersikeras menyapu lantai dan halaman yang banyak mengepulkan debu
saat disapu, hingga berakibat napasnya kian sengal gara-gara batuk panjang.
Sudah empat kali kau antar embu’ ke mantri desa, tidak ada perkembangan sedikit
pun. Ketika mencoba dibawa ke dukun, katanya embu’ kena teluh yang dikirim oleh
lelaki yang ditolak lamarannya setelah ayahmu meninggal.
Ah, tidak sedikit lamaran para duda yang embu’ tampik. Ia pun tidak mau
membidik sangka pada salah satu di antara mereka. Katanya, sehat dan sakit adalah
pemberian dari yang Mahakuasa, dan merupakan salah satu kemurahan Tuhan untuk
menggugurkan dosa-dosa si bersangkutan.

“Jika aku meninggal, haturkan perabot-perabot ini ke guru ’ngajimu,” lirih, seolah
Malaikat Jibril sudah menunggu embu’ di luar pintu, hingga kecemasan kian
membelukar di matamu.
“Embu’ tidak akan mati. Yakinlah, Embu’ akan cepat sembuh.”
“Sakit tidak ada hubungannya dengan kematian, Bhing! Yang namanya makhluk
hidup pasti akan mencicipi mati. Entah itu datangnya cepat atau lambat, disebabkan
sakit atau tidak, bila tiba waktunya tidak ada yang bisa menolak,” dengan nada datar
dan senyum tawar.
“Tapi aku tidak ingin ditinggalkan Embu’,” rusuh di dadamu tergetar jelas dari
suaramu.
Embu’ menatapmu. Bibirnya melengkung tipis. “Sekarang kau sudah besar.
Sebelum mati, aku ingin melihatmu menikah.”
Menikah? Kautatap embu’ lekat-lekat. Meskipun wajahnya tampak pucat dan
bibirnya retak-retak, gurat kecantikan masih tersisa jelas. Semasih muda embu’
memang lebih cantik darimu. Ia menjadi perawan desa yang diperebutkan. Namun,
perbedaan status sosial, tradisi pertunangan sejak bayi, hingga martabat yang harus
dijunjung tinggi telah menumbalkan sebiji cinta yang dimilikinya. Tidak ada pilihan
baginya kecuali tunduk di hadapan orangtua. Pada tradisi takdir perjodohan bayi.
Setelah menikah, embu’ memilih setia pada ayahmu, yang telah menjadi
tunangannya sejak masih bayi dan memendam cintanya dalam-dalam. Katanya,
kehormatan seorang perempuan setelah menjadi istri berada pada kesetiaannya.
Bahkan, meskipun menjanda di usia cukup muda, embu’ tidak pernah tergoda
menikah lagi. Embu’ juga tidak suka memedulikan cibiran sinis para tetangga yang
merasa cemas suaminya larak-lirik.
Cinta rumit masa lalu membuat embu’ tegar dan bersikap lebih tenang. Bahkan,
embu’ juga menanggapi dengan santai saat kau adukan bisik-bisik tetangga di warung
mengenai dirimu.
“Kata orang aku bukan anak kandung ayah. Benarkah, Bu?” dengan wajah kesal
kau pulang dan menyemburkan pertanyaan itu.
Ayahmu memang sudah tua saat menikahi embu’, dan ia tidak memiliki keturunan
satu pun dari istri-istrinya terdahulu. Kakekmu terpaksa menjodohkan embu’ yang
baru lahir dengan lelaki kaya yang sudah beristri tiga itu demi membalas budi setelah
membantu biaya kelahiran embu’. Kata kakekmu, ia tidak mau menanggung utang
budi hingga mati.
“Apakah menikah dengan orang yang jauh lebih tua dari kita banyak menimbulkan
prasangka di kemudian hari, Bu?” tanyamu suatu malam, sepulang dari langgar dan
gulungan mukena masih terdekap di dada.
Alis embu’ terangkat hingga bola matanya tampak kian membulat. “Kenapa kau
bertanya demikian?”
Kau menggeleng ragu. Tentu bayangan waktu kecil merimbun di kepalamu. Setiap
ada pertemuan wali santri di sekolah menjelang haflatul imtihan, teman-teman kerap
meledekmu, mengatakan ayahmu lebih pantas kau panggil kakek.
“Jodoh sudah ditentukan sebelum kita lahir. Manusia tinggal menjalani, kecuali
masih ingin menggugat Tuhan, dan itu pekerjaan sia-sia,” embu’ menyentuh
pundakmu lembut. Tangan satunya memegang cangkir. Tidak sedang dilap. Saat kau
menghambur masuk ke kamarnya, kau lihat ia sedang memandangi cangkir itu lekat.
“Kalau aku menikah dengan lelaki yang sudah seusia embu’, apa tidak keberatan?”
Embu’ menatap matamu, seolah ingin menyelami hingga ke dasar hatimu. “Dulu
aku tidak setuju kau dijodohkan sejak bayi, supaya kau bebas memilih akan menikah
dengan siapa. Tidak peduli orang-orang menganggapmu sebagai anak perempuan yang
tidak cepat laku,” sudut bibirnya tertarik sedikit.
Risiko menolak tradisi perjodohan bayi, selain dipandang sebagai anak perempuan
tidak laku, ujung-ujungnya kelak ia menikah dengan orang dari luar daerahnya.
“Apa kau sudah punya pilihan?”
Kau tak segera menjawab.

“Kau masih muda. Pilihlah lelaki yang seusia atau lebih tua sedikit darimu. Jangan
sepertiku,” ada penyesalan berakar yang berusaha embu’ pendam di antara desah
napasnya.
“Seandainya jodoh yang ditentukan Tuhan untukku seusia embu’, apa kita akan
menggugat-Nya?”
Embu’ terbatuk, seolah tersedak oleh perkataannya sendiri. “Apa ia seorang duda?”
selidiknya kemudian.
Kau menggeleng.
Kening embu’ berkerut, “belum menikah sama sekali?”
Kau mengangguk dengan sudut bibir tertarik ke samping. Senyum yang gagal.
“Ia serius padamu? Kenapa tidak datang kemari melamarmu?”
“Beliau memintaku untuk menanyakannya lebih dulu pada embu’, apakah
merestui atau tidak?”
Embu’ terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Kalau sekiranya tidak akan
membuatmu menyesal di kemudian hari, terserah pada keputusanmu.”
Kau tersenyum tawar. Namun ada bias kelegaan di matamu.
“Siapa dia?”
“Beliau…” Kau ragu sejenak, menelan ludah.
Alis embu’ terangkat, sebuah isyarat agar kau melanjutkan kalimat.
“Beliau adalah guru mengajiku, Keh Sakdulla!”
Cangkir di tangan embu’ terlepas jatuh. Kau tersentak. Tatapan embu’ tiba-tiba
serupa bilik kosong yang sunyi meskipun sempat terbelalak sebentar dan menatapmu
penuh kejut. Wajah embu’ mendadak beku. Ia tidak memedulikan cangkir yang
berpuing di lantai. Lidahmu kelu. Kesunyian berkelindan. Kau terpaku heran.

***

Tidak ada sortana berbahan keramik dan bergambar wajah embu’ yang bisa
dihaturkan ke rumah guru ‘ngaji. Perabot-perabot itu telah menjadi puing di lantai
ketika pagi tadi kau memeriksa kamar embu’ karena tak kau lihat ia menyapu halaman
seperti biasa, meskipun sinar matahari sudah mengecup gorden jendela kamarnya
setengah jam yang lalu. Gelas, cangkir, piring, baki, mangkok, tatakan cangkir, tidak
utuh lagi. Tidak ada yang tersisa. Puing-puingnya berserak di lantai, dekat kaki
pembaringan. Kau sempat histeris mendapati tubuh embu’ terbujur kaku dengan
wajah mengapas di atas pembaringan. Raung tangismu menggegerkan para tetangga.
Setibaku di sana bersama tetangga lain yang berduyun-duyun, kau telah terkulai
di lantai, di antara puing-puing perabot keramik yang berserakan. Kau baru tersadar
ketika embu’ sudah diusung ke pemandian. Hanya aku dan lelaki itu yang
menungguimu di kamar, menunggu kau tersadar.
“Embu’?” kau sapu ruangan dengan mata yang baru terbuka.
Kubantu kau bangun.
“Embu’ sedang dimandikan. Ada sesuatu yang ingin kami bicarakan denganmu,”
kutahan pundakmu ketika kau bermaksud turun dari pembaringan.
“Sesuatu apa?”
Kami, aku dan lelaki di sampingku, Keh Sakdulla, menukar tatap. Kau pun
menatap kami bergantian dengan kening berkerut.

***

Sebelum jenazah diantarkan ke pekuburan, akad pernikahanmu dilangsungkan di


samping keranda. Setelah akad nikah selesai, kita pun ikut mengantarkan jenazah
embu’.
Kaulah sortana bagi embu’. Keberadaanmu tentu semakin melekatkan ingatan
lelaki itu padanya. Pada cinta pertama mereka. Hari inilah hari kematian embu’,
sekaligus hari pernikahanmu. Memang demikian pesan yang embu’ titipkan padaku;
menikahkanmu di dekat kerandanya.
Ada satu amanah lagi yang embu’ titipkan padaku; menjaga rahasianya. Rahasia
identitasmu. Kau dan siapa pun tidak boleh tahu, bahwa Keh Sakdulla, lelaki yang
baru saja menikahimu adalah ayah biologismu. Sebagai perempuan yang dulu menjadi
santri abdi di rumah Keh Sakdulla, akulah saksi cinta mereka yang kandas karena
status sosial dan tradisi perjodohan.
CERPEN, KOMPAS, LINA PW

Rumah Batu Kakek Songkok

Rumah Batu Kakek Songkok ilustrasi Kun Adnyana/Kompas


“Jadi juga pesan pasir?” tanya Sabang pada ayahnya, dengan napas tersengal.

Sabang tinggal tak jauh dari rumah Kakek Songkok, panggilan sang ayah oleh
warga kampung. Ia memperhatikan sebuah pikap menurunkan pasir, lalu tergopoh-
gopoh menghampiri ayahnya.

“Iye, kita bikin baru rumah kita, jadi rumah batu,” jawab Kakek dengan senyum
mengembang sembari membenahi letak songkok. Karena songkok itulah ia dipanggil
Kakek Songkok oleh warga kampung. Peci tak pernah lepas dari kepala Kakek. Bahkan,
seluruh anaknya kerap memanggil ayah mereka dengan Kakek Songkok.

Sabang mengerutkan kening, yang membuat Kakek teringat pertengkaran dengan


putranya dua malam lalu saat Kakek menyampaikan niat menjadikan rumahnya
rumah batu.

“Kenapa harus rumah batu? Tak usahlah dengar kata orang,” cecar Sabang. Ia
satu-satunya yang tidak setuju keinginan ayahnya mengubah rumah papan menjadi
rumah batu. Bagi Sabang, rumah masa kecil harus tetap seperti sedia kala. Apalagi
kalau ayahnya mengubah rumah hanya karena omongan tetangga.

“Bukan karena kata orang, sudah lama mau kuubah rumah ini. Lihat ko papannya,
ibumu sudah berapa kali jatuh karena papan-papan itu sudah tua,” ujar Kakek
Songkok lirih, tubuhnya berkeringat. Tidak sanggup ia beradu mulut dengan putra
kesayangannya.

“Aih, tidak, tidak. Rumah kita harusnya biar begini saja. Di sini kenangan kita
semua. Kenapa harus diubah?” Sabang setengah membentak ayahnya sambil
menunjuk sekeliling rumah. Suaranya meninggi, mukanya merah padam menahan
marah.

Sejak hasrat mengubah rumah muncul, dan dikabarkan ke seluruh keluarga, saat
itu Sabang sudah menentang. Kakek mengalah, mencoba membujuk Sabang agar
paham. Tapi, pertengkaran dua hari lalu itu kini bangkit kembali. Sabang memandang
gundukan pasir itu. Ia bayangkan, tak lama lagi pasir-pasir itu akan dicampur semen,
merekatkan batu-batu. Bagi Sabang, batu-batu itu bersatu padu melindas kenangan
masa kecilnya di rumah kayu yang tak lama lagi akan dirobohkan. Ia banyak melihat
keadaan itu terjadi pada kawan-kawan di kota saat sekolah dulu. Saat itu ia hanya
tertawa karena yakin kampungnya tetap teguh mempertahankan rumah adat mereka,
kenangan mereka akan hidup. Tapi, sekarang tampaknya akan pupus pula kebanggaan
itu.

Sabang sadar, tak ada guna lagi menentang. Tak pantas lagi berharap. Semua
bilah-bilah kayu itu, jendela-jendela, lantai, usuk, papan-papan, tempat semua
kenangan masa kecil melekat dan menancap, akan segera lenyap. Rencana sedang
dijalankan, keinginan tengah diwujudkan untuk melumat wujud sejarah sebuah
keluarga. Semua akan tinggal kenangan yang mengambang. Melayang-layang
mendesak-desak dada.

Mulut Sabang terkunci, ia pulang tanpa pamit, membiarkan Kakek Songkok


terdiam hampa. Memang, Sabang sangat keras soal rumah. Ia juga yang menentang
saat sang ipar, suami kakak perempuannya, membangun rumah batu sedari awal
mereka menikah.

Kakek berjalan terbungkuk ke arah balai bambu di bawah rumah panggungnya.


Langkahnya lunglai, matanya kuyu. Istrinya menyusul. Mereka duduk dalam diam
dielus angin sepoi yang biasa lewat di bawah rumah. Balai-balai ini tempat kesukaan
pasangan tua itu. Pagi, siang, sore, bahkan malam, angin akan datang menghampiri,
tak peduli musim apa pun yang sedang hinggap di kampung. Tapi tak ada yang terlalu
suka di balai saat malam. Selain karena gelap tak menyenangkan, nyamuk-nyamuk
akan berpesta pora, membuat penghuni sibuk menggaruk seluruh badan.

“Ah, kenapa aku marah ke Sabang. Harusnya tak usah sampai begitu,” bisik Kakek
pada dirinya sendiri. Lama Kakek duduk diam, tenggelam dalam pikiran sendiri.

Sesekali Kakek Songkok memandang berkeliling, seolah ingin menelan rumah


dengan tatapan matanya. Balai itu sendiri tanpa dinding papan. Kakek memasang
bambu-bambu melintang di tengah tiang-tiang rangka rumah. Di situlah mereka biasa
bercengkerama. Rumah mandar seperti rumah Kakek, besar, luas, dan memiliki tiang-
tiang rangka kokoh sebagai penyangga. Orang-orang menyebut rumah ini rumah
panggung. Tiang rangka yang digunakan tinggi, hingga tiga meter, sebelum mencapai
papan pijakan rumah. Biasa dibuatkan tangga untuk bisa memasukinya.

Kakek Songkok menatap tangga rumahnya yang sudah berlubang, beberapa


papannya lapuk dimakan usia. Seminggu lalu, cucu Kakek terluka karena berlari-lari
di sekitar meja tamu. Ia terperosok di antara papan yang remuk karena tua. Kaki gadis
kecil lima tahun itu berdarah-darah.

Kejadian itu menyadarkan Kakek, rumahnya sudah renta. Memperbaikinya


menjadi rumah batu bagi Kakek seperti memastikan keluarganya aman, tak ada lagi
yang perlu terluka.

Masih menekuri kerapuhan rumahnya sendiri, tiba-tiba menantu Kakek memberi


salam, memanggil kembali Kakek dari buaian angin sepoi.

“O, Darman, sini, sini,” sapa Kakek Songkok mendengar suami anak sulungnya
mengucap salam.

Masih berdiri Darman berujar, “Bagaimana jadinya pembangunan rumah ini, Kek?”

Kakek menghela napas, memandang sekeliling rumah lagi, lalu menatap Darman,
sambil berkata muram, “Yah, Sabang tetap tak setuju. Tapi pemesanan bahan sudah
berjalan, akan datang besok. Malam nanti kita bujuk lagi Sabang agar setuju ubah
rumah.”

Darman mengangguk-angguk. Ia bukan orang Mandar. Tidak seperti Sabang dan


Kakek Songkok. Ia tak pernah menikmati kebersamaan memindahkan rumah
panggung beramai-ramai. Kebersamaan yang menyatukan warga kampung. Di tanah
Mandar, masyarakat biasa saling bantu saat akan memindahkan rumah. Dari
kampung sebelah pun datang mengangkat rumah panggung itu ke tempat baru.
Tawa riuh rendah bercampur masam bau keringat serta teriakan semangat selalu
menyemarakkan pemindahan rumah. Semua lelaki kampung turun tangan, rumah
panggung yang berat dengan tiang dan tangga itu akan dipindahkan dalam sekali
waktu, bersama-sama. Setelah rumah pindah, masyarakat menikmati makanan
ringan, seperti loka yanno, pisang goreng gurih sedap disantap selagi hangat, dan
bubur kacang hijau yang disuguhkan oleh si empunya rumah. Kebersamaan itu
mengikat masyarakat kampung. Sabang suka sekali membantu pemindahan rumah,
ia akan bersenda gurau dengan pemuda kampung yang ikut serta. Apalagi ayahnya,
Kakek Songkok, ditunggu-tunggu pemuda kampung karena selalu memberi guyon
semangat saat akan memindahkan rumah. Hari-hari Sabang kecil riuh oleh pekik
semangat dan kebersamaan warga. Tapi, itu semua tak pernah dirasakan Darman.
Kenangan indah kebersamaan itulah yang merasuk dalam diri Sabang sehingga ia
selalu menentang pembangunan rumah batu.

Darman datang dari pulau sebelah. Belum lama di tanah Mandar, ia merantau
sebagai tukang listrik di Malaysia. Dengan uang hasil kerjanya, ia membangun rumah
batu pertama di kampung itu. “Rumah panggung sudah ketinggalan zaman,” katanya
sengit.

Tak disangka pembangunan rumah batu diikuti warga lain. Menimbulkan gengsi
sendiri kata mereka. Hanya Sabang yang berang, mengatakan rumah panggung adalah
tradisi, adat yang harus mereka rawat. Dalam tiga tahun sejak Darman membangun
rumah batu pertama itu, hampir seluruh warga yang mampu langsung mengubah
rumah mereka menjadi rumah batu. Warga yang tidak mengubah rumahnya dianggap
berkehidupan di bawah standar. Keberadaan rumah batu menentukan tingkat sosial
mereka. Dan tidak ada yang lebih menyakitkan daripada dipandang tidak mampu oleh
warga sekampung.

Kepala kampung yang seolah peduli dengan kehidupan warganya melontarkan


gagasan membantu warga yang tempat tinggalnya belum rumah batu, dengan memberi
sumbangan dari dana desa. Ia menyampaikan gagasan itu dengan lembut, tetapi terasa
sangat mendesak-desak, juga membujuk-bujuk, yang kemudan disambut riang
gembira oleh warga. Pembangunan rumah batu dimulai. Hanya dua orang yang
menolak: Sabang, yang tidak mau mengubah rumahnya sama sekali, dan Kakek
Songkok, ayah Sabang, yang mengatakan ia punya cukup uang untuk membangun
rumah batu, hanya menunggu waktu.

“Baik, kalau begitu saya permisi dulu,” kata Darman, tidak naik ke rumah. Kakek
Songkok mengangguk singkat.

Sepeninggal Darman, Kakek menaiki tangga rumah, membuat bunyi berderak dan
kriut kencang. Ia berjalan ke kamarnya, berjingkat, menghindari lubang-lubang rapuh
kayu rumah. Kakek lalu berbaring di dipan tanpa kapuk yang dipenuhi sarung dan
baju-baju. Pikirannya dipenuhi rasa sesal karena pertengkaran dengan Sabang pagi
tadi.

Belum lama berbaring, Kakek Songkok terlonjak oleh salam Sabang. Lekas-lekas
Kakek merapikan sarung, menyambut Sabang, siap menerima gelegak marah putranya
lagi.
Tapi kali ini Sabang datang dengan penuh kelembutan. “Sudah saya putuskan.
Lanjutkan saja pembangunan rumah ini. Saya mendukung apa pun yang akan
dilakukan,” ujar Sabang pelan, terasa seperti igauan yang teduh.

Kakek setengah melongo, tergagap menjawab, “Ah, benar setuju ko?”

“Iye, kalau memang sudah diputuskan dan itu yang paling baik, teruskan,” kata
Sabang. Kakek mengangguk-angguk senang, tak menyangka anaknya akan
mendukung.

“Tapi bagaimana denganmu? Ubah juga rumahmu jadi rumah batu, ya?” bujuk
Kakek.

Sabang hanya tersenyum kecil. Kakek merasa senyum putranya lebih dari cukup
untuk sebuah persetujuan. “Nanti rumah ini juga punyamu, kan. Keluargamu bisa
hidup baik di rumah batu, tak perlu panas-panas karena atap seng ini, nanti ganti juga
jadi genteng,” tambah Kakek kegirangan.

Sabang memandang berkeliling. Matanya melahap kenangan masa kecil ketika


tinggal di rumah kayu ini. Jatuh pertamanya di papan kayu, cengkeh pertama yang ia
poteki semasa kanak, semua di ruang ini. Air muka Sabang menyiratkan ia sungguh
tak rela menjadikan rumah ini rumah batu. Namun, ia sudah memutuskan mengikuti
keputusan ayahnya. Kakek Songkok masih berkata tanpa henti tentang rumah batu
saat Sabang pamit.

Pembangunan pun dimulai. Papan-papan rumah dibongkar, tiang-tiangnya


dibuang. Pasir dan semen dicampur, batu-batu disusun. Darman dan semua keluarga
berdatangan membantu, atau sekadar melihat pembongkaran rumah tua mereka.
Sabang tak pernah datang, tak juga muncul saat rumah selesai dibongkar. Dinding
batu pertama sudah rampung, tapi Sabang tak juga tampak.

Banyak yang memuji, atau setengah menyindir, akhirnya Kakek Songkok


memperbaiki rumah, dan tidak dipandang sebelah mata lagi oleh tokoh kampung. Ia
hanya tersenyum menyaksikan rumahnya menjadi rumah batu. Meski heran mengapa
putranya tak pernah menjenguk pembangunan rumah, Kakek tak terlalu gelisah, ia
ingat perbincangan terakhir saat Sabang menyetujui keputusan tersebut.

Ketika rumah batu itu rampung, Kakek mengadakan syukuran kecil. Kepala
kampung yang diundang memberikan sambutan betapa bijak keputusan Kakek
Songkok untuk mengubah rumah, dan memuji betapa indah rumah-rumah batu di
kampung yang ia pimpin. Sebelum syukuran, Sabang dipanggil, tapi yang dicari tak
ada di rumah. Acara tetap berjalan tanpa kehadiran Sabang.

Masih subuh, saat akan bersiap ke kebun, Sabang menghampiri ibunya, di depan
rumah. Kakek minum kopi di teras.

“Ke mana saja ko? Kenapa tak pernah datang? Mau ke mana lagi?” tanya Kakek
melambai pada Sabang.
“Saya mau pindah ke Ratte. Tak ada lagi yang sanggup saya bikin di sini, rumah
kita juga sudah berubah,” ujar Sabang menahan isak. Ia menggendong ransel. Di
motornya ada satu tas besar lagi, dipegang oleh Sarti, istri Sabang. Ia akan tinggal di
kampung istrinya di Ratte, letaknya di balik bukit. Di sana ia bisa tetap tinggal di
rumah panggung, terhindar dari tekanan untuk mengubah rumahnya menjadi rumah
batu.

“Rumahmu ini bagaimana? Kami bagaimana?” tanya Kakek, melonjak dari


duduknya, kaget saat Sabang memutuskan pergi.

“Tak apa. Rumah saya berikan pada Darman untuk anaknya, mau dijadikan rumah
batu juga. Semua kan sudah aman dalam rumah batu. Lenyap kenangan kita, hilang
juga saya,” jawab Sabang menghidupkan motornya. Ia berlalu, sedih.

“Saya sudah berusaha tahan. Dia tak mau dengar, aih,” tiba-tiba Darman datang,
berusaha selekas mungkin sampai pada Kakek. Sabang sudah tak terlihat lagi.

Kakek Songkok duduk dengan tatapan kosong, matanya sembab, bayangan Sabang
semakin jauh. Deru motornya kian sayup, begitu jauh. Angin tak kuasa lagi
mengantarnya.

Lina PW, lahir dan besar di Pulau Dewata, Bali. Memulai menulis sejak sekolah
menengah dengan menuangkan ide dan pengamatannya melalui tulisan jurnalistik.
Lina pernah menjadi wartawan lepas di beberapa media lokal dan kontributor kisah
perjalanan di sejumlah media nasional. Tulisan-tulisannya antara lain dibukukan
dalam antologi Merajut Mimpi di Sudut Negeri dan Kerlip Cahaya di Perbatasan. Tahun
2016, ia mengikuti workshop penulisan cerpen yang diselenggarakan harian Kompas.
Kini Lina menetap di Bali, bersama teman-temannya, ia tengah merancang komunitas
menulis bagi kaum belia.
AHMAD TOHARI, CERPEN, KOMPAS

Paman Klungsu dan


Kuasa Peluitnya

Paman Klungsu dan Kuasa Peluitnya ilustrasi Sandi Jaya Saputra/Kompas

Di sekitar jalan simpang tiga dekat pasar, nama Paman Klungsu sudah lama
mapan. Dia adalah sosok yang punya kuasa di tempat itu. Dengan andalan lengking
peluitnya, Paman Klungsu bisa mengatasi kemacetan lalu lintas, terutama di pagi hari.
Pada saat itu, para pedagang laki-laki dan perempuan seperti beradu cepat mencapai
pasar. Mereka naik sepeda atau motor dengan dua keranjang di bagian belakang.
Puluhan anak SMP dan SMA dengan motor yang knalpotnya dibobok juga berebut
keluar dari jalan kampung ke jalan raya. Tanpa helm, tanpa SIM. Tetapi mereka
kelihatan tak peduli dan amat percaya diri. Guru-guru SD, beberapa di antaranya
sudah bermobil ikut menambah kepadatan lalu lintas di simpang tiga itu. Maka, orang
bilang, untung ada Paman Klungsu yang dengan lengking peluitnya bisa memuat
semua menjadi lancar.

Polisi lalu lintas belum pernah datang di sana. Tetapi, Paman Klungsu biasa
memakai rompi lusuh bercap “Poltas Swakarsa” dengan tulisan spidol. Entah siapa
penulisnya. Selain rompi lusuh warna pupus pisang yang berpendar, Paman Klungsu
juga melengkapi diri dengan peluit plastik warna merah. Meskipun kecil, suara peluit
itu amat nyaring dan terbukti wibawanya ditaati oleh para pengendara. Orang-orang
sering bertanya mana yang paling berwibawa di simpang tiga itu; sosok Paman Klungsu
atau peluitnya.

Empat-lima tahun yang lalu Paman Klungsu hanya orang lontang-lantung di


pasar. Jalannya pincang. Kaki kirinya kecil dan lebih pendek. Sebatang kara, di malam
hari jadi peronda pasar. Di siang hari jadi kuli angkut yang membawakan barang milik
pedagang dari dalam pasar ke pinggir jalan atau sebaliknya. Para pedagang
memberinya seratus atau dua ratus rupiah. Itu bekal Paman Klungsu untuk pergi ke
warung nasi rames milik Yu Binah di belakang pasar.

Sekarang Paman Klungsu tidak lagi mengangkut-angkut barang milik pedagang.


Dia merasa telah naik pangkat menjadi-dia menyebutnya sendiri-poltas swakarsa, yang
amat dia banggakan. Apalagi Paman Klungsu juga sering mendapat uang receh. Itu
pemberian sopir-sopir yang merasa bersimpati. Mereka menghargai jasa Paman
Klungsu yang punya prakarsa mengatur lalu lintas di simpang tiga.

Pada awalnya Paman Klungsu sering dicibir orang. “Ah, kamu cuma polisi non-
batu, polisi-polisian. Kamu hanya berani mengatur pedagang dan anak sekolah, tapi
tidak berkutik bila yang lewat pejabat atau moge. Kamu juga selalu mengistimewakan
Yu Binah. Kalau perempuan itu lewat selalu kamu bukakan jalan.”

Ketika menerima cibiran itu, Paman Klungsu hanya diam. Namun sebenarnya dia
sungguh tersinggung. Jadi suatu kali dia bergerak cepat ketika ada sebuah mobil
bersipongah mau melanggar aturannya. Dengan langkah terpincang-pincang, Paman
Klungsu menghadang mobil bagus berpelat merah itu. Paman Klungsu berdiri tepat di
depan mobil, tangan kanannya tegak lurus. Tetapi, kaki kirinya bersijingkat karena
lebih pendek. Peluitnya melengking-lengking sekerasnya. Pengendara mobil itu
mendengus dan berhenti dengan mata membulat. Kemarahan muncul penuh di
wajahnya. Tetapi, Paman Klungsu bergeming. Dan di luar dugaan Paman Klungsu
semua orang di simpang tiga bertepuk tangan mendukungnya. Peluit Paman Klungsu
melengking makin nyaring dan bertubi-tubi. Tangan kanannya tetap menjulang ke
atas. Orang- orang bersorak makin riuh.

Sejak peristiwa itu, Paman Klungsu makin percaya diri dan merasa lebih gagah.
Dia senang karena ternyata orang-orang berada di pihaknya. Maka, dia mengulangi
sikap itu; tidak mengutamakan siapa saja yang lewat. Juga barisan puluhan moge yang
menderu menggila dari barat pada Jumat dan menggelegar pongah balik dari timur
pada Ahad. Maka, Paman Klungsu dengan peluitnya adalah sosok kekuasaan yang
nyata di simpang tiga itu. Sayangnya, orang-orang juga masih jadi saksi peluit Paman
Klungsu tak pernah melengking nyaring terhadap Yu Binah. Bila dia lewat, Paman
Klungsu selalu mendahulukannya, dengan keramahan yang nyata pula. Terhadap Yu
Binah, peluit Paman Klungsu seakan bisu.

Ketika sedang istirahat pada suatu tengah hari di emper toko, ada orang bertanya,
“Ah, kamu ternyata tetap mengutamakan Yu Binah. Ada apa ya? Awas, Yu Binah punya
suami; kamu jangan macam-macam.”
Pertanyaan itu membuat Paman Klungsu ketakutan. Wajahnya mendadak beku.
Bibirnya gemetar. Dia tergagap, dan kata-kata yang kemudian diucapkan terdengar
patah-patah.

“Yu Binah? Iya. Dia memang punya suami. Dan saya tidak mengapa-apakan dia.”
Paman Klungsu gugup. Namun, lama-kelamaan bicaranya lebih tertata. Katanya, dia
banyak berutang budi kepada Yu Binah. Penjual nasi itu suka memberinya rames
lengkap berapa pun Paman Klungsu membayarnya. Menyadari uangnya sering tidak
cukup, tambahnya, dia biasa hanya minta nasi dan air putih. Lauknya cukup kecap
dan sambal yang memang disediakan cuma-cuma. Tetapi, Yu Binah tetap memberinya
nasi rames lengkap dengan taburan bawang goreng, tahu atau tempe, bahkan kadang
ikan juga.

“Taburan bawang goreng di atas nasi hangat, ditambah sambal dan kecap, wah!”

“Jadi hanya karena bawang goreng, kamu merasa harus mengutamakan Yu


Binah?”

Paman Klungsu tersipu, kemudian meneruskan penjelasannya. Katanya, ada


sesuatu yang sangat mengesankan pada Yu Binah, yaitu gerak tubuh, terutama kedua
tangannya ketika Yu Binah menyiduk nasi dari bakul lalu menampungnya dengan
piring.

“Itu seperti tangan orang menari, atau apa. Itu pantes banget, perempuan banget.
Tidak semua perempuan bisa seperti itu,” tambah Paman Klungsu.

Orang yang mendengar ucapan Paman Klungsu tertawa.

“Ah, kamu mengada-ada saja. Cuma bawang goreng dan gerak tangan perempuan
menyiduk nasi mengapa kamu begitu terkesan?”

Jawaban Paman Klungsu keluar lagi setelah dia berdiam diri. Dia mengaku
dirinya orang perasa sehingga mudah tersentuh oleh keanggunan yang tampak
olehnya. Apalagi, tambahnya, keanggunan gerak Yu Binah ketika menyiduk nasi selalu
disertai ketulusan yang nyata terlihat di wajahnya.

***

Ini jam 9 pagi, lalu lalang di simpang tiga sudah mereda. Anak-anak sekolah, para
guru, dan pegawai sudah lama sampai ke tempat kerja masing-masing. Yang masih
berkendara lewat simpang tiga hanya orang-orang yang mau pergi atau pulang dari
pasar. Udara mulai panas dan suara lengking peluit buat sementara tak terdengar.
Karena tidak padat, arus kendaraan bisa mengalir lancar meskipun tanpa lengking
peluit Paman Klungsu. Ke mana dia?

Dengan bekal uang seribu lima ratus pemberian tiga sopir yang menyadari perut
siapa pun harus diisi nasi, Paman Klungsu masuk ke warung Yu Binah. Di depan pintu
warung lelaki pincang itu berpapasan dengan dua pedagang yang baru selasai makan
nasi rames. Paman Klungsu duduk sendiri, meletakkan peluitnya di atas meja, lalu
menyulut rokok. Yu Binah menyambutnya dengan senyum. Ah, Paman Klungsu tidak
akan melepaskan peluang menikmati keanggunan gerak Yu Binah ketika perempuan
itu sedang menyiapkan nasi rames. Atau, barangkali Paman Klungsu sulit menjawab
bila ditanya, mana yang lebih dia sukai, keanggunan gerak Yu Binah atau nasi
ramesnya.

“Yu, uangku cuma seribu lima ratus.”

“Ya, tidak apa. Ah, sejak pagi kamu kerja keras tiup-tiup peluit di simpang tiga.
Jadi perutmu tentu lapar. Sekarang makanlah sampai kenyang.”

“Dengan uang seribu lima ratus ya, Yu?”

“Ya, itu kan biasa. Kamu jangan terlalu perasa. Kamu sudah lama mengenal aku,
kan?”

Yu Binah memutar badan, mengambil satu piring lalu bergeser ke dekat wadah
nasi, mengangkat ciduk. Paman Klungsu menatapnya dari samping dengan mata tanpa
kedip. Rokoknya dibiarkan tak tersentuh di atas asbak dengan asap terus mengepul.
“Itu betul sebuah lenggang yang pantes banget, dan aku tidak akan bosan melihatnya,”
ujar Paman Klungsu dalam hati. Dan kemudian hatinya merasa sejuk seperti diguyur
air ketika Yu Binah menyorongkan piring itu. Isinya penuh; nasi putih dengan taburan
bawang goreng dan sayur buncis. Wadah sambal, botol kecap, dan segelas air putih
disorongkan juga.

“Ayo makan. Kamu tentu sudah lapar.”

Suara itu terasa seperti dendang alam di telinga Paman Klungsu. Ketika sekejap
menengadah, Paman Klungsu juga melihat wajah tulus itu. Mata yang jernih,
senyuman yang polos, sederhana. Paman Klungsu menunduk, memperhatikan rokok
di asbak yang hampir habis tanpa diisap. Menarik napas panjang, lalu menarik piring
lebih dekat. Aroma bawang goreng membangkitkan seleranya. Dan Paman Klungsu
sadar, harga nasi rames yang sedang dimakan pasti di atas seribu lima ratus.

Selesai makan, Paman Klungsu minta diri dengan cara orang yang amat mengerti
berterima kasih. Meskipun tahu dari jam sembilan sampai jam satu lalu lintas di
simpang tiga tidak ramai, Paman Klungsu tidak mau terlalu lama meninggalkan tempat
itu. Namun, sampai di depan pasar Paman Klungsu harus berhenti. Yu Binah
memanggil-manggilnya dari belakang. Yu Binah berjalan tergesa-gesa, tangan kirinya
menjimpit sesuatu dengan ibu jari dan telunjuk. Menahan rasa jijik. Tangan kanannya
menutup hidung dan mulut.

“He, ini, peluitmu tertinggal. Idih, ampun! Baunya busuk sekali,” kata Yu Binah
dengan suara teredam oleh bungkaman tangan sendiri. “Peluitmu selalu kena ludah
tapi tidak pernah kamu cuci ya? Idih, minta ampun busuknya!”

