Anda di halaman 1dari 2

Luka yang Teringat

Saya Jeanny Otine yang pada saat itu masih duduk dibangku kelas 2 Sekolah Dasar. Sama
seperti anak-anak seusia lainnya yang sedang asyik-asyiknya bermain bersama teman-teman, sering
melakukan hal-hal yang mungkin berbahaya tanpa memikirkan dampaknya, dan juga tidak berhati-
hati dalam bermain maupun melakukan sesuatu hal, hanya mengikuti irama hati amengejar
kesenangan. Sejak kecil hari Sabtu dan Minggu saya, saya habiskan di rumah nenek saya yang
bertempat di Cimahi tepatnya di kompleks sekitar SMK Pasundan 1. Lingkungan sekitar sana yang
kala itu masih asri ditambah teman-teman sebaya saya yang telah saya kenal sejak saya balita,
membuat saya senang untuk menginap di rumah nenek dan bermain dengan teman-teman saya
disana.

Hari itu hari Minggu, di sore hari setelah hujan tidak lagi bergemericik, saya dan teman-
teman saya yaitu Yuli, Isa, Zeini, Dinda dan Ayu yang juga merupakan saudara saya pun kumpul dan
bermain. Diputuskanlah untuk kami bermain di rumah nenek saya. Lalu naiklah kami kelantai atas
untuk bermain di balkon atas. Kami pun berbincang, bercanda tawa bersama.

Setelah asyik berbincang, kami pun memutuskan untuk bermain suatu permainan, kami pun
memutuskan untuk bermain ular naga. Permainan ular naga dimana ada 2 orang yang bertugas
menjadi gerbang, satu orang induk naga, dan sisanya menjadi anak naga. Kami pun bernyanyi “Ular
naga panjangnya bukan kepalang, menjalar-jalar selalu riang-kemari. Umpan yang lezat itulah yang
dicari, ini dianya yang terperangkap.”

Saat sedang sibuk-sibuknya berlarian dengan semangat, karena kondisi lantai yang cukup
basah setelah terkena guyuran hujan, nahasnya saya terjatuh dan dagu saya jatuh menghantam
ujung ubin yang tajam, sontak saya dan teman-teman saya pun terkejut. Lantas teman saya pun
memanggil orang rumah, ayah saya yang kebetulan saat itu sedang mengajar les gitar di studio yang
bertempat di lantai atas dekat dengan balkon tempat saya dan teman-teman saya bermain bergegas
untuk mengecek keadaan yang terdengar ribut.

Awalnya saya tidak bereaksi apapun saya hanya berpikiran “Ah, hanya jatuh biasa” namun
salah satu teman saya berkata “Otine dagu kamu bolong(berlubang)” mendengar hal itu otomatis
saya ketakutan yang saya pikirkan saya hanya jatuh biasa tidak ada luka yang berarti. Ayah saya pun
membawa saya ke lantai bawah untuk segera diberi pertolongan pertama oleh nenek saya,
kebetulan nenek saya seorang perawat.

Lalu, ayah saya pun menelepon dan menjemput ibu saya. Ibu saya adalah seorang yang
berhati lembut yang tidak tega dan tidak berani melihat anaknya terluka, bak tersambar petir di
siang bolong ketika ibu saya mendengar hal yang dialami oleh saya. Ibu saya pun saya pun sampai di
rumah nenek saya, awalnya ia tidak berani untuk melihat saya karena tidak tega, namun dia pun
memberanikan diri, walaupun ia adalah seseorang yang takut akan luka.

Mendengar bahwa saya harus mendapatkan jaitan oleh dokter, saya bersikeras menolak
karena ini pertama kalinya saya mendengar diri saya akan mendapatkan jaitan dan bertubi-tubi
bayangan menyeramkan yang menghantui saya ketika saya membayangkan akan mendapatkan
jaitan. Malamnya pun saya bersama ayah dan ibu saya memutuskan untuk pulang ke rumah, dan
orang tua saya telah mengiyakan keinginan saya yang tidak ingin mendapatkan jaitan.
Diperjalanan orang tua saya memberitahu saya bahwa kita akan pergi ke rumah sakit untuk
menemani teman ayah saya yang bernama om Jaka untuk mengecek luka jaitannya, kebetulan
memang pada saat itu saya tahu bahwa om Jaka telah mengalami kecelakaan dan mendapatkan
jaitan oleh dokter. Saya memiliki insting bahwa perginya kami ke rumah sakit bukan untuk mengecek
luka jaitan om Jaka melainkan untuk menjait luka saya, namun orang tua saya meyakinkan saya
bahwa bukan saya yang akan ditangani oleh dokter melainkan om Jaka.

Ternyata benar seperti dugaan saya, bahwa tujuan kami kerumah sakit adalah agar luka saya
mendapatkan tindakan oleh dokter. Saya pun dibaringkan di kasur ruang UGD, karena saya meronta-
ronta karena saya ketakutan dan merasa tegang, badan saya pun dipegangi oleh ayah dan juga
teman-temannya. Lalu datanglah dokter, dan akhirnya luka saya pun mendapatkan jaitan oleh
dokter, sebanyak 4 jaitan.

Ternyata sesudah dokter menyuntikkan jarum, lalu menjait luka saya, hal-hal menakutkan
dan rasa sakit yang saya bayangkan itu sama sekali salah dan tidak saya rasakan. Dan ternyata kata
dokter jika luka saya terlambat 1 jam saja dari waktu saya mendapatkan tindakan, luka saya akan
mengalami infeksi parah. Saya yang awalnya sangat amat kesal dengan kenyataan bahwa orang tua
saya telah membohongi saya, menjadi bersyukur karena kalau tidak sudah pasti hal yang lebih buruk
akan menimpa saya.

Beberapa hari setelah peristiwa itu saya terpaksa tidak masuk sekolah. Luka pun membekas
begitu pula dengan ingatan saya, saya masih mengingat kejadian yang telah terjadi kurang lebih 11
tahun yang lalu, dan pasti akan terus diingat, kenangan senang, sedih, takut yang bercampur
menjadi satu.

Anda mungkin juga menyukai