Anda di halaman 1dari 18

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan salah satu jenis dari cipta dan karya manusia yang dituangkan dalam sebuah tulisan dengan menggunakan bahasa lisan maupun tulisan. Karya sastra diciptakan pengarang untuk dinikmati, dipahami, dihayati, dan dimanfaatkan oleh masyarakat pembacanya. Kehadiran karya sastra dapat menciptakan rasa dan persepsi pembacanya mengenai pengalaman dalam hidup yang dapat memberikan kesadaran dan pengertian besar tentang dunianya. Dengan kata lain, manusia menggunakan karya sastra sebagai cermin dalam memaknai dan memahami kehidupan. Manfaat yang akan terasa dari hasil kajian itu adalah apabila pembaca (segera) membaca ulang karya sastra yang dikajinya. Dengan cara ini akan dirasakan adanya pembedaan: ditemukan sesuatu yang baru, yang terdapat dalam karya sastra itu sebagai akibat kekompleksitasan karya yang bersangkutan sehingga sesuatu yang dihadapi baru dapat ditentukan. Dengan demikian, pembaca akan lebih menikmati dan memahami cerita, tema, pesan-pesan, tokoh, gaya bahasa, dan hal-hal lain yang diungkapkan dalam karya yang dikaji. 1

Novel merupakan salah satu jenis dari karya sastra prosa yang mengungkapkan sesuatu secara luas, mencakup di dalamnya berbagai kejadian dalam kehidupan yang dialami oleh tokoh cerita yang merupakan gejala kejiwaan tokoh tersebut. Novel Ronggeng Dukuh Paruk yang di dalamnya menyoroti tentang permasalahan hidup masyarakat dalam sebuah pedukuhan terpencil pun melibatkan permasalahan dalam kehidupan dua tokoh penting, yaitu Srintil dan Rasus. Permasalahan inilah yang akhirnya penulis angkat dalam makalah ini, yaitu mengenai konflik batin yang dialami oleh tokoh Rasus dan Srintil.

1 Burhan Nurgiantoro. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. (Yogyakarta: UGM Press) hlm.32 1 |Ronggeng Dukuh Paruk

B. Rumusan Masalah Bagaimana konflik batin yang dirasakan oleh dua tokoh utama, yaitu Rasus dan Srintil dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk? Pesan apa yang hendak disampaikan oleh Ahmad Tohari dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ini?

C. Landasan Teori Hampir semua karya Ahmad Tohari terinspirasi dari kisah nyata, begitu juga dengan novel RDP ini. Dalam menciptakannya pasti tercermin semua makna yang hendak disampaikan kepada pembaca. Oleh karena itu, dalam pengkajian novel RDP ini, penulis menggunakan pendekatan pragmatik. Pendekatan pragmatik lebih menekankan kajiannya terhadap peranan pembaca. Dalam hal ini, pendekatan pragmatik sangat berkaitan dengan teori resepsi sastra. Resepsi sastra dimaksudkan bagaimana pembaca memberikan makna terbadap karya sastra yang dibacanya, sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya. Tanggapan itu mungkin bersifat pasif. Yaitu bagaimana seorang pembaca dapat memahami karya itu, atau dapat melihat hakikat estetika yang ada di dalamnya. Atau mungkin juga bersifat aktif yaitu bagaimana pembaca merealisasikannya. Karena itu, pengertian resepsi sastra mempunyai lapangan yang luas, dengan berbagai kemungkinan penggunaan. Dengan kata lain, tanggapan pembaca adalah hal yang ditekankan dalam pendekatan pragmatik. Oleh karena itu, dalam menganalisis novel RDP ini, penulis melakukan tinjauan dengan melihat tanggapan dari beberapa pembaca.

D. Biografi Pengarang

Ahmad Tohari dilahirkan di Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas (Jawa Tengah), pada tanggal 13 Juni 1948. Pendidikan terakhirnya adalah tamat SMA di Purwokerto (1966). Sebelum menggeluti bidang tulis-menulis, Ahmad Tohari adalah calon seorang dokter dari fakultas kedokteran pada sebuah universitas di kota Jakarta. Karena kekurangan biaya, ia memutuskan untuk keluar dari bangku kuliahnya (1970). Dalam situasi yang kalut karena merasa kehilangan harapan, ia sering membuat corat-coret untuk membunuh frustasi. Setelah beberapa tulisannya berhasil diterbitkan oleh beberapa surat kabar, ia memustuskan untuk memasuki dunia tulis-menulis dengan sungguhsungguh. Bersamaan dengan itu, ia pun masuk ke dunia jurnalistik dengan menerima jabatan sebagai redaktur di harian Merdeka, Jakarta. Kemudian ia juga pernah bekerja sebagai staf redaksi pada majalah keluarga (1981-1986) dan dewan direksi pada majalah Amanah (1986-1993). Ia juga pernah mengikuti International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat (1990) dan pada tahun 1995 menerima Hadiah Sastra ASEAN. Karyanya: Kubah (1980), Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985), Jentera Bianglala (1986), Di Kaki Bukit Cibalak (1986), dan masih banyak lagi karya yang lain yang tidak disebutkan. Dalam penulisan karyanya, Ahmad Tohari mengisyaratkan bahwa sebagai

