Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH BAHASA INDONESIA

MENIKMATI NOVEL
”JANTERA BIANGLALA”

Kelompok :
Diva Aurora M
Edhel Hofman S
Fajrin
Farid
Fathya Dzulhijah Medy

Pertanyaan Pra Baca


1. Apakah tema dari buku Jentera Bianglala

2. Penulis mendapatkan Inspirasi darimana untuk menulis buku ini?

3. Apakah buku ini memenuhi ekspetasi yang dibayangkan pembaca?

Data yang Diperoleh


1. Jentera Bianglala merupakan buku ketiga dari trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya
Ahmad Tohari
2. Ia telah mengangkat kehidupan berikut cara pandang orang-orang dari lingkungan
dekatnya ke pelataran sastra Indonesia
3. Novel ini di terbitkan pada tahun
4. Jantera Bianglala menceritakan kisah Rasus saat tragedi PKI tahun 1965.
Rasus yang menjadi tentara harus meninggalkan kampung halamannya, Dukuh Paruk.
Srintil, teman masa kecil Rasus yang dianggap sebagai pencerminan diri ibunya juga
menjadi tahanan politik di kota Eling-eling. Cerita berjalan hingga klimaksnya ketika
Rasus mengetahui bahwa Srintil menjadi gila dan Rasus tetap ingin menikahi Srintil
5. Dibalik alur utama nya, terselip juga beberapa deskripsi yang dituliskan Ahmad Tohari
mengenai kemiskinan penduduk Dukuh Paruk, kerusakan lingkungan pada tempat itu,
serta kepercayaan (animisme) yang terdapat di Dukuh Paruk.
6. Secara garis besar, permasalahan-permasalahan yang ada dalam novel Jantera Bianglala
memang disebabkan oleh hilangnya harapan warga Dukuh Paruk ketika ronggeng
mereka, Srintil ditangkap karena masalah PKI. Hilangnya harapan itu berdampak pada
cara pandang warga Dukuh Paruk dalam menjalani kehidupan mereka. Pesimisme dalam
menjalani hidup itulah yang kemudian berdampak pada banyak segi kehidupan mereka
yang menjadi semakin buruk. 

Sinopsis
Dukuh Paruk menjadi tempat yang sangat memprihatinkan setelah sebelumnya terjadi
bencana besar yaitu pembakaran rumah penduduk akibat kisruh 1965. Dukuh Paruk yang tidak
tahu apa-apa harus menjadi korban. Rumah dan harta benda semua habis terbakar, beruntung
bagi Dukuh Paruk karena orang-orang sudah terbiasa menerima musibah, seperti tragedi tempe
bongkrek yang banyak merenggut jiwa. Tetapi musibah kali ini sungguh di luar dugaan mereka.
Mereka harus tinggal dan makan seadanya. Orang-orang dari luar desa pun tidak ada yang
memberi bantuan.

Dukuh Paruk kini tanpa pemimpin dan tanpa Srintil, orang yang selama ini menjadi
panutan di Dukuh Paruk harus dipenjara. Beberapa bulan kemudian Sakarya, Kertareja dan
yang lainnya dibebaskan. Tetapi mereka pulang tanpa Srintil dan orang-orang dukuh paruk tidak
ada yang menyakan kemana Srintil berada. Itu karena Srintil masih di tahan di tempat yang
tidak Sakarya dn rombongan lainnya ketahui.

Dukuh Paruk yang miskin, didatangi seorang pemuda yang gagah berseragam. Semula
semua orang takut dan enggan tersenyum meskipun yang datang itu dadalah Rasus. Orang-
orang Dukuh Paruk ternyata masih trauma apabila ada orang berseragam datang. Tetapi yang
membuat hati mereka tersenyum lagi adalah Rasus yang masih mau peduli dengan tempat
kelahirannya. Rasus masih seperti yang dulu dan kedatangannya kali ini untuk menjenguk
neneknya yang kritis. Tidak lama kemudian nenek Rasus meninggal dunia dan Rasus harus
kembali menjalankan tugasnya. Sebelum pergi, Sakarya meminta bantuan Rasus untuk
membebaskan Srintil.

