Anda di halaman 1dari 14

Yth.

Bapak Soim dan rekan-rekan PPG

Perbedaan prosa lama, prosa modern, dan prosa lirik


Pada prosa fiksi lama umumnya nama pengarang cerita tidak diketahui atau bersifat
anonim. Menurut jenisnya cerita lama atau lebih dikenal dengan rakyat dapat dibagi menjadi:
(1) mite, (2) legenda, (3) sage, dan (4) fabel. Mite berhubungan dengan kepercayaan
masyarakat lama tentang dewa-dewi dan kejadian gaib atau misteri. Contoh mite yang terkenal
yaitu cerita tentang Nyai Loro Kidul. Legenda merupakan cerita yang berhubungan dengan
peristiwa sejarah, asal-usul, atau kejadian alam. Contoh legenda antara lain yaitu kisah
Tangkuban Perahu dan Malin Kundang.
Prosa fiksi baru memiliki karakteristik yang berbeda dengan prosa lama ataupun
tulisan lainnya. Karakteristik prosa baru yaitu bersifat fleksibel, universal, dan dipengaruhi
budaya barat. Prosa baru ini muncul ketika prosa lama dirasa masyarakat sudah terkesan kuno
dan perlu ditambahkan ide-ide baru di dalamnya yang lebih bisa diterima oleh semua kalangan
masyarakat.
Prosa lirik merupakan salah satu bentuk prosa yang ditulis dan diungkapkan dengan
memadupadankan unsur pembangun prosa dan puisi. Ciri-cirinya yaitu sebagai berikut.
1. Ikatanantarkata dalam sebuah kalimat atau hubungan antarkalimat dalam sebuah paragraf
(secara sintaksis) lebih mendekati bentuk prosa. Masih menampilkan susunan paragraf-
paragraf.
2. Mengandung irama yang selaras dengan perasaan yang terkandung di dalamnya.
3. Isinya bersifas liris atau berupa curahan perasaan.
Contoh prosa lirik:
1. Hikayat Seri Rama
2. Hikayat Malim Demam
3. Hikayat Malim Dewa
4. Silsilah Kutai
5. Sabai Nan Aluih
6. Pengakuan Pariyem karangan Linus Suryadi AG.
7. Kekasihku karangan Amir Hamzah

Langkah-langkah menemukan makna cerita dalam prosa fiksi, yaitu memahami tokoh dan
penokohan, memahami alur, memahami latar, memahami penyudutpandangan, memahami tema,
dan memahami totalitas makna dalam cerita.
A. Memahami tokoh dan penokohan
Tokoh sentral merupakan tokoh yang amat potensial menggerakkan alur. Ia merupakan pusat
cerita, penyebab munculnya konflik. Sedangkan tokoh bawahan merupakan tokoh yang tidak
begitu besar pengaruhnya terhadapa perkembangan alur, walaupun ia terlibat juga dalam
pengem-bangan alur. Sedangkan tokoh latar merupakan tokoh yang sama sekali tidak
berpengaruh terhadap pengembangan alur, kehadirannya hanyalah sebagai pelengkap latar.
B. Memahami alur
Jika ditinjau dari cara pengarang mengakhiri cerita, terdapat dua jenis alur yaitu alur tertutup dan
alur terbuka. Berdasarkan jalannya cerita terdapat jenis alur maju, alur mundur, dan alur
campuran.
C. Memahami latar
Latar dalam prosa fiksi merupakan penggambaran suasana, tempat, hubungan waktu, lingkungan
sosial-budaya, dan atau lingkungan sejarah. Latar memiliki banyak fungsi dalam mendukung
jalnnya cerita, di antaranya agar cerita tampak lebih hidup dan menggambar-kan situasi
psikologis atau batin tokoh.

D. Memahami penyudut pandangan


Ada dua cara penyudutpandangan yaitu cara orang pertama dan cara orang ketiga. Dalam cara
orang pertama pengarang akan memakai “aku/saya” sebagai pencerita. Dalam cara orang ketiga
pengarang men-ceritakan peristiwa atau pengalaman orang ketiga, sehingga kata ganti yang
dipakai ialah “dia/ia/nama orang”.
E. Memahami tema
Untuk bisa memahami tema, Anda bisa menelusuri persoalan atau pokok
pembicaraan yang mendasari cerita lalu Anda kaitkan sesuaikan dengan amanat dalam cerita.
F. Memahami totalitas makna dalam cerita
Untuk memahami totalitas makna dalam cerita, Anda perlu menemukan hubungan makna
perilaku tokoh, makna konflik yang berkembang, makna penyelesaian konflik, makna latar,
makna penyudutpandangan, dan makna tema.

