Analisis Novel
"Ronggeng Dukuh
Paruk" dalam
Perspektif Teori
Strukturalisme Genetik
KELOMPOK 5
Abellia Firmansyah 180110190006
M. Fauzan 180110190035
Zuhairi Iqbal P. 180110190036
Tira Ayuningsih 180110190044
M. Akbar Yahya 180110190045
Naulia Zahra 180110190048
M. Averyl Aziz 180110190052
Yulia Zakaria 180110190054
Alia Safira R. 180110190055
Dila Nurfadila 180110190060
Eka Indah P. 180110190076
Vanessa Nurhayani 180110190077
Randuwana Witharja 180110190083
Raisa Alifya G.M. 180110200070
Ismail Abdurrahman 180110200067
Teori Strukturalisme Genetik dalam Sosiologi Sastra
Strukturalisme genetik yaitu hubungan karya sastra dengan latar belakang penulis (aspek
genetik) dalam pandangan pengarang dengan lingkungan kelompok sosialnnya, pandangan
dunia pengarang, dan historis pengarang. Karya sastra merupakan subjektivitas dari seorang
pengarang tergantung pengalaman, kondisi lingkungan, pola didikan, ideologi dan latar
belakang sosial yang pasti terbentuk dari latar belakang pengarang itu sendiri. Tak jarang karya
sastra bersifat pribadi bagi pengarang karena merupakan representasi kehidupan yang ia lihat
atau bahkan yang yang ia rasakan sendiri. Maka, strukturalisme genetik mengkaji alasan-
alasan mengapa karya sastra itu bisa terlahir dari latar belakang pengarang.
Novel Ronggeng Dukuh Paruk
Ronggeng Dukuh Paruk adalah sebuah novel yang ditulis oleh penulis Indonesia asal Banyumas,
Ahmad Tohari, dan diterbitkan pertama kali tahun 1982. Sebelum ditulis sebagai sebuah novel,
RDP pertama kali dipublikasikan sebagai cerita bersambung oleh koran kompas.
Dukuh Paruk adalah sebuah desa yang terletak di pedukuhan yang sangat terpencil. Di desa
yang keadaannya kering kerontang itu terdapat penduduk yang mempercayai bahwa mereka
keturunan dari Ki Secamenggala, seorang bromocorah yang dianggap sebagai nenek moyang
mereka.
Srintil merupakan anak pembuat tempe bongkrek yang menjadi yatim piatu akibat bencana
tempe bongkrek. Sejak kecil srintil dirawat oleh kakek dan neneknya. Saat usianya masih anak-
anak, Srintil memiliki seorang teman yang bernama Rasus, Warta, dan Darsun. Ketiganya
sangat senang melihat Srintil menari bak ronggeng. Meskipun masih kecil, Srintil sangat pandai
menari.
Suatu ketika Srintil menari tayub saat Rasus dengan teman-temannya mengiringi tariannya
dengan tembang dan musik. Meskipun suara calung dan gendang tersebut dibuat dari mulut
mereka, Srintil menari serupa tarian ronggeng.
Kemampuan Srintil menari ronggeng akhirnya diketahui oleh kakeknya dan ia
menyampaikannya kepada Kertareja, seorang dukun ronggeng. Kehadiran Srintil,
yang saat itu berusia sebelas tahun, merupakan peristiwa yang ditunggu-tunggu
oleh penduduk Dukuh Paruk. Kemampuan Srintil menari ronggeng, menghidupkan
kembali tradisi yang selama ini telah hilang.
Jadilah Srintil diasuh oleh Kertareja dan istrinya untuk dijadikan seorang ronggeng
besar kebanggaan Dukuh Paruk. Kabar munculnya seorang ronggeng baru yang
sudah dua belas tahun lamanya sirna, terdengar oleh masyarakat, senyum bahagia
mekar di wajah mereka. Senang rasanya akhirnya Dukuh Paruk yang sudah lama
tidur kembali bangun.
potensi tulis-menulis
Ahmad Tohari
Penokohan
Srintil: tokoh utama protagonis.
Rasus: tokoh utama protagonis sekaligus tokoh hero
Warta dan Darsun: tokoh tambahan protagonis
Sakarya: Sakarya diposisikan sebagai tokoh tambahan protagonis.
Kartareja dan Nyi Kartareja: tokoh tambahan tritagonis
Sakum: tokoh tambahan protagonis
Marsusi: tokoh tambahan antagonis
Alur: Alur maju yang disertai dengan “flash back” dalam beberapa
situasi.
Unsur Intrinsik
Latar
Latar Tempat: Dukuh Paruk, Kecamatan Dawuan, dan Kota Eling-eling.
Latar Waktu: tahun 1946 sampai dengan tahun 1969.
