Anda di halaman 1dari 12

Novel Ronggeng Dukuh Paruk Representasi

Sebuah Kebudayaan yang Menjadi Alat Propaganda Politik


( Kritik Sastra Realisme Sosial)

MAKALAH
Diselesaikan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Kritik Sastra

Oleh :
Yulina Dwi Lestari
17070835025

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


PROGRAM PASCASARJANA
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
2017
Novel Ronggeng Dukuh Paruk Representasi
Sebuah Budaya Sebagai Alat Propaganda Politik

Yulina Dwi Lestari


Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia-Daerah
Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya
Dlestariyulina67@gmail.com

A. PENDAHULUAN

Novel Ronggeng Dukuh Paruk ini adalah sebuah reaksi yang dibuat oleh Ahmad
Tohari karena pada saat usianya yang 17 tahun 1965 dia mengetahui sendiri bagaimana
tragedi kemanusiaan terbesar di Indonesia yang berlatar politik itu terjadi di tempat
lahirnya Banyumas (Yudiono, 2003:5). Pengisahan dalam novel RDP ini memang tidak
jauh dari realita hidup yang dialami oleh Ahmad Tohari sang penulis. Hal ini diungkapkan
oleh (Imron:2006) dalam artikelnya bahwa tokoh Rasus dalam RDP banyak diangkat dari
kehidupan pribadi Ahmad Tohari sendiri. Ahmad Tohari pernah mengalami peristiwa
keracunan tempe bongkrek dalam keluarganya yang menyebabkan anggota keluarganya
meninggal dan hal ini juga digambarkan pada tokoh utama RDP yaitu Rasus.

Sebuah karya sastra biasnya merupakan cermin dari apa yang dialami, dirasakan,
dan dilihat sendiri oleh penulis. Novel RDP ini merupakan karya fiksi yang mungkin masih
merupakan pantulan dari kejaadian sosial yang pernah disaksikan sendiri oleh
pengarangnya yaitu Ahmad Tohari. Novel ini akan sangat menarik dikaji secara mendalam
melalui sebuah kritik sastra realisme sosial yang juga tidak lepas dari sudut pandang
pengarang. Kritik sastra ialah studi sastra yang berusaha menyelidiki karya sastra dengan
langsung , menganalisis, menginterpretasi,memberikan komentar dan penilaian. Sementara
itu pradopo (2002: 32) mengungkapkan bahwa kritik sastra itu merupakan bidang studi
sastra untuk “menghakimi” karya sastra, untuk memberi penilaian mengenai bermutu atau
tidaknya suatu karya sastra. Dalam kritik sastra, suatu karya diuraikan atau dianalisis
unsur-unsurnta atau norma-normanya, diselidiki, diperiksa satu persatu kemudian
ditentukan berdasarkan “hukum-hukum” penilaian karya sastra. Sedangkan realisme-
sosialis sebagai metode sosialis menempatkan realitas sebagai bahan-bahan global semata
untuk penyempurnaan pemikiran dialektik. Istilah realisme-sosialis pertama muncul di
Uni Soviet, tokoh utamanya yaitu Maxim Gorki. Munculnya gerakan sastra realisme-
sosialis ini tidak diketahui secara pasti tanggal dan tahunnya tetapi diperkirakan
munculnya realisme-sosialis tahun 1905.

Tulisan ini akan mengungkapakan bagaimana keadaan rakyat kecil korban


peristiwa 1965 sesungguhnya dari sudut pandang novel RDP karya Ahmad Tohari. Tulisan
ini akan menjelaskan bagaimana propagada politik PKI saat itu dengan menggunakan
kesenian daerah yang ada di Jawa Tengah seperti ronggeng atau lengger. Novel RDP ini
akan terkait dengan cara berpolitik LEKRA yang terkenal pada zaman tersebut dalam
menarik setiap kesenian daerah menjadi kesenian rakyat yang menyimbolkan keberanian
dan perlawanan rakyat itu sendiri. Penggambaran kejadian 1965 digambarkan dramatis
melalui tokoh-tokoh utama seperti Srintil, Sakum, Sakarya dan Kartareja yang menjadi
korban penangkapan pada 1965 tersebut. Tulisan ini melihat novel RDP dari sudut pandang
lain, tulisan ini bukan memandang bahwa novel RDP hanya sebuah karya romansa antar-
anak manusia Rasus dan Srintil, namun bagaimana Ahmad Tohari mengambarkan tragedi
sosial di Indonesia pada tahun 1965 melalui tulisannya.