Contoh

Bertengkar Berbisik

M. Kasim

Biasanya orang yang bertengkar tak dapat tidak akan melepaskan sekuat-kuatnya suaranya dan
berkata berebut-rebut dengan tiada mempedulikan koma dan titik. Dalam cerita ini, suatu
pertengkaran yang disudahi dengan perkelahian yang hebat, telah berlaku dengan berbisik saja.

Pada waktu itu matahari sudah jauh condong ke barat. Tiga orang musafir, yang berjalan kaki
sedang dalam perjalanannya. Mereka itu mempercepat langkah, agar dapat berbuka puasa di
kampung orang. Menjelang akan sampai ke sebuah kampung kecil, yang masuk bahagian
Batangtoru, mereka itu berhenti sebentar akan bermusyawarah.

“Di kampung itu tidak ada lepau nasi, kenalan kitapun tidak ada. Di manakah kita akan
menumpang? Bertanak sendiri dalam puasa begini, saya tak sanggup rasanya” kata seorang,
yang bernama si Burkat.

“Itulah sebabnya maka saya katakan tadi, lebih baik kita bermalam di Sitinjak saja; di sana ada
warung nasi,” jawab temannya yang bernama si Togop.

“Saya sangka tadi, jika diburu-buru berjalan, dapat juga kita bermalam di Batangtoru, rupanya
tidak. Akan tetapi, menyesal dan mengeluh tak ada gunanya. Lebih baik kita cari akal, supaya
kita dapat makan petang ini.” Sejurus lamanya ketiganya tiada berkata-kata.
“Aku dapat suatu akal,” berkata si Burkat sambil memadang kedua temannya berganti-ganti.
Salah seorang di antara kita bertiga, kita panggilkan kepala kampung.”

”Kalau dipanggilkan kepala kampung saja saya rasa belum akan kenyang perut,” jawab si Togop.
“Itu saya tahu. Tetapi bagaimana akal yang terpikir oleh saya itu, belum saya keluarkan
semuanya. Dengarlah baik-baik. Kita semua tahu, orang yang tenama atau orang yang
berpangkat lebih dimalui orang daripada orang sembarang saja. Jadi, salah seorang diantara
kita, kita sebut kepala kampung, dua orang jadi pengiringnya. Dengan hal demikian, di
kampung ini kita menetap saja ke rumah kepala kampungnya. Saya rasa dia suka menjamu kita
buat semalam ini.”

”Menurut pikiran saya akal itu dapat dipakai. Tetepi karena engkau yang mendapat akal itu,
engkaulah pula kita angkat jadi kepala kampung itu. Kami berdua jadi pengiring,” kata si Togop.

“Engkau Togu, bagaimana pikiranmu?” bertanya si Burkat kepada temannya yang seorang lagi.

” Saya menurut saja!” jawab si Togu.

“Baik. Tetapi mula-mula patutlah saya diberi bergelar dahulu. Sebut sajalah saya Sutan
Menjinjing Alam. Tetapi hati-hati, jangan sesat, kalau-kalau terbuka rahasia kita. Jika terbuka,
bukan saja kita tidak dapat makan, tetapi badan kita akan merasai pula orang buat. Bungkusan
dan payung saya ini bawalah oleh kamu berdua, karena tak pantas lagi seorang raja membawa
bungkusan kalau saya ada pengiringnya.”

Sudah itu berjalanlah Sutan menjinjing alam di muka, diiringi si Togop dan si Togu.

Sesampai di kampung yang disebut tadi, setelah bertanya kepada seorang orang kampung itu,
mereka itu pun teruslah menuju ke rumah kepala kampung. Mula-mula naiklah si Togu
mengabarkan kedatangan mereka itu kepada yang empunya rumah.

Tiada berapa lama dengan bergegas turunlah seorang laki-laki yang setengah umur dari rumah.
Dengan ramah tamah dan senyum simpul memberi salam serta mengajak Sutan Menjinjing
Alam naik.

