Naskah diterima: 11 April 2016; direvisi: 20 Mei 2016; disetujui: 3 Juni 2016
Abstrak
Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari merupakan novel yang populer. Karena
kepopulerannya, novel tersebut diadaptasi menjadi film Sang Penari. Adaptasi Ronggeng
Dukuh Paruk menjadi film Sang Penari diteliti menggunakan kajian ekranisasi. Penelitian
ini bertujuan untuk memaparkan perubahan dan aspek yang memengaruhinya dalam adaptasi
novel Ronggeng Dukuh Paruk menjadi film Sang Penari yang berbeda konvensi. Metode
pengumpulan data yang digunakan adalah pustaka dan observasi dengan teknik catat.
Metode analisis data menggunakan deskriptif komparatif. Sumber data yang digunakan
adalah novel Ronggeng Dukuh Paruk dan film Sang Penari. Hasil analisis menunjukkan
bahwa perubahan yang terjadi meliputi judul, usia tokoh, teknik penceritaan, latar, tokoh, dan
peristiwa. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh beberapa aspek, yaitu moral, nasionalisme,
durasi, penonton, dan komersial.
Kata Kunci: perubahan, adaptasi, ekranisasi, Ronggeng Dukuh Paruk, Sang Penari
Abstract
Ronggeng Dukuh Paruk is a popular novel by Ahmad Tohari. The popularity of Ronggeng
Dukuh Paruk has been adapted into a movie, Sang Penari. The adaptation of Ronggeng Dukuh
Paruk into Sang Penari is studied by ecranization study. The research describes the changes
that occurs as a result of adaptation of Ronggeng Dukuh Paruk into Sang Penari and aspects
those influence it. Data collection method used is literary review by notetaking technique.
The method used is descriptive comparative. The data are taken from the Ronggeng Dukuh
Paruk novel and Sang Penari movie. The analysis results showed the changes include the
title, age, setting, storytelling techniques, events, and character. These changes influenced
by moral, nationalism, duration, audience, and commercial aspect.
yang sama karya Habiburahman El-Shirazy, Antara sebagai Rasus. Film Sang Penari ini
film 5 cm karya Donny Dhirgantoro, dan banyak mendapat pujian dan penghargaan.
film yang baru dirilis pada Januari 2016 lalu, Sang Penari meraih sepuluh nominasi pada
Ketika Mas Gagah Pergi karya Asma Nadia. Festival Film Indonesia tahun 2011. Bahkan,
Menurut Dendy Sugono dalam Republika Sang Penari berhasil memenangkan empat
(2008, hlm. B7), saat ini eranya audio visual piala citra untuk penghargaan utama yaitu
sehingga terjadi perubahan budaya membaca penghargaan tertinggi film terbaik, sutradara
menjadi budaya nonton. Hal ini tampak pada terbaik untuk Ifa Isfansyah, aktris terbaik untuk
fenomena peralihan novel yang seyogianya Prisia Nasution, dan aktris pendukung terbaik
dibaca menjadi film yang ditonton, untuk Dewi Irawan.
Hampir semua novel yang diangkat ke Pengangkatan sebuah novel ke dalam film
layar lebar memiliki kesamaan, yaitu novel disebut ekranisasi. Ekranisasi disebut juga
laris di pasaran. Selain ide cerita yang bagus, memfilmkan novel. Peralihan Novel Ronggeng
dikenalnya novel ini oleh masyarakat umum Dukuh Paruk menjadi film yang berjudul
telah memberikan peluang para sineas untuk Sang Penari termasuk dalam ekranisasi. Film
membuat film yang telah memiliki penikmat/ yang terinspirasi dari novel laris tentu telah
pembaca sehingga aman dalam aspek komersial. memiliki peminat, yaitu para pembaca novel
Salah satu novel laris dan fenomenal adalah yang penasaran dengan film ini. Mereka ingin
novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad mengetahui sama atau tidaknya imajinasi yang
Tohari, sastrawan asal Banyumas, Jawa tengah. telah mereka kembangkan saat membaca novel
Novel ini merupakan novel trilogi Ronggeng dengan film yang ada. Bila film ekranisasi
Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini melenceng jauh dari novel aslinya, maka
Hari (1985), dan Jantera Bianglala (1986). akan timbul kekecewaan dari penonton dan
Pada tahun 2003, Gramedia menerbitkan trilogi pengarang novel tersebut. Hal ini sesuai dengan
ini dalam satu novel yang berjudul Ronggeng pernyataan Saputra (dalam Saputra, 2009,
Dukuh Paruk. Keberadaan novel ini tak lekang hlm. 45) bahwa dalam perspektif sosiologis,
oleh zaman, dari awal penerbitan sampai ekranisasi dapat menghasilkan karya yang
sekarang banyak diminati pembaca sehingga bernilai positif, tetapi dapat menghasilkan karya
sudah dicetak ulang sebanyak delapan kali dan yang bernilai negatif, baik bagi publik, pihak
diterbitkan dalam tiga bahasa, yaitu bahasa yang menghasilkan novel (pengarang), maupun
Jepang, Jerman, dan Belanda. film. Dalam perspektif umum, film hasil
Kelarisan dan ketenaran Ronggeng Dukuh ekranisasi yang bernilai positif adalah film yang
Paruk telah membuatnya diangkat ke layar lebar mampu mempresentasikan novel, sebaliknya
sebanyak dua kali. Film pertama Ronggeng film yang tidak mampu mempresentasikan
Dukuh Paruk adalah film Darah dan Mahkota novel dipersepsikan sebagai hasil ekranisasi
Ronggeng yang dibuat pada tahun 1983. Film yang bernilai negatif .