Tidak lama kemudian, Srintil kembali pulang ke Dukuh Paruk. Srintil lemas tidak berdaya
karena kelelahan karena ia pulang dengan berjalan kaki. Sejak kepulangannya, sikapnya
berubah, ia lebih banya diam. Walaupun sudah keluar dari tahanan, Srintil masih tetap harus
melapor ke tempat dimana ia ditahan. Srintil mulai bisa tersenyum ketika melihat Goder, anak
Tampi. Srintil memutuskan untuk mengasuh Goder.

Cobaan kembali datang, ketika Srintil diajak oleh Marsusi untuk melapor ke Dawuan,
tempat di mana Srintil pernah ditahan. Setelah pulang, Srintil ternyata diajak pergi ke suatu
temapt oleh Marsusi. Untung bagi Srintil karena akibat kecerobohan Marsusi, Srintil jatuh dari
motor sementara Marsusi terus melaju. Srintil yang penuh luka masih belum aman karena
Marsusi kembali mencarinya dengan nafsu birahi yang menggebu, tetapi datang seseorang
yang mau menolong, orang itu dari dusun yang masih satu kelurahan dengan Srintil.

Hati Srintil pun mulai bisa terbuka ketika melihat Bajus. Bajus adalah seorang pekerja
proyek pembangunan irigasi. Srintil ternyata menaruh hati kepada lelaki itu, ia sangat berharap
impiannya menjadi ibu rumah tangga dapat terwujud bersama Bajus. Srintil mengenal bajus
sebgai pribadi yang baik, terlebih sikapnya terhadap Srintil.
Srintil yang yakin bahwa Bajus adalah orang yang akan merubah hidupnya harus kembali
merasakan kekecewaan yang begitu dalam. Bajus ternyata malah menawarkan Srintil kepada
bosnya. Bajus kini berubah menjadi beringas dan memarahi Srintil apabila ia menolak
permintaan bosnya. Akibat tekanan batin yang mendalam, Srintil menjadi lupa ingatan.

Suatu ketika Rasus pulang dari menjalankan tugasnya. Namun hati Rasus sangat terkejut
ketika mendapati Srintil lupa ingatan. Srintil pun di bawanya berobat ke dokter jiwa. Akhirnya
Rasus mempunyai tekad yang besar dalam dirinya untuk membawa Dukuh paruk menjadi lebih
baik.

Unsur Intrinsik
TEMA

Dalam novel “Jantera Bianglala” pengarang (Ahmad Tohari) mengangkat cerita yang
bertemakan tentang politik, sosial, dan ekonomi. Cerita ini dibuat saat terjadinya Gerakan 30
September Tahun 1965, dimana pengarang menjadi saksi hidup dan tersadar atas kejahatan
yang dilakukan oleh PKI pada saat itu. Oleh karena itu, Ahmad Tohari sering kali memuat
tentang nasib manusia (rakyat) yang menderita, dan secara garis besar cerita dalam novel ini
mengiisah tentang penderitaan, keterpinggiran atau kenelangsaan masyarakat bawah.

TOKOH DAN PENOKOHAN

Di novel ini akan dibahas mengenai beberapa tokoh utama yang terdapat dalam cerita, dan
bagaimana saja penokohan yang mereka perankan dalam jalannya cerita tersebut. Tokoh dan
penokohan tersebut meliputi berikut ini:

 Srintil :
1. Merasa Takut. “masih merangkulku kuat-kuat, Srintil mengisak,…kurasakan tubuhnya
hangat dan gemetar”
2. Bersifat Kekanak-kanakan. “tetapi Srintil tidak malas melakukan perbuatan yang lucu
dimata orang-orang Dukh Paruk. Bercengkrama dengan anak-anak gembala….”

3. Merasa Rindu “sementara Srintil yang tidak tahu menahu soal malapetaka tempe
bongkrek itu hanya teringat akan Rasus….”