“Begitu ya, Yu? Tetapi, peluitku amat penting. Bunyinya berkuasa mengatur
simpang tiga,” jawab Paman Klungsu sambil berusaha menangkap peluit yang
dilemparkan Yu Binah ke arahnya.
“Iya, lah, aku tahu. Namun, mengapa peluitmu yang punya kuasa itu harus bau
busuk? Ah, cucilah barang busuk itu. He, dengar. Kamu jangan ke warungku sebelum
peluit itu kamu cuci. Benar ya?”

Paman Klungsu mengangguk dan tersenyum. Setelah Yu Binah berbalik, Paman


Klungsu termangu sejenak. Mendadak dia tergoda untuk mencoba merasakan sendiri
bau peluitnya. Maka lubang pada barang kecil itu didekatkan ke hidungnya. O, Paman
Klungsu mendadak tersentak dan berkali-kali bergidik, lalu cuh! Kemudian Paman
Klungsu berjalan terpincang-pincang sambil menunduk, pulang ke simpang tiga. Panas
matahari menyengat kepalanya. Dan peluit sakti yang bau busuk itu tetap dalam
genggaman.

Ahmad Tohari, lahir di Banyumas, 13 Juni 1948. Sekarang menetap di Desa


Tinggarjaya, Jatilawang, Purwokerto, Jawa Tengah. Karyanya yang paling populer
novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Cerpennya “Anak Itu Mengencingi Jakarta” keluar
sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2015. Sampai sekarang di kampung halamannya
Tohari tetap produktif menulis dan menjadi pembicara di sejumlah kota
CERPEN, KOMPAS, TRIYANTO TRIWIKROMO

Bukit Cahaya

Bukit Cahaya ilustrasi Ashady/Kompas

PADA usia lima tahun, sebagaimana lelaki-lelaki kecil penggemar perkelahian


yang lain, kau membayangkan malaikat adalah semut yang mampu menghajar seekor
gajah. Tak lama kemudian kau juga membayangkan ia sebagai ulat yang bisa melahap
gunung dalam sekali telan. Kau tidak pernah menyangka bisa saja bocah lain
menggambarkan malaikat sebagai siput yang memangsa Adam dan Hawa yang sedang
tidur lelap. Saat itu kau tidak menangis ketika seorang guru berbisik, “Malaikat itu
mirip kuda terbang yang melesat ke langit dan tak pernah kembali.”

Pada usia tujuh tahun, setelah mempelajari pendidikan agama dan


mendengarkan aneka dongeng, kau ingin sekali menjadi pengendara kuda terbang. Kau
pun mencari satwa lucu itu di hutan tak jauh dari perdesaan. Kau tidak menemukan
kuda terbang di hutan itu. Setelah dua jam berjalan tak tentu arah, kau malah bertemu
dengan perempuan kecil seusiamu.

“Namaku Hujan,” kata perempuan kecil itu.

“Namaku Rinai,” katamu, “Aku ingin mengendarai kuda terbang. Aku juga ingin
mencari cahaya bersama malaikat. Di desaku sudah tak ada lagi cahaya. Apakah kau
tahu di mana cahaya disembunyikan?”

“Tentu saja di Bukit Cahaya,” perempuan kecil itu menjawab.

“Aku tak melihat ada bukit di hutan ini.”

“Kau harus mencari dua hari ke arah barat untuk mendapatkan bukit itu. Pada
hari pertama kau akan bertemu dengan sungai jernih dan sepasang kijang. Setengah
hari kemudian kau akan bertemu dengan perempuan buta. Setelah itu kau baru
bertemu dengan petapa penjaga bukit. Petapa itu yang akan menunjukkan di gua mana
cahaya itu disembunyikan.”

“Apakah kau mau menemaniku mencari bukit itu?”

“Aku tidak bisa menemanimu. Aku harus segera kembali ke rumahku.”

“Di mana rumahmu?”

“Di dalam salah satu telur yang bertebaran di pantai.”

“Di dalam telur? Telur raksasa?”

Perempuan kecil itu tidak menjawab pertanyaanmu. Ia merasa kau telah bertanya
sebagai pria bongkok yang teramat tua.

***

“AKU akan meminta kupu-kupuku menemanimu,” kata perempuan kecil itu


sambil merogoh saku, “Naiklah ke punggungnya. Segeralah melesat ke Bukit Cahaya.”

Kau ragu-ragu. Kau merasa tak mungkin bisa berada di punggung kupu-kupu.

“Ayo, jangan sampai terlambat!”

Kau kemudian melompat ke punggung kupu-kupu itu. Kau kaget karena tiba-tiba
sudah berada di punggung satwa indah itu. Kau tidak berani mempersoalkan apakah
kau yang mengecil atau kupu-kupu yang berubah menjadi raksasa.

“Mengapa kau ingin mencari cahaya?” kupu-kupu bertanya kepadamu.

“Karena tanpa cahaya aku tidak bisa menggambar semut yang menghajar seekor
gajah di hutan yang jauh dan terpencil.”
“Semut menghajar gajah?”

“Ya. Aku juga tidak bisa menggambar ulat yang menelan gunung jika tidak ada
cahaya.”

Kupu-kupu terdiam. Satu pertanyaan lagi terlontar akan membuat ia seperti


satwa tua yang hampir mati.

***

PETUALANGANMU dengan kupu-kupu Bukit Cahaya bukanlah perjalanan


mudah. Kadang-kadang kalian hampir ditabrak koloni burung yang sedang mencari
raja mereka. Kadang-kadang kalian hendak bertabrakan dengan pecahan meteor.
Kadang kalian dihantam badai atau pecahan benda-benda angkasa.

“Apakah kau takut?” kau bertanya kepada kupu-kupu.

“Apa yang harus ditakutkan?” kupu-kupu balik bertanya.

“Apakah jika benda-benda angkasa itu menabrakmu, sayap-sayapmu tidak akan


rusak? Apakah pecahan meteor tak membakar sayapmu?”

“Sayapku tak pernah rusak. Sayapku tak pernah terbakar.”

“Kalau begitu apakah kau bersaudara dengan malaikat?”

“Apakah menurutmu malaikat tak pernah terbakar?”

“Tentu saja tidak pernah.”

“Ah, kau masih terlalu kecil untuk tahu segala yang terjadi di seluruh semesta.”

“Apakah kau tahu segala yang terjadi?”

Kupu-kupu itu tidak mau menjawab pertanyaanmu. Ia menganggap dalam


sekejap kau telah menjadi pria konyol berusia 79 tahun.

***

TENTU saja kau tetap berusia tujuh tahun ketika kupu-kupu itu makin
mengajakmu meninggalkan hutan. Meninggalkan pohon-pohon. Meninggalkan bunga-
bunga berduri. Meninggalkan ular-ular dan danau kecil.

“Apakah kau tahu siapa perempuan kecil yang memintamu terbang bersamaku?”
tiba-tiba kupu-kupu itu melontarkan pertanyaan tak terduga.

“Sama sekali tidak tahu.”

“Sebenarnya dia penyihir sekaligus pendongeng berusia 79 tahun.”


“Penyihir?”

“Ya,” kata kupu-kupu itu, “Ia telah menipumu.”

“Menipuku?”

“Sebenarnya cahaya yang kau cari tak berada di barat. Cahaya itu memang berada
di Bukit Cahaya, ditunggu oleh seorang petapa, tetapi berada di arah timur hutan.
Cahaya itu sebenarnya muncul dari sorot mata seekor naga yang senantiasa tidur di
dalam gua.”

Kau tidak percaya pada ucapan kupu-kupu itu. Kau merasa sedang diuji untuk
terus atau tidak mencari Bukit Cahaya. Kau merasa lebih baik mempercayai teman
sebaya daripada ditipu makhluk lain.

“Apakah kau keberatan jika tetap mengantarku ke arah barat? Jika keberatan,
kau boleh menjatuhkan aku di sembarang tempat.”

Kupu-kupu itu kaget. Kupu-kupu itu tidak menyangka kau akan taklid kepada
perempuan kecil yang kini mungkin telah berada di dalam salah satu telur yang
bertebaran di pantai.

“Kau tidak takut jika jatuh ke jurang?”

“Apa yang harus ditakutkan?” kau meniru kata-kata yang pernah diungkapkan
oleh kupu-kupu.

“Bagaimana kalau tubuhmu hancur dan kau mati?” kupu-kupu itu menakut-
nakutimu.

“Apakah hancur? Apakah mati?” kau balik bertanya.

Karena menganggap kau tak memiliki kekhawatiran sama sekali, kupu-kupu yang
merasa telah teramat tua dan sebentar lagi akan mati itu justru kian bersimpati
kepadamu. Bahkan jika boleh memilih, ia tidak akan menanyakan apa pun lagi
kepadamu. Ia hanya ingin terbang secepat mungkin ke Bukit Cahaya. Ia hanya ingin
menjalankan tugas indah terakhir sebagai kupu-kupu.

“Ah, kau memang masih terlalu kecil untuk tahu makna hancur dan mati. Masih
terlalu kecil. Masih terlalu kecil.”

***

KAU berusia tujuh tahun lebih setengah hari ketika tiba di atas sebuah monumen.
Kau melongok ke bawah dan mendapatkan 7.000.000 orang berpakaian serba ungu
bersama-sama mengacung-acungkan pedang ke angkasa.

“Siapakah mereka?” kau bertanya kepada kupu-kupu.

Tak ada jawaban. Kupu-kupu menganggap itu bukan pertanyaan penting.


“Terbanglah sedikit ke bawah!” katamu, “Aku ingin melihat mereka!”

Kupu-kupu menurut.

“Siapakah mereka?” kau bertanya lagi.

“Para pembunuh. Sejuta orang akan berusaha membunuh sejuta kuda terbang.
Sejuta yang lain akan membunuh sejuta malaikat yang tersesat. Yang sejuta orang lagi
akan membunuh seorang raja yang dianggap menista agama.”

“Yang 4.000.000 orang?”

“Mereka akan membunuh kita,” kata kupu-kupu sambil mengepakkan sayap ke


arah yang lebih tinggi.

“Mengapa mereka menjadi pembunuh?”

Kupu-kupu tak mau menjawab pertanyaanmu. Kupu-kupu tak ingin mengatakan


kepadamu betapa di kota ini memang tak ada lagi hukum. Sejak lama ditinggalkan oleh
para wali. Sejak lama ditinggalkan nabi dan malaikat.

“Di kota ini tak ada semut, ulat, dan siput ya?” kau teringat pada satwa-satwa
yang sangat kau kagumi pada usia lima tahun.

“Tentu saja tidak ada,” kata kupu-kupu, “Jadi, kita tidak perlu terlalu lama di
sini. Jangan sampai kita terlambat menemukan Bukit Cahaya.”

***

PADA saat berusia tujuh tahun lebih sehari kau meminta kupu-kupu
menurunkan dirimu di tepi sungai. Kau menghampiri sepasang kijang. Salah seekor
kijang berbisik kepadamu, “Kelak ketika kau berusia 79 tahun, peliharalah jutaan
kupu-kupu dan kunang-kunang. Mereka akan menerangi rumahmu sepanjang waktu.”

“Apakah kupu-kupu bercahaya?” kau bertanya.

“Apa pun bercahaya pada saat kau berusia 79 tahun.”

Kau terdiam. Kau tidak tahu apa yang bakal terjadi. Kau tak mau memikirkan
apa yang bakal terjadi pada saat berusia 79 tahun. “Sekarang terbanglah lagi bersama
kupu-kupumu.” Kau pun terbang lagi.

***

PADA usia tujuh tahun lebih satu setengah hari kau meminta kupu-kupu
menurunkan dirimu di tengah hutan. Pada saat itu, mungkin siapa pun menganggap
sesuai nubuat, kau bertemu dengan perempuan buta. Kau takjub memandang
perempuan bergaun serbahitam dan bersayap itu.
“Tak perlu takjub pada apa pun. Sebentar lagi dunia hancur. Tak ada lagi yang
perlu dilihat,” kata perempuan itu.

Kau tidak paham pada apa pun yang dikatakan perempuan itu. Kau merasa
bertemu dengan hantu. Kau ketakutan. Kau pun segera bergegas meminta kupu-kupu
membawamu terbang ke arah barat, ke Bukit Cahaya.

***

TEPAT pada usia tujuh tahun lebih dua hari kau benar-benar bertemu dengan
seorang petapa. Tak mudah bertemu dengan sang petapa. Mula-mula badai gajah—
besar kecil kurus gemuk—bertebaran menghalangi kupu-kupu yang kian payah
terbang. Setelah itu koloni kelelawar, beberapa planet kecil, dan puting beliung yang
mengusung bangkai burung menabrak tubuhmu yang kian ringkih.

Memang segalanya cepat berakhir. Namun tak mudah juga menemukan cahaya
di dalam gua. Sang petapa—yang segala penampilannya mengingatkanmu pada
perempuan 79 tahun—memintamu menjawab beberapa pertanyaan terlebih dulu.

“Apa yang kau cari?”

“Cahaya,” katamu.

“Tak ada cahaya. Yang ada kau yang telah bercahaya.”

Kau tidak tahu makna ucapan sang petapa. Kau tetap merengek agar
diperbolehkan mencari cahaya di dalam gua.

“Siapa yang akan menemanimu mencari cahaya?”

“Kupu-kupu,” katamu.

“Tak ada kupu-kupu. Yang ada kupu-kupu yang telah menjadi cahaya.”

Kau juga tak tahu makna ucapan sang petapa. Namun kau memang tak lagi bisa
melihat kupu-kupu. Kau justru melihat semacam satwa bersayap merah yang
menyilaukan mata.

“Sekarang jawab pertanyaan terakhirku,” kata sang petapa mengajakmu


memasuki gua yang sangat gelap sehingga kau tidak bisa melihat apa pun.

“Siapa aku?” sang petapa bertanya.

“Penjaga bukit,” katamu.

“Tak ada penjaga bukit.”

“Tak ada?”

“Tak ada.”
Kau bingung. Kau merasa dipermainkan. Meskipun begitu kau berjanji tidak akan
keluar dari gua sampai cahaya itu kau temukan. Kau menunggu sang petapa berubah
jadi cahaya. Kau menunggu gua berubah jadi bagian terindah dari Bukit Cahaya. Kau
menunggu pendongeng cilik segera datang dan menunjukkan kepadamu betapa kisah
tentang Bukit Cahaya bukanlah cerita bohong untuk para pencari cahaya.

Mengapa tak kau telan saja seluruh bukit agar kegelapan segera
meninggalkanmu?

Triyanto Triwikromo adalah penerima anugerah Tokoh Seni Pilihan Tempo 2015 (bidang
puisi) untuk buku Kematian Kecil Kartosoewirjo. Ia juga menerima Penghargaan Sastra
2009 dari Pusat Bahasa untuk antologi cerpen Ular di Mangkuk Nabi. Ia antara lain
menulis Sesat Pikir Para Binatang (kumpulan cerpen 2016), Celeng Satu Celeng Semua
(kumpulan cerpen, 2013), dan Bersepeda ke Neraka (kumpulan cerita ringkas, 2016).
Sepanjang 2003-2015 telah 13 cerita Triyanto masuk Cerpen Pilihan Kompas
CERPEN, KOMPAS, RADHAR PANCA DAHANA

Saat Maut Batal Menjemput

Bukit Cahaya ilustrasi Ashady/Kompas

AKU tahu, di tiap “sakit itu”, “tak siapa pun di situ”. Kesendirian, kadangkala juga
sebuah kesunyian, memang adalah watak sakit yang sebenarnya. Tapi tidak kali ini.
“Sakit ini”, rasa sakit yang ada sekarang ini, bahkan “aku pun tidak di sini”. Entah
kenapa. Aku belum paham, apakah ini hikmah atau jati diri sakit yang sesungguhnya.
Yang melampaui kesadaran biologis bahkan kepekaan psikologisku. Ah… aku…aku
sesungguhnya tidak cemas pada “sakit ini atau itu”, aku juga tidak peduli ini watak
atau jati diri sakit yang sesungguhnya atau bukan. Apa yang kucemaskan hanyalah
kesadaran dan kepekaan itu. Adakah aku masih memilikinya?

Aku mencoba paham, jangan-jangan aku sudah “mengatasi” sakit itu, atau ini
keadaan yang “meng-atas-i” sakit ini? Aku mencoba sekuatnya untuk merasakan,
menghayati, sebagaimana biasanya sakit semacam ini datang padaku. Tapi aneh,
bahkan ajaib, untuk pertama kali aku tidak bisa mempekerjakan kesadaran fisiologis
juga kepekaan psikologisku. Akal? Sejak mula sebenarnya sudah tidak bekerja. Ia
berhenti dengan sendirinya. Ia bukan lagi sentrum atau pusat di mana seluruh
kapasitas berbicara tubuh dan perasaanku ditentukan. Akal adalah bagian yang lebih
cepat mati.

Mati? Jangan-jangan tak hanya akalku. Menurut ukuran medis di Amerika


Serikat yang kutahu, kematian (biologis setidaknya) ditentukan oleh daya kerja otak,
sebagai bagian paling sentral dari kehidupan (yang mereka percaya, tentu saja).
Sebagai orang yang bukan-Amerika, sekurangnya menolak menjadi bagian dari sejarah
peradaban mereka, aku tidak begitu peduli atau tergantung pada otak alias akal. Aku
hidup dengan mengoperasikan secara lebih kuat daya kerja fisik dan mental-emosional.
Katakanlah secara sempit dan reduktif, refleks dan rasa.

Begitupun kali ini, di tingkat “sakit ini”. Seluruh daya kukerahkan untuk
mempekerjakan kekuatan, ilmu hingga kesadaran biologis dan psikisku. Namun sekian
lama, sekian waktu yang kuanggap lebih dari cukup, aku tak merasakan apa-apa, tak
menyadari apa-apa. Apa tubuh dan emosiku sudah tidak bekerja lagi? Atau ia mati
akibat kematian otakku? Tidak. Tubuh dan emosi adalah ilmu dan kesadaran, budaya
dan peradaban tersendiri, kadang lebih kuat dari akal.

Tapi kini keduanya diam, sunyi sendiri. Apakah mereka pun mati? Apa artinya
sesungguhnya sakit ini adalah mati yang sejati? Namun mengapa aku masih bisa
melihat? Dengan penglihatan apa, dengan mata yang mana? Memang, pemandangan
yang kulihat berbeda dari biasa. Langit, awan dan bintang misalnya nampak hanya
sebagai kejembaran atau keluasan yang tak membutuhkan tepi bahkan isi.
Kekosongan ini memenuhi pandang, bahkan mataku. Bahkan seluruh diriku kini
seakan menjadi mata. Mata apa ini? Mataku yang mana? Mata siapa?

Kosong ini memadati aku seperti tenaga yang terus mengumpul tiada henti,
dengan daya atau kekuatan tak terperi. Aku seperti noktah dengan gravitasi terbesar
yang segera akan menciptakan bang, semacam ledakan yang sangat hebat. Seperti
ereksi yang tak mungkin ditahan oleh kejadian atau perasaan apa pun. Beginikah
kematian, puncak semua kesakitan, melenyapkan keseluruhan diri dengan ledakan
besar untuk mengisi kosong yang penuh ini? Bagaimana aku sanggup
menanggungnya? Tidak…tidak aku tak sanggup, Tuhan.

“Memang…bagaimana kau sanggup? Kau cuma manusia…cuma.”

“Betul. Apa daya manusia di keluasan, kepenuhan semesta.”

“Kamu bukan apa-apa…”

“Betul aku bukan apa-apa.”

“Lalu, aku apa?”

“Kamu sekadar mata.”

“Mata? Maksudmu?”
“Kamu hanya penglihatan. Hanya bisa melihat. Mungkin memahami, sedikit. Tapi
tak bisa menyentuh…merasakan, memiliki…menciptakan, apalagi.”

“Oh…betul. Tapi mata ini saja sudah begitu luar biasa. Hingga apa yang kulihat
tak mampu menangkapnya, menyimpan atau mencernanya. Tak ada sel otak
manapun, bahkan kata, huruf sekalipun dapat tersusun untuk memahami
semua…semua yang ada pada mataku saat ini.”

“Inilah kenyataan kedua. Kenyataan yang harus kau baca.”

“Harus kubaca? Melihat pun aku tak bisa seluruhnya.”

“Apa kamu beragama?”

“Tentu saja.”

“Pernahkah kau membaca kitab-kitab dalam agamamu?”

“Tentu.”

“Untuk apa?”

“Kewajiban.”

“Apa tujuannya?”

“Ya…memahami, isinya.”

“Pahamkah kamu?”

“….Saya tak tahu, tak bisa menilai.”

“Apa sebenarnya paham itu?”

“Aku tak mengerti maksudmu…?”

“Paham itu bukan melulu mengerti arti, tersirat atau tersurat.”

….

“Bukan sesuatu yang teranalisa, tersimpan dan tercerna dalam 1.300 cc isi
otakmu. Bukan hal yang melulu akal.”

“Maksudmu…”

“Huruf terlalu terbatas dan miskin, bagi paham yang sebenarnya. Bagi kenyataan
yang terlalu besar untuk tertangkap dan dicerna indera. Seluas apa pun akal dan
imajinasi, ia hanya sungai di samudera hidup sesungguhnya.”

….
“Sesungguhnya paham harus terjadi di seluruh bagian dirimu.”

“Bukan hanya pikiran?”

“Jantung, jempol, mata, rambut, tungkai, usus, batin, emosi, semua.”

“Bagaimana…?”

“Pertanyaannya keliru. Jawaban pasti juga salah. Berhentilah hidup hanya


dengan akal. Tubuhmu terlalu hebat hanya untuk diperintah, diakali akal.”

“Sungguh…aku tak paham.”

“Keluarlah dari huruf. Temui kenyataan dan hidupmu sebenarnya, dengan


seluruh yang ada dalam dirimu. Dapatkanlah ilmu dalam jiwamu, dalam batinmu,
dalam betismu, dalam jakunmu, gigimu, dalam langkahmu…”

“Bagaimana…bisa?”

“Tidak akan bisa. Karena kamu sudah terjebak sejak dini. Dalam huruf.”

“Tapi tulisan, itulah kebudayaan, kemajuan manusia, hidup sebenarnya?”

“Kebudayaan yang membuat keliru manusia, begitu lama.” Bibir misteri itu
tersenyum, membuat langit terbuka dan seperti sebuah mata mengintip di baliknya.

“Hah? Jadi…”

“Jadilah mata sesungguhnya, untuk membaca…”

“Membaca apa? Melihat pun tak bisa.”

“Karena kau merasa ini matamu yang dulu, mata yang biasa, di kepala.”

“Maksudmu…ini mata yang lain lagi? Mata hati begitu?”

“Mata seluruh dirimu.”

“Diri yang menjadi mata?”

….

“Mata sebenarnya mata?”

….

“Mata yang melihat nyata yang sebenarnya nyata?”

Tersenyum lagi.
Kali ini langit lenyap. Semesta kosong, suwung. Aku tak dimana, tapi di sana.
Semua senyum semata.

***

SEJAK tadi, ya sejak tadi, aku berdialog. Begitu saja. Tanpa kesadaran, seperti
dengan diri sendiri, seperti mimpi yang menguap. Begitu saja. Tapi…yang ini, bukan
mimpi. Di depan mataku kini muncul satu wajah. Bukan ilusi atau fana. Nyata
sebenarnya nyata. Wanita pula. Wanita yang tersenyum. Ya, senyum yang tadi. Senyum
yang seperti ironik, mengejek, juga senang dan bahagia karena jawaban-jawaban
terakhirku tadi? Monalisa?

Bukan. Ia lebih sempurna, jauh lebih indah, terlebih kedalaman samudera di balik
pandangannya. Ia memandangku dengan cara yang membuatmu tak berdaya karena
ia memenuhi seluruh kosong yang sebelumnya memadatiku. Sinar matanya seperti
riwayat jutaan tahun peradaban manusia, menukik ke bagian terdalam hati, merenggut
dan menenggelamkanku, untuk selamanya. Untuk selamanya.

Mengapa? Karena aku merasa seperti mendapat bantalan tidur yang tidak
memberi sedikit pun rasa ingin untuk bangun. Aku henyak, seperti duduk di pelaminan
Adam.

“Apa kamu Eva?”

“Aku adalah semua hawa yang kau butuhkan untuk kosongmu.”

Ah…kalimat itu diakhiri oleh nafas yang menghembuskan udara dimana molekul-
molekul penyusunnya bukan hanya menghidupkan makhluk, tapi juga benda mati.
Inilah nafas Kun, benih yang menghidupkan. Begitu pun aku. Barang mati karena sakit
ini.

Dan apa yang dilakukan wanita sepenuh semesta di hadapanku ini selanjutnya,
adalah mimpi semua lelaki dari masa paling purba. Termasuk, tentu saja, penderitaan
lelaki yang sepanjang sejarah kebudayaannya sambil berurai airmata harus menindas
perempuan karena inferioritasnya di hadapan perempuan. Wanita ini
membebaskanku. Menjadikanku lelaki sesungguhnya lelaki, memberi rasa bangga dan
penghormatan sesungguhnya. Menjadi manusia sempurna dalam inferioritasnya.

Ia meladeniku jauh lebih baik dari cara terbaikku untuk meladeninya. Ia


mengasihiku jauh lebih indah ketimbang cinta termulia yang kurasa dapat kuberikan
padanya. Ia melengkapi semua yang kosong seperti melesapnya air ke celah rendah
manapun yang ia lewati. Tanpa pamrih, apalagi prasangka. Aku sungguh merasa
menjadi lebih manusia, manusia-sempurna ketika ia membiarkanku membaca,
mengenali dan memahaminya lebih dalam.

“Ternyata kamu ada memang untuk menjadi bacaan terbaikku.”

Ia tersenyum.
“Menjadi pintu terbaik atau bahkan satu-satunya untuk memahami makna dari
semesta tak terkatakan ini.”

Ia memeluk.

“Eva…kamu bukan hanya potongan yang melengkapi, tapi memang


kesempurnaan Itu sendiri.”

Ia mencium.

“Eva…tetaplah di sini. Selamanya. Atau kau akan membuatku jadi puing hina,
sia-sia.”

Ia menggeluti seluruh inci dan saat hidupku, menciptakan kenyamanan yang


bahkan nyawa tak mampu membayarnya. Aku tak kuat menahan airmata untuk
kebahagiaan surgawi ini. Eva…kaulah surga sesungguhnya. Aku tak membutuhkan
lagi apel, buah apa pun, pohon apa pun, karena kau pohon dan buah itu yang
sebenarnya. Tolong, jangan renggut dirimu dariku, renggut aku dalam dirimu.

Ya Tuhan, mengapa Kau memberi nikmat yang begitu berlebih ini.


Jangan…jangan, Tuhan. Janganlah berlebih begini, karena pasti aku tak mampu
menanggung bayi yang pasti lahir dari surga yang kumiliki ini, yakni bayi kecemasan.
Cemas karena Kaulah yang menghadirkan dan meluputkan surga…Eva, wanita bagi
semua Adam ini.

“Eva…kamu dengar itu?”

Hmm…ia memagutku.

“Eva, dengar. Dengar ketakutanku itu?”

Hmmhh…ia merasuk ke seluruh celah kenikmatan dan menutup seluruh


pandang.

“Eva…ehh…jangan kamu pergi…ok?”

Ia tak bersuara, seperti kebisuan perempuan mencipta peradaban manusia pada


intinya.

“Eva…ehhh…”

….

“Ehhh…ehhhh….”

Ya Tuhan, maaf…maaf, tak mampu aku menanggung kebahagiaan seperti ini.


Pluk… Ada tetes, ya airmata yang jatuh. Tapi bukan punyaku.

“Eva…”
Pluk…

“Kamu menangis?”

Langit basah, semesta pun samudera airmata.

“Mengapa…mengapa menangis?”

Ia hanya bisu. Tapi matanya seperti dulu. Dengan laut yang lebih dalam, sehingga
tak ada malaikat maupun iblis mampu menjangkaunya. “Eva….”

Aku tak tahu apa yang terjadi. Dengan muka yang kuyup…entah sedih atau
gembira seperti terlukis di bibirnya…wanita segala nabi itu seperti gambar yang
merabun menjelang magrib tiba. Menjauh.

“Mengapa…mengapa Eva?”

Ia tetap menjauh. Tangan tak menggapai, jiwa pun tak sampai. Kecemasan itu
bertamu selekas dan sekuat kepergian itu. Apa yang terjadi?

“Mengapa…mengapa, Tuhan?”

Aku ingin berteriak. Tapi Eva seperti lenyap juga sebagai nama. Berganti
ketakutan yang datang seperti kepepatan dimana satu elemen udara pun tak tercipta
untuk menghasilkan nafas. Semua terasa menghimpit dan sesak. Bahkan airmata tak
tersisa. Hanya sakit. Ya rasa “sakit itu”. “Sakit ini” pun bersatu.

Tuhan.

***

Gelap.

Dengan putus asa atau frustrasi yang begitu genap, aku memejamkan mata.
Menghilang pandang. Aku ingin buta. Aku buta. Aku tak perlu mata. Betapa hikmah
besar itu tak tertanggungkan dalam kekerdilan manusiaku. Gelap…cuma gelap yang
kita rasa mampu menghindari kita dari cemas dan takut yang luar biasa.

Namun kau pun paham. Itu sia-sia, tipudaya percuma. Gelap justru
mendatangkan cemas yang memalu hatiku kian pilu. Tuhan, betapa sakitnya. Betapa
sunyi dan sendirinya, sakit seperti ini. Kenapa gelap tak mampu menutupinya, kenapa
cahaya juga tak kuasa mengusirnya. Tuhan, apa mesti kuperbuat? Masihkah aku
membutuhkan mata. Mata mana lagi?

“Bukalah matamu, Adam.”

“Hei bukalah matamu!”


?!! Eva?

“Eva siapa? Buka matamu, jangan bersandiwara lagi. Eva siapa?”

Plak!

Aku merasakan sakit, kali ini di pipi. Pipi?

Plak, plak!

Ya, pipiku terasa perih, sakit bener, sehingga seperti refleks aku membuka mata.

“Apa yang kamu pikirkan, lamunkan? Perempuan itu lagi? Eva sekarang,
namanya?”

Sekarang aku benar membuka mata, memandang. Dan sebuah pandangan di


depan menghadang. Pandangan kenyataan: seorang perempuan hampir empat
puluhan, dengan tubuh yang coba ia pelihara dengan baik. Tegak di depanku, dengan
mata tajam, berupaya lebih tajam dari pisau Swiss, tapi tak berhasil karena keluar
negeri manapun ia tak pernah.

Ya, aku kenali sekali siapa yang menghadang pandangku itu. Dia perempuan yang
puluhan tahun ini bersamaku. Istri, istilah umumnya orang. Perempuan yang sudah
memberi empat anak, dan menurut dia, membantuku untuk mendapatkan jabatan
sebagai general manager di perusahaan exim tempatku bekerja sekarang.

Ia sungguh memandangku dengan serius, dan sinarnya seperti cahaya LED TV


terbaruku, atau suratkabar, atau buku sejarah yang mengisahkan sejarah perempuan
dengan riwayat-riwayat dahsyat tapi mengalami penindasan permanen oleh
kebudayaan yang menurut mereka diciptakan lelaki. Dan aku adalah kumpeni yang
dilawan habis-habisan oleh keadaban padat dendam itu.

“Dik…”

“Tidak perlu dakdik dakdik…aku mau kamu jawab jujur saja…siapa Eva?”

“Aku gak tahu, Dik…gak ngerti.”

Plak!!

“Dik!”

Bibir perempuan itu tidak perlu monyong untuk cemberut atau marah. Tapi
monyongnya itu, yang ia sebut seksi, memang menjadi penggoda banyak pria saat aku
dulu coba memacarinya. Aku sukses. Ya menikahi dia. Menikahi sejarah masa depan
yang hampir membuatku menyesal menjadi lelaki.

Aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Seperti animasi yang berulang, suara
berdebam yang melewati tiga dinding tetangga akan menjadi musik pembuka saat ia
membanting pintu kamar tidur. Lalu seharian ia tidak keluar. Dan keluar beberapa
lama setelah aku keluar rumah menjalani general managerku.

Bila aku tidak bisa memberi jawaban memuaskan mengenai “siapa Eva”, tragik
masa depan itu terjadi lagi, jadi semacam tradisi. Aku bangun menjelang subuh,
bebenah sendiri, membuat sarapan sendiri, makan sendiri, melap mobil sendiri,
memanaskannya, dan berangkat sendiri, tanpa satu pun bisa kusalami.

Sampai bila? Siapa bisa menerka. Karena hingga bila aku bisa menjawab
pertanyaan absurd itu: “siapa Eva”? Aku memang tak mengenalnya. Tahu atau ingat
pun tak. Hanya seolah ia bayangan yang sangat buram yang pernah menjadi bagian
ingatan dari kulit, daging, kepala, hingga mataku. Tapi siapa?

Sesungguhnya aku tidak berani mengorek lebih dalam lagi. Memang masih ada
getar aneh yang membuat kudukku meremang, seperti saat aku melihat Jennifer
Lawrence berakting atau Adele bernyanyi. Hanya ada satu perasaan gelap sembunyi di
situ, ketakutan mengerikan yang tak mampu aku tanggungkan. Apa? Siapa? Mautkah
jangan-jangan itu?

Aku tak berani spekulasi lebih jauh. Saat makan siang tiba. Aku membuka tas
dan mengeluarkan kotak plastik dimana udapan yang kumasak sendiri menjadi pengisi
lunch time-ku. Di meja general manager ini. Sendiri.

Radhar Panca Dahana, terpilih sebagai Tokoh Budaya dari Badan Bahasa,
Kemendikbud RI serta dianugerahi harian Kompas, Cendekiawan Berdedikasi. Buku-
bukunya, Teater dalam Tiga Dunia (2013, Jakarta: Kemendikbud), dan Manusia Istana
(2015, Yogya: Bentang Pustaka), dan Kebudayaan dalam Politik: Kritik pada Demokrasi
(2015, Jakarta: Penerbit Mizan)
CERPEN, INDRA TRANGGONO, KOMPAS

Sumur Gumuling

Saat Maut Batal Menjemput ilustrasi Radhar Panca Dahana/Kompas

Di Sumur Gumuling itu, jarum arloji tak lagi menyimpan kecemasan didera
waktu. Di sini, waktu telah istirah, rebah dalam pelukan sunyi yang perkasa.

Namun, gemuruh perasaan tetap saja memenuhi rongga dada laki-laki itu.
Perasaan gamang yang menerbitkan rasa bimbang mengiringinya memasuki lapisan-
lapisan labirin hingga ia sampai di Sumur Gumuling. Penampang sumur yang
menyerupai lubang kue donat itu menyergapnya. Juga retak-retak bangunan tembok
yang mengabarkan bangunan itu telah berusia ratusan tahun.

Mata laki-laki itu menyapu ruang sekitar. Bulu kuduknya kontan meremang tapi
dia tetap bertahan. “Di Sumur Gumuling, kamu bisa bertemu dengan Pangeran
Jonggring. Bertanyalah soal nasibmu dan keselamatanmu.” Begitu guru spiritual laki-
laki itu berpesan.

Meskipun disebut Sumur Gumuling, situs ini sangat jauh dari bayangan orang
tentang sumur pada umumnya. Tak ada air di sana. Apalagi kerek dan tali timba serta
ember. Yang bisa ditemui hanyalah lubang dengan ukuran sekitar 10 meter, dengan
kedalaman sekitar 50 meter. Di sekitarnya terdapat lima tangga terbuat dari susunan
batu bata. Tangga itu menyatu dengan tembok tinggi yang mengepung. Tak ada atap.
Orang pun bisa menatap bulan dan bintang-bintang, saat langit terang. Banyak orang
percaya, dulu di Sumur Gumuling raja-raja Mataram sering semedi untuk
mendapatkan pencerahan berupa wisik, bisikan gaib atau ilham.

