Anda di halaman 1dari 8

MENGANALISIS NOVEL

KELOMPOK 5
-AMELIA WARDAHTUL JANNAH
-APRILLIA SEKAR AYUNINGTYAS
-FERI AZHAR
-HANIF MUAZZAM
-NOVITA
-SHENNY SHERMANISA ZAHRANI

XII MIA 5
SMAN 1 KABUPATEN TANGERANG
TAHUN PELAJARAN 2019/2020
JENTERA BIANGLALA
Unsur Instrinsik “Jentera Bianglala”

1. TEMA
Dalam novel “Jentera Bianglala” pengarang Ahmad Tohari mengangkat
cerita yang bertemakan tentang politik, sosial dan ekonomi. Cerita ini
dibuat saat terjadinya Gerakan 30 September Tahun 1965, dimana
pengarang menjadi saksi hidup dan tersadar atas kejahatan yang dilakukan
oleh PKI pada saat itu. Oleh karena itu, Ahmad Tohari sering kali memuat
tentang nasib manusia (rakyat) yang menderita, dan secara garis besar
cerita dalam novel ini mengiisah tentang penderitaan, keterpinggiran atau
kenelangsaan masyarakat bawah.

2. TOKOH dan PENOKOHAN, meliputi berikut ini:


1. Srintil adalah tokoh utama dari Jantera Bianglala. Perempuan cantik
berperawakan menarik digambarkan sebagai simbol perempuan yang
sempurna fisiknya. Dia adalah seorang ronggeng yang dipandang
sebagai wanita penggoda. Dalam cerita, Srintil mengalami tekanan
psikologis yang hebat setelah tahun 1965. Dia bukan saja jadi sadar,
dia pun menjadi pendiam, menerima apa adanya, pesimistis, jauh
berbeda dahulu dengan dahulu yang cenderung periang, penggoda,
optimis dalam bertindak. Di akhir cerita, Srintil mengalami gangguan
jiwa.
 Rapuh. Hal ini ditunjukkan dalam petikan berikut “ Dan rasa
terenyuh tak terhindarkan karena Nyai Kartareja menyadari
betapa ringkih keadaan jiwa Srintil, dia menjadi demikian
gugup hanya karena disampaikan kepadanya sesuatu yang
penting.”
 Teguh. Hal ini terlihat ketika dia menolak mentah-mentah
tawaran Nyai Kartareja untuk bersama Marsusi.
 Penuh kasih sayang. Hal ini terlihat dari sikap Srintil kepada
Goder.
 Penuh pertimbangan. Hal ini terlihat ketika dia hendak
memutuskan apakah akan dengan Bajus atau tidak.
2. Rasus adalah seorang tokoh yang pernah memiliki hubungan dekat
dengan Srintil saat mudanya dan teman sepermainan di masa kecil.
Rasus adalah tentara dengan hati halus dan tak pernah melupakan
Dukuh Paruk sebagai tanah airnya.
 Teguh pendirian. Hal ini terlihat ketika Rasus berkeras hati
pergi ke Dukuh Paruk menemui neneknya.
 Cerdas. Hal ini terlihat ketika Rasus mengatakan bahwa dirinya
bekas kacung Kapten Mortir supaya dapat menemui Srintil
dipenjara.
 Berani. Hal ini dibuktikan ketika dia keluar dari penjara dia
berteriak mempertahankan harga dirinya ketika para penjaga
pos mengejek dirinya sebagai kacung.
 Kasih sayang. Hal ini terbukti ketika dia menengok neneknya
dan menungguinya sampai ajal menjemput.
 Menjalankan amanah. Hal ini terlihat ketika dia diminta agar
menjaga Srintil, hal ini dibuktikan ketika Srintil gila, dia tetap
setia mendampingi Srintil.
 Ikhlas dan rela berkorban. Hal ini terlihat, meskipun Rasus
mencintai Srintil, namun dia berpesan apabila ada orang yang