ini kurang mendapat apresiasi dari masyarakat Kenyataannya, film hasil ekranisasi kadang
karena penyampaian ceritanya yang lebih tidak sama dengan novel aslinya. Hal ini
menonjolkan unsur pornografi. Film kedua disebabkan adanya adaptasi dari novel ke film.
dari novel ini adalah Sang Penari. Sang Penari Adaptasi ini diperlukan karena adanya perbedaan
merupakan film Indonesia yang dirilis pada signifikan antara novel dan film. Novel dan film
Kamis, 10 November 2011. Film ini disutradarai adalah dua jenis sastra yang masing-masing
oleh Ifa Isfansyah serta dibintangi oleh Prisia memiliki konvensi sehingga peralihan dari
Nasution sebagai pemeran Srintil dan Oka novel ke film mau tidak mau memerlukan
suatu adaptasi yang berdampak pada perubahan Makna Novel dan Film Ayat-Ayat Cinta: Kajian
unsur sastra. Novel merupakan hasil kreativitas Ekranisasi”, yang mendeskripsikan perbedaan
satu orang, sebaliknya film merupakan hasil berkenaan dengan novel dan film Ayat-Ayat
kreativitas tim atau kelompok. Senada dengan Cinta, sedangkan penelitian mengenai novel
hal tersebut, Lindgren mengatakan bahwa Ronggeng Dukuh Paruk dan film Sang Penari
produksi film yang normal membutuhkan pernah dilakukan oleh Zajar (2015), berjudul
kooperasi banyak ahli dan teknisi, yang bekerja “Analisis Perbandingan Perwatakan Srintil
bersama sebagai satu tim, sebagai suatu unit dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk dengan
produksi (Ajidarma, 2000, hlm. 1). film Sang Penari”. Zajar membahas mengenai
Selain perbedaan di atas, novel dan film perbedaan dan persamaan watak Srintil dalam
juga memiliki perbedaan pada bentuk. Novel novel Ronggeng Dukuh Paruk dengan film
berbentuk susunan kata-kata. Semua karakter Sang Penari menggunakan teori strukturalisme.
tokoh, alur, latar, dan peristiwa direpresentasikan Meskipun sudah ada penelitian tentang ekranisasi,
dengan kata-kata sehingga pembaca harus bisa novel Ronggeng Dukuh Paruk dan film Sang
berimajinasi membayangkan cerita novel yang Penari, kedua penelitian ini belum memberikan
sedang dibaca. Pada film, penonton tidak harus informasi mengenai perubahan dan aspek yang
berimajinasi karena cerita telah dituangkan ke memengaruhi adaptasi novel Ronggeng Dukuh
dalam bentuk audiovisual yang membentuk Paruk menjadi film Sang Penari. Penelitian
jalinan peristiwa. Film dapat mewujudkan ini bertujuan untuk memaparkan perubahan
gambaran yang tidak dapat dimunculkan yang terjadi akibat adaptasi novel Ronggeng
dalam novel. Perbedaan yang ada antara novel Dukuh Paruk menjadi film Sang Penari yang
dan film memberikan nuansa baru untuk berbeda konvensi dan mendeskripsikan aspek
menghadapi keduanya. Ketika membaca yang memengaruhi perubahan tersebut. Hasil
novel, gambaran karakter tokoh, latar tempat penelitian ini diharapkan berguna untuk
dan suasana memerlukan imajinasi untuk meningkatkan wawasan yang berkenaan dengan
menangkap maksud yang disampaikan melalui perubahan wahana terutama perubahan novel
kata-kata. Apalagi, jika pembaca tidak memiliki menjadi film/ekranisasi dan dapat dijadikan
pengetahuan mengenai hal tersebut. Berbeda rujukan penelitian yang sejenis.
jika menonton film, semua ekspresi tokoh, latar Perubahan dari satu kesenian ke kesenian
tempat, dan suasana langsung dapat terlihat dan lain disebut alih wahana (Damono, 2009, hlm.
tidak perlu imajinasi untuk membayangkannya 128). Beliau berpendapat bahwa karya sastra
(Setyani, 2010, hlm. 157). Dalam kaitan hal itu, tidak hanya bisa diterjemahkan, yakni dialihkan
bukan anomali jika kemudian novel Ronggeng dari suatu bahasa ke bahasa yang lain. Akan
Dukuh Paruk pun memiliki perbedaan dengan tetapi, karya sastra dapat dialihwahanakan,
film Sang Penari. yakni diubah menjadi kesenian yang lain.
