PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sastra Indonesia adalah sebuah istilah yang melingkupi berbagai
macam karya sastra yang berda di Indonesia. Sastra Indonesia sendiri
dapat merujuk pada sastra yang di buat di wilayah kepulauan Indonesia.
Periodisasi sastra adalah pembabakan waktu terhadap
perkembangan sastra yang ditandai dengan ciri-ciri tertentu. Maksudnya
tiap babak waktu (periode) memiliki ciri tertentu yang berbeda dengan
periode yang lain. Dalam periodisasi sastra Indonesia di bagi menjadi dua
bagian besar, yaitu lisan dan tulisan. Secara urutan waktu terbagi atas
angkatan Pujangga Lama, angakatan Balai Pustaka, angkatan Pujangga
Baru, angkatan 1945, angkatan 1950-1960-an, angkatan 1966-1970-an,
angkatan 1980-1990-an, angkatan Reformasi, angkatan 2000-an.
Sastra Indonesia sudah berkembang sejak awal abad ke-20
sebagaimana tampak pada penerbitan pers (surat kabar, majalah) baik dari
usaha kalangan swasta maupun pemerintahan Kolonial Belanda.
Selanjutnya berkembang marak bersama sastra daerah (Melayu, Sunda,
Jawa, Bali, dan lain-lain).
Tradisi Indonesia pada tahun 1920-an erat hubungannya dengan
penerbit Balai Pustaka yang merupakan hasil kebijakan politik
pemerintahan kolonial Belanda di bidang pengajaran. Perkembangan
sastra itu pastilah tidak dapat dilepaskan dari faktor-faktor politik,
ekonomi, dan sosial.
Sedangkan novel atau roman Indonesia sudah dimulai pada tahun
1920-an dengan terbitnya Azab dan Sengsara karangan Merari Siregar.
Inilah karya pertama yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Dan masalah-
masalah yang bermunculan dalam setiap masa itu tertumpu pada
1
peristiwa-peristiwa historis yang sudah dikenal atau populer di kalangan
publik sastra Indonesia, seperti Pergerakan Nasional, Balai Pustaka,
Pujangga Baru dan sebagainya.
Namun seiring berjalannya waktu, sejarah sastra Indonesia periode
1920-1940 ini mulai terlupakan, terutama dikalangan remaja yang lebih
berminat pada karya-karya sastra populer. Apabila hal ini terus dibiarkan,
sejarah perkembangan sastra Indonesia suatu saat akan hilang seiring
perkembangan jaman. Oleh karena itu, penulis merasa perlu menyusun
makalah dengan judul “Mengetahui Sejarah Sastra Indonesia Periode
1920-1940”.
B. Rumusan Masalah
1. Siapa saja tokoh sastra Indonesia pada periode 1920-1940?
2. Apa saja karya-karya sastra yang terkenal pada periode 1920-1940?
3. Apa saja peristiwa penting dalam sejarah sastra Indonesia periode
1920-1940?
4. Apa saja keunikan karya sastra periode 1920-1940?
C. Tujuan
1. Untuk mendeskripsikan tokoh sastra Indonesia pada periode 1920-
1940.
2. Untuk menunjukkan karya-karya sastra yang terkenal pada periode
1920-1940.
3. Untuk menjelaskan peristiwa penting dalam sejarah sastra Indonesia
periode 1920-1940.
4. Untuk menjelaskan keunikan karya sastra periode 1920-1940.
2
BAB II
MENGETAHUI SEJARAH SASTRA INDONESIA
PERIODE 1920-1940
3
Tahun 1945, Marah Rusli bergabung dengan Angkatan Laut di
Tegal dengan pangkat terakhir Mayor. Ia mengajar di Sekolah Tinggi
Dokter Hewan di Klaten tahun 1948 dan sejak tahun 1951 ia menjalani
masa pensiun.
Marah Rusli menikah dengan seorang gadis keturunan sunda
kelahiran Buitenzorg (Bogor) pada tahun 1911. Mereka mempunyai 3
orang anak, dua diantaranya laki-laki dan satu perempuan. Perkawinan
Marah Rusli dengan gadis sunda bukanlah perkawinan yang diinginkan
oleh orang tua Marah Rusli. Tetapi, Marah Rusli tetap kokoh pada
sikapnya, dan ia tetap mempertahankan perkawinannya.