Malam telah matang ketika laki-laki itu telah sampai di dasar Sumur Gumuling.
Dia pun termangu. Beberapa kali dia menghela napas agar jantungnya kembali normal
berdegup. Sekaligus juga untuk memompa nyalinya. Lama dia menunggu munculnya
Pangeran Jonggring. Dia telah menyiapkan segepok pertanyaan. Namun, yang ditemui
hanyalah kesunyian. Gelisah pun mulai berkecambah. Pulang adalah pilihan terbaik,
begitu dia membatin.

Ketika dia hendak balik arah, mendadak muncul seorang berwajah dan
berpostur tubuh sama persis dengan dirinya. Laki-laki itu terpana mengamati sosok
laki-laki asing yang kini berdiri hanya berjarak satu meter dari dirinya. Rambutnya
ikal, persis dengan rambutnya. Wajahnya oval, sama dengan wajahnya. Tubuh dan
gerakannya pun tak bisa dibedakan dengan dirinya. Bedanya, laki-laki yang
dijumpainya itu mengenakan baju dan sarung serba putih, sedangkan ia mengenakan
baju coklat muda dan celana hitam.

“Maaf, apakah kisanak ini Pangeran Jonggring?” Laki-laki itu masih bisa
menangkap wajah orang asing dalam temaram sinar lampu minyak yang menempel di
dinding. Abdi dalem keraton selalu menyalakan lampu itu, setiap hari.

“Bukan. Aku adalah dirimu. Namaku Abinaya.” Sosok asing itu mengulurkan
tangannya, menjabat tangan laki-laki itu.

Kontan laki-laki itu kaget. Nama itu sama dengan nama dirinya.

“Namamu juga Abinaya? Benar, nama kita memang sama.” Sosok misterius itu
seperti bisa membaca pikiran dan perasaan laki-laki itu.

Laki-laki itu disergap rasa heran tapi juga kagum. “Tapi namaku Abinaya
Agrapana…” Laki-laki itu mencoba mengelak.

“Sama. Namaku juga Abinaya Agrapana,” ujar sosok asing itu.

“Bagaimana mungkin bisa sama?”

“Segala kemungkinan bisa saja terjadi.”

“Tapi kenapa wajahmu tampak sedikit lebih tua dariku?”


“Akulah masa depanmu.” Sosok asing itu tersenyum.

Laki-laki itu terdiam. Tampak berpikir. Rasa heran semakin berkecambah di


benaknya. Masa depan?

“Benar. Akulah dirimu saat kamu nanti berusia 75 tahun. Tentu, jika kamu
masih diberi hidup.”

Laki-laki itu kembali terdiam. Pikirannya sibuk menghitung usianya sekarang,


yang menginjak 51 tahun. Kembali ditatapnya sosok asing itu. “Ternyata aku tidak
tampak renta dalam usia 75 tahun nanti,” dia membatin.

Kebahagiaannya pun berbuncah saat mengetahui bahwa pada usia 75 tahun


nanti dirinya masih tampak gagah, dengan aura wajah yang bercahaya, tidak seperti
kondisinya sekarang yang keruh dan gelap. Gumpalan perasaan yang semula menekan
rongga dadanya pun mencair.

“Kenapa kisanak menjumpaiku? Apakah kisanak ini utusan Pangeran


Jonggring? Jika benar, bolehkan aku menyampaikan beberapa pertanyaan?”

Sosok lelaki itu tersenyum. “Siapa Pangeran Jonggring? Di sini tak ada siapa-
siapa, kecuali kesunyian. Dan kenapa kamu heran dengan pertemuan kita? Sejak ada
dalam kandungan ibu kita, aku sudah hidup dalam darahmu, dalam detak
jantungmu….”

“Kenapa selama ini kita tidak saling mengenal?”

“Karena kamu telah jadi orang asing bagi dirimu sendiri. Bahkan, kamu tak
pernah mendengar semua ucapanku yang kukirim melalui gelembung-gelembung
darahmu. Juga saat kamu terjerat perkara gawat ini.”

Laki-laki itu tersengat. Darahnya berdesir. Wajahnya tampak tegang. “Kisanak


tahu perkaraku?”

“Aku tahu sejak pikiranmu bekerja, menyusun taktik untuk mengambil uang
proyek bantuan pendidikan anak-anak yatim dan orang-orang miskin dari kas
negara….”

Laki-laki itu kembali tersengat. Jantungnya berdetak keras. Dadanya terasa


sesak.

“Waktu itu, aku sudah bilang, jangan ambil hak orang lain. Apalagi hak anak
yatim dan orang miskin. Tuhan pasti marah.”

Dada laki-laki bertambah sesak. Keringat dingin mengalir deras dari jutaan pori-
porinya.

“Tapi kamu nekat. Kamu bersengkongkol dengan wadya balamu di


departemenmu dan orang-orang parlemen. Kalian ramai-ramai mengarang proyek.
Menyutradarai banyak orang untuk meyakinkan bahwa proyek itu nyata. Dana pun
mengucur yang kalian tampung dalam baskom kerakusan. Kalian minum darah anak-
anak yatim dan orang miskin. Tanpa malu….”

“Maaf, saat itu aku khilaf.”

“Khilaf kok rutin!”

“Maaf, waktu itu ada setan lewat, masuk dalam otakku….”

“He. Jangan mencatut nama setan! Bisa marah dia. Setan itu sama sekali tidak
terlibat dalam perkara ini.”

“Maksudku bukan setan, tapi iblis….”

“Iblis apalagi. Dia sudah lama pensiun. Dia sudah putus asa jadi penggoda
manusia, karena ternyata manusia jauh lebih cerdik, culas, licik daripada iblis. Cepat
minta maaflah pada iblis, sebelum dia meremas jantungmu.”

Kepala laki-laki itu merasa dihantam palu besar. Pusing yang membadai
membuat ia hampir jatuh. Beruntung, tangannya bisa meraih tembok.

“Berapa triliun uang yang telah kamu curi?”

“Saya tidak sempat menghitung….”

“Kenapa kamu datang ke Sumur Gumuling? Mau tobat? Minta ampun pada
Tuhan?”

Laki-laki itu terdiam. Sunyi menguasai ruang. Hawa mendadak berubah sangat
dingin. Mendadak terdengar suara gemuruh, seperti tembok runtuh. Laki-laki itu
pontang-panting menyelamatkan diri. Beberapa saat kemudian suara gemuruh
berubah auman suara binatang.

Dari balik kegelapan, muncul binatang menyerupai macan. Hitam. Matanya


bercahaya. Binatang itu menerjang laki-laki itu hingga terjerembap di lantai. Kuku-
kukunya yang tajam mencakar-cakar hingga tubuh laki-laki itu bermandi darah.
Binatang itu hendak merobek leher laki-laki itu, tapi dicegah sosok asing. Binatang itu
pun menyelinap dalam gelap.

“Kenapa takut? Binatang itu tadi adalah dirimu sendiri!”

“Kenapa dia malah menyerangku?”

“Binatang itu adalah kerakusanmu. Dia kelaparan. Dia ingin memakan


tubuhmu. Jiwamu….”

Jiwa laki-laki itu tergedor. Menggigil.

“Apakah semua ini pengadilan bagiku?”


“Ooo ini baru sebagian. Bahkan sebagian sangat keciiil.”

Laki-laki itu gemetar. “Kenapa kamu lari dari pengadilan? Berapa duit yang
kamu berikan kepada mereka yang memasukkan perkaramu ke dalam peti es?
Berapa?” mata sosok asing itu menyala, “Perkaramu tidak bisa dibekukan karena di
dalamnya ada api kemarahan anak-anak yatim dan orangorang miskin. Api itu
berkobar. Membakar hingga melelehkan peti es perkara yang kalian sangka kuat.”

Laki-laki itu menunduk. Jiwanya terasa pedih disayat-sayat kalimat sosok asing
itu. Dia mencoba menggerakkan tubuhnya. Terasa sangat ngilu. Perih. Panas.
Dirasakan ada ribuan kalajengking yang merayap dalam tubuhnya. Mereka berdesak-
desakan, saling menindih bagai cendol. Kalajengking-kalajengking terus bergerak.
Menyebar. Menyegat dan menebarkan bisa. Racun itu diserap darah, menyebar ke
seluruh tubuh. Tubuh laki-laki itu membengkak. Melepuh. Menggelembung, seperti
balon raksasa.

Tiba-tiba tubuh laki-laki itu meledak, tanpa suara. Serpihan-serpihan tubuh


terserak di lantai. Lalu terurai, menjadi kristal-kristal yang lenyap dalam udara.

***

Laki-laki itu membuka mata. Selang infus menancap di nadi tangannya.


Beberapa wajah yang semula tampak kabur, kini semakin jelas. Ada wajah hakim,
jaksa, polisi, kepala departemen, pengusaha, orang-orang parlemen dan orang-orang
politik. Laki-laki itu berusaha keras mengingat, siapa saja yang kini membesuknya.
Beberapa nama dia ingat. Beberapa nama dia lupa.

“Kami bersyukur, bapak Abinaya Agrapana tetap selamat. Tim SAR menemukan
bapak dalam keadaan pingsan di Sumur Gumuling. Tempat itu memang terkenal
gawat….” Salah seorang pembesuk menunjukkan selembar surat berisi pemberhentian
penyidikan perkara. “Tapi, sekarang bapak bisa tenang. Karena ada surat ini. Silakan
baca, Pak….”

Laki-laki itu hanya bisa melihat huruf-huruf yang tampak berjatuhan dan kabur.
Seorang koleganya mencoba membacakan surat itu, lirih, tepat di telinga laki-laki itu.
Namun, yang dia dengar adalah raungan binatang hitam lalu disusul jeritan anak-anak
yatim dan orang-orang miskin. Laki-laki itu meronta, menutupkan selimut di
wajahnya. Dia terus meronta. Mencoba berlindung di balik selimut yang membungkus
seluruh tubuhnya.

Orang-orang panik. Seorang dokter langsung datang. Memberikan pertolongan.


Siap dengan suntikan penenang, dokter itu membuka selimut yang membungkus laki-
laki itu. Namun, yang mereka lihat bukan pasien bernama Abinaya Agrapana, tapi
belatung raksasa. Beberapa kejap kemudian, belatung itu tiba-tiba meledak.
Mencipratkan cairan bau anyir. Tubuh dokter dan para pembesuk basah kuyup.
Seluruh ruangan pun tergenang cairan busuk.
INDRA TRANGGONO, penulis cerpen dan esais untuk soal-soal kebudayaan dan sosial,
tinggal di Yogyakarta. Dua buku cerpennya yang sudah terbit: Iblis Ngabek dan Sang
Terdakwa serta disusul Menebang Pohon Silsilah. Cerpennya telah masuk dalam buku
Cerpen Pilihan Kompas sebanyak 11 kali. Pada tahun 2015, ia menerima penghargaan
Kesetiaan Berkarya dari Harian Kompas.
CERPEN, KOMPAS, SUPARTIKA

Gugatan

Gugatan ilustrasi Poppy Rahayu/Kompas

Sudarma meninggal siang tadi karena serangan jantung, dan sore ini mayatnya
dikubur di sebuah kuburan tua yang ditumbuhi rumput ilalang yang tingginya selutut,
dan rohnya dilempar ke neraka oleh malaikat. Andaikan saja ia tidak mendengar jeritan
dan raungan orang-orang yang tersiksa, dan melihat jilatan api di kejauhan, pasti ia
akan menganggap dirinya tersesat di sebuah kegelapan malam dengan gelap yang tiada
ampun.

Ketika kesadarannya belum pulih benar, dua penjaga neraka dengan tubuh
gempal hitam, wajah bengis, dan bertaring tiba-tiba menyeretnya. “Bajingan, kau mau
bawa aku ke mana?”
Sudarma membentak dan mencoba melawan, tetapi tak digubris.

“Kau mau bawa aku ke mana?”

Lagi-lagi tak ada jawaban. Kedua penjaga itu berjalan lurus menembus kegelapan
malam sambil menyeret tubuh Sudarma. Setelah melewati jalan dengan kobaran api di
kiri dan kanannya, ia diseret melewati anak tangga yang tinggi, entah berapa
jumlahnya. Mungkin 2.222 anak tangga, atau mungkin 22.222 anak tangga, atau
bahkan 222.222 anak tangga.

Sampai di puncak anak tangga, tubuhnya dilempar, seperti melempar bangkai


anjing ke sungai dan ditinggalkan begitu saja. Ia berdiri dengan bersusah-payah, lalu
menengok ke belakang dan tidak menemukan anak tangga yang tadi dilewatinya. Ia
hanya melihat api. Api yang begitu besar dan ia tidak pernah melihat api sebesar itu
sebelumnya. Hawa panas yang luar biasa, keringat yang meleleh, dan ia mencoba
untuk berlari menjauhi api itu. Ia berlari, api itu tetap mengikuti dirinya. Di
belakangnya, seperti seekor anjing mengekori majikannya. Setiap menoleh ke belakang,
api itu semakin mendekat. Hingga ia merasa lelah, lelah, sangat lelah, lalu terjatuh
karena kelelahan.

“Kau harus dilempar ke kerak neraka.”

Ia mendongakkan mukanya dan mendapati di depannya berdiri sesosok makhluk


aneh. Besar, bertanduk, berpakaian serba putih, dan membawa sebuah buku.

“Siapa kau?”

“Pencatat perbuatan manusia di dunia.”

“Apa maumu?”

“Menyeretmu ke kerak neraka.”

“Kerak neraka?”

“Ya.”

“Salahku?”

“Banyak.”

Ia bangun lalu mendekati makhluk aneh itu.

“Tidak! Aku tidak percaya.”

“Apa kau tidak percaya denganku?”

“Tidak!”

“Apa kau tidak percaya dengan udara dan embus napasmu?”


“Aku percaya, tapi tidak dengan kau.”

“Itu aku.”

“Kau bohong.”

“Aku ada dalam napasmu, aku ada dalam darahmu, aku ada dalam pikiranmu,
aku ada dalam keringatmu, aku ada dalam pembuluh nadimu, aku ada dalam
jantungmu, aku ada dalam suaramu, aku ada …. ”

“Diam kau bajingan! Aku tidak pernah merasa bersalah, semua yang aku lakukan
adalah benar. Kau tak berhak menyeretku ke neraka. Semestinya di surga tempatku.”

“Kau banyak dosa. Tidak pantas di surga.”

“Aku selalu taat berdoa.”

“Hanya untuk pencitraan, agar orang-orang memandangmu sebagai manusia


saleh, manusia tanpa cela. Doamu tidak tulus, mulutmu busuk. Dan dalam buku
catatanku telah tercatat dengan rapi, dan tidak bisa kau bantah.”

“Bagaimana bisa kau bilang pencitraan? Aku telah berdoa ke semua benua. Aku
berlayar dari ujung timur ke ujung barat, dari ujung selatan ke ujung utara. Setiap kuil
aku singgahi, setiap tempat ibadah aku singgahi, dan di sana aku berdoa, aku berdoa,
dan terus berdoa. Bangun tengah malam aku berdoa, fajar aku berdoa, sebelum mandi
aku berdoa, sebelum makan aku berdoa, siang, sore, senja, sebelum bekerja, di jalan,
aku selalu berdoa. Apakah doaku masih kurang?”

“Tidak ada artinya. Doamu tidak tulus. Kau berdoa, tapi kau selalu nyinyir
mengurus orang yang tidak berdoa. Mulutmu busuk, membuat banyak orang sakit
hati. Apa kau ingat berapa pelacur yang kau sebut anjing karena tidak pernah berdoa
dan tidak kenal Tuhan, sementara kau rajin datang ke tempat pelacuran?”

“Apa salahnya? Aku memperingatkan mereka agar mereka taat berdoa.”

“Dengan mulut berbisa?”

Ia terdiam. Saat masih hidup, memang benar ia telah melewati semua benua
untuk berdoa. Ia mengejar Tuhan ke mana pun yang ia bisa. Dan saat perjalanannya
mengarungi semua benua untuk berdoa, ia juga tidak lupa singgah ke tempat-tempat
pelacuran terkenal dan mewah di setiap benua yang disinggahinya. Masih terdengar
jelas di telinganya dengus napas pelacur yang ditindihnya. Masih ingat dengan jelas
pula bagaimana ia mengumpat dengan kata anjing kepada pelacur yang habis
ditidurinya setelah ia menanyakan apakah pelacur itu punya Tuhan, dan pelacur itu
mengatakan tidak mengenal Tuhan, dan ia tidak pernah tahu bagaimana pelacur itu
akhirnya gantung diri beberapa bulan setelah itu karena sakit hati.

“Tapi, aku masih punya perbuatan baik. Sewaktu menjabat wali kota, aku
membangun banyak tempat ibadah, dan banyak dari tempat ibadah yang aku bangun,
biayanya keluar dari kantongku sendiri. Aku mengalokasikan dana sebesar-besarnya
untuk pembangunan tempat ibadah, hingga kota yang aku pimpin menjadi kota suci,
tempat para dewa, dan para malaikat baik.”

“Kau membangun banyak tempat ibadah, tapi rakyatmu banyak yang mengemis
di pinggir jalan. Uang yang kau sumbangkan atas nama pribadi, kau ambil dari khas
kota.”

“Itu tidak benar. Jangan sembarangan menuduh. Apa kau menguping


pembicaraan – yang sakit hati karena kalah saing dalam pemilihan wali kota?”

“Apakah aku lebih percaya pada lawan politikmu daripada kemampuanku? Aku
adalah keadilan, aku bertindak seadil-adilnya kepada semua makhluk. Aku tidak
mengadakan yang tidak ada, aku juga tidak meniadakan yang ada. Aku mencatat apa
yang ada, dan sebenar-benarnya.”

“Apakah aku harus mengaku melakukan dosa itu?”

“Maling tidak selamanya harus mengaku maling.”

“Rakyatku banyak yang menjadi pengemis, itu karena mereka malas. Mereka
malas mencari kerja, mereka hanya ingin hidup mewah, mereka tak mau berusaha.
Mereka pemalas! Sudah sepantasnya mereka menjadi kere dan mengemis di pinggir
jalan.”

“Apakah tugasmu jadi wali kota untuk menghukum mereka?”

“Aku sudah membantu mereka, setiap minggu aku turun ke pelosok-pelosok kota.
Aku berkeliling melihat mereka, dan kadang aku memberikan mereka bantuan dari
kantongku sendiri. Lewat anak buahku, aku juga telah mengirimkan bantuan kepada
mereka. Aku memberikan mereka bahan makanan, pakaian, dan semua yang mereka
butuhkan. Membuat banyak program agar mereka tidak miskin lagi. Tapi toh mereka
tetap miskin, mereka pemalas. Apakah aku salah?”

“Apakah menurutmu semuanya itu benar?”

Sudarma terdiam. Ia tidak menjawab benar atau salah. Ia hanya ingat bahwa ia
telah melakukan yang terbaik untuk kotanya. Menjadikan kotanya kota suci, hingga
banyak para pelancong datang ke kotanya untuk berdoa, atau sekadar untuk menebus
dosa-dosa yang telah menumpuk agar dikurangi setengahnya atau bahkan dihapuskan
semuanya. Tapi dalam hal lain, ia juga pernah menggelapkan dana pembangunan
tempat suci untuk membelikan anaknya mobil, dan sebuah apartemen untuk istrinya,
dan sebagaimana yang dikatakan makhluk aneh itu. Ia juga sering menyumbang atas
nama pribadi, padahal uang yang disumbangkan itu milik pemerintah.

Bagaimanapun juga, hati kecilnya sebenarnya membenarkan semua ucapan


makhluk aneh yang berdiri di depannya. Ia memang melakukan apa yang
dikatakannya, tetapi ia tak mau mengalah begitu saja.
“Hei makhluk pembual. Aku tidak percaya dengan semua bualanmu. Aku perlu
bukti!”

“Bukti?”

Makhluk aneh itu melemparkan buku yang ada di tangannya. Buku itu mengenai
kepala Sudarma yang membuatnya sedikit puyeng karena buku itu sangat tebal.

Sudarma membuka halaman pertama, dan tertulis dengan jelas kapan ia


dilahirkan, di mana ia dilahirkan, dukun yang membantu kelahirannya, siapa
orangtuanya, dan tetek-bengek lainnya yang berhubungan dengan kelahirannya. Di
halaman berikutnya tercatat kapan pertama kali ia melakukan dosa, dan dosa apa yang
dilakukannya, dan kebaikan apa pula yang ia lakukan.

“Sudah cukup?”

“Belum, aku harus mengecek semua kebenarannya.”

Makhluk aneh itu tersenyum mendengar jawaban Sudarma.

Sudarma membuka halaman lain secara sembarang. Di halaman itu tertulis,


dirinya sewaktu SD pernah meminjamkan uang untuk temannya yang tidak membawa
bekal.

“Biar kau tahu makhluk bodoh, aku pernah membantu temanku yang tidak
membawa bekal saat sekolah dulu. Seharusnya aku dapat sedikit surga.”

“Aku tahu itu, dan seharusnya kau membaca kelanjutan catatan itu.”

Sudarma membaca paragraf selanjutnya. Tercatat ia menagih uang itu dua kali
lipat keesokan harinya.

“Brengsek! Seharusnya aku tidak melakukannya,” Sudarma mengumpat dalam


hati.

Ia menutup buku itu dan membukanya kembali dari halaman belakang. Dan
tercatat dengan jelas pula, sehari sebelum meninggal, ia meludahi seorang pemulung
yang kedapatan mencuri sepeda rusak yang tergantung di belakang rumahnya. Tapi,
dalam dua paragraf berikutnya tercatat sehari sebelum meninggal ia menyumbang
untuk pembangunan tempat suci di kotanya.

“Sehari sebelum meninggal, aku melakukan perbuatan yang mulia. Aku


menyumbang untuk pembangunan tempat suci, seharusnya itu bisa menebus dosaku.
Ini jelas-jelas tidak adil.”

“Dan di halaman selanjutnya tercatat, kau meminta panitia yang menerima


sumbanganmu untuk mencatat namamu di halaman pertama sebuah koran yang
terkenal di kotamu.”
Begitulah, Sudarma mencermati halaman demi halaman buku itu, dan selalu
mengungkapkan kebaikan yang telah ia lakukan dalam hidupnya yang ia temui dalam
buku catatan itu, dan semuanya mendapat sanggahan yang membuat dirinya tidak
bisa melawan.

“Apakah bisa diakhiri?”

“Aku belum membaca semuanya.”

“Masih ada waktu setengah hari untukmu.”

Sudarma tenggelam dalam catatan-catatan perjalanan hidupnya, dan makhluk


aneh yang berdiri di depannya tersenyum melihat manusia yang keras kepala itu.
Dalam sejarah penghakiman manusia atas dosa yang dilakukannya di dunia, baru kali
ini ia menemukan manusia keras kepala dan merasa dirinya pantas mendapatkan
surga atas dosa-dosa yang telah dilakukannya.

“Waktumu habis.”

“Aku belum membaca semuanya.”

“Tidak ada waktu lagi.”

“Lagi setengah hari saja dan aku akan membaca semuanya.”

“Api di belakangmu akan segera menggulungmu.”

Ia menoleh ke belakang. Ia bergidik melihat api yang begitu besar.

“Tunggu dulu, di sini tercatat aku pernah berpuasa, dan melakukan malam
penebusan dosa sebagaimana yang dilakukan Lubdaka saat …. ”

Ia belum selesai mengucapkan kalimat itu, dan tubuhnya sudah digulung api
yang begitu besar, dan makhluk aneh yang ada di depannya tak mendengar apa pun
yang dikatakan Sudarma.

Keterangan:

Lubdaka adalah seorang pemburu yang memperoleh surga karena berpuasa dan
melakukan malam penebusan dosa saat Siwa Ratri dengan tanpa sengaja saat ia
berburu di tengah hutan. Kisah ini diceritakan dalam kitab Siwaratri Kalpa.

Supartika memiliki nama lengkap I Putu Supartika, lahir di Karangasem, Bali,


pada tanggal 16 Juni 1994. Alumnus Universitas Pendidikan Ganesha, jurusan
Pendidikan Matematika. Kini mengelola jurnal sastra Bali modern Suara Saking Bali.
CERPEN, KOMPAS, MARTIN ALEIDA

Surat Tapol kepada


TKW, Cucunya

Surat Tapol kepada TKW, Cucunya ilustrasi Mahendra Mangku/Kompas

Febri yang baik, Pelupuk mataku hangat. Basah hidungku. Kau bilang aku tak
peka. Engkau juga seperti menimpakan seluruh kesalahan ke pundakku yang tua ini.
Karena dari 12.000 yang diasingkan selama sepuluh tahun di pulau pembuangan itu,
tak ada yang becus untuk menghasilkan tulisan yang menggugah. Jangankan
menggerakkan. Kau katakan, dan terasa seperti menghukumku: “Kakek, tahu enggak,”
begitu kau menyindir, “Anne Frank cuma 13 tahun, tapi dia begitu menukik dan agung
menghayati kecemasan, ketakutan, yang memenjarakannya di belakang lemari
persembunyian, sampai dia digerebek dan dibinasakan. Sementara catatan hariannya
menjadi warisan dunia dan lambang kekuatan manusia dalam menghadapi penindasan
yang membinasakan.”

10 Tahun kerja paksa tanpa secuil perkakas, kecuali sepasang tapak tangan dan
jari-jari yang kami terima dari Tuhan, bagaimana mungkin kau harapkan otakku
mampu melambung sebebas orang merdeka.

Dalam surat terakhir, engkau kabarkan belum menonton film dokumenter


tentang pulau di mana aku, dan ribuan lainnya, membikin aus otot, tulang, dan otak
hanya untuk menghasilkan padi, sementara yang menikmati adalah tentara pengawal.
Kau sebutkan ada temanmu yang sudah menyaksikan, namun dia datang membawa
sebuah gugatan. Mengapa hanya dua tahanan yang muncul di layar? Di mana yang
12.000 lagi? Dan aku mati kutu ketika kau cecar, kau tekan terus, mengapa judul film
yang semula begitu merangsang dan heroik tiba-tiba diganti dengan kata yang hambar,
seakan-akan pulau penyiksaan itu sebuah surga lama yang baru ditemukan. Ada apa?
Takut…? Menyensor diri sendiri? Hendak bermanis-manis dengan kekuasaan yang
telah menistamu? Yang membuat kalian sampai pada kesimpulan bahwa hidup
semata-mata untuk memikul siksa.

Aku tak mengerti, Feb. Dan aku cuma bisa bilang itu bukan citra getir pulau
pembuangan dari beribu manusia yang dihinakan. Aku bersih dari prasangkamu. Aku
tak terlibat. Apa pun yang ingin engkau katakan, ucapkanlah, namun ingat selalu, aku
kakekmu.

Kuceritakan dalam catatan yang kutulis setelah aku pulang, bebas, bahwa kami,
orang-orang rantai yang hina-dina, itu seperti muatan tak berharga dibongkar,
dikeluarkan dari perut perahu, digiring satu-satu menginjakkan kaki di tebing Namlea
yang berbau bakau. Penglihatanku menumbuk belantara. Tetapi, dengan lantang aku
berteriak di dalam hati bahwa di pulau ini kami pasti akan mampu bertahan. Manusia
bisa dikorbankan, tapi takkan mungkin dihancurkan!

Begitu kami menyeruak semak-semak dalam iringan kawalan bersenjata, terlihat


sukun. Hatiku memekik. Daun-daunya hijau ramah melambai. Ada sarang lebah. Sarat
menggantung penuh madu. Rendah pula. Terbayang, dan aku menelan liur pahit
setelah berjalan berjam-jam dengan beban di pundak bahwa kami takkan kekurangan
karbohidrat. Ada sukun. Buah yang di kampungku juga disebut roti belanda. Aduhai
sedapnya roti yang empur itu dicelupkan atau dioles madu. Pulau pembuangan terasa
seperti surga yang sedang hanyut dari langit ketujuh. Kau bayangkan betapa
sukacitanya aku yang sudah bertahun-tahun tak mengenal buah segar. Di sepanjang
rawa berjejer salak. Daunnya hijau pekat menjulur-julur ke angkasa.

Tetapi…. Ah, dasar tapol. Nasib yang lebih malang yang kami temukan. Pas
dengan keinginan kekuasaan yang tak puas-puasnya merendahkan martabat kami.
Ternyata yang kulihat itu bukan sukun, tetapi berembang yang kalau disantap bikin
mabuk. Yang menggantung menggoda itu bukan sarang tawon, tetapi rayap. Hmm…
dikira salak. Padahal, cuma rotan yang menjalar dan tegak berdiri mencari matahari.

Memang tak kasar, Feb. Tetapi, kau menyebutkan aku tak punya imajinasi.
Majal…! Hatiku tidak terluka karena label yang kau tancapkan itu. Bagaimanapun,
pedih membaca kata-katamu itu. Kau sebutkan tulisan yang kususun dengan
berkeringat itu tak lebih dari catatan kerani kelurahan yang terus merengek minta gaji
dinaikkan, sementara isi laporannya hanya mengotori halaman.

Engkau harus tahu, sepuluh tahun kerja paksa tanpa secuil perkakas, kecuali
sepasang tapak tangan dan jari-jari yang kami terima dari Tuhan, bagaimana mungkin
kau harapkan otakku mampu melambung sebebas orang merdeka. Terbang
membubung menemukan kekuatan kata. Bagaimana tidak mati kelaparan. Cuma itu
isi otakku. Otak kami. Kalau kami berkhayal, itu pastilah tak jauh dari pikiran
bagaimana menyelamatkan diri. Kalau kami ikan, maka yang kami renungkan,
kerjakan, setiap detik adalah bagaimana air bisa tetap berada di insang, di sirip, kami.
Tahukah kau bahwa khayal dan imajinasi, juga ikhtiar untuk itu, bisa berakhir dengan
kematian: dibunuh penjaga, dibunuh teman sendiri, atau bunuh diri….

Tak berarti kami mampus sudah. Tinggal sekadar daging yang mau, dan bisa
bergerak, lantaran siksaan militer yang sedang pesta kekuasaan. Kau bisa memojokkan
tikus dan membunuhnya, tetapi sebelum mati dia masih punya akal untuk
menyelamatkan sehelai nyawa. Dan itulah juga kami. Tak ada pintu untuk melawan.
Tetapi, sudah dari sananya kezaliman mesti dilawan. Dengan jalan bagaimanapun.
Kalah total kakekmu ini tak sudi. Walau tak mau mati konyol. Dan tak sia-sia aku ini
pernah menjadi sukarelawan dan anggota resimen mahasiswa Jawa Timur untuk
membebaskan Irian Barat tahun 1962 di bawah komando Soekarno.

Aku pernah dilatih melancarkan sabotase. Kemahiran ini tak kusia-siakan di


pulau pembuangan yang jauh terpencil bernama Buru itu. Aku mencuri beberapa
gulung seng. Menyurukkannya di persembunyian yang sempurna. Dasar sial, si Heru
mengambilnya selembar dan dijadikannya tempat penjemuran kopi. Mati aku….
Kepergok pengawal. Saya melompat ke depan tapol yang bodoh itu. Mengambil alih
tanggung jawab yang bisa berarti kematian bagiku.

“Dia tidak bersalah, Sersan. Saya yang mengambil seng dari gudang,” kataku
mantap.

Empat bulan aku dikurung. Tak pernah melihat matahari. Ditanya macam-
macam. Disiksa dengan rupa-rupa cara yang baru ditemukan tentara yang bengis itu
di sini. Aku dituduh mempersiapkan gudang golok untuk memberontak membebaskan
seisi pulau. Setrum, kaki meja kursi, gada besi bergerigi mendarat di sekujur tubuhku.
Kalau tak sadarkan diri, mereka cemplungkan aku ke dalam perigi. Diseret keluar.
Dipaksa makan cabai rawit sepiring penuh. Kedua mataku tenggelam ditelan pipi,
dagu, dan jidatku yang bengkak mau meletus. Digebuki sampai gempor. Aku tak
percaya bahwa aku bisa berdiri lagi. Tapi, perlu kukatakan, rasa sakit, perih, nyeri,
dari siksaan itu hanya terasa di hari pertama. Selebihnya syarafku kayaknya sudah
mati.
Dua hari selepas aku dibebaskan dari penyiksaan, diadakan apel di bawah terik
matahari.

“Hei, kalian semua, jangan coba-coba seperti Tumiseng ini, ya…!” bentak
komandan kamp menghardik tapol yang berjejer, yang dia perlakukan tak lebih dari
segerombolan tikus. “Atau kalian mau jadi umpan buaya…!” sambungnya lagi, sengit.
Aku sakit hati karena dia menodai nama yang diberikan kedua orangtuaku.
“Tumiseng,” katanya. Tumiso pencuri seng. Pedih. Tapi, baiklah, aku tak usah
membuat perkara lebih besar. Nasib pesakitan memang untuk memuaskan nafsu yang
kuasa.

“Komandan…!” Seruan itu seperti meluncur sendiri dari kerongkonganku. Semua


tapol terperangah. “Memang, saya yang mencuri empat gulung seng. Tapi, itu belum
cukup,” ucapku gemetar.

“Ha…! Maksudmu apa?” Matanya menelanku.

“Saya perlu enam gulung lagi….” Para tapol yang berjejer kepanasan bergetar
dibuat kata-kataku itu. Dagu mereka tergantung. Melongo. Tak percaya pada setengah
manusia, kawan senasib mereka, yang baru saja berbicara.

Sersan yang berkuasa atas nyawa kami melangkah mendekati daguku. “Mau
kauapakan seng sebanyak itu?” Dia mengucapkannya dengan baik-baik, nada datar.
Tidak membentak. Aku menang dalam pertarungan tak seimbang ini, teriakku di dalam
hati.

“Komandan ’kan tahu keluarga kami akan menyusul. Seng sebanyak itu kami
butuhkan untuk membuat perabot rumah tangga. Ember, panci, anglo, teko, dan
cangkir. Juga tetabuhan guna menghibur keluarga yang datang. Supaya mereka betah.
Saya dan kawan-kawan akan bekerja lebih keras lagi untuk membuat kamp yang
Komandan pimpin ini terbaik dari seluruh kamp yang ada di pulau ini.”

Sersan itu seperti mendapat mukjizat dari ucapanku yang tak pernah dia
bayangkan. Lama dia menikam mataku. Lama sekali. Kaki para tapol pada bergeser
menunggu peruntunganku. Tiba-tiba dia mengamangkan tangan kanannya. Memberi
hormat kepadaku. Aku tegak saja. Diam. Tidak bersorak menyambut kemenangan luar
biasa ini.

“Pakai sepedaku. Urus semua kebutuhan.”

“Siap, Komandan! Saya perlu surat jalan dari Komandan.”

Dia melepaskan topi lapangannya. “Ini,” katanya, “tunjukkan ini kalau ada yang
bertanya.”

Jumpalitan aku menari-nari di dalam hati. Kutunggang sepeda menuju gudang,


20 kilo jauhnya. Tidak bersiul-siul kegirangan, memang, namun hatiku tak pernah
mekar sesemarak hari itu. Aku melewati unit-unit lain. Mampir dan basa-basi di tengah
jalan. Dengan Buyung Saleh, Bandaharo, Naibaho, Tom Anwar. Menjenguk Pram yang
tidak memedulikan kehadiranku. Apalagi kemenanganku. Dia seperti diburu waktu,
kebanjiran kata-kata untuk segera ditumpahkan ke mesin ketik.

Tema besar dalam surat-suratmu, yang kau desakkan adalah kemampuan


berimajinasi. Aku bukan pengarang. Cuma guru yang dituduh memilih jalan terkutuk
oleh penguasa. Memang, tanpa daya khayal manusia bukan apa-apa. Dia akan menjadi
seperti tikus yang terus-menerus ngibrit ke sarang yang sama. Tak perlu aku berdoa
supaya kau menempuh jalan yang kulalui. Ditendang masuk bui, dibuang, supaya
mampu memberikan nilai tinggi pada kebebasan. Untuk itu terkadang kita bisa
menjadi seorang pendurhaka.