Berdasarkan latar belakang tersebut ada Berkaitan dengan hal tersebut, Erneste (1991,
dua masalah dalam tulisan ini. Adapun masalah hlm. 60) membuat cakupan yang lebih spesifik
tersebut adalah (a) apa saja perubahan novel mengenai alih wahana kesenian tersebut. Ia
Ronggeng Dukuh Paruk menjadi film Sang menyatakan bahwa suatu proses pelayarputihan
Penari dan (b) aspek apa saja yang memengaruhi atau pemindahan/pengangkatan sebuah novel ke
perubahan tersebut. dalam film adalah ekranisasi. Ekranisasi disebut
Penelitian mengenai transformasi novel juga memfilmkan novel. Jadi, kalau alih wahana
ke film/kajian ekranisasi ini telah dilakukan melingkupi perubahan kesenian secara umum,
oleh Karkono (2009), berjudul “Perbedaan ekranisasi secara khusus hanya membahas
perubahan novel menjadi sebuah film. dilihat bahwa dari sisi teksnya ciptaan yang
Ekranisasi lebih banyak menekankan bernama sastra bersifat dinamis, sesuai dengan
pada perbedaan-perbedaan antara novel kondisi dan konteks penerimaannya. Bahkan,
dan film disebabkan oleh perbedaan sistem Iser menyatakan bahwa suatu teks memiliki
sastra dan sistem film. Proses ekranisasi juga ruang kosong yang memang disediakan oleh
dipengaruhi oleh perbedaan cara pandang penulis sehingga pembaca secara kreatif, secara
seseorang dalam menafsirkan karya sastra. bebas dapat mengisinya (Ratna, 2011, hlm.
Tanggapan pembaca terhadap suatu teks sastra 171). Ruang kosong ini membuat partisipasi
kemudian mengolahnya menjadi sesuatu yang pembaca membuat teks suatu karya sastra tidak
berbeda disebut sebagai proses resepsi sastra. stabil, berubah-ubah mengikuti pembacanya
Resepsi adalah pengolahan teks, cara-cara (Chamamah-Soeratno, 2012, hlm. 186).
pemberian makna terhadap karya, sehingga Kemampuan pembaca memegang peranan
dapat memberikan respons terhadapnya (Ratna, penting sehingga perbedaan pengetahuan
2011, hlm. 165). dan latar sosial tertentu dapat menghadirkan
Selaras dengan hal tersebut, suatu novel suatu karya baru yang merupakan wujud
yang akan dibuat menjadi film tentu terlebih perombakan terhadap karya sebelumnya. Novel
dahulu akan melalui proses pembacaan. yang bertransformasi menjadi film tentu akan
Pembacaan yang beraneka macam terhadap mengalami beberapa perubahan sebagai upaya
suatu karya sastra memperlihatkan peran adaptasi novel ke film yang berakibat pada
pembaca dalam menemukan maknanya, esensi cerita. Novel merupakan karya yang
Pembaca dengan latar belakang konteks yang rumit sehingga membutuhkan penyuntingan
berbeda akan menghasilkan pembacaan yang yang jauh lebih banyak. Sebuah skenario
berbeda pula (Chamamah-Soeratno, 2012, hlm. film mengandung 20.000 kata dibandingkan
199). Endraswara (2008, hlm. 115) menyatakan dengan novel yang terdiri dari 100.000 kata.
bahwa aktivitas pembaca dapat sebagai penikmat Novel adalah proses rekaan yang panjang yang
dan penyelamat karya sastra lama. Sebagai menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan
penikmat, pembaca akan meresepsi dan sekaligus serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun.
memberikan tanggapan tertentu terhadap karya Pada hakikatnya, film merupakan pengisahan
sastra sedangkan sebagai penyelamat, pembaca kejadian dalam waktu. Tetapi kejadian dalam
yang mau menerima kehadiran sastra, juga film tidak terkonotasi pada ”kelampauan”,
akan meresepsi dan selanjutnya melestarikan melainkan berkonotasi pada sesuatu yang
dengan cara mentransformasikan. Luxemburg sedang terjadi (Erneste, 1991, hlm. 9—16).
menyebutkan salah satu bentuk transformasi, Pemindahan dari novel ke layar putih mau
misalnya, sebuah cerpen menjadi novel, drama, tidak mau mengakibatkan timbulnya berbagai
film, lukisan, dan sebagainya (Ratna, 2011, perubahan. Perubahan yang terjadi bisa berupa
hlm. 167). Pernyataan ini sejalan dengan Yunus penciutan, penambahan (perluasan), ataupun
(dalam Wiyatmi, 2009, hlm. 102) yang me perubahan dengan sejumlah variasi (Erneste,
ngatakan bahwa tanggapan pembaca terhadap 1991, hlm. 60). Hal ini sesuai pernyataan Damono
karya sastra dapat bersifat aktif yaitu berupa (2009, hlm. 123—134) yang menyatakan bahwa
komentar, kritik, ulasan, resensi, karya sastra jika sebuah karya sastra diubah menjadi media
yang lain, maupun karya seni yang lain. lain, seperti film maka banyak hal yang harus
Struktur teks suatu karya sastra tidaklah dilakukan sehingga menyebabkan perubahan.
