Anda di halaman 1dari 19

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Sastra sebagai cerminan sosial budaya suatu bangsa harus diwariskan kepada generasi muda. Sastra memiliki pengaruh yang sangat besar untuk membawa masyarakat pada perubahan, termasuk perubahan karakter. Sastra dapat menjadi kekuatan bagi munculnya gerakan perubahan masyarakat. Bahkan kebangkitan bangsa ke arah yang lebih baik, penguat rasa persatuan, serta sumber inspirasi dan motivasi kekuatan moral bagi perubahan sosial dari keadaan yang terpuruk menjadi keadaan yang mandiri dan merdeka. Karya sastra dapat dipandang sebagai alat perwujudan keinginan pengarang untuk menawarkan atau menyampaikan sesuatu tertentu, sesuatu itu dapat berupa suatu hal, gagasan, moral, atau amanat yang dapat bermanfaat bagi penikmat atau pembaca. Penulisan karya sastra punya banyak tujuan, sastra dapat ditulis untuk menyampaikan nilai pendidikan, moral, sosial, agama dan sebagainya. Tetapi tidak menutup kemungkinan, karya sastra itu mengisahkan hal hal yang tidak terpuji, walaupun begitu pembaca masih bisa menarik pelajaran darinya sebab dalam membaca dan menyimak karya satra pembaca dapat ingat dan sadar untuk tidak berbuat demikian. Jadi, karya sastra dapat digunakan untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca atau pendengar. Dewasa ini, perkembangan karya sastra terus melaju mengikuti arus globalisasi dan beragam budaya masyarakat pada zamannya, sehingga gejala gejala pendidikan, moral, politik, sosial dan ekonomibyang terjadi dalam masyarakat dapat diimajinasikan melalui karya sastra. Jelaslah bahwa sastra tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Lewat sastra dapat diketahui pandangan suatu masyarakat, sastra juga mewakili kehidupan dalam arti kenyataan. Cerpen yang merupakan bagian dari karya sastra yang melukiskan berbagai macam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat, tentunya harus ada bentuk apresiasi dari penikmat dan masyarakat sastra

terhadap karya sastra yang telah dihasilkan oleh para sastrawan. Sebagai salah satu bentuk perhatian terhadap karya satra (cerpen), pemakalah tertarik untuk mengkaji/menganalisis cerpen yang berjudul GURU karya Putu Wijaya. Cerpen ini menceritakan tentang sesosok anak yang ingin menjadi guru, tetapi mengalami beberapa hambatan dalam mencapai cita-cita yang diinginkan. Anak itu bernama Taksu, yang merupakan anak tunggal dan harus mengikuti semua keinginnan orang tuanya. Tetapi ia tetap ingin mempertahankan cita-cita yang diinginkannya sebagai seorang guru. Sesuai dengan kutipan dalam cerpen tersebut karena guru tidak bisa dibunuh, jasadnya mungkin saja busuk lalu lenyap, tetapi apa yang diajarkannya tetap tertinggal abadi bahkan bertumbuh, berkembang, dan memberi a inspirasi pada generasi di masa yang akan datang. Kata kata itulah yang menjadi motivasi Taksu untuk tetap bertahan mencapai cita citanya, bahkan dia berkata seperti itu karena 28 tahun yang lalu ayahnya yang dulu memberi nasihat untuk menghargai jasa guru ketika ia malas belajar. Tetapi semua itu hanya sebuah ucapan belaka untuk orang tuanya, karena orang tuanya mengikuti perkembangan zaman dan orang tuanya berfikir bahwa guru hanya sebuah cita-cita yang sepele dan rendah di mata kedua orang tuanya. Orang tuanya pun membujuknya untuk mengikuti nasihatnya yang ia inginkan. Oleh karena itu, orang tuanya membujuknya dengan beberapa cara memberikan barang-barang mewah. Walaupun dengan beberapa cara, Taksu tetap mempertahan cita-cita yang ia inginkan. Kepribadian yang kokoh itulah yang memacu semangatnya. 10 tahun berlalu dan kini, Taksu pun menjadi seorang guru tetapi bukan guru sembarang guru tetapi guru bagi para pegawainya ( yang mencapai hingga 10.000 ) dan generasi lainnya. Ia kini menjadi seorang pengusaha sukses, bahkan ia pun mendapatkan gelar doktor honoris causa. Serta orang tuanya pun menyadarinya bahwa Taksu kini sudah menggantikan hidup beban orang tuanya. Cerpen ini isinya melukiskan betapa kokohnya seorang anak untuk mengejar cita cita yang ditentang hebat oleh orang tuanya, cerpen ini mengandung banyak yang nilai yang ada pada masyrakat pada era globalisasi ini. Berdasarkan pertimbangan di atas maka pemakalah memutuskan untuk

