Anda di halaman 1dari 7

A.

Latar Belakang

Sejarah Singkat Bahasa Melayu

Jauh sebelum menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, bangsa Indonesia
terlebih dahulu mengenal dan menggunakan bahasa Melayu. Kami menduga, bahasa Melayu
merupakan lingua franca yang digunakan oleh hampir seluruh penduduk Indonesia dan
bahkan Asia Tenggara dulu disebut nusantara, pada waktu itu.

Dalam perspektif sejarah, tercatat pada abad ke-7 M, ditemukan inkripsi berbahasa
Melayu kuno di sekitar kota Palembang, di bukit Bukau daerah Minangkabau dulu Sumatera
Tengah, dan di Pulau Bangka. Abad ini merupakan masa pemerintahan oleh Kerajaan
Sriwijaya yang memiliki luas wilayah tidak hanya di kepulauan Indonesia, namun juga
beberapa negara Asia Tenggara. Kemudian, tercatat pada abad ke-8 M, ditemukan inkripsi
berbahasa Melayu Kuno di pulau Jawa. Penemuan inkripsi ini, menjadi sebuah catatan
penting dimana bahasa Melayu, artinya dipakai sebagai bahasa dampingan oleh masyarakat
setempat, selain menggunakan bahasa Jawa atau Sanskerta sebagai bahasa utama.

Selain informasi di atas, perlu diketahui pula bahwa saat itu, bahasa merupakan sebuah
media sosio-kultural yang memiliki beberapa peran, yaitu: Pertama, bahasa Melayu
merupakan bahasa perdagangan. Saat itu, pedagang-pedagang dunia banyak yang singgah ke
wilayah Sriwijaya, artinya, dalam proses perniagaan tersebut terjalin komunikasi yang
menggunakan bahasa Melayu sebagai alatnya. Kedua, sebagai bahasa agama. Selain
berdagang, para saudagar dunia yang singgah ke nusantara pun ada yang sambil mengajarkan
persoalan agama. Mereka selain berdagang, juga berdakwah. Bahasa Melayu memiliki peran
penting dalam proses dakwah agama ini. Ketiga, sebagai bahasa pendidikan. Seiring
berjalannya waktu, semakin banyak sekolah-sekolah berdiri sebagai fasilitas pendidikan. Di
sekolah dulu, bahasa resmi yang digunakan adalah bahasa Melayu ini.

Singkat cerita, hingga sampai kedatangan Belanda pada akhir abad 19 dan awal abad
20, bahasa Melayu juga masih digunakan sebagai bahasa perbincangan selain bahasa Belanda
yang pada mulanya merupakan satu-satunya bahasa resmi yang diizinkan oleh pemerintah
Belanda. Saat itulah, bahasa Melayu dijadikan sebagai alat pencitraan kekuasaan,
perkembangan politik, dan bahasa perhubungan demi kepentingan pemerintahan.

1
Nasionalisme Bangsa dan Bahasa Indonesia

Dari uraian singkat di atas, oleh karenanya kami rasa tidak aneh jika pada saatnya nanti,
bahasa Melayu juga akan dijadikan sebagai bahasa perhubungan bagi para aktivis
perhimpunan dan pergerakan nasional. Awalnya, bahasa Melayu ini berkembang melalui
surat-surat kabar Melayu-Tionghoa yang ditandai dengan munculnya pers Melayu Rendah
dalam tulisan Latin dan Arab pada tahun 1858 M di Batavia dengan surat kabar yang
bernama Soerat Chabar Batawis yang terbit setiap hari Sabtu.