Sesampai di rumah, Sutan Menjinjing Alam dipersilakan duduk di atas permadani dan kedua
kawannya di atas sehelai tikar pandan yang putih bersih.

Baru sebentar mereka itu duduk, kedengaranlah di sebelah belakang “reok” ayam. Kepala
kampung yang tiada berbeslit itu pun memandang kepada kedua kawannnya, dengan pandang
yang berarti, seolah-olah mengatakan : “Lihatlah, komidi kita berhasil baik!”
Setelah bercakap-cakap sejurus, waktu berbuka pun tibalah. Sebuah talam yang berisi
penganan diangkat orang ke hadapan Sutan Menjinjing Alam, sedang si Togop dan si Togu
dilayani seperti biasa saja.

“Marilah kita berbuka dahulu, Engku!” kata yang punya rumah. ”Tetapi buat makan, saya harap
engkau akan sabar kiranya sampai lepas sembahyang Isya.”

“Tidak mengapa, Engku. Kami telah mengganggu kesenangan engku dan membuat orang kaya
di rumah ini bersusah-susah, jawab Sutan Menjinjing alam sambil mengangkat sebuah gelas
yang berisi seterup ke bibirnya.

Waktu hendak makan, sebuah talam diangkat orang pula ke hadapan Sutan Menjinjing
Alam.pada piring gulainya tampaklah terbelintang sebuah paha ayam, dan pada piring lain
sebilah dada ayam yang digoreng. Si togop dan si Togu hanya mendapat tulang-tulang rusuk
dan tulang-tulang belakang saja.

Memandang perbedaaan itu, terbitlah cemburu dalam hati kedua pengiring itu, lebih-lebih lagi si
Togop.

Waktu akan tidur, yang empunya rumah mengembangkan sehelai kasur untuk kepala kampung
palsu itu, lengkap dengan bantal dan selimutnya; dan pengiringnya hanya mendapat sehelai
tikar dan dua buah bantal.

“Marilah kita tidur, Engku. Engku telah payah benar berjalan sehari ini,” kata yang empunya
rumah.

Tetapi baru saja ia masuk dan menguncikan pintu dari dalam, datanglah si Togop merangkak
mendapatkan Sutan Menjinjing Alam. “Engkau telah mendapat beberapa kelebihan dari kami,”
katanya dengan berbisik. Waktu berbuka engkau mendapat pebukaan yang lebih baik dan
waktu makan engkau kenyang makan dagingnya, kami hanya mendapat tulang-tulangnya.
Sekarang kita berganti, engkau tidur di tikar itu. Kami berdua tidur di atas kasur ini.

“Tidak. Siapa mau begitu?” jawab Sutan Menjinjing Alam dengan berbisik pula, menampik
permintaan si Togop itu. Makanan itu rezekiku dan kasur itu pun rezekiku.

“Benar, tetapi sebabnya engkau peroleh itu karena bantuan kami. Kami kurbankan diri kami jadi
pengiringmu dan kami sebutkan engkau kepala kampung. Jika tidak, tentu engkau tidak akan
mendapat segala kesenangan ini.”
“Bukan untuk saya saja, kamu berdua pun tidak makan malam ini, jika tidak karena akalku.”

“Anak keparat rupanya engkau ini, curang, tamak, tidak setia berkawan, hanya memikirkan
kesenangan sendiri saja,” kata si Togop bebisik.

”Engkau ini pun tidak setia, tambahan khianat, dengki, iri hati melihat orang mendapat
kesenangan,” Sutan Menjinjing Alam dengan berbisik pula, karena takut kedengaran kepada
yang empunya rumah.

”Ayo, sudah. Kasur ini biarlah kepadamu, tetapi selimut ini untukku,” kata si Togop sambil
menarik selimut itu.

“Tidak, tidak. Biar bagaiamana tidak aku berikan,” jawab Sutan Menjinjing Alam.

“Alangkah sombongnya ini, Burkat. Baharu jadi kepala kampung icak-icak saja, sudah
sepongah itu. Dicekiki hendaknya engkau ini, biar mampus.”

