Anda di halaman 1dari 9

ANALISIS NOVEL BELENGGU

BERDASARKAN PENDEKATAN SOSIOPSIKOLOGIS

OLEH:
Kalpiyandri (122019024)

Mata kuliah : Prosa Fiksi

Dosen Pembimbing : Ernani, S.Pd., M.Pd.

UNIVERSITAS ISLAM OGAN KOMERING ILIR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA


INDONESIA
2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Cipta sastra merupakan kreasi manusia yang terlibat dalam kehidupan serta mampu
menampilkan tanggapan evaluatif terhadapnya. Sapardi Djokodarmono mengutip pendapat
Grebstein, bahwa karya sastra tidak dapat dipahami selengkap-lengkapnya apabila
dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan. Pendekatan sosiopsikologis adalah suatu
pendekatan yang berusaha memahami latar belakang kehidupan sosial-budaya, kehidupan
masyarakat, maupun tangapan kejiwaan atau sikap pengarang terhadap lingkungan
kehidupannya atau zamannya pada saat cipta sastra itu diwujudkan. Dalam
pelaksanaannya, pendekatan ini memang sering tumpang tindih dengan pendekatan
historis. Akan tetapi, selama masalah yang akan dibahas untuk setiap pendekatan ini
dibatasi dengan jelas, maka ketumpang tindihan itu dapat dihindari.

Novel Belenggu ditulis oleh Arminjn Pane dan diterbitkan pertama kali pada tahun
1940. Melalui apresiasi dengan pendekatan sosiopsikologi, kita dapat mengetahui tetang
kehidupan sosial masyarakat, sosial budaya, dan sikap pengarang pada saat itu yaitu
padatahun 1940-an. Kehidupan sosial masyarakat dari wektu ke waktu selalu menarik utuk
dikaji. Hal ini memberikan gambaran dan pengetahuan tentang apa yang terjadi pada
masyarakat tersebut khususnya tentang kehidupan sosial budaya.

1.2  Rumusan Masalah

1.      Bagaimana sinopsis novel Belenggu?

2.      Bagaimana kehidupan sosial budaya yang dikisahkan dalam novel Belenggu?

3.      Bagaimana kehidupan masyarakat pada saat novel tersebut diciptakan?

4.      Bagaimana tanggapan pengarang tentang kehidupan masyarakat pada saat itu?


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sinopsis Novel Belenggu

Kartono (Tino) dan Sukartini (Tini) adalah pasangan suami istri yang sudah cukup
lama membina biduk rumah tangga. Tono adalah seorang dokter yang sudah tentu saja
dibutuhkan oleh banyak orang, terutama mereka yang sedang diserang penyakit. Sebagai
dokter, Tono dicap dokter tauladan. Dia mengobati pasien tanpa pandang siapa pasiennya
dan kapan waktunya. Dia juga tidak mementingkan masalah bayaran.

Tini dulu adalah istri yang sedia mendampingi Tono. Namun kejenuhan itu hinggap
dalam sanubari Tini. Menerima telepon dari pasien dan mencatatnya adalah rutinitas yang
mengenyangkan baginya. Kini ia mencoba menghibur diri. Ia sering keluar malam tanpa
izin dan tanpa didampingi suaminya. Hal tersebut mendapat kecaman dari orang terdekat
Tini yang tentu menganggap hal tersebut adalah tidak benar. Namun Tini ingin merdeka.
Dia sudah lelah menjadi seorang istri yang hanya duduk dia di rumah. Perilaku Tini
tersebut bukan tanpa akibat yang ringan. Kurangnya frekuensi pertemuan antara ia dan
suaminya membuat kisah rumah tangga itu menggantung. Rumah tangga mereka tidak
baik-baik saja. Mereka, walaupun berada dalam satu atap pada waktu yang bersamaan,
tidak pernah saling bercakap. Sebagai seorang suami, Tono merasa tidak diperhatikan lagi.

Rohayah (Yah) adalah sahabat Tono pada waktu mereka masih tinggal bersama di
Bandung. Mereka terpisah. Tono menempuh jalan manisnya menjadi seorang dokter.
Sedangkan Yah, dipaksa menikah dengan orang yang sama sekali tidak ia cintai. Yah
dibawa suaminya ke Palembang. Kemudian ia berhasil melarikan diri dan kembali ke
Bandung. Namun keluarganya sudah tiada. Akhirnya ia hidup terkatung-katung dan
kemudian menjadi wanita tuna susila. Kejadian tersebut lah yang menunda keterpaduan
cinta mereka yang tumbuh sejak dulu.