mengkaji/menganalisis cerpen yang berjudul GURU karya Putu Wijaya dari segi unsur Intrinsik dan Ekstrinsiknya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dilampirkan pada halaman sebelumnya, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut. 1. Bagaimana unsur intrinsik membangun cerpen Guru karya Putu Wijaya? 2. Apa sajakah nilai yang terdapat pada cerpen Guru karya Putu Wijaya?

C. Tujuan Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut. 1. Untuk mengetahui unsur intrinsik yang membangun cerpen Guru karya Putu Wijaya dan penjelasannya. 2. Untuk mengetahui nilai nilai yang terdapat pada cerpen Guru karya Putu Wijaya dan penjelasannya.

BAB II PEMBAHASAN
A. Unsur Intrinsik Unsur Intrinsik adalah unsur yang membangun karya itu sendiri, unsur unsur intrinsik cerpen mencakup : 1. Tema 2. Latar (setting) 3. Alur (plot) 4. Amanat 5. Penokohan 6. Perwatakan 7. Sudut Pandang 8. Konflik

Dari unsur unsur intrinsik di atas, berikut akan dijelaskan satu persatu bagaimana unsur tersebut membangun karya Putu Wijaya ini. 1. Tema Tema merupakan sebuah gagasan atau pemikiran yang disampaikan oleh pengarang yang berfungsi sebagai pedoman dalam menulis karangannya. Tema terbagi pada dua macam, yaitu : tema mayor dan tema minor. Tema mayor adalah tema yang yang mendominasi dalam cerita yang ditulis oleh pengarang. Sedangkan tema minor adalah tema yang tema lain yang dapat diambil dari cerita yang ada. a. Tema mayor Tema yang diangkat dalam cerpen ini adalah tentang kebulatan tekad seorang remaja untuk mewujudkan cita citanya menjadi seorang guru. b. Tema minor Bahwasannya keberhasilan dan kebahagiaan tidak bisa dibeli dengan harga berapapun. Keberhasilan hanya dapat diraih dengan sungguh sungguh. 2. Latar (setting) Merupakan unsur yang menjelaskan cerita secara rinci. Berikut beberapa setting yang ada dalam cerpen guru. Tempat : latar tempat dalam cerpen ini adalah di rumah orang tua taksu, di Kost Taksu, dan di jalan.

Waktu : siang hari Suasana : Tegang dan Haru 3. Alur (plot) Pada cerpen diatas jenis alur yang digunakan adalah alur flashback atau mundur. Pengarang menceritakan kisah tentang anaknya pada sepuluh tahun yang lalu. Sedangkan bagian ceritanya adalah Generating Circumtanse atau tokoh utama muncul sudah mempunyai masalah. Masalah yang dibawanya adalah anaknya tidak mau menurut pada apa yang dikatakan orang tuanya. Singkatnya, Berbeda pendapat dan Miscommunication. 4. Amanat Amanat merupakan pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Berikut amanah yang bisa kita petik dari cerpen Guru. a. Keberhasilan haruslah diraih dengan kerja keras b. Memberikan sesuatu kepada orang lain harus dengan rasa ikhlas c. Berjuanglah sungguh sungguh demi meraih cita cita. d. Jasa seorang guru tidak akan dapat digantikan dengan apapun. e. Jangan pernah melihat sesuatu hanya dari satu sisi. 5. Penokohan Penokohan terbagi menjadi tiga yaitu; Tokoh Utama, Tokoh pembantu, dan Tokoh Bayangan. Tokoh dalam cerpen ini adalah Taksu, Ayah Taksu, Ibu Taksu, dan Mina. Tokoh Utama; Taksu dan Ayah Taksu karena pada cerpen ini yang berkonflik adalah Taksu dengan Ayah Taksu. Tokoh pendamping; Ibu Taksu, dia hadir ketika ayahnya sedang gagal meyakinkan Taksu. Tokoh Bayangan; Mina, dia sering disebut dalam cerpen tetapi Mina tidak dimunculkan karakternya. 6. Perwatakan Perwatakan adalah sebuah gambaran karakter yang dimiliki oleh tokoh, baik tokoh utama maupun tokoh yang lain. Perwatakan tokoh yang ada dalam cerpen Guru adalah; Taksu : Ulet, Gigih, dan Teguh