mantap stabil, melainkan berubah-ubah sesuai Selaras dengan hal ini, proses adaptasi film dari
dengan pembacaannya. Dari sini dapatlah sebuah novel menunjukkan adanya beberapa
perubahan seperti tokoh, latar, alur, dan dialog 158) menuturkan bahwa adaptasi buku ke film
dalam setiap adegannya, sehingga dapat hampir selalu dinilai dengan ukuran-ukuran
mengusut ideologi apa yang terdapat di balik yang sangat “moralitis”, yaitu ketidaksetiaan
perubahan-perubahan tersebut. (infidelity), pengkhianatan (betrayal), perubahan
Ekranisasi sebagai proses pelayarputihan bentuk menjadi lebih buruk (deformation), dan
novel ke film, juga tidak lepas dari perspektif perubahan menjadi vulgar yang memiliki nilai
kajian bandingan yaitu membandingkan antara lebih rendah (vulgarization). Setelah diketahui
novel dengan film. Novel termasuk dalam kajian perubahan-perubahan yang terjadi pada novel
sedangkan film termasuk kajian sinematografi. Ronggeng Dukuh Paruk yang berekranisasi
Meskipun begitu, ekranisasi telah membuat menjadi Sang Penari maka akan diketahui Sang
novel dan film yang berada dalam kajian yang Penari termasuk dalam kategori ketidaksetiaan
berbeda menjadi berhubungan erat. Hal ini (infidelity), pengkhianatan (betrayal), perubahan
terjadi karena novel merupakan suatu ide bentuk menjadi lebih buruk (deformation), atau
cerita dalam film ekranisasi. Dengan demikian, perubahan menjadi vulgar yang memiliki nilai
mengkaji novel dan film hasil ekranisasi tidak lebih rendah (vulgarization).
lepas dari sastra bandingan.
Benedecto Crose berpendapat bahwa studi METODE
sastra bandingan adalah kajian yang berupa Penelitian ini merupakan penelitian pustaka
eksplorasi perubahan (vicissitude), penggantian yang menggunakan metode deskriptif kom-
(alternation), pengembangan (development), paratif. Metode penelitian dapat diperoleh
dan perbedaan timbal balik antara dua karya melalui gabungan dua metode, dengan syarat
atau lebih (dalam Endraswara, 2008, hlm. kedua metode tidak bertentangan (Ratna, 2011,
158). Sementara itu, Damono (2005, hlm. hlm. 53). Metode deskriptif komparatif meng-
2) juga menyatakan bahwa sastra bandingan gunakan cara mengguraikan dan memband-
adalah membandingkan sastra sebuah negara ingkan. Jenis penelitian ini merupakan kuali-
dengan sastra negara lain dan membandingkan tatif. Sumber data dalam penelitian ini adalah
sastra dengan bidang lain sebagai keseluruhan novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad
kehidupan. Dengan kata lain, karya sastra tidak Tohari yang diterbitkan oleh Gramedia, pada
hanya dapat dibandingkan dengan karya sastra tahun 2011 sebanyak 408 halaman dan film
negara lain. Namun, sastra bandingan juga dapat Sang Penari yang diproduksi tahun 2011.
membandingkan karya sastra dengan bidang Teknik pengumpulan data dalam
ilmu dan bentuk karya seni lain seperti lukis, penelitian ini menggunakan teknik catat,
musik, patung dan lain-lain. Sastra bandingan yaitu mencatat hal atau temuan data yang
juga bisa untuk membandingkan karya seni dijadikan model analisis data. Pengolahan
yang mengalami perubahan sebelumnya menuju data dalam penelitian ini dilakukan dengan
wahana yang berbeda atau melalui terjemahan. langkah (1) menelaah data, yaitu membaca
Dalam tulisan ini, novel Ronggeng Dukuh novel Ronggeng Dukuh Paruk dan menonton
Paruk akan dibandingkan dengan film Sang film Sang Penari; (2) mencatat data mengenai
Penari sehingga akan diketahui perubahannya. perubahan novel Ronggeng Dukuh Paruk ke
Perbandingan novel dan film ini ditelaah Sang Penari; (3) menganalisis bentuk-bentuk
melalui unsur-unsur pembangunnya, seperti perubahan tersebut; 4) mendeskripsikan aspek
judul, tokoh, alur, peristiwa dalam cerita, dan yang terdapat dalam perubahan-perubahan
latar. Robert Stam (dalam Setyani 2010, hlm. tersebut.