pengarang, ia senantiasa mengalami hamil sastra. Artinya, ia harus melahirkan sesuatu yang sudah ia kandung dalam jiwanya. Ia mengalami kondisi batin yang memaksanya untuk menulis karya sastra agar tidak tersiksa jiwanya. Dan setelah ia berhasil melahirkan karyanya, ia tak pernah memikirkan mengenai dampak sosial yang akan terjadi. Oleh karena itu, hampir semua karyanya terilhami oleh pengalaman nyata, hadir dari pembacaan lahir batin atas lingkungan di sekitarnya, kemudian ia tuangkan dalam bentuk karya dilengkapi dengan manipulasi-manipulasi tertentu yang turut memberikan makna serta memperindah karya yang diciptakannya itu. Ahmad Tohari yakin bahwa karya sastra merupakan bentuk lain dari berdakwah yang tujuannya adalah untuk mencerahkan batin manusia agar senantiasa mau membaca ayat-ayat Tuhan. Karya sastra sebagai sarana mengingatkan masyarakat agar semakin beradab. Katanya, Justru karena agama sedang dalam kondisi krisis itulah karya sastra
3 |Ronggeng Dukuh Paruk

harus berperan sebagai pencerah.2

BAB II PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Lahirnya Karya Novel Ronggeng Dukuh Paruk (selanjutnya RDP) karya Ahmad Tohari ini merupakan penyatuan dari trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985) dan Jentera Bianglala (1986). Keberhasilan Ahmad Tohari dalam melahirkan novel trilogi RDP yang melejitkan namanya ini, bukan karena kebetulan semata. Pada intinya, dalam penulisan trilogi RDP ini Ahmad Tohari merasakan kondisi batin yang memaksanya untuk melahirkan sebuah karya. RDP ia tulis atas nama pertanggungjawaban moralnya sebagai pengarang terhadap tragedi besar yang terjadi pada tahun 1965 (G 30 S PKI). Sebagai remaja 17 tahun, ia sadar sepenuhnya terhadap tragedi nasional itu dan kesaksiannya terekam padat dalam batinnya yang terkoyak. Apalagi sampai pada awal tahun 1980-an, belum ada laporan yang memadai menyangkut tragedi yang menelan banyak korban itu. Untuk itu, dalam penulisannya membutuhkan waktu yang cukup lama. Menurut pengakuannya, ia membutuhkan waktu sekitar 5 tahun (198-1985) untuk menyelesaikan trilogi novel RDP tersebut dan sebelumnya telah mengusik batinnya selama 15 tahun.
2 Yudiono K.S. 2003. Ahmad Tohari: Karya dan Dunianya. (Jakarta: Grasindo). hlm. 7

Namun baru pada awal tahun 1980-an ia berani untuk menawarkannya ke harian Kompas dengan pertimbangan bahwa situasi sosial dan politik sudah membaik. Ketiga novel tersebut pada awalnya dipublikasikan sebagai cerita bersambung di Kompas. Namun pada tahun 2003, trilogi tersebut telah diterbitkan menjadi satu novel. Dalam pembahasan makalah ini, penulis tidak mengkaji ketiga novel RDP, akan tetapi lebih menekankan pengkajiannya pada novel yang pertama, yaitu novel RDP. Hal ini dimaksudkan agar pengkajian yang dilakukan dapat lebih detail dan pembatasan masalahnya terlihat jelas.

B. Sinopsis Cerita Srintil adalah anak perempuan sebelas tahun yang tinggal di Dukuh Paruk bersama kakeknya Sakarya, Srintil diangkat menjadi ronggeng setelah ia kedapatan menari di depan Rasus dan kedua kawannya di kebun dengan iringan musik yang dimainkan dengan mulut anak laki-laki itu. Ternyata, dari kejauhan kakek Srintil melihat kelakuan Srintil, menurut kepercayaan warga Dukuh Paruk, Srintil telah dimasuki roh inang, ia pintar menari walau ia tidak pernah melihat ronggeng menari atau pun diajari oleh nenek dan kakeknya. Orang tua Srintil meninggal karena keracunan tempe bongkrek yang dibuat oleh ayahnya Rasus. Ayah Rasusu meninggal dan ibunya tidak diketahu kabarnya, ada yang mengatakan bahwa ibunya meninggal dan tubuhnya dijadikan bahan penelitian, juga ada yang mengatakan ibunya dinikahi oleh dokter yang merawatnya. Rasus lebih mempercayai kabar bahwa ibunya telah dinikahi oleh dokter yang telah merawatnya. Rasus ternyata punya perhatian lebih terhadap Srintil begitupun Srintil terhadap Rasus. Maka ia sangat perhatian kepada Srintil, ia sering mengikuti setiap kegiatan Srintil walau diam-diam. Seorang yang diangkat menjadi Ronggeng harus melewati beberapa upacara adat, pertama Srintil harus menari di hadapan penduduk desa. Kedua, Srintil harus menjalani bukak klambu, Kartareja sebagai dukun yang dipercaya untuk merawat calon Ronggeng oleh kakek Srintil memberikan syarat kepada laki-laki yang ingin memenangkan Srintil untuk tidur bersamanya, laki-laki itu harus membawa satu ringgit Emas. Setelah
5 |Ronggeng Dukuh Paruk

