Anda di halaman 1dari 6

SEPUCUK SURAT KERINDUAN

Oleh: Praka Lesmana

Nun jauh di sebuah perkampungan, tinggallah seorang janda yang menghidupi


ketiga anaknya. Perkampungan sepi penduduk dengan alam yang masih
terjaga keindahannya. Serta sungai yang mengalir tidak terlalu deras
menjadikan siapa saja dapat melihat beberapa ikan yang berenang ke sana
kemari. Rumput hijau bak permadani menghampar luas di sebalik bukit
belakang kampung yang turut memanjakan mata bagi siapa saja yang melihat.
“Bowo, tolong bawakan kayu ini!”
“Iya, bu.” bergegas mengangkat kayu yang tidak terlalu banyak itu.
“Cepat. Kita segera pulang!” pintanya dengan khawatir hari akan segera hujan.
Mereka berjalan pulang melalui jalan setapak dengan sedikit menyibakkan
semak belukar yang kadang pada sebagian rantingnya sengaja menutupi jalan.
Tak berapa lama kemudian tampaklah peraduan mereka, rumah mungil
dengan segala cerita serta sejarah yang tidak bisa digantikan oleh apapun.
Tidak jelek tidak juga terlalu bagus. Papan-papan yang tersusun siri dan tidak
lagi berwarna juga teratur pada bagiannya, jelas memberitahukan seberapa
lama rumah itu sekarang. Atap yang pada bagiannya pun sudah tak lagi utuh
serta pintu yang kerap menjerit tiap kali hendak masuk dan keluar rumah.
“Ibu…!” sapa dinda dengan riang sembari menggendong adiknya.
“Sudah mandi kalian?” tanyanya.
“Belum, rehan mau mandi bareng ibu, katanya,” jawab dinda sedikit kesal.
“Bu, di sini saja ya, kayunya?” tanya bowo.
“Ya, sekalian itu punya ibu, ditumpuk, ya!”
“Iya. Sekalian bang nanti kutip sampah ya!” canda dinda menirukan gaya bicara
ibunya.
“Enak saja, nih…nih…nih… yang dikutip,” sambil memegang kepala dinda.
Mereka adalah keluarga bahagia yang sederhana. Bowo merupakan anak
sulung dari tiga bersaudara. Ia masih duduk di bangku sekolah menengah
pertama di sebuah kampung yang berada tepat di sebelah kampungnya.
Sedangkan dinda (adiknya) adalah anak kedua yang kini tak lagi bersekolah
dengan alasan ekonomi dan menjaga adiknya (rehan) yang berumur 4 tahun.
Keputusan berhenti sekolah sengaja ia ambil mengingat ibunya yang harus
bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Sepucuk Surat Kerinduan


Sementara itu, malam telah bertambah kelam. Suara-suara jangkrik
bersahutan dan bulan di atas langit perkampungan semakin tertutup awan
hitam. Kegelapan memekat di sepanjang perkampungan. Kepekatan malam
yang membuat tidak seorang pun berani lagi untuk berjalan. Hingga hangatnya
keluarga kecil tersebut jatuh terlelap pada kesunyian sepi yang tiap malam
mereka rasakan.

***
Pagi buta Buk Inem harus segera bergegas berangkat ke sawah. Ia bekerja
membantu apapun yang dibutuhkan di persawahan milik orang-orang. Tidak
memilih tidak juga mengeluh. Sedang bowo juga harus segera berangkat ke
sekolah. Jarak rumah ke sekolah yang lumayan jauh mengharuskan bowo
menjadi pribadi tangguh dan pantang menyerah.
Dinda sendiri bertugas menjaga adik bungsunya sampai ibunya kembali.
“Hati-hati, bu!, hati-hati juga bang!”
“Iya, ibu pergi dulu ya!”
“Abang juga pergi, nanti kita main ya, sepulang abang dari sekolah?” sambung
bowo dan langsung berjalan setelah menggendong tas biru tua sedikit kusam
miliknya.
Setibanya bowo di sekolah, ia langsung disambut dengan hinaan teman
sekelas yang tidak menyukainya. Bukan hal baru bagi bowo yang kerap dihina.
“Jelek, lu, ha ha ha,” berdiri di depan pintu melihat sinis ke arah bowo.
“Bau ih, kapan sih mandinya dia?”
“Mungkin gak ada air kali ya?”
“Ha ha ha ha,” tawa mereka berbarengan.
“Beli dong, tas baru. Udah gak layak tuh!”.
Bowo hanya bersikap biasa tanpa menunjukkan sikap ketidaksukaannya
terhadap perkataan mereka. Ia lanjut berjalan menuju bangku miliknya. Berada
tepat pada bagian ujung belakang sebelah pintu masuk ke kelas.
“Kamu tidak apa kan bowo?” tanya alex.
“Tidak, biasalah. Mungkin aku akan heran kalau sehari aja mereka gak ngehina
aku.”
“Ya, kamu harusnya lawan saja, bowo!”
“Tidak, malah makin jadi nanti.”
“Ya, aku senang bisa berteman dengan kamu.”