Dengarkanlah baik-baik. Tanpa kebebasan, yang hanya jadi bayang-bayang


hampa selama bertahun-tahun dijepit tembok penjara dan hutan belantara, kau
menjadi tiada sebelum mati. Agama, di tangan mereka yang tak punya hati dan pikiran,
tak menolong. Kau tahu, nenek moyang kita pengikut setia para sunan. Tapi, di
pembuangan, oleh orang-orang yang pendek pikiran, fanatik seperti batu yang tak
berguna, agama berubah menjadi ajaran yang jahat. Para penganjur yang dikirimkan
khusus dari Jakarta memperlakukan kami sebagai calon penghuni yang pasti bagi
neraka jahanam. Agama di sini menjadi siksaan. Sungguh. Seorang penyair asal
Sumatera, seagama denganku, memberontak dengan cara membangun tonil Kristiani,
keliling kampung. Naskah dia tulis sendiri. Penderitaan Kristus selalu menggetarkan,
memang. Komandan tertinggi mengenal namanya. Sang Kolonel mengirim kopral
menemui, mengancam si penyair kembali ke agama orangtuanya atau …

Namun, tak-bisa-tidak, agama jugalah yang membebaskan. Aku kumpulkan


lalang kering, bambu yang tak terpakai, juga dolken. Sendirian, kubangun kuda-kuda.
Kutegakkan, dan jadilah apa yang kau sangka sebuah dangau. Beberapa hari
kemudian, di ujung kuda-kuda yang memuja langit, kupakukan salib dari dahan
kering. Buat komandan jaga, ini kelakuan agamawi. Bukan perlawanan. Dia dianggap
sebagai sikap kalah dari mereka yang dirantai. Jadi, gereja itu berdiri dengan damai,
kedamaian yang didambakan semua agama.

“Sejauh mana Bung tahu tentang Kristen, kok nekat bikin gereja?” tanya tapol
berdarah Tionghoa.

“Bertahun-tahun saya membaca Injil. Sering dengan mengeja huruf dan kata-
katanya. Tentu tidak sempurna. Aku yakin gereja membebaskan. Paling tidak
membuka celah pintu dunia bagi kita,” jawabku.

Minggu hanya beberapa orang yang hadir beribadah. Kadang aku yang
memberikan khotbah singkat. Acap kali, ada pastor yang datang dari Namlea. Gereja
yang sederhana itu kemudian berubah jadi pintu menuju surga. Aku bebas berjalan
kaki ke Namlea, membantu siapa saja yang memerlukan tenagaku. Ikut memuat dan
membongkar muatan kapal. Pulang-pulang terkadang aku mengempit potongan kertas
koran di pinggangku. Koran yang usianya sudah berbulan-bulan. Untuk memahami
dunia luar, potongan koran bekas itu lebih berharga dari kitab suci. Sembunyi-
sembunyi kami bergantian seperti menghafal huruf-hurufnya yang lusuh. Kami
menyimaknya huruf-demi-huruf, kata-demi-kata. Titik koma. Mengejanya baik-baik
layaknya potongan koran yang kumal itu akan membawa kami ke daratan yang
dijanjikan.
Di kemudian hari, gereja itu pula yang menyadarkan dunia bahwa ada seorang
penulis, yang bertahun-tahun dikurung, telah berkali-kali dicalonkan untuk menerima
Nobel. Sementara Presiden Indonesia malah cuma tercantum dalam urutan teratas di
antara koruptor di seluruh dunia. Dan aku tidak mabuk dengan pencapaianku melalui
gerejaku itu. Walau aku tahu tanpa tanganku yang menyelundupkan naskah Pram ke
Namlea, dunia tak bakalan pernah membacanya.

Cucu semata wayangku,

Ingin kusudahi surat ini dengan permintaan agar kau tidak menuduh aku campur
tangan dalam urusanmu yang sangat pribadi selama kau bekerja di Jeddah ini. Engkau
bilang, Ben kayaknya kesengsem. Mengejarmu ke mana-mana. Kalau menyentuh
tangan lekaki di depan umum akan dihukum, kuanjurkan sambutlah tangannya. Cium
diam-diam. Jangan terlalu memilih-milih. Jangan sampai “Takut titik lalu tumpah.”

Aku tahu, orang Timur Tengah itu tak bisa dipegang. Mereka pasir yang mudah
berpindah kalau diterpa angin gurun. Tetapi, ingat, ngger. Percayalah kepada korban!
Ben keturunan Palestina, korban dari permainan kekuasaan. Kesepakatan dunia,
kalau Israel berdiri, Palestina juga harus menjadi keniscayaan, tegak sebagai satu
negara. Tapi, pada akhirnya aku serahkan padamu. Engkau sendirilah yang tahu
bagaimana menghadapi badai di negeri dataran gurun yang jauh itu. Kalau kau tak
percaya pada pasir, kecuali pada seruan hatimu sendiri, maka sebagai pemuja
kebebasan, aku akan menghormati pilihanmu.

Salam, Tumiso Danuasmoro.


Martin Aleida. Anak Tanjung Balai, Sumatera Utara; menghabiskan lebih setengah
abad usianya di Jakarta, sebagai mahasiswa, wartawan, dan penulis sejumlah fiksi
panjang maupun pendek. Sedang menunggu terbitnya catatan perjalanannya, “Tanah
Air yang Hilang”, tentang eksil Indonesia yang kelayaban di Eropa.
CERPEN, KOMPAS, WISNU SUMARWAN

Perihal Tanda-tanda

Perihal Tanda-tanda ilustrasi Ledek Sukadi/Kompas

Aku selalu penasaran bagaimana nenekku bisa selalu benar tatkala menduga
bahwa kematian akan datang pada suatu malam, pagi, siang, petang atau dini hari.

Pertama kali aku mengetahui bakat semacam itu adalah saat nenek berkata
bahwa seorang yang dekat tapi jauh akan pergi bersama orang-orang asing yang tak
diketahui selain nama mereka. Pamanku yang termuda mengatakan bahwa seluruh
orang dekat kami berkumpul dekat-dekat saja, tiada yang jauh, jadi tidak akan ada
orang mati. Empat bulan kemudian paman termuda itu mati saat kapal laut yang
ditumpanginya menuju perairan Filipina lenyap ditelan badai. Ia baru bekerja sebagai
seorang mualim kapal ikan. Kami semua sudah lupa bahwa nenek pernah mengatakan
tentang itu sebelumnya.

Berikutnya, enam bulan sebelum kakek meninggal, nenek berkata bahwa akan
ada pergantian kapten kapal karena kapten yang lama harus segera berpindah kapal,
burung-burung akan mengiringinya. Lagi-lagi, tiada satu pun anggota keluarga kami
yang bekerja di kapal selain paman termuda yang telah meninggal lebih dulu dan dia
bukan kapten. Ternyata, benar terjadi pergantian kapten dalam bentuk seumpama.
Saat lebaran, kapal besar keluarga kami tak lagi berkumpul di rumah kakekku sebagai
tetua yang tertua dan ganti berkumpul di rumah adiknya yang sejak itu jadi orang
tertua di keluarga sepeninggal kakek. Lagi-lagi, kakek meninggal saat kami sudah lupa
bahwa nenek pernah berkata sesuatu tentang itu. Kakek meninggal ketika membeli
makanan burung di seberang pasar. Kami bilang ia meninggal dalam damai, yang lain
bilang kalau kakek meninggal begitu saja tanpa tanda-tanda.

“Kehidupan adalah menanak nasi,” ucap nenek saat upacara kematian ibuku
sedang berlangsung, “tak tercium wanginya sampai sesaat menjelang harus diangkat,
bau kematian adalah nasi yang hampir tanak.”

Kematian di sini memang selalu wangi, penuh bunga-bunga dan cacahan daun
pandan yang ditebarkan dalam peti atau keranda. Mungkin, untuk menutupi bau
mayat yang bisa mengungkit kesedihan. Atau, supaya kematian tidak cuma berwarna
hitam.

Aku berusaha mengingat kata-kata nenek seperti kamus mengingat lema, namun
tetap saja di saat-saat terakhir selalu saja terlupa sampai ada seorang kerabat yang
meninggal. Mungkin, karena otak tak sudi mengingat-ingat kematian. Lalu aku ingat
bahwa nasi yang sedang dimasak sudah mulai tanak, baunya bisa tercium, terasa segar
dan baru. Seperti inikah bau kematian? Nenek hanya mengernyitkan bibirnya sambil
mengangkat dandang dari atas tungku kayu kemudian memindahkan nasi setengah
matang ke dalam kukusan bambu untuk sekali lagi dimasak dengan cara diuapkan di
atas air panas yang menggelegak. Wanginya menyebar.

“Sudah, nenek tak usahlah repot di dapur,” ujar seorang kerabat, “biar kami saja
yang mengurus makanan.”

Namun nenek berkeras untuk tetap berada di pawon dengan alasan: inilah kali
terakhir ia bisa memasak untuk putrinya tercinta—ibuku. Tak ada sedikit juga raut
kesedihan di matanya, mungkin karena ia sudah lebih dulu tahu perihal kematian itu.
Ia juga pasti sadar kalau nasi yang ia masak pada kenyataannya takkan pernah
dimakan oleh putrinya, melainkan masuk ke perut orang-orang yang cuma melayat
mayatnya, banyaknya bukan orang yang akrab. Tapi, bukan itu masalahnya. Nenek
tetap menganggap bahwa kerepotannya ini (yang ia anggap tidak merepotkan) adalah
untuk putrinya sebagaimana sebelumnya ia telah memasak nasi untuk suami dan
putra bungsunya saat mereka meninggal.

Memasak nasi adalah mengolah kehidupan. Mungkin, pikir nenek hingga tak
berhenti memasak nasi meski sedang berdiri di hadapan kematian suami atau
anaknya.

Sebaliknya, aku takut pada saat-saat begini. Nenek akan mulai meracau tentang
tanda-tanda kematian seseorang yang tak diketahui, lalu berikutnya aku lupa.

Aku takut kalau aku lupa bahwa ia pernah berwasiat tentang tanda-tanda. Aku
tak takut jadi tua, tapi aku takut jadi tua dan pikun hingga melupakan perihal tanda-
tanda. Apakah saudara-saudaraku takut jadi pikun juga? Sepertinya tidak. Mereka
lebih takut pada kematian dibanding kepikunan. Menurutku, kepikunan bisa lebih
berbahaya dari kematian. Manusia disebut sebagai manusia karena kelahiran dan
ingatan-ingatannya. Tanpa ingatan, manusia takkan mengetahui apa-apa tentang
siapa dirinya. Manusia yang tak punya kenangan atas dirinya, masihkah bisa disebut
manusia? Atau mayat hidup saja layaknya.

Kerabat-kerabat—walau iba pada nenek yang bekerja keras memasak saat ada
saudara meninggal, juga enggan untuk berada dekat-dekat, sebisanya menjaga jarak.
Rupanya mereka begitu khawatir pada racauan nenek perihal tanda-tanda yang hampir
tak pernah meleset (aku tak ingat kapan racauannya pernah meleset). Mereka
bersyakwasangka tentang siapa yang dimaksudkan dalam ucapan itu. Bisa ayah
mereka, ibu, paman, adik, kakak, atau diri mereka sendiri. Sehingga, ketika hanya aku
yang cukup berani dekat-dekat nenek dalam jangka waktu lebih lama, akulah yang jadi
sasaran pertanyaan-pertanyaan mereka. Rahasia kematian selalu jadi sumber rasa
penasaran, bagaimanapun ditolak kehadirannya.

“Nenek bilang apa? Siapa yang akan mati berikutnya?”

“Nenek takbilang apa-apa,” jawabku, “lagi pula, mana pernah dia menyebut
nama.”

“Iya, tapi tak mungkin ia tak bilang apa-apa. Pasti kau yang tak peka terhadap
ucapannya,” balas sepupuku.

“Sungguh. Nenek memang tak mengucapkan apa-apa. Paling tidak, belum.”

“Kau menutup-nutupi saja karena kau sebenarnya tahu dan tak mau kami
khawatir.”

“Tidak.”

“Ayolah, ceritakan.”

“Tidak ada yang bisa diceritakan. Kalau kalian mau dengar ucapannya, kenapa
tak dekat-dekat nenek saja?”

Baru mereka semua diam dan aku kembali ke pawon menemani nenek bekerja.

Rapal doa-doa adalah suara lebah dalam sarang yang berdengung-dengung. Lalu
nenek meracau lagi.

“Sebenarnya, beras sudah jadi nasi, tinggal dihidangkan. Perjalanan sudah


selesai. Kita mulai makan, kemudian yang kita ingat berikutnya rasa nasi saja. Beras
yang sudah jadi nasi kemudian keluar dari perut, jadi tai yang dimakan lele. Kehidupan
tak berhenti pada kematian, melainkan jadi kehidupan yang lain. Saat waktunya tiba,
kita lupa pada nasi yang baru saja kita makan, atau beras.”

Benarkah nenek bisa lupa pada kematian orang-orang yang dicintainya? Aku tak
bisa membayangkan apa rasanya jadi nenek yang terus menua sambil menyaksikan
suami dan anak turunannya mati satu per satu. Usianya sudah lebih dari sembilan
puluh tahun—nyaris seratus, kurasa—dan nasinya tak tanak juga, sementara nasi
yang lain sudah selesai dihidangkan. Apa rasanya jadi dia? Aku tak mengerti.

“Menyedihkan rasanya,” ucap nenek, “seperti melahirkan kematian. Dan lebih


menyedihkan lagi ketika semua itu tak bisa ditolak. Pasrah saja kita bisanya.”

Untuk banyak hal, ingatan nenek masih tajam, namun saat ia berbicara kematian
ia seperti lupa bahwa orang yang dia bicarakan adalah kerabatnya sendiri yang kerap
terhubung darah sangat dekat. Seperti saat kami mendengar ia berkata tentang
meninggalnya seorang keponakan.

“Bunga bisa gugur sebelum mekar, tapi tetap saja bunga,” ucapnya waktu itu,
“kalau sudah gugur, biarkan saja. Nanti akan ada kuncup baru.”

Baru delapan bulan kemudian keponakan itu meninggal bahkan sebelum lahir.
Sepupuku keguguran di bulan keenam kehamilannya. Nenek sudah meramalkan
kematian sebelum ada kelahiran, bahkan sebelum sepupuku itu menikah. Ketika ia
mengatakan itu, kami semua tahu bahwa akan ada kematian lagi, namun lagi-lagi kami
lupa sampai kematian itu benar-benar terjadi. Buatku ini mengerikan, namun aku juga
tidak bisa mengingat untuk bersiap-siap atau paling tidak mengingatkan seseorang
agar bersiap-siap menunda kematian. Ini yang paling masuk akal buatku. Bahwa,
segala ucapan nenek adalah peringatan agar sesuatu bisa dibendung kedatangannya.
Tapi, bisakah kematian dibendung?

“Nek, bagaimana nenek bisa tahu akan ada kematian?” tanyaku untuk menutup
rasa penasaran.

“Nenek tidak tahu,” jawabnya.

“Tapi, nenek selalu mengucapkan sesuatu sebelum ada orang meninggal.”

“Mengucapkan apa?”

“Macam-macam.”

“Tidak. Nenek tidak pernah berucap apa-apa,” sanggahnya lagi.

Lalu aku menceritakan kejadian-kejadian yang lalu. Nenekku lagi-lagi cuma


mengernyitkan bibirnya sambil menggeleng-geleng dan berkata, “Tidak. Nenek tak
pernah mengucapkan itu semua.”

Aku diam. Apakah nenek sudah pikun?

“Nenek tidak sadar bahwa dia sudah mengucapkan itu semua,” bisikku pada
sepupu-sepupu.

“Maksudmu, nenek kesurupan?”

“Hus! Jangan sembarangan!”


“Apakah kau ingat, apakah nenek pernah berkata sesuatu tentang kematian
ibumu?”

Aku diam lagi, mencoba mengingat-ingat. Aku lupa. Aku tak ingat apa-apa. Lalu,
sepupu terkecil berkata, “Nenek pernah bilang: ‘Maling bekerja dini hari, saat semua
orang tertidur. Yang diambil adalah perhiasan keluarga paling berharga’. Diucapkan
padamu.”

“Kau ingat?” tanyaku.

“Tiba-tiba saja ingat, Kak.”

Ibuku meninggal dini hari, dan dia perhiasan keluargaku. Aku mengingatnya
dengan jelas. Membayangkan bahwa aku melupakan betapa berharganya sesuatu,
sungguh bukan bayangan yang menyenangkan. Lagi-lagi aku teringat pada nenek yang
gemar menanak nasi, menikmati harumnya sambil melupakan tanda-tanda yang
diucapkannya sendiri.

Udara dari pawon menembus ke ruang makan. Aku mencium bau nasi hampir
tanak. Aku sangat ingin mengaduk nasi setengah matang lalu menuangkannya ke
dalam kukusan. Tapi, ternyata semua nasi sudah diangkat. Mungkin, sisa-sisa bau
saja, karena dari jauh kulihat nenek sudah duduk tenang di teras belakang.

“Apa kau bilang?” sepupuku bertanya.

“Aku tidak bilang apa-apa.”

“Kau baru saja bilang: ‘Akhirnya, nasi yang ditanak nyaris seratus tahun matang
juga’. Nasi apa yang ditanak seratus tahun?”

Aku diam sambil berjalan ke teras di belakang dapur dan duduk di samping
nenekku.

“Kau mau menanak nasi?” tanya nenek dengan suara pelan, “kalau sudah
matang, jangan lupa diangkat. Waktunya selalu tepat.”

Aku menggeleng. Aku tak mau menggantikan nenek menanak nasi. Aku tak mau
tua, pikun lalu lupa perihal tanda-tanda.

Keterangan:
Pawon: dapur.
Wisnu Sumarwan, bernama lengkap Wisnu Suryaning Adji Sumarwan. Lulusan
Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta. Pernah jadi direktur program sebuah radio dan
usahawan kuliner. Pemenang 1 Lomba Cerpen Nasional #MyCupOfStory 2016
Nulisbuku.com dan Giordano Indonesia. Peserta Workshop Cerpen Kompas 2016
dengan mentor Agus Noor, Linda Christanty, dan Putu Fajar Arcana. Cerpennya
termuat dalam antologi cerpen Kelas Cerpen Kompas 2016 Cerita Para Perambah.
CERPEN, KOMPAS, MIRANDA SEFTIANA

Sekuntum Melati Ibu

Sekuntum Melati Ibu ilustrasi M Dwi Pradipta/Kompas

Aku mengenal ibu sebagai perempuan yang ceria. Dia sering tertawa, meski aku
tidak benar-benar mampu mengeja apakah karena gemar saja atau dia memang sedang
bahagia. Satu hal yang pasti, banyak lelucon yang sedatar papan sekali pun mampu
memantik gelaknya. Persis seperti bocah usia di bawah lima tahun yang menganggap
anjing tercebur ke kubangan lumpur bukan sebagai masalah, melainkan ajang bermain
air dan sabun. Pekerjaan menyebalkan bagi sebagian orang dewasa karena mesti
mengulang aktivitas yang sama padahal bisa dilakukan sekali saja dalam seminggu.

Tapi aku suka ibu. Suka melihat sudut bibirnya yang tertarik nyaris mencapai
tulang pipi. Suka melihat retinanya yang coklat mengembun seperti daun ketika pagi
hari. Segalanya lebih menarik. Tentu. Daripada kau melihat sepasang bahu yang
berguncang atau lima jari yang membekap mulut dengan rapat. Aku tidak suka itu dan
mungkin ibu juga begitu.

“Kana, ambilkan arang dan sekam!” suara Ibu merambati udara. Beradu deru
mesin alkon yang melewati sungai Pangambangan di belakang rumah kami.

Aku yang sedang memandangi buah-buah rambutan bergegas menuju teras. Di


sudut tempat yang menjadi transisi antara pekarangan dan pintu rumah tergeletak
sekarung kulit padi yang telah menghitam, juga beberapa bungkus arang yang biasa
digunakan untuk membakar ayam atau ikan. Ibu meletakkan di sana, di tempat teduh
oleh bayangan dahan belimbing wuluh. Sengaja katanya, agar tidak mengganggu
estetika. Karena menurut kepercayaan ibu, sesuatu yang kotor mesti dirahasiakan
sebagaimana yang dilakukan Tuhan terhadap kesalahan manusia.

Aku tidak berani membantah. Sepanjang hidup pun tak pernah menganggap ibu
salah, terlebih jika sudah melibatkan Tuhan. Bapak juga begitu. Dia tidak suka
mendebat ibu. Paling tidak, demikianlah yang kutahu sepanjang kebersamaan mereka
sebagai orangtua. Meski dalam kesehariannya, lelaki dengan kumis melintang di antara
hidung dan katup teratas bibir itu berbeda minat dengan ibu.

Bapak lebih suka tanaman yang bisa dimakan, terlepas dalam kondisi mentah
atau setelah diolah. Oleh karena itu, di halaman ini kalian bisa melihat perbedaan
keduanya yang kentara. Jika ibu memilih menanam sepasang bunga kertas, putih dan
merah sebagai gerbang, maka bapak memilih menanam mangga di halaman depan.
Bila ibu lebih suka menumbuhkan bunga sri gading untuk mengawetkan pupur
basah—bedak berbahan tepung beras dan air—yang biasa dipakainya tatkala
menjajakan kembang barenteng dengan jukung hawaian, maka bapak condong
menanam sepohon belimbing wuluh di seberangnya.

Bapak suka menyantap ikan goreng, pepes, dan bakar dengan belimbing wuluh
yang dicampur irisan cabai serta bawang merah. Lantaran demikian, hampir tak
sekalipun buah bercitarasa asam sepat itu sempat menghujam tanah. Bapak akan
lebih dulu memetiknya tak lama setelah bakal bunga menjelma buah. Ia akan
menyusunnya ke dalam toples kaca, menyiram dengan larutan garam, lalu menyimpan
di rak gantung sekitar dapur. Sepanjang tahun kalian bisa melihat deretan toples kaca
berisi belimbing wuluh lunak dan berwarna kecoklatan. Bapak suka itu, ia tidak pernah
bosan, tak mau digantikan. Kami menyebutnya jaruk balimbing tunjuk.

Selain belimbing wuluh, bapak juga menaruh perhatian istimewa pada pohon
rambutannya. Sekali dalam seminggu ia akan memupuk akar rambutan yang
menyembul ke permukaan dengan gula. Setiap pagi, sesuai menyesap teh panas
buatan ibu, ia akan menyiramkan sisanya ke pokok rambutan itu. Kupikir tidak bisa
benar-benar disebut sisa, sebab bapak seperti sengaja menyisihkan tehnya lebih
banyak untuk akar rambutan. Pada masa berbunga, bapak akan lebih sering
melakukannya.

Ibu tidak pernah keberatan gula sakarnya berkurang setengah kilo setiap minggu.
Seperti bapak yang juga tidak pernah marah simpanan arang untuk membakar dan
memepes ikan berkurang demi anggrek milik ibu. Sudah kukatakan, mereka nyaris
alpa dari berbantahan.

***

Bapak tidak suka bunga. Aku tahu. Ibu tentu lebih tahu. Tapi bapak adalah lelaki
manis seumpama rambutan jenis batukan yang tumbuh di pekarangan kami. Konon
menurut cerita bapak, rambutan ini tidak bisa dipisahkan daging buah dan bijinya.
Kalian hanya bisa menikmati dengan cara mengemut hingga rasa manisnya
menyisakan hambar. Meski seperti tebu, rambutan ini tidak boleh terlalu banyak
disantap karena bisa menyebabkan batuk. Bisa jadi inilah muasal nama batukan yang
disematkan pada jenisnya.

Manisnya bapak bukan dengan kata cinta. Seumur kebersamaan dengan mereka,
aku tidak pernah mendapati keduanya bertukar panggilan sayang, jelingan menggoda
pun tidak. Ya, paling tidak, itulah yang kudapati dari teras hingga dapur. Selebihnya
barangkali menjadi rahasia yang disimpan berdua oleh bapak dan ibu.

“Kenapa Ibu memanggil Bapak dengan sebutan Bapaknya Kana, bukan kanda
atau sejenisnya?” usutku suatu waktu.

Ibu sedang merangkai kuntum melati dan kelopak mawar dengan sebuah jarum
dan benang dari serat pelepah pisang ketika aku bertanya begitu. Maka dilepaskan
segala kegiatan ke atas sebuah talam—nampan berbahan kuningan. Ibu menatapku
lama, tersenyum sesamar benang serat pelepah pisang.

“Itu cara menyapa pasangan yang dicontohkan Penghulu Zaman,” ucap Ibu lalu
kembali menusuk kuntum melati dengan jarum yang tajam. Aku meringis ngilu
menyaksikannya, terlebih saat giliran kelopak mawar yang lubangnya kentara.

“Bu, ini kembang barenteng ya?”

Dia menggeleng kecil. “Ini kembang nagasari.”

“Bukankah kembang nagasari semestinya menggunakan melati yang masih


kuncup?”

Tunjukku pada kuntum-kuntum semerbak yang telah mekar sempurna. “Kalau


begini lebih mirip kembang barenteng untuk ziarah.”

Ibu tidak menyahut, ia hanya memandangiku dengan nanar. Aku balik menatap
mata ibu, menelusuri kebohongan dari retina secoklat air rawa. Tidak ada dusta di
sana. Hanya rahasia yang terlampau dalam untuk diselam.

***
Senampan ketan berhias nanas merah yang dibentuk bagai kepala merak telah
tersaji di depan pelaminan yang berhias arguci. Di sekeliling ketan itu terselip daun
pisang yang dilipat kerucut. Lalu di atas ketan putih yang dimasak dengan santan
berderet-deret irisan telur dadar tipis membentuk gelombang. Kami menyebutnya
lakatan hadap-hadap. Sajian wajib di hari pernikahan perempuan Banjar.

Pada kiri dan kanan pelaminan berdiri kambang sarai—hiasan kertas berwarna-
warni yang dililit ke lidi—yang ditancap pada vas kuningan. Kuning, merah, dan hijau
menjadi warna dominan. Kuning bermakna sakral, merah terselip makna kejujuran,
sedangkan hijau berarti sejuk. Itu kata pahiasan—perias pengantin tradisional
Banjar—yang kini sedang berusaha menyematkan kembang nagasari pada galung.
Bunga ini istimewa, dikumpulkan oleh bapak dan dirangkai oleh ibu.

“Beruntungnya suamimu, jujuran sapambari tapi mendapat melati yang masih


kuncup,” komentar pahiasan sembari mengangkat surai nagasari.

“Memang ada apa dengan melati yang masih kuncup?”

Perempuan jelmaan yang menuju senja itu menepuk kedua pundakku. Dia
menunduk, kami bertatapan sesaat di pantulan cermin meja rias yang dihadiahkan
calon suamiku sebagai tanda kesanggupannya memenuhi syarat antaran tikar
kalambu; mengisi kamar mempelai wanita dari teras hingga langit-langitnya.

“Melati yang kuncup pertanda kau masih dara,” bisiknya membuat rambut halus
di sekujur tengkukku meremang.

Mataku memicing tajam ke sudut dinding kamar. Di sana, foto pernikahan bapak
dan ibu terpajang, belum dipindahkan ketika pahiasan meminta kamar mereka
menjadi kamar pengantin. Sebab ukuran kamarku yang sempit untuk tukang rias dan
perlengkapannya masuk. Mendadak anganku berterbangan.

Melati pada surai nagasari ibu yang telah mekar, akta kelahiranku yang hanya
memuat satu nama orangtua, ibu yang lebih suka menyatukan kelopak bunga yang
telah tercerabut dari kuntum, bapak yang sering mengumpulkan bunga ranggas tapi
sejujurnya lebih suka menumbuhkan taman yang bisa ia makan. Aku sadar sekarang,
mereka bukan selalu sepaham, melainkan hampir tak pernah bercakap kecuali perihal
anak. Adakah seluruhnya kembang barenteng ibu; rangkaian bunga yang dibawa orang
berduka pada pemakaman orang tercinta?

Miranda Seftiana, lahir di Hulu Sungai Selatan. Menempuh pendidikan di Fakultas


Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat. Buku tunggalnya berjudul Senandung
Cinta untuk Bunda (Leutika Prio, 2011). Karyanya berjudul Sebatang Lengkeng yang
Bercerita terhimpun dalam buku Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2015.
CERPEN, KOMPAS, SORI SIREGAR

Akhir Perjalanan
Gozo Yoshimasu

Akhir Perjalanan Gozo Yoshimasu ilustrasi Emmy Go/Kompas

Puluhan pemuda melangkah cepat sambil berteriak riuh menuju markas tentara
Jepang di pojok jalan. Dengan bentangan tangannya, seseorang yang bertubuh besar
menghentikan langkah para pemuda yang dibakar amarah itu. Lelaki bertubuh besar
itu maju ke depan.

“Mana komandan kamu. Panggil dia. Kami datang untuk mengambil semua
senjata yang kalian miliki,” katanya kepada para pengawal.

Gozo Yoshimasu, yang telah mendengar gemuruh teriakan ketika para pemuda
itu semakin mendekati markas mereka, melangkah keluar sebelum pengawal
memanggilnya. Ia berdiri tenang. Semua pemuda yang berada di depannya juga diam.
Rasa takut belum meninggalkan wajah mereka. Susah rasanya melepaskan diri dari
rasa takut, benci, dan amarah setelah lebih dari tiga tahun ditindas oleh tentara-
tentara bermata sipit itu. Tentara Jepang dikenal kejam dan gemar menyiksa.

Gozo Yoshimasu yang bertugas sebagai komandan di markas tentara di kota


Tebing Tinggi itu menatap mata lelaki bertubuh besar yang berada tidak jauh di
depannya. Yoshimasu bukanlah tentara yang mudah lepas kendali. Di kalangan
sesama perwira tentara Jepang, Yoshimasu yang berpangkat kapten itu dikenal lembut
menghadapi siapa saja. Ia bukanlah prototipe tentara pendudukan yang terkenal
garang dan tanpa belas kasihan.

“Boleh saya tahu mengapa kalian datang ke markas ini?” Ia bertanya tetap dengan
tenang.

Tanpa harus menunggu lama, ia mendengar teriakan lelaki bertubuh besar yang
berdiri di depannya.

“Kami datang untuk mengambil senjata yang kalian miliki. Sebagai bangsa yang
kalah perang, tentara kalian tidak berhak memiliki senjata lagi. Serahkan senjata itu
kepada kami dan kami tidak akan mengganggu tuan dan anak buah tuan.”

Peristiwa yang sedang dihadapi Yoshimasu bukan hanya sekali terjadi di negeri
ini setelah Jepang menyatakan takluk kepada Tentara Sekutu dalam Perang Dunia II.
Karena itu, Yoshimasu tidak terkejut. Ia diam dan berpikir. Para pemuda di depannya
mulai tidak sabar dan kembali berteriak-teriak dengan amarah walaupun tetap
dibarengi rasa takut.

“Senjata kami hanya akan dilucuti oleh Tentara Sekutu, bukan oleh pihak lain.
Jika kami memberikan senjata-senjata yang kami miliki kepada kalian, kami dilarang
keras untuk melakukan itu dan akan ditindak tegas oleh Tentara Sekutu.”

“Serahkan sekarang juga,” ujar lelaki bertubuh besar itu. “Jika tidak, kami akan
menyerbu masuk dan korban akan berjatuhan di pihak tuan. Tuan lihat betapa
banyaknya pemuda di belakang saya.”

Gozo Yoshimasu menatap mata lelaki bertubuh besar kemudian menatap semua
pemuda di depannya. Kapten yang oleh rekan-rekannya dikenal lembut ini tampak
berpikir untuk mengambil keputusan. Ia sadar betul bahwa para pemuda di depannya
benar-benar membutuhkan senjata karena mereka ingin mempertahankan
kemerdekaan yang baru mereka kumandangkan. Namun, jika ia memberikan senjata
yang mereka miliki, Tentara Sekutu akan memberikan hukuman berat kepadanya. Ia
akan dianggap membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tentara Sekutu tidak
menghendaki itu. Mereka memiliki rencana sendiri untuk bangsa ini.

Dalam keadaan kritis tersebut, Kapten Yoshimasu harus mengambil keputusan


segera untuk menghindari pertumpahan darah. Keputusan yang ditunggu itu pun
diambilnya dan ia siap untuk menanggung segala risiko untuk itu.

“Masuklah dan ambillah semua yang kalian inginkan,” ujar Yoshimasu dengan
suara keras dan tegas.
Mendengar keputusan itu, semua pemuda menyerbu masuk dan merampas
semua yang terdapat di dalam markas. Yoshimasu menyaksikan semua itu dengan
perasaan tercabik. Namun, ia merasa keputusannya tersebut paling tidak akan dapat
menyelamatkannya dan anak buahnya. Namun, kenyataan berkata lain. Salah seorang
pemuda yang menyerbu ke markas menodongkan ujung bambu runcingnya ke leher
Yoshimasu. Lelaki bertubuh besar merampas bambu runcing itu dari pemiliknya dan
melemparkannya ke halaman markas. Ia tidak ingin Yoshimasu cedera.

Pemilik bambu runcing yang sedang diamuk amarah merampas senapan dari
tangan temannya yang baru mengambil senjata itu dari markas. Ia mengarahkan
senjatanya ke tubuh Yoshimasu yang tidak berdaya. Lelaki bertubuh besar berteriak
mencegahnya. Dengan sekuat tenaga, pemuda pemilik bambu runcing itu menusukkan
sangkur yang melekat di senapan itu ke dada Yoshimasu. Perwira Jepang itu bersimbah
darah. Lelaki bertubuh besar itu mencoba menolong Yoshimasu. Tapi, saat itu juga
sangkur yang masih merah dengan darah itu diarahkan sang pemuda ke dada lelaki
bertubuh besar itu.

Jika salah bersikap, ia akan mengalami nasib seperti Yoshimasu. Setelah


mengerang beberapa saat, tubuh Yoshimasu tidak lagi bergerak dan darah terus
mengucur dari tubuhnya. Setelah itu lelaki bertubuh besar hanya dapat menyaksikan
dengan rasa tidak percaya semua yang dilakukan para pemuda yang tadi dipimpinnya.
Setelah semua anak buah Yoshimasu dilumpuhkan, mereka diseret ke tengah-tengah
kota. Di sana mereka diberondong seorang demi seorang di depan penduduk yang
datang menonton.

***

Kekejaman yang dilakukan para pemuda yang berada di belakang lelaki bertubuh
besar itu tak pernah dapat diusirnya dari ingatannya. Dua puluh tahun kemudian,
kekejaman yang serupa terjadi di negeri ini. Anak lelaki bertubuh besar juga gagal
mencegah kekejaman teman-temannya. Ia tidak dapat berbuat apa-apa ketika para
anggota ormas yang dipimpinnya membantai puluhan orang yang belum tentu bersalah
akibat gejolak politik yang tidak diinginkan.

Ketika anak semata wayang itu mengutarakan perasaan bersalahnya karena tidak
dapat mencegah kejadian yang memilukan itu, sang ayah, lelaki bertubuh besar itu,
berupaya menenangkannya.

“Dua puluh tahun ayah juga merasa dikejar-kejar dosa karena tidak dapat
menyelamatkan perwira Jepang itu dari kekejaman yang dilakukan para pemuda di
Tebing Tinggi itu. Seandainya Yoshimasu bersikap keras dan melepaskan tembakan ke
arah kami, ayahlah orang pertama akan tersungkur ke bumi. Tapi, Kapten Yoshimasu
mengizinkan kami masuk ke markasnya dan mengambil semua senjata yang terdapat
di sana. Ia hanya menyaksikan kami tanpa reaksi apa pun.”

“Lalu, mengapa teman-teman ayah itu harus membunuh Yoshimasu dan semua
anak buahnya?”

Lelaki bertubuh besar itu menarik napas. Ia dapat membaca semua yang
tersimpan dalam benak anaknya. Peristiwa yang membuat anaknya merasa berdosa
itu baru berlalu satu tahun. Itu pun pastilah tidak seberat yang dirasakan ayahnya
selama dua puluh tahun.