menunggu beberapa lama datanglah pemuda bernama Dower dari desa sebalah membawa seekor kerbau dan dua rupiah perak sebagai pengganti satu ringgit emas tersebut, tetapi pada saat yang bersamaan datang Sulam yang membawa satu ringgit emas. Pada saat itu muncullah sifat serakah Nyai Kartareja, ia memberikan minuman kepada kedua orang itu satu untuk Sulam berisikan alkohol dan yang satu untuk Dower berisikan air putih biasa. Pada saat Sulam mabuk Dower diberikan kesempatan untuk bersama Srintil dan setelah itu baru Sulam bersama Srintil. Tetapi, sebelum laki-laki pertama itu membuka kelambu Srintil, Srintil ke belakang untuk buang air kecil dan ia melihat Rasus terus saja memperhatikannya dari jauh, pada saat itu Srintil dengan keinginan yang kuat ia menyerahkan dirinya ke Rasus. Tetapi, sebelum Srintil melayani laki-laki, perutnya diurut oleh Nyai Kartareja yang mengakibatkan Srintil tidak dapat hamil. Ketiga, ia harus menari di makam keramat Ki Secamenggala agar arwah Ki Secamenggala menyetujui ditandai dengan masuknya roh Ki Secamenggala ke dalam tubuh Kartareja. Setelah ia melakukan ketiga upacara itu, maka Srintil sudah resmi menjadi ronggeng di Dukuh Paruk. Dukuh Paruk tanpa Ronggeng bukanlah sebuah Dukuh. Setelah itu, Srintil makin sibuk dengan tugasnya sebagai ronggeng sehingga Rasus berpikir bahwa ia bukan milik Rasus lagi, tetapi ia adalah milik umum. Rasus pergi dari Dukuh itu lalu tinggal di pasar menjadi penjaga toko singkong, ia sering bertemu Srintil di pasar juga sering ngobrol di warung. Srintil menginginkan hidup menjadi perempuan biasa yang dapat menikah dan memiliki keluarga, tetapi ia tidak bisa. Setelah itu Rasus mengganti profesinya menjadi budak di sebuah satuan tentara yang diketuai oleh sersan Slamet, Rasus dinilai sebagai orang yang jujur dan cekatan. Pada suatu saat ia diajak sersan untuk berburu makanan di hutan, ketika sersan dan anak buahnya tidur, Rasus memberanikan diri untuk menggunakan senjata dan ia menggukir batu menyerupai wajah seorang lelaki yang ia yakini telah membawa lari ibunya lalu batu itu ia tembak. Setelah batu itu hancur, perasaan dendam ia kepada lakilaki yang dianggap telah melarikan diri emaknya hilang. Mendengar suara tembakan sersan Slamet bangun, ia tidak memarahi Rasus. Pada masa itu sering terjadi perampokan di desa-desa, lalu Rasus diperintahhkan untuk menjaga daerah Dukuh Paruk bersama Kopral Pujo di daerah perbatasan untuk masuk ke desa. Pada saat berjaga-jaga, Rasus

melihat ada lima orang yang mencurigakan lalu ia mengikuti kelima orang itu dari belakang dan kopral Pujo mencari bantuan ke sersan Slamet. Lima orang tersebut ternyata perampok, mereka mengincar rumah Srintil mereka datang ke rumahh Sakarya tetapi mereka tidak mendapatkan banyak harta dan Srintil. Lalu atas informasi dari Sakarya, perampok itu menuju rumah Ki Kartareja tiga perampok masuk ke dalam rumah dan dua orang lainnya menunggu di luar, perampok itu mendapatkan emas dan ia memukuli Ki Secamenggala dan Srintil terika. Rasus yang melihat kejadian itu geram dan ia menembak dua perampok yang berada di luar rumah. Rasus lari menuju perbatasan dan ia melihat sersan Slamet dan anggotanya lari untuk membantunya dua orang rampok berhasil dilumpuhkan oleh sersan Slamet dan Kopral Pujo tetapi satu orang lari. Setelah itu, mereka kembali ke Dukuh Paruk, Srintil terkejut melihat Rasus berada di antara tentara itu. Setelah kejadiaan itu, Rasus berniat untuk melihat keadaan neneknya dan bermalam di sana. Tetapi, Srintil mengikutinya dan ia melayani Rasus dan neneknya untuk makan dan menyiapkan kebutuhan Rasus. Setelah beberapa hari beristirahat, Rasus kembali menjadi pembantu para tentara tanpa diketahui kepergiannya oleh orang-orang di Dukuh Paruk.

