Anda di halaman 1dari 4

Cerpen Tragedi Tsunami Aceh

Mengenang Tragedi Gempa dan Tsunami di Aceh beberapa tahun silam yang tidak
pernah terlupakan dalam hidup ku
Minggu pagi, tepat nya 26 Desember 2004, pada hari minggu biasa nya pada hari
minggu saya selalu bangun lebih cepat karna ingin nonton tv dan kemudian aku
tiduran lagi di depan tv sambil menonton film kartun kesukaanku, bersama adik - adik
saya. Pada saat itu umurku masih 9 tahun, kelas 2 SMP. Ketika sedang asyik
menonton, tiba-tiba ibuku keluar dari kamarnya dan berteriak, “ehh, gempa, GEMPA
naakk!!” ibu dan ayah langsung membawa kami keluar rumah.
Kami pun langsung berlari keluar rumah. Pada waktu itu ayahku sedang tak ada di
rumah. Di luar, kami duduk di depan pagar dekat jalan. Rasanya gempa waktu itu
kencang sekali, sampai-sampai aku tidak sanggup untuk berdiri lagi pohon-pohon
yang ada di dekat rumah rasanya sujud semua, air di dalam got pun sampai keluar
karena kuatnya guncangan gempa. Bahkan ada beberapa orang yang ketika gempa
lewat di jalan naik motor pun jatuh terbanting dari motornya begitu dahsyatnya
gempa waktu itu.
Itu pertama kalinya bagiku merasakan gempa bumi yang begitu kuat. Waktu itu yang
bisa terucap dari mulut kami hanya kalimat-kalimat Allah tak henti-hentinya. Takut,
sangat takut, rasanya seakan - akan kiamat telah datang menghampiri dunia ini
sungguh kami semua tidak lagi memikirkan harta benda kami tapi yang kami pikirkan
hanyalah satu yaitu kematian, nauzubillah.
Alhamdulillah setelah beberapa menit kemudian gempa berhenti. Kami pun masuk ke
rumah untuk melihat-lihat keadaan di dalam rumah. Ayahku pulang. Alhamdulillah
lagi, tak ada kerusakan yang parah di rumah, paling hanya tembok yang retak-retak
sedikit. Karena kami belum makan pagi, ibuku membuatkan teh manis hangat untuk
kami. Ayahku pergi lagi, ingin membelikan kue untuk kami, katanya.
Tidak lama setelah itu gempa lagi. kami pun keluar lagi dari rumah. Di luar aku
melihat tetangga sebelah juga semua keluar ke jalan. Gempa berhenti.
Tiba-tiba ibu tetangga teriak dan menunjuk ke arah laut, “Jeh jeh JEH!! (jeh=itu,
bahasa Aceh yang arti nya itu-itu dan itu !!!). Kami pun melihat ke arah yang di
tunjuk ibu itu. Dari jauh aku melihat seperti ada asap hitam yang tinggi dan tebal.
Asap itu rasanya berjalan ke arah kami, makin lama asapnya makin tinggi sampai
pohon kelapa saja lewat. Tidak lama setelah itu asapnya turun dan merobohkan
semua bangunan di depannya. Setelah itu aku baru sadar kalau itu bukan asap, itu
gelombang air laut besar, TSUNAMI namanya. Baru saja aku pelajari seminggu yang
lalu pada saat pelajaran Geografi di sekolah. Sungguh mengerikan.
Melihat orang dari arah pantai ada banyak yang berlarian, kami pun ikut lari. Aku
lari paling depan, di belakang ada ibu ku dan juga adikku. Ayahku entah dimana. Aku
berlari sambil terus melihat ke belakang dan berteriak pada ibuku, “maaak, ayo mak,
cepat maaak!!”
Belum jauh berlari, ada seorang bapak, aku kenal dia, Dia mengajak ku berlari
bersama dan menyuruh ku melepas sendalku. Gemuruh air mulai terdengar dari
belakang. Terdengar juga suara percikan listrik dari kabel-kabel listrik di samping
jalan yang mulai putus dan tiangnya roboh satu persatu. Ku lihat di got dan sawah-
sawah di samping jalan sudah hampir penuh dengan air. Aku takut sekali. Aku pun
tidak sadar lagi waktu berlari seakan-akan apa yang ada didepan ku semuanya aku
injak dan aku terobos begitu takutnya diri aku disaat air yang begitu besar mengejar-
ngejar di belakang.
Setelah beberapa meter berlari, aku melihat ayahku datang naik motor, dan setelah
ayahku dekat, aku langsung naik ke motornya. Ayah bertanya, “Mana mama?” aku
melihat ke belakang mencari di mana ibuku dan juga adikku, “Itu” tunjuk ku ke
belakang. Ibuku seperti tak kuat lagi berlari, tapi Alhamdulillah sampai juga di
tempat kami. Lalu kami semua pergi ke arah dataran yang lebih tinggi dengan sepeda
motor. Bayangkan saja 1 motor dinaiki oleh 5 orang aku, ibu, ayah dan dua orang
adikku, tak pernah hal seperti ini kami lakukan sebelumnya tapi pada saat itu tak ada
kata kemungkinan untuk tidak naik motor berlima.
Di dalam perjalanan, kami semua terus dan tak henti-hentinya menyebutkan kalimah2
Allah. Dalam hati kami terus bertanya-tanya “Apakah ini KIAMAT yaa Allah?”
Semua orang lalu-lalang di jalan, banyak orang-orang yang berlari-lari tanpa
tujuan, ada juga yang mengemudikan kendaraan dengan sekencang-kencangnya.
Banyak sekali kecelakaan di jalan pada saat itu tapi semuanya nafsi-nafsi, tidak lagi
memikirkan oranglain tetapi hanya memikirkan keselamat diri sendiri, ya allah