“Ketika itu kita memang terbelenggu oleh rasa cemas, takut, dan amarah sehingga
kita tidak dapat berpikir jernih. Mereka telah takluk dalam perang dan apa yang dapat
mereka perbuat sebagai pecundang terhadap kita? Mereka telah menyerah kepada
nasib dan menunggu tindakan tentara sekutu. Hal yang sama juga kau alami. Apa yang
dapat diperbuat kekuatan kiri itu setelah mereka dinyatakan terkubur di negeri ini.
Mengapa teman-temanmu harus membunuh para petani, buruh dan para ibu yang
belum tentu bersalah itu, sedangkan kaua tidak dapat menghentikannya. Mereka
orang-orang sederhana yang diperalat oleh kekuatan politik durjana. Paling tidak kau
telah berusaha menghentikan kebuasan itu, tetapi apalah artinya tenaga satu orang
menghadapi kekuatan massa.

Anak lelaki bertubuh besar menatap ayahnya. Baginya, banyak orang merasa
peristiwa sejarah di masa lampau tak perlu dikenang atau disesalkan. Semua itu harus
diterima apa adanya. Mungkin itu benar buat orang yang tidak bersinggungan sedikit
pun dengan peristiwa sejarah itu. Tapi tidak buat orang yang kehilangan sesuatu atau
terbelenggu kejaran dosa karena peristiwa sejarah itu. Anak lelaki bertubuh besar itu
mengalihkan tatapannya ke arah lain.

“Kemarin aku membaca feature menarik di koran Strait Times yang kubeli di
sebuah toko buku di bandara. Seorang laki-laki yang mengaku dirinya cucu dari
seorang perwira Jepang di Indonesia bernama Gozo Yoshimasu sedang mencari
informasi tentang makam kakeknya dan bagaimana kakeknya terbunuh. Benarkah ia
tertembak karena membangkang perintah Pasukan Sekutu? Aku rasa ayah dapat
memberikan informasi yang benar kepadanya. Alamatnya jelas tertulis di akhir tulisan
itu. Jelaskanlah, Tentara Sekutu sama sekali tidak ada urusannya dengan kematian
Yoshimasu. Jelaskan juga bahwa ayah tidak tahu di mana jenazahnya dikuburkan atau
dibuang bersama dengan mayat-mayat anak buahnya.”

Lelaki bertubuh besar itu membisu. Lama ia berpikir. Adakah manfaatnya jika ia
menceritakan peristiwa sebenarnya kepada orang yang mengaku sebagai cucu
Yoshimasu itu? Apakah tidak lebih baik aku membiarkannya berpikir bahwa Tentara
Sekutulah yang membunuh kakeknya. Dengan begitu aku dapat menyelamatkan nama
baik para pemuda yang menyerbu ke markas Yoshimasu, termasuk diriku.

Anak lelaki bertubuh besar seakan menyadari apa yang tersimpan dalam kepala
ayahnya. Agar ayahnya tidak dikejar-kejar dosa sepanjang hidupnya, ia pun
menyuarakan pendapatnya.

“Ayah sebaiknya menghubunginya dan menuturkan semua yang ayah ketahui. Ia


ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa kakeknya yang menjadi korban.
Cobalah ayah baca artikel yang bagus dan mengharukan itu. Kalau sekadar ingin tahu
nasib ayahnya sebenarnya cukup jika ia menulis surat pembaca. Tetapi, ia menulis
artikel karena peristiwa di Tebing Tinggi itu selalu menjadi pembicaraan tentang Jepang
yang kembali dari Sumatera. Nama kota itu ditulisnya berkali-kali dalam artikel itu.
Dengan menceritakan semua yang terjadi pada Yoshimasu, percayalah, ayah, akan
terbebas dari kejaran dosa yang tak berujung itu.
“Kau sendiri bagaimana?”

“Orang-orang yang menjadi korban temanku seorganisasi bukanlah orang-orang


penting seperti Kapten Yoshimasu. Hingga saat ini pun aku tidak pernah mendengar
ada orang yang mempersoalkan hal itu. Siapa mereka dan mengapa mereka
dikorbankan. Hanya para pelaku kejahatan itu yang dapat menjawabnya. Atau mereka
pun tidak tahu karena perbuatan tidak terpuji itu mereka lakukan secara membabi
buta karena amarah yang mencapai puncak. Biarlah ayah aku terus menanggung dosa
ini hingga suatu saat nanti aku dapat terbebas dari kejarannya. Siapa tahu dengan
pengakuan ayah terhadap cucu Yoshimasu secara bertahap kejaran itu akan berhenti.
Siapa tahu”.

Lelaki bertubuh besar masih membisu. Kemudian ia menghampiri anaknya dan


memeluknya.

“Berikan alamatnya kepada ayah.”

Jakarta, 16 Maret 2017

(Diilhami oleh buku The Dawn of Sumatra karya Takao Fusayama, diedarkan oleh
Badan Musyawarah Pejuang Republik Indonesia Medan Area (PRIMA) dan Lina
Computer Press—tanpa tahun penerbitan).

Sori Siregar. Menulis cerpen sukar dihentikannya. Karena ia menulis terus, akhirnya ia
bingung sendiri mau ke mana cerpen-cerpen itu dikirimkan. Media memang banyak,
tetapi untuk mengikuti semua media itu tentu memerlukan kerja ekstra. Karena itu,
cerpen-cerpen tersebut disimpannya sendiri. Kompas adalah tempat utama ia
menyalurkan cerpen-cerpennya.
AGUS NOOR, CERPEN, KOMPAS

Lelucon Para Koruptor

Lelucon Para Koruptor ilustrasi AG Rama Dalem/Kompas

Ada yang tak disampaikan ketika ia masuk penjara: mesti menyiapkan banyak
lelucon. Mungkin Join Sembiling SH lupa soal itu. Pengacara yang menangani
kasusnya itu hanya mengatakan kalau ia tak usah terlalu khawatir selama menjalani
8 tahun masa tahanannya karena segala sesuatunya sudah ada yang atur dan urus.
“Percayalah, penjara bukanlah tempat yang menyeramkan bagi koruptor,” katanya
setengah tertawa.

Kehilangan kebebasan, bagaimanapun membuatnya merasa tertekan. Ia


membayangkan kehidupan yang begitu membosankan dan akan mati kesepian. Tapi
pengacara berpenampilan perlente itu, yang sudah menangani puluhan kasus korupsi,
menenteramkannya, “Anggap saja kau hanya pindah tempat tidur. Kau tetap bisa
menjalankan bisnismu dan menikmati hal-hal yang kau sukai seperti biasanya.”

Ia kini benar-benar percaya dengan semua yang dikatakan pengacaranya. Ia tak


perlu pusing memikirkan kebutuhan hidup bulanan istrinya karena sudah ada yang
menanggung, juga biaya sekolah anak-anaknya. Kawan-kawan dan atasan yang
merasa diselamatkannya—karena ia tak menyebutkan nama mereka selama
persidangan—telah diatur oleh Join Sembiling SH agar membantu semua kebutuhan
rumah tangganya sebagai “ucapan terima kasih”. Bahkan, ia masih bisa berkomunikasi
dengan mereka, dan istrinya bisa sewaktu-waktu menemuinya bila memang ia
membutuhkan untuk “menyelesaikan hasratnya”. Bila merasa bosan dan pengin
sedikit refreshing berjalan-jalan di luar, semua “prosedur formal akan dibereskan
dengan biaya secukupnya”. Bila kangen makanan kesukaan, tinggal telepon dan akan
segera ada yang mengantarnya.

Yang menggelisahkan justru karena ia mesti menyiapkan lelucon. Ini ia ketahui


setelah dua minggu dalam penjara. Ia diundang mengikuti pertemuan dengan para
penghuni lama. “Ini pertemuan yang rutin diadakan tiap malam Rabu,” ujar Sarusi,
kawan satu selnya, anggota dewan yang tertangkap tangan karena kasus suap
reklamasi. “Kau bisa berkenalan dengan orang-orang terhormat di sini. Kesempatan
langka, yang mungkin tak akan bisa kau dapatkan bila kau masih di luar sana.” Sarusi
tersenyum. “Siapkan saja satu lelucon paling lucu yang kau punya, yang bisa
menentukan martabatmu.” Ia bingung saat itu.

***
Akhirnya ia tahu. Setiap yang hadir bergiliran menyampaikan satu lelucon. Yang
paling lucu akan naik martabatnya karena akan dilayani oleh yang kalah, yakni yang
dianggap paling tak lucu. Menjadi raja dalam seminggu, yang boleh memerintah atau
mengerjai siapa pun yang kalah, misalkan menyuruh berdiri dengan satu kaki,
menangkap seekor kecoa, dicoreng wajahnya dengan spidol dan tak boleh dibersihkan
selama seminggu, memijiti tiap malam, dan bahkan menyuruhnya membersihkan sel.

Lelucon-lelucon itu menghiburnya, sekaligus membuatnya mati kutu. Saat


pertama kali hadir dalam pertemuan itu, ia dianggap paling tak lucu dan disuruh
menyanyikan lagu nasional yang didangdutkan sambil goyang ngebor. Sialan! Rupanya
semua telah sepakat untuk memplonconya sebagai warga baru karena ia tahu,
sebenarnya lelucon Pak Hakil lebih tak lucu dari leluconnya.

Pak Hakil, mantan hakim konstitusi, sebenarnya tak pernah bisa membuat
lelucon lucu. Leluconnya nyaris sudah basi dan garing. Tapi semua yang mendengar
selalu tertawa. Misal, suatu kali Pak Hakil melontarkan tebak-tebakan, “Kenapa di rel
kereta api selalu ditaruh batu? Karena kalau ditaruh duit, pasti habis diambil kita
semua.” Ia tahu, itu hanya lelucon lama yang dimodifikasi, tapi semua tertawa.
Bahkan, ketika Pak Hakil menceritakan lelucon usang soal “kereta api yang berhenti di
stasiun karena rodanya kempes”, semua tertawa ngakak. Apa lucunya? Kemudian
Sarusi membisikinya, “Kau harus tertawa meski tak lucu. Pak Hakil sudah cukup
menderita karena divonis seumur hidup, jadi anggap saja kita sedekah tawa karena
ingin membuatnya terhibur. Ingat, menyenangkan orang lain itu dapat pahala. Ha-
ha….”
Kemudian, ia memahami, soal masa hukuman itu termasuk hal penting yang
harus dihormati. Semakin lama masa hukuman, maka akan semakin tinggi
kehormatannya. Yang lebih rendah vonis hukumannya harus menghormati yang
dihukum lebih lama di atasnya. Bila lebih dari 15 tahun penjara, ibaratnya berpangkat
setingkat jenderal. Yang dihukum seumur hidup langsung dapat gelar jenderal bintang
lima anumerta. Kalau cuma dua tiga tahun, itu kelas kopral.

Jumlah yang dikorupsi juga menentukan martabat. Bung Jayus, pegawai pajak
yang masih muda tapi menilep miliaran, dipandang lebih terhormat dari Pak Muad
Arim, bupati yang sudah berumur 70 tahun, tetapi hanya kesandung uang recehan
ratusan juta. Makin banyak uang makin terpandang dan disayang. Setidaknya makin
disayang para sipir penjara, kata Mas Unas, mantan ketua sebuah partai. Mas Unas
tetap merasa dirinya hanya dikorbankan. “Saya tak bersalah. Terbukti saya tidak
menerima satu rupiah pun…, sebab yang saya terima dalam bentuk dollar.” Lelucon-
leluconnya sering mengejutkan.
Di pertemuan malam Rabu itulah—yang sering dibilang Mas Unas sebagai
“tadarus lelucon”— setiap yang hadir seperti ingin saling menghibur, tetapi kadang juga
terasa ingin meneguhkan kehormatan dan martabatnya dengan saling sindir saling
ledek. Dan Mas Unas kerap menjadi bintang dengan lelucon-leluconnya. Bung Jayus
sering kena sasaran. “Kamu tahu, pajak itu mudah, yang sulit membayarnya,” kata
Mas Unas. Semua tertawa. Bung Jayus mesam-mesem. “Orang pajak itu paling pelit.
Saya punya kawan, perempuan yang pacaran dengan pegawai pajak. Tiap makan,
selalu perempuan itu yang bayar. Ketika perempuan itu kesal, pegawai pajak itu bilang,
‘tenang, kamu yang bayar makannya, saya yang urus pajaknya’.” Kembali semua
tertawa.

“Tapi harus diakui, di antara kita semua, pegawai pajak yang akan gampang
masuk surga. Ketika mau masuk gerbang surga, tiap orang akan ditanyai malaikat.
Nah, ketika sampai di gerbang surga, justru pegawai pajak yang malah menanyai
malaikat, ‘Tolong perlihatkan SPT pintu gerbang surga ini?! Apakah sudah melunasi
pajak pintu gerbang surga?’ Mendengar itu, malaikat cepat-cepat menyuruh pegawai
pajak itu masuk surga biar urusan pajak nggak diungkit-ungkit.”

“Mas Unas,” timpal Bung Jayus, “semua orang itu jujur, kecuali soal pajak.”

Kelebihan lain Mas Unas ialah piawai memberi konteks leluconnya dengan apa
yang aktual. “Saya baru baca berita, kalau saat ini jumlah orang miskin hampir 100
juta. Sementara ekonomi hanya dikuasai oleh 10 orang terkaya. Menurut saya, ini
berita bagus.”

“Lho kenapa?”

“Artinya, di negeri ini lebih gampang jadi orang kaya ketimbang jadi orang miskin.
Kalau mau jadi orang miskin, harus bersaing dengan 100 juta orang. Tapi kalau mau
jadi orang terkaya, saingannya hanya 10 orang. Artinya, kalau nanti kita keluar, kita
masih tetap punya harapan untuk makin kaya karena hanya bersaing dengan 10 orang
itu.”

Semua nyengir.
Menyiapkan lelucon seminggu sekali menjadi hal yang paling menggelisahkannya
dalam penjara ini. Memikirkan lelucon yang harus disiapkan untuk pertemuan Rabu
malam itu saja sudah membuat perutnya mual. Ia selalu tak pernah bisa yakin dengan
lelucon yang ia anggap lucu. Barangkali lelucon itu memang lucu, tapi ia tak pernah
bisa menyampaikannya sebagai kelakar yang menarik. Ia pasti langsung keringat
dingin ketika sampai gilirannya.

Hal yang semakin membuat gelisah, ia selalu merasa, apa pun leluconnya, tak
pernah ada yang menganggap lucu. Ia pernah menceritakan lelucon politik paling lucu
tentang Stalin yang setiap pagi selalu mengulangi lelucon yang sama pada para
pengawalnya, dan para pengawal itu tetap tertawa; sebab bila ada yang tak tertawa,
langsung ditembak. Itu satir, tapi tak seorang pun tertawa ketika ia menceritakannya.
Lalu, di pertemuan berikut ia memilih humor asosiatif dan menyerempet porno.
Jangankan ada yang tertawa, tersenyum tidak. Malah ia jadi bahan ledekan. Ia juga
sudah mencoba teka-teki konyol, tetap saja dianggap kalah lucu dengan lelucon Pak
Hakil yang sama sekali tak lucu.

Bahkan, yang membuatnya tak paham sekaligus geram, ia pernah dengan sengaja
memilih lelucon yang sama dengan lelucon Pak Hakil: tentang kenapa anak babi selalu
jalan tertunduk sebab malu punya ibu babi. Ketika Pak Hakil yang cerita, semua
tertawa terbahak. Tapi saat ia menceritakan lelucon yang sama itu, semua diam. Ia tak
bisa marah kepada Pak Hakil sebab sebagaimana “kode etik” sesama tahanan, Pak
Hakil lebih terhormat (hukumannya lebih lama) dan lebih bermartabat (jumlah
korupsinya lebih banyak).

Selama setahun mengikuti malam lelucon itu, ia tak pernah terpilih sebagai yang
paling lucu. Ia menyampaikan rasa penasarannya kepada Sarusi, tapi rekan satu
selnya menghindar menjawab. Ia yakin Sarusi menyembunyikan rahasia. Ia selalu
memancing agar Sarusi menjelaskannya.

“Kau tak tahu?” kata Sarusi suatu malam, saat ia terus mendesaknya. “Kamu
menutupi banyak fakta, hingga hanya kamu sendiri yang masuk penjara. Kamu
melindungi semua atasanmu yang terlibat. Oleh mereka yang diselamatkanmu, kamu
dianggap hebat, pahlawan penyelamat. Tapi bagi kawan-kawan di sini, kamu hanyalah
seorang pengecut. Karena tak pernah berani menyebutkan nama-nama yang ikut
korupsi bersamamu.” Sarusi menatapnya. Ia merasakan kesunyian yang membuatnya
kehilangan semua kebanggaannya.
Membayangkan sisa hukuman dengan harus memikirkan dan menyiapkan
lelucon setiap minggu sungguh-sungguh menjadi siksaan yang lebih mengerikan
dibanding hukuman dalam penjara yang mesti dijalani. Membuatnya merasa seperti
pecundang yang sedang dihukum dengan lelucon-leluconnya sendiri.

Jakarta, 2016-2017

Agus Noor, belakangan lebih dikenal sebagai sutradara dan penulis lakon dalam seri
pertunjukan Indonesia Kita. Dikenal piawai menggabungkan para talent dalam satu
gagasan cerita yang utuh dan menawan. Bukunya yang sudah terbit, antara lain,
Bapak Presiden yang Terhormat, Memorabilia, Selingkuh Itu Indah, Rendezvous,
Matinya Toekang Kritik, Potongan Cerita di Kartu Pos, Sepotong Bibir Paling Indah di
Dunia, dan Ciuman yang Menyelamatkan dari Kesedihan. Agus berdomisili di
Yogyakarta, tetapi lebih sering bekerja di Jakarta.
CERPEN, FAISAL ODDANG, KOMPAS

Siapa Suruh Sekolah di


Hari Minggu?

Siapa Suruh Sekolah di Hari Minggu? ilustrasi Bambang Herras/Kompas

Nama saya Rahing, usia delapan tahun lebih. Saya baru saja membunuh kakak
saya. Lehernya saya potong pakai parang milik gerombolan. Saya ditangkap tentara.
Tentara banyak sekali pertanyaannya, saya jadi pusing. Saya bilang mau pulang.
Tentara bilang tidak boleh. Saya jadi sedih dan takut. Besok hari Minggu, Guru
Semmang akan cubit saya kalau tidak masuk sekolah. Sekolah kami sekarang, pindah
ke dalam hutan. Saya bilang, saya mau cerita tetapi sesudah itu, saya pulang. Tentara
setuju. Saya bilang lagi, saya mau cerita tetapi jangan bilang sama Guru Semmang.
Dan jangan kasih tahu ayah kalau saya di sini, tentara janji. Saya takut Guru Semmang
cubit saya. Saya takut Ayah lihat saya, dia mau bunuh saya.

Dia sering dipukul ayahnya menggunakan warangka parang. Bermacam-macam


persoalan menjadi penyebabnya. Yang paling sering, karena Rahing dekat dengan
Semmang—lelaki yang ayahnya benci secara ideologi bahkan secara personal. Yang
Rahing alami sungguh tidak serumit yang di kepala ayahnya. Dia dipukul, memang itu
menyakitkan—dia sudah terbiasa—tetapi ada kenyataan lain yang membuat
tangisannya seolah tangisan penghabisan pada suatu malam: ayahnya melarang dia
pergi ke sekolah saat hari Minggu.

“Itu sekolah gerombolan.”

“Guru Semmang ajar kami mengaji, kami belajar menyanyi bahasa Arab, saya
suka. Guru Semmang bilang dia pejuang, tidak boleh bilang gerombolan.”

“Kau nanti ditangkap tentara!”

“Guru Semmang bilang jangan takut.”

“Kau nanti ditembak!”

“Guru Semmang bilang jangan takut.”

“Kau keras kepala sekali, sama kayak Semmang, kalian sama saja.”

***

Ayah pernah bilang saya akan ditembak kalau tentara tangkap saya. Ayah pasti
sudah berdosa karena bohong, karena tentara tidak tembak saya. Tentara bilang akan
kasih permen, kalau mau cerita kenapa saya memotong leher kakak saya. Saya juga
nanti dilepas dan dibiarkan pulang ke hutan. Saya jadi senang karena besok hari
Minggu dan saya akan diberi hadiah oleh Guru Semmang karena saya sudah hafal doa
sebelum tidur.

Saya suka permen, kata Ayah, tentara punya banyak permen. Jadi harus
berteman sama tentara. Saya sama warga dan Guru Semmang dan temannya, pernah
rusak jembatan. Waktu itu sudah malam. Kata Guru Semmang, kalau jembatan rusak,
tentara tidak bisa ganggu kami sekolah dan mengaji. Saya jadi senang. Besoknya
tentara datang ke kampung kami cari laki-laki yang sudah besar. Ayah juga dipanggil,
jadi saya ikut. Kami disuruh perbaiki jembatan yang rusak. Tentara itu kasih saya
permen karena saya bantu angkat tanah. Kata Ayah, lihat mobil besar milik tentara
itu, semua isinya adalah permen. Saya tambah rajin angkat tanah.

***

Di posko tentara, Rahing duduk sambil menjilati permen gula aren di kedua
tangannya. Ia mengenakan kemeja putih kecoklatan, peci hitam bulukan, sarung yang
kedodoran dan kaki penuh lumpur. Dia bersama seorang tentara yang terus bertanya
banyak hal.

Posko sementara telah dibangun Tentara Jawa—istilah warga saat menyebut


tentara nasional yang dikirim untuk Operasi Tumpas di Sulawesi. Hal itu disebabkan
semakin banyaknya sekolah yang dipaksa libur di hari Jumat dan buka pada hari
Minggu oleh gerombolan. Salah satunya, di sebuah kampung kecil di pelosok
Kabupaten Wajo, kampung Rahing. Awalnya tentara datang menawarkan rasa aman,
kemudian satu per satu warga ditangkap karena dituduh mata-mata gerombolan. Pada
mulanya semacam itu, kemudian ternak warga mereka beli dengan harga murah, padi
dipanen sebelum waktunya, hasil kebun mereka petik paksa. Semua tentara lakukan
ketika gerombolan semakin sering keluar hutan untuk mengambil persediaan makanan
dari orang-orang kampung. Warga menjadi telur yang semula berada di ujung tanduk
sapi lalu menyelamatkan diri ke ujung tanduk kerbau.

Rahing masih menjilati permennya, sementara pertanyaan demi pertanyaan


masih terus ditujukan untuknya. Tentu tidak semua ia jawab.

“Kenapa kau gorok leher kakakmu?”

“Dia jahat.”

“Disuruh siapa?”

“Guru Semmang.”

“Apa katanya?”

“Nanti saya dicubit, kata Guru Semmang tidak boleh cerita.”

“Kalau tidak cerita, nanti kau tidak kami pulangkan, ayahmu kami panggil di sini.
Benar, kan, Komandan?” tentara itu memandang, menuntut pengiyaan dari seorang
tentara lain yang berdiri sambil melipat lengan di depan dada.

***

Tentara itu bilang saya tidak boleh pulang. Sudah malam, nanti Ayah tahu saya
di sini. Saya sebenarnya mau cerita lagi, tetapi saya ingat waktu Guru Semmang larang
saya cerita kalau ada yang tanya. Tetapi, saya mau pulang, jadi saya cerita saja karena
mungkin tentara tidak akan kasih tahu Guru Semmang.

Jadi, kata Guru Semmang, kakak saya teman tentara. Karena kakak saya, Ibu
dibunuh. Saya jadi sangat benci sama kakak saya. Saat Guru Semmang kasih saya
parangnya, saya langsung potong lehernya seperti cara Ayah potong leher ayam kalau
mau lebaran. Saya jadi rindu Ibu. Kalau lebaran, Ibu bikin ayam goreng. Saya senang
karena kakak saya mati. Karena kata Guru Semmang, Ibu pasti senang juga di surga.
Karena orang yang bikin dia mati sudah saya bunuh. Saya dapat pahala kalau bikin
orangtua senang. Tetapi, Ayah tidak senang, dia mau bunuh saya juga, jadi saya lari
ke hutan ikut sama Guru Semmang. Saya benci Ayah, dia tidak senang kalau Ibu
senang. Dia juga tidak tahu bikin ayam goreng.

***

Rahing membenci ayahnya seperti benci yang dia miliki ketika melihat leher kakak
laki-lakinya memasrahkan diri pada parang yang diberikan Semmang. Saat itu,
menjelang perayaan kemerdekaan, hari Minggu pada bulan Agustus 1961—Rahing
baru sampai di sekolah ketika tiba-tiba Semmang menyuruh anak-anak lainnya
menyalin bacaan yang ada di papan tulis.
“Saya ada tugas dulu sama Rahing,” kata Semmang sambil menggamit Rahing
untuk mengikuti langkahnya yang buru-buru.

Rahing belum selesai dengan rasa penasaran di kepalanya ketika ia tiba di hutan
kecil di belakang sekolahnya. Sekolah yang hanya punya satu ruangan dengan dinding
anyaman batang nipah serta atap rumbia. Beberapa anggota gerombolan memberi
hormat menyambut kedatangan Semmang. Seorang pemuda awal dua puluh tahunan
terduduk dengan kaki terikat memanjang ke depan serta tangan yang diikatkan pada
batang cokelat di belakangnya. Mata pemuda itu ditutup dengan kain berwarna hitam
dan mulutnya tampak dijejali dedaunan kering. Rahing mengenal pemuda itu, dia
Walinono, kakaknya.

Yang terjadi selanjutnya kurang lebih seperti yang Rahing sampaikan kepada
tentara: Semmang mulai bercerita mengenai Walinono yang pengkhianat dan harus
terima balasan.

“Kau siap bikin ibumu senang, Rahing?”

Semmang bertanya dengan pertanyaan yang membuat Rahing bergeming—ia


terus memandangi kakaknya seperti memandang sebuah titik kecil di ufuk. Ia masih
diam dan tidak menolak ketika gagang parang dijejalkan oleh Semmang ke tangannya.

“Kau bisa bikin ibumu senang, dapat pahala bikin orangtua senang.”

Rahing maju beberapa langkah dan beberapa saat setelahnya terdengar suara
orokan yang begitu keras disusul darah yang mengalir.

“Kau bantu, cepat!”

Seorang anggota gerombolan mengambil parang dari Rahing—dan memutuskan


leher Walinono yang tidak bergerak lagi.

“Bagaimana perasaanmu, Nak Rahing, senang?” Semmang menepuk-nepuk


pundak Rahing yang masih diam dengan tatapan kosong.

Rahing baru tersenyum ketika Semmang mengatakan: “Ah, pasti ibumu senang
sekali, Rahing!”

Malam baru saja tiba ketika Rahing berjalan pulang menyusuri jalan kecil yang
sudah sepi. Jalan penghubung hutan dan perkampungan; menghubungkan rumah dan
sekolahnya. Ia tampak girang dan sesekali berlari kecil sambil menggigit sepotong tebu
di tangan kirinya, yang diberikan Semmang sebagai hadiah. Di tangan kanannya ia
menenteng sebuah karung goni yang berisi kepala Walinono.

“Kau bawa kepala kakakmu, kasih lihat ke ayahmu. Kalau dia senang, berarti dia
sayang ibumu. Kalau marah, berarti dia tidak suka ibumu senang, jadi kau ikut saja
ke hutan, saya lebih cocok jadi ayahmu.”

Di kepala Rahing, masih melekat jelas apa yang Semmang ucapkan ketika
menyerahkan karung goni itu. Jalan semakin sepi juga sunyi—ia masih butuh berjalan
sekitar setengah jam untuk tiba di rumah. Tebu yang sisa sepah ia lemparkan ke
semak-semak di sisi jalan. Rahing lantas meletakkan karung goninya di tanah. Sambil
berlari kecil ia mulai menyepak karung itu seperti sedang menggiring bola—dan baru
berhenti ketika cahaya pelita di perkampungan mulai tampak.

***

“Saya suka main bola. Kepala kakak seperti bola, jadi saya tendang saja.”

Saya sudah ngantuk. Tentara masih suruh saya cerita. Dia bilang saya tidak boleh
tendang kepala kakak, tetapi Guru Semmang bilang boleh. Saya percaya Guru
Semmang.

Saya memang sudah benci Ayah, tetapi dia tidak bohong, tentara memang banyak
permennya. Saya dikasih lagi, saya disuruh cerita lagi. Saya ditanya lagi, katanya di
mana kepala kakak saya. Saya bilang tidak tahu. Ditanya lagi, bilang di hutan bagian
mana Guru Semmang sembunyi, saya juga bilang tidak tahu. Sebenarnya saya tahu.

“Tahu kau, kapan mereka akan keluar hutan atau merusak jalan sama
jembatan?”

Saya menggeleng ditanya begitu. Saya jadi sedih karena lupa, saya sudah janji
sama Ibu tidak akan menggeleng atau mengangguk, kata Ibu tidak sopan.

“Kau tahu siapa yang kasih gerombolan senjata?”

Saya bilang, saya tidak tahu. Seandainya tahu, saya juga mau minta. Saya mau
sekali punya senapan, saya dulu suka main senapan tetapi dari pelepah pisang.

“Kenal sama gerombolan yang kena tembak bulan lalu?”

Saya menggeleng, saya lupa lagi, ingat Ibu lagi.

***

Memang Rahing tidak tahu siapa yang tertembak oleh tentara waktu itu.
Semmang yang tahu—dan karena itu, dia memburu Walinono yang baginya telah
memasok informasi untuk tentara. Informasi mengenai rencana-rencana merusak jalan
dan jembatan oleh gerombolan memang semuanya tiba di tentara dengan campur
tangan Walinono. Ketika tiga orang gerombolan tertembak setelah keluar hutan, itu
juga berkat Walinono. Untuk informasi yang diberikan dia mendapat imbalan
berbungkus-bungkus rokok dan seragam bekas tentara. Dari tiga gerombolan yang
tertembak, salah satunya adalah adik kandung Semmang.

“Kau kenapa melakukan ini?”

Jawaban Walinono ketika tentara meragukan kesetiaannya sungguh tidak


meragukan. Dia akan bercerita mengenai ibunya yang meninggal diperkosa.

“Tidak ada cara lain membalaskan dendam Ayah selain begini, Komandan.”
Ia mengingat, malam itu ibunya pamit untuk menjual tenunannya ke Sengkang—
ibu kota kabupaten. Ibunya berangkat, berjalan kaki tengah malam dengan harapan
tiba pagi hari ketika pasar mulai dibuka, seperti biasa. Ibunya berangkat setelah
melumuri tubuh dan wajahnya dengan arang; sudah menjadi kebiasaan bagi
perempuan yang ingin keluar dari kampung itu. Diri mereka dibuat sejelek mungkin
agar terhindar dari tangan tentara atau gerombolan yang ingin melecehkan.

Ibunya tidak pernah tiba di Sengkang. Mayatnya ditemukan membusuk, telanjang


dan mengambang di sungai, beberapa hari kemudian. Tidak ada yang tahu siapa
pelakunya, tetapi Walinono tidak mencurigai nama lain selain Semmang—dia adalah
mantan kekasih ibunya—yang sangat sakit hati ketika ibu Walinono memilih lelaki
pilihan orangtuanya. Semmang waktu itu berjanji tidak akan pernah menikah—dan dia
membuktikannya. Dia berjanji akan pembalas pengkhianatan itu, dia telah
membuktikannya.

Wajo, 2017

Faisal Oddang, mahasiswa sastra Indonesia di Universitas Hasanuddin. Menulis novel


Puya ke Puya yang menjadi salah satu pemenang sayembara novel DKJ 2014 serta
menjadi novel terbaik versi majalah Tempo 2015. Terpilih sebagai penulis cerpen
terbaik Kompas 2014 dan menerima anugerah ASEAN Young Writers Award 2014 dari
Pemerintah Thailand. Sedang menyiapkan kumpulan puisi Perkabungan untuk Cinta
dan novel Tiba Sebelum Berangkat.
CERPEN, KOMPAS, RIKA

Pena

Pena ilustrasi Loli Rusman/Kompas

Subuh itu aku dilahirkan di ranjang perjudian. Orangtuaku adalah penjual lotre
di sebuah kota kecil. Tante, om, tetangga, dan semua yang dekat dengan keluargaku
juga senang berjudi. Saat aku lahir di sebuah rumah sakit, sebuah gelang dilingkarkan
di pergelangan mungilku, sebagai tanda aku adalah anak dari ibuku. Gelang itu
berisikan angka-angka. Dan semua angka-angka itu dipasang di meja lotre. Tak hanya
sampai di situ saja, tanggal lahir, jam dan menitnya pun diikutsertakan. Siapa yang
menyangka, mereka semua riang gembira atas kemenangan angka-angka itu. Tujuh
hari berturut-turut angka-angka itu bergantian keluar menjadi pemenang. Disebutlah
aku sebagai anak perempuan pembawa berkah! Saudara ayahku yang terlibat dalam
salah satu keberuntungan waktu itu menceritakan padaku dengan senyumnya yang
rekah dan mata yang berbinar mengingat kejadian itu.

Apakah agama mengajarkan mereka seperti itu, aku pun tidak tahu. Salah dan
benar, benar menjadi salah, salah menjadi benar, kelihaian manusialah mengotak-
atiknya dengan tingkah dan kata-kata, begitu susah untuk percaya pada manusia,
hanya yang Maha Tunggallah yang kelak akan memberi kebenaran sesungguhnya.

Saat itu mereka memberiku nama Pena. Ayah dan ibuku berdebat mengenai arti
namaku tapi sepakat atas pilihan nama itu. Menurut Ayah, Pena bisa berarti aku
seseorang yang pintar menulis, termasuk menulis hidupku sendiri. Menurut Ibu, jalan
hidupku sudah dituliskan, bahwa akulah pembawa keberkahan, dalam hidupku dan
keluargaku. Mereka terus berdebat, padahal kedua-duanya baik menurutku. Tak ada
yang keliru. Jika saat itu aku sudah mampu berbicara, maka aku akan menyela dan
membuat mereka berdamai. Sejak itu aku berpikir, bahwa orang dewasa
memperdebatkan hal-hal yang begitu gampang untuk disepakati, tapi mereka begitu
angkuh dengan persepsi mereka masing-masing. Bagaimana nanti saat aku dewasa?
Apa mungkin aku akan memperjuangkan pikiranku juga?

Musim panas berganti musim hujan, berulang-ulang demikian, tahun-tahun


berganti, umurku sudah empat, dan aku mulai bersekolah. Aku disekolahkan di
sebuah TK. Untuk tingkatan pertama memulai sekolah, saat itu aku ditempatkan di TK
Nol Kecil, kegiatannya hanya bernyanyi-nyanyi, menari-nari, bermain-main, dan tepuk
tangan, sedangkan aku tidak pandai bernyanyi, apalagi menari. Kalau bermain dan
tepuk tangan aku rasa aku bisa melakukannya di rumah. Sejak saat itu aku mulai
mengerti, kenapa orang dewasa senang berdebat, karena mereka memiliki kemampuan
untuk berpikir. Saat otak mereka berpikir, tentunya sesuatu dari luar tidak begitu
gampang dan cepat dapat diterima oleh si pemilik tubuh, yaitu pikiran itu sendiri. Maka
mereka akan melakukan penerimaan atau pun penolakan. Saat sesuatu mereka rasa
tidak sesuai keinginan gerak tubuh, maka ada penolakan yang besar terhadap sesuatu
itu, dan itulah pertama kalinya aku tidak ingin melakukan hal yang menurutku
membosankan. Aku lebih suka membaca dan menulis. Lalu karena aku pandai
berunding dengan ayah dan ibu, mereka mencari akal agar aku tetap mau bersekolah.

Akhirnya orang dewasa mampu mengatasi keinginan anak kecil dengan sedikit
rumit memang, mereka berdiskusi dengan sesama orang dewasa, agar memaklumi
keinginan seorang anak kecil yang belum mampu berpikir dengan baik, agar
menyetujui begitu saja pilihanku agar tetap mau bersekolah, bukankah mereka telah
keliru menilaiku saat itu? Padahal aku rasa aku telah memikirkannya dengan baik
untuk pendapatku yang satu itu. Ibu, ayah, dan kepala sekolahku yang cantik setuju,
aku dinaikkan satu tingkat, aku akan masuk kelas TK Nol Besar. Kegiatannya tepat
seperti apa yang aku inginkan, membaca dan menulis. Saat itu aku hanya punya tiga
teman, dua perempuan dan satu laki-laki. Aku tidak suka bergaul dengan banyak
orang, bahkan kadang di saat istirahat aku lebih suka sendirian. Temanku Nilam dan
Lita mereka suka membicarakan hal-hal yang menurutku tak perlu untuk dibicarakan,
apalagi membicarakan tentang keburukan orang lain. Sedangkan Tomi, selalu
mengajak kami bermain-main di taman dan berlari-lari, aku sedikit lelah dan tak ingin
bajuku menjadi basah dan bau karena keringat.