Kesukaannya dalam dunia kesusastraan sudah tumbuh sejak kecil.
Dia sangat senang mendengarkan cerita-cerita dari tukang kaba (tukang
dongeng di Sumatra Barat yang berkeliling kampong menjual ceritanya,
dan membaca buku-buku sastra. Marah Rusli meninggal pada tanggal 17
Januari 1968 di Bandung dan dimakamkan di Bogor, Jawa Barat.
4
Dalam cerita Siti Nurbaya, telah diletakkan landasan pemikiran
yang mengarah pada emansipasi wanita. Cerita itu membuat wanita mulai
memikirkan hak-haknya, apakah ia hanya menyerah karena tuntutan adat
(dan tekanan orang tua) ataukah ia harus mempertahankan yang
diinginkannya. Cerita ini menggugah dan meninggalkan kesan yang
mendalam kepada pembacanya. Kesan itulah yang terus melekat hingga
sampai sekarang.
Selain Siti Nurbaya, Marah Rusli juga menulis beberapa roman
lainnya. Akan tetapi, Siti Nurbaya yang terbaik. Roman itu mendapat
hadiah tahunan dalam bidan sastra dari pemerintah Republik Indonesia
pada tahun 1969 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia.
2. ABDUL MOEIS
a. Riwayat Hidup
Abdoel Moeis atau Abdul Muis lahir di Sungai Puar, Bukit tinggi,
Sumatra Barat 3 Juli 1883, dan meninggal di Bandung 17 Juni 1959, pada
umur 75 tahun. Abdoel Moeis adalah seorang sastrawan sekaligus
wartawan Indonesia. Pendidikan terakhirnya adalah di Stovia (sekolah
kedokteran, sekarang fakultas kedokteran Universitas Indonesia) Jakarta,
tetapi tidak tamat. Ia juga pernah menjadi anggota Volksraad pada tahun
5
1918 mewakili Central Sarekat Islam. Ia dimakamkan di TMP Cikutra
Bandung dan dikukuhkan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden RI
Soekarno pada 30 Agustus 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik
Indonesia No. 218 Tahun 1959, tanggal 30 Agustus 1959).
6
c. Karya- karya Abdul Moeis
3. MERARI SIREGAR
a. Riwayat Hidup
Merari Siregar lahir di Sipirok, Tapanuli, Sumatra Utara, 13 Juli
1896. Merari merintis karirnya sebagai pendidik dengan terlebih dahulu
bersekolah di sekolah guru yang dulu dikenal dengan istilah Kweekschool
kemudian dilanjutkan ke Oosr en West, ‘Timur dan Barat’ yang berlokasi
di Gunung Sahari, Jakarta. Selanjutnya pada tahun 1923, pendidikan
keguruannya dilanjutkan di sekolah swasta yang didirikan oleh sebuah
organisasi bernama Vereeniging Tot Van Oost En West.
7
Setelah menyelesaikan studinya, Merari mengawali kiprahnya di
dunia pendidikan dengan bekerja sebagai guru bantu di Medan. Dari
ibukota provinsi Sumatera Utara itu, ia kemudian pindah bekerja di
Jakarta, tepatnya di Rumah Sakit CBZ atau yang sekarang lebih dikenal
dengan nama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Terakhir, ia bekerja di
Opium end Zouregie di daerah Kalianget, Madura, hingga akhir hayatnya.
Merari Siregar meninggal pada 23 April 1941. Ia meninggalkan
tiga orang anak, yaitu Florentinus Hasajangu MS yang lahir 19 Desember
1928, Suzanna Tiurna Siregar yang lahir 13 Desember 1930, dan
Theodorus Mulia Siregar yang lahir 25 Juli 1932.
8
Selain sebagai pengarang, Merari juga dikenal sebagai penyadur.
Karya sadurannya yang paling tersohor berjudul Si Jamin dan Si Johan
dengan mengadaptasi “Jan Smees” buah karya Justus van Maurik. Judul
“Jan Smees” ini terdapat dalam kumpulan cerpen Justus van Maurik yang
berjudul Lift het Volk ‘Dan Kalangan Rakyat’ dengan subjudul
Ainsterdamche Novel/en ‘Novel Amsterdam’ yang terbit tahun 1879.