C. Analisis Unsur Instrinsik 1. Tema Tema merupakan makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Sebagai sebuah makna, pada umunya tema tidak dilukiskan secara langsung. Eksistensi tema adalah terimplisit dan merasuki keseluruhan cerita. Hal inilah yang menyebabkan kecilnya kemungkinan pelukisan secara langsung dan tidak mudahnya dalam penafsiran tema. Penafsiran tema diprasyarati oleh pemahaman cerita secara keseluruhan. Namun, adakalanya dapat ditemukan adanya kalimat-kalimat tertentu yang dapat ditafsirkan sebagai sesuatu yang mengandung tema pokok. Tema yang diusung dalam RDP ini adalah mengenai potret suram kehidupan
7 |Ronggeng Dukuh Paruk

rakyat kecil pedesaan di Jawa dengan segala persoalannya (Kehidupan Ronggeng, nilai luhur kebudayaan, adat istiadat, dan juga cinta kasih). Persoalan yang lebih ditonjolkan adalah lebih kepada potret kekalahan melawan sebuah tradisi atau menyatunya pribadi ke dalam tradisi itu sendiri. Kekalahan dalam melawan sebuah tradisi itu dapat dilihat dari tokoh Rasus yang pada awalnya ia merasa kecewa karena Srintil telah diangkat menjadi ronggeng, kemudian ia memutuskan untuk keluar dari Dukuh Paruk. Dan pada akhirnya, Rasus lebih memilih pergi untuk menjadi tentara daripada tetap tinggal di Dukuh Paruk. Sedangkan dari sudut penyatuan pribadi ke dalam tradisi, dapat dilihat dari tokoh Srintil. Hal ini berawal dari keinginannya untuk menjadi seorang ronggeng yang memaksanya untuk mengikuti semua tradisi, mulai dari Srintil ditampilkan di depan seluruh penduduk desa, kemudian ia menjalani upacara pemandian sakral di kuburan leluhur mereka, dan yang terpenting adalah ritual bukak kelambu atau ritual memerawani calon ronggeng. Kepergian Rasus dari Dukuh Paruk juga turut menjadikan Srintil semakin larut dan menyatu dengan tradisi.

2. Tokoh dan Penokohan Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, misalnya sebagai jawaban dari pertanyaan: Siapakah tokoh utama novel itu?. Watak, perwatakan, dan karakter menunjukkan pada sifat dan sikap para tokoh yang lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan dan karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan. Hal ini menunjukkan bahwa penokohan merujuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak tertentu dalam sebuah cerita. Atau seperti dikatakan oleh Jones dalam Nurgiyantoro ( 2005:165), penokohan adalah gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Di dalam novel RDP ini terdapat beberapa tokoh, yaitu Rasus dan Srintil sebagai tokoh utama, dukun ronggeng Kartareja dan istrinya, Nyai Kartareja adalah dukun ronggeng yang merawat Srintil, Sakarya dan istrinya, Nyai Sakarya adalah kakek dan nenek Srintil, Sulam dan Dower adalah peserta dalam uapacara bukak kelambu, Warta dan Darsun adalah teman kecil Rasus, Sakum adalah pemukul

Calung yang buta, serta Sersan Slamet dan Kopral Pujo adalah tentara yang ditempatkan di Dawuan yang menjadi atasan Rasus. Tokoh dalam novel RDP ini digambarkan dengan penggambaran fisik yang jelas. Misalnya tokoh Srintil yang digambarkan kenes dan kewes (cantik) (hlm.20) dengan penokohannya yang selalu pasrah (nrimo) terhadap segala sesuatunya dan selalu mengikuti tradisi (kepercayaan leluhur). Rasus, digambarkan dengan watak yang tidak mudah menyerah, mempunyai orientasi pada dunia luar, dan akhirnya mengenal kepercayaan (agama islam). Selain itu, sebagian besar tokoh dalam RDP ini digambarkan sebagai tokoh yang patuh terhadap adat dan masih terikat dengan kepercayaan leluhur. Terbukti dengan masih seringnya upacara pemujaan yang dilakukan di depan makam leluhur, dalam hal ini Ki Secamenggala. Meskipun Srintil adalah salah satu tokoh utamanya, namun terlihat bahwa Srtintil bertindak sebagai tokoh kedua setelah Rasus. Secara lahiriah, frekuensi keterlibatan Srintil lebih sedikit daripada Rasus. Akan tetapi, arti Srintil bukan terletak pada frekuensi keterlibatannya dalam cerita yang besar, melainkan justru pada kedudukannya sebagai latar yang menjadi titik tolak pemikiran Rasus dalam mengambil atau menentukan sikap.