B. REALISME SOSIALIS DALAM NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK

1. Dukuh Paruk Berteguh Adat tanpa Partai

Novel RDP adalah sebuah cerminan keadaan pada tahun 1950 awal hingga 1970 di
daerah Jawa Tegah. Sesuai dengan pendapat (A.Teeuw dalam Kurniawan, 2012:14) bahwa
sebuah karya sastra tidak lahir dari sebuah kekosongan budaya, dan kajian sosiologi sastra
akan mengkaji keadaan sosial masyarakat dan kebudayaan yang melahirkannya.
Kebudayaan ronggeng di Jawa Tengah adalah sebuah kebudayaan masyarakat Banyumas
yang ingin digambarkan oleh Ahmad Tohari dalam novelnya, sedangkan keadaan ricuh
pada tahun 1965 adalah sebuah keadaan sosial politik yang juga disoroti dalam novel RDP.

Dalam kenyataannya di Banyumas tempat Ahmad Tohari lahir kesenian Ronggeng


memang sangat diminati. Kesenian Ronggeng itu biasanya lebih dikenal Lenger Banyumas
(Sobirin:2006). Keteguhan adat dan kebudayaan yang digambarkan dalam Novel RDP juga
terjadi pada masyarakat Banyumas sejak zaman dahulu. Kepercayaan roh-roh nenek
moyang, kebudayaan dan tata cara hidup diatur sedemikian rupa pada masyarakat
Banyumas secara turun-temurun.

Aku percaya indang ronggeng masih tetep bersemayam pada diri


sampean. Hati sampean yang buntu akan terobati bila sampean
melupakan dia. (Tohari, 2011:165)
Kutipan novel tersebut adalah percakapan antara Sakum dengan Srintil. Dari percakapan
yang ada dalam novel RDP tersebut jelas bahwa Ahmad Tohari juga menggambarkan
kebudayaan Banyumas yang masih berteguh adat dan mempercayai adanya indang yang
merasuki seorang Ronggeng. Masyarakat Banyumas sendiri masih mempercayai adanya
indang dalam setiap keseniannya seperti lengger dan sintren (Chusmeru, 2012:162). Indang
adalah roh halus yang merasuki seseorang da untuk mendapatkan indang maka ada
beberapa ritual khusus yang harus dijalani seperti puasa mutih, bertapa, dsb.

Novel RDP dapat dikatakan sebagai representasi kesenian masyarakat banyumas


yang masih menganut komunikasi transendental dalam kehidupannya. Komunikasi secara
transendental atau bersifat kerohanian ini sendiri memang adalah ciri khas kebudayaan
Jawa, salah satunya di daerah Banyumas. Komunikasi transendental dalam novel RDP juga
diungkapkan secara detail oleh Ahmad Tohari dengan adanya ritual, tempat suci atau
cungkup makam Ki Sacamenggala leluhur Dukuh Paruk.