Pada novel RDP, kedua orangtua Srintil latar waktu yang divariasikan. Pertama, saat
mati di bilik kamar. Dari kutipan di bawah ini peristiwa Rasus bertemu dengan Sersan
tampak bahwa orang tua Srintil yang kesakitan Slamet di Pasar Dawuan setelah peristiwa
setelah memakan tempe bongkrek beracun bukak-kelambu Srintil, tetapi di Sang Penari
masuk ke dalam bilik tidur dan meregang Rasus bertemu dengan Sersan Binsar sebelum
nyawa di sana ditemani Srintil yang masih bukak-kelambu Srintil. Kedua, kematian nenek
kecil. Hal ini terdapat pada kutipan berikut. Rasus memang ada di SP dan RDP. Namun,
waktu kematiannya yang dibuat berbeda. Bila
Santayib tertawa terbahak-bahak lalu berlari
keluar rumah. Sambil berjalan melompat-
di SP nenek Rasus meninggal setelah peristiwa
lompat, dicacinya semua orang dengan perampokan Dukuh Paruk, sebaliknya di dalam
ucapan yang paling kasar dan cabul. Dukuh RDP peristiwa tersebut terjadi saat Rasus
Paruk dikelilinginya. Santayib tidak peduli pulang ke Dukuh Paruk setelah peristiwa
atas kepanikan luar biasa yang melanda para
pemberontakan komunis.
tetangga. Tatapan matanya jalang. Teriakannya
Perubahan Usia Tokoh Karena sering berada di tengah rapat itu maka
Usia Srintil saat menjalani bukak-kelambu rombongan ronggeng Dukuh Paruk mengenal
Pak Bakar; orang yang selalu berpidato berapi-
(penyerahan keperawanan kepada penawar
api. Pak Bakar dari Dawuan yang amat pandai
tertinggi) mengalami perubahan, bila di novel bicara, sudah beruban tetapi semangatnya luar
usia Srintil menjadi ronggeng 11 tahun maka di biasa (Tohari, 2011, hlm. 228).
film diubah menjadi 17 tahun. Perbedaan usia
ini tidak hanya terjadi pada Srintil, tetapi juga Pada kutipan tersebut usia Bakar memang
Rasus. Usia Rasus dari 14 tahun menjadi 20 tidak disebutkan secara jelas, namun kata
tahun. Perbedaan umur ini dilakukan karena ’beruban’ yang terdapat di novel secara implisit
adanya pertimbangan moral. Menurut Semi merujuk kalau Bakar adalah orang yang sudah
mengungkapkan bahwa moral dapat diartikan tua. Di film, Bakar dipelihatkan sebagai seorang
sebagai norma, suatu konsep tentang kehidu- pemuda yang dulunya merupakan penduduk
pan yang dijunjung tinggi oleh sebagian besar Dukuh Paruk sehingga ia leluasa untuk keluar
masyarakat. Moral yang dipegang teguh oleh masuk Dukuh Paruk tanpa menimbulkan
masyarakat tidak bersifat statis, tidak berubah. kecurigaan warga dukuh. Perubahan usia ini
Akan tetapi, ukuran moral yang terdapat di memungkinkan terjalinnya keakraban antara
dalam masyarakat juga mengalami perubahan Bakar dan pemuda-pemuda dukuh karena usia
menurut gerak pertumbuhan masyarakat yang yang sama/seumuran. Perbedaan umur yang
bersangkutan (dalam Triyastuti, 2009, hlm. tidak terlalu jauh tentu tidak akan menimbulkan
10). kesenjangan minat serta pemikiran akan suatu
Pernyataan Semi sesuai dengan peristiwa hal. Bakar akan lebih mudah membaur dan
yang terjadi saat ini, bila kita telusuri Ahmad menghasut pemuda Dukuh Paruk lainnya untuk
Tohari membuat novel RDP berlatar tahun membenci pemerintah.
1960-an. Pada saat itu, usia 11 tahun bagi anak
perempuan adalah usia dewasa. Bahkan, di usia Perubahan Tokoh
tersebut sudah banyak yang menikah. Perbe- Perubahan tokoh yang terjadi ada tiga, yaitu
daan waktu tahun 1960-an sampai tahun 2010- perubahan nama tokoh, perubahan berupa
an adalah sekitar setengah abad. Kurun waktu penambahan tokoh, dan penghilangan tokoh.
yang cukup lama ini berimbas pada perubahan Sang Penari masih menggunakan nama
pola pikir masyarakat dulu dan sekarang seh- tokoh yang ada dalam RDP seperti Rasus dan
ingga terjadi penggeseran norma-norma yang Srintil (tokoh utama), Sakarya (kakek Srintil
ada di masyarakat. Kini, umur 11 tahun masih sekaligus sesepuh Dukuh Paruk), Kartareja
dianggap sebagai anak-anak, sedangkan usia 17 (dukun ronggeng), Nyai Kartareja (istri dukun
tahun telah memasuki usia dewasa. Di usia 17 ronggeng), Sakum (pemain gendang yang
tahun, seseorang sudah memiliki ketetapan hati buta), Sersan Pujo serta Bakar (orang partai
untuk memilih hal-hal yang dianggapnya baik. komunis). Perubahan nama tokoh yang terjadi
Bila kita cermati secara saksama di Indonesia adalah perubahan nama tokoh Sersan Slamet
usia 17 tahun adalah usia seorang warga negara menjadi Sersan Binsar, tentara yang merekrut
dapat menggunakan hak suaranya untuk memi- Rasus menjadi seorang tobang.