pendirian. Ayah Taksu : Keras, Tegas, dan berwawasan sempit. Ibu Taksu : Keras, namun terkadang penuh kasih sayang. 7. Sudut Pandang Merupakan sudut pandang yang digunakan pengarang untuk menceritakan karakter karakter tokoh. Pada cerpen guru, pengarang mengambil sudut pandang orang pertama sebagai pelaku utama. Karena pengarang menceritakan bagaimana kehidupannya dan anaknya serta pengarang juga menjadi pelaku pertama dalam cerita, yaitu; Ayah Taksu. 8. Konflik Konflik merupakan permasalahan yang timbul dari diri dalam tokoh. Konflik tersebut bisa konflik fisik, psikis, dan sosial. Berikut ini konflik yang terjadi pada cerpen diatas. Konflik psikis : konflik ini dialami oleh Ayah Taksu. Konflik ini disebabkan oleh sikap Taksu yang sangat keras kepala tak mau menurut orang tua sehingga membuat jengkel dan marahayahnya, begitu pula yang dialami ibunya. Konflik fisik : konflik ini dialami oleh Taksu ketika bogem mentah dilayangkan ayahnya yang tepat diwajahnya. Hal ini dikarenakan Taksu yang membantah kata kata orang tuanya. Konflik sosial : pada saat Ayah Taksu membanting kunci BMWnya ke lantai dan membanting gelas yang ada di meja kost Taksu. B. Nilai Nilai yang Terdapat dalam Cerpen Guru

1. Nilai Edukasi Guru merupakan judul cerpen karya Putu Wijaya. Isi atau pesan edukasi dalam cerpen ini adalah pesan edukatif dalam hal pencapaian citacita seorang anak hingga akhirnya ia sukses, meskipun sebelumnya keputusan menjadi guru ditentang oleh orang tuanya.

Kata guru yang digunakan dalam judul cerpen ini mempunyai makna yang beragam. Guru dalam KBBI berarti orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. Selain itu guru juga dapat dimaknai sebagai panutan yang dapat menentukan kelestarian dan kejayaan kehidupan bangsa. Dalam cerpen ini banyak sekali mengandung nilai-nilai edukasi yang dapat bermanfaat bagi kehidupan pembaca. Inilah salah satu hal yang menarik dari cerpen ini. Cerpen Guru diawali dengan kekhawatiran orang tua karena anaknya yang bernama Taksu bercita-cita menjadi guru. Bagi mereka, ini adalah malapetaka, pendapat orang tua Taksu, guru masa depannya suram dan kehidupannya tidak akan sukses . kutipaan di bawah ini mempertegas gambaran di atas.

Anak saya bercita-cita menjadi guru. Tentu saja saya dan istri saya jadi shok. Kami berdua tahu, macam apa masa depan seorang guru. Karena itu, sebelum terlalu jauh, kami cepat-cepat ngajak dia ngomong...

"Taksu, dengar baik-baik. Bapak hanya bicara satu kali saja. Setelah itu terserah kamu! Menjadi guru itu bukan cita-cita. Itu spanduk di jalan kumuh di desa. Kita hidup di kota. Dan ini era milenium ketiga yang diwarnai oleh globalisasi, alias persaingan bebas. Di masa sekarang ini tidak ada orang yang mau jadi guru. Semua guru itu dilnya jadi guru karena terpaksa, karena mereka gagal meraih yang lain. Mereka jadi guru asal tidak nganggur saja. Ngerti? Setiap kali kalau ada kesempatan, mereka akan loncat ngambil yang lebih menguntungkan. Ngapain jadi guru, mau mati berdiri? Kamu kan bukan orang yang gagal, kenapa kamu jadi putus asa begitu?!"

"Tapi saya mau jadi guru."

Suasana awal yang membuka cerita di atas mau tidak mau akan membuat pembaca membayangkan peristiwa apa yang kemudian terjadi.

Ketidakmauan tokoh Taksu menuruti kemauan orang tuanya membuat pembaca ikut berpikir sebenarnya apa sebab dari penolakan Taksu. Mengapa ia sangat mempertahankan cita-citanya itu? Inilah yang kemudian menarik perhatian pembaca. Di sini tokoh orang tua dari Taksu sangat memaksakan kehendak, bahkan berbagai cara dilakukan untuk membuat anaknya merubah cita-citanya.

