Anda di halaman 1dari 5

Nama saya Andre Febi alfian bisa dipanggil Andre , Saya anak kedua dari 2 saudara yang

pertama kakak perempuan saya , Saya lahir di Jombang pada tanggal 08 Januari 2003 , Saya tinggal
bersama Ibu dan Ayah saya di Sumobito , 2005 Ibu dan Ayah saya pindah rumah Tepatnya di
Ds,Sawiji Dsn,Beji Kec,Jogoroto .

Saya mulai pendidikan pada tahun 2007 di TK Sawiji , Setelah saya 2 tahun Sekolah di TK kemudian
saya melanjutkan sekolah di SDN SAWIJI Jogoroto Jombang.

Disuatu desa yang sering dilanda banjir di sebuah sungai yang dulunya bersih, tapi
belakangan ini warga desa tersebut selalu membuang sampah ke sungai tersebut, sekarang sungai
tersebut menjadi sangat kotor. Pada suatu hari ada seorang ibu – ibu yang sedang menyapu, ibu
tersebut bernama ibu Eli. Dia adalah salah satu warga di desa tersebut. “duh, sampah dirumahku
sudah menumpuk. Dimana lagi ya saya membuang semua sampah ini?” ujar ibu eli kebingungan.
Datanglah ibu Ani yang merupakan tetangga ibu eli. “sedang memikirkan apa bu?” tanya ibu ani.
“Begini, sampah dirumahku makin menumpuk tapi aku tidak tahu dimana aku harus membuang
semua sampah ini?” jawab ibu eli yang kebingungan. “Sampah dirumah saya juga menumpuk jadi
dimana ya kita membuang sampah?” seru bu ani yang juga kebingungan dengan masalah yang sama.

Tiba – Tiba Datanglah 2 orang bapak – bapak yang kebetulan lewat dan mendengar
percakapan kedua ibu- ibu tersebut, mereka adalah bapak andi dan bapak budi. “Ibu – ibu sedang
ngobrolin apa sih?, kok kayak orang bingung gitu” ujar bapak andi. ”ini kami lagi ngobrolin sampah –
sampah yang dirumah kami . Sampah – sampah ini sudah menumpuk dan kami bingung
membuangnya dimana? Sedangkan di desa ini kan tidak ada TPS” ucap ibu eli. “istri saya di rumah
juga sedang ngomel ngomel tentang masalah ini” kata bapak budi. “ini salah pemerintah, kenapa di
desa kita tidak dibuat TPS?” ujar bapak andi sedikit marah. “Tenang pak andi, bagaimana kalau kita
buang sampahnya di sungai saja?” bapak budi memberi ide. “Ide bagus pak budi! Sungai tidak ada
yang punya ini” jawab bu eli semringah. “Saya setuju” jawab bu ani mengiyakan perkataan bu eli.

Akhirnya warga desa pun sepakat untuk membuang sampah ke sungai. Beberapa bulan
kemudian, sampah disungai tersebut makin menumpuk akhirnya lambat laun sungai tersebut penuh
dengan sampah. Puncaknya pada musim hujan terjadi banjir di desa tersebut. Akan tetapi banjir
tersebut tidak memakan korban karena masyarakat segera dievakuasi, setelah banjir berlalu para
tokoh masyarakat di desa tersebut diskusi tentang bencana banjir di desanya. Adalah Anvi, seorang
warga yang juga merupakan aktivis lingkungan di desa tersebut memberikan tanggapan.“ayo warga
segera kita mengungsi karena saya khawatir banjir akan terjadi karena hujan lebat ini” ujaar anvi.
Upaya anvi pun berhasil, dia berhasil mengevakuasi warga dan membuat bencana tersebut tidak
memakan korban jiwa sama sekali.Namun ia tetap kebingungan mengapa desanya bisa terjadi
bencana banjir, “Gimana ini desa kita udah terendam banjir?!”, “sepertinya para warga membuat
aliran sungai terhambat akibaat sampah rumah tangga yang mereka buang di sungai” ucap Nari,
seorang pemuda di desa tersebut. “tidak seharusnya warga tidak membuang sampah di sungai ini!”
ucap Madi, teman nari di desa tersebut.“Bagaimana kalau kita laporkan hal ini ke pak lurah?” kata
anvi. “Ayo, kita laporkan!” jawab madi dan nari serentak.