Semua yang berpidato mengerahkan habis-habisan tenaga urat lehernya. Agitasi,


Propaganda, serta slogan kutukan membakar seluruh lapangan dalam kepalan
ribuan tangan serta riuhnya bunti tambun. (Tohari, 2011:180)
dan puncak hura-hura itu ketika sebuah patung kelaras jagung yang diberi
kopiah serta kacamata dibakar masa ‘Gembong musuh rakyat telah menjadi
abu!’ teriak pemuda (Tohari, 2011:180)
Dalam Novel RDP Srintil sang ronggeng dari Dukuh Paruk diperintahkan oleh seorang Pak
Ranu dari kelurahan agar dapat naik pentas ketika acara 17 agusutus 1963. Awalnya Srintil
menolak namun ketika Srintil berfikir tentang Sakum yang miskin dan pedukuhannya yang
terpinggirkan Srintil memutuskan untuk naik pentas demi ketenaran Dukuh Paruk. Dalam
novel RDP ini digambarkan bahwa saat itu Dawuhan dan orang sekitarnya sedang berapi-
api menganyang gembong musuh rakyat dengan pidato dan spanduk dimana-mana. Dari
kutipan tersebut dapat diketahui bahwa pada masa itu (tahun 1964) di Dawuhan kecamatan
dari Dukuh Paruk sedang melakukan perayaan 17 Agustus dengan penuh gairah dan
semangat untuk kemerdekaan rakyat itu sendiri. Patung kelaras yang memakai kopiah
dengan kacamata ini ditafsirkan oleh penulis sebagai salah satu tokoh NU atau Presiden
Soekarno. Karena pada tahun 1963, 1964 hingga pertengahan 1965 di berbagai daerah di
tingkat bawah seperti desa-desa terpencil pendukung partai-partai Islam khususnya NU
menjadi sasaran utama dalam aksi PKI terutama dalam masalah pertanahan hal ini dirujuk
dari artikel Sosiopolitica (2009) dengan judul Dipa Nusantara Aidit: Mengibarkan
Bendera Merah. Partai PKI digambarkan sangat dominan di wilayah Dawuhan, sehingga
propaganda politik PKI memang sudah berkembang pada tahun tersebut di setiap daerah
bahkan terdalam dan terpencil.

“ Apa yang kau lihat nak? “


“Wah! Merah, merah, Pak. Bapak tidak melihat, ya?”
“Apa yang merah?”
“Semua, banyak sekali. Orang-orang bertopi kain merah. Bendera-bendera merah.
Tulisan tulisan merah’” (Tohari,2011:181)

Dari percakapan sakum dan anaknya tersebut dapat diketahui Dawuhan ramai
dengan bendera dan simbol berwarna merah. Warna merah adalah hal yang identik dengan
bendera PKI. Sakum dan anaknya adalah orang Dukuh Paruk yang pastilah buta huruf
mereka hanya dapat melihat tanpa mengerti dan memahami apa yang ada dalam tulisan,
bendera dan spanduk-spanduk merah yang dikibarkan di Dawuhan saat itu. Dukuh Paruk
dan seisinya adalah potret kepolosaan manusia yang menerima kehidupan tanpa
perlawanan, sehingga aksi pidato yang berapi-api dan amukan massa adalah hal yang aneh
dan tak pernah muncul atau diketahui di pedukuhan itu. Sakum orang dari pedukuhan kecil
itu contoh dari orang Dukuh Paruk yang dapat dikatakan buta Politik dan Partai.

Dalam tradisi hidup mereka ikatan kesetiaan dan kebersamaan nyaris tak pernah
menerobos keluar Dukuh Paruk. Politik dalam sisi pandang yang paling bersahaja tak
pernah muncul di pedukuhan terpencil itu. Tatanan hidup mereka adalah tradisi yang
berdasar pada ikatan darah keturunan (Tohari,2011:182)
Berdasarkan kutipan tersebut maka dapat diketahui bahwa Srintil, Kartareja, Sakarya,
Sakum, dan sebagainya adalah orang Dukuh Paruk yang tak mengenal apa itu partai
politik. Pedukuhan kecil ini bahkan tak mengerti perkembangan dunia luarnya untuk baca
tulis pun digambarkan mereka semua buta huruf bagaimana mereka bisa mengetahui
politik. Hal yang dipegang teguh oleh masyarakat Dukuh Paruk adalah berteguh adat pada
leluhurnya. Maka dapat dikatakan Ahmad Tohari menggambarkan masyarakat Banyumas
yang masih berteguh adat tanpa politik melalui tokoh-tokoh dalam novel RDP.