Biasanya Ayah selalu menjemput dan mengantarku sekolah. Ibu menungguku di


rumah dan menyiapkan makan siang untukku sambil mengurusi jahitannya. Ibuku
seorang penjahit. Ibu dan Ayah sudah berhenti menjadi penjual lotre, pekerjaan ini
menurutku lebih baik.
Ada suatu hari, di mana Ayah tidak menjemputku, tapi kakak sepupuku yang
rumahnya dekat dengan rumahku ditugaskan Ayah untuk menjemputku pulang dari
sekolah. Ia tidak begitu tua, usianya hanya berbeda sepuluh tahun dariku. Ia
menjemputku berjalan kaki, karena rumahku dan sekolah jaraknya tidak begitu jauh.
Saat itu sesampainya di rumah, Ayah dan Ibu ternyata belum pulang, mereka pergi ke
acara pemakaman rekan Ayah. Saat itu, Dodi menemaniku di rumah. Ia mengajakku
bermain dan aku mengiyakan, ia memintaku berbaring dan ia melepas rok sekolahku.
Dan sejak siang itu, aku telah kehilangan diriku sendiri. Lama baru aku tahu, apa yang
ia lakukan padaku adalah memperkosa! Sialan! Sejak saat itu aku lebih pemalu dan
tertutup. Aku semakin takut dekat dengan orang-orang selain Ayah dan Ibuku.
Termasuk kakak laki-lakiku. Aku menjaga jarak dengannya. Tapi hidup tak pernah
berhenti sampai di situ, saat kau berpikir harusnya tak ada hari esok, ternyata apalah
kau manusia, tak mampu mengaturnya. Matahari tetap bersinar, dan aku pun
menyambutnya.

Aku ceritakan kejadian buruk itu pada Ibu, berharap tak pernah lagi bertemu
dengan sepupuku itu, tetapi anehnya aku tidak mengerti kenapa orang dewasa marah
tidak pada tempatnya. Ibuku, segera memukuliku dan memandikanku, ia
membersihkan seluruh tubuhku dengan kasar, dan kemudian terus memukul
tubuhku, sambil air mata terus-menerus membasahi pipinya dan ia terisak-isak. Aku
benci melihatnya seperti itu. Ia boleh memukulku, tetapi tidak boleh menangis.
Bukankah yang bersalah adalah kakak sepupuku, bukan Ibu.

Hari-hari berlalu, aku merasakan kesepian dalam hatiku, aku mengingat


kenangan yang buruk. Bagaimana bisa aku menjadi perempuan yang menarik untuk
seorang lelaki? Umurku baru 4 tahun. Sebelum tidur malam, aku mencari botol susu,
tanpa mengedot aku tidak akan bisa tidur. Pernah suatu malam, dotku digerogoti oleh
tikus yang jahat, tapi aku juga tidak berhak mengatakan tikus itu jahat. Bisa jadi tikus
itu sedang haus dan lapar, atau juga memang tempat tinggalku yang begitu kumuh.
Aku tidak dapat memilih sebab mana yang membuat tikus itu menghabisi dotku. Yang
jelas aku begitu tergantung pada dotku. Dan apakah wajar, seseorang laki-laki
menginginkan anak kecil yang masih sangat tergantung dengan botol susunya? Dan
dia pun aku rasa belum cukup dewasa untuk melakukan hal itu padaku. Aku rasa dia
orang gila.

Tidak hanya kali itu aku menemukan lelaki “gila” dalam hidupku. Saat aku
berumur 8 tahun, aku punya tetangga baru. Mereka semua orang dewasa. Ada satu
yang paling aku benci, yang kepalanya botak dan aksen bicaranya begitu mencolok. Ia
yang paling sering aku pergoki mengintipku di kamar mandi saat aku mandi. Kamar
mandiku dindingnya hanya dilapis oleh seng usang yang banyak lubang-lubangnya.
Kamar mandiku tepat bersebelahan dengan rumah sebelah, hanya seng usang penuh
lubang itu sebagai pembatas. Aku tidak hanya diintip saat mandi, tapi juga saat buang
air. Aku mendengar mereka tertawa-tawa senang dan mengataiku dari dinding sebelah.
Setiap kali aku ingin mandi dan buang air tanpa suara agar tidak diintip oleh mereka,
tapi bagaimana caranya?

Aku semakin bingung dan menceritakannya kepada Ayah dan Ibu. Mereka hanya
tertawa dan mengatakan, “Siapa yang mau mengintip anak kecil sepertimu? Ibu saja
tidak pernah diintip.” Mereka tak percaya ceritaku. Maka aku pun mencari cara sendiri.
Setiap mandi aku selalu memakai baju, dan saat buang air berjongkok aku
menggunakan handuk menutupi kemaluanku dari depan, yang menjengkelkan adalah,
mereka memberi lubang di belakang closetku! Sialan! Aku ketakutan dan bingung.
Sejak saat itu aku mengutuk para lelaki yang matanya tak bisa mereka jaga dengan
baik! Aku mengutuk setiap lelaki yang menyiksa perempuan dengan matanya! Aku
membenci lelaki seperti itu! Seandainya saja aku bisa membunuh semua lelaki yang
mengintipku, ingin rasanya aku melakukannya, tetapi aku tidak dapat. Mereka telah
mencuri hak hidupku! Yaitu kebebasanku mandi dan buang hajat. Mereka patut
menderita selamanya karena mata mereka! Mata yang jahat! Mata yang telah membuat
seorang perempuan menderita dan terluka!

Tapi aku manusia yang tidak akan menyerah untuk melindungi diriku. Aku terus
mencari cara, hingga akhirnya satu cara yang terbaik telah kutemukan. Aku menjebak
mereka. Aku pura-pura buang air. Pintu kamar mandi sengaja kubuka lebar-lebar.
Saat itu beruntung sekali lubang di belakangku tempat mereka mengintip itu semakin
besar dan semakin terlihat dengan jelas tidak hanya mata tapi sebagian wajah. Ibuku
tiba-tiba masuk ke dalam kamar mandi, dan melihat mereka mengintipku juga
mendengar suara mereka cekikikan! Akhirnya! Sejak hari itu, ayahku memperbaiki
seluruh kamar mandi. Ibu memarahi mereka dan meminta orang-orang itu segera
pindah dari tempat itu. Kalau tidak, ia akan lapor polisi. Mereka pun takut dan
kemudian pindah dari tempat itu.

Itu adalah satu hari terbaik dalam hidupku. Tapi hari-hari buruk yang pernah
kulalui, telah terekam selama aku hidup. Aku terus mengingatnya. Aku menjadi sangat
marah dan sekaligus menabung rasa takut dalam diriku.

Apa sebenarnya arti namaku? Apakah takdirku begini sialnya?

Saat aku duduk di bangku SMP ketakutanku terhadap laki-laki semakin menjadi-
jadi. Aku merasa lebih aman dekat dengan perempuan. Bagiku lelaki punya senjata
tajam yang tiap saat bisa saja sangat melukaiku. Aku memutuskan sejak hari itu ingin
jatuh cinta pada perempuan saja. Dan aku berhasil membuat diriku menjadi seorang
lesbian. Lama aku hidup dalam kekeliruan besar itu, hingga suatu hari aku merasa
agama dan adat tak mengajarkan demikian. Setajamnya senjata laki-laki bagiku pada
akhirnya aku tetaplah perempuan yang membutuhkan semua itu. Semakin dewasa dan
berpengetahuan, aku menyadari segala hal itu. Hingga akhirnya aku berusaha
membebaskan diriku dari belenggu ketersesatan ketakutanku sendiri.

Aku ceritakan pada ibuku. Dia memelukku. Suatu hari, saat aku dinyatakan lulus
dari SMA, Ibu memberi tahu aku harus menikah untuk menjadi perempuan normal
dan hilang dari rasa takutku. Seorang laki-laki yang baru saja bercerai dengan istrinya
ingin melamarku. Ibuku menerimanya berdasarkan beberapa pertimbangan, aku pun
tak jua menanyakan apa pun selain menyetujuinya. Aku ingin mengikuti segala
keinginan Ibu dan ada dendam yang harus diselesaikan. Lelaki itu bernama Dodi.
Malam pertama aku tak lagi menikmatinya, aku ingat rasanya sama seperti 13 tahun
yang lalu, saat aku masih TK. Hanya saja kurasakan tubuhnya yang lebih besar dari
yang dulu, karena ia orang yang sama, orang yang telah mencuri keperawananku
sebelum waktunya. Seandainya dia sedikit bersabar, aku mungkin akan jatuh cinta
tanpa rasa takut. Tapi tak apa, ada sebilah belati yang telah kuselipkan di bawah
bantalku, yang sudah kuasah seminggu terakhir. Aku yakin belati itu sangat tajam,
akan mampu memusnahkan dendamku.
Rika, menetap di Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Peserta Kelas Cerpen Kompas 2017
dengan mentor Linda Christanty, Joko Pinurbo, dan Putu Fajar Arcana. Beberapa buku
karya Rika adalah Kertas Bintang (kumpulan cerpen dan puisi-2011), Istri Muda (novel-
2016), Jane Fara (novel pada tahun 2017), dan Matahari dalam Hujan (antologi puisi-
2017).
BUDI DARMA, CERPEN, KOMPAS

Tarom

Tarom ilustrasi Suharmanto/Kompas

Agen saya tahu, setiap kali saya pergi ke Frankfurt, Jerman, saya tidak mau
transit di bandara mana pun, selain bandara Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Ada dua
teman di bandara ini, yaitu Manfred pemilik restoran dan Gertrude, pramugari darat.

Pada waktu saya berkunjung ke restoran Manfred untuk pertama kali beberapa
tahun lalu, dia mengajak saya bersalaman erat, lalu berbisik: “Ibu kamu pasti orang
Jerman. Ayah kamu pasti orang Asia Tenggara.”

Laki-laki anak ibu Jerman dan ayah Asia Tenggara pasti mirip ibunya, sedangkan
anak perempuan pasti mirip ayahnya. Dan memang, kulit saya putih, mata saya biru,
dan setiap kali saya ke Jerman, kebanyakan orang menganggap saya orang Jerman.

Karena saya tidak membantah, maka setiap kali saya singgah di restorannya,
pasti dia memberi sauerkraut, salad khas Jerman, gratis. Setelah mengetahui nama
saya Tarom Wibowo, wajahnya berbinar-binar, lalu mengajak saya masuk ke ruang
kecil di bagian belakang restoran.
“Lihat, Tarom, saya punya buku kamu.”

Dia mengambil buku New Paradigm of Psycho-Hatred, buku saya mengenai lika-
liku kejiwaan tokoh-tokoh besar, dengan data dari berbagai negara, termasuk Jerman.

“Buku hebat,” katanya. “Maaf, saya belum pernah membaca novel kamu.”

Setelah mengobrol sebentar, dia berbisik: “Di sini ada gadis Jerman, Gertrude
namanya. Pramugari darat. Kalau mau dia bisa menjadi pramugari udara. Terbang ke
mana-mana. Seperti saya, dia malu jadi orang Jerman.”

Dia berbisik lagi: “Kamu pasti suka Gertrude. Cantik. Dan ingat, dia pengagum
penulis hebat bernama Tarom Wibowo. Dia tahu kamu bukan psikolog. Tapi, insting
psikologimu benar-benar hebat.”

Begitu dipertemukan dengan Gertrude, saya agak gemetar, agak bingung, karena
itu memilih untuk diam, dan tampaknya perasaan Gertrude sama. Kami berjabat
tangan sampai lama, telapak tangan dia dan telapak tangan saya sama-sama
berkeringat dan sama-sama malas untuk saling melepaskan pegangan. Tapi, perasaan
aneh merambat perlahan-lahan dari tangan dia, menyusupi tangan saya. Hawa panas
bercampur hawa dingin. Dan begitu saya menatap wajahnya, saya agak merinding, lalu
dia menunduk, tampak malu.

Perasaan saya tidak enak, dan saya putuskan untuk tidak bertemu dengan dia
lagi. Ternyata, begitu saya masuk ke ruang tunggu penumpang, pesan dia melalui WA
masuk. Begitu membuka telepon genggam setelah saya mendarat di Frankfurt, pesan
dia masuk lagi, bukan hanya satu, tapi beberapa. Selama beberapa hari saya di
Frankfurt untuk mengurus jual beli hak cipta sekian banyak pengarang dari berbagai
negara, pesan Gertrude datang bagaikan banjir.

Dan ketika pesawat saya transit lagi di Abu Dhabi untuk kemudian disambung
penerbangan ke Surabaya, Gertrude sudah menunggu, lalu mengajak saya ke ruang
tunggu khusus.

Perhatian dia lebih tertarik pada Berlin sebagaimana yang saya gambarkan dalam
beberapa buku saya dibanding dengan cerita saya mengenai Frankfurt.

“Kalau kamu ke Berlin, ajaklah saya. Tunjukkanlah tempat-tempat yang kamu


tulis dalam buku-buku kamu. Dan kalau kamu pulang, saya ikut ke Surabaya.”

Selanjutnya pesan demi pesan berdatangan terus, disertai kutipan lirik lagu
“Imagine” The Beatles, “You may say I’m a dreamer, but I’m not the only one.”

***

Seperti biasa, ketika akan ke Frankfurt lagi, agen saya tidak pernah bertanya saya
ingin naik pesawat maskapai apa asalkan singgah di Abu Dhabi.
Agen saya memilih Angel Air, sebuah maskapai penerbangan baru, berdiri sekitar
tiga tahun lalu. Semua orang penting di Angel Air perempuan, sisanya, pekerjaan kasar,
diserahkan kepada laki-laki. Mungkin Angel Air percaya, perempuan punya otak dan
modal laki-laki hanyalah otot.

Nama pilot dan kopilot sudah beberapa kali saya simak melalui berbagai media.
Saya belum pernah bertemu mereka, tapi andaikata bertemu, pasti saya mengenal
mereka. Pilot bernama Awilia, ayahnya dokter umum dan ibunya dokter mata terkenal,
kopilot bernama Azanil, ayahnya dokter umum dan ibunya dokter jantung terkenal.
Sejak zaman mahasiswa, empat calon dokter ini sudah bersahabat, dan ketika sudah
menjadi dokter mereka bekerja di rumah sakit yang sama.

Awilia lahir jam 10:15, Azanil lahir pada hari dan tanggal sama, jam 10:18, di
rumah sakit yang sama pula. Umur mereka terpaut tiga menit, dan setelah besar Awilia
memperlakukan Azanil sebagai sahabat muda, dan Azanil selalu ingin dijadikan nomor
dua. Sejak TK sampai dengan SMA mereka selalu bersama-sama, dan setelah lulus
SMA mereka sama-sama menentang keinginan orangtua mereka untuk menjadi dokter.
Alasan mereka sama: pada zaman dahulu kala, terceritalah ada dua sahabat karib,
yang laki-laki genius tapi homo bernama Leonardo da Vinci, dan yang perempuan luar
biasa cantik, Monalisa namanya. Sambil melihat burung-burung beterbangan,
berkatalah Leonardo: “Monalisa, lihatlah burung-burung itu. Pada suatu saat, manusia
pasti bisa terbang seperti burung.” Monalisa tidak percaya, tersenyum, tanpa berkata
apa-apa.

Awilia dan Azanil sama-sama mengirim lamaran ke Akademi Penerbangan Airbus


di Toulouse, Perancis, sama-sama diterima, dan lulus juga bersama-sama, masing-
masing dengan nilai tinggi. Setiap terbang mereka tidak mau dipisah, dan meskipun
Awilia ingin gantian menjadi kopilot, Azanil selalu menolak. “Yang muda harus
menghargai yang tua,” katanya bergurau.

Setelah pesawat mencapai 15.000 kaki, seorang pramugari memberi saya kertas
kecil.

“Selamat terbang bersama kami pengarang Tarom Wibowo. Kita nanti bertemu di
Abu Dhabi.”

Saya tidak tahan menahan kantuk. Ada banyak kontrak dan jual beli hak cipta
dari sekian banyak pengarang dan penerbit yang harus saya urus di Frankfurt nanti,
dan ada banyak pula buku yang harus saya baca, khususnya buku Rochus Misch,
bekas pengawal pribadi Hitler, mengenai kematian Hitler. Saya tertidur.

Buah tidur adalah mimpi: ibu saya bercerita mengenai bangsa Jerman dan bangsa
Jepang, dua bangsa besar dan sama-sama tololnya. Bangsa Jerman sangat setia
kepada manusia bernama Hitler, dan bangsa Jepang sangat patuh pada keturunan
Dewi Matahari, yaitu Kaisar Hirohito. Karena ketololannya, atas hasutan Hitler, bangsa
Jerman dengan penuh semangat merusak dunia, demikian pula bangsa Jepang, bukan
oleh hasutan manusia.
Ingat, kata ibu saya, dalam PD I Jerman dikalahkan oleh Jepang, dan semua
tawanan perang Jerman diperlakukan dengan sangat baik oleh Jepang, bahkan lebih
baik daripada serdadu Jepang sendiri.

Perang antara Jerman dan Jepang dalam PD I mirip dengan perang antara
Indonesia dan Malaysia di perbatasan dua negara di Kalimantan setelah Bung Karno
menyatakan perang melawan Malaysia dengan semboyan “Ganyang Malaysia”. Serdadu
Indonesia dan serdadu Malaysia pura-pura saling tembak, kemudian lari-lari menuju
musuh, berangkulan erat, bertukar rokok, kemudian bergurau. Karena hanya pura-
pura, perang ini dengan mudah diakhiri dengan perdamaian. Jepang dan Jerman pura-
pura bertempur, tidak lain karena mereka bersiap-siap bersekutu untuk
menghancurkan dunia dalam PD II.

Karena bangsa Jerman setia kepada manusia dan bangsa Jepang setia bukan
kepada manusia, kesetiaan mereka berbeda. Dalam mimpi ini pula ibu saya
membanggakan kesetiaannya kepada keluarganya, lalu meminta saya membaca
majalah Femina tahun 1980-an, mengenai kesetiaan istri Jepang terhadap suami orang
Indonesia. Istri Jepang sangat setia kepada suami, dan begitu anak dia sudah bisa
dibawa lari, dia akan lari bersama anaknya, kembali ke Jepang, disembunyikan oleh
keluarganya di Jepang. Ibu saya berbicara mengenai dua bangsa ini karena dia tahu
saya pernah jatuh cinta kepada gadis Jepang dan sekarang mungkin kepada gadis
Jerman.

Setelah terbangun, saya ingat cerita ibu saya mengenai pertemuan antara
orangtua saya sebelum menikah. Hati ibu saya berkata, ayah saya mempunyai
kemampuan terpendam, dan ternyata benar: begitu tahu ada pabrik akan bangkrut,
ayah saya membelinya, memperbaikinya, kemudian menjualnya. Terakhir dia membeli
pabrik smelting yang hampir bangkrut di Gresik, selama satu tahun memperbaikinya,
kemudian menjualnya kepada orang India.

Sebelum menikah, ayah saya juga yakin, ibu saya mempunyai kekuatan
terpendam: lidahnya tajam, begitu ada makanan masuk ke mulutnya, dia tahu rahasia
pembuatannya. Buku masakan ibu saya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, dan
dia sering diundang ke mana-mana, termasuk luar negeri, untuk berbicara mengenai
masakan.

Ketika iseng mengambil majalah, saya terkejut: foto Gertrude terpampang di kulit
sebuah majalah, dan di berbagai halaman di majalah-majalah lain. Dia dinobatkan
sebagai pramugari darat terbaik di Negara-negara Teluk setelah juri dari berbagai
negara menyimak bandara di Mesir, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, Oman, dan
Qatar. Gertrude pemalu, pemilihan pramugari terbaik dan pemasangan fotonya pasti
di luar kemauan dia.

Setelah menyimak fotonya, hati saya berkata, Gertrude pasti mempunyai rahasia
terpendam, dan ada kesamaan antara Mandred dan Gertude. Menurut Gertude,
Manfred keturunan serdadu Jerman yang suka menyiksa, merampok, dan memerkosa
di negara-negara jajahan Hitler selama PD II. Dia malu menjadi orang Jerman, tapi
kadang-kadang harus kembali ke Jerman karena ibunya di Jerman sering sakit.
Begitu turun dari pesawat, Amilia dan Azanil menemui saya, minta tanda tangan
buku-buku saya, buku yang, kata mereka, menemani mereka dari bandara satu ke
bandara lain. Dengan membaca novel-novel saya, terasa mereka bisa mengamat-amati
lika-liku jiwa mereka sendiri.
Mereka mengajak saya ke ruang tunggu khusus, dan di sana Gertrude sudah
menunggu. Dengan nada bercanda mereka mengatakan, sebagai pengarang hebat,
pasti saya mampu mengangkat gejolak jiwa Gertrude dalam novel.
Setelah mereka pergi, dengan sangat hati-hati saya berkata kepada Gertrude
mengenai kisah kematian Hitler. Setelah Hitler yakin kalah, dia dan banyak pengikut
setianya bertekad bunuh diri bersama Hitler. Pada saat itulah, salah satu arsitek
holocaust yang sangat keji dan seharusnya ikut bunuh diri bersama keluarganya
melarikan diri.
Gertrude menunduk, lalu berkata: “Saya tahu siapa dia. Martin Bormann
namanya. Darah saya kotor. Saya keturunan Bormann.”

Pikiran saya melayang ke ibu saya.


Budi Darma, sehari-harinya bekerja sebagai Guru Besar Universitas Negeri Surabaya.
Ia menerbitkan beberapa kumpulan esai, cerpen, novel, dan pernah mendapat
penghargaan antara lain dari Balai Pustaka, Kompas, SEA-Write Award (Bangkok),
Anugerah Seni Pemerintah RI, Satya Lencana dari Presiden Republik Indonesia.
Karyanya yang masyhur dan banyak mendapat pujian adalah kumpulan cerpen
Orang-orang Bloomington dan novel Olenka.
CERPEN, KOMPAS, PUTU WIJAYA

Nio

Nio ilustrasi Samuel Indratma/Kompas

Namaku Nio. Tapi aku lebih suka dipanggil Nia. Bukan karena mataku tidak sipit.
Bukan karena tulang pipiku tidak menonjol. Bukan karena wajahku tidak bulat. Bukan
karena lidahku tidak cadel. Bukan karena keluargaku kere. Bukan karena kami hidup
dalam gubuk miskin di sebuah kampung, baur dengan pendatang dari Madura, Bugis,
Padang, Medan, dan Ambon. Bukan juga karena aku tidak mau dibilang keturunan
China.
Kenapa harus tidak mau? Nenek moyangku totok dari China daratan. Sanak
saudaraku masih berserakan di sekitar jalanan Sutera. Aku tidak pernah keberatan,
malu, kecil hati atau tersinggung. Bahkan, aku bangga betul berasal dari negeri leluhur
yang menciptakan mesiu, percetakan, dan mi yang sekarang menjadi kebudayaan
dunia.

Bangsa yang pernah melahirkan orang-orang besar, seperti Kong Hu-Cu, Lao Tze.
Bangsa yang begitu hebat etos kerjanya sehingga di seluruh dunia ada China Town.

Bangsa yang menguasai ekonomi di Indonesia. Satu-satunya bangsa kulit


berwarna yang masih disegani oleh negara adi kuasa.

Dan aku tidak takut dianggap China.

Kenapa takut?

Memang banyak warga negara keturunan yang menjadi korban pemerasan,


kekerasan, perlakuan tidak adil, dan kekejian. Banyak orang masih memperlakukan
keturunan China sebagai warga negara kelas dua. Seakan-akan kami tidak
sepenuhnya dilindungi oleh hukum. Bahkan, banyak para pejabat dan petugas negara
yang memanfaatkan opini masyarakat itu untuk memeras kami.

Tetapi itu memang nasib warga negara keturunan di mana-mana. Sekarang


perlahan-lahan semua itu sudah menantang kami warga keturunan menjadi ulet
sehingga berjuang dengan tenaga lebih. Karena itu banyak yang berhasil, bahkan
terlalu sukses.

Orangtuaku memang perkecualian. Walaupun aku kira mereka bekerja sama


uletnya dengan warga keturunan yang lain, lebih keras dan lebih lama, nasibnya tak
bergerak.

Sudah lebih dari 20 tahun kami tercampak di lingkungan kumuh ini. Teman-
teman Papa, banyak yang sudah jadi orang kaya. Mereka kadang-kadang bertanya
dengan heran, apa sebabnya Papa bertahan tinggal di tempat yang tidak hoki ini.

Kami disuruh pindah ke dekat daerah huniannya untuk diberikan, dicarikan


kesempatan hidup lebih enak. Tapi Papa menolak.
“Aku tidak mau mereka menolongku karena belas kasihan. Bukan salah mereka
menjadi kaya dan bukan dosa mereka kita ini miskin. Mereka tidak perlu merasa
berkewajiban membantu kita,” kata Papa.

Mama jengkel sekali oleh alasan Papa itu. Mereka lalu bertengkar. Pertengkaran
itu begitu kerasnya sehingga akhirnya keduanya terpaksa mengambil jalan yang tidak
menyenangkan. Mereka berpisah.

Aku pun jadi rebutan. Tetapi entah kenapa, Mama akhirnya melepaskan aku ke
tangan Papa. Itu sebabnya aku hidup bersama Papa sampai sekarang.

Baru belakangan ini aku tahu, mengapa Papa menolak pertolongan sahabatnya.
“Aku tidak menolak,” kata Papa dengan suara dingin, “aku tidak cukup sombong
untuk menolak tawaran yang dapat membuat hidup kita lebih baik. Bahkan, aku
sendiri yang sebelumnya meminta, mengimbau, bahkan memohon kepada mereka. Aku
bilang, kalau aku diberikan sedikit pinjaman modal yang bisa aku kembalikan sekitar
10 tahun nanti, aku akan sangat berterima kasih. Tapi dia menolak. Dia tidak mau
meminjamkan. Dia ingin memberikan, tapi meminta lebih banyak. Dia suruh aku
bekerja untuk usaha perjudiannya. Tentu saja aku menolak. Aku ini dagang tahu,
bapakku, kakek kamu, juga tukang tahu. Tapi tahu kami adalah tahu yang disukai
semua orang. Aku ingin menghidupi keluargaku dari tradisi membuat tahu itu. Aku
tidak mau jadi bandar judi, apalagi bandar narkoba. Itu yang membuat dia marah
sehingga aku dijauhi.”

“Tetapi kenapa Papa menceraikan Mama?”

“Jangan salah. Bukan aku yang menceraikan Mama, tapi Mamamu yang
menceraikan Papa. Dia tidak tahan hidup sebagai tukang tahu. Dia ingin menikmati
masa tuanya dengan enak. Lalu dia kawin dengan bekas temannya di SD, tetapi
sekarang sudah jadi orang kaya sekali. Mama kamu tidak salah pilih. Suaminya tidak
hanya berduit, tetapi juga baik. Dia mencintai Mama kamu. Sekarang aku baru
mengerti bahwa aku sudah memperlakukan dia kurang semestinya, padahal aku
sangat mencintai dan menyayanginya. Mestinya aku mencukupi batinnya menurut
ukuran kebahagiaannya, bukan ukuranku sendiri. Ternyata aku sudah terlalu egois.
Seluruh penyesalanku itu lalu aku tumpahkan untuk membesarkan kamu dengan
kasih sayang.”

“Tapi kenapa Mama tidak pernah menjengukku kemari?”

“Karena dia tahu, itu akan bisa merusak ketenanganku. Dan mungkin juga
mengubah perasaanmu.”

“Aku tidak akan berubah.”


“Kalau kamu lihat pakaiannya, rumahnya, mobilnya, kartu kreditnya, anak-
anaknya, adik tiri kamu, dan kebahagiaannya, kamu pasti akan goyah dan berubah.
Perubahan yang sesungguhnya wajar dan baik untuk kamu, tetapi jelas tidak akan
menguntungkan aku. Dari situlah aku belajar hal yang lain lagi tentang ibu kamu.
Setelah membenci dia sebagai istri yang berkhianat selama puluhan tahun, kini aku
sadar bahwa Mama kamu sangat memperhatikan perasaanku, sangat menghiraukan
kebahagiaanku. Bukan kebahagiaan hari tuanya yang dia pikirkan, tetapi
kebahagiaanku dan kebahagiaanmu. Berarti sebenarnya dia benar-benar sangat
mencintaiku sampai ke sumsumnya. Harusnya dulu dia kupertahankan mati-matian.
Pastilah dia sangat kecewa, karena aku tidak sungguh-sungguh berusaha untuk
menghalang-halangi maksudnya untuk bercerai. Seandainya saja aku tahu lebih
dahulu ….”

Papa tidak bisa melanjutkan. Dia menangis. Untuk pertama kalinya aku lihat
orang yang kuhormati, kucintai, dan kupuja sebagai orang kuat itu, menjadi lemah dan
cengeng.

Aku ikut menangis karena terharu.


“Karena itulah, aku minta kamu jangan mengulangi kesalahan Papa,” kata Papa
selanjutnya, “maksudku, jangan hanya melihat segala sesuatu dari sudut kepuasanmu
sendiri. Dari semata-mata perasaan! Tapi pakai otak. Lihat ke depan dengan obyektif.
Hidup yang sebenarnya tidak hanya perasaan, tapi juga memerlukan banyak hal. Tidak
hanya sekadar cukup sandang-pangan dan papan. Kita memerlukan rumah yang baik
dengan isinya yang juga bagus. Kita perlu telepon, mobil, dan simpanan uang di bank
supaya tidak kelabakan kalau ada resesi. Kita memerlukan kehormatan agar orang
menghargai kita. Dan itu hanya mungkin kalau kita punya uang.”

Lalu papa memandangku dengan tajam.

“Jadi Nio, semasa kamu masih muda dan kuat, apalagi cantik seperti ini, jangan
sia-siakan kesempatan. Cari uang sebanyak banyaknya!”

Aku kaget. Seperti mendengar suara aneh yang tidak pernah bisa aku mengerti.
Dan tiba-tiba saja aku kehilangan seseorang yang sebelumnya begitu kuhargai,
kukagumi, dan kucintai.

Papa berubah. Setelah mencapai usia senja, ia tidak lagi idealis. Ia menjadi orang
biasa yang menyerah kepada kebutuhan materi.

Apalagi kemudian ia melarangku untuk menari.

“Tak ada orang bisa kaya karena menari, buat apa kamu capek-capek menari,
Nio?” katanya dengan ketus, “Hentikan kegiatan yang sudah menghabiskan waktu dan
uang itu. Cari pekerjaan di perusahaan-perusahaan asing yang bisa menggaji dengan
dollar, atau kerja di perbankan. Balikkan hidup kita yang seperti kapal kandas ini.
Tarik aku kepada kehidupan yang terang-benderang supaya aku tidak malu kepada
mamamu. Buktikan bahwa bukan hanya dia saja yang bisa bergelimang uang, kita juga
mampu!”
Tak cukup dengan melarang menari, Papa juga kemudian mau menjodohkan aku
dengan anak seorang importir mobil.

“Robert akan mewarisi semua kekayaan orangtuanya. Meskipun dia sudah punya
istri, tapi dia bersedia menceraikan istrinya, asal saja kamu mau menjadi
penggantinya. Dia sudah melihat foto kamu,” kata Papa dengan gembira.

Lalu Papa memaksaku berkenalan dengan Robert. Kemudian memerintahkan


juga aku untuk bertindak genit di depan Robert supaya imannya gugur, agar ia cepat-
cepat menendang istrinya yang sudah punya lima anak.

Bahkan, pada suatu ketika, seperti barang, aku diserahkan bulat-bulat kepada
keluarga Robert untuk dijadikan apa saja, tanpa persetujuanku.

Di situ kesabaranku habis. Aku merasa terhina. Dengan hati hancur,


kutinggalkan rumah. Aku lari ke Jakarta. Bukan karena aku mau mengingkari diriku
sebagai anak tukang tahu, tapi karena aku tidak mau membalas jasa orangtua dengan
cara yang sekeji itu.
Akibat tindakanku itu, Papa sakit hati. Ia mengutuk dan menganggap aku
berkhianat seperti Mama.

“Aku besarkan kamu dengan seluruh kasih-sayangku. Sekarang, nasihatku yang


semuanya untuk kebaikan kamu sendiri, kamu tolak. Anak yang tidak tahu berterima
kasih! Persis seperti Mama kamu! Betina liar! Pergi, ikuti jejak Mama kamu dan jangan
coba-coba kembali pulang! Jangan kamu kira aku akan mencarimu. Bagiku kamu
sudah mati. Sama dengan Mama kamu!” Hancur seluruh batinku mendengar vonisnya.
Aku bimbang.

Apakah aku harus pulang untuk menyelamatkan perasaannya, tetapi


menghancurkan diriku? Atau aku hancurkan Papaku sendiri yang tidak memiliki apa-
apa lagi selain diriku, hanya untuk mencapai kebahagiaanku sendiri, seperti Mama
dulu?

Apakah Papa akan punya waktu kelak untuk mengatakan bahwa segala yang
kulakukan ini adalah yang terbaik, seperti yang dilakukannya terhadap Mama?

Aku selalu berharap dan berdoa agar satu ketika dia akan sadar bahwa aku
memiliki visi kehidupan yang berbeda dengannya. Bahwa ini riwayatku, bukan
riwayatnya lagi!

Aku menjadi penari bukan karena aku ingin kaya, tapi karena tubuhku ingin
menari. Jiwaku ingin menempuh irama. Bahkan, aku bersedia membayar semua itu
dengan melakukan pekerjaan lain. Tetapi bukan dengan cara merebut suami orang
lain. Bukan dengan cara membuat anak-anak itu mengutukku sudah merampok
kebahagiaan mereka.
Hampir tiga tahun aku hidup di Jakarta. Aku berusaha menjadi penari dan hidup
dari menari. Aku memberikan kursus dan menari kalau dipesan. Tapi banyak sekali
penari di Jakarta. Dan aku tidak hoki seperti juga orangtuaku.

Hidupku sangat pas-pasan. Akhirnya untuk bertahan dan sedikit lega bernapas,
aku mulai menari di kelab malam.

Hari pertama sangat menyiksa. Aku merasa hina. Seluruh diriku rasanya
diperkosa. Tetapi kemudian malam-malam berikutnya semuanya mulai terbiasa. Apa
salahnya menari di kelab? Aku hanya menjual tarian, bukan menjual tubuh. Harga diri
dan kehormatanku masih utuh.

Dengan pikiran seperti itu, aku jalan terus.

Rezeki mulai naik. Uang yang kukumpulkan sudah bisa dipakai untuk mencicil
mobil. Aku sekarang mengerti bahwa mobil bukanlah sebuah kemewahan, tetapi hanya
alat untuk bekerja. Dengan mobil itu, aku merasa aman pulang dan pergi kerja sampai
subuh.

Sementara para tetangga pun mulai sedikit menghargaiku meskipun banyak yang
menduga mobil itu hasil hidupku sebagai perempuan piaraan.
Ketika tabunganku membengkak, aku rencanakan akan meninggalkan hidup
sebagai penari kelab. Aku akan membuat studio dan meneruskan karierku sebagai
penari yang sebenarnya. Mungkin dikombinasikan dengan membuka warung. Nanti
setelah jalan baik, aku akan pulang dan minta maaf kepada Papa.

Tapi sebelum semua itu terjadi, pecah kerusuhan. Lingkungan yang kuhuni ikut
serta jadi sasaran. Massa yang liar datang bagaikan air bah. Dengan muka yang ganas,
mereka menyerbu. Penduduk dipukuli. Rumah dimasuki. Barang-barang dijarah.
Mobilku dibakar. Dan aku sendiri yang sedang berada di kamar mandi ditarik keluar,
lalu diperkosa beramai-ramai.

