Kelas/No : 01
Baru kali ini Mahar menjadi penata artistik karnaval, inilah peristiwa besar yang sangat
penting, karnaval 17 Agustus. Sebenarnya guru-guru kami agak pesimis karena alasan klasik,
yaitu biaya. Kami demikian miskin sehingga tak pernah punya cukup dana untuk membuat
karnaval yang representatif. Para guru juga malu karena parade kami kumuh dan itu-itu saja.
Namun, ada sedikit harapan tahun ini. Harapan itu adalah Mahar.
Karnaval 17 Agustus potensial untuk meningkatkan gengsi sekolah, sebab ada penilaian
serius di sana. Ada kategori busana terbaik, kendaraan hias terbaik, parade paling megah,
peserta paling serasi, dan yang paling bergengsi: penampil seni terbaik. Gengsi ini juga tak
terlepas dari integritas juri yang dipimpin seniman senior kondang, Mbah Suro namanya.
Mbah Suro adalah orang Jawa, seniman Yogyakarta yang hijrah ke Belitong karena idealisme
berkeseniannya. Karena sangat idealis maka tentu saja Mbah Suro juga sangat melarat.
Seperti telah diduga siapapun, seluruh kategori—mulai dari juara pertama sampai juara
harapan ketiga—selalu diborong sekolah PN. Kadang-kadang sekolah negeri mendapat satu
dua sisa juara harapan. Sekolah kampung tak pernah mendapat penghargaan apapun karena
memang tampil sangat apa adanya. Tak lebih dari penggembira.
Sekolah-sekolah negeri mampu menyewa pakaian adat lengkap sehingga tampil
memesona. Sekolah-sekolah PN lebih keren lagi. Parade mereka berlapis-lapis, paling
panjang, dan selalu berada di posisi paling strategis. Barisan terdepan adalah puluhan sepeda
keranjang baru yang dihias berwarna-warni. Bukan hanya sepedanya, pengendaranya pun
dihias dengan pakaian lucu. Lonceng sepeda dibunyikan dengan keras bersama-sama,
sungguh semarak.
Tapi kami tak gentar. Situasi moril kami sedang tinggi. Melihat kepemimpinan,
kepiawaian, dan gaya Mahar kepercayaan diri kami meletup-letup. Ia tampil laksana event
organizer atau seniman, atau mereka yang menyangka dirinya seniman. Kami mengerahkan
seluruh sumber daya civitas akademika Muhammadiyah. Latihan kami semakin serius dan
yang sering membuat kesalahan adalah Kucai. Meskipun dia ketua kelas tapi di panggung
sandiwara ini Maharlah yang berkuasa.
Mahar mencoba menjelaskan maksudnya dengan berbagai cara. Kadang-kadang ia
terperinci seperti buku resep masakan, dan lebih sering merasa frustasi. Namun, kami sangat
patuh pada setiap perintahnya walaupun kadang-kadang tidak masuk akal. Tapi ini seni,
Bung, tak ada hubungannya dengan logika.
(Dikutip dari novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, Bab 18
Cetakan ke-26, November 2008; Yogyakarta: PT Bentang Pustaka)
Uraian analisis