Anda di halaman 1dari 3

Esai Sastra

"Bumi Manusia" dalam Perspektif Bourdieu


oleh
Maman S Mahayana

Bumi Manusia (BM) karya Pramoedya Ananta Toer adalah novel sulung tetralogi Bumi Manusia
(1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988). Tetralogi ini dapat
dianggap sebagai-meminjam istilah Pram-karyatama (masterpiece) dalam karier kepengarangannya.
Tahun 2008, BM memasuki cetakan ke-13, dan kini tentu sudah melewati angka itu. Selain begitu
banyak mendapat pujian, bahkan konon mengantarkan Pram dicalonkan penerima Nobel Sastra, BM
sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa asing. Dalam sejarah sastra Indonesia, BM dapat
ditempatkan sebagai salah satu novel terbaik Indonesia.
Meski demikian, sebagai pembaca kritis, seyogianya kita terus coba mengkaji ulang dan melakukan
tafsir lain terhadapnya. Setidaknya, lewat perspektif baru, kita akan menemukan banyak hal yang
mungkin sebelumnya tak terungkapkan. Catatan kritis Pierre-Felix Bourdieu (1930-2002) terhadap
novel Sentimental Education karya Gustave Flaubert membuka cakrawala baru bagi analisis teks
sastra. Dengan begitu, gagasan filsuf yang karya-karyanya kini paling banyak mendapat sorotan
ilmuwan di dunia ini, menawarkan pandangan lain dalam kritik sastra, terutama dalam kerangka
pendekatan sosiologis model Bourdieu.
Jika BM ditelisik lewat gagasan Bourdieu, kekayaan makna apa lagi yang terungkapkan? Bagaimana
Pram menyusupkan ideologinya dan memainkan tokoh Nyai Ontosoroh, Minke, Annelies, Robert
Mellema, dan Herman Mellema dalam ruang sosial? Bagaimana pula arena produksi kultural
berkaitan dengan modal simbolis dan modal kultural jadi pertempuran kepentingan Belanda, Indo,
dan pribumi? Mengapa kisahan BM sejak awal menegaskan problem kekerasan simbolik (symbolic
violence) ditimpakan kepada Nyai Ontosoroh dan Minke?
Modal kultural
Nyai Ontosoroh alias Sanikem, perempuan Jawa, putri juru tulis Sastrotomo, berhasil menjadi
pengusaha perkasa dalam ruang sosial kolonialisme. Dalam usia 14 tahun, ia dijual ayahnya,
dijadikan gundik Herman Mellema. Berkat didikan Tuannya, Nyai-sudah punya modal kultural-
pengetahuan dan penguasaan bahasa Belanda. Setahun berikutnya, mereka pindah ke Wonokromo,
mendirikan Boerderij Buitenzorg. Sejak itu, superioritas Herman surut ke belakang digantikan Nyai.
Bagaimana mungkin dalam usia kurang dari 20 tahun, Nyai memasuki arena permainan-pribumi,
Indo, dan Belanda-sebagai pemain yang legitim?
Nyai Ontosoroh mengubur masa lalu untuk meraih sukses di masa depan. Tetapi, tak cukup alasan
proses penguasaan modal simbolik dilekatkan pada habitus Sanikem yang dipingit sejak usia 13
tahun, dibenturkan Belanda totok. Pram tampaknya sengaja mengangkat Sanikem secara hiperbolis.
Pertama, untuk memasukkan ideologi: Belanda totok versus perempuan Jawa. Kedua, untuk
melegitimasi pembalikan kekerasan simbolik dan perlawanannya.
Sebaliknya, Herman Mellema, representasi Eropa, tergusur jadi pecundang. Ia mati di rumah bordil.
Hiperbolisme Pram menjerumuskan logika novel jadi sangat ideologis. Penguburan kultur Jawa yang
mengekang dan pembalikan status kapital, Tuan-Nyai menjadi pekerja-manajer, menempatkan Nyai
dapat mengatur dan menjalankan permainannya dalam berhadapan dengan feodalisme Jawa (ayah)
dan kuasa kolonial Belanda (Herman). Pernikahan Annelies-Minke yang menyedot perhatian
masyarakat Jawa, Belanda, dan Eropa adalah puncak prestasi Nyai Ontosoroh. Kembali tokoh
hiperbolis Ontosoroh hadir mengartikulasikan ideologi Pram.
Sejak awal Pram begitu banyak mengungkapkan terjadinya kekerasan simbolik yang dilakukan
Belanda kepada pribumi. Nama Minke, misalnya, mengasosiasikan monyet, disematkan gurunya:
Meneer Rooseboom. Minke, pribumi satu-satunya di HBS, berada dalam kepungan kekerasan
simbolik (pelecehan dan diskriminasi). Meski begitu, ia tetap tampil sebagai hero, pemenang dalam