Tak ada yang menolongku. Aku bangkit sendiri dengan air mata dan darah.
Badanku yang pegal linu dan ringsek dengan susah-payah kuangkat. Seorang tukang
becak yang tua, baik hati, lalu mengantarkan aku ke puskesmas. Dari sana aku dibawa
ke rumah sakit. Dan di rumah sakit, aku diselamatkan, tetapi diancam.

Tak boleh mengatakan apa pun yang terjadi kepada siapa-siapa.

Anak kecil yang tadi kau lihat menyanyi dan menari di depan televisi itu adalah
akibat dari peristiwa itu. Tidak seorang pun yang mengerti, mengapa aku
membiarkannya lahir. Aku pun tidak.

Mungkin anak itu sendiri yang sudah memaksaku untuk melahirkannya. Untuk
menjadi sebuah monumen, betapa biadabnya manusia kalau sudah dimasuki setan.
Namaku Nio.

Tapi aku lebih suka dipanggil Nia.

Bukan karena aku menolak siapa diriku. Bukan karena aku benci kepada
orangtuaku. Bukan karena aku ingin melupakan sejarahku.

Tetapi karena aku orang Indonesia. Pengakuan itu berhenti di situ.

Aku sudah menuliskannya semalam suntuk setelah mendengar pengakuan Nio.


Dengan perasaan penuh simpati, kubawa tulisan itu ke rumahnya. Ia sedang berbaring
sakit. Lalu kubacakan semuanya dengan suara yang penuh haru.

Begitu selesai, aku memandang matanya. Berharap ia akan memberikan aku


pujian, karena aku sudah mewakili dirinya.

Tetapi Nio menggeleng.

“Itu bukan aku. Kamu tidak mengerti …,” kata Nio lirih.

Putu Wijaya, lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali. Pernah menjadi wartawan Tempo,
Zaman, dan Warisan Indonesia. Mendirikan Teater Mandiri, menyutradarai film dan
sinetron, serta menulis cerpen, esai, novel, novel dan lakon
CERPEN, FARIZAL SIKUMBANG, KOMPAS

Penagih Hutang
Bersepeda Kumbang

Penagih Hutang Bersepeda Kumbang ilustrasi Made Meiada/Kompas

Perihal cerita tentang seorang penagih hutang bersepeda kumbang, memang


sudah banyak dilupakan oleh orangtua di kampung Kuranji. Bagi anak-anak, dan
remaja yang beranjak dewasa, tentu saja cerita itu kini bagai tak pernah ada, karena
tak pernah dituturkan oleh orang tua mereka. Tapi bagi keluarga kami, cerita itu
tetaplah hidup.

Si penagih hutang itu, memang sudah tidak ada di kampung Kuranji. Mungkin
itu yang membuat kisah ini tidak abadi di banyak orang. Karena musim mengikisnya,
dan juga masa telah melupakannya. Tapi tentang sepeda kumbang itu? Ia benar-benar
ada. Karena sepeda kumbang itu tergantung rapi di sudut dapur rumah kami.

Rumah kami? Masih seperti dulu. Berpuluh-puluh tahun lampau tidak jauh
berbeda ketika si penagih hutang itu ada. Rumah panggung berdinding papan. Dan
karena usia, sebagian papan-papan itu sudah lapuk dimakan rayap, sebagian lagi
sudah diganti oleh Uni Ida dengan papan yang baru. Uni Ida dan suaminya, beserta
tiga anaknya tinggal di rumah itu. Dan di rumah itu pula, bila aku pulang dari rantau,
aku akan tinggal di sana untuk beberapa lama.

Usiaku dua belas tahun kala itu. Di kala si penagih hutang muncul pertama kali
di kampung Kuranji. Saat itu aku sedang sibuk mencabut rambut putih almarhum
Amak.

“Siapa itu Buyung yang bersepeda kumbang?” Tanya Amak sambil telunjuk lurus
beliau mengarah ke laki-laki itu.

Mataku pun tertuju kepadanya, tapi tanganku masih sempat menarik sehelai
rambut putih Amak.

“Entah Mak, tak kutahu siapa dia. Belum pernah kulihat wajahnya,” jawabku.

Laki-laki itu menyandarkan sepedanya pada serumpun pohon pisang batu di


halaman rumah kami. Di tempat duduk belakang sepedanya, kulihat kayu memanjang
yang diikatkan. Pada dua ujungnya, terlihat buntalan karung yang berisi barang pecah
belah. Aku ingat ada baskom plastik. Ember, piring plastik dan beberapa lagi aku lupa.

“Maaf Amak, aku si pedagang keliling, si tukang jual barang pecah belah. Boleh
kontan dan kredit. Perkenalkan namaku, Udin Leman asal Rengat,” katanya dengan
girang.

Mak berdiri meninggalkanku di sudut pintu.

“Si tukang kredit? Belum pernah ada orang yang menjajakan barang-barang di
kampung ini, buyung,” jawab Mak.

“Apa yang kau jajakan,” tanya Mak lagi.

“Baskom, piring, rantang nasi. Ambillah satu mak, mak cicil pun boleh.”

Mak memperhatikan setiap barang yang dibawanya. Nampaknya mak mulai


tergiur juga.

“Rantangku sudah tak baik lagi.”

“Mak ambillah. Harganya lima belas ribu. Mak angsur per hari saja, ya.”

“Kau tiap hari kemari?”

“Ya, mak. Aku baru menyewa rumah di kampung sebelah.”


“O, begitu.”

Mak mengambil satu rantang nasi. Mak mencicilnya setiap hari. Kala itu kampung
kami masih sepi. Semak-semak masih semarak di halaman, dan pohon-pohon besar
juga masih melingkari kampung. Alat transportasi umum masih sulit ditemui, yang ada
hanya pedati, dan dengan hitungan jari ada pula bendi.

Laki-laki penagih hutang bersepeda kumbang itu pun setiap hari mengunjungi
rumah kami. Seperti perjanjian Mak dengan dirinya. Setelah itu dia akan mengelilingi
kampung kami. Menjajakan barang dagangannya kepada orang lain. Dan semakin hari,
semakin banyak orang kampung kami yang berlangganan dengannya.

***

Kakakku, Uni Ida baru saja menyelesaikan es-em-a-nya kala itu. Jadi kalau Mak
mau pergi ke pasar atau ada keperluan lainya, beliau akan menitipkan uang pada Uni
Ida yang akan diberikan pada si tukang kredit itu. Aku tidak tahu entah berapa kali
Mak memberikan tugas itu pada Uni Ida.

Namun yang aku ingat adalah, bahwa beberapa hari kemudian, si tukang kredit
itu dengan Uni Ida semakin bersahabat saja. Bukan, bukan seperti orang bersahabat,
tetapi seperti dua orang yang saling menyukai. Mereka sering terlihat duduk berdua di
rumah beberapa lama. Saling berbincang entah apa. Tapi dari wajah Uni Ida, seperti
senang riang tak kepalang, begitu juga dengan laki-laki si penagih hutang.

Pernah beberapa kali aku diusir Uni Ida jika mereka sedang duduk berdua, atau
Uni Ida akan membesarkan dua matanya sebagai isyarat agar aku pergi jauh. Aku juga
sempat berpikir kala itu, begitukah cara bila dua orang saling menyuka?

Berbulan kemudian, hubungan mereka tercium oleh Abak. Dan suatu malam,
Abak menginterogasi Uni Ida. Aku ingat itu malam yang dingin. Hujan turun sangat
lebat memukul-mukul atap seng rumah kami. Mak menggigil di sudut ruang tamu
dengan membisu.

“Kau masih baru tamat sekolah. Kau belum pantas berpacaran. Aku tak ingin kau
berhubungan dengan, si tukang kredit itu.”

Uni Ida hanya diam dengan menekukkan wajah ke lantai. Tak berani menatap
wajah Abak. “Aku tak ingin lagi mendengar bila kau berjumpa dengannya. Aku merasa
dia bukan orang baik-baik. Jangan pernah berhubungan dengan orang yang tak tahu
asal-usulnya. Kau mengerti?”

Uni Ida tak menyahut kata-kata Abak. Mulutnya membisu. Tubuhnya kaku. Ia
serupa patung. Tapi airmata Uni Ida tumpah. Membasahi pipinya. Dan Abak tidak
memikirkan tentang airmata. Bagi Abak, keputusannya tak boleh dilanggar. Mak, tak
berani menyahut. Mak hanya diam. Kaku. Tapi di akhir pertemuan malam itu, Abak
sempat menyalahkan Mak.

“Ini ulahmu, mengundang si tukang kredit itu datang ke rumah,” kata Abak.
Seperti Uni Ida, Mak juga hanya diam.

Di hari berikutnya, Mak tidak pernah lagi menitipkan uang pada Uni Ida. Ini
adalah salah satu cara agar Uni Ida dan si tukang kredit itu tidak pernah lagi berjumpa.
Setiap tukang kredit itu datang ke rumah, Maklah yang memberikan uang cicilannya.

Aku tidak tahu apa yang terjadi pada si tukang kredit itu setelah dia tidak
berjumpa dengan Uni Ida untuk beberapa lama. Yang kuingat tentang Uni Ida adalah,
bahwa setiap malam datang, Uni Ida tidak pernah lagi keluar kamar. Mukanya terlihat
murung setiap hari. Dia pun sudah tidak banyak bicara. Dan Abak, tidak pernah hirau
pada perubahan sikap Uni Ida itu.

Aku tentu kasihan pada Uni Ida kala itu. Beberapa kali aku sengaja membawakan
makanan ke kamarnya. Tapi setiap makanan yang pernah kubawakan, tak pernah
dimakan Uni Ida. Begitu juga bila aku menyapanya, Uni Ida tak pernah menyahut.

Suatu sore, aku mendengar suara gaduh di depan rumah kami. Dengan langkah
gegas aku menyusul asal suara itu. Sesampai di pohon nangka, di samping rumah,
kulihat Abak sedang mendorong tubuh si tukang kredit itu agar meninggalkan rumah.
Di teras rumah, Mak memegangi tubuh Uni Ida yang sedang menangis.

“Pergi kau! Pergi! Pergi!” Berulang-ulang Abak mengucapkan kata-kata itu dengan
lantang.

“Jangan pernah lagi kau injak rumahku ini. Pergi! Pergi!”

Abak baru berhenti berteriak setelah tubuh si tukang kredit itu hilang di balik
semak dan sebatang pohon asam kandis. Sedangkan Uni Ida, tak henti-hentinya
menangis, kadang seperti orang meraung. Suaranya mengalahkan kicauan suara
burung, dan pekikan monyet-monyet liar yang hendak mencuri nasi basi jemuran mak.

Tiga hari berikutnya peristiwa aneh terjadi, Abak pulang dengan menaiki sepeda
si penagih hutang. Mak jadi sangat kebingungan. Apa yang telah terjadi? Mungkinkah
Abak telah membunuh si penagih hutang dan merampas sepeda kumbang? Ketika Mak
menanyakan kepada Abak tentang sepeda itu, Abak tidak pernah menjawab. Bukan
hanya tidak pernah menjawab. Abak jadi seperti orang bisu. Tidak lagi mau bicara.
Dalam hal apa saja. Ini terjadi dalam dua minggu. Dan kejadian ini membuat Mak
sering mengalami sakit kepala.

Memasuki minggu ketiga, Abak jatuh sakit. Abak mengalami sakit yang aneh.
Tubuhnya tak bisa digerakkan. Abak hanya bisa terbaring. Apabila Abak bersuara, apa
yang beliau ucapkan nyaris tak terdengar. Kami terpaksa harus mendekatkan telinga
ke mulut Abak setiap beliau hendak bicara.

Seorang mantri desa telah di datangkan Mak. Obat yang mereka berikan tak
mampu menyembuhkan sakit Abak. Bahkan Mak, pernah pula mendatangkan dukun
bermata elang dari kampung seberang. Si dukun mengatakan, bahwa Abak diserang
ilmu hitam nujum orang. Lalu si dukun menyiram tubuh Abak dengan air batang
pisang yang telah dibakar dan diselingi mantra-mantra yang aku sendiri tak paham.
Namun usaha si dukun tak menghasilkan apa-apa. Lalu, apa yang membuat Abak
mengalami sakit begitu rupa? Adakah ini hubungannya dengan si penagih hutang
bersepeda kumbang?

Ya, lima hari setelah kematian Abak, pertanyaan itu terjawab sudah. Adalah
mamak Odang, kakak Mak yang menguraikan semuanya.

“Pagi itu Abak kalian mendatanginya. Ia meminta agar si penagih hutang segera
pergi jauh dari kampung seberang. Dia tentu saja sangat ketakutan. Abak kalian tak
hanya membawa parang, tapi juga menceritakan dirinya, seorang mantan pejuang yang
pernah berkali-kali menebas leher penjajah. Bisa kulukiskan ketakutan penagih
hutang bersepeda kumbang itu. Tubuhnya gemetar. Keringat membasahi mukanya.”

“Selama dia membereskan barang-barangnya sebelum pergi, si penagih hutang


sempat mengatakan asal usulnya. Dalam ketakutan dia mengatakan bahwa dia berasal
dari Rengat. Anak yatim piatu. Dua orangtuanya mati dieksekusi Belanda, di saat
Belanda menyerang kota Rengat. Setelah itu si penagih hutang itu langsung pergi. Dan
Abak kau tak menyahut lagi. Selain membawa sepeda kumbang itu pulang. Tapi di
dalam perjalanan pulang, Abak kalian dalam keadaan bimbang, merasa bersalah.”

“Jadi, penyakit Abak, karena beban pikiran,” simpulan Mak kala itu.

“Ya. Kalian tahu Abak kalian seorang pejuang. Dia pernah berperang di Rengat.
Dia merasakan sendiri tragedi di kota Rengat itu. Abak kau merasa bersalah telah
mengusir si penagih hutang itu. Seandainya ia tahu si penagih hutang itu anak yatim
korban tragedi Rengat, tak akanlah dia mengusirnya. Setelah kejadian itu, Abak kalian
pernah menyuruhku untuk mencarinya kembali, tapi aku tak pernah menemukannya
sampai Abak kalian meninggal. Abak kalian sungguh menyesal.”

Mamak Odang menceritakan peristiwa itu dengan mata berkaca-kaca. Setelah


selesai bercerita, beliau langsung mohon pamit minta pulang. Tak kutahu mengapa
beliau begitu tergesa, mungkin saja beliau juga merasa berdosa tak menemukan
kembali si penagih hutang, atau tak tahan melihat Uni Ida berurai airmata dengan
tangis tertahan.

Lalu sampai berapa lama Uni Ida bergelut dalam kesedihan setelah kepergian si
penagih hutang? Entah sampai kapan aku tak tahu, yang tahu hanya Uni Ida. Sebab
dua minggu setelah kematian Abak, Uni Ida kembali hidup seperti biasanya. Tapi ada
kebiasaan aneh Uni Ida yang muncul tiba-tiba, yakni Uni Ida suka sekali merawat dan
membersihkan sepeda kumbang si penagih hutang. Dan sampai sekarang, sepeda
kumbang itu tergantug rapi di dapur rumah kami. Tentang bagian cerita ini, aku yakin
suami Uni Ida tidak tahu sama sekali.

(Banda Aceh, 2017)

Farizal Sikumbang lahir di Padang. Bekerja sebagai pengajar di daerah pedalaman


Kabupaten Aceh Besar. Tinggal di Kota Banda Aceh. Cerpennya dipublikasikan di
media nasional dan daerah. Kumpulan cerpennya “Kupu-Kupu Orang Mati” (2017)
CERPEN, KOMPAS, MADE ADNYANA OLE

Lelaki Garam

Lelaki Garam ilustrasi Meuz Prast/Kompas

Pada saat bersamaan ketika lelaki itu mengibaskan ujung kerah kemeja di sisi
bahu yang basah oleh keringat, Jenawi tanpa sadar menjulurkan sedikit ujung lidah
untuk melontarkan biji jambu yang tertinggal di mulut sehabis meneguk jus campur
buah lokal. Tepat saat itulah lidahnya mencecap rasa asin yang menggetarkan hati,
asin yang dirindukannya sejak bertahun-tahun lalu.

Ia merasakan angin aneh berembus dari tubuh lelaki itu, angin dengan
kandungan uap garam yang basah. Uap itu mungkin meruap dari keringat yang
terbang ketika ujung kerah kemeja lelaki itu dikibaskan. Mereka sama-sama berdiri di
tepi danau, di pinggiran acara Festival Wisata Air yang digelar Dinas Pariwisata. Jadi,
tak mungkin ada embusan uap garam dari danau, kecuali dari tubuh lelaki dengan
kejanggalan yang menyiksa: keringat berlebih di udara sejuk sekali pun.

Jenawi serasa mabuk. Dan dengan dorongan sensasi asin ia dekati lelaki itu,
lelaki yang melamun sendiri di bibir danau, di antara tonggak bambu tempat nelayan
mengikat jukung kayu. Begitu dekat, Jenawi ingin meraih tengkuk lelaki itu seperti
mengetuk tengkuk seorang teman yang kebetulan ditemukan di tempat asing. Tapi
berdebarlah jantung Jenawi saat tak terduga lelaki itu berbalik. Lelaki itu
merentangkan kedua tangan dengan tingkah hendak menangkap tubuh Jenawi. Dan
seperti sihir, tubuh Jenawi meluncur lalu terjerembab tepat di antara dua rentang
tangan lelaki itu. Tubuh Jenawi tertangkap, lelaki itu menangkapnya.

Mereka berpelukan. Tepat di atas bahu lelaki itu, mulut Jenawi tak henti
menyembulkan ujung lidah, menikmati uap asin yang seperti meletus dari setiap pori
tubuh lelaki yang memeluknya, lelaki yang dipeluknya. Saat pelukan merenggang,
Jenawi sempat melirik dan melihat lelaki itu juga menjulurkan lidah, seperti mencecap
sesuatu, mencecap dengan penuh perasaan, kadang dengan mata yang pejam.

Begitulah awal bertemunya Jenawi, sebulan lalu, dengan Ripah, lelaki itu. Jenawi
datang ke festival diundang selaku pengusaha restoran. Ripah datang selaku
pengusaha hotel. Keramaian mempertemukan mereka, tapi pertemuan itu ia rasa
seperti pertemuan gaib antara mimpi dan kenyataan. Ia pikir, pertemuan itu layak bagi
seorang perempuan lajang meski usianya hampir 35 tahun. Ripah mungkin lebih tua
lima tahun. Jika boleh berkhayal, ia ingin pertemuan itu bagai pertemuan sepasang
burung yang tak perlu saling kenal tapi kemudian bercumbu dengan bebas di hutan
senyap.

Sebulan lewat, Jenawi merasa seperti burung. Burung perindu, bernyanyi selalu,
memanggil pasangan yang entah di mana. Sungguh bukan Ripah dan pelukan itu yang
dirindukannya. Tapi asin itu. Asin dengan satu rasa nan sama dengan asin yang pernah
ia nikmati di masa kanak. Asin uap garam itu, dulu, selalu meruap dari tubuh lelaki
berotot liat berkulit hangus yang ia panggil ayah. Lelaki itu penjual garam. Datang
setiap Rabu ke desanya, ke Desa Uli, sebuah desa tani di lereng Bukit Bedugul. Lelaki
itu selalu ditunggu, tentu karena dia satu-satunya penjaja garam ke desa itu. Lebih-
lebih bagi warga Desa Uli, garam sematalah bahan makanan yang harus mereka beli.
Semua bahan lain diambil cuma-cuma dari alam desa yang raya.

Jenawi satu-satunya anak desa yang menunggu penjaja garam itu dengan getar
harap di setiap Rabu. Selalu di setiap Rabu pagi, ia keluar rumah, memandang lurus
ke ujung jalan setapak. Ia tak pernah kecewa, lelaki itu menyembul dari tikungan di
bawah rimbun sukun dan semak di kiri-kanan. Suara langkahnya jelas, karena beban
berat di bahu menyebabkan kedua kakinya menginjak daun kering yang terserak di
jalan dengan tekanan yang cukup keras.
“Ayah datang!”

Jenawi menyambutnya dengan lengking girang kanak-kanak. Lelaki itu


mempercepat langkah sehingga dua keranjang berisi garam yang sedang dipanggul
dengan sepotong bambu di pundak berayun seakan hendak jatuh. Keranjang itu tak
jatuh. Tali ijuk terlalu kuat menggantungnya dan sangat erat mengikat di kedua ujung
bambu. Kalau pun akhirnya keranjang itu dilepaskan ke tanah, tentu karena lelaki itu
menurunkannya dengan sengaja, agar kedua tangannya leluasa merangkul tubuh
mungil Jenawi. Jenawi lalu menggeliat di dada lelaki itu, sambil selalu menjulurkan
lidah, mencecap uap garam yang meletus di setiap pori tubuh lelaki yang selalu tampak
hangus terbakar itu.

Selalu sebelum keliling menjajakan garam, lelaki itu jeda di rumah Jenawi. Usai
keliling, saat sore sebelum gelap, lelaki itu datang lagi, bercanda dengan Jenawi, dan
tidur bersama ibunya setelah sore berubah gelap. Lelaki itu menginap hingga Sabtu
dan pergi di Minggu pagi. Rabu pagi berikutnya ia datang lagi. Selalu begitu. Dan
Jenawi tak pernah hirau siapa sesungguhnya lelaki itu.

“Dia bukan suami ibu. Tapi panggil saja dia ayah!” kata ibunya suatu pagi. Jenawi
tak peduli, tapi ia mengangguk. Sama tak pedulinya ia ketika sejumlah orang desa
mengejeknya dengan cerita-cerita sok tahu.

“Kau anak malang, Jenawi. Lahir tanpa ayah, tapi dipelihara tukang garam,
bukan ayah, tapi sebenarnya ayah!”

Jenawi berkali dengar cerita itu. Ibunya menjalin asmara dengan penjual garam
lalu hamil. Ibunya menolak menikah. Jenawi tetap lahir. Ibunya diusir dari rumah
keluarga. Dibantu lelaki penjual garam, ibunya mendirikan rumah kecil di atas tegalan
agak tinggi, sehingga dari rumah itu akan tampak dengan indah lekuk sungai dan tera
sawah di lembah pedesaan. Bagi Jenawi, rumahnya adalah tempat paling indah.
Apalagi terdapat pohon asam yang rajin berbuah di halaman. Ia biasa naik dan duduk
di atas cabang besar. Dari atas cabang ia tak hanya bisa melihat liku sungai dan sawah
berundak di bawah, tapi juga laut dan sebuah tanjung luas di tempat yang jauh di
selatan.

“Di situlah rumah Ayah, Jenawi. Di kaki pulau itu!” kata lelaki itu suatu sore
ketika mereka duduk di cabang asam yang tinggi. Tangan lelaki itu menunjuk sebuah
tanjung, daratan yang tampak kelabu, menjorok ke laut di ujung selatan Pulau Bali.
“Di tepi tanjung itu, di atas pasir putih, Ayah membuat garam dari air laut yang bening!”

“Kapan Ayah mengajak Jenawi ke sana?”

“Ayah ingin sekali mengajakmu tinggal di sana, tentu bersama ibumu. Tapi ibumu
menolak. Katanya ia lebih bahagia di desa ini, di rumah ini,” jawab lelaki itu.

Wajah lelaki itu seketika memerah dan keringatnya melimpah. Keringat berlebih
memang selalu terbit di tubuhnya jika lelaki itu bicara soal perasaan, mungkin rasa
cinta dan sedih yang saling bertabrakan di hatinya. Seperti biasa pada saat seperti itu
Jenawi akan menyembulkan lidah lalu mencecap asin dari uap keringat tubuh lelaki
itu. Jenawi memetik buah asam matang, dikupas segera, lalu daging asam lunak
dilumurkan ke wajah lelaki itu. Lelaki itu akan mengeluarkan lidah dan berupaya
menjilat lumuran asam di sekitar bibir dengan mata terpejam. Lelaki itu menyukai
asam, tentu saja. Di Minggu pagi, lelaki itu selalu mengisi keranjangnya dengan buah
asam untuk dibawa pulang ke tanjung selatan, ke rumahnya, tempat ia bertani garam.

Jenawi ingat, pada Minggu yang dini, lelaki itu menjejali kedua keranjangnya
dengan buah asam matang. Dan ketika hendak beranjak pergi di pagi hari, ia didatangi
kepala desa. Mereka bicara agak lama, tapi intinya lelaki itu diusir.

“Di desa ini akan dibangun pasar modern yang menyediakan semua kebutuhan
warga. Jadi, sesuai kesepakatan kami dengan investor, penjual barang apa pun,
termasuk garam, tak diizinkan masuk desa ini, apalagi ke rumah-rumah,” kata kepala
desa.

Lelaki itu mengangguk lalu bersiap pergi. Sebelum meninggalkan halaman


rumah, lelaki itu memeluk Jenawi. “Ayah tetap akan datang, bukan untuk jual garam,
tapi untuk menemui Jenawi dan ibumu!” ujarnya.

Namun lelaki itu tak pernah datang. Jenawi terus menunggu sambil menyaksikan
Desa Uli berubah. Jalan diperlebar, jembatan dibangun, lalu-lalang orang entah dari
mana lewat setiap saat di desa itu. Toko modern berjejaring dibangun di setiap sudut
tikungan. Kemudian ada hotel dan rumah makan. Kebutuhan warga berubah. Yang
harus dibeli bukan lagi semata garam, tapi berbagai barang yang tak mereka perlukan.

Jenawi dan ibunya tak mau tertinggal. Rumah dengan pohon asam di halaman
disulap jadi warung dengan menu masakan lokal. Awalnya Jenawi hanya membantu,
namun setamat kuliah pariwisata ia mengelola warung secara penuh. Statusnya ia
tingkatkan jadi restoran. Ia memimpin ritual memasak dan melayani pelanggan yang
tak pernah sepi, siang dan malam. Menu restoran itu tak terlalu enak. Jenawi tahu.
Pelanggan datang sebenarnya hanya terpesona alam di sekitar restoran, terutama
pohon asam yang makin besar dan kokoh di halaman. Apalagi saat malam, dari pohon
asam itu akan tampak pemandangan jutaan lampu seperti kunang-kunang di sebuah
tanjung di kejauhan, di ujung selatan Pulau Bali.

“Di sanalah rumah ayah saya, di sela lampu-lampu di tanjung itu. Dulu tanjung
itu gelap, kini telah benderang,” kata Jenawi jika melihat pelanggan duduk di bawah
pohon asam sambil memandang jauh ke selatan. Jika restoran sudah tutup, Jenawi
pun lebih sering duduk di bawah pohon asam, kadang hingga tengah malam, sambil
memandang tanjung kelap-kelip di kejauhan. Dengan begitu ia telah merawat rindunya
pada uap asin dari tubuh lelaki yang ia panggil ayah, tentu rasa asin yang
menggetarkan hati, yang tak pernah ia dapatkan dari garam di pasar mana pun yang
pernah dibelinya untuk menu restoran.

Kini asin seperti itu didapat dari tubuh Ripah. Setiap duduk di bawah pohon
asam, ia ingat lelaki penjual garam sekaligus ingat Ripah dan ingin menemuinya sekali
lagi, dua kali lagi, atau seterusnya, bukan hanya di tepi danau, tapi di sebuah tempat
yang amat sunyi, sehingga ia bisa melumat seluruh asin di tubuh lelaki itu. Dan suatu
malam, kerinduannya tak bisa ditahan. Ia menelepon Ripah.
“Bisakah kita bertemu di tepi danau itu lagi?” sergah Jenawi saat hubungan
telepon tersambung, bahkan sebelum Ripah sempat mengucap salam.

“Tentu saja. Datanglah malam ini juga!” jawab Ripah.

Jenawi tak tahu, saat ia menelepon, Ripah sudah berdiri di tepi danau, di tempat
mereka dulu berpelukan. Sejak bertemu Jenawi, lelaki itu hampir setiap hari berdiri di
tempat itu, kadang dari pagi hingga tengah malam. Selain menemu sejuk karena
belakangan tubuhnya selalu berkeringat secara berlebih, ia juga ingin menyingkir dari
hiruk-pikuk perusahaan. Sudah sejak lama ia kerja tanpa henti, tepatnya sejak ia
memelihara dendam dan ambisi untuk jadi pengusaha kaya, melebihi kekayaan
pengusaha asing yang terus berebut membangun hotel di kawasan tanjung selatan
tempat ia lahir.

Tiga istrinya secara bergiliran menelepon. Penduduk tepi danau menganggap ia


tak waras, karena selalu tampak menjulurkan lidah, seolah ingin mencecap sesuatu.
Padahal ia memang ingin mencecap sisa uap asam yang meruap dari tubuh Jenawi
saat ia peluk di tempat itu sebulan lalu. Ia rindu asam tubuh Jenawi, seperti juga ia
rindu pada asam yang ia cecap dari embus keringat ayahnya, dulu, di setiap Minggu
sore, pada setiap ayahnya baru datang dari menjajakan garam di desa pegunungan.

Ripah tak bisa lupa bagaimana ia kehilangan ayah sekaligus kehilangan uap asam
itu. Pada Minggu sore, sejumlah laki-laki mendatangi ibunya di ladang garam.
Perawakan mereka tegap seperti tentara, namun dari apa yang dibicarakan kentara
sekali mereka calo tanah.Mereka sudah berkali-kali datang. Tujuannya sama,
memaksa ayah dan ibunya melepaskan ladang garam untuk dibeli konglomerat dari
Jakarta. Ladang garam yang diapit laut dan bukit landai itu hendak disulap jadi hotel
paling mewah di Bali.

Ayahnya datang tepat ketika seorang dari sejumlah laki-laki itu membentak
ibunya. Ripah tak akan pernah lupa, saat itu ayahnya datang dari menjajakan garam
dengan wajah sangat sedih sambil memanggul dua keranjang penuh buah asam.
Ayahnya kalap dan langsung mengamuk. Ia menerjang dan mengayunkan keranjang
ke tubuh laki-laki yang membentak ibunya. Lalu terdengar ledakan. Ayahnya rebah.
Darah dan buah asam berserakan di atas ladang garam.

MADE ADNYANA OLE, lahir di Tabanan, kini tinggal di Singaraja, Bali utara. Menulis
cerpen dan puisi. Buku kumpulan cerpennya Padi Dumadi (2007) dan kumpulan
puisinya Dongeng dari Utara (2014). Dua cerpennya masing-masing terdapat dalam
buku Cerpen Pilihan Kompas 2014 dan 2016
A MUTTAQIN, CERPEN, KOMPAS

Mbah Dlimo

Mbah DLimo ilustrasi Jeihan Sukmantoro/Kompas

Bila kau ingin bertemu Kiai Amuni, datanglah ke Warung Kopi Kotok di sore hari,
sekitar jam empat sampai jam lima sore. Di sana, akan kau dapati lelaki tua, dengan
jenggot yang sederhana, memakai sarung palekat, baju batik dan songkok kuno, duduk
di pojok warung dengan wajah sumringah. Betul, dialah Kiai Amuni. Orang sini biasa
memanggilnya Mbah Dlimo, lantaran ia pemilik pohon delima yang ajaib dan terkenal
di kampung kami.

Tentu semua orang sini mengenal Mbah Dlimo. Ia adalah lelaki tertua di kampung
kami. Umurnya sudah seratus tahun lebih. Bila kau tanya kepastian tanggal dan tahun
kelahirannya, maka orang sekampung kami akan menggeleng. Atau paling-paling
menunjuk Damar Kurung yang dipajang di pinggir jalan sepanjang kampung kami.
Banyak orang percaya, Mbah Dlimo sepantaran dengan almarhumah Sriwati
Masmundari, pelukis asli Gresik pencipta Damar Kurung, yang oleh Tuhan Pengasih
juga dianugerahi umur seratus tahun lebih.

Kini Mbah Dlimo masih tetap hidup dan sehat. Masih menjadi imam salat, muruk
ngaji di langgar, bahkan tiap sore selalu cangkruk di Warung Kopi Kotok ini, dengan
rokok klobot-nya yang berbau khas. Bagi kami, Mbah Dlimo adalah berkah dan
kegembiraan yang melimpah ke warung ini. Kehadirannya selalu dinanti. Setiap masuk
warung, perihal yang tidak pernah ia lupa adalah memberi salam lalu berucap:
“Malaikat memohon ampun untuk para peminum kopi.” Aku tak tahu, itu sabda Nabi
atau hanya karang-karangan Mbah Dlimo sendiri. Tapi, jika sudah begini, kami
biasanya akan senang sekali, menemani Mbah Dlimo yang duduk di pojok warung.

Mbah Dlimo biasanya akan menceritai kami macam-macam. Dari cangkruk


dengan Mbah Dlimo inilah kami tahu kisah para sesepuh yang mbabat alas Gresik,
kisah wali-wali “penjaga” pulau Jawa beserta tempat munajatnya yang rahasia, atau
kisah seorang Kompeni semprul yang suka mengobral zakarnya pada perawan desa
yang sedang mandi. Dari Mbah Dlimo pula kami mengenal asal-usul nama kampung
sekitar sini, nama jalan, nama jajanan, nama dolanan, sampai nama-nama jin yang
menurut Mbah Dlimo mbaurekso kampung kami.

Terus terang, kami sering dibuat heran oleh Mbah Dlimo. Kendati usianya sudah
sangat tua, ia memiliki ingatan cukup kuat dan akurat. Ia bahkan masih menyimak
kisruh politik hari ini. Ia tahu cekcok ketua partai A dan partai B. Ia tahu kiai dan
dukun yang malu-malu mendukung partai C. Ia tahu pelawak yang nantinya bakal
dicapreskan partai D. Ia juga tahu rencana-rencana edan partai E, kongkalikong partai
F dan partai G dan seterusnya. Selain itu, Mbah Dlimo adalah penikmat kopi yang jeli.
Ia bisa menjabarkan secara rinci beda rasa kopi toraja, kopi aceh, kopi bali sampai kopi
arab. Kendati demikian, ia mengatakan kopi kotok di warung ini tak kalah baiknya.
Selain rasanya yang khas, penyajiannya juga unik, tumbukan biji kopinya dibiarkan
kasar, dengan saringan mini untuk menyaring dedak kopi sebelum diminum.

Kadang kami tak percaya, Mbah Dlimo, orang yang kami temui hampir tiap sore
ini umurnya sudah seratus tahun lebih. Banyak orang percaya, rahasia umur panjang
dan kesehatan Mbah Dlimo adalah delima di depan rumahnya. Pohon delima yang
umurnya mungkin setua pemiliknya itu tergolong pohon yang langka. Ia berbuah tiada
henti. Bahkan, di bulan Ramadhan, jika kau datang ke kampung kami, kau akan
mendapati pohon delima itu dipenuhi buah hingga ranting dan cabangnya seolah tak
kuat menyangga berkah buahnya. Kendati semua orang percaya hubungan gaib antara
umur Mbah Dlimo dan pohon delima itu, setiap kali kami tanyakan perihal ini, Mbah
Dlimo tak lupa menunjuk ke atas seraya menambahkan bahwa umurnya memang
anugerah Tuhan lewat buah delima yang ia makan setiap pagi dan sore hari.

Ah, betulkah buah delima yang membuat Mbah Dlimo awet dan sehat seperti ini?
Sebagai buah, delima memang punya daya magis tersendiri. Buah yang konon aslinya
berasal dari Persia ini juga dipercaya bisa mengobati banyak penyakit, mulai gangguan
perut, gangguan jantung, kanker, rematik, kurang darah sampai diabetes. Bahkan,
bangsa Moor memberi nama salah satu kota kuno di Spanyol, yaitu Granada,
berdasarkan nama buah ini. Kendati begitu, kami tetap ragu dengan pengakuan Mbah
Dlimo. Apalagi pohon delima itu jelas bukan jenis pohon delima sembarangan. Ia terus
berbuah. Tak mengenal musim. Buahnya besar-besar. Rasa sangat manis, seperti
dicampur gula saja. Penduduk kampung ini pasti pernah mencicipi buah delima Mbah
Dlimo. Buah itu biasa dibagi-bagi kepada orang kampung sini. Dan waktu masih bocah,
kami juga sering mencurinya, saat melewati rumah Mbah Dlimo sepulang ngaji.