4. Merasakan Sedih “Srintil masih menundukan kepala, kini matanya basah. …”

5. Menjadi Senang / ceria “lihatlah Srintil yang mulai tertawa melihat Goder gagal
menangkap capung, dan wajah Sritil berseri-seri…..”
6. Menjadi Gila “…..sementara itu Srintil terus berlagu….lalu terdengar Srintil terbahak-
bahak…”.

 Rasus :
1. Merasa senang “Srintil didandani dengan pakaian kebesaran seorang roonggeng. Aku
melihat keris kecil yang kuberikan kepada Srintil terselip di pingggang ronggeng itu”.
2. Berani “….ketika perampok itu membelakangiku, aku maju dengan hati-hati.
Pembunuhan kulakukan untuk pertama kali….”
3. Membayangkan “,,,penampilan Srintil membantuku mewjudkan anganku tentang
pribadi perempuan yang telah melahirkanku”.
4. Mengingat Masa Kecil “Ketika masih kecil aku sering keluar dari Dukuh Paruk malam hari
bersama teman-teman untuk melihat pagelaran wayang kulit”.
5. Tabah/ tenang “aneh, Rasus justru berada dalam ketenangan sempurna. Takzim dan
khidmat ketika dia mengisap wajah nenek agar matanya tertutup….”
6. Berserah diri “Aku bersembahyang, aku berdoa untuk Dukuh Paruk agar dia sadar…”

 Sakarya :
1. Marah dan menuduh “apa sampean tidak mengerti semua ini terjadi karena ada sesuatu
antara cucuku dan Rasus? kata Sakarya, nadanya menuduh….”
2. Risau “perasaan kakek Srintil itu lebih dirisaukan oleh peristiwa-peristiwa kecil namun
baginya penuh makna…..”
3. Terkejut/ kaget “Sakarya terperanjat. Kata-kata bakar tak diduganya sama sekali. Kata-
kata itu mengandung penghinaan….”
 Kartareja :
1. Bingung “kesulitan pertama yang dihadapi Kartareja bukan masalah bagaimana
memperbaiki alat musiknya, melainkan bagaimana dia mendapat para penabuh…”
2. Senang “siapa yang akan menyalahkan Kartareja bila dukun ronggeng itu merasa telah
menang secara gemilang….”
3. Licik “jangan keliru yang asli buat Sulam. Lainya buat Dower, kata Kartareja….”
 Nyai Kartareja :
1. Resah “di rumahnya Nyai Kartareja mulai merasa was-was karena ternyata Srintil tidak
segera mengikutinya pulang…..”
2. Berusaha Menjauhkan “maka Ntyai Kartareja harus berbuat sesuatu. Tali asmara yang
mengikat Srintil dan Rasus harus diputuskan…..”
3. Kecewa ”namun Nyai Kartareja memendam kekecawaan, mengapa yang memberikan
motivasi kegairahan Srintil adalah Bajus….”

SUDUT PANDANG
Sudut pandang yang digunakan oleh Pengarang dalam penulisan novel “Jantera Bianglala” ini
adalah menggunakan sudut pandang orang pertama sebagai pelaku utama seperti adanya kata
“aku” dan sudut pandang pengganti orang ketiga baik dalam cerita maupun diluar cerita. Bukti
pengarang menggunakan kata ganti orang ketiga adalah seperti adanya kata “ dia dan –
nya” dan menyebutkan nama tokoh secara langsung.