"Kenapa? Apa nggak ada pekerjaan lain? Kamu tahu, hidup guru itu seperti apa? Guru itu hanya sepeda tua. Ditawar-tawarkan sebagai besi rongsokan pun tidak ada yang mau beli. Hidupnya kejepit. Tugas seabrek-abrek, tetapi duit nol besar. Lihat mana ada guru yang naik Jaguar. Rumahnya saja rata-rata kontrakan dalam gang kumuh. Di desa juga guru hidupnya bukan dari mengajar tapi dari tani. Karena profesi guru itu gersang, boro-boro sebagai cita-cita, buat ongkos jalan saja kurang. Cita-cita itu harus tinggi, Taksu. Masak jadi guru? Itu cita-cita sepele banget, itu namanya menghina orang tua. Masak kamu tidak tahu? Mana ada guru yang punya rumah bertingkat. Tidak ada guru yang punya deposito dollar. Guru itu tidak punya masa depan. Dunianya suram. Kita tidur, dia masih saja utak-atik menyiapkan bahan pelajaran atau memeriksa PR. Kenapa kamu bodoh sekali mau masuk neraka, padahal kamu masih muda, otak kamu encer, dan biaya untuk sekolah sudah kami siapkan. Coba pikir lagi dengan tenang dengan otak dingin!"

"Sudah saya pikir masak-masak." Saya terkejut. "Pikirkan sekali lagi! Bapak kasi waktu satu bulan!" Taksu menggeleng. "Dikasih waktu satu tahun pun hasilnya sama, Pak. Saya ingin jadi guru."

Kutipan di atas jelas sekali mengungkapkan bahwa ayah Taksu membeberkan semua unek-uneknya agar anaknya berubah pikiran. Namun, Taksu tetap pada pendiriannya. Inilah salah satu nilai edukasi yang dapat dipetik dari cerpen ini, bahwa hidup seharusnya tidak seperti air di atas daun talas. Taksu bersikeras sampai kapanpun ia tetap pada pendiriannya, ia ingin menjadi guru. Bahkan suatu hari ketika orangtuanya mendatangi tempat kos Taksu dengan membawa makanan kesukaannya dan juga laptop baru, Taksu masih dengan pendiriannya yaitu tetap ingin mewujudkan cita-cita mulia tersebut.

"Taksu! Kamu mau jadi guru pasti karena kamu terpengaruh oleh pujipujian orang-orang pada guru itu ya?!" damprat istri saya. "Mentangmentang mereka bilang, guru pahlawan, guru itu berbakti kepada nusa dan bangsa. Ahh! Itu bohong semua! Itu bahasa pemerintah! Apa kamu pikir betul guru itu yang sudah menyebabkan orang jadi pinter? Apa kamu tidak baca di koran, banyak guru-guru yang brengsek dan bejat sekarang? Ah?"

Taksu sudah paham perihal bagaimana prinsip seorang guru, oleh sebab itulah ia tidak mau menuruti nasehat orang tunya. Meskipun ia dimarahi kedua orang tuanya, Taksu tetap tenang, ia tidak mau membantah setiap kata-kata yang keluar dari mulut orang tunya. Taksu sangat menghormati kedua orang tunya. Inilah nilai edukasi lain yang terdapat dalam cerpen ini, sebagai anak yang berbakti kepada orang tua, Taksu tetap pada pendiriannya namun tetap dengan cara yang halus. Meskipun berbeda pendapat dengan orang tuanya, Taksu tetap menghormati keputusan orang tuanya tanpa membantah dengan perkataan yang tidak wajar atau tidak sopan.

"Kamu kan bukan jenis orang yang suka dipuji kan? Kamu sendiri bilang apa gunanya puji-pujian, yang penting adalah sesuatu yang konkret. Yang konkret itu adalah duit, Taksu. Jangan kamu takut dituduh materialistis. Siapa bilang meterialistik itu jelek. Itu kan kata mereka

yang tidak punya duit. Karena tidak mampu cari duit mereka lalu memaki-maki duit. Mana mungkin kamu bisa hidup tanpa duit? Yang bener saja. Kita hidup perlu materi. Guru itu pekerjaan yang anti pada materi, buat apa kamu menghabiskan hidup kamu untuk sesuatu yang tidak berguna? Paham?"

Taksu mengangguk. "Paham. Tapi apa salahnya jadi guru?"