Sepucuk Surat Kerinduan


Alex, yang bernama lengkap Alexander itu merupakan teman sekaligus sahabat
bowo, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Alex yang sebelumnya tinggal
bersama ayahnya di Kota Birmingham atau yang lebih dikenal dengan nama
pendeknya Brum wilayah West Midlands, Inggris itu, memutuskan untuk
kembali tinggal bersama ibunya di Indonesia dua tahun lalu, hingga ia
berteman dengan bowo. Keluarga alex broken home sejak ia berumur 9 tahun.
“Kamu tahu, semenjak aku berteman denganmu, banyak hal yang membuatku
sadar. Sekalipun aku gak mengerti mengapa kamu tetap sabar menghadapi
mereka yang selalu mengolok-olok,” tambah alex.
“Tidak ada alasan bagiku untuk membalas mereka,” jawab bowo. Mendongak
keluar jendela, menatap ke arah kantor guru. Berusaha mengusir perasaan
sesak yang tiba-tiba menyelimuti hati. “Sudahlah, kita lupakan kejadian tadi.
Toh juga tiap hari kamu melihat dan mendengar sendiri mereka selalu begitu.
Jadi abaikan saja.”
Guru pun masuk ke kelas. Pelajaran dimulai.
Alex berbisik kepada bowo dengan ragu-ragu cemas jika guru mengetahuinya,
“Nanti pulang sekolah, kita main ya?”

***

Jam istirahat tiba. Iqbal datang dengan gerombolan gengnya yang ia namai
dengan geng anak beken. Wajahnya masam. Dan berjalan perlahan
menghampiri Bowo yang duduk pada tempatnya.
“Eh, aku dengar, hari ini kamu nggak mandi lagi,” kata Iqbal yang kemudian
dilanjutkan dengan tawa.
“Woi, lihat-lihat tu, Bowo mulai kesal, ha ha ha ha,” sambung teman Iqbal dan
dibarengi tawa yang makin kencang.
“Jangan begitu dong, dia kan teman kita juga!” Alex berdiri dengan sedikit
kesal.
“Wah, ada pahlawan, nih!” Iqbal mendekat pada Alex. Menunjuk muka Bowo.
“Orang ini sepertinya memang perlu diberi pelajaran.” kembali melihat Alex dan
melihat Bowo lagi, “Ya, kan anak janda?” tanyanya pada Bowo dengan wajah
tersenyum.
“Eh, jaga bicaramu!” jawab Bowo dengan marah.
“Kenapa?, bener kan, janda. Janda yang bekerja di sawah orang,” tegas Iqbal
kembali pada Bowo.

Sepucuk Surat Kerinduan


Mendengar itu. Secara spontan Bowo mendorong Iqbal dengan kuat, hingga ia
terjatuh. Bagian kepala belakangnya mengenai ujung meja. Ia sempat merintih
kesakitan sebelum tak sadarkan diri. Teman-teman yang lainnya teriak
menyalahkan Bowo. Sontak kelas menjadi ramai setelah para guru juga melihat
keadaan yang terjadi di dalam kelas.
“Apa yang harus kulakukan?, dan apa yang sudah kulakukan?” tanya Bowo
pada Alex.
Bowo berdiri pada tempatnya, menatap arah Iqbal yang sedang tak sadarkan
diri. Wajahnya sendu dan gemetar perlahan setelah beberapa menit berlalu.
“Kenapa dia bisa seperti ini?” tanya seorang guru yang sedang berusaha
menyadarkan Iqbal.
“Bowo, bu!” teriak teman Iqbal berbarengan.
“Apa yang sudah aku lakukan? Kenapa denganku?” Bowo bertanya lagi, kali ini
seperti bertanya kosong dalam hatinya.
Bowo hanya bisa terdiam melihat Iqbal dibawa ke rumah sakit.
Hari ini. Pukul sebelas siang adalah hari yang tak mungkin dilupakan oleh Bowo
atas kejadian yang menimpanya. Satu pelajaran besar yang lagi-lagi harus
dipahami Bowo ialah kesabaran tak pernah berbatas, jika kasabaran masih
menyisakan batas, belumlah dapat dikatakan sabar.