3. Alur/Plot Plot merupakan struktur peristiwa-peristiwa dalam karya fiksi. Pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa tersebut adalah untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu. Penyajian peristiwa-peristiwa itu dapat tersusun berdasatkan tiga hal, yaitu: 1) berdasarkan urutan waktu (kronologis kejadian) disebut alur linear, 2) berdasarkan hubungan sebab akibat (kausal), disebut alur kausal, dan 3) berdasarkan tema cerita, disebut alur tematik. Alur yang digunakan dalam novel RDP ini adalah alur campuran. Karena dalam ceritanya yang terbagi menjadi empat bab ini diceritakan secara berbeda. Pada bab pertama menggunakan alur mundur (flash back) ketika menceritakan peristiwa
9 |Ronggeng Dukuh Paruk

keracunan tempe bongkrek yang dialami oleh seluruh masyarakat Dukuh Paruk. Dan pada tiga bab selanjutnya, menggunakan alur maju yang menceritakan bagaimana Srintil menjadi Ronggeng, upacara-upacara yang harus dilakukan Srintil dalam proses pengangkatan menjadi ronggeng dan sampai akhirnya terjadi perampokan di rumah Srintil.

4. Latar Latar atau setting, merujuk pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar tempat menunjukkan secara jelas pada lokasi tertentu (latar fisik). Latar yang menunjukkan hubungan waktu, dapat juga dikategorikan sebagai latar fisik sebab ia juga dapat merujuk pada saat tertentu secara jelas. Sedang latar sosialnya merujuk kepada perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Hal itu bisa berupa keyakinan, tata cara, adat istiadat, pekerjaan, lingkungan, moral, intelektual, dan status sosial tokoh. Latar tempat pada novel RDP ini memperlihatkan gambaran luas mengenai Dukuh Paruk. Dari awal hingga akhir cerita menceritakan semua kejadian yang terjadi pada setiap sudut wilayah Dukuh Paruk. Hal ini terlihat dari sudut penceritaan pada bab 1-3 yang selalu menceritakan setiap pelosok dari Dukuh Paruk. Baik itu di rumah Kartareja, rumah Sakarya, rumah Rasus, sampai di kuburan Ki Secamenggala. Latar tempat lainnya yaitu di Pasar Dawuan yang dapat kita temukan pada bab 4 novel RDP ini (hlm. 79) yang merupakan tempat pilihan Rasus setelah meninggalkan Dukuh Paruk. Penggambaran latar tempat yang cermat dan terinci merupakan salah satu keunggulan novel RDP. Sapardi Djoko Damono (1983) menyatakan, RDP menunjukkan bahwa Ahmad Tohari bisa sangat lancar mendongeng. Latar, peristiwa, dan tokoh-tokoh yang terdiri atas orang-orang desa yang sederhana digambarkannya dengan menarik, bahkan tidak jarang sangat menarik.

Sedang latar waktu dalam novel RDP, bermula pada tahun 1946 ketika Srintil masih bayi (hlm. 21) dan pada tahun 1960 yaitu ketika Rasus sudah menjadi anggota tentara dan ikut menangkap perampok yang ada di Dukuh Paruk (hlm. 90). Dengan demikian, novel RDP ini menceritakan kejadian peristiwa pada kurun waktu tahun 1946-1960. Dengan melihat latar waktunya, terlihat dengan jelas bagaimana latar sosial yang terjadi pada waktu itu. Dari segi ekonomi, pada tahun 1950-an, ekonomi Indonesia mengalami kekacauan. Meskipun sebanyak 85% penduduk Indonesia adalah petani, namun beras harus diimpor karena sistem infrastruktur dan pertanian yang sangat bobrok. Hal ini tercermin dalam RDP yang memperlihatkan bahwa semua penduduknya hanya mengkonsumsi gaplek dan tempe bongkrek sebagai makanan sehari-hari. Mereka hanya sesekali makan nasi. Karena musim kemarau panjang, sayut-mayur pun sulit untuk ditemukan. Hal ini melambangkan kelaparan yang umum terjadi dalam masyarakat pada waktu itu. (hlm. 23) Sedang dari segi politik, muncul beberapa gerakan anti-pemerintah di Indonesia. Gerakan itu antara lain pemberontakan DI/TII (1950-an) yang terjadi di beberapa daerah. Oleh karena itu, TNI sibuk menghadapi gerombolan-gerombolan yang melakukan pemberontakan itu. Permasalahan itu terwujud dalam akhir cerita RDP, yaitu ketika Dawuan dan Dukuh Paruk terjadi serangan perampok. Selama beberapa bulan, Dawuan dan Dukuh Paruk rawan perampokan, sampai akhirnya militer dipanggila untuk mengawasi dan melindungi masyarakat. Rasus ikut membantu, dan akhirnya dia diangkat menjadi prajurit tentara setelah membantu menangkap dan membunuh perampok di Dukuh Paruk. Gambaran mengenai peristiwa G30 S PKI, belum terlihat secara jelas dalam RDP, namun pada dua novel selanjutnya sangat memperlihatkan keterlibatan Dukuh Paruk, terutama Srintil yang dianggap sebagai salah satu dari antek-antek PKI (Gerwani) yang akhirnya menyeret Srintil kepada jeruji besi.