2. Ronggeng Dukuh Paruk Menjadi Ronggeng Rakyat

Srintil, Sakarya, Sakum, Kartareja adalah korban dari tragedi politik terbesar pada
tahun 1965 yang terkait dengan PKI. Hal ini karena Srintil yang awalnya adalah rongeng
kesenian milik pedukuhan kecil Dukuh Paruk menjadi Ronggeng Rakyat karena
propaganda politik PKI pada tahun 1963-1964.
Dan Ronggeng Dukuh Paruk itu / Mereka adalah seniman-seniman rakyat!
Rakyat yang perkasa rakyat yang demikian tangguh sehingga masih tetap
menyayi dan menari meskipun telah berabad-abad hidup tertindas (Tohari,
2011:187)
Dari kutipan tersebut jelas bahwa ketika malam 17 Agustus Ronggeng Dukuh
Paruk sudah dianggap menjadi Ronggeng Rakyat. Ronggeng yang mengabdi pada
kemerdekaan rakyat untuk sebuah revolusi rakyat khususnya para petani. Julukan
Ronggeng Rakyat ini akan semakin mempertegas bahwa kesenian seperti Ronggeng ini
dijadikan sebagai alat propaganda politik oleh Lekra dan PKI. Lekra merupakan lembaga
kesenian yang erat dengan PKI yang sedang diatas awan kepopularitasannya dan
pendukungnya. Lekra melihat saling terkaitnya antara peran seniman dengan
masyarakatnya. Ronggeng yang dijadikan sebagai alat propaganda PKI ini semakin kuat
ditujukan pada kutipan dibawah ini.

“ Apa yang disajikannya tidak bisa lain dari pada sebuah makana kebebasan,
bebas dari penindasan kaum imperialis, kapitalis, dan kolonialis bersama
antek-antek mereka.” (Tohari, 2011:188)
Kutipan tersebut semakin mempertegas bahwa yang mempropaganda Ronggeng di Dukuh
Paruk adalah PKI karena perjuangan PKI pada rakyat yang menentang Imperialisme,
Kapitalis, dan Kolonial. Diduga bahwa Ronggeng di Dukuh Paruk ter-PKI-kan oleh Lekra
agar menarik seniman dan pecinta kesenian ronggeng lainnya saat itu. Lekra adalah
organisasi yang mementingkan sebuah realitas dan dihayati oleh keyakinan akan
kemenangan rakyat, sehingga Lekra menganut faham Relaisme Sosialis (Kurniawan,
2002:96). Peritiwa kejadian tahun 1963-1964 yang menunjukan Lekra memang sudah
berkembang karena Lekra didirikan pada 17 Agustus 1950. Lekra melihat saling
terkaitnya antara peran seniman dengan masyarakatnya. Menurut Lekra kebudayaan dan
sebuah karya sastra mempunyai andil yang besar untuk menggugah kesadaran masyarakat
dalam perjuangan rakyat. Lekra sering menamakan diri sebagai lembaga Tentara
Kebudayaan (Moeljanto dan Ismail, 1995:73).

Pada zamannya (tahun 1963-1965) bukan hanya Ronggeng atau kesenian Lengger
Banyumas saja yang menjadi kesenian PKI melalui naungan LEKRA namun ada juga
kesenian lain seperti Ludruk Marhen di Surabaya ,Reog Rakyat di Ponorogo, dan Ketoprak
di Jawa Barat. Clifford Geertz (dalam Henri, 2001:55) menyatakan bahwa kesenian Ludruk
di Jawa Timur pada saat itu menjadi kesenian sosial dengan misi politik. Ronggeng di
Banyumas pada jaman dahulu memang sangat diminati ronggeng yang biasanya terkit hal
vulgar ini memiliki dua jenis yaitu ronggeng desa dan ronggeng negara
(Hutomo,1996:104). Kesenian-kesenian ini akan mewakili perjuangan rakyat pada masa
itu sehingga kesenian tersebut akan dijuluki dengan kesenian Rakyat. Bahkan pada tahun
1963 para rakyat memiliki kesenian lagu kebanggan khas perjuangan rakyat yaitu Genjer-
Genjer, lagu ini kemudian dikenal akarab degan PKI. Hal ini juga digambarkan dalam
novel RDP.