Sesampainya mereka bertiga di kantor pak lurah, mereka langsung mengadukan hal
tersebut.”Permisi pak? Bolehkah kami masuk?” kata anvi mewakili kedua temannya.”Silahkan
masuk, ada perlu apa kalian bertiga datang kemari?” jawab pak lurah. “Begini pak, di desa kami
sudah terjadi banjir & ini gara – gara ulah warga membuang sampah ke sungai karena tidak ada tps!”
ucap madi dengan nada tinggi. “Bagaimana tanggapan bapak mengenai hal ini?” tanya anvi. ”Maaf
ini memang salah saya karena tidak membuat tps. Baiklah, setelah banjir surut saya akan membuat
tps. Tolong beritahu kepada warga.” Kata pak lurah menjawab pertanyaan anvi. ”Terima kasih atas
kerjasamanya pak, kami mohon pamit” kata anvi. Tugas mereka pun selesai setelah berhasil
bersosialisasi dengan pak lurah tersebut.

Sesampainya di tempat pengungsian mereka bertiga pun langsung memberitahu apa yang
mereka bicarakan dengan pak lurah. “Bapak – bapak, ibu – ibu, saya sudah bertemu pak lurah & ia
sudah meminta maaf & ia akan membuat tps setelah banjir surut” ucap madi memberi tahu para
warga di desanya. “Hore!!!!!!!!!!” teriak para warga yang senang dan antusias. Tiba – tiba saja,
bapak budi berdiri di depan para warga dengan muka lesu seraya mengucapkan “Para warga
sekalian, saya meminta maaf, ini memang salah saya, karena menyuruh warga warga untuk
membuang sampah di sungai”.Para warga sempat tersulut emosinya mendengar perkataan pak budi
namun anvi pun mencoba mendinginkan suasana. “Sudah, sudah, ini semua sudah berlalu,ayo kita
bangun desa kita kembali!” kata anvi sembari mendinginkan suasana. Akhirnya para warga
bergotong royong membenahi desa mereka & mereka tertib menjaga lingkungan & membuang
sampah ke TPS.

TSUNAMI PALU

Namaku Lita aku tinggal di sulawesi bersama keluargaku yang terdiri dari ayah,ibu,adik.Aku
bersekolah di SMA Ternama di sulawesi dengan mengambil jurusan IPA.Tempat tinggal ku berada
dekat pantai aku sadar bahwatinggal dekat pantai itu penuh resikonya seperti tsunami,aku takut
melihat tsunami aceh tahun 2004 dengan adanya peristiwa tersebut membuat aku semakin waspada
dan siaga terhadap tsunami.

Nama ayah ku Ahmad,ayahku bekerja sebagai guru sekolah sd di sulawesi selatan.Riwyat


pendidikannya Sekolah Dasar putra bangsa,Sekolah Menengah Pertama bina bangsa,Sekolah
Menengah Atas Nusantara kemudian universitas ternama di sulawesi selatan.

Nama Ibu ku Fatimah,ibuku bekerja sebagai ibu rumah tangga.Riwayat pendidikannya Sekolah Dasar
dan kemudian hanya sampai sekolah menengah pertama.Awal pertemuan ayah dan ibu ku ketika
ayah sedang mencari pekerjaan kemudian bertemu ibuku,ayahku merasa tertarik kemudian sering
chaatingan lama kelamaan ayahku melamar ibuku menyetujui.Akhirnya mereka menikah.

Nama adikku Rahmat,berumur 10 tahun bersekolah di SD Negeri Suka Maju,adikku memiliki hoby
bermain bola setiap sore bersama teman – temannya di lapangan desa kami

Jumat sore, 29 September 2018, sekitar jam 5 sore setelah shalat ashar aku tidur lagi, 10 menit
berselang kemudian aku merasakan seperti ada yang menggoyangkan tempat tidurku, dan aku
mengira itu ulah adikku yang berusaha membangunkan aku karena kami biasanya jam 5 sore kami
tidak dikasih tidur lagi karena ibu aku menyuruh untuk segera mandi. Ternyata hentakan suara
tempat tidur itu bukanlah ulah adikku melainkan gempa, tanpa sadar aku malah ngomong sama
adikku “dek udahlaah jangan ganggu orang tidur lima menit lagi aku bangun “, dan dengan
semangatnya adikku menjawab “ enak aja tuduh orang sembarang “, mungkin gempa kak kata dia
lagi, ah gag mungkin itu gempa dan dengan semangatnya aku menarik selimutku yang tebal dan
menutup seluruh tubuhku tanpa peduli apapun.
Jam pun menunjukkan angka17 : 30WIB aku dan adikku menonton film kartun naruto.Pada saat itu
umurku 16 tahun, kelas 11 SMA, dan adikku berusia 9 tahun yang masih duduk di bangku sekolah
dasar kelas 4.Ketika sedang seru-serunya nonton naruto,tiba-tiba ibuku berteriak dengan kerasnya
gempaaa gempa neuk (nak)gempa dan berlari kearah kami, kamipun buru-buru keluar tanpa
mematikan televisi dan masih lengkap dengan piring ditangan, aku sama sekali tak menyadari itu
sangking syoknya. Pada saat itu ayahku sedang tak ada di rumah, Dia berada di Palu untuk
mengantar adiknya berobat yang kebetulan bibi. Di luar, kami duduk di depan pagar dekat jalan.
Rasanya gempa waktu itu kencang sekali, sampai-sampai pohon-pohon yang ada di dekat rumah
rasanya sujud semua. Alhamdulillah setelah beberapa menit kemudian gempa berhenti. Kemudian
aku, adik dan ibuku masuk lagi kedalam rumah, yaa seperti biasa setelah gempa kami melihat-lihat
keadaan dalam rumah, apa ada yang roboh atau retak semacam itulaah.