mungkin begini lah nanti nya di hari akhir ibu ayah adik dan semua saudara famili
tidak dikenal lagi, bantuan hanya lah dari diri sendiri, hanya memikirkan diri sendiri
seorang.
Ayahku pun begitu, kencang membawa motor nya, aku pun tak sadar berapa
kecepatan motor kami pada saat itu. yang ada dalam pikiran ayahku mungkin hanya
harus ke mana menyelamatkan kami sekeluarga dari air bah itu. Kami pun akhirnya
sampai di sebuah bukit di daerah Indrapuri, Aceh Besar. Kami berhenti di sana
karena bensin motor telah habis, kalau belum mungkin entah sampai ke mana. Begitu
lah perjuangan seorang ayah dan ibu terhadap anak-anaknya, ayah ku memangku
diri ku dan ibu-ibuku memangku adik-adik ku yang masih kecil-kecil.
Pada saat itu kami hanya memakai pakaian rumah, ibuku hanya memakai daster,
bahkan alas kaki pun sudah tak ada, kami tak punya apa-apa. Padahal kami belum
makan pagi, tapi rasa lapar pun menghilang dengan sendirinya, rasanya rasa lapar
ini sudah tak ada lagi dalam diri ini.
Di bukit itu kami masih merasakan gempa, berhenti sebentar, lalu gempa lagi. Begitu
terus. Ditambah lagi seperti ada suara kontak senjata dari atas bukit sana. Maklum
saja, pada masa itu Aceh masih dalam status Darurat Militer.
Setelah mendengar dari orang-orang bahwa sudah aman, kami sekeluarga kembali
lagi ke kota. Di jalan banyak tenda-tenda darurat yang sebelumnya tak ada. Awalnya
kami pikir itu adalah tenda bantuan tapi ternyata setelah melihat ke dalamnya ada
banyak sekali mayat-mayat korban tsunami di sana. Innalillah.
Sore itu kami tak pulang ke rumah, kami menginap di rumah teman ibu di daerah
Lampeunerut, Aceh Besar. Hanya ayahku yang mencoba pulang ke rumah untuk
melihat keadaan karena mendengar bahwa air telah surut. Sebelum ayah pergi, ibu
berpesan jika sudah tiba di rumah agar mengambil barang-barang berharga dan
yang lainnya yang mungkin bisa digunakan untuk keperluan sehari-hari dalam waktu
saat itu.
Hampir magrib, ayah kembali, ayah berkata pada ibuku bahwa tak ada yang bisa
diambil, rumah kita sudah rata dengan tanah, tak bersisa. Ibuku pun menangis. Kami
sangat sedih. Sekarang kami tak punya apapun lagi, hanya ada baju yang melekat di
badan...
Walaupun kami sudah tak punya apa pun, tapi kami sangat bersyukur karena
keluarga kami semua selamat. Aku masih punya Ayah, Ibu, dan Adik,-adikku.
Alhamdulillah…
Memang tak bisa dengan mudah menerima semua ini. Bagaimana bisa hidup jika tak
punya apa pun, tak punya rumah, harus tinggal dimana? Untunglah ada saudara
yang membantu. Pasca tsunami kami tinggal di rumah nenek, masih di Banda Aceh.
Namun banyak juga saudara yang meninggal dan tidak diketahui keberadaannya
hingga kini karena kampung kami memang di daerah pesisir pantai, di Gampong
Blang, kecamatan Meuraxa, Banda Aceh.
Aku sering melihat orang tuaku menangis dalam shalatnya. Aku pun begitu. Ku akui
kejadian tsunami ini menambah keimananku, aku jadi sering shalat dan mengaji.
1 minggu setelah tsunami aku datang ke sekolah karena seharusnya hari senin sehari
setelah tsunami diadakan ujian semester, tapi sesampai disana tak ada seorangpun.
Aku melihat di pintu masuk tertulis bahwa sekolah diliburkan sampai dengan tanggal
yang belum bisa di tentukan.
Setelah 1 bulan tsunami, sekolah masuk lagi. Aku pergi ke sekolah dengan pakaian
bebas karena tak punya seragam. Aku belum membeli seragam baru karena masih
banyak kebutuhan lain yang lebih penting untuk dibeli. Tapi di sekolah ku hanya
sedikit yang tak pakai seragam karena sekolah ku memang tak terkena tsunami,
rumah-rumah temanku pun banyak yang dekat dengan sekolah. Aku jadi merasa sedih
terlebih setelah mendengar cerita dari temanku bahwa ada beberapa dari teman kami
yang meninggal dunia.
Tapi yaa sudahlaah, tetap harus sabar dan bersyukur, pasti ada hikmah dibalik
semua ini.

Hari ini tepat 8 tahun tsunami di Aceh. Memang tak terasa sudah 8 tahun berlalu.
Cuma bisa berdoa, mudah-mudahan tidak ada lagi bencana di tanah tercinta ini.
Amin ya Rabb...
Hal dan kejadian yang kurasakan takkan pernah bisa terlupakan, itu hal yang
terbesar yang kualami dalam hidupku, tapi aku sangat bersyukur kepada ALLAH
SWT, karna Allah masih memberiku hidup, masih memberi kesempatan untuk aku
bertaubat kepadanya, dan kini umurku sudah 18 tahun sekarang aku sudah masuk
kuliah di sebuah perguruan tinggi ternama di indonesia yaitu Universitas Andalas
yang bertepatan di Sumatra Barat, Padang.
Sekarang aku menjalankan hidup dan menggapai cita-cita ku di tanah minang kabau
ini.
alhamdulillah ya allah

Terimakasih mungkin hanya ini kisah cerpen yang bisa aku karangkan
Salam zunijar

Anda mungkin juga menyukai