Tono bertemu dengan Yah yang menyamar sebagai Nyonya Eni. Pertemuan tersebut
bukan tanpa sengaja melainkan sudah direncanakan oleh Yah. Akhirnya, Tono pun
mengetahui topeng yang Yah gunakan. Yah amat mengasihi Tono. Tono pun merasakan
kedamaian yang tidak ia dapatkan di rumah bersama istri sahnya. Ia sering bertandang ke
rumah Yah, tentu tanpa sepengetahuan siapapun kecuali supir yang mengantarkan Tono.
Tono mendapatkan apa yang ia idam-idamkan sebagai seorang lelaki bersama Yah. Mereka
menjalin cinta yang tertunda. Mereka membangun kasih dalam jalan yang salah.

Kebersamaan Tono dan Yah tercium juga oleh Tini. Tanpa sepengetahuan Tono,
Tini melabrak perempuan yang telah mengganggu kehidupan rumah tangganya itu. Namun,
setelah berdebat beberapa saat dengan Yah, Tini menjadi luluh hatinya. Kemudian ia
menyerahkan Tono kepada Yah. Yah merasa tidak berhak atas diri Tono. Ia menolak untuk
hidup bersama Tono. Keputusan Tini untuk meninggalkan Tono sudah bulat. Tini merasa
bisa bernafas bebas keluar dari biduk rumah tangganya. Namun Yah juga demikian.
Perasaannya mengatakan bahwa dia mencintai Tono, namun di sisi lain juga hatinya
berkata bahwa ia harus meninggalkan Tono.

Dengan berat hati Tono melepas kepergian Tini. Ketika ia datang ke rumah Yah, ia
tidak mendapati Yah di sana. Yah pergi meninggalkannya seperti apa yang telah dilakukan
oleh Tini.

2.2 Latar Kehidupan Sosial Budaya

Belenggu mengisahkan secara kental cinta segitiga antar Tono, Tini, dan Yah.
Namun dibalik cinta segitiga itu, terdapat kehidupan sosial budaya yang dipertentangkan.
Pertentangan tersebut nampak pada tokoh Rusdio dan Tini.

“Memang, Ibu! Jalan pikiran kita berlainan. Aku berhak juga menyenangkan pikiranku,
menggemburakan hatiku. Aku manusia juga yang berkemauan sendiri. Kalau menurut
pendapat Ibu, kemauanku mesti tunduk kepada kemauan suamiku. Bukan, Ibu, bukankan
d3emikian? Kami masing-masing berkemauan sendiri.” ( hal 53)

Tini yang ditinggal pergi Tono karena Tono sibuk mengurursi pasiennya siang dan malam
merasa terabaikan sehingga ia mencari kesenangan sendiri. Menurut pendapatnya,
tinadakan yang ia lakukan adalah bukan tindakan yang salah. Namun menurut pandangan
kaum tua pada saat itu, tindakan tersebut tidak sehaunya dilakukan oleh seorang istri. Hal
tersebut tidak menandakan sebagai seorang istri yang baik.

Tidak hanya tokoh Rusdio yang menentang apa yang Tini lakukan. Pada bagian lain,
pertentangan itu juga disampaikan oleh anggota keluarga Tini yang lain.

Menginap di rumah paman....... ah, jangan, ada-ada saja omongannya. Selalu saja
menyindir-nyindir dia, modern, gila-gialan barat. (hal 94-95)
Wanita pada masa itu, telah bebas dan berhak mengenyam pendidikan. Hal
tersebut mungkin karena mereka dari kalangan atas. Tokoh-tokoh yang disampaikan
Armijn dalam novel tersebut khususnya tokoh wanita, merupakan nyonya-nyonya yang
memiliki derajat pendidikan yang tidak rendah. Acara bazar yang dilaksanakan di rumah
sakit adalah hal yang mustahil jika dikelola oleh wanita-wanita yang kurang dalam
mengenyam pendidikan. Tono dan Tini adalah cerminan keluarga berpendidikan namun
gagal dalam membina keutuhan rumah tangga mereka.