lih wakil rakyat pada pemilu. Selain perbedaan
Aku mengira sepasang pakaian bekas yang
usia Srintil dan Rasus, terdapat perbedaan usia sudah bertisik di sana-sini itu adalah upah
tokoh Bakar. Tokoh Bakar merupakan seorang yang dijanjikan Sersan Slamet sesaat aku mulai
provokator yang memengaruhi pemuda-pemu- bekerja, Rupanya tidak demikian. Sersan itu
da Dukuh Paruk. telah menjeratku agar aku mau bekerja menjadi
kacung yang harus melayani diri serta seluruh ronggeng secara sembunyi-sembunyi melalui
anggota pasukannya (Tohari, 2011, hlm. 92). sebuah sarung. Berikut ini cuplikan gambar
peristiwa di atas.
Kutipan tersebut memperlihatkan Rasus
Adegan ini tidak terdapat dalam RDP
yang direkrut oleh Sersan Slamet, sersan yang
karena dalam novel ini diceritakan ronggeng
berasal dari Jawa untuk menjadi kacung/tobang.
yang terakhir ada saat mereka berdua masih
Namun, nama Sersan Slamet di dalam film
kecil. Bahkan, saat itu Srintil masih berumur
diubah menjadi Sersan Binsar. Binsar adalah
lima bulan. Penonton diharapkan menyadari
nama yang lazim digunakan oleh orang yang
pilihan Srintil menjadi ronggeng di film ini
bersuku Batak di Sumatera Utara. Perubahan
bukan hanya karena sebuah tradisi ataupun
nama ini dilatarbelakangi oleh semboyan
menebus kesalahan orang tuanya. Srintil
Bhineka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda
menjadi ronggeng karena Srintil memang
tetapi satu jua. Indonesia adalah negara yang
menyukai ronggeng. Tokoh Surti juga berperan
memiliki keanekaragaman suku dan budaya
penting dalam terpilihnya Srintil menjadi
bangsa. Cerita film ini mengenai budaya Jawa
seorang ronggeng Dukuh Paruk yang diakui
dan latar tempat berada di Pulau Jawa. Namun,
masyarakat. Hal ini dapat dicermati dari keris
Pulau Jawa tidak hanya milik suku yang berada
yang diberikan Rasus kepada Srintil diubah
di Jawa saja, suku yang berasal dari pulau lain
kepemilikannya menjadi milik Surti, ronggeng
pun dapat berdiam dan berinteraksi secara baik
terakhir Dukuh Paruk. Keris jaran guyang
di sana. Hal inilah yang ingin diusung oleh para
itu terjatuh saat Surti tewas setelah memakan
sineas pembuat film Sang Penari.
tempe bongkrek. Keris tersebut dipungut dan
Penambahan tokoh yang terjadi di
disimpan oleh Rasus. Padahal di RDP, keris
film adalah munculnya tokoh Surti. Surti
jaran guyang tersebut seharusnya milik ayah
adalah ronggeng terakhir Dukuh Paruk yang
Rasus.
diperankan oleh Happy Salma. Kehadiran
tokoh Surti menjadi benang merah penghubung Kata mereka, tubuh Srintil masih terlampau
cerita yang ada di film sehingga cerita menjadi kecil bagi kerisnya yang terselip di punggung.
lebih berterima di masyarakat. Melalui tokoh Celoteh semacam ini membuka jalan karena
ini diperlihatkan bahwa kepandaian Srintil di rumahku ada sebuah keris kecil peninggalan
ayah (Tohari, 2011, hlm. 39).
meronggeng bukan karena kerasukan indang
ronggeng. Namun, Srintil bisa meronggeng
Perubahan kepemilikan keris dari ayah
karena meniru gerakan Surti saat meronggeng.
Rasus menjadi milik Surti, ronggeng terakhir
Penonton pun diajak untuk melihat Srintil yang
Dukuh Paruk ini membuat kesan yang lebih
baru berusia tujuh tahun, tetapi telah menyukai
dramatis sehingga penonton mengetahui
ronggeng. Hal ini diperlihatkan melalui adegan
pentingnya keberadaan keris ini bagi seorang
Srintil dan Rasus menonton pementasan
Gambar 2
Srintil Menonton Surti Meronggeng
ngayunkan langkah pertama menginjakkan kecewa karena adegan penutup yang berbeda
kaki di atas tanah kelahirannya (Tohari, 2011, dari novel aslinya.
hlm. 254).
sad ending menjadi happy ending bertujuan Kolam Susu menggambarkan Indonesia sebagai
untuk memuaskan dan menyenangkan negeri yang kaya dan subur melalui liriknya
penonton. Kebanyakan penonton lebih senang yang berbunyi orang bilang tanah kita tanah
menonton film yang berakhir bahagia daripada surga/tongkat kayu dan batu jadi tanaman.
tragis. Sayangnya, bagi penonton yang pernah Untuk memfilmkan novel tidak semua hal
membaca novel RDP mungkin akan merasa yang terjadi dalam novel diceritakan dalam
film sehingga terjadi pemotongan peristiwa.