Setiap pertanyaan yang diajukan kepada Taksu, selalu ia jawab dengan dingin dan tenang. Seperti paham, tapi apa salahnya jadi guru? Kalimat tersebut menggambarkan bagaimana sikap yang seharusnya dilakukan seorang anak jika keinginannya ditentang orang tuanya. jadi guru. Kan sudah saya bilang berkali-kali? Masih dengan kalimat yang santun ia menjawab pertanyaan yang selalu muncul dari orang tunya. Berikut ini kutipan yang mempertegas gambaran di atas.

"Tiga bulan Bapak rasa sudah cukup lama buat kamu untuk memutuskan. Jadi, singkat kata saja, mau jadi apa kamu sebenarnya?"

Taksu memandang saya. "Jadi guru. Kan sudah saya bilang berkali-kali?"

Melalui tokoh Taksu, Putu Wijaya juga menggambarkan bagaimana seharusnya watak dan sikap yang harus dimiliki jika manusia ingin menjadi pemimpin atau panutan, yaitu tidak mudah tergoda dengan materi atau sogokan lainnya. Taksu tetaplah Taksu, ia adalah manusia yang teguh pada pendiriannya. Usaha apapun yang dilakukan kedua orang tunya tidak mempan baginya. Bahkan ketika ayahnya datang dengan membawa hadiah mobil mewah, Taksu tetapa menolak keinginan orang tuanya.

10

Lalu saya letakkan kembali kunci itu di depan hidungnya. Taksu berpikir. Kemudian saya bersorak gegap gembira di dalam hati, karena ia memungut kunci itu lagi.

"Terima kasih, Pak. Bapak sudah memperhatikan saya. Dengan sesungguh-sungguhnya, saya hormat atas perhatian Bapak." Sembari berkata itu, Taksu menarik tangan saya, lalu di atas telapak tangan saya ditaruhnya kembali kunci mobil itu.

"Saya ingin jadi guru. Maaf."

Ayahnya pun mengancam akan menghentikan uang kiriman bulanan. Namun Taksu masih dengan pendiriannya. Hingga akhirnya membuat ayahnya marah dan mengancam akan membunuh Taksu. Taksu sungguh merupakan gambaran seorang yang memiliki hati luhur dan sederhana. Manusia yang mempunyai prinsip hidup yang jelas.

"Aku bunuh kau, kalau kau masih saja tetap mau jadi guru."

Taksu menatap saya. "Apa?"

"Kalau kamu tetap saja mau jadi guru, aku bunuh kau sekarang juga!!" teriak saya kalap. Taksu balas memandang saya tajam.

"Bapak tidak akan bisa membunuh saya." "Tidak? Kenapa tidak?"

"Sebab guru tidak bisa dibunuh. Jasadnya mungkin saja bisa busuk lalu lenyap. Tapi apa yang diajarkannya tetap tertinggal abadi. Bahkan

11

bertumbuh, berkembang dan memberi inspirasi kepada generasi di masa yang akan datang. Guru tidak bisa mati, Pak."... "O jadi narkoba itu yang sudah menyebabkan kamu mau jadi guru?"

"Ya! Itu sebabnya saya ingin jadi guru, sebab saya tidak mau mati."

Itulah guru yang sejati. Putu Wijaya mengungkapkan isi pikirannya memalui tokoh Taksu dengan dialognya yang sedikit namun tajam dimata pembaca. Ilmu yang diajarkan guru akan tetap abadi meskipun sang guru jasadnya telah tiada. Ungkapan tersebut jelas merupakan suatu nilai edukasi yang dapat menjadi pembelajaran bagi manusia, bahwa hidup tidaklah terlalu memikirkan materi tetapi lebih berpikir tentang apa yang telah diberikan kepada sesama. Secara tidak langsung tokoh Taksu juga menggambarkan nilai religiositas. Taksu dengan kepribadiannya tersebut meyakini bahwa ia pasti mati dan kembali pada Tuhan yang Maha Kuasa, namun ada hal yang tetap hidup dan sudah diberikannya kepada sesama yaitu ilmu. Ilmu datangnya dari Tuhan dan untuk manusialah ilmu itu anugerahkan. Hal ini tersirat dalam kutipan di atas. Kehidupan duniawi akan terasa indah jika manusia dapat memberikan sesuatu yang berharga bagi manusia lainnya yaitu ilmu. Ilmu sangatlah penting dalam kehidupan manusia, itulah yang berusaha digambarkan Putu Wijaya melalui cerpen ini. Guru melalui ilmunya akan tetap abadi dan bahkan bisa berkembang dan memberi inspirasi bagi generasi yang akan membawa bangsa ini menuju kesuksesan. Taksu akhirnya memilih hidupnya sendiri, ia pergi dan hidup dengan caranya sendiri. Sementara kedua orang tuanya terkejut dengan keputusan anaknya. Taksu hanya meninggalkan secarik kertas yang ia sobek dari buku hariannya. Isinya maaf, tolong relakan saya menjadi guru. Di sini Putu Wijaya mencoba mencari solusi atas konflik anak dan orang tua tersebut. Konflik tesebutlah yang menjadikan kedua orang tua Taksu sadar akan keputusan anaknya tersebut dan mereka sadar bahwa cara memperlakukan