“Turun, turun! Kami tidak doyan ngak-ngik-ngok Imperialis! Turun si


pemuda segera tanggap tidak menuruti ocehan dari sudut lapangan itu. Dia
cukup pintar dengan cara mengganti lagunya para pemain diaturnya sejenak.
Kemudian Genjer-Genjer sebuah lagu daerah yang entah mengapa menguasai
udara tanah air pada tahun 1964 itu” (Tohari, 2011:189)
Lagu genjer-genjer adalah lagu populer berbahasa Osing yang diciptakan oleh seniman
asal Banyuwangi. Syair lagu Genjer-Genjer dimaksudkan sebagai sindiran atas masa
pendudukan Jepang ke Indonesia. Pada saat itu, kondisi rakyat semakin sengsara dibanding
sebelumnya. Bahkan ‘genjer’ tanaman gulma yang tumbuh di rawa-rawa biasanya
dikosumsi itik namun saat masa penjajahan Jepang tanaman genjer menjadi santapan yang
lezat akibat tidak mampu membeli daging, ayam ataupun sayuran yang layak lainnya.

Keterlibatan Srintil dan kelompok ronggengnya dengan orang-orang Komunis


semakin mendalam dengan kehadiran Bakar, meskipun sebagaimana kasus keterlibatan
mereka di upacara Agustusan, juga bukan atas kehendak mereka.

Bakar orang yang selalu berpidato berapi-api (Tohari, 2011:228).


dimata Srintil bakar adalah ayah yang sangat layak, ramah dan keliahatannya
paham akan banyak hal termasuk perasaan pribadi sintil (Tohari, 2011:228)

Tokoh Bakar muncul ke Dukuh Paruk dengan sikap yang ramah dan bijaksananya.
Srintil dan seluruh warga Dukuh Paruk sangat menghargai dan menghormati Pak Bakar.
Pak Bakar adalah tokoh yang tidak tergiur dengan keerotisan seorang ronggeng. Pak Bakar
juga memberikan upah yang tinggi ketika menggunakan jasa Srintil dan Ronggeng Dukuh
Paruk ketika pentas. Tokoh Bakar dalam RDP digambarkan oleh Ahmad Tohari sebagai
reprsentasi kader partai PKI atau bisa jadi pengurus Lekra yang ada di wilayah Banyumas
saat itu.

bakar tidak bicara macam-macam di Dukuh Paruk. Dia hanya ingin Srintil dan
rombongannya menjadi alat penarik massa (Tohari, 2011:.230)
Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa PKI atau Lekra menggunakan
kebudayaan sebagai sarana penarik massa, pada saat itu. Pada novel RDP ketika ronggeng
berlangsung maka rakyat juga akan ikut turut serta dalam kegiatan merojeng tanah-tanah
atau sawah milik tuan tanah. Pengisahan dalam RDP juga terjadi pada keadaan ditahun
1963-1964 ketika seniman seperti ronggeng, gamelan, ludruk, reog dsb ditanggap maka
pentas itu akan dibarengi dengan aksi merojeng sawah tuan tanah. Kegiatan merojeng atau
penyerangan ini yang akhirnya menjadi bomerang untuk para pengikut PKI karena mereka
diangap sebagai militan atau pemberontak.

Adalah Srintil yang tidak tahu apakah dalam hidup ini diperlukan rapat-rapat, pidato
dan pawai- pawai. Atau segala kegiatan Hura-Hura itu. Dan Srintil yang tidak
mengerti tujuan rapat-rapat yang belakangan ini selalu diikutinya dan dia mengisi
acara kesenian( Tohari, 2011:231)
Srintil dan para rombongan rongengnya tidak tahu menahu tentang persoalan PKI
ataupun rapat-rapat yang diikutinya. Dapat dikatakan bahwa pembantaian atau
penangkapan rakyat yang berlangsung pada september 1965 tidak sepenuhnya dibenarkan
karena rakya-rakyat kecil banyak yang tidak tahu-menahu tentang maksud propaganda
politik tersebut, namun mereka menjadi korban. Penangkapan dan juga pembunuhan para
rakyat kecil pada September 1965 dianggap terlalu keji karena hampir membunuh dua juta
nyawa di Indonesia. Kota Banyumas sebagai kota kelahiran Ahmad Tohari tidak luput dari
pembabakan PKI.