Karangan-karangan pendek yang menghina, permusuhan di antara para editor surat


kabar yang diberi tempat untuk beberapa hari lamanya, dan berita-berita setempat yang
dibesar-besarkan dengan tidak wajar, bersama beberapa pengumuman resmi dan beberapa
faits divers saban hari merupakan isi terpenting dari surat-surat kabar ini.1

Kemudian, keadaan semakin berubah seiring dengan perkembangan politik di


Indonesia sehingga menghasilkan surat kabar Melayu-Indonesia yang pada tahun 1915 sudah
mulai tegas sifat politiknya. Para wartawanlah yang berperan sebagai pimpinan-pimpinan
poilitik. Ada hampir sekitar dua ratus surat kabar terhitung sejak 1918-1925 M yang
dijadikan langganan oleh Balai Pustaka dan hampir semuanya menggunakan bahasa Melayu.
Oleh karenanya bahasa Melayu inilah yang akan berkembang sebagai bahasa pergerakan
nasional dalam segenap manifestasinya. Tidak lama kemudian bahasa Melayu telah
memperoleh semacam pengakuan resmi.

Berbicara pergerakan nasional, kami penulis makalah dan sepatutnya juga kita semua,
patut berbangga mengetahui bahwa aktivis-aktivis kebangkitan nasional dahulu dipelopori
oleh para pemuda. Tahun 1908 Boedi Oetomo dibentuk, 1911 Indische Partij (Partai Hindia)
berdiri, 1912 ada Sarekat Islam, 1915 ada Tri Koro Dharmo yang merupakan cabang Boedi
Oetomo yang nantinya akan berganti nama menjadi Jong Java (Pemuda Jawa), dan 1917
lahir Jong Sumatranen Bond (Ikatan Pemuda Sumatera). Bagaimanapun, kami melihat bahwa
sebetulnya benih-benih perjuangan melawan kolonialisme Belanda sebetulnya sudah ada
sejak lama. Rakyat Indonesia tidak tahan terus-menerus dimanfaatkan dan dijajah Belanda.
Namun, karena perlawanan yang ada sebelumnya masih bersifat primordial (kedaerahan),
maka kekuatan yang terhimpun belumlah cukup. Akhirnya, rakyat pun semakin sadar bahwa
diperlukan persatuan dan kesatuan nasional untuk bisa melawan penjajahan tanpa harus

1
Teeuw, A., Sastra Baru Indonesia, (Flores: Nusa Indah, 1980), hlm 22.

2
terdikotomi oleh sekat-sekat primordial. Ditandai dengan terbentuknya Boedi Oetomo pada
tahun 1908 inilah, titik awal kebangkitan nasional dimulai.

Selain cita-cita kemerdekaan dan persatuan, bangsa Indonesia juga mendambakan


bahasa nasional sebagai media yang mendukung cita-cita tersebut. Lalu, cita-cita tentang
suatu bahasa nasional itu, perlahan berkembang pada tahun 1920 dimana awalnya tidaklah
begitu jelas bahwa kesusastraan Indonesia baru akan ditulis dalam bahasa Melayu. Organisasi
pemuda Jong Java telah mengambil alih cita-cita untuk meremajakan kebudayaan Jawa dari
Boedi Oetomo, tetapi sedikit sekali usaha yang dilakukan oleh orang-orang muda ini di
bidang kesusastraan dalam bahasa Indonesia yang manapun.2 Sekalipun mereka menulis,
kebanyakan dari mereka menulis dengan bahasa Belanda dan terbatas pada soneta-soneta
dalam bahasa Belanda. Mereka sangat kuat terpengaruh oleh sebuah angkatan penyair
Belanda abad ke-19. Noto Soeroto umpamanya, menerbitkan sejumlah buku yang
mengandung karya-karya puisi dalam bahasa Belanda dan meraih kepopuleran tinggi di
negeri Belanda. Di antara buku-bukunya yang paling terkenal adalah Melati knoppen
(Kuntum Melati, 1915), Fluisteringen van de Avondwind (Bisikan Bayu Petang, 1917), dan
De Wajang-liederen (Lagu-lagu Wayang, 1931). Buku-buku itu merupakan percobaan yang
menarik dalam menghias Jawa Timur dengan pakaian Barat.