Selain Azab dan Sengsara serta Si Jamin dan Si Johan, masih ada
beberapa karya Merari lainnya meski tidak semasyur dua karya tadi,
karya-karya itu adalah Binasa Karena Gadis Priangan, Cerita Tentang
Busuk dan Wanginya Kota Betawi, serta roman Cinta dan Hawa Nafsu.
9
Alisjahbana. STA sangat menghormati wanita, ia mengatakan bahwa
wanita adalah motor penggerak dan pendukung dibalik kesuksesan
seorang laki-laki.
Setelah menamatkan sekolah HIS di Bengkulu (1921), STA
melanjutkan pendidikannya ke Kweekschool, Bukittinggi. Kemudian dia
meneruskan HKS di Bandung (1928), meraih Mr. dari Sekolah Tinggi di
Jakarta (1942), dan menerima Dr. Honoris Causa dari Universitas
Indonesia (1979) dan Universitas Sains Malaysia, Penang, Malaysia
(1987).
Kariernya beraneka ragam dari bidang sastra, bahasa, dan kesenian.
STA pernah menjadi redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka (1930-
1933). Kemudian mendirikan dan memimpin majalah Poedjangga Baroe
(1933-1942 dan 1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952), dan
Konfrontasi (1954-1962). Pernah menjadi guru HKS di Palembang (1928-
1929), dosen Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di Universitas
Indonesia (1946-1948), guru besar Bahasa Indonesia, Filsafat
Kesusastraan dan Kebudayaan di Universitas Nasional, Jakarta (1950-
1958), guru besar Tata Bahasa Indonesia di Universitas Andalas, Padang
(1956-1958), guru besar dan Ketua Departemen Studi Melayu Universitas
Malaya, Kuala Lumpur (1963-1968).
STA menghabiskan masa tuanya di rumah, di Indonesia. STA
mengisi waktu luangnya dengan membaca dan menulis, serta berenang di
kolam renang yang dibuatkan oleh anak-anaknya untuk menjaga kesehatan
tubuh. STA meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 pada usia 86 tahun.
10
Barat. Menurutnya, bangsa Indonesia haruslah mengejar ketertinggalannya
dengan mencari materi, memodernisasi pemikiran, dan belajar ilmu-ilmu
Barat.
Dalam kedudukannya sebagai penulis ahli dan kemudian ketua
Komisi Bahasa selama pendudukan Jepang, STA melakukan modernisasi
Bahasa Indonesia sehingga dapat menjadi bahasa nasional yang menjadi
pemersatu bangsa. Ia yang pertama kali menulis Tata Bahasa Baru Bahasa
Indonesia (1936) dipandang dari segi Indonesia, yang mana masih dipakai
sampai sekarang. Serta Kamus Istilah yang berisi istilah-istilah baru yang
dibutuhkan oleh negara baru yang ingin mengejar modernisasi dalam
berbagai bidang. Setelah Kantor Bahasa tutup pada akhir Perang Dunia
kedua, ia tetap mempengaruhi perkembangan Bahasa Indonesia melalui
majalah Pembina Bahasa yang diterbitkan dan dipimpinnya. Sebelum
kemerdekaan, STA adalah pencetus Kongres Bahasa Indonesia pertama di
Solo. Pada tahun 1970, STA menjadi Ketua Gerakan Pembina Bahasa
Indonesia dan inisiator Konferensi Pertama Bahasa-bahasa Asia tentang
The Modernization of The Languages in Asia (29 September-1 Oktober
1967).
Selain sebagai ahli tata Bahasa Indonesia, STA juga merupakan
seorang sastrawan yang banyak menulis novel. Beberapa contoh novelnya
yang terkenal yaitu Tak Putus Dirundung Malang (1929), Dian Tak
Kunjung Padam (1932), Layar Terkembang (1936), Anak Perawan di
Sarang Penyamun (1940), dan Grotta Azzura (1970 & 1971).
11
Nama tersebut telah bertahan selama lebih dari 90 tahun, kalau
dihitung dari berdirinya pada tahun 1917 yang merupakan pengukuhan
Komisi untuk Sekolah Bumiputra dan Bacaan Rakyat (commissie voor de
inlandsche school en volkslectuur) yang didirikan oleh pemerintah colonial
belanda pada 14 september 1908.