Akhirnya pada tahun 1964 menjelang tahun berikutnya Dukuh Paruk dan
Ronggengnya berbaur dalam satu pengertian dengan kelompok bakar. Srintil
mendapat julukan baru yang cepat menjadi tenar Ronggeng Rakyat (Tohari,
2011:232)
Julukan ronggeng rakyat adalah julukan baru untuk Srintil yang makin membuat
Srintil lekat dengan politik itu sendiri. Dalam hal ini PKI mencoba masuk kedalam struktur
masyarakat dari yang paling luar hingga pedalaman. Penghasutan PKI pada RDP dilakukan
dengan menjadikan partai lain sebagai umpan kemarahan orang Dukuh Paruk yang
akhirnya mau berpihak pada bakar untuk membalas partai lain. Dalam kisahnya para
anggota bakar menghancurkan cungkup makam Ki Sacamenggala leluhur Dukuh Paruk,
namun dengan sengaja orang-orang Bakar meninggalkan caping hijau agar memancing
kemarahan warga Dukuh Paruk sehingga Srintil dan rombongannya akan bergabung
bersama bakar untuk membalas dendam pada partai hijau tersebut.
Caping ini kutemukan di balik semak. Kita tidak pernah mempunyai barang
seperti demikian, ini pasti milik bajingan-bajingan yang telah merusak cungkup
makam (Tohari, 2011: 235)
Pada tahun 1965 itu siapa pun tahu kelompok petani mana yang suka berpawai
atau berkumpul dalam rapat dengan tutup kepala seperti itu (Tohari, 2011:236)
Kita tahu, meskipun tak secara jelas diungkapkan di novel ini, partai-partai Islam
mempergunakan warna hijau untuk identitas mereka. Di masa itu, sangat besar
kemungkinan ini merujuk ke Partai Nahdlatul Ulama. Demikian juga kita bisa mengerti
mengapa orang-orang Islam tak akan menyukai makam Ki Secamenggala yang
dikeramatkan dan bahkan disembah. Novel ini hanya menuliskan secara tersamar “pada
tahun 1965 itu siapa pun tahu kelompok petani mana yang suka berpawai atau berkumpul
dalam rapat dengan tutup kepala seperti itu”. Sosok bakar dengan perilaku yang
kebapakan, dengan tangan bersih tanpa noda, akhirnya tergambarkan sebagai sosok
serigala berbulu domba. Bakar menjerat Srintil dan ronggeng Dukuh Paruknya ke dalam
perangkap sejarah. Bakar tidak hanya menjadikan mereka “ronggeng rakyat” tetapi juga
melibatkan mereka dalam gejolak zaman yang barangkali terlampau besar untuk ukuran
orang-orang Dukuh Paruk.

Pada tahun 1960-an dapat dikatakan PKI adalah partai yang di atas awan karena
prinsipnya yang menjunjung tinggi kemakmuran rakyat kecil. Srintil dan rombongan RDP
juga telah masuk dalam dunia kesenian untuk rakyat. Banyak peritiwa menakutkan bagi
Srintil dan orang Dukuh Paruk saat melakukan pentas dengan nama Ronggeng Rakyat.

Suatu ketika sehabis rapat di mana Srintil mengisi acara kesenian, ratusan penonton
mabuk. Mereka kesurupan, kemudian beramai-ramai merojeng padi. Mereka
membabat padi menguning di sawah-sawah entah milik siapa. Malam yang amat
rusuh karena kemudian datang para pemilik sawah untuk mempertahankan padi
mereka. Polisi datang tetapi tujuh orang terlanjur tercampak berlumur darah .
kegaduhan pertama disusul yang kedua sebulan kemudian, dan ketiga bulan
berikutnya lagi. (Tohari, 2011:232)
Kerusuhan ataupun pemberontakan para rakyat anggota PKI memang sangat
banyak pada saat itu. Dalam novel RDP ini digambarkan kerusuhan-kerusuhan selalu ada
setiap bulannya, kerusuhan itu dilakukan saat pentas kesenian. Para penonton akan
merojeng padi milik tuan tanah yang dianggap curang dalam pembagian hasil pada rakyat
sebagai pekerja tanah. Keributan dan pemberontakan seperti ini dapat dikatakan menjadi
alasan yang menghancurkan PKI di tahun 1965.
3. Hilangnya Ronggeng Dukuh Paruk bersama Penumpasan PKI

Peristiwa pembunuhan jendral-Jendral yang disebut dewan jendral pada 30 September


1965 dini hari mengawali pembantaiaan manusia terbesar dengan jumlah kurang lebih dua
juta orang yang dianggap sebagai antek-antek PKI. Hal ini juga digambarkan dalam Novel
RDP, dan isu pembunuhan pejabat negara ini yang mengawali keresahan Srintil, Kartareja
dan Sakarya.