12

keinginan Taksu adalah salah. Dengan usaha yang pantang menyerah, akhirnya Taksu pulang dengan menjadi seorang guru yang sukses dan ia tanpa sedikit pun melupakan orang tuanya. Taksu pergi bukan karena benci kepada orang tuanya, tapi lebih kepada bagaimana ia menggapai cita-cita mulia tersebut.

Waktu telah memproses segalanya begitu rupa, sehingga semuanya di luar dugaan. Sekarang Taksu sudah menggantikan hidup saya memikul beban keluarga. Ia menjadi salah seorang pengusaha besar yang mengimpor barang-barang mewah dan mengekspor barang-barang kerajinan serta ikan segar ke berbagai wilayah mancanegara.

"Ia seorang guru bagi sekitar 10.000 orang pegawainya. Guru juga bagi anak-anak muda lain yang menjadi adik generasinya. Bahkan guru bagi bangsa dan negara, karena jasa-jasanya menularkan etos kerja," ucap promotor ketika Taksu mendapat gelar doktor honoris causa dari sebuah pergurauan tinggi bergengsi.

Tujuan hidup seorang anak memang menjadi hal yang utama bagi orang tua. Namun, bukankah seharusnya orang tua itu selalu mendukung keputusan anaknya jika keputusan itu adalah hal mulia yang dipilih dan diyakini sang anak. Di cerpen ini ada nilai edukasi lain yang dapat diambil yaitu tugas orang tua bukanlah menentukan jalan apa yang harus dipilih sang anak tetapi mendukung, mengarahkan dan mengawasi jalan pilihan sang anak adalah hal penting dan utama dari tugas orang tua. Dengan catatan, selama pilihan hidup sang anak masih sesuia dengan norma-norma kebaikan.

2. Nilai Sosial Nilai sosial merupakan nilai yang dianut masyarakat, tentang suatu hal baik itu bernilai buruk atau bernilai baik. Dalam sebuah cerpen pasti mempunyai unsur ekstrinsik yang berisi nilai-nilai. Nilai tersebut antara lain adalah nilai sosial, nilai pendidikan, nilai filosofis dan lain-lain. Salah

13

satunya contohnya ada dalam cerpen berjudul Guru karya Putu Wijaya. Cerpen guru ini sarat akan nilai-nilai sosial yang sangat kental. Cerpen ini menghadirkan tentang nilai sosial yang ada pada masyarakat indonesia. Putu Wijaya mengangkat fenenoma tentang guru. Tema yang jarang dianggkat untuk sebuah cerpen. Putu Wijaya memaparkan dengan detail bagaimana pandangan guru dalam masyarakat. Putu Wijaya menjadikan konflik untuk memaparkan nilai sosial seorang guru. Beliau menggunakan konflik dengan senjata dalam cerpen ini. Konflik disepanjang alur cerita dipaparkan dengan lugas dan apik. Anggapan masyarakat terhadap guru. Selain itu juga ada nilai-nilai sosial yang lain dalam cerpen ini. Dengan menggunakan alur maju dan flasback, Putu Wijaya berhasil membuat pembaca terus ingin membaca dan penasaran dengan alur ceritanya. Alur maju yang dibuat dibuat dengan klimaks perhalahan-lahan membuat sensasi yang berbeda dalam cerpen ini. Pembaca seolah-seolah berada dalam situasi yang menegangkan dan ikut andil dalam pertengkaran antara ayah dan Taksu. Tapi tidak dengan anti klimaks. Anti klimaks terkesan motonon jika dibandingkan dengan klimaks-klimaks yang sudah disajikan. Dengan klimaks yang disajikan begitu kental, namun