LATAR

Latar atau tempat terjadinya cerita yang terdapat dalam novel “Jantera Bianglala” ini adalah
sebagai berikut:

1. Dukuh Paruk. “dua puluh tiga rumah berada di pedukuhan itu, dihuni oleh orang-orang
seketurunan…”.
2. Ladang/ Kebun “ditepi kampung, tiga anak sedang bersusah payah mencabut sebatang
singkong. Yakni Rasus, Darsun dan Warta…”.
3. Dibawah pohon nangka. “dipelataran yang membatu dibawah pohon nangka,...Srintil
menari dan bertembang. Gendang, gong dan calung mulut mengiringinya..”.
4. Rumah Nyai Kartareja. “di dalam rumah. Nyai Kartareja sedang merias Srintil. Tubuhnya
yang kecil dan masih lurus tertutup kain sampai ke dada …”.
5. Perkuburan. “rombongan bergerak menuju perkuburan dukuh paruk. Kartareja berjalan
paling depan membawa pedupan….”.
6. Pasar Dawuan. “Perkenalanku dengan pedagang singkong di pasar memungkinkan aku
mendapat upah…”.
7. Di Markas Tentara. “pada hari pertama menjadi tobang, banyak hal baru yang
kurasakan…”
8. Di Hutan. “Sampai di hutan, perburuan langsung dimulai. Dalam hal ini aku kecewa
karena tiga orang tentara yang kuiringkan sama sekali tak berpengalaman dalam hal
berburu…”.
9. Rumah Sakarya.”kulihat dua orang perampok tetap tinggal diluar rumah, satu
dibelakang dan lainya dihalaman…..Sakarya yang terkejut langsung mengerti…”.
10. Rumah Nenek “selagi orang-orang Dukuh Paruk mengerumuni rumah Kartareja, aku
duduk berdekatan dengan Srintil di beranda rumah neneku sendiri”.
11. Rumah Sakum “Sakum tak terusik oleh hiruk pikuk anak-anaknya, jemarinya terus
bekerja..…Sakum berhenti mendadak ketika Srintil melangkah mendekatinya ”.
12. Rumah Tarim “panas udara mulai reda ketika Marsusi diterima oleh Kakek Tarim….”.
13. Lapangan bola deka kantor Kecamatan.” Malam itu semangat kota kecil dawuan
berpusat dilapangan sepak bola dekat kantor Kecamatan. Sebuah panggung lebar…..”
14. Di Alaswangkal “hampir setengah hari ketika rombonhan dari Dukuh Paruk memasuki
kampung Alaswangkal. Pemukiman penduduk…”.
15. Kantor Polisi “dikantor itu ternyata bukan hanya polisi, melainkan tentara juga ada
disana mereka segera mengenal siapa yang sedang melangkah…”
16. Di Penjara/ Tahanan “ Saya Prajurit Dua Rasus. Saya ingin berjumpa Komandan
kompleks tahanan ini secara pribadi…”.
17. Di Sawah “di tengah sawah, seratus meter diSebelah barat dukuh paruk.Bajus
memimpin..”
18. Di Pantai “sampai dipantai Bajus memilih tempat yang agak terpencil buat memarkir
jipnya…”
19. Di Vila “...Bajus membelokan mobilnya ke halaman sebuah vila mungil yang ternyata
kemudian sudah disewanya….”
20. Rumah Sakit “…ketegangan yang meliputi hatiku hanpir berakhir ketika becak berhenti
di gerbang rumah sakit tentara….”
ALUR

Alur atau jalanya cerita dalam novel “Jantera Bianglala” menggunakan alur maju yang disertai
dengan “flash back” atau kembali ( mundur ) kemasa lalu, baik yang dialami oleh tokoh utama
atau pemeran lainya. Dalam cerita ini yakni ditengah-tengah cerita pengarang menceritakan
kembali masa lalu yang sempat dialami oleh pemeran cerita. Seperti menceritakan kembali
terjadinya peristiwa tempe bongrek sebelas tahun yang lalu atau semasa bayinya Srintil, yakni :

“ Orang-orang Dukuh Paruk pulang kerumah masing-masing. Mereka, baik lelaki maupun
perempuan, membawa kenangan yang dalam. Malam itu kenangan atas Srintil meliputi semua
orang Dukuh Paruk. Penampilan Srintil malam itu mengingatkan kembali bencana yang
menimpa Dukuh Paruk sebelas tahun yang lalu........Sebelas tahun yang lalu ketika Srintil masih
bayi. Dukuh Paruk yang kecil basah kuyup tersiram hujab lebat…”.