benar-benar tulus mencintai Srintil, maka dia ikhlas merelakan
perempuan itu.
3. Nenek Rasus adalah perempuan tua malang yang menginginkan
bertemu dengan cucunya saat ajal menjemput. 
4. Sakarya, kakek Srintil yang penyayang, penyabar dan peduli kepada
orang lain, ketua kampung yang dihormati namun dia tetap tunduk
pada nasibnya sebagai rakyat kecil.
 Cerdas. Terlihat saat Sakarya orang-orang Dukuh Paruk
melapisi atap-atap gubuk mereka dengan ilalang buat
mengedap air hujan.
 Mudah putus asa dan menyerah/pasrah. Hal ini terlihat dalam
kutipan “Tetapi Sakarya telah merasakan kekalahan hidup
yang pasti. Dia merasa peran hidupnya sudah mandul, tanpa
arti.”
 Bijak. Hal ini terlihat dari nasehat-nasehatnya tentang hidup
kepada Srintil.
5. Sakum, tetangga Srintil berarti juga penduduk Dukuh Paruh, penabuh
gamelan saat Srintil naik panggung meronggeng. Sakum mengalami
kebutaan.
6. Ki Kertareja, dan  Nyai Kertareja, yaitu pasangan materialistis yang
membimbing Srintil menjadi ronggeng.
 Bebal. Hal ini diungkapkan oleh Srintil seperti dalam kutipan
“oh Nyai Kartareja. Rupanya kamu tidak terusik sedikitpun
oleh sekian banyak pertanyaan itu. Kamu bebal. ...”
 Suka bergunjing. Hal ini dapat dilihat dari berita kepulangan
Srintil sudah sampai ke pasar Dawuan melalui celoteh Nyai
Kartareja.
7. Tampi, ibu kandung Goder. 
8. Goder, anak angkat Srintil.
9. Sersan Pujo, atasan Rasus dalam pasukan tentara. 
10. Bajus, bujang tua yang baik kepada Srintil namun jauh dari perkiraan.
Srintil sempat akan dijadikannya umpan demi proyeknya. 
 Perhatian dan pengertian. Ketika dia datang dan Srintil
mengatakan kalau dia sakit, maka Bajus menawarkan untuk
membawa kedokter. Dia juga tak merasa keberatan ketika
Srintil menolak untuk diajaknya pergi jalan-jalan.
 Suka berbohong. Selama ini Bajus dikenal Srintil sebagai
lelaki yang baik, namun ternyata kebaikan tersebut digunakan
Bajus hanya demi kepentingan pribadinya.
11. Pak Blengur, majikan Bajus.
12. Marsusi, seorang kepala perkebunan di daerah Wanakeling.
 Keras kepala. Hal ini terlihat ketika dia sudah tau bahwa
mendekati bekas tahanan akan menimbulkan cibiran dari
masyarakat namun dia tidak peduli dengan hal itu, dia masih
memiliki keinginan untuk mendekati Srintil bagaimana pun
caranya.
 Tidak tahu malu. Hal ini terlihat ketika Marsusi masih saja
merayu Srintil padahal sudah ditolak oleh Srintil.
 Suka memaksa. Hal ini terlihat dalam petikan “Sementara itu
Marsusi sudah berubah sepenuhnya menjadi seorang pemburu,
makin bergelora karena Srintil tidak mengacuhkan
panggilannya. Harga dirinya tersinggung dan segala hasratnya
menjadi demikian sederhana, menguasai Srintil dengan
kesunyian hutan jati, kemudian persoalannya menjadi
sederhana pula.”
 Mudah berubah sikap. Hal ini terlihat setelah sebelumnya dia
mengejar-ngejar Srintil, namun begitu dia tahu Srintil jatuh
dan terluka dia berubah menjadi baik.