diakhiri dengan anti klimaks yang terkesan sederhana membuat novel ini terasa hambar. Dengan akhir yang terkesan sederhana membuat pembaca kecewa. Pembaca yang sudah larut dengan klimaks kaget dengan anti klimaks itu. Nilai sosial terhadap paradigma seorang guru dapat terlihat dari Putu Wijaya menuliskan menjadi seorang guru bukanlah merupakan suatu citacita. Mereka menjadi guru karena terpaksa agar mereka tidak mengangggur. Masyarakat memandang rendah profesi guru. Hidup guru dianggap tidak layak. Hidup sebagai guru itu miskin. Guru tidak ada yang kaya semuanya miskin. Guru tidak punya masa depan. Hidupnya bersusah-susah, dengan perjuangan yang berat, dengan hasil yang sangat minim. Menjadi guru itu tidak terhormat. Ibarat kasta, guru berada pada kasta yang paling rendah. Semboyan yang mengatakan guru itu pahlawan tanpa tanda saja, tinggallah sebuah semboyan. Tak menjadi berarti dengan sekelompok oknum guru

14

yang melakukan hal-hal tidak bermoral. Padahal notabennya guru merupakan individu yang harus menjunggung tinggi tingkah laku yang bermoral. Sesuai dengan istilah jawanya guru berasal dari akronim dari di gugu lan di tiru. Yang secara kasar berarti dipatuhi tutur katanya dan di contoh tingkah lakunya. Guru tidak punya masa depan, karena guru

sepanjang hidupnya akan tetap menjadi guru. Sulitnya rasanya meninggalkan profesi menjadi guru. Menjadi guru sudah mendarah daging dalam hidup seorang guru. Bahkan terkadang di saat guru tersebut sudah pensiun pun masih dianggap sebagai guru. guru yang menjadi panutan untuk orang lain, menjadi contoh yang baik dalam tingkah lakunya. Ini merupakan gambaran guru dalam artian yang sesungguhnya. Guru yang mengajarkan pelajaran untuk murid-muridnya. Tapi selain guru yang sesungguhnya itu juga ada guru yang dalam tanda petik. Seperti yang diceritakan dalam "ia seorang guru bagi sekitar 10.000 orang pegawainya. Guru juga bagi anak-anak muda lain yang menjadi adik generasinya. Bahkan guru bagi bangsa dan negara, karena jasa-jasanya menularkan etos kerja,". Seseorang yang menjadi inspirasi untuk orang lain. Menjadi motivasi untuk semangat hidup orang lain. Putu Wijaya ingin menyampaikan makna lain dari seorang guru. di bagian-bagian lain juga disebutkan bagaimana martabat seorang guru Seperti pada kutipan berikut ini:

"Taksu, dengar baik-baik. Bapak hanya bicara satu kali saja. Setelah itu terserah kamu! Menjadi guru itu bukan cita-cita. Itu spanduk di jalan kumuh di desa. Kita hidup di kota. Dan ini era milenium ketiga yang diwarnai oleh globalisasi, alias persaingan bebas. Di masa sekarang ini tidak ada orang yang mau jadi guru. Semua guru itu dilnya jadi guru karena terpaksa, karena mereka gagal meraih yang lain. Mereka jadi guru asal tidak nganggur saja. Ngerti? Setiap kali kalau ada kesempatan, mereka akan loncat ngambil yang lebih menguntungkan. Ngapain jadi guru, mau mati berdiri? Kamu kan bukan orang yang gagal, kenapa kamu jadi putus asa begitu?!"

15

Cerpen ini menggabarkan tentang nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Kenyataan itu selain bisa menggabarkan nilai sosial yang ada dalam masyarakat, bisa juga menjadi kritik sosial untuk pemerintah yang tidak memperhatikan nasib guru. Seperti pada kutipan berikut ini:

"Negara sengaja memuji-muji guru setinggi langit tetapi lihat sendiri, negara tidak pernah memberi gaji yang setimpal, karena mereka yakin, banyak orang seperti kamu, sudah puas karena dipuji. Mereka tahu kelemahan orang-orang seperti kamu, taksu.