“Ingat lagi nyonya, beberapa tahun yang lalu, nyonya masih sekolah, ingat lagi sopir yang
membawa nyonya dan tuan studen Technische Hoogeschool?” (hal 132)

Persamaan hak antara kaum perempuan dan kaum lelaki pada masa itu bukanlah
merupakan hal yang masih perlu dipertanyakan lagi. Mereka kaum perempuan, sudah bisa
menjadi apa yang mereka mau. Namun, dalam kasus Tono dan Tini hal tersebut rupanya
menjadi sebuah  masalah. Pokok dari permasalahan tersebut adalah karena kesibukan
Tono sebagai seorang dokter sehingga ia mengacuhkan Tini. Hal tersebut membuat Tini
merasa bahwa Tono menikahi Tini bukan karena cinta melainkan karena kepantasannya
dijadikan seoarang istri dokter sebab Tini adalah seorang yang berpendidikan. Hal
kebebasan wanita inilah yang kemudan menjadi pertentangan antara kaum muda dan
kaum tua pada novel tersebut yang telah dijelaskan sebelumnya di atas.

Kehidupan sosial budaya yang dipaparkan dalam novel tersebut slah satunya adalah
musik. Musik menjadi bagian yang cukup diperhitungkan. Karena musik juga menjadi salah
satu sarana dalam cerita. Jenis musik yang menjadi sentral dalam masa itu adalah musik
keroncong. Novel Belengggu juga memaparkan cerita tentang Yah yang sebenarnya adalah
penyanyi keroncong idaman Tono, Siti Hayati. Banyak bagian dalam novel tersebut dari
awal hingga akhir yang mendapat sentuhan tentang musik, yaitu musik keroncong.

Dia berdiri di hadapan radio. Diputarna knop penghubung ke kawat listrik, lampu menyala
didalam, diputarnya knop untuk gelombang, diputarnya sampai 190, terdengar lagu
keroncong baru lalu diperlahankannya. Dia pergi bersandar kepada mejatulisnya . suara
terhenti. Kata ompurer: Sehabis ini akan diperdengarkan suara Siti Hayati dari piring hitam
dengan lagu: Ingat Aku. (hal 57-58)

Terdengar kepada Tono lagu pembuka, bagai air meriakk, membuka simpulan dalam
pikirnya, tiba-tiba terdengar suara. Dia tiba-tiba berdiri, mendengarkan dengan teliti.
“Suara Siti Hayati!” katanya dengan gembira. (hal 75)
Lagu dimulai. Sebentar kemudian Siti Hayati menyanyi Tono mengejapkan matanya.
Suaranya agak lain dari radio, di plat gromofoon, percies suara Yah, suara Yah pada malam
itu, dia menyanyi. Dibukanya matanya, Yah menyanyi dengan sepenuh hatinya:....... (hal
117)

2.3 Kehidupan Masyarakat

Pengarang memberikan sebuah gambaran kehidupan masyarakat yang mewah


dalam novel tersebut. Hal ini tentu dapat menimbulkan kontradiksi mengingat pada masa
novel tersebut tercipta Indonesia belum memasuki masa kemerdekaan. Wanita pada masa
itu juga telah mempunyai kedudukan di mata masyarakat. Hal tersebut dicerminkan
dengan para wanita yang mengengola kagiatan bazar yaitu seperti Rusdio, Sutatmo,
Padma, dan Aminah. Kehidupan mereka bisa dibilang kehidupan yang glamour. Tentu saja
hal tersebut hanya terdapat pada kalangan wanita yang memiliki pendidikan yang tinggi.

Seorang dokter yang memasyarakat seperti dokter Sukartono tentu sangat jarang
ditemukan pada masa sekarang ini. Jika kita melihat dokter-dokter pada kehidupan
masyarakat saat ini, tentu yang tergambar jelas adalah dokter-dokter yang hanya
mementingkan materi saja. Banyak terdapat sebuah papan di halaman rumah para dokter
yang bertuliskan kapan mereka buka praktik, yaitu pada pagi hari antara pukul sekian
hingga pukul sekian dan malam antara pukul sekian hingga pukul sekian juga. Selain itu,
maka dokter tidak melayani pasien. Bahkan dalam papan nama tesebut tidak dicantumkan
nomor telepon yang bisa dihubungi dan juga biasanya tercantum hari minggu atau hari
besar tutup. Bebeda dengan dokter Tono yang siap sedia kapan pun dia sempat. Ketika dia
di rumah sakit, telepon dari pasien-pasien untuknya dia catat. Dia akan mengunjungi
pasien tersebut tidak peduli waktu. Hal tersebutlah yang memicu keretakan rumah
tangganya.