Dengan demikian, jelas bahwa badan penerbit itu merupakan organ
pemerintah kolonial yang semangatnya boleh dikatakan berseberangan dengan
penerbit-penerbit swasta, baik yang semata-mata bervisi komersial maupun
bervisi kebangsaan. Akan tetapi, mengingat sejarahnya yang panjang itu
maka sepantasnya menjadi bagian khusus dalam pengkajian aatau telaah
sejarah sastra Indonesia.
Secara teoretis dapat dikatakan banyak masalah yang dapat
diungkapkan dari balai pustaka selama ini, antara lain visi dan misi, status,
program kerja, para tokoh, kebijakan redaksi, pengarang, distribusi, dan
produksi. Telaah semacam itu dapat dijadikan pengkajian sejarah mikro yang
pasti relevan dengan sejarah makro sastra Indonesia. Ditambah dengan
pengkajian berbagai gejala yang berkembang di sekitarnya pastilah
memperluas wawasan pengetahuan masyarakat. Mungkin saja kemudian
berkembang pendapat bahwa balai pustaka ternyata bukan satu-satunya
penerbit pada tahun 1920-an membuka tradisi sastra modern, atau justru
dilupakan saja karena berjejak kolonial.
Ciri-ciri umum roman angkatan balai pustaka:
a) Bersifat kedaerahan, karena mengungkapkan persoalan yang hanya
berlaku di daerah tertentu, khususnya Sumatra barat.
b) Bersifat romantic-sentimental, karena ternyata banyak roman yang
mematikan tokoh-tokohnya atau mengalami penderitaan yang luar
biasa.
c) Bergaya bahasa seragam, karena dikemas oleh redaksi balai pustaka,
sehingga gaya bahsanya tidak berkembang.
d) Bertema sosial, karena belum terbuka kesempatan mempersoalkan
masalah polotik, watak, agama, dan lain-lain.
12
2. Berdirinya Penerbit Balai Pustaka
Penerbit ini didirikan oleh pemerintah Belanda di Jakarta pada tahun 1908
dengan nama Comissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur (Komisi
Bacaan Rakyat). Tahun 1917 diubah namanya menjadi Kantoor voor de
Volkslectuur, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Balai Pustaka.
Latar belakang didirikannya penerbit ini ialah adanya kekhawatiran dari
pihak pemerintah jajahan. Mereka mengkhawatirkan terjadinya ronggrongan
terhadap kekuasaan pemerintah yang disebabkan oleh mulai bermunculannya
bacaan-bacaan hasil penerbitan yang diusahakan oleh kalangan swasta.
Hal itu secara tegas dikemukaan oleh Dr. A. Rinkes, sekretaris Balai
Pustaka, sebagaimana dipetik oleh Ajib Rosidi (1969: 19): Hasil pengajaran
itu boleh juga mendatangkan bahaya, Kalau orang yang telah tahu membaca
itu mendapat kitab-kitab bacaan yang berbahaya dari saudagar kitab yang
kurang suci dan orang-orang yang bermaksud hendak mangacau.
Oleh sebab itu, bersama-sama dengan pengajaran itu maka haruslah
diadakan kitab-kitab bacaan yang memenuhi kegemaran orang kepada
pembaca dan memajukan pengetahuannya, seboleh-bolehnya menurut tertib
dunia sekarang.
Dalam usahanya itu harus dijauhkan segala yang dapat merusakkan
kekuasaan pemerintah dan ketentraman negeri. Karena itu, yang menjadi
garapan utama lembaga penerbitan ini ialah menerbitkan buku-buku yang
dipandang baik oleh mereka, murah harganya, dengan sasaran utama
kelompok masyarakat yang baru saja mengusai kemampuan membaca dan
menulis (huruf latin).
Kelompok ini makin banyak jumlahnya sebagai hasil pendidikan sekolah
yang diselenggarakan bagi orang-orang bumiputra. Usaha pertama yang
ditempuh ialah mencoba mengumpulkan serta kemudian menerbitkan cerita-
cerita tradisional atau cerita rakyat. Dalam hal ini perlu diingat bahwa cerita-
cerita jenis itu pada waktu itu masih hidup dalam bahasa-bahasa daerah
(Sunda, Jawa, Madura, Bali, dsb).