3. SUDUT PANDANG
Sudut pandang yang digunakan oleh Pengarang dalam penulisan sinopsis
“Jentera Bianglala” ini adalah menggunakan sudut pandang orang pertama
sebagai pelaku utama seperti adanya kata “aku” dan sudut pandang
pengganti orang ketiga baik dalam cerita maupun diluar cerita. Bukti
pengarang menggunakan kata ganti orang ketiga adalah seperti adanya
kata “ dia dan –nya” dan menyebutkan nama tokoh secara langsung.
4. LATAR
Latar atau tempat terjadinya cerita yang terdapat dalam sinopsis “Jentera
Bianglala” ini adalah sebagai berikut:
a. Latar Tempat : Dukuh paruk, ladang/ kebun, dibawah pohon nangka,
rumah Nyai Kartareja, perkuburan, pasar Dawuan, di markas tentara, di
hutan, rumah Sakarya, rumah nenek, rumah Sakum, rumah Tarim,
lapangan bola deka kantor Kecamatan, di Alaswangkal, kantor polisi, di
Penjara/tahanan, di sawah, di pantai, di vila, rumah sakit.
b. Latar Waktu : pagi hari dan malam hari.

5. ALUR
Alur atau jalanya cerita dalam sinopsis “Jentera Bianglala” menggunakan
alur maju yang disertai dengan “flash back” atau kembali ( mundur )
kemasa lalu, baik yang dialami oleh tokoh utama atau pemeran lainya.
Dalam cerita ini yakni ditengah-tengah cerita pengarang menceritakan
kembali masa lalu yang sempat dialami oleh pemeran cerita. Seperti
menceritakan kembali terjadinya peristiwa tempe bongrek sebelas tahun
yang lalu atau semasa bayinya Srintil.

6. GAYA CERITA
Gaya cerita atau penceritaan yang digunakan oleh pengarang dalam
penulisan sinopsis “Jentera Bianglala“ ini adalah klimaks yakni
permasalahan yang dihadapi oleh pemeran utama semakin memuncak dan
tidak mengalami suatu “happy ending” atau penyelesaian yang bahagia
pada akhir cerita tersebut. Atau bagaimana kepastian mengenai nasib yang
di alami oleh tokoh utama masih belum dapat diketahui dengan jelas, dan
pembaca hanya bisa menebak-nebak nasib yang dialami oleh para tokoh
tersebut.

7. AMANAT
Amanat atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada
pembaca melalui sinopsis “Jentera Bianglala” ini adalah: Agar kita semua
mau dan mampu melihat seseorang itu tidak hanya dari luarnya saja
melainkan juga dari hatinya. Dan agar kita mau berpikir mengenai tragedi-
tragedi kemanusiaan yang terjadi disekeliling kita. Pesan lain mungkin
lebih cenderung kepada ketidak senangan atau kebencian pengarang
terhadap pengkhianatanyang dilakukan oleh PKI di akhir September 1965.
sehingga novel ini muncul dan menjadi penyuara kegetiran hati pengarang
yang menggambarkan keadaan di masa itu.

 Menelaah unsur Ekstrinsik novel “Jentera Bianglala”


 Nilai budaya :
Tak ada lagi suara calung dan tembang ronggeng. Makam Ki
Secamenggala yang secara turun-temurun menjadi anutan kehidupan
batin orang Dukuh Paruk kelihatan tak terawat. Suara calung, tembang
ronggeng serta pemujaan terhadap makam Ki Secamenggala adalah
urusan-urusan yang sedang tidak cocok dengan selera kenisbian
sejarah.

 Nilai agama :

Dan Sakarya hanya bisa menghayati kematian dalam sebuah


kidung yang selalu ditembangkan bila ada warga Dukuh Paruk
meninggal.

Sebentuk unikum yang mewujud selama lebih dari tujuh puluh


tahun di Dukuh Paruk telah lenyap dan kembali menjadi debu bagian
unverserum. Rohnya kembali kepada Yang Mahaempunya. “Innalillahi
wa inna ilaihi rojiun” gumam Rasus. Diusapnya wajah jasad neneknya
agar kelopak matanya tertutup.

 Nilai sosial :

Keesokan harinya ketika setiap renik embun larut kembali


dalam udara, semua warga Dukuh Paruk berjalan mengiring jasad
Nenek Rasus ke makamnya. Tak seorang pun tertinggal, semua berada
dalam barisan panjang mengikuti lorong yang naik ke bukit
perkuburan Dukuh Paruk.

 Nilai estetis :

Pelita kecil yang tercantel pada tiang kayu lapuk tinggal


memiliki tetes terakhir minyaknya. Tetes minyak itu melembapkan
sumbu kain, merembes naik menerobos selongsong logam dan
sampailah ke batas nyala. Setiap molekul minyak tersambar panas lalu
melepas tenaga yang dikandungnya menjadi bunga api. Nyala itu
tinggal sebesar gabah. Kelap-kelip makin mengecil kehilangan
runcingnya sedikit demi sedikit. Warnanya yang kuning kemerahan
perlahan-lahan berubah biru, di pusatnya ada titik pijar membara.
Lambar laun segala bentuk di sekeliling pelita mulai kehilangan
sosoknya. Nyala yang tinggal titik pijar biru mulai bergetar. Dan
padam.

 Nilai Moral :

Sepi. Tak terdengar suara yang segera menjawab. Orang-orang


hanya bisa menundukkan kepala dan menelan ludah. Orang-orang
sedang menikmati sentuhan lembut yang mengelus jiwa. Sedulur,
Rasus tetap menyebut mereka saudara. Sebutan yang begitu lumrah
namun menjadi sangat istimewa bagi sekelompok manusia sisa
kobaran api di Dukuh Paruk.

Anda mungkin juga menyukai