***
Pagi buta Buk Inem harus segera bergegas berangkat ke sawah. Ia bekerja
membantu apapun yang dibutuhkan di persawahan milik orang-orang. Tidak
memilih tidak juga mengeluh. Sedang bowo juga harus segera berangkat ke
sekolah. Jarak rumah ke sekolah yang lumayan jauh mengharuskan bowo
menjadi pribadi tangguh dan pantang menyerah.
Dinda sendiri bertugas menjaga adik bungsunya sampai ibunya kembali.
“Hati-hati, bu!, hati-hati juga bang!”
“Iya, ibu pergi dulu ya!”
“Abang juga pergi, nanti kita main ya, sepulang abang dari sekolah?” sambung
bowo dan langsung berjalan setelah menggendong tas biru tua sedikit kusam
miliknya.
Setibanya bowo di sekolah, ia langsung disambut dengan hinaan teman
sekelas yang tidak menyukainya. Bukan hal baru bagi bowo yang kerap dihina.
“Jelek, lu, ha ha ha,” berdiri di depan pintu melihat sinis ke arah bowo.
“Bau ih, kapan sih mandinya dia?”
“Mungkin gak ada air kali ya?”
“Ha ha ha ha,” tawa mereka berbarengan.
“Beli dong, tas baru. Udah gak layak tuh!”.
Bowo hanya bersikap biasa tanpa menunjukkan sikap ketidaksukaannya
terhadap perkataan mereka. Ia lanjut berjalan menuju bangku miliknya. Berada
tepat pada bagian ujung belakang sebelah pintu masuk ke kelas.
“Kamu tidak apa kan bowo?” tanya alex.
“Tidak, biasalah. Mungkin aku akan heran kalau sehari aja mereka gak ngehina
aku.”
“Ya, kamu harusnya lawan saja, bowo!”
“Tidak, malah makin jadi nanti.”
“Ya, aku senang bisa berteman dengan kamu.”
***
Jam istirahat tiba. Iqbal datang dengan gerombolan gengnya yang ia namai
dengan geng anak beken. Wajahnya masam. Dan berjalan perlahan
menghampiri Bowo yang duduk pada tempatnya.
“Eh, aku dengar, hari ini kamu nggak mandi lagi,” kata Iqbal yang kemudian
dilanjutkan dengan tawa.
“Woi, lihat-lihat tu, Bowo mulai kesal, ha ha ha ha,” sambung teman Iqbal dan
dibarengi tawa yang makin kencang.
“Jangan begitu dong, dia kan teman kita juga!” Alex berdiri dengan sedikit
kesal.
“Wah, ada pahlawan, nih!” Iqbal mendekat pada Alex. Menunjuk muka Bowo.
“Orang ini sepertinya memang perlu diberi pelajaran.” kembali melihat Alex dan
melihat Bowo lagi, “Ya, kan anak janda?” tanyanya pada Bowo dengan wajah
tersenyum.
“Eh, jaga bicaramu!” jawab Bowo dengan marah.
“Kenapa?, bener kan, janda. Janda yang bekerja di sawah orang,” tegas Iqbal
kembali pada Bowo.
***
Usai menulis, ia lipat kertas tersebut hingga beberapa kali sampai akhirnya
menjadi sebuah perahu kertas yang kecil. Kemudian ia berdiri dan lebih
mendekat ke bibir sungai. Perahu itu ia hanyutkan. Entah berlabuh di mana,
entah dibaca oleh siapa. tapi ia berharap ibunyalah yang akan membacanya.
Setelah cukup jauh perahu itu terbawa arus. Bowo kembali duduk di sebalah
Alex.
Sekian