GAYA CERITA

Gaya cerita atau penceritaan yang digunakan oleh pengarang dalam penulisan novel “Jantera
Bianglal“ ini adalah klimaks yakni permasalahan yang dihadapi oleh pemeran utama semakin
memuncak dan tidak mengalami suatu “happy ending” atau penyelesaian yang bahagia pada
akhir cerita tersebut. Atau bagaimana kepastian mengenai nasib yang di alami oleh tokoh
utama masih belum dapat diketahui dengan jelas, dan pembaca hanya bisa menebak-nebak
nasib yang dialami oleh para tokoh tersebut.

AMANAT
Amanat atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca melalui novel
“Jantera Bianglal” ini adalah: agar kita semua mau dan mampu melihat seseorang itu tidak
hanya dari luarnya saja melainkan juga dari hatinya. Dan agar kita mau berpikir mengenai
tragedi-tragedi kemanusiaan yang terjadi disekeliling kita. Pesan lain mungkin lebih cenderung
kepada ketidak senangan atau kebencian pengarang terhadap pengkhianatanyang dilakukan
oleh PKI di akhir September 1965. sehingga novel ini muncul dan menjadi penyuara kegetiran
hati pengarang yang menggambarkan keadaan di masa itu.

Unsur Ekstrinsik
Di dalam novel “Jantera Bianglala” ini kita akan menemukan beberapa unsur Ekstrinsik yang
terdapat didalamnya. Dan mungki saja unsure-usur tersebut akan menambah daya pikir kita
sebagai mahasiswa, yang terkadang perlu untuk mengadakan perlawanan tehadap ketidak
puasan. Unsur ekstrinsik tersebut meliputi:

 Nilai Politik .
Unsur ini merupakan unsur yang paling utama terlintas dari benak pengarang, karena
pengarang merasa sangat prihatin terhadap kesewenang-wenangan kekuasaan yang telah
menindas orang-orang kecil yang kebanyakan dari mereka tidak tahu menahu mengenai
berbagai persoalan tentang politik, khususnya persoalan mengenai pengkhianatan yang
dilakukan oleh PKI yang terjadi di akhir September 1965.

 Nilai Sosial.
Unsur ini kemungkinan besar mengangkat tentang kenyataan hidup yang pernah terekam
dibenak pengarang, yang terjadi saat pengkhianatan PKI. Tumbuhnya kesadaran setiap orang
Indonesia terhadap nilai-nilai kemanusiaan masih menjadi persoalan yang penting dalam
perjalanan sejarah bangsanya. Banyak orang yang menyuarakan tentang demokrasi dan hak
asasi manusia , itu merupakan bukti bahwa masalah kemanusiaan sangat sering terusik/ terjadi.
Gambaran nyata terdapat dinovel ini yang terwakili oleh sosok Srintil, Rasus dll, yang berbicara
tentang pentingnya kesadaran terhadap masalah kemanusiaan.

 Nilai Ekonomi.
Masalah yang ingin diangakat oleh pengarang diantaranya adalah mengenai masalah ekonomi
yang dialami oleh masyarakat, dalam hal ini adalah “Dukuh Paruk”. Ini sering terlihat dalam
pergantian judul maupun pergantian bab, yang mana mengggambarkan kemiskinan masyarakat
“Dukuh Paruk” yang terletak ditengah-tengah pematang sawah. Penggambaran ini tampak jelas
terlihat seperti : digambarkan luasnya ribuan hektar sawah yang mengelilingi desa telah tujuh
bulan kering kerontang,…. Sampai anak-anak kecil rela bersusah payah mencabut singkong yang
terpendam dalam ditanah kapur,,, itulah sedikit gambaran keadaan ekonmi yang sedang
dialami oleh masyarakat “Dukuh Paruk”, dan keadaan itulah yang sebenarnya ingin ditunjukan
oleh pengarang kepada pembaca.