11 | R o n g g e n g D u k u h P a r u k

5. Sudut Pandang Sudut pandang merupakan cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Dalam novel RDP, menggunakan beberapa sudut pandang yang berbeda, yaitu: pada bab pertama (hlm.5-43) menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu (narator luar). Narator ini menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Dukuh Paruk. Selanjutnya, pada tiga bab selanjutnya, kita temukan bahwa yang menjadi naratornya adalah Rasus. Dengan kata lain, pada tiga bab terakhir, menggunakan sudut pandang akuan. Namun dalam penggunaan tokoh aku ini menimbulkan dua pemikiran, yaitu tokoh aku sebagai pelaku cerita dan tokoh aku sebagai pencerita-narator. Tokoh aku sebagai pelaku cerita dapat dengan mudah ditetapkan batas-batasnya. Misalnya, bagaimana aku mengiringi Srintil menari ronggeng di bawah pohon nangka, bagaimana aku menyelipkan keris warisan mendiang ayahnya ke bawah bantal Srintil, bagaimana aku menjadi lelaki pertama yang menikmati virginitas ronggeng, dll. Sedang batasan tokoh aku sebagai pencerita terlihat agak kabur. Hal ini dikarenakan posisi tokoh aku sebagai pencerita ini bertebaran di sana-sini. Namun yang terlihat dengan jelas adalah ketika tokoh aku menceritakan tentang persoalanpersoalan yang sifatnya teknis sewaktu aku mendeskripsikan sebab-sebab keracunan tempe bongkrek. Hal ini sungguh tidak mungkin karena tokoh aku waktu itu hanya seorang bocah desa yang tak berpendidikan yang usianya baru 14 tahun. Salah satu cara untuk membedakannya adalah dengan melihat ungkapan pikiran dan perasaan si tokoh. Kutipan pada halaman 44 misalnya, jelas dikatakan oleh Rasus si pencerita. Sedangkan kutipan pada halaman 51, dikatakan oleh Rasus si pelaku cerita. Apa yang kualami sejak kanak-kanak kusimpan dalam ingatan yang serba sederhana. Dengan kemampuan seorang anak pula, kurangkaikan cerita (hlm.44)

Lebih baik sekarang kuhadapi hal yang lebih nyata. Srintil sudah menjadi ronggeng di dukuhku, Dukuh Paruk. (hlm.51)

6. Pesan Moral Bagaimana pun juga, fungsi sastra adalah mendidik dan menghibur. Fungsinya sebagai alat untuk mendidik, karya sastra mengandung ajaran moral. Ia mencoba mengevaluasi kehidupan ini dan sekaligus memberinya makna. Dalam fungsinya sebagai hiburan, sastra menjanjikan kenikmatan dan kesenangan begi pembacanya. Lewat kedua fungsi inilah, pembaca tidak hanya merasa terhibur, tetapi juga mengambil manfaatnya. Dalam hubungannya dengan novel RDP ini, kedua fungsi tersebut berhasil dikedepankan. Masalah lingkungan hidup digambarkan dengan panorama Dukuh Paruk beserta sikap dan perilaku warganya dalam memperlakukan lingkungan. Terlihat penggambarannya yang sangat nyaman dan penuh kedamaian. Sedang pesan moral yang hendak disampaikan oleh pengarang, terlihat dalam kalimat: Aku, Rasus, telah menemukan diriku sendiri. Dukuh Paruk dengan segala sebutan dan penghuninya akan kutinggalkan. (hlm.174) Rasus, tokoh penting dalam RDP yang lahir dan dibesarkan dalam nilai-nilai jahiliyah diceritakan telah menemukan dirinya sendiri lalu pergi meninggalkan Dukuh Paruk. Rasus merasa tidak betah dengan alamnya, Dukuh Paruk. Untuk itu, ia memutuskan untuk meningglkan Dukuh Paruk. Dengan kata lain, melalui RDP ini sang pengarang hendak menyampaikan pesan bahwa seseorang yang hidup dalam nilai-nilai jahiliyah dan setelah mengetahui bahwa alamnya itu jelek, maka seseorang itu pun harus pergi ke alam yang penuh petunjuk.

D. Analisis Konflik Batin Tokoh Utama dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa yang menjadi tokoh utama dalam
13 | R o n g g e n g D u k u h P a r u k