Lima menit berselang ada suara-suara orang yang menjerit (air laut udah naik, air laut udah penuh)
aku yang tidak pernah mendengar ada air laut yang naik ke darat, akupun langsung bilang sama
ibuku. Waktu kami keluar ternyata air udah penuh di halaman rumahku, orang-orang juga udah
berkumpul di pos jaga untuk melihat apakah benar air laut naik ke darat. Tanpa berpikir panjang lagi
ibuku menarik aku dan adikku untuk pergi ke tempat yang lebih tinggi, karena rumahku dekat
sungai.melihat orang yang sudah kalang kabut, ada yang menangis, menjerit dan berlari tanpa
tujuan yang pasti, kamipun lari juga, yang ibuku tanpa alas kaki berlari dengan semangatnya kedua
tangannya memegang kami erat-erat. Aku yang tidak tahan melihat kaki ibuku yang kedinginan .
Kemudian berhenti dan berkata kepadanya “pake sandal aku aja” ibuku langsung menjawab tanpa
berpikir dua kali, pakek aja nak, mak tidak apa-apa tidak apa berlari tanpa alas kaki asalkan anak
mak selamat, air mata yang ntah datang dari mana tiba-tiba jatuh dan membasahi pipiku, setelah
melihat aku mengeluarkan air mata, ibuku malah bertanya kenapa kamu menangis, apa ada yang
salah dengan ucapan mak? Aku jawab, tidak mak, dan aku juga mengancam ibuku sambil berkata
kalo mak tidak mau pakek sendal ini aku gag mau lari lagi dan lebih baik aku mati dibawa air laut,
setelah mendengar jawabanku yang keluar dari mulut aku, ibuku terkejut dan dia cepat-cepat
memakai sendal yang aku kasih.

Di dalam perjalanan, kami semua terus dan tak henti-hentinya menhentinya menyebutkan kalimah2
Allah. Dalam hati kami terus bertanya-tanya “Apakah ini KIAMAT yaa Allah?” Semua orang lalu-lalang
di jalan, banyak orang-orang yang berlari-lari tanpa tujuan, ada juga yang mengemudikan kendaraan
dengan sekencang-kencangnya. Banyak sekali kecelakaan di jalan pada saat itu.

Setelah sepuluh menit berlari akhirnya kami sampai di tenda pengungsian. Kami sekeluarga
disambut dengan baik dan dikasih makan. Waktu melihat makanan yang disediakan aku merasa
sudah kenyang walaupun perut sangat lapar, mau makanpun tidak selera lagi. Pada saat kami
makan, tiba-tiba ada seorang perempuan yang berumur sekitar 20 tahunan datang menghampiri
kami ternyata dia adalah sepupu ibuku namanya edoh yang datang dengan sengaja untuk melihat
keadaan kami. Aku memanggil dia dengan sebutan bi edoh.

Setelah mendengar dari orang-orang bahwa sudah aman, aku dan bi oedohkembali lagi ke rumah
untuk mengambil barang yang diperlukan seperti pakaian uang dan berkas atau dokumen penting,
seperti ijazah, surat tanah, raport dan lainnya. Ketika di pertengahan jalan menuju rumahku ternya
masih ada air yang tergenang dijalan sekitar 1 meter sehingga kami tidak bisa melewatinya dengan
mengenderai sepeda motor, terpaksa kami turun dari motor dan berjalan kaki menuju kerumah.

Ketika sampai dirumah suara telepon tiada henti berdering. Kring-kriiing kring. Mungkin ada lima kali
telepon itu berdering tapi aku tidak diangkat, malah sibuk dengan mencari barang-barang yang
diperlukan ibu aku. Kring, kring, kring-kriiing, suara telepon kembali berdering tak sanggup aku
dengar kemudian aku angkat, “Hallo hallo, siapa ini baru terdengar satu kata Hallo diseberang sana
ehh tau-tau udah putus jaringan, ternyata yang menelepon itu kakak aku. Kakakku dinda dia sedang
melanjutkan kuliah di universitas ternama mengambil jurusan arkeologi.Sore itu kami tak pulang ke
rumah.