Latar Sosial: masyarakat Dukuh Paruk percaya bahwa keahlian ronggeng sejati bukan hasil
dari pengajaran. Akan tetapi, masyarakat percaya bahwa seseorang menjadi ronggeng
karena dihinggapi roh indang. Oleh karena itu, jika roh indang telah hilang dari tubuh
seorang ronggeng maka ia tidak lagi berjiwa ronggeng.
Sudut Pandang
Sudut pandang orang pertama sebagai pelaku utama
Sudut pandang pengganti orang ketiga, baik dalam cerita maupun di luar cerita
Unsur Ekstrinsik
Keagamaan: Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, sebenarnya unsur keagamaan tidak
terlalu diperlihatkan karena warga Dukuh Paruk lebih mempercayai adanya nenek moyang
dan hal-hal animisme lainnya.
Kebudayaan: Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, terdapat beberapa unsur kebudayaan
seperti menari, menyanyi sambil nyawer, memberikan sesaji kepada nenek moyang.
Sosial: Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, unsur sosial kemasyarakatan lebih cenderung ke
arah ronggeng. Karena segala sesuatu yang berhubungan dengan hubungan antar
manusia lebih diutamakan untuk ronggeng karena bagi mereka, adanya sosok ronggeng
merupakan kebanggaan tersendiri di Dukuh Paruk.
PANDANGAN DUNIA PENGARANG
Pandangan Religius
Ahmad Tohari sebagai penganut agama Islam sangat berpikir rasional. Ia tidak percaya
adanya mitos-mitos yang mengarah ke animisme maupun dinamisme. Pandangan Ahmad
Tohari mengenai mitos ia masukkan ke dalam cerita melalui Rasus. Rasus diceritakan tidak
mempercayai kepercayaan masyarakat Dukuh Paruk pada umumnya yang mengeramatkan
makam Ki Secamenggala.
Pandangan Kesenian
Kesenian dianggap sebagai salah satu bagian dari kehidupan masyarakat oleh Ahmad Tohari.
Nilai keluhuran seni menjadi hal yang penting untuk dijaga. Di dalam Ronggeng Dukuh Paruk,
Ahmad Tohari memberikan pandangan tentang nilai keluhuran seni melalui Sakarya. Sakarya
bersifat kritis mengenai kesenian ronggeng yang mulai keluar dari prosedur-prosedur tradisi
nenek moyangnya karena digunakan sebagai alat propaganda politik.
Pandangan Sosial
Di dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari memberi gambaran keadaan
masyarakat yang miskin dan bodoh karena kehidupan desa terpencil belum mengenal
pendidikan. Gambaran tentang Dukuh Paruk dalam Ronggeng Dukuh Paruk memberi
pandangan bahwa waktu itu hak pendidikan yang dimiliki setiap orang belum dicukupi oleh
negara.
Pandangan Budaya
Ahmad Tohari membahas tentang pergeseran budaya melalui masyarakat Dukuh Paruk yang
mulai menerima budaya luar masuk ke desa mereka. Ia juga menentang feodalisme Jawa
yang diwujudkan dalam wujud sistem kepriayian. Selain itu, pandangan Ahmad Tohari
mengenai korelasi jender disampaikan melalui Srintil dan statusnya sebagai ronggeng.
Pandangan Politik
Ahmad Tohari merepresentasikan korban labelisasi komunis melalui Srintil. Srintil dianggap
komunis karena ia diajak ke dalam rapat-rapat propaganda komunis. Padahal ia hanya disuruh
meronggeng di sana. Alhasil, secara tidak langsung pun Dukuh Paruk pun dicap sebagai
komunis karenanya.
Pandangan Ekonomi
Cerita kemiskinan Ronggeng Dukuh Paruk mewakili pandangan Ahmad Tohari mengenai situasi
sosial ekonomi masyarakatnya. Tidak ada pemerataan ekonomi dari pemerintah dan kegiatan
ekonomi hanya berpusat di kota. Akan tetapi, ketika Dukuh Paruk membuka diri, dampak
lemahnya perekonomian dari luar justru masuk ke dalam Dukuh Paruk. Runtuhnya stabilitas
ekonomi nasional juga berimbas kepada ekonomi Dukuh Paruk. Ahmad Tohari juga menilai
praktik kapitalisme merugikan perekonomian masyarakat menengah ke bawah.
Handoko, A. D. (2010). Novel Orang-orang Proyek dan kaitannya dengan trilogi novel Ronggeng Dukuh
Paruk karya ahmad tohari (analisis strukturalisme genetik).
WARDANI, E. N. E. (1997). Sosok wanita dalam novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari::
Sebuah tinjauan strukturalisme genetik (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).