“Coba kalau berani,” jawab Sutan Menjinjing Alam sambil menghampirkan mukanya menentang
muka si Togop. Tetapi untung akan celaka, kebetulan pada waktu itu ia batuk, air ludahnya
terpercik ke muka si Togop, dan oleh karena itu si Togop seakan-akan kelupaan diri, maka
dibalasnya perhinaan itu. Maka terjadilah peperangan ludah yang amat hebat, diiringi tinju,
sepak dan terajang.

Bunyi dar, dur, kelantang-kelantung kedengaranlah dan rumah itu bergerak-gerak seperti
diguncang gempa.

Dengan sangat terperanjat dan terburu-buru, yang empunya rumah pun keluar. Didapatinya si
Togop sedang menghatam Sutan Menjinjing Alam, lalu ditolakkannya sambil berkata dengan
gusar. “Tidak tahu adat engkau ini, berani menjatuhkan tangan kepada rajamu!”

“Ia bukan raja, bukan kepala kampung, tetapi penipu... Ia yang mengajak kami menipu Engku,
menyuruh kami menyebut dia kepala kampung...”

“Engkau pun penipu!” kata kepala kampung palsu itu terengah-engah sebab ketakutan.

“O, sekarang aku sudah mengerti, kamu bertiga ini bangsat...penipu...menyungkahkan nasiku
dengan akal busuk. Ayo! Kamu orang kampung ini, tangkap ketiga bangsat ini, boleh kita bawa
kepada Engku Jaksa di Batangtoru,” kata yang empunya rumah kepada orang banyak, yang
sementara itu datang berkerumun ke tempat itu.
Akan tetapi sebelum orang banyak dapat melakukan perintah itu, Sutan Menjinjing Alam dengan
kedua pengiringnya telah meloloskan diri, melompat dari jendela dan hilang di tempat yang
kelam.

Contoh menemukan makna cerpen “Bertengkar Berbisik”

a. Memahami tokoh dan penokohan

Tokoh sentral (tokoh utama) dalam cerpen “Bertengkar Berbisik” ialah Burkat, Togo, dan
Togu, karena ketiga orang ini paling banyak muncul dalam cerpennya. Penggambaran tokoh
utama terlihat pada paragraf kedua:

“Pada waktu itu matahari sudah jauh condong ke barat. Tiga orang musafir, yang berjalan
kaki sedang dalam perjalanannya. Mereka itu mempercepat langkah, agar dapat berbuka
puasa di kampung orang. Menjelang akan sampai ke sebuah kampung kecil, yang masuk
bahagian Batangtoru, mereka itu berhenti sebentar akan bermusyawarah.”

Pada Cerpen “Bertengkar Berbisik” ini, kepala kampung beserta orang-orang di kampung
adalah tokoh tambahan. Penggambaran tokoh tambahan dapat kita lihat berikut ini:

“Sesampai di rumah, Sutan Menjinjing Alam dipersilakan duduk di atas permadani dan
kedua kawannya di atas sehelai tikar pandan yang putih bersih.”

“Baru sebentar mereka itu duduk, kedengaranlah di sebelah belakang “reok” ayam. Kepala
kampung yang tiada berbeslit itu pun memandang kepada kedua kawannnya, dengan
pandang yang berarti, seolah-olah mengatakan : “Lihatlah, komidi kita berhasil baik!””

“Setelah bercakap-cakap sejurus, waktu berbuka pun tibalah. Sebuah talam yang berisi
penganan diangkat orang ke hadapan Sutan Menjinjing Alam, sedang si Togop dan si Togu
dilayani seperti biasa saja.

Marilah kita berbuka dahulu, Engku!” kata yang punya rumah. Tetapi buat makan, saya
harap engkau akan sabar kiranya sampai lepas sembahyang Isya.”

b. Memahami alur
Alur dalam cerpen “Bertengkar Berbisik” ini merupakan alur terbuka dan alur maju. Alur terbuka
karena masih memberikan kesempatan untuk akhir cerita yang baru. Alur maju karena terdiri dari
tahap awal, tahap tengah atau puncak, dan tahap akhir terjadinya suatu peristiwa. Awal terjadinya
konflik pada cerpen ini disaat mereka sedang berpuasa dan hari sudah menjelang sore namun
mereka belum juga sampai di Batangtoru, terjadi perdebatan karena mereka tidak mau
bermalam di kampung terdekat karena mengetahui tidak ada lepau atau nasi.