Menurut Erneste (1991, hlm. 61—64) salah satu meronggeng tidak ditampilkan secara utuh.
langkah yang ditempuh dalam proses perubahan Tidak diceritakan pula saat Srintil melarikan
sastra ke film adalah penciutan. Penciutan diri ke Pasar Dawuan untuk menghindari
adalah pengutangan atau pemotongan unsur Marsusi yang datang meminta jasanya.
cerita dalam sastra, dalam proses perubahan. Ekranisasi juga memungkinkan terjadinya
Proses penciutan membuat tidak semua hal variasi peristiwa seperti berikut ini. Rasus
yang diungkapkan ke dalam novel akan mencari Srintil yang ditahan. Ia akhirnya
dijumpai pula dalam film. Hal ini berarti terjadi menemukan Srintil. Di RDP diceritakan Rasus
pemotongan atau penghilangan bagian di dalam bertemu dengan Srintil selama sepuluh menit
karya sastra dalam proses perubahan ke film. walaupun tidak ada kata yang terucap diantara
Rohman (2012) menyatakan bahwa mereka. Di Sang Penari, Rasus hanya dapat
melayarputihkan novel tidak memungkinkan melihat Srintil dari jauh. Berbeda dengan
semua hal yang terjadi dalam novel diceritakan novelnya, di film, tentara yang datang ke Dukuh
dalam film, maka dari itu terjadi pemotongan Paruk untuk menangkap Srintil dan Kartareja.
kejadian-kejadian. Sutradara pastinya sudah Padahal, Srintil dan Kartareja yang pergi ke
menangkap hal-hal yang penting dalam novel kantor polisi untuk meminta perlindungan
yang akan difilmkan. Selain itu, aspek durasi/ akhirnya ditangkap. Perhatikan kutipan berikut
waktu tayang film yang tidak terlalu lama, yaitu ini.
1 jam 51 menit menjadi pertimbangan sehingga
peristiwa yang ada di novel RDP tidak semua “... Mereka saling pandang karena pada saat
genting seperti itu dua orang yang dikenal
dapat ditampilkan dari awal sampai akhir,
sering tampil bersama Bakar muncul di kantor
tetapi sampai Jantera Bianglala bab 1 saja.
polisi.”
Cerita dalam bab 2 sampai bab 4 ditiadakan ”... Bahwa Kartareja dan Saudara Srintil
sehingga penulis tidak akan membahas cerita termasuk orang-orang yang harus kami
yang ada dalam bab tersebut. tahan. Ini perintah atasan. Dan kami hanya
Penghilangan peristiwa yang akan dibahas melaksanakan tugas” (Tohari, 2011, hlm
pada bab satu hanyalah peristiwa yang 240—241).
berhubungan dengan cerita SP saja. Berikut
ini beberapa peristiwa di novel RDP yang Berbagai peristiwa yang ditiadakan/
mengalami penghilangan peristiwa. Rasus pergi divariasikan sebenarnya memiliki peran penting
dari Dukuh Paruk dan tinggal di Pasar Dawuan di dalam novel sehingga alur cerita di dalam
setelah bukak kelambu, sayangnya setelah novel tidak melompat-lompat, tetapi terangkai
difilmkan tidak ada secuil pun kisah Rasus indah menjadi satu kesatuan yang utuh. Berbeda
yang hidup di pasar. Ada dua ritual sebelum dengan film yang dipengaruhi oleh durasi
Srintil menjadi ronggeng, yaitu bukak kelambu dan persoalan penonton, rangkaian peristiwa
dan upacara pemandian di depan cungkup ini bila tetap ditampilkan apa adanya akan
makam Ki Secamenggala. Adegan pemandian mengganggu keutuhan cerita dalam film.
tidak ditampilkan di dalam film. Padahal, itu
adalah salah satu syarat yang harus dilakukan Aspek yang Memengaruhi Perubahan Rong
sebelum menjadi Srintil resmi menjadi seorang geng Dukuh Paruk Menjadi Sang Penari
ronggeng. Peristiwa-peristiwa yang terjadi saat Perbedaan hasil kerja dan bentuk pada novel dan
Srintil mengalami patah hati karena Rasus film hanyalah aspek teknis yang memengaruhi
menolak keinginannya untuk berumah tangga. transformasi novel Ronggeng Dukuh Paruk
Kesedihan dan pupusnya keinginan untuk menjadi Sang Penari. Dari uraian di atas, dapat
diketahui bahwa ada beberapa aspek yang proses ekranisasi perlu adanya adaptasi.
memengaruhi perubahan Ronggeng Dukuh Dalam proses ekranisasi Ronggeng Dukuh
paruk menjadi Sang Penari. Aspek-aspek itu Paruk menjadi Sang Penari, penulis skenario
adalah aspek moral, aspek nasionalisme, aspek menafsirkan beberapa hal yang berbeda
durasi, aspek penonton, dan aspek komersial. dengan Ahmad Tohari, pengarang novelnya.