segala hal, berhasil dalam arena intelektual dan sosio-kultural. Minke yang sempat dipecat dari HBS
pada akhirnya terpilih sebagai lulusan terbaik kedua se-Hindia Belanda dan pertama se-Surabaya.
Apa artinya itu? Minke berhasil mengalahkan feodalisme Jawa (ayah), Indo (Suurhof dan Robert),
dan Belanda-Eropa (teman dan beberapa gurunya di HBS).
Kini mari kita lihat tokoh Herman Mellema dan anaknya, Robert. Dikisahkan, sosok Herman berbeda
dengan Belanda totok lain. Bujangan, tidak suka tayub, rajin ke gereja, dan marah ketika ia ditawari
perempuan. Ia juga meminta agar kedua anaknya, Annelies dan Robert, dibaptis secara Kristen-
Protestan. Tetapi apa yang terjadi? Kembali, hadir kekerasan simbolik. Pendeta menolak
pembaptisan Annelies dan Robert hanya lantaran ibunya pribumi. Herman Mellema sendiri ternyata
sudah beranak-istri di Belanda. Ia kabur dan menelantarkan Maurits, anaknya. Tokoh inilah yang
kelak menggugat harta kekayaan ayahnya, termasuk hak asuh Annelies dan Robert. Pengadilan
Belanda memenangkan gugatan Insinyur Maurits. Pram tampak hendak menegaskan bahwa apa pun
yang berkaitan dengan Belanda pada dasarnya busuk. Bagi pribumi, kekerasan simbolik itu masuk ke
semua aspek kehidupan, termasuk agama.
Hiperbolisme terjadi lagi ketika Pram hendak menjerumuskan Herman Mellema sebagai pecundang.
Ketika Insinyur Maurits datang melabrak ayahnya, Nyai balik mengusirnya. Dalam pandangan Nyai
kini, budaya Eropa yang diajarkan dan diagungkan Tuannya tak lebih dari penghinaan dan
pemerasan. "Begitu macamnya peradaban Eropa yang kau ajarkan padaku berbelas tahun?" (BM,
hlm. 146-147). Hanya untuk menghina dan memeras! Sejak itu, Herman macam orang linglung. Ia
berada dalam genggaman Nyai. Belakangan, ia jadi penghuni rumah bordil Babah Ah Tjong sampai
tewas di sana. Robert juga terperosok masuk rumah bordil itu.
Hiperbolisme positif dilekatkan pada ketokohan Minke dan Nyai, dan gambaran sebaliknya
ditimpakan kepada Herman Mellema dan Robert. Bahkan sebelum itu, Robert menunjukkan
kebiadabannya dengan memerkosa adiknya sendiri, Annelies.
Begitulah arena perebutan kuasa: pribumi (Nyai-Minke) versus Belanda- Eropa (Herman dan Robert)
yang sampai tahap tertentu dimenangkan pribumi. Tetapi, ruang sosial waktu itu berada dalam
genggaman kolonial Belanda. Maka, kartu truf arena permainan itu berada pada hukum kolonial.
Lewat gugatan Maurits, pribumi berhadapan dengan tembok besi. Mereka kalah. "Kita kalah Ma,"
bisikku. "Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya." (BM, 534-5). Sebuah
akhir yang dramatis.
Sesungguhnya, koalisi habitus Nyai yang otodidak dan Minke yang HBS telah membangun kesadaran
tentang makna perlawanan bersama. Pram tak sekadar merepresentasikan arena perlawanan, tetapi
mengartikulasikannya sebagai perjuangan sebuah bangsa. Jadi, hiperbolisme Pram terkait dengan
ideologi kebangsaan. Stendhal mengatakan, "Politik(: ideologi) dalam novel, ibarat letusan pistol di
tengah konser. Suara keras dan norak itu bisa mengganggu jalannya konser, tetapi bisa juga menjadi
bagian dari komposisi konser jika ia lesap dan menyatu dengan irama segala macam bunyi musik
itu." Hiperbolisme Pram ibarat letusan pistol itu.
Uraian BM lewat perspektif Bourdieu ini tentu masih sangat dangkal. Tetapi, penting artinya gagasan
Bourdieu digunakan sebagai model analisis terhadap khazanah kesusastraan kita yang selama ini
dikuasai strukturalisme. Randal Johnson (PierreBourdieu, Arena Produksi Kultural, Terj. Yudi Santosa,
Bantul: Kreasi Wacana, 2015, hlm. vii) mengatakan, "Metode analitis Bourdieu menjadi alternatif
yang sangat bermanfaat bagi cara-cara analisis imanen-dari Kritisisme Baru dan berbagai cabang
formalisme hingga strukturalisme dan dekonstruksi-yang mendominasi studi-studi sastra.."
Versi cetak ini terbit di harian Kompas edisi 24 Januari 2016, di halaman 27 dengan judul ""Bumi
Manusia" dalam Perspektif Bourdieu".

Anda mungkin juga menyukai