13
Dalam melaksanakan garis-garis kebijakannya, Balai Pustaka secara tegas
tidak menerbitkan naskah-naskah yang diperkirakan akan menimbulkan
masalah keagamaan; tidak menerbitkan masalah berisi pandangan politik yang
bertentangan dengan kebijakan pemerintah; serta tidak akan menerbitkan
buku-buku yang berisi penyimpangan moral.
Sekalipun didirikan mulai tahun 1908, serta kemudian diperluas pada
tahun 1917, pekerjaan Balai Pustaka sebenarnya barulah produktif sesudah
tahun 1920-an. Selain menerbitkan cerita-cerita rakyat, Balai Pustaka juga
kemudian menerbitkan karangan-karangan baru bentuk novel. Bentuk
karangan ini dikenal para pengarang kita setelah bergaul dengan sastra barat
(Belanda).
Terlepas dari tuduhan bahwa Balai Pustaka melakukan sensor yang sangat
ketat, atau mungkin dengan tuduhan yang lebih keras lagi sebagai alat
pemerintah, tidak bias dipungkiri kenyataan bahwa hasil pekerjaan penerbit itu
telah melahirkan kehidupan sastra baru. Pada periode ini muncul sederetan
nama pengarang beserta hasil-hasil karya ciptanya.
Atas kenyataan itu pula maka beberapa orang ahli sastra lalu berpendapat
bahwa sastra Indonesia baru (modern) dimulai pada tahun 1920-an.
14
Majalah Timbul mula-mula terbit dalam bahasa Belanda. Mulai tahun
1932 terbit juga edisi dalam bahasa Indonesia. Redakturnya ialah Sanusi Pane.
Ketika St. Takdir Alisjahbana bekerja di Balai Pustaka, ia membuka rubrik
“Menuju Kesusasteraan Baru” dalam majalah Panji Pustaka, mulai tahun
1932. Majalah tersebut diterbitkan oleh Balai Pustaka. Ajib Rosidi (1969: 35 –
41) membicarakan berdirinya dan perkembangan majalah Pujangga Baru
dengan panjang lebar.
Terbitnya Majalah Pujangga Baru didorong oleh semangat yang tertuang
dalam pernyataan para pendirinya: “Dalam zaman kebangunan sekarang
inipun kesusasteraan bangsa kita mempunyai tanggungan dan kewajiban yang
luhur. Ia menjelmakan semangat baru yang memenuhi masyarakat kita, ia
harus menyampaikan berita kebenaran yang terbayang-bayang dalam hati
segala bangsa Indonesia yang yakin akan tibanya masa kebesaran itu.”
Pujangga Baru mula-mula terbit dengan semboyan “majalah kesusasteraan
dan bahasa serta kebudayaan umum”. Mulai tahun 1933 diubah menjadi
“pembawa semangat baru dalam kesusasteraan, seni, kebudayaan dan social
masyarakat umum”.
Mulai tahun 1936 diubah lagi menjadi “pembimbing semangat baru yang
dinamis untuk membentuk kebudayaan persatuan Indonesia”. Perubahan
bunyi moto dan semboyan itu mencerminkan terjadinya perluasan dan
sekaligus penajaman dalam merumuskan cita-cita orang-orang yang
“berhimpun” dalam Pujangga Baru.
Pada kenyataannya memang majalah tersebut berhasil menjadi media
tempat berhimpunnya berbagai gagasan dari berbagai pihak dan golongan.
Nama-nama penulis makin banyak bermunculan, dari berbagai daerah dan
lingkungan etnis. Hal itu tidak mengandung arti bahwa mereka selalu
sepaham. Diantara para penulis itu telah terjadi polemik, yang pada umumnya
berorientasi ke masa depan. Keadaan ini merupakan dorongan baru dalam
mematangkan gagasan-gagasan kebangsaan. Sumbangannya bagi
perkembangan sastra Indonesia menajdi lebih konkrit karena arah
perkembangannya makin diperjelas.