Dari sekian uraian di atas, akhirnya kami ingin menyampaikan bahwa pada makalah
ini, kami hendak menguraikan sejarah putusan kongres sumpah pemuda, latar belakang
historis dan sosial-politik, serta menjelaskan pengaruh putusan kongres terhadap
perkembangan kesusastraan Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Masalah yang kami rumuskan adalah tentang sejarah singkat bahasa Melayu, latar
belakang terjadinya kebangkitan nasional dan cita-cita bahasa persatuan, sejarah putusan
kongres, hingga pada akhirnya pengaruh putusan kongres sumpah pemuda terhadap
kesusastraan Indonesia.

2
Teeuw, A., Sastra Baru Indonesia, hlm 25.

3
C. Pembahasan

1. Sejarah Singkat Putusan Kongres

Pada tahun 1926, Jong Java sebagai organisasi pemuda terbesar pada waktu itu,
menerima bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar dalam setiap musyawarah yang
diselenggarakannya. Setahun kemudian saat mereka merayakan ulang tahunnya ke-12,
organisasi ini juga turut berbicara tentang persatuan Indonesia dan bahasa nasional yaitu
bahasa Indonesia.

Menjelang tahun 1928, cita-cita persatuan bersama dengan cita-cita bahasa nasional
telah betul-betul matang. Pada tahun ini pula, organisasi-organisasi pemuda daerah
memutuskan untuk bersatu dan bergabung dalam satu forum besar bernama Indonesia
Muda dan mengadakan Kongres Pemuda Seluruh Indonesia pada tanggal 27 dan 28
Oktober 1928 di Jakarta. Dari kongres ini, sebuah resolusi besar bersejarah yang kita kenal
dengan Sumpah Pemuda telah diambil dengan suara bulat memproklamirkan 3 cita-cita
yaitu: satu negeri, satu bangsa, dan satu bahasa. Di sini kami akan mengutip teks hasil
putusan kongres pemuda ini dalam ejaan aslinya.

KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA


Pertama: MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE,
TANAH INDONESIA.

KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA


Kedoea: MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA
INDONESIA.

KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA


Ketiga: MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATOEAN,
BAHASA INDONESIA.3

Sejak itu, peristiwa tersebut dianggap sebagai titik awal kelahiran bahasa Indonesia
sebagai alat serta lambang kemerdekaan nasional. Hal ini bukan tidak beralasan. Beberapa
ahli ada yang menyangsikan peran bahasa Melayu bagi para Pemuda yang lahir belakanan,
dan bahkan ada yang memprediksi bahwa bahasa Melayu tidak sesuai untuk dijadikan

3
Kratz, E. Ulrich, Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX, (Jakarta: KPG [Kepustakaan Populer
Gramedia], 2000), hlm 1.

4
bahasa peradaban modern. Sejak saat itu pula, bahasa Indonesia adalah bahasa yang resmi
dipakai sebagai bentuk rasa persatuan oleh masyarakat Indonesia. Terkait hal ini, kami
ingin mengutip pernyataan A. Teeuw:

..........tidak dapat disangkal bahwa cita-cita itu telah menjadi kenyataan, bahwa
bahasa Indonesia bukan saja menjadi alat persatuan politik bagi bangsa Indonesia, tetapi
juga menjadi bahasa kesusastraan Indonesia modern.4

Kemudian, ada 3 hal lain yang diambil dari hasil kongres pemuda Indonesia ini,
yaitu: sumpah pemuda, lagu dan bendera kebangsaan, serta semangat nasionalisme.