Kawin paksa juga menjadi sorotan pengarang dalam novel tersebut. Yah yang
notabene berasal dari keluarga tidak mampu dijodohkan dengan seseorang oleh orang
tuanya. Kawin paksa dalam kehidupan masyarakat zaman sekarang belum sepenuhnya
memudar. Pada masa sekarang ini, kasus-kasus perjodohan masih sering terjadi pula.
Sperti yang diungkapkan pada novel Dadaisme karangan Dewi Sartika juga menggambarkan
kawin paksa. Novel tresebut diterbitkan pada tahun 2004 dan mengisahkan masa kini
bukan masa lalu. Kehidupan tentang kawin paksa dalam masyarakat tidak pernah tidak
menarik untuk juga diikutkan dalam jalannya sebuah peristiwa.
Kehidupan sosial yang mewah merupakan cerminan dari kehidupan masyarakat
yang kebarat-baratan. Dalam cerita tersebut disampaikan bagaimana kehidupan orang-
orang kelas atas yang condong kepada kehidupan barat. Surat yang dituliskan Tati kepada
Tini adalah salah satu contoh bagaimana kehidupan barat telah berbaur dengan kehidupan
masyarakat pribumi.

 “Yu, yu, sekarang aku suka menonton, kerap-kerap, suka benar berdansa...... aku
takut Yu, berhadap-hadapan dengan jiwaku. Tiada seorang juga keluargaku yang setuju.”
(hal 71).

Kalimat terakhir dalam paragraf tersebut memberikan asumsi bahwa menonton,


berdansa, bukanlah sebuah hal yang lazim dalam norma kemasyarakatan saat itu. Keluarga
terdiri atas orang yang dituakan menentang dengan apa yang dilakukan oleh Tati. Hal
tersebut dapat dikarenakan karena orang tua memang masih memegang teguh nilai-nilai
kemasyarakatan pribumi. Mereka menganggap hal yag kebarat-baratan merupakan sebuah
hal yang tidak patas dilakukan.

2.4 Tanggapan Pengarang

Belenggu merupakan pikiran pengarang. Keadaan sosial budaya dan keadaan


masyarakat merupakan  wujud pemikiran pengarang tentang kodisi sosial kemasyarakatan
pada masa itu. Pengarang ingin mengungkapkan pikiran, ide, gagasan, maupun
pendapatnya terhadap kehidupan lingkungannya melalui nove tersebut.

Belenggu adalah cerminan hati ketiga tokoh utama yaitu Tono, Tini, dan Yah. Tono
adalah seorang yang mulai hidup dalam modernitas namun masih meragukan dirinya untuk
maju jauh lebih melangkah ke depan. Mungkin begitu pula tanggapan jiwa Armijn dalam
menghadapi kehidupan baru dan modern. Pengarang masih ragu dalam menginjakkan
kakinya selangkah lebih di depan. Pengarang menampilkan tokoh-tokoh yang terbelenggu
oleh keadaan sosial masyarakat selain terbelenggu oleh cinta. Beberapa sastrawan lain
menganggap karya Armijn adalah sebuah karya yang realisme dan kebarat-baratan. Tokoh
tersebut adalah sebagai berikut.

Kaum kolot tentu akan gempar oleh cemeti realisme yang dilecut-lecut dengan
sangat oleh pengarang. Kaum muda, kaum baru, tentu akan bersorak membacanya, oleh
keinsafan, keberanian pengarang memancarkan cahaya pada hal-hal yang tak patut dan
tak layak. Memang, pena Saudara Armijn Pane di sini, terang amat “tidak kenal kasihan”
terhadap hal-hal yang buruk, dan oleh karena itu nyatalah, bahwa pena saudara itu pena