RDP ini adalah Srintil dan Rasus. Srintil adalah anak dari pembuat tempe bongkrek yang membuat penduduk Dukuh Paruk mati keracunan. Pada usia sebelas tahun, ia diangkat menjadi ronggeng. Penduduk Dukuh Paruk percaya bahwa Srintil telah dimasuki ruh indang seorang ronggeng. Dengan diangkatnya Srintil menjadi ronggeng, maka Srintil dianggap sebagai mata rantai penghubung dengan masa lalu, dengan para leluhur. Menurut Yudiono K.S., peristiwa yang menggembirakan itu justru menambah konflik batin seorang remaja laki-laki yang bernama Rasus yang secara alamiah telah menaruh perhatian yang besar terhadap Srintil. Sebetulnya, konflik batin yang dialami Rasus berawal dari kekecewaannya terhadap kematian emaknya. Emaknya yang menjadi korban dalam peristiwa tempe bongkrek, belum diketahui kebenaran akan kematiannya. Apakah Emak sudah meninggal atau kabur bersama Mantri yang mengobatinya? Ketidakjelasan ini yang menjadikan hatinya kecewa. Dan kekecewaan itu bertambah besar, mana kala Srintil yang dianggap mirip dengan emaknya diangkat menjadi ronggeng. Pemikiran Rasus yang menganggap bahwa Srintil mirip dengan emaknya dapat dilihat dalam kutipan: Ah, sebaiknya kukhayalkan Emak sudah mati. Ketika hidup ia secantik Srintil. Bila sedang tidur, tampillah Emak sebagai citra perempuan sejati. Ayu, teduh, dan menjadi sumber segala kesalehan, seperti Srintil.. (hlm. 61). Dalam hal ini berarti Rasus telah menganggap Srintil sebagai pengganti Emaknya. Konflik batin yang dialami Rasus tidak akan bertambah parah seandainya Rasus masih dapat bercanda dengan Srintil seperti biasanya. Akan tetapi, Srintil sudah dipingit oleh suami istri Sakarya sehingga tidak bebas lagi bermain-main. Akibatnya, hati Rasus pun bertambah tersiksa. Sedang puncak dari konflik batin Rasus adalah ketika Rasus mendengar rencana dukun ronggeng Kartareja hendak menyelenggarakan upacara bukak kelambu. Semua angan-angan yang dibangun Rasus tentang emaknya hancur porak-poranda. Dia sama sekali tidak rela derajat moral emaknya sampai serendah itu. Pengikat yang membuatku mencintai Dukuh Paruk telah direnggut kembali... (hlm.127)

Rasus yang terluka hatinya memilih meninggalkan Dukuh Paruk dan akhirnya ia masuk menjadi pasukan/prajurit dari tentara. Secara lahiriah, tampak Rasus menggenggam kemenangan setelah berhasil menjadi prajurit dan dapat meninggalkan Dukuh Paruk sebagai tokoh terpandang. Akan tetapi, secara batiniah, tampaklah bahwa kepergian Rasus dari Dukuh Paruk adalah potret kekalahan melawan sebuah tradisi. Sedang menurut Eko Endarmoko, sekurang-kurangnya terdapat empat tokoh penting sepanjang perkembangan kejiwaan Rasus, yaitu: Srintil, Emak, Mantri, dan Sersan Slamet. Srintil dan Sersan Slamet sungguh hidup, ketiganya dapat bertemu secara fisik satu sama lain. Sersan Slamet adalah tentara yang ditugasi memerangi perampokan yang merajalela di Dawuan. Rasus bertemu dengannya ketika dia dalam pelarian. Dan Rasus dijadikan sebagai salah satu prajurit oleh Sersan Slamet. Sedang tokoh Emak dan Mantri yang berkumis dan bertopi gabus itu, merupakan tokoh-tokoh hasil ciptaan Rasus. Mereka tak pernah ada secara nyata. Juga semua peristiwa yang melibatkan Emak dan Mantri itu tak lebih dari hasil angan-angan Rasus. Meskipun tak pernah ada secara nyata, Emak dan Mantri tak dapat dipisahkan dari perkembangan kejiwaan Rasus. Boleh dikatakan kedudukan Emak sejajar dengan Srintil, dan kedudukan Mantri sepenting Sersan Slamet. Dengan demikian, konflik-konflik yang dialami Rasus tak lain daripada hasil konfrontasi Rasus dengan keempat tokoh tersebut. Bila Srintil dan Sersan Slamet adalah tokoh nyata, sedang Emak dan Mantri adalah tokoh rekaan Rasus, kita dapat melihat bahwa Emak dan Srintil mewakili masa lalu Rasus (tradisional), sedang Mantri dan Sersan Slamet menggambarkan kekinian atau masa depan Rasus (modern). Kedua pertentangan tersebut (tradisional-modern), membantu Rasus dalam memahami posisi dirinya sendiri, untuk menyadari keberadaannya di tengah persimpangan dua budaya tersebut. Pada anggapan Rasus, akhirnya dunia tradisional hanya merupakan dunia angan-angan yang harus dengan segera disingkirkan dari benaknya. Sedangkan dunia modern identik dengan dunia nyata yang sudah saatnya disadari sebagai bagian dari tahap-tahap pertumbuhan kepribadiannya. Tokoh Emak dan Mantri telah berhasil disingkirkan oleh Rasus. Gambaran
15 | R o n g g e n g D u k u h P a r u k