2. Pengaruh Sumpah Pemuda terhadap Kesusastraan Indonesia

Lahirnya resolusi sumpah pemuda sebagai hasil putusan kongres pemuda Indonesia,
tidak serta merta menjadikan kesusastraan Indonesia berkembang dengan pesat, ada
beberapa kendala disini. Kendala yang paling utama adalah kenyataan bahwa jumlah
orang yang mampu mengekspresikan gerak olah rasa mereka ke dalam bidang
kesusastraan masih relatif sedikit. Orang-orang ini masih terbatas pada mereka yang
menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa ibu mereka layaknya orang Minangkabau, atau
paling minimal, orang yang pernah mengecap pendidikan barat yang mampu mengasah
kepekaannya ke arah gerak modernisme. Selain itu, faktor politik juga sangat menentukan.
Keadaan politik pada 1928 tidaklah baik bagi pertumbuhan kesusastraan. Pemerintah
kolonial merasa curiga terhadap segala macam gerakan yang beraroma kebangsaan. Kita
sama-sama tahu bahwa bahan bacaan seseorang mampu memengaruhi dan mengonstruksi
pola pikirnya. Maka, pegawai pribumi yang bekerja di Balai Pustaka, amat membantu
karya sastrawan agar lepas pengawasan dan lebih mudah diterbitkan.

Roman karya Abdul Muis Salah Asuhan (1928), kumpulan sajak Sanusi Pane
Madah Kelana (1931), dan roman karya Habib St Maharaja Nasib (1932) mampu
diterbitkan dan dipergunakan dengan bebas.

Mengenai perjuangan sastrawan dalam pembinaan kesatuan kebangsaan Indonesia


adalah perjuangan sastrawan dapat diketahui dari kegiatannya dalam menciptakan karya,
dan dari hasil karya sastrawan tersebut menunjukkan adanya hasil karya yang memberikan
pengaruh pada tumbuhnya kesadaran kebangsaan Indonesia. Perjuangan sastrawan tidak

4
Teeuw, A., Sastra Baru Indonesia, hlm 43.

5
hanya melalui kata-kata saja tetapi lebih dari itu, sastrawan-sastrawan tertentu seperti
Muhammad Yamin, Rustam Effendi, Asrul Sani, Rivai Apin, Amir Hamzah, dan penyair
sebelum dan sejak zaman kemerdekaan, telah melakukan perjuangan bukan hanya melalui
kata-kata, tetapi juga berperan aktif dalam rangka persiapan kemerdekaan.

D. Kesimpulan dan Penutup

Dari makalah ini, kami mencoba menyimpulkan beberapa hal yaitu:

1. Cita-cita kebangkitan nasional dan bahasa persatuan sudah ada sejak lama
namun baru bisa direalisasikan pada putusan kongres pemuda Indonesia
tahun 1928 karena terkendala masalah primordialisme.
2. Selain menghasilkan sumpah pemuda, kongres ini juga menghasilkan lagu
dan bendera kebangsaan. Dan yang terpenting adalah semangat nasionalisme.
3. Dengan adanya sumpah pemuda, kesusastraan kita menemukan kejelasan
karena sudah memiliki bahasa nasional yang disepakati.
4. Adanya kesepakatan soal bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia,
menjadikan para sastrawan pejuang kemerdekaan mulai angkatan pujangga
baru dan seterusnya, lebih mudah menanamkan nilai-nilai dan semangat
nasionalisme dan kemerdekaan lewat karya-karya sastra.

Dan sebagai penutup, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada segenap
kawan-kawan diskusi pada matakuliah Sejarah Sastra Indonesia ini, terutama sekali
kepada dosen pembimbing Bu Dr. Ita Rodiah, M. Hum, karena kami memiliki banyak
sekali kesalahan dari pribadi kami. Selain itu, dalam penulisan makalah ini, amat sangat
banyak pula kekurangan kami mulai dari teknik penulisan, kurangnya referensi, dan
sebagainya. Kami hanya bisa memohon bimbingan, arahan, serta kritik dan saran yang
konstruktif tentunya dari semua pihak. Terima kasih.

Salam Literasi!

6
Daftar Pustaka

Teeuw, A., 1980, Sastra Baru Indonesia, Flores: Nusa Indah


Kratz, E. Ulrich, 2000, Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX, Jakarta: KPG
(Kepustakaan Populer Gramedia).

Anda mungkin juga menyukai