Pada waktu itu matahari sudah jauh condong ke barat. Tiga orang musafir, yang berjalan
kaki sedang dalam perjalanannya. Mereka itu mempercepat langkah, agar dapat berbuka
puasa di kampung orang. Menjelang akan sampai ke sebuah kampung kecil, yang masuk
bahagian Batangtoru, mereka itu berhenti sebentar akan bermusyawarah.”

c. Memahami latar

Cerpen ini mengandung berbagai latar yang akan diuraikan sebagai berikut.

1) Latar tempat

Di jalanan, latar tempat ini tergambarkan pada kutipan berikut ini.

“Tiga orang musafir, yang berjalan kaki sedang dalam perjalanannya. Mereka itu
mempercepat langkah, agar dapat berbuka puasa di kampung orang. Menjelang akan
sampai ke sebuah kampung kecil, yang masuk bagian Batangtoru, mereka itu berhenti
sebentar akan bermusyawarah.” ketiga tokoh yang sedang berdiskusi di jalan sebelum
sampai di desa kecil yang masuk bagian dari Batangtoru agar mendapatkan makan di
gratis dan tempat untuk menginap.”

Rumah kepala desa yang ada di desa kecil bagian dari Batangtoru, latar tempat ini
tergambar pada kutipan berikut ini.

“Sesampai di kampung yang disebut tadi, setelah bertanya kepada seorang orang
kampung itu, mereka itu pun teruslah menuju ke rumah kepala kampung. Mula-mula
naiklah si Togu mengabarkan kedatangan mereka itu kepada yang empunya rumah.
Tiada berapa lama dengan bergegas turunlah seorang laki-laki yang setengah umur dari
rumah. Dengan ramah tamah dan senyum simpul memberi salam serta mengajak Sutan
Menjinjing Alam naik.Sesampai di rumah, Sutan Menjinjing Alam dipersilakan duduk di
atas permadani dan kedua kawannya di atas sehelai tikar pandan yang putih bersih”
ketiga musafir menyamar menjadi Sultan Menjinjing Alam dan para pengawalnya
menemui kepala desa dirumahnya agar diberikan makan untuk berbuka puasa dan
tempat singgah untuk tidur.”

Kamar tidur dirumah kepala desa, latar tempat ini tergambarkan pada kutipan: ““
“Marilah kita tidur, Engku. Engku telah payah benar berjalan sehari ini,” kata yang
empunya rumah.Tetapi baru saja ia masuk dan menguncikan pintu dari dalam,
datanglah si Togop merangkak mendapatkan Sutan Menjinjing Alam.” Pada
kalimat tersebut jelas tergambar bahwa latarnya adalah kamar tidur, karena ada
adegan mengunci pintu dari dalam yang menggambarkan ketiga musafir itu
berada disebuah ruangan yaitu kamar tidur.

2) Latar waktu

Sore hari , latar waktu ini tergambar pada kalimat “

“Pada waktu itu matahari sudah jauh condong ke barat. Tiga orang musafir, yang
berjalan kaki sedang dalam perjalanannya.”apabila matahari condong ke barat
yang berarti matahari mau terbenam ,kejadian seperti ini terjadi pada saat sore
hari. Sore hari juga tergambarkan pada dialog tokoh “” Di kampung itu tidak ada
lepau nasi, kenalan kitapun tidak ada. Di manakah kita akan menumpang?
Bertanak sendiri dalam puasa begini, saya tak sanggup rasanya” kata seorang,
yang bernama si Burkat.” ketiga tokoh yang sedang bingung mencari makanan
untuk berbuka puasa dan tempat singgah, jelas latarnya adalah sore heri karena
waktu berbuka puasa adalah saat fajar tenggelam.

Malam hari, latar waktu ini tergambar pada dialoge tokoh yang mengajak makan malam yang
dimulai sehabis isya:“

“Marilah kita berbuka dahulu, Engku!” kata yang punya rumah. Tetapi buat
makan, saya harap engkau akan sabar kiranya sampai lepas sembahyang Isya.”
dan latar malam hari juga tergambar pada dialoge tokoh yang mempersilahkan
ketiga musafir itu hendak tidur.”

“Marilah kita tidur, Engku. Engku telah payah benar berjalan sehari ini,” kata yang
empunya rumah.””