Tak Secepat Petir Menyambar

Aku berjalan ke tempat yang dominan berwarna hijau di depan sana. Warna hijau pepohonan
seakan meneduhkankanku yang kepanasan dengan terik matahari. Tak butuh waktu lama untuk
sampai di kursi kayu yang sudah tua dengan cat yang mulai pudar. Memposisikan tubuh senyaman
mungkin. Melupakan hari-hariku yang sibuk dengan pertengkaran bahkan pertengkaran batin.

Aku melirik arloji di tanganku yang menunjukan pukul 15:17. Aku sudah duduk cukup lama di kursi
kayu itu. Tidak hanya terduduk dengan mata yang memandang banyak motor dan mobil yang berlalu
lalang. Tapi headset pun terpasang di telingaku, dengan beberapa lagu one direction yang terputar.
Aku sungguh menikmati suasana seperti ini, tapi aku harus pulang ke rumahku.

Masalah yang bagiku besar membuat aku terjaga sepanjang malam. Sudah kumatikan lampu kamar
juga sudah kunyalakan musik melow di kamarku tapi tetap saja mata ini tak ingin tertutup. Otakku
masih saja berputar mencari ide untuk memperbaiki semuanya, walau aku tahu semuanya sudah
berakhir. Namun aku tetap ingin Memperbaiki masalah yang menyulitkanku di sekolah juga di
rumahku sendiri, karena nyatanya aku tak bisa tidur memikirkan masalah itu. Masalahnya adalah aku
memutuskan hubungan persahabatan karena sahabatku menginginkan ilalang tumbuh di hatiku ini,
tapi itu tak mungkin terjadi. Bilapun bisa terjadi butuh waktu lama untuk menumbuhkannya.

Aku memilih membuat kesan menyenangkan dengan mencari sosok sahabat. Tak secepat petir
menyambar aku mendapatkan sosok sahabat. Tak secepat petir menyambar juga aku menumbuhkan
ilalang yang berarti cinta untuk sahabatku.

Hari itu hari dimana masalah dimulai. Aku dan nala sahabatku sedang duduk di koridor kelas. Nala
menatap hujan yang membesar tanpa bersuara, namun bibirnya merekah tanpa sebab.

“Kenapa lo senyum?” Tanyaku yang membuyarkan lamunannya.

“Enggak, gue kepikiran dia” jawabnya

“oh cowok yang lo suka, yang mana sih cowoknya? Cerita kali nal!”

“Enggak ah, lo juga tau sama dia. Gue mah Cinta dalam diem aja fi” jawabnya yang tersenyum
“hemmm, terserah lo aja deh. Sukur kalo mau cerita biar gue gak penasaran. Tapi gue yakin Kalau
dia yang lo maksud emang suka sama lo.” Jawabku yang juga tersenyum padanya.

Aku dan nala berjalan menuju tempat parkir. Kami menghabiskan waktu cukup lama menunggu
hujan yang besar. Di tengah perjalanan nala berhenti berjalan. Menyadari hal itu, aku pun berhenti
lalu bertanya “kenapa berhenti?”

“Bentar fi, lo yakin cowok itu bakalan suka sama gue?” Tanyanya padaku.

“Yap gue yakin 100 persen”

Nala hanya terdiam mendengar kata-kataku. Langkahnya kembali ia teruskan. “Bener lo gak salah?”
Tanyanya tanpa menghentikan langkahnya

“yap insyaallah benar” jawabku

“kalo gue mengutarakan itu, lo yakin dia bakal bilang hal yang sama?” Tanyanya

“pasti nal” jawbaku yang menekankan pada pengucapan kata “pasti”. Nala kembali terdiam lalu
beberapa saat dia kembali berkata “Rafi, lo orangnya!” katanya yang menghentikan kembali
langkahnya.

Aku terdiam mendengar kata pelan dari mulut nala.

“Lo juga suka kan sama gue?” tanyanya. Aku tak mengeluarkan suara sedikitpun hanya melihat
wajahnya yang menatapku. Namun suatu isyarat sudah kutunjukan padanya. Aku menggelengkan
kepalaku membuat dia menatapku dengan mata berkaca-kaca lalu meneruskan langkahnya.

“Tunggu nal!” ucapku kembali berjalan disampingnya.

“Cinta itu tumbuh subur seperti ilalang, namun jika kau tak mengharapkannya aku akan memotong
ilalang itu” katanya pelan dengan berjalan.

“Hentikan langkahmu, kita bicara baik-baik” kataku yang mengahalangi langkahnya yang pelan..

Anda mungkin juga menyukai