Kaidah Kebahasaan
a. Hiperbola
Terdapat dalam kutipan
…perasaanku yang sedang terguncang..·

b. Metafora

Terdapat dalam kutipan …


aku bisa mendengar suaramu dihembusan angin..

Gaya bahasa dalam novel Jantera Bianglala memiliki banyak perpaduan atau campuran.
Pengarang banyak menggunakan bahasa Jawa ditengah- tengah bahasa Indonesia. Ini sesuai
kenyataan kehidupan sehari-hari pengarang maupun msyarakat Jawa umumnya. Bahasa yang
digunakan juga masih khas Ahmad Tohari yang detail dalam penjambaran latar.

Resensi Buku
Judul : Jentera Bianglala

Pengarang : Ahmad Tohari

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

Tahun Terbit : 1986

Tebal Buku : 235 Halaman, + Cover

Sinopsis Novel “Jantera Bianglala”


Dukuh Paruk menjadi tempat yang sangat memprihatinkan setelah sebelumnya terjadi
bencana besar yaitu pembakaran rumah penduduk akibat kisruh 1965. Dukuh Paruk yang tidak
tahu apa-apa harus menjadi korban. Rumah dan harta benda semua habis terbakar, beruntung
bagi Dukuh Paruk karena orang-orang sudah terbiasa menerima musibah, seperti tragedi tempe
bongkrek yang banyak merenggut jiwa. Tetapi musibah kali ini sungguh di luar dugaan mereka.
Mereka harus tinggal dan makan seadanya. Orang-orang dari luar desa pun tidak ada yang
memberi bantuan.
Dukuh Paruk kini tanpa pemimpin dan tanpa Srintil, orang yang selama ini menjadi
panutan di Dukuh Paruk harus dipenjara. Beberapa bulan kemudian Sakarya, Kertareja dan
yang lainnya dibebaskan. Tetapi mereka pulang tanpa Srintil dan orang-orang dukuh paruk tidak
ada yang menyakan kemana Srintil berada. Itu karena Srintil masih di tahan di tempat yang
tidak Sakarya dn rombongan lainnya ketahui.

Dukuh Paruk yang miskin, didatangi seorang pemuda yang gagah berseragam. Semula
semua orang takut dan enggan tersenyum meskipun yang datang itu dadalah Rasus. Orang-
orang Dukuh Paruk ternyata masih trauma apabila ada orang berseragam datang. Tetapi yang
membuat hati mereka tersenyum lagi adalah Rasus yang masih mau peduli dengan tempat
kelahirannya. Rasus masih seperti yang dulu dan kedatangannya kali ini untuk menjenguk
neneknya yang kritis. Tidak lama kemudian nenek Rasus meninggal dunia dan Rasus harus
kembali menjalankan tugasnya. Sebelum pergi, Sakarya meminta bantuan Rasus untuk
membebaskan Srintil.

Tidak lama kemudian, Srintil kembali pulang ke Dukuh Paruk. Srintil lemas tidak berdaya
karena kelelahan karena ia pulang dengan berjalan kaki. Sejak kepulangannya, sikapnya
berubah, ia lebih banya diam. Walaupun sudah keluar dari tahanan, Srintil masih tetap harus
melapor ke tempat dimana ia ditahan. Srintil mulai bisa tersenyum ketika melihat Goder, anak
Tampi. Srintil memutuskan untuk mengasuh Goder.

Cobaan kembali datang, ketika Srintil diajak oleh Marsusi untuk melapor ke Dawuan,
tempat di mana Srintil pernah ditahan. Setelah pulang, Srintil ternyata diajak pergi ke suatu
temapt oleh Marsusi. Untung bagi Srintil karena akibat kecerobohan Marsusi, Srintil jatuh dari
motor sementara Marsusi terus melaju. Srintil yang penuh luka masih belum aman karena
Marsusi kembali mencarinya dengan nafsu birahi yang menggebu, tetapi datang seseorang
yang mau menolong, orang itu dari dusun yang masih satu kelurahan dengan Srintil.