3) Latar suasana

Bingung, latar suasana ini tergambarkan pada saat ketiga musafir ini tidak mempunyai
makanan untuk berbuka puasa dan tempat untuk singgah sedangkan matahari sudah mulai
terbenam, terbukti pada dialogue tokoh tersebut: ““
“Di kampung itu tidak ada lepau nasi, kenalan kitapun tidak ada. Di manakah kita
akan menumpang? Bertanak sendiri dalam puasa begini, saya tak sanggup
rasanya” kata seorang, yang bernama si Burkat.”

“Itulah sebabnya maka saya katakan tadi, lebih baik kita bermalam di Sitinjak
saja; di sana ada warung nasi,” jawab temannya yang bernama si Togop.”

“Saya sangka tadi, jika diburu-buru berjalan, dapat juga kita bermalam di
Batangtoru, rupanya tidak. Akan tetapi, menyesal dan mengeluh tak ada
gunanya. Lebih baik kita cari akal, supaya kita dapat makan petang ini.” Sejurus
lamanya ketiganya tiada berkata-kata.””

Gembira, latar suasana ini tergambar pada saat ketiga musafir ini berhasil mengelabuhi kepala
desa yang malah menyambut mereka dengan senang hati dan memberi makanan untuk
berbuka yang tergambar pada dialogue tokoh tersebut . “Baru sebentar mereka itu duduk,
kedengaranlah di sebelah belakang reok” ayam. Kepala kampung yang tiada berbeslit itu pun
memandang kepada kedua kawannnya, dengan pandang yang berarti, seolah-olah mengatakan
: “Lihatlah, komidi kita berhasil baik!””.

Tegang, latar suasana ini tergambar pada saat adanya perbedaan perlakuan terhadapa salah
satu musafir yaitu burkat yang menyamar menjadi Sultan Menjinjing Alam yang mendapat
perlakuan lebih istimewa karena menyamar menjadi Sultan menjinjing Alam.

“Waktu hendak makan, sebuah talam diangkat orang pula ke hadapan Sutan
Menjinjing Alam.pada piring gulainya tampaklah terbelintang sebuah paha ayam,
dan pada piring lain sebilah dada ayam yang digoreng. Si togop dan si Togu
hanya mendapat tulang-tulang rusuk dan tulang-tulang belakang saja.
Memandang perbedaaan itu, terbitlah cemburu dalam hati kedua pengiring itu,
lebih-lebih lagi si Togop.”

Menegangkan, latar suasana ini tergambar pada saat di ruang tidur, togu dan togop
mengutarakan kekesalanya sambil berbisik kepada burkat dan memintanya untuk begantian
tidur di bawah sedangkan Togu dan Togop yang tidur diatas karena tadi burkat sudah
mendapatkan makanan yang lebih enak, tetapi Burkat tidak mau karena menganggap ini adalah
rejeki dia karena sudah bisa berperan meyakinkan menjadi Sultan Menjinjing Alam, dan
terjadilah perkelahian diantara ketiga musafir tersebut yang tergambar pada dialogue.
“Engkau telah mendapat beberapa kelebihan dari kami,” katanya dengan berbisik.
Waktu berbuka engkau mendapat pebukaan yang lebih baik dan waktu makan
engkau kenyang makan dagingnya, kami hanya mendapat tulang-tulangnya.
Sekarang kita berganti, engkau tidur di tikar itu. Kami berdua tidur di atas kasur ini.”

“Tidak. Siapa mau begitu?” jawab Sutan Menjinjing Alam dengan berbisik pula,
menampik permintaan si Togop itu. Makanan itu rezekiku dan kasur itu pun
rezekiku.“Benar, tetapi sebabnya engkau peroleh itu karena bantuan kami. Kami
kurbankan diri kami jadi pengiringmu dan kami sebutkan engkau kepala kampung.
Jika tidak, tentu engkau tidak akan mendapat segala kesenangan ini.”

“Bukan untuk saya saja, kamu berdua pun tidak makan malam ini, jika tidak karena
akalku.”