Dimulai dengan selentingan berita bahwa di Jakarta, sebuah negeri antah berantah
bagi Dukuh Paruk. Telah terjadi pembunuhan-pembunuhan pelaku
pembunuhannya adalah orang-orang semacam bakar. Korbannya adalah pejabat-
pejabat negara (Tohari, 2011:237)
Isu pembunuhan terhadap Jendral di Jakarta sangatlah berkembang dengan cepat.
Setelah isu itu berkembang Dukuh Paruk semakin menjadi genting tidak ada pesta
kesenian dan bahkan Dawuhan menjadi sangat sepi. Kegentingan itu makin memuncak
ketika pada suatu hari Dukuh Paruk dikepung oleh beberapa orang. Pagi harinya Srintil dan
Kartareja yang hendak melaporkan pengepungan Dukuh Paruk justru mendapatkan
kehancuran hidupnya. Srintil dan Kartereja ditanggkap dan dipenjarakan karena dianggap
sebagai PKI.

Siang itu Dukuh Paruk yang bodoh dan melarat tidak berbuat apa-apa ketika
Sakarya, Nyai Kartereja, Sakum, dan dua orang lainnya dibawa oleh petugas
keamanan. Mereka digabungkan dengan Srintil dan Kartereja dalam tahanan.
(Tohari, 2011:242)
Dan nasib yang harus dipikul oleh Dukuh Paruk baru terjadi dua hari kemudian.
Dini hari ketika langit berhias kejayaan lintang kemukus Dukuh Paruk menyala-
nyala. Api menggunung membakar Dukuh Paruk. (Tohari, 2011:242)
Akhir dari kejayaan Ronggeng Dukuh Paruk adalah pembakaran pedukuhan kecil itu dan
penangkapan Ronggeng kebanggannya. Kehancuran yang terlalu belebihan yang dilakukan
pihak aparat seperti TNI dan petugas-petugas lainnya terhadap rakyat kecil menimbulkan
duka tak terlupakan. Dapat dikatakan tragedi 1965 adalah tragedi yang luar biasa kejam
dan dahsyat. Dari uraian sebelumnya dapat diambil kesimpulan Ahmad Tohari ingin
menggambarkan bagaimana kesenian menjadi alat propaganda politik khusunya PKI dan
Lekra. Novel RDP ini juga menjadi gambaran sebuah kearifan lokal dan budaya yang
sangat kental di tempat kelahiran Ahmad Tohari yaitu Banyumas.
C. PENUTUP

Pada penceritaan yang ada dalam novel RDP ini Ahmad Tohari menggambarkan
responnya terhadap problem dasar kehidupan manusia yang ada di sekitar tempat
tinggalnya. Banyaknya kejadian yang ada di sekitar tempat tinggal pengarang,
menumbuhkan ide penulisan Novel RDP yang merupakan sebuah gagasan dari Ahmad
Tohari yang menggambarkan kehidupan dan kegiatan sehari-hari perjalanan hidup seorang
Ronggeng di Dukuh Paruk. Perjalanan hidup dan perjuangan seorang Ronggeng yang
sangat berliku. Novel ini di ceritakan dengan jelas sehingga seperti keadaan nyata yang
sebenarnya. Tempat dimana Ahmad Tohari tinggal, masyarakatnya pada umumnya adalah
seorang petani yang taat pada ajaran islam yang ada. Bisa dibilang keadaan masyarakatnya
santun, walaupun pada kenyataannya masih banyak juga terpengaruh oleh ajaran agama
lainnya. Keadaan masyarakat yang demikian tercermin dalam novel RDP. Latar belakang
kehidupan Ahmad Tohari mempengaruhi proses penciptaan novel RDP. Dalam novel ini
ada bagian cerita yang menyangkut dirinya dan keluarganya melalui pengalaman-
pengalaman semasa kecil hingga dewasa.