Aspek moral menjadi sebuah pertimbangan Sang penari dapat dinyatakan film yang tidak
dalam membuat film Sang Penari, hal-hal yang setia dalam mengikuti novel aslinya. Penulis
menunjukkan moral tidak baik di dalam novel skenario hanya mengambil inti cerita kemudian
bila tetap ditampilkan di film dapat memberi menginterpretasikannya sesuai kreativitasnya
pengaruh jelek bila ditiru oleh penonton. dan keadaan saat film tersebut dibuat.
Oleh karena itu, peristiwa-peristiwa tersebut Ada beberapa perubahan yang dapat
divariasikan. dicermati dari novel Ronggeng Dukuh Paruk
Para sineas mencoba membangkitkan ke film Sang Penari. Perubahan yang paling
rasa nasionalisme dari penonton melalui menonjol adalah perubahan judul dan akhir
penggambaran keadaan alam dan keaneka cerita film, perubahan judul dari novel yang
ragaman suku yang ada di Indonesia. Aspek berjudul asli Ronggeng Dukuh Paruk menjadi
durasi merupakan alasan utama penghilangan film yang berjudul Sang Penari. Akhir cerita
beberapa peristiwa dan tokoh. Peristiwa dan pada film pun diubah dari yang berakhir sedih
tokoh yang terdapat dalam RDP sangat banyak. menjadi bahagia. Ada juga penambahan tokoh
Padahal, film ekranisasi ini hanya berdurasi Surti, ronggeng terakhir Dukuh Paruk. Bahkan,
111 menit sehingga tidak semua adegan yang teknik penceritaan pun mengalami perubahan
ada di novel dapat ditampilkan ke dalam dari beralur maju menjadi beralur flash back.
film. Aspek penonton juga menjadi hal yang Perubahan yang terjadi ini tidak mengubah
memengaruhi terjadinya perubahan pada RDP. inti cerita, tetapi hanya memperlancar dan
Para sineas membuat film untuk dinikmati oleh memperindah keterjalinan cerita. Pada dasarnya
pecinta film/penonton sehingga kesenangan kekurangan ataupun kelebihan yang terdapat
dan kebutuhan penonton diutamakan. Mereka di dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan
membuat sebuah film yang mengalir indah film Sang Penari harus kita hargai karena
dengan efek kejut serta kesan dramatis sehingga hasil karya seseorang/sekelompok orang yang
film ini menjadi lebih hidup, berwarna, dan menyalurkan daya imajinasi dan kreativitasnya
tidak monoton saat ditonton. Aspek komersial untuk menciptakan karya yang memberi
juga menjadi bahan pertimbangan yang perlu manfaat untuk penikmat sastra.
diperhitungkan. Banyaknya penonton yang
menonton film ekranisasi ini tentu akan
berimbas pada laba produksi. Tidak dapat DAFTAR PUSTAKA
dimungkiri bahwa pembuatan sebuah film
tidak hanya menginginkan film yang bermutu Ajidarma, S.G. (2000). Layar Kata. Yogyakarta:
saja, tetapi juga menginginkan adanya laba/ Yayasan Bentang Budaya.
keuntungan. Chamamah-Soeratno, S. (2012). “Penelitian
Sastra dari Sisi Pembaca: Satu pembicaran
SIMPULAN Metodologi”. Dalam Teori Penelitian
Sastra. Jabrohim (ed.), hlm. 183—196.
Film Sang Penari tidak dapat menampilkan
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
segala hal yang ada pada novel Ronggeng
Dukuh Paruk secara utuh karena dalam Chamamah-Soeratno, S. (2012). “Penelitian
Resepsi Sastra dan Problematikanya”. Setyani, T.I. (2010). “The Road, dari Novel
Dalam Teori Penelitian Sastra. Jabrohim ke Film”. Dalam Riris Sarumpaet dan
(ed.), hlm.197—209. Yogyakarta: Pustaka Melani Budianta (ed.), Rona Budaya:
Pelajar. Festschrift untuk Sapardi Joko Damono,
Damono, S.D. (2005). Pegangan Penelitian hlm. 156—178. Jakarta: Yayasan Pustaka
Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Obor Indonesia.
Bahasa. Sugono, D. (2008). “Kongres Bahasa dan Nasib
Damono, S.D. (2009). Sastra Bandingan. Sastra Daerah”. Republika, 26 Oktober,
Jakarta: Editum. hlm. B7.