Kendati orang kampung kami percaya buah delima itulah rahasia umur panjang
Mbah Dlimo, tapi aku curiga sebaliknya: jangan-jangan Mbah Dlimolah yang sakti, bisa
nyuwuk pohon delima di depan rumahnya menjadi pohon ajaib. Apalagi, setelah
mendengar cerita getok-tular sekitar pohon delima itu yang aneh-aneh. Alkisah, ketika
terjadi pelebaran jalan kampung, pohon delima itu akan ditebang. Namun, tak ada satu
pun alat tebang yang mampu menumbangkan pohon itu. Parang, perkul, bendho dan
gergaji sudah dicoba, tapi pohon delima itu seperti menjelma besi. Mungkin ini yang
menyebabkan cerita-cerita perihal pohon delima Mbah Dlimo jadi macam-macam.

Menurut sebagian sesepuh kampung kami, di tempat tumbuhnya pohon delima


itu dahulunya adalah makam seorang syekh. Ketika pada suatu malam makam itu
digali oleh gerombolan maling yang hendak mencuri rambut sang syekh untuk jimat,
ternyata tak ada rambut, bekas jasad atau tulang belulang sang syekh tersebut. Setelah
lebih dalam digali, di lubang itu justru ditemukan biji-biji delima. Gerombolan
perampok yang tak menemukan rambut sang syekh itu pun pergi, meninggalkan
makam yang masih menganga dengan butiran biji delima yang kini tumbuh menjadi
pohon legendaris di depan rumah Mbah Dlimo.

Banyak yang percaya, pohon delima itu tak lain adalah reinkarnasi sang syekh,
yang sepanjang hidupnya juga seperti pohon delima itu, memberi manfaat tak henti-
henti bagi masyarakat sini. Tentu cerita begini ini sukar dipercaya. Apalagi jika kita
melihat fakta bahwa tak ada warga di kampung kami yang lebih tua dari Mbah Dlimo.
Dengan demikian, tak ada saksi sahih yang bisa menjelaskan asal-usul pohon delima
itu. Namun ketika perkara ini kutanyakan kepada Mbah Dlimo, dengan enteng ia
berkata: “Biasa juga begitu, Mas Takin. Jangan dikira, syekh atau wali-wali yang
sepanjang hidupnya ngabekti itu mati. Tidak. Ia hidup dan Tuhan memberinya rizki.”

Penjelasan Mbah Dlimo ini tentu tidak sepenuhnya kami mengerti. Ketika aku dan
teman-teman yang duduk semeja dengan Mbah Delimo kembali minta penjelasan
tambahan tentang ini, Mbah Dlimo langsung menunjuk Damar Kurung di seberang
warung ini. Mbah Dlimo kemudian menjelaskan kenapa Masmundari diberi umur
panjang. “Selain tentu karena rahmat Tuhan,” kata Mbah Dlimo, “itu lantaran ia tak
beda dengan Damar Kurung ciptaannya, memberi terang dan keindahan ke jalan yang
kita lewati. Masmundari itu ibarat jalan berhiaskan Damar Kurung. Dan seperti sebuah
jalan yang panjang, umurnya juga panjang, bukan?”
“Lalu, bagaimana dengan umur Sampean Mbah?” tanyaku, mengejar penjelasan
Mbah Dlimo yang kian tak kupahami itu.

Tak terasa, warung telah sepi, tinggal kami yang duduk mengapit Mbah Dlimo,
seperti para murid Yesus, dalam lukisan Leonardo da Vinci, “Perjamuan Terakhir”.

Sayangnya, sebelum Mbah Dlimo memberi jawaban yang memuaskan perihal ini,
terdengar azan maghrib dari langgar. Mbah Dlimo tersenyum, lalu membayar kopi dan
buru-buru meninggalkan warung, sebab ia harus menjadi imam salat dan muruk ngaji
seperti biasanya.

Setelah Mbah Dlimo pergi, kami pun membayar kopi. Teman-temanku yang tadi
datang ke warung memakai sarung, langsung menyusul Mbah Dlimo ke langgar.
Sementara aku yang memakai celana-cekak, menghabiskan rokokku sembari pelan-
pelan berjalan pulang melewati rumah Mbah Dlimo. Dalam naungan temaram sore
hari, aku melihat sepuluh, seratus, atau mungkin seribu kunang-kunang, mengitari
buah-buah delima Mbah Dlimo. Dalam kitaran kunang-kunang, buah-buah delima itu
sungguh mirip Damar Kurung ciptaan Masmundari.

Sejenak aku berhenti.

Kupandang buah-buah delima yang bergelantungan dikepung kunang-kunang


itu. Kupandang buah itu satu-satu. Kuhadapkan wajahku ke buah yang lebih tinggi,
dan aku tersentak, melihat Mbah Dlimo tengah salat di atas helai daun-daun delima
itu.

A Muttaqin lahir di Gresik dan tinggal di Surabaya, Jawa Timur. Ia mengarang puisi
dan cerita pendek. Buku puisinya yang telah terbit, antara lain, Pembuangan Phoenix
(2010), Tetralogi Kerucut (2014), dan Dari Tukang Kayu sampai Tarekat Lembu (2015).
Cerpennya terkumpul dalam Klub Solidaritas Suami Hilang, cerpen Kompas pilihan
2014.
CERPEN, GDE ARYANTHA SOETHAMA, KOMPAS

Ida Waluh di Lereng


Gunung Agung

Ida Waluh di Lereng Gunung Agung ilustrasi Yusuf Susilo Hartono/Kompas

Sudah larut malam, barak pengungsi itu dipagut sepi. Mereka saling pandang
ketika hendak memutuskan siapa akan menjemput Ida Waluh di lereng Gunung Agung.
Perjalanan kurang dari tiga jam, tapi penuh mara bahaya, jika gunung yang dalam
keadaan awas itu tiba-tiba meletus.
“Saya bersedia,” ujar seorang anak muda mengacungkan tangan tiba-tiba setelah
sekian lama suasana bisu beku.

Semua memandangnya dengan seksama. Dia tamatan institut teknologi


informasi, bekerja di penyedia jasa web design di Jimbaran. Ia yatim piatu, kuliah
ditanggung bibinya yang tidak menikah, hidup dari menjual sembako di pasar
kecamatan. Sejak warga dusunnya, Desa Kesimpar, di lereng Gunung Agung
mengungsi ke Swecapura, Ananta selalu bermalam bersama mereka. Saban hari ia
ulang-alik Swecapura-Jimbaran menempuh dua jam bermotor.

“Kalau begitu, saya ikut,” usul laki-laki bersarung, mengenakan kemeja endek.

“Biar saya sendiri saja, Pak Losen. Bapak dibutuhkan di sini menyambut
kunjungan pejabat dan menemani para pembawa sumbangan untuk selfi. Tak ada yang
bersedih kalau saya tak kembali. Ayah, ibu, pacar, saya tak punya. Saya cuma titip
bibi.”

Losen anggota DPRD Kabupaten Karangasem, mendulang banyak suara berkat


bantuan para bebotoh judi sabung ayam. Berulang Losen menyampaikan, ia bercita-
cita jadi bupati bahkan gubernur, karena dengan menjadi kepala daerah ia yakin bisa
mensejahterakan Desa Kesimpar.

Menjelang subuh Ananta berangkat ke Kesimpar naik motor. Para pengungsi


melepasnya dengan pelukan dan tepukan bahu. Ibu-ibu terisak seperti melepas putra
mereka ke medan perang dan tak akan kembali. Kakek-nenek mengusap-usap
kepalanya, komat-kamit mengucap doa semoga ia kembali selamat utuh bersama Ida
Waluh.

Bibinya justru tegar, memberi semangat. “Kamu penyelamat dusun kita, An.”

“Kasi hadiah nanti ya, kalau saya berhasil.”

Si bibi tersenyum, menyodok lembut dada keponakannya dengan bangga.

Melewati bukit Kahang-kahang, Ananta mulai merasakan getaran gempa. Selepas


Desa Datah, gempa itu kian keras dan semakin kerap. Memasuki Desa Kesimpar,
gempa semakin kuat, tanah tak cuma bergoyang, juga terguncang, dan bumi bagai
hendak terbelah. Pohon terhuyung-huyung, gesekan semak-semak menimbulkan
suara berderak- derak, seakan sebentar lagi Gunung Agung meletus. Tak ada burung
melintas, juga tidak unggas dan anjing. Sapi-sapi sudah diungsikan. Desa Kesimpar
menjadi dusun mati seperti disambar naga.

Ananta memasuki Pura Desa tempat Ida Waluh. Beberapa bagian tembok pura
retak, atap-atap bangunan miring digoyang ratusan kali gempa sepanjang hari sejak
dua pekan terakhir. Ia berhenti tepekur di depan sebuah meru tumpang tiga beratap
ijuk tempat Ida Waluh berada. Dengan kunci yang ia ambil dari tas pinggang, perlahan
ia membuka pintu dengan dada berdebar, semakin berdebar oleh getaran gempa yang
mengguncang setiap dua menit.
Ida Waluh duduk bersimpuh, menatap teduh Ananta yang mencakupkan tangan
di dada, sebelum dengan takzim membopongnya ke balai piasan, tempat yang dipenuhi
sesaji jika upacara piodalan digelar.

Rambut Ida Waluh tergulung memanjang ke belakang, ujungnya melingkar. Dari


kemaluannya menyembul bunga waluh menutup pusar dan sebagian kedua pahanya.
Tubuhnya condong ke belakang, kedua tangan bertumpu menyangga bunga waluh
yang besar.

Warga Desa Kesimpar sangat yakin, rambut yang memanjang adalah lingga, alat
kelamin tanda kelaki-lakian Dewa Siwa, dan waluh adalah yoni, kelamin perempuan.
Ida Waluh diyakini sebagai perujudan lingga-yoni simbol kesuburan, pemberi
kesejahteraan dan kedamaian. Warga menjaganya dengan tidur makemit saban malam
di Pura Desa, sejak beberapa tahun lalu, ketika puluhan patung suci pretima di desa-
desa kaki Gunung Agung disatroni maling.

Ida Waluh memang rawan diculik, karena persis di belahan dadanya terbenam
permata hijau lumut sebesar ibu jari tangan. Tersebar kabar ke seluruh desa dan kota,
permata itu sangat bertuah dan murah hati. Banyak tokoh yang turut pemilihan kepala
daerah atau anggota DPRD mohon restu di Pura Desa Kesimpar, mohon petunjuk dan
restu memenangkan pertarungan politik. Mereka yakin anugerah permata hijau lumut
itu menyiramkan wibawa dan pengaruh bagi siapa saja yang memohon pada Ida Waluh,
yang diyakini percikan dari Ida Sang Hyang Widhi.

Ananta menyarankan tidak perlu makemit jika Ida Waluh selalu bersama GPS
tracker untuk melacak dan memberi alarm jika diculik atau dipindahkan. GPS
dipasang di atas lempengan baja yang menyatu dengan kayu, yang menjadi alas duduk
Ida Waluh.

Tapi warga tidak pernah yakin, tak pernah tenang. Laki-laki dusun tidak
semangat mengurus kebun, setiap saat dihantui perasaan was-was dan bersalah jika
Ida Waluh diculik. Orang-orang kampung itu meragukan teknologi, karena teknologi
hebat bisa dilawan dengan yang lebih canggih. Teknologi itu gampang disiasati dan
dikibuli. Beberapa hari setelah pemasangan GPS, tiga wanita kesurupan meminta
warga makemit kembali, bermalam di pura. Ida Waluh memperoleh dua perlindungan:
digital dan manual. Dari tempat kosnya di Jimbaran, dengan smart phone Ananta bisa
memantau Ida Waluh karena GPS tracker tetap terpasang.

Kesurupan kini berulang di pengungsian, dialami enam perempuan. Selepas


petang anak-anak menangis menjerit-jerit tanpa sebab. Para orang tua bingung, inguh,
gelisah. Orang-orang dewasa cuma tidur-tiduran tidak karuan, bermalas-malasan.
Mereka merasa tidak nyaman dan ingin segera kembali ke Kesimpar, namun takut
disergap lahar dan terjebak awan panas. Ketika itulah mereka sadar, Ida Waluh
semestinya hadir untuk menjaga ketenangan dan kenyamanan. Mereka sepakat
menjemput Ida Waluh untuk bersama tinggal di barak.

Hari menjelang sore tatkala dengan sangat hati-hati Ananta membopong Ida
Waluh, setelah membungkusnya dengan kain kasa kuning yang ia dapatkan di sudut
balai-balai. Gempa mengguncang-guncang semakin sering dan kian kuat. Kadang
Ananta mendengar suara gemuruh seakan gunung meledak. Waktu terasa berjalan
sangat lamban ketika ia bergegas jalan kaki melewati Tukad Gerudug yang dipenuhi
batu muntahan letusan Gunung Agung tahun 1963.

Ananta bergegas menghidupkan motor yang ia parkir di bawah mohon jambu


mete. Ida Waluh ia tempatkan di depan dada, tidak di boncengan, karena kuwalat
memunggungi sosok suci. Apalagi tanpa disadari kadang ia kentut kalau naik motor.
Dengan menempatkannya di depan, ia merasa seakan dipeluk Ida Waluh. Ia menjadi
sangat tenang, tidak gentar akan bunyi-bunyi aneh alam sekitar karena gempa yang
berulang.

Para pengungsi baru menyelesaikan makan malam ketika Ananta tiba di


pengungsian Swecapura. Ia disambut seperti pahlawan, dielu-elukan, dipeluk penuh
haru, dicubit-cubit ibu-ibu. Gadis-gadis mencium pipinya dengan bangga dan penuh
suka cita. Tempat pengungsian itu menjadi riuh ketika Ida Waluh diarak ke ujung
barak, ditempatkan dengan khidmat di atas tumpukan kardus-kardus bekas mi dan
biskuit sumbangan. Sesaji dihaturkan, mereka menembangkan kidung wargasari, tirta
dipercikkan.

Sejak itu orang-orang Kesimpar di pengungsian menjadi tenang. Tak ada lagi yang
kesurupan. Anak-anak meminjam buku dongeng dari perpustakaan keliling. Untuk
para kakek dan nenek, mereka membaca buku Mendongeng Lima Menit yang
dikumpulkan Made Taro. Kali ini anak muda yang mendongeng untuk orang tua. Meski
Gunung Agung dikabarkan kritis siap meletus, mereka di barak tidur nyenyak. Anak-
anak makan banyak, bayi menetek susu ibunya dengan lahap.

Sampai suatu hari lewat tengah malam ponsel Ananta berdering. Tat-tit-tut-tet-
tet-tet…

Ananta yang sedang duduk-duduk di barak pengungsi lain, tak harus menunggu
dering ketiga, ia menyambar ponselnya. Ia kaget ketika menatap layar, ikon Ida Waluh
bergerak ke luar barak. Ananta membangunkan orang-orang, mengajak mereka
menatap layar selebar telapak tangan itu.

Belasan orang bergegas mengikuti ikon yang bergerak semakin cepat di layar.
Mereka memasuki sawah yang sedang ditumbuhi kedele. Mereka meloncati selokan
tempat mereka mandi dan buang air di tengah sawah. Layar di ikon semakin jauh dan
kian bergegas menerobos sawah. Mereka mengikuti Ananta, yang bagai menjadi
komando dari sebuah pasukan tempur. Ponsel di genggamannya seperti sebuah senjata
otomatis siap menyalak. Matanya tak lepas-lepas dari ponsel, silih berganti mengikuti
arah pematang di depan agar ia tidak terperosok.

Ananta memberi aba-aba agar orang-orang berhenti ketika ikon di layar diam,
cuma berkedip-kedip perlahan. Mereka memandang sekitar, gelap sekali, sawah cuma
diterangi cahaya bintang. Mereka mengendap-endap menuju titik ikon Ida Waluh
berhenti.

Ananta memandang lurus ke arah ikon yang semakin dekat. Matanya tak lepas-
lepas dari layar ponsel. Ia menatap sebuah gubuk kecil beratap alang-alang, dikitari
tanaman jagung yang baru berbunga. Dengan dagunya ia menunjuk ke gubuk itu. Dan
mereka serentak bergerak.
“Serbuuuuu…..!”

Mereka menerobos gubuk, mendapati seseorang duduk di atas tumpukan jerami.


Gelap sekali dalam gubuk ketika orang itu dihujani pukulan dan tendangan bertubi-
tubi. Erangan dan jeritan kesakitan kalah oleh deru hantaman dan bising gerakan
lengan.

Gubuk itu roboh karena tak sanggup menahan belasan orang. Atapnya
beterbangan menghantam batang-batang jagung. Ketika itulah mereka menemukan Ida
Waluh terduduk di sudut gubuk. Mereka segera mengambil pretima, patung suci dari
kayu cendana setinggi tiga puluh senti itu, dan menjunjungnya ramai-ramai ke barak.
Kecuali Ananta, tak seorang pun peduli sama pencuri itu yang tertelungkup.

Dada Ananta berdegup kencang ketika ia membalik tubuh orang itu, dan menatap
wajahnya yang dikenal semua orang Kesimpar.

“Pak Losen. Pak…. Pak Losen.” Ananta menggoyang-goyang tubuh lunglai itu.

Losen perlahan membuka mata yang digenangi darah. “Sejak lama saya ingin
memiliki permata ini, An,” ujarnya sembari merogoh saku celana dan mengeluarkan
permata hijau lumut yang tadi masih tertancap di dada Ida Waluh, yang bercahaya
lembut memantulkan cahaya bintang-bintang.

Ananta tak percaya, ketika orang-orang membawa Ida Waluh ke barak, ia masih
melihat jelas permata itu berada di tempatnya.

“Yang itu palsu, An, saya mencungkilnya tadi, menggantinya. Yang ini asli. Saya
cuma ingin permata ini, tidak patungnya. Akan saya kembalikan patung itu setelah
berhasil menguasai permata lumut ini, agar saya bisa jadi bupati atau gubernur.”

“Bapak yakin?”

“Kamu kenal almarhum Pan Buyar?”

“Semua orang Kesimpar mengenalnya.”

“Pan Buyar itu kakekku, pakar batu mulia. Ia kerap menerima berkah batu
bertuah di lereng Gunung Agung, tapi semua untuk penolak bala, tak ada buat
membangun wibawa. Kakekku bilang, permata lumut ini bisa membuat pemiliknya jadi
pemimpin nomor satu.”

Losen menggenggam tangan Ananta, mencoba memindahkan permata hijau


lumut itu ke genggamannya. Ananta terperanjat, menggeleng, menarik tangannya.
Tubuhnya merinding, sesuatu berdesing dalam dadanya. Ia menggigil.

“Takdir benda ini milikmu, An, ambillah,” suara Losen melemah. “Rawatlah
dengan baik, kelak kamu bisa jadi bupati atau gubernur.”
Losen terengah-engah, tangannya berayun lemah memasukkan permata hijau
lumut itu ke saku baju Ananta. Setelah itu ia tak bergerak. Wajahnya bengkak
tengadah menatap langit, sekujur badannya berdarah. Orang-orang itu meremukkan
tubuhnya, mematahkan rusuk dan betisnya. Beberapa kali bunyi krok-krok-krok
meluncur dari tenggorokannya, kemudian diam, benar-benar diam.

Di barak orang-orang mengumandangkan kidung wargasari, menyambut kembali


Ida Waluh yang sempat menerebos tanaman kedele dan jagung. Kidung itu terdengar
sayup ke gubuk, seakan sekalian menjadi nyanyian mengantar keberangkatan Losen.

Sebentar lagi pagi tiba.

Gde Aryantha Soethama, meraih Anugerah Kesetiaan Berkarya dari harian Kompas
pada 2016. Buku kumpulan cerpennya Mandi Api (2006) meraih Khatulistiwa Literary
Award. Hampir setiap tahun cerpennya lolos dalam buku Cerpen Pilihan Kompas. Ia
juga menulis buku-buku jurnalistik seperti Menjadi Wartawan Desa (1985), Wawancara
Jurnalistik (1986), dan Koran Kampus (1986).
CERPEN, DJENAR MAESA AYU, KOMPAS

Rumah-rumah Nayla

Rumah-rumah Nayla ilustrasi Hanafi/Kompas

Entah nama apa yang tepat untuk tempat itu. Bar? Restoran? Warung? Sepertinya
pemiliknya tidak terlalu peduli, sebagai apa kontainer berukuran delapan kali dua
puluh meter persegi itu dimaknai.

Sudah dua jam setelah Nayla membuka tempat usaha barunya yang dinamai
Rumah Nayla. Kedengaran lebih mendekati makna kediaman ketimbang tempat usaha.
Dan memang ia tinggal di sana. Sekitar setahun lalu Nayla membeli sebidang tanah
yang tidak terlalu besar—jika dibandingkan dengan luas tanah rumah sebelumnya,
tapi juga tidak terlalu kecil—jika dibandingkan dengan luas tanah rumah tipe
sederhana. Tak sampai seratus lima puluh meter persegi luas tanahnya. Lalu dibelinya
dua kontainer, satu dijadikan tempat usaha bernama Rumah Nayla, dan satunya lagi
dijadikan sebagai tempat tinggalnya.

Dulu sekali saat Nayla menikah muda, ia tinggal di sebuah rumah mewah
bersama suaminya. Terletak di kompleks perumahan elit, dengan pos penjaga di
halamannya. Tak banyak kewajiban yang harus dilakukannya sebagai ibu rumah
tangga. Mulai dari membersihkan rumah, mencuci, memasak, bahkan kopi untuk
suaminya pun tinggal minta pembantu untuk melakukannya. Nayla juga tidak perlu
pusing tentang masalah keuangan. Suaminya yang bekerja di perusahaan keluarga,
entah benar bekerja atau cuma supaya kelihatan bekerja, hartanya tak akan habis
walau dimakan tujuh turunan. Hidup begitu ringan. Hidup yang bagi kebanyakan
orang adalah bentuk hidup idaman.

Hanya dalam beberapa bulan menikah, Nayla hamil dan melahirkan bayi
perempuan. Dan hanya dalam beberapa bulan setelah melahirkan, Nayla lagi-lagi hamil
dan melahirkan lagi-lagi bayi perempuan. Kendati mempunyai dua balita tak membuat
Nayla kerepotan karena lagi-lagi pengasuh bagi masing-masing bayinya disediakan. Ia
pun memutuskan untuk punya dua anak saja padahal biasanya bagi keluarga
peranakan, kehadiran bayi laki-laki amatlah diharapkan. Tapi lagi-lagi Nayla diberkati
keberuntungan. Suaminya sama sekali tidak keberatan. Hidup begitu ringan. Hidup
yang bagi kebanyakan orang adalah bentuk hidup idaman.

Sering Nayla tak percaya dengan apa yang dialaminya. Di kala media
memberitakan tentang peliknya perekonomian, agama diatas-namakan untuk
membenarkan kejahatan, perkosaan yang berakhir dengan pembunuhan, pembakaran
hidup-hidup terduga maling perabotan, patung dirubuhkan, hewan disiksa tanpa
alasan, dan segudang kekacauan yang terkadang sama sekali tak masuk akal bisa
dilakukan oleh makhluk yang konon nyaris mendekati kesempurnaan Tuhan, hidup
Nayla benar-benar steril tanpa noda. Bisa dibilang tak nyata dalam kehidupan nyata.

Maka, sering Nayla tak percaya dengan apa yang dirasakannya. Bagaimana
rumah yang demikian nyamannya, bagaimana suami yang begitu pengertian dan
mencintainya, bagaimana kedua anak perempuan cantik, pintar, dan sehat walafiat
keadaannya, bagaimana materi bukanlah sesuatu yang harus dirisaukannya,
bagaimana segala yang didambakan kebanyakan orang terjadi di dalam hidupnya,
semua itu tak cukup membuatnya bahagia?

Nayla selalu bahagia ketika berada di depan laptopnya. Ketika jari jemarinya
mengetik kata demi kata. Rasa itu sama seperti apa yang ia rasakan semasa kecil saat
menulis di buku catatannya. Di buku itu, Nayla membuat cerita. Jika ia tinggal di
sebuah rumah yang selalu dipenuhi aroma cinta. Di pagi hari saat ia membuka mata,
selalu tercium aroma kopi dan roti bakar yang sudah dipersiapkan Ibu untuk ayahnya.
Renyah tawa mereka selalu membuat Nayla ingin buru-buru bangun dari tidurnya.
Bergabung dan bercanda. Begitu pun saat Nayla sedang di sekolah. Yang ada di
pikirannya hanyalah buru-buru pulang ke rumah. Di mana aroma kopi dan roti
panggang sudah berganti dengan aroma sosis yang digoreng dalam minyak panas
hingga melepuh kulit luarnya. Tak seperti ibu-ibu temannya yang memaksa bahkan
memukul jika anaknya tak mau makan sayuran, ibunya hanya menghidangkan apa
yang Nayla suka. Dan sedemikian enggannya Nayla saat waktu tidur tiba. Rasanya
baru sebentar kebersamaan yang dilewatkannya sehabis Ayah pulang dan makan
bersama. Mereka akan duduk di sebuah meja makan bundar, tertawa, bercanda.
Rumah yang dipenuhi aroma cinta itu dinamai kedua orang tuanya, Rumah Nayla. Dan
itulah nama, yang diberikan Nayla bagi buku catatannya,
Tapi ia tidak menamakan laptopnya seperti buku catatannya. Walaupun
keduanya membuatnya merasa bahagia. Sebab seperti apa yang Nayla tulis di buku
catatannya yang sebetulnya sangat bertolak belakang dengan apa yang dialaminya,
demikian pula yang ia tulis di laptopnya. Ketika rumah yang dihuni dengan suami dan
kedua putrinya saat itu adalah rumah beraroma cinta yang nyaris seperti apa yang
Nayla tulis di buku catatannya, tapi penderitaanlah yang Nayla tulis di laptopnya.
Tentang sebuah rumah di masa kecilnya yang tak bernama. Di rumah itu tak ada
sedikit pun aroma cinta. Kedua orang tuanya pemakai narkoba. Jika mereka sedang
dalam pengaruh narkoba, semuanya baik-baik saja. Tapi jika mereka kehabisan
narkoba, mereka menjadi bukan seperti manusia. Nayla sering mendapat cacian
bahkan pukulan untuk kesalahan yang tidak diperbuatnya. Di usianya yang sepuluh
tahun Nayla sudah melakukan semua pekerjaan rumah tangga. Mulai dari
membersihkan rumah, mencuci pakaian, hingga memasak seadanya. Jika mereka
merasa rumah tidak terlalu bersih, maka Nayla menjadi sasaran kekesalan mereka.
Padahal Nayla merasa sudah melaksanakan tugas sebaik-baiknya. Awalnya mereka
hanya memakai narkoba berdua saja. Tapi lama kelamaan rumah mereka tak pernah
sepi dari tamu. Ada yang datang hanya sebentar lalu segera pergi. Ada yang menginap
dan mabuk bersama hingga berhari-hari. Ada pernah juga yang datang menagih uang
sehingga mereka harus bersembunyi di dalam rumah yang terkunci. Terjadi seperti itu
berulang kali. Hingga suatu hari tiga orang laki-laki berbadan besar mendobrak masuk.
Mereka memukuli kedua orang tuanya hingga ambruk. Tak berhenti di sana, mereka
bergantian meniduri Nayla. Aroma alkohol menyeruak dari desahan mereka. Nayla
menangis dan mengiba. Tapi tak ada iba di mata mereka. Tak ada aroma cinta.

Semua yang Nayla tulis di dalam laptopnya yang tak bernama itu dibaca
suaminya.

“Kamu masih enggak bahagia.”

Nayla tak bisa menjawabnya.

“Bisa enggak kamu melupakannya.”

Nayla masih terdiam sejenak sebelum menggelengkan kepala pada akhirnya.

“Bisa enggak saya membuat kamu melupakannya?”

Nayla menggelengkan kepalanya.

“Bisa enggak saya membuat kamu bahagia?”

Nayla tak bisa menjawabnya.

Itu sudah cukup untuk membuat hidup yang didambakan kebanyakan orang
berubah seketika. Suaminya tak lagi bicara. Ia juga tak lagi pulang selepas jam kerja.
Nayla tak bisa dan tak mau menyalahkannya. Ia hanya mencoba memperbaiki dengan
tak lagi menulis di laptopnya. Sepenuhnya waktu ia habiskan dengan kedua putrinya.
Tapi semakin lama, suaminya tak hanya tak pulang selepas jam kerja. Kadang ia pergi
berhari-hari, berminggu-minggu, lantas berbulan-bulan lamanya. Di bulan ketiga
suaminya pulang dan bicara, adalah hari di mana ia menceraikan Nayla. Sudah ada
perempuan lain dalam hidupnya. Yang membahagiakan dan bisa dibahagiakan,
katanya. Lucunya, Nayla bisa mengerti sepenuhnya. Nayla tahu persis rasanya
mencoba mencintai dan dicintai tapi diabaikan. Sama persis seperti apa yang kedua
orangtuanya lakukan.

Dengan segala kesadaran Nayla menyetujui untuk meninggalkan rumah dan


membawa hanya sedikit uang tabungan yang hanya cukup untuk membayar sewa
apartemen kecil dengan dua kamar untuk satu tahun ke depan. Walaupun tak ada hak
asuh anak dalam perjanjian cerai, kedua putri Nayla kelihatannya lebih betah tinggal
di rumah ayahnya dan Nayla cukup mengerti keadaan. Selain rumah itu adalah rumah
yang mereka tinggali semenjak lahir, rumah itu juga jauh lebih nyaman. Tapi mengerti
bukan berarti tidak menyakitkan. Terlebih jika harus mengerti karena itulah harga
yang harus ia bayar untuk menebus kesalahan. Atau katakanlah, menebus kekalahan.

Saat kedua putrinya bersama ayah dan ibu baru mereka, Nayla sering
membayangkan. Sebuah rumah bertingkat dua dengan kolam renang membelah di
tengah-tengahnya sehingga bisa dilihat dari segala ruangan. Di lantai dua sisi kiri
adalah kamar-kamar kedua putrinya, dan kamar tamu di sisi kanannya. Di lantai
bawah sisi kiri adalah kamar tidur dan kamar studi Nayla, sementara dapur dan ruang
keluarga berada di sisi kanannya. Nayla membayangkan, jika rumah itu sudah menjadi
nyata, ia tak lagi mau menggunakan jasa asisten rumah tangga. Ia akan melakukan
segalanya sendiri untuk menunjukkan cintanya. Ia akan membersihkan rumah,
mencuci pakaian, memasak segala yang mengeluarkan aroma cinta. Ia pun mulai
kembali membuka laptopnya yang tak bernama. Dibacanya ulang catatan-catatan
pendek dan dijadikannya menjadi beberapa cerita. Setelah terkumpul beberapa, ia
kirimkan ke penerbit buku yang dengan segera mau menerbitkannya. Bukan dari buku
itu benar Nayla mendapatkan uang sebesar yang diharapkannya. Tapi, walaupun buku
yang diterbitkannya dicetak ulang berkali-kali, ia juga mendapat banyak pekerjaan
sampingan yang lebih menghasilkan. Menuliskan buku orang tanpa namanya
disebutkan, ternyata jauh lebih menguntungkan. Sedemikian menguntungkannya
hingga ia bisa membangun rumah seperti yang ia bayangkan.

Rumah itu beraroma cinta. Dengan kolam renang yang membelah di tengahnya.
Kedua putrinya sudah lebih banyak tinggal di rumah itu ketimbang di rumah ayahnya
yang sudah memiliki seorang putra. Sebelum mereka pulang dan saat mereka pulang
sekolah ada aroma roti panggang, sosis goreng, apa pun yang mereka minta. Nayla pun
membersihkan dan merawat rumah itu dengan segenap tenaga dan cinta. Nayla juga
hanya membuka laptopnya jika ada tawaran saja. Ia tak tahu mengapa rasanya lebih
mudah bahagia bersama kedua putrinya saja. Mengapa bahagia itu tidak Nayla
rasakan saat ia bersama kedua putri dan suaminya? Mengapa Nayla merasa bahagia
hanya saat berada di depan laptopnya seperti apa yang ia rasakan semasa kecil saat
menulis di buku catatannya yang dinamakan Rumah Nayla? Apakah hati Nayla sudah
sejak lama bercerai dengan laki-laki jauh sebelum mantan suaminya menceraikannya?

Nayla tetap tidak menemukan jawabannya. Walaupun waktu perlahan


menggerogoti usia dan kedua putrinya mulai asyik dengan dunianya yang remaja. Dan
aroma cinta perlahan padam sebesar apa pun Nayla berusaha menghidupkannya.
Mereka lebih senang berada di luar, atau jika tinggal di rumah mereka lebih memilih
diam di kamar. Lalu satu per satu dilamar. Yang tertinggal dari mereka hanyalah
sejumput rambut di saringan air ataupun sisir. Sepatu-sepatu kulit usang yang tak
pernah lagi mereka semir. Album foto. Kaos polo. Gincu yang hampir habis. Bantal
yang busanya sudah menipis. Penjepit bulu mata yang setengah patah. Hati Nayla yang
berdarah.

Dan stamina yang melemah.

Rasanya tak ada lagi daya untuk membersihkan dan merawat rumahnya itu.
Berbagai penyakit pun mulai diidapnya sejak menginjak umur empat puluh lima tahun
awal tahun lalu. Mulai dari kolesterol, hipertensi, hingga paru-paru. Tapi yang
terutama adalah tak adanya alasan ataupun motivasi. Tak ada desakan kebutuhan
bagi dirinya sendiri.

Lalu Nayla membuka kembali laptopnya yang tak bernama seperti rumah yang
ditinggalinya. Di laptop itu ia kembali membuat cerita. Tentang sebuah rumah
kontainer berlantai dua. Di bawahnya adalah tempat usaha, dan Nayla tinggal di
atasnya. Tempat itu menjual apa yang disukai dan tak akan merepotkannya. Kopi
bungkusan, bir kalengan, dan makanan yang hanya pada hari itu ia ingin masak saja.
Jika tak ada yang datang, paling tidak ia bisa menikmati dan mengonsumsi apa yang
ia sukai sendiri. Jika ada yang datang anggap saja ada yang menemani.

Di bagian itu jari Nayla berhenti mengetik. Menemani? Entah sudah berapa lama
Nayla sendiri. Tak berteman, tak juga terlibat asmara dengan laki-laki. Kebutuhan
seksual tak pernah terlalu berarti, karena Nayla sudah kehilangan birahi sejak
perkosaan yang ia alami.

Nayla menatap laptopnya. Sudah dua jam setelah Nayla membuka tempat usaha
barunya yang dinamai Rumah Nayla. Tapi tak ada satu pun yang sepertinya berminat
untuk singgah di sana. Entah nama apa yang tepat untuk tempat itu. Bar? Restoran?
Warung? Kontainer berukuran delapan kali dua puluh meter persegi itu hanya berisi
lima meja. Dua meja cukup besar untuk empat kursi, dan dua meja kecil untuk dua
kursi di sisi kiri dan kanannya. Ke empat meja itu terletak di depan dapur terbuka
dengan satu penggorengan dan kulkas berisi bir kalengan. Ruangan itu didominasi
warna putih dan abu-abu. Demikian pula dengan meja dan kursi di ruangan itu. Tapi
ada satu meja di sudut dekat jendela, tepat sebelum pintu masuk yang berwarna coklat
tua. Berisi satu kursi seolah menegaskan jika meja itu itu tak untuk berbagi dengan
siapa pun juga. Meja itu miliknya.

Pintu terbuka, membuyarkan perhatian Nayla. Yang membuka pintu terlihat ragu
karena tak ada siapa-siapa selain Nayla di dalamnya.

“Buka?”

Nayla menutup laptopnya.

Djenar Maesa Ayu, ibu dari dua orang putri, Banyu Bening, Bidari Maharani, dan
eyang putri dari Embun Kinnara ini, lahir di Jakarta 14 Januari 1973. Ia telah
menerbitkan enam kumpulan cerpen berjudul Mereka Bilang, Saya Monyet!, Jangan
Main-main (dengan Kelaminmu), Cerita Pendek tentang Cerita Cinta Pendek, 1
Perempuan 14 Laki-laki, T(w)ITIT!, SAIA dan sebuah novel berjudul Nayla. Belakangan
lebih dikenal sebagai sutradara film

Anda mungkin juga menyukai