“Anak keparat rupanya engkau ini, curang, tamak, tidak setia berkawan, hanya
memikirkan kesenangan sendiri saja,” kata si Togop bebisik. ”Engkau ini pun tidak
setia, tambahan khianat, dengki, iri hati melihat orang mendapat kesenangan,”
Sutan Menjinjing Alam dengan berbisik pula, karena takut kedengaran kepada yang
empunya rumah.”Ayo, sudah. Kasur ini biarlah kepadamu, tetapi selimut ini
untukku,” kata si Togop sambil menarik selimut itu.

“Tidak, tidak. Biar bagaiamana tidak aku berikan,” jawab Sutan Menjinjing Alam.

“Alangkah sombongnya ini, Burkat. Baharu jadi kepala kampung icak-icak saja,
sudah sepongah itu. Dicekiki hendaknya engkau ini, biar mampus.”

“Coba kalau berani,” jawab Sutan Menjinjing Alam sambil menghampirkan mukanya
menentang muka si Togop. Tetapi untung akan celaka, kebetulan pada waktu itu ia
batuk, air ludahnya terpercik ke muka si Togop, dan oleh karena itu si Togop seakan-
akan kelupaan diri, maka dibalasnya perhinaan itu. Maka terjadilah peperangan ludah
yang amat hebat, diiringi tinju, sepak dan terajang.”

Mencekam , latar suasana ini tergambar pada saat ketiga musafir ini ketahuan kalau mereka
adalah penipu karena mereka berkelahi hingga menyebabkan kegaduhan sampai datang
kepala desa dan para warga yang pada akhirnya mengetahui kebenarannya, ketiga musafir itu
ingin di bawa kejaksa di Batangboru sebelum akhirya dia kabur meloloskan diri yang terdapat
pada kutipan berikut:
“Dengan sangat terperanjat dan terburu-buru, yang empunya rumah pun keluar.
Didapatinya si Togop sedang menghatam Sutan Menjinjing Alam, lalu ditolakkannya
sambil berkata dengan gusar. “Tidak tahu adat engkau ini, berani menjatuhkan
tangan kepada rajamu!”

“Ia bukan raja, bukan kepala kampung, tetapi penipu... Ia yang mengajak kami
menipu Engku, menyuruh kami menyebut dia kepala kampung...”

“Engkau pun penipu!” kata kepala kampung palsu itu terengah-engah sebab
ketakutan.

“O, sekarang aku sudah mengerti, kamu bertiga ini bangsat...penipu...menyungkahkan


nasiku dengan akal busuk. Ayo! Kamu orang kampung ini, tangkap ketiga bangsat ini, boleh
kita bawa kepada Engku Jaksa di Batangtoru,

d. Memahami penyudutpandangan

Cerpen ini menggunakan sudut pandang orang ketiga. Nama tokoh dominan digunakan
untuk menceritakan peristiwa atau pengalaman tokoh dalam cerita seperti digambarkan
dalam kutipan berikut ini.

“Di kampung itu tidak ada lepau nasi, kenalan kitapun tidak ada. Di manakah kita akan
menumpang? Bertanak sendiri dalam puasa begini, saya tak sanggup rasanya” kata
seorang, yang bernama si Burkat.

e. Memahami tema
Tema cerpen ini adalah kebohongan dan penipuan. Ini terlihat dari data berikut.

“Aku dapat suatu akal,” berkata si Burkat sambil memadang kedua temannya berganti-ganti.
Salah seorang di antara kita bertiga, kita panggilkan kepala kampung.”

“....Kita semua tahu, orang yang tenama atau orang yang berpangkat lebih dimalui orang
daripada orang sembarang saja. Jadi, salah seorang diantara kita, kita sebut kepala
kampung, dua orang jadi pengiringnya. Dengan hal demikian, di kampung ini kita menetap
saja ke rumah kepala kampungnya. Saya rasa dia suka menjamu kita buat semalam ini.”

“Baik. Tetapi mula-mula patutlah saya diberi bergelar dahulu. Sebut sajalah saya Sutan
Menjinjing Alam. Tetapi hati-hati, jangan sesat, kalau-kalau terbuka rahasia kita. Jika terbuka,
bukan saja kita tidak dapat makan, tetapi badan kita akan merasai pula orang buat...”
f. Memahami totalitas makna dalam cerita
Tema cerpen ini adalah kebohongan yang terus ditutupi dengan kebohongan
begitupula penipuan akan terus ditutupi dengan penipuan yang tidak bertepi.

Anda mungkin juga menyukai