***

Tersungkurlah batin Ibunya ketika pihak sekolah memberitahukan kejadian


tersebut. Bowo yang saat itu juga turut mendengarkan lamat-lamat
perbincangan mereka, menghela napas kekhawatiran.
“Baiklah bila memang itu yang terjadi, saya akan bersedia bertanggung jawab.
Satu permintaan saya kepada sekolah, tolong jangan keluarkan anak saya dari
sekolah, saya mau dia tetap sekolah.” Ucap ibunya.
Sekejap, suasana tegang saat perbicangan sore itu menjadi lebih tenang.
Tanpa ia tahu bahwa ibunya harus mempertanggungjawabkan perbuatan Bowo
yang tanpa sengaja itu.
Senja itu, ibunya pamit pada Bowo untuk pergi sebentar menyelesaikan
masalah katanya. Bowo yang masih bingung tentang perbincangan mereka tadi
bersikap biasa saja dan yakin bahwa ibunya akan baik-baik saja.
Beberapa menit beberapa jam, Bowo terus menunggu ibunya yang tak kunjung
kembali.

Sepucuk Surat Kerinduan


Hingga malam semakin kelam, dan sunyi yang semakin pekat. Waktu berganti
hingga keesokan pagi pun belum juga kembali. Ia memutuskan sekolah.
Padahal ia masih menyimpan malu atas kejadian kemarin. Seolah tak pernah
tahu, bergegas ia segera berangkat.
“Bowo!” panggil Alex dari jauh yang segera mendekat ke arah Bowo.
“Ada apa?”
“Kamu belum tahu?”
“Tahu apa?” tanya Bowo bingung.
“Iqbal, siang kemarin, setelah dibawa ke rumah sakit, ternyata meninggal. Kata
mereka benturan yang kena di kepalanya itu sebabnya,” Alex mengambil
napas.
Bowo kembali diam.
Sepulangnya dari sekolah, Bowo dan Alex duduk di pinggir sungai yang tak jauh
dari rumahnya. senja yang akan berakhir. Menyisakan rindu dan sedih. Di
bawah pohon yang tidak terlalu besar dan juga kecil itu.
“Kamu tak akan pernah tahu, apa yang sedang aku rasakan saat ini, Lex.
Sekalipun kamu tahu, kamu tak akan mengerti,” kata Bowo sambil menulis di
selembar kertas.

“Untuk ibu tersayang:

Ibu cepat pulang. Kami sangat


rindu dengan ibu. Kami ingin
seperti dulu. kumpul bersama.
Bu. Adik pada rindu dengan ibu.
Ibu di mana sekarang? Cepat
pulang, bu.

Bowo kangen ibu”.

Usai menulis, ia lipat kertas tersebut hingga beberapa kali sampai akhirnya
menjadi sebuah perahu kertas yang kecil. Kemudian ia berdiri dan lebih
mendekat ke bibir sungai. Perahu itu ia hanyutkan. Entah berlabuh di mana,
entah dibaca oleh siapa. tapi ia berharap ibunyalah yang akan membacanya.
Setelah cukup jauh perahu itu terbawa arus. Bowo kembali duduk di sebalah
Alex.

Sepucuk Surat Kerinduan


“Tidak ada kesedihan yang tidak menyisakan tangis,” kata Alex sambil
melempar batu kecil ke tengah sungai.
“Aku percaya, ibuku akan baik-baik saja. Meski aku tak tahu di mana ia
sekarang.”
Bowo ikut melemparkan batu kecil yang menjadi tanda obrolan berakhir di
senja itu.
Mereka berdiri dan kembali berjalan pulang.

beberapa bulan berlalu, Bowo yang ditemani Alex selalu menyempatkan duduk
sejenak di pinggir sungai tersebut untuk sekadar menghanyutkan pesan
perahu kertas miliknya. Sore itu masih sama seperti biasanya. Di bawah lagit
cerah, mereka menghanyutkan kerinduan. Di sebuah pinggiran sungai yang
terabaikan dan dipenuhi rumput serta beberapa tanaman liar.
“Entah mengapa senja ini engkau kembali buram, sedang dahulu kau bahagia,
walau hidup dengan sederhana. maafkan gurumu ini, Bowo. sekarang pun
keberanianku belum juga terkumpul untuk mengatakan kepadanya, tentang
ibunya yang kini di penjara.” Ucap seorang guru dalam hati yang selalu
mengintip Bowo dan Alex di sebalik pohon tua tak jauh dari lokasi mereka
duduk.
Sejak saat itulah Bowo menjadi tulang punggung bagi kedua adiknya. Ia
lakukan pekerjaan apapun yang bisa ia lakukan. Sampai bowo sendiri rela
untuk beberapa kali tidak sekolah karena harus bekerja pada pagi buta.

Sekian

Sepucuk Surat Kerinduan

Anda mungkin juga menyukai