15
4. Peristiwa-Peristiwa Penting Pujangga Baru
Seperti telah disinggung diatas, pada zaman pendudukan Jepang
majalah Pujangga Baru ini dilarang oleh pemerintah Jepang dengan alasan
karena kebarat-baratan. Angkatan Pujangga Baru (1930-1942)
dilatarbelakangi kejadian bersejarah “Sumpah Pemuda” pada 28 Oktober
1928.
Ikrar Sumpah Pemuda 1928:
1) Pertama Kami poetera dan poeteri indonesia, mengakoe bertoempah darah
jang satoe, tanah Indonesia.
2) Kedoea Kami poetera dan poeteri indonesia, mengakoe berbangsa jang
satoe, bangsa Indonesia.
3) Ketiga Kami poetera dan poeteri indonesia, mendjoendjoeng bahasa
persatoean, bahasa Indonesia.
Membicarakan sastra, berarti tak jauh dari unsur suatu budaya. Dalam
sejarah indonesia, sastra memiliki cerita panjang. Di awali dari angkatan balai
pustaka hingga detik ini, dimana karya sastra beralih dari medium cetak ke
digital atau cyber sastra. Tentunya di setiap era memiliki identitas ataupun
keunikan yang membedakan pola pikir suatu kolektif dalam periode tertentu.
16
Keunikan karya sastra era balai pustaka (1920-1940), antara lain :
1. Gaya Bahasa : Ungkapan klise pepatah/pribahasa.
2. Alur : Alur Lurus.
3. Tokoh : Plot karakter ( digambarkan langsung oleh narator ).
4. Pusat Pengisahan : Terletak pada orang ketiga dan orang pertama.
5. Terdapat digresi : Penyelipan/sisipan yang tidak terlalu penting, yang
dapat menganggu kelancaran teks.
6. Corak : Romantis sentimental.
7. Sifat : Didaktis (pendidikan)
8. Latar belakang sosial : Pertentangan paham antara kaum muda dengan
kaum tua.
9. Peristiwa yang diceritakan saesuai dengan realitas kehidupan
masyarakat.
10. Puisinya berbentuk syair dan pantun.
11. Menggambarkan tema pertentangan paham antara kaum tua dan kaum
muda, soal pertentangan adat, soal kawin paksa, permaduan, dll.
12. Soal kebangsaan belum mengemuka, masih bersifat kedaerahan.
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah membahas tentang sejarah singkat Sejarah Sastra Indonesia
Periode 1920-1940, tokoh-tokoh, karya, peristiwa bersejarah, dan keunikan
pada periode tersebut secara singkat berdasarkan pertanyaan-pertanyaan dalam
rumusan masalah. Dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Tokoh-tokoh pada periodisasi Balai Pustaka kebanyakan berasal dari
Sumatra. Selain menjadi sastrawan mereka juga aktif dalam bidang
keguruan, jurnalistik, dan kedokteran. Yang tujuan menjadi sasatrawan
hanya untuk memajukan rakyat Indonesia dalam hal pengetahuan dan
pendidikan.
2. Pada tahun 1920-1940 terdapat berbagai peristiwa bersejarah seperti
munculnya angkatan balai pustaka, berdirinya penerbit Balai Pustaka,
munculnya angkatan pujangga baru, dan sumpah pemuda pada 28 Oktober
1928.
3. Keunikan karya sastra periode 1920-1940 yang menggunakan peribahasa,
bersifat kedaerahan, dan sesuai dengan realita kehidupan masyarakat.
B. Saran
Hendaknya seorang pengkaji sastra dalam klasifikasi ilmu sejarah
sastra tidak hanya berfokus pada sastrawannya saja, namun juga dapat
mengkategorikan bentuk sastra baru atau lama dengan melihat bentuk karya
sastra dalam hal bahasa, isi, amanat, dll. serta ciri-ciri semua periodisasi
sastra. Sehingga karya sastra dapat dikategorikan pada periodisasi
kesusastraan yang sesuai, karena setiap periodisasi kesusastraan mempunyai
ciri-ciri dan tokoh-tokoh yang berbeda-beda.
18
DAFTAR PUSTAKA
Setia, Eka Nur. 2013. “Biografi Singkat Sutan Takdir Alisjahbana” dalam
https://ekanursetia.wordpress.com/2013/12/01/biografi-singkat-sutan-takdir-
alisjahbana/. Diakses tanggal 9 September 2018. 07.00.
19