Hati Srintil pun mulai bisa terbuka ketika melihat Bajus. Bajus adalah seorang pekerja
proyek pembangunan irigasi. Srintil ternyata menaruh hati kepada lelaki itu, ia sangat berharap
impiannya menjadi ibu rumah tangga dapat terwujud bersama Bajus. Srintil mengenal bajus
sebgai pribadi yang baik, terlebih sikapnya terhadap Srintil.

Srintil yang yakin bahwa Bajus adalah orang yang akan merubah hidupnya harus kembali
merasakan kekecewaan yang begitu dalam. Bajus ternyata malah menawarkan Srintil kepada
bosnya. Bajus kini berubah menjadi beringas dan memarahi Srintil apabila ia menolak
permintaan bosnya. Akibat tekanan batin yang mendalam, Srintil menjadi lupa ingatan.

Suatu ketika Rasus pulang dari menjalankan tugasnya. Namun hati Rasus sangat terkejut ketika
mendapati Srintil lupa ingatan. Srintil pun di bawanya berobat ke dokter jiwa. Akhirnya Rasus
mempunyai tekad yang besar dalam dirinya untuk membawa Dukuh paruk menjadi lebih baik.
Kelebihan dan Kekurangan Novel "Jantera Bianglala"
Kelebihan : Novel ini banyak mengandung pesan moral yang dapat kita ambil setelah
membacanya. Selain itu konflik antara Rasus, Srintil, dan Bajus semakin kompleks sehingga
membuat kita penasaran entah apa yang akan terjadi selanjutnya. Penulis juga memiliki ciri
khas dalam menyoroti sisi kehidupan masyarakat miskin, tentang alam, dan romantismenya.
Tak lupa juga sang penulis menyisipkan majas majas cantik yang membuat novel ini semakin
menarik.

Kekurangan : Akan tetapi ada beberapa hal yang membuat Novel ini kurang sempurna. Salah
satunya adalah pengaturan line spacingnya yang terlalu rapat sehingga membuat mata cepat
lelah, dan juga ending di Novel ini tidak berakhir Happy Ending. Dan Akhir dari cerita ini yang
agak menggantung membuat pembaca harus memutuskan sendiri bagaimana kelanjutan kisah
Dukuh Paruk beserta ronggengnya yang sudah gila.

Biografi Penulis

Nama Lengkap :Prof. Dr. Ahmad Tohari


Alias : Kang Tohari
Agama : Islam
Tempat Lahir : Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah
Tanggal Lahir : Minggu, 13 Juni 1948
Warga Negara : Indonesia
Biografi

Ahmad Tohari merupakan salah seorang sastrawan Indonesia yang telah lama malang-melintang di dunia

kepenulisan. Sudah banyak karya-karya Kang Tohari, begitu ia akrab disapa, yang berhasil memenangkan

berbagai penghargaan dalam lingkup nasional maupun internasional.


Selepas menempuh pendidikan formalnya di SMAN 2 Purwokerto, pria kelahiran Banyumas, 13 Juni 1948 ini

pernah kuliah di beberapa fakultas. Namun, ia tidak menyelesaikan kuliahnya lantaran kendala non-

akademik. Selain itu, ia pernah berprofesi sebagai tenaga honorer di Bank BNI 1946 selama setahun, antara

tahun 1966 sampai 1967. Kang Tohari juga pernah berkecimpung dalam bidang jurnalistik di beberapa media

cetak seperti harian Merdeka, majalah Keluarga dan Majalah Amanah yang kesemuanya berlokasi di Jakarta.

Dalam dunia kepengarangan, kemampuan Kang Tohari dalam meramu kata telah diakui secara luas baik di

dalam maupun luar negeri. Novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yang meliputi Ronggeng Dukuh Paruk (1982),

Lintang Kemukus Dini Hari (1985), dan Jantera Bianglala (1986) telah diterjemahkan dan diterbitkan dalam

bahasa Jepang, Jerman, Belanda, dan Inggris. Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk juga telah diadaptasi ke layar

lebar oleh sutradara Ifa Irfansyah dengan judul Sang Penari.