Pandangan dunia Ahmad Tohari berhubungan erat dengan struktur novel RDP.
Pandangan hidupnya yang tidak menyerah begitu saja pada nasib sebelum ia berusaha
tercermin pada novel ini melalui tokoh Rasus. Rasus yg pada awalnya percaya pada nasib
pedukuhannya, akhirnya dia sadar dan berusaha mengubah Dukuh Paruk yang dalam
keadaan memprihatinkan masih percaya pada hal-hal yang mistik dan belum ada norma
yang mengatur, kemudian dia mengubah pedukuhan menjadi keadaan yang sesuai dengan
norma agama Islam. Gaya bahasa dalam novel RDP yaitu banyak perpaduan atau
campuran. Pengarang banyak menggunakan bahasa Jawa ditengah- tengah bahasa
Indonesia. Ini sesuai kenyataan kehidupan sehari-hari pengarang maupun msyarakat Jawa
umumnya. Ahmad tohari menurut pandangan penilis adalah seorang sastrawan yang
berahaja tanpa membela antara kubu kiri dan ubu kanan. Memang beberpa tulisan ahmad
tohari seperti novel Kuba dan RDP menggunakan dan menggambarkan kejadian era 1965
dan orde baru, namun terlihat jelas Ahmad Tohari hanya mengkisahkan bagaimana
kehidupan seorang anak manusia yang menjadi korban poitik, sperti halnya Srintil. Ketika
Indonesia digegerkan dengan konflik antara sastrawan kiri yaitu kubu Pramodeya dan
kanan yaitu kubu Hb Jassin, Ahamad Tohari tetap menjadi pengarang yang mengakat
kehidupan rakyat indonesi yang sedrhana dan tidak lepas dari dunianya.
DAFTAR PUSTAKA
Gunasasmita, R. 2009. Kitap Primbon Jawa Serbaguna. Jogyakarta: NARASI.
Imron, Ali. 2006. Ahmad Tohari dan Ronggeng Dukuh Paruk: Eksistensinya dalam Jagat
Sastra Indonesia. Artikel Ilmiah Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
Kurniawan, Heru. 2012. Teori,Metode, dan Aplikasi Sosilogi Sastra. Yogyakarta : Graha
Ilmu.
Kurniawan,Eka. 2002. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Yogyakarta:
Penerbit Jendela.
Moeljanto dan Taufiq Ismail. 1995. Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk.
Bandung : IKAPI.
Rachmawati, Ira. 2014. Lagu Genejer-Genjer Siapa Penciptanya? [ONLINE]. http://regi
onal .kompas.com/read/2014/09/30/19465901/Lagu.Gendjer-gendjer.Siapa.P
enciptanya.
Sobirin,Moch.2006. Mencari Lengger di Banyumas. [Online]. https://lafadl.wordp
ress.com/2006/10/01/mencari-lengger-di-banyumas/
Sosio-politica. 2009. Dipa Nusantara Aidit : Mengibarkan Bendera Merah. [Online].
http://socio-politica.com/2009/09/13/
Toer, Pramoedya Ananta. 2003. Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia. Jakarta: Lentera
Dipantara.
Tohari, Ahmad. 2011. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Yudhiono,K.S. 2003. Ahmad Tohari Karya dan Dunianya. Jakarta : PT Grasindo.
Supriyanto, Henri. 2001. Ludruk Jawa Timur (Pemaparan Sejarah. Tonel Direksi,
Manajemen dan himpunan Lakon). Surabaya: Dinas P & K Provinsi Jawa Timur.
Sudibyo, Ma’rufin. 2013. November, Bulannya Komet ISON. [online].
http://www.kompasiana.com/marufinsudibyo.
Chusmeru. 2012. Komunikasi Transendental dan Kearifan Lokal dalam Kesenian
Tradisonal Banyumas. Jurnal Prosiding Seminar Nasional FISIP UNSOED.

Anda mungkin juga menyukai