Nilai sosial dalam novel ini juga mengunggapkan tentang anggapan orang bahwa yang bisa menjadi kaya harus memmiliki gelar dan jabatan tinggi. Masyarakat Indonesia masih gila gelar. Yang membuatnya sukses adalah gelarnya. Pendidikan atau yang biasa disebut sekolah hanyalah sebagai cara untuk mendapatkan gelar. Sekolah hanya untuk mencari nilai. Tentu saja semakin nilai bagus maka semakin bagus pula uang yang akan diperoleh. Tak heran jika kecurangan dalam sekolah masih terus dilakukan. Ujian yang sejatinya digunakan untuk menjadi pengukur kemampuan. Malah menjadi ajang untuk membuka peluang berbuat kecurangan. Jika pada waktu sekolah saja sudah biasa berbuat curang apalagi waktu menjadi pejabat. Fasih mencari celah untuk mencari kecurangan, bukan fasih untuk mencari prestasi yang membanggakan. Nilai sosial masyarakat Indonesia juga terlihat disini, mereka beranggapan kecurangan atau istilah modernnya korupsi. Sudah menjadi hal yang biasa. Tanpa korupsi tidak ada jalan. Tentu saja nilai ini dibentuk dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat Indonesia sejak masa penjajahan dulu. Seperti pada kutipan berikut ini:

"Mobil ini tidak pantas dipakai seorang guru. Kunci ini boleh kamu ambil sekarang juga, kalau kamu berjanji bahwa kamu tidak akan mau jadi guru, sebab itu memalukan orang tua kamu. Kamu ini investasi untuk masa depan kami, taksu, mengerti? Kamu kami sekolahkan supaya kamu meraih gelar, punya jabatan, dihormati orang, supaya kami juga

16

ikut terhormat. Supaya kamu berguna kepada bangsa dan punya duit untuk merawat kami orang tuamu kalau kami sudah jompo nanti 3. Nilai Filosofis Pada cerpen Guru mengandung nilai filosofis bahwa kesuksesan bukan di tentukan oleh orang lain tapi kesuksesan ditentukan oleh diri kita sendiri. Dapat diraih dengan usaha kita yang dilakukan secara sungguh sungguh. Orang lain hanyalah sebagai pembantu dan fasilitator kita, keberhasilan kita ditentukan oleh diri kita sendiri.

17

BAB III PENUTUP

A. Simpulan Dari hasil yang telah diperoleh, maka pemakalah menyimpulkan masalah sebagai berikut. 1. Cerpen Guru karya Putu Wijaya dibangun atas unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsic cerpen ini meliputi tema, latar, alur, amanat, penokohan, perwatakan, sudut pandang, dan konflik. Tema dalam cerpen Guru karya Putu Wijaya ini menceritakan tentang kebulatan tekat seorang remaja untuk mewujudkan cita citanya menjadi seorang guru. Dengan tokoh utamanya Taksu dan Ayah Taksu, didukung oleh tokoh tambahan lainnya seperti Ibu Taksu dan Mina. Cerpen ini disertai dengan penggambaran watak tokoh melalui dialog antar tokoh yang membuat tokoh semakin hidup. Cerita ini dominan berlatarkan tempat kost Taksu dan rumah orang tua Taksu. Secara umum pengarang mampu membangun cerita melalui unsur unsur itu dalam kesatuan yang utuh sehingga cerita menarik dan membuat suasana tegang para pembaca. 2. Nilai nilai yang terkandung dalam cerpen Guru karya Putu Wijaya adalah nilai edukatif, nilai sosial, dan nilai filosofis. Nilai edukatif adalah cerpen Guru memberikan pengajaran atau ilmu bahwa pendidikan harus diraih dengan perjuangan yang sungguh sungguh karena kesuksesan tidak dapat diperoleh secara instan tapi butuh proses dan kerja keras. Nilai sosial adalah nilai yang ada pada masyarakat. Pada cerpen diatas nilai yang bisa kita ambil adalah sikap perjuangan yang dilakukan taksu demi mencapai cita citanya dan mampu mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Nilai filosofis bahwa kesuksesan dapat diraih dengan usaha kita yang dilakukan secara sungguh sungguh dan orang lain hanyalah fasilitator bagi kesuksesan kita. B. Saran saran Berangkat dari simpulan diatas, maka berikut ini pemakalah

mengemukakan beberapa saran yang dapat dijadikan tolak ukur dan

18

pertimbangan dalam mengembangka ilmu pengetahuan tentang sastra serta pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. 1. Bagi mahasiswa, diharapkan agar lebih giat belajar tentang sastra dan bisa meningkatkan kreatifitas dalam mengapresiasi karya sastra. 2. Bagi dosen, diharapkan dapat memahami lebih mendalam tentang sastra dan perkembangannya, sehingga dalam memberikan

pembelajaran sastra disekolah lebih maksimal. 3. Bagi pembaca yang lain, diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai referensi dan dapat memperkaya khazanah kesastraan Indonesia lewat pengkajian atau analisis lebih lebih tentang sastra.

19

Anda mungkin juga menyukai