Novel Ronggeng Dukuh Paruk yang diterbitkan di tahun 1982 ini bercerita tentang kehidupan Srintil, seorang

penari tayub di sebuah dusun kecil, Dukuh Paruk dengan setting tahun 1965an. Isi dari novel tersebut yang

dianggap kekiri-kirian oleh pemerintah Orde Baru membuat Ahmad Tohari diinterogasi selama berminggu-

minggu. Agar bisa keluar dari segala tekanan yang dilakukan pemerintah Orde Baru, Kang Tohari meminta

tolong kepada sahabatnya Gus Dur. Pada akhirnya, ia pun dapat bebas dari segala intimidasi dan ancaman

hukum yang sempat membayangi kehidupannya.

Pendidikan
 SMAN 2 Purwokerto (1966)
 Fakultas Ilmu Kedokteran Ibnu Khaldun, Jakarta (1967-1970)
 Fakultas Ekonomi Universitas Sudirman, Purwokerto (1974-1975)
 Fakultas Sosial Politik Universitas Sudirman (1975-1976)
 International Writing Program, Iowa, Amerika Serikat (1990)
Karir
 Penulis/Pengarang
 Tenaga honorer di Bank BNI 1946 (1966-1967)
 Redaktur harian Merdeka (1979-1981)
 Staf redaksi majalah Keluarga (1981-1986)
 Dewan redaksi majalah Amanah (1986-1993) 

Karya Tulis

 Kubah (novel, 1980)
 Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (diadaptasi menjadi film tahun 2011):
o Ronggeng Dukuh Paruk (novel, 1982)
o Lintang Kemukus Dini Hari (novel, 1985)
o Jantera Bianglala (novel, 1986)
 Di Kaki Bukit Cibalak (novel, 1986)
 Senyum Karyamin (kumpulan cerpen, 1989)
 Bekisar Merah (novel, 1993)
 Lingkar Tanah Lingkar Air (novel, 1995)
 Nyanyian Malam (kumpulan cerpen, 2000)
 Belantik (novel, 2001)
 Orang Orang Proyek (novel, 2002)
 Rusmi Ingin Pulang (kumpulan cerpen, 2004)
 Ronggeng Dukuh Paruk Banyumasan (novel bahasa Jawa, 2006; meraih Hadiah Sastera
Rancagé 2007)
Karya-karya Ahmad Tohari telah diterbitkan dalam
bahasa Jepang, Tionghoa, Belanda dan Jerman. Edisi bahasa Inggris Ronggeng Dukuh
Paruk , Lintang Kemukus Dini Hari , Jantera Bianglala diterbitkan oleh Lontar Foundation dalam
satu buku berjudul The Dancer diterjemahkan oleh Rene T.A. Lysloff. Pada tahun 2011, trilogi
dari novel Ronggeng Dukuh Paruk diadaptasi menjadi sebuah film fitur yang berjudul Sang
Penari yang disutradarai Ifa Isfansyah. Film ini memenangkan 4 Piala Citra dalam Festival Film
Indonesia 2011.
Penghargaan

 Cerpennya berjudul Jasa-jasa buat Sanwirya mendapat Hadiah Hiburan Sayembara


Kincir Emas 1975 yang diselenggarakan Radio Nederlands Wereldomroep.
 Novelnya Kubah (1980) memenangi hadiah Yayasan Buku Utama tahun 1980.
 Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985), Jentera
Bianglala (1986) meraih hadiah Yayasan Buku Utama tahun 1986.
 Novelnya Di Kaki Bukit Cibalak (1986) menjadi pemenang salah satu hadiah Sayembara
Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta tahun 1979.
 Pada tahun 1995 Ahmad Tohari menerima Hadiah Sastra Asean, SEA Write Award.
Sekitar tahun 2007 Ahmad Tohari menerima Hadiah Sastra Rancage.

Anda mungkin juga menyukai