mengenai Emak yang identik dengan Srintil telah digantikan dengan citra perempuan yang mirip dengan perempuan Dukuh Paruk pada umumnya. Sedang gambaran Mantri dihilangkan Rasus dengan menembaknya dengan senapan. (hlm.157) Dari sini terlihat bahwa Mantri dan Seran Slamet sebenarnya bertindak sebagai pembawa unsur-unsur kebudayaan asing pada diri Rasus. Hanya saja, Mantri bertindak sebagai agen negatif dan Sersan Slamet bertindak sebagai agen positif yang mengantarkannya kepada dunia pendidikan dengan mengajarkannya baca-tulis. Dengan adanya tokoh Rasus, Ahmad Tohari menampilkan seorang pemuda yang mempunyai keberanian melepaskan diri dari tradisi yang dipandangnya tidak memungkinkan bagi dirinya untuk mengembangkan kepribadiannya sendiri. Berdasarkan kedua pandangan di atas, dapat dikatakan bahwa konflik batin yang dialami oleh Rasus berawal dari kekecewaanya terhadap belum adanya kebenaran mengenai kematian emaknya. Dan puncak konflik itu terjadi ketika gambaran emak yang ia temukan pada diri Srintil hancur berkeping-keping ketika Srintil diangkat menjadi ronggeng. Namun konflik tersebut berakhir ketika Rasus memutuskan untuk tidak menikah dengan Srintil dan memilih untuk pergi meninggalkan Dukuh Paruk. Kepergian Rasus dari Dukuh Paruk merupakan perlambang akan kekalahan Rasus dalam melawan sebuah tradisi yang justru dari kekalahan tersebut menjadi bukti keberanian seorang Rasus untuk melepaskan diri dari tradisi yang tidak bisa mengembangkan kepribadiannya. Sedang bagi tokoh Srintil sendiri, meskipun dalam RDP ini konflik batin yang dialaminya belum terlihat begitu jelas, namun pada bab-bab terakhir, diceritakan bahwa Srintil sudah mulai merasakan konflik batin. Awal dari konflik batinnya itu adalah ketika Rasus pergi meninggalkan dirinya dan lebih memilih untuk menjadi tentara. Ia merasakan kepedihan yang begitu mendalam karena ia yang tidak pernah ditolak oleh lelaki manapun, justru sekarang ditolak oleh lelaki yang dicintainya. Ibarat gempa bumi yang mampu memporak-porandakan seluruh isi bumi, maka penolakan tersebut pun mampu menggoncang jiwanya dengan begitu dahsyat. Kepergian Rasus pun membekaskan luka yang mendalam di hati Srintil dan kelak besar sekali pengaruhnya terhadap perjalanan

hidupnya yang berliku (dapat ditemukan dalam dua novel berikutnya, LKDH dan JL). Dengan perginya Rasus dari Dukuh Paruk pun membuat Srintil semakin larut dan menyatu ke dalam tradisi. Hal ini dikarenakan sikap Srintil yang selalu pasrah mengikuti perintah dan aturan leluhur dan tidak adanya keberanian Srintil untuk menentang segala aturan yang mengikat dirinya.

BAB III SIMPULAN


Novel karya Ahmad Tohari yang terdiri dari empat bab dan 174 halaman ini merupakan salah satu karya penting dan cukup berhasil. Kemampuan pengarang dalam menggambarkan latar merupakan salah satu keunggulannya. Selain itu, penggambaran konflik yang dialami oleh tokoh menuntut kita untuk berpikir lebih mendalam. Karena di balik penggambaran yang sederhana, ternyata novel RDP menyimpan makna yang cukup rumit dan juga mendalam. Berdasarkan pendekatan pragmatik yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa konflik batin yang dialami oleh Rasus berawal dari kekecewaanya terhadap belum adanya kebenaran mengenai kematian emaknya. Dan puncak konflik itu terjadi ketika gambaran emak yang ia temukan pada diri Srintil hancur berkeping-keping ketika Srintil diangkat menjadi ronggeng. Keputusan Rasus untuk meninggalkan dukuhnya merupakan gambaran kekalahan melawan sebuah tradisi yang justru menjadi bukti kemenangan akan keberanian dirinya menentang tradisi yang selama ini menghimpit kehidupannya. Kepergian Rasus adalah bukti kebebasan yang ia pilih setelah ia melihat kebenaran yang sesungguhnya. Hal ini berlawanan dengan konflik batin yang dialami oleh Srintil. Kepasrahan menerima segala aturan dan tidak adanya keberanian membuat Srintil semakin menyatu dalam tradisi.

17 | R o n g g e n g D u k u h P a r u k

DAFTAR PUSTAKA

Endarmoko, Eko. 1984. Perihal Ronggeng Srintil. dalam Horison XVIII/Januari 1984. hlm.10-16. Eneste, Pamusuk. 2009. Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Hellwig, Tineke. 2003. In The Shadow of Change Citra Perempuan dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Desantara dan Women Research Institute. Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ricklefs. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Tohari, Ahmad. 2009. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Yudiono K.S. 2003. Ahmad Tohari: Karya dan Dunianya. Jakarta: Grasindo. __________. 2007. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo.

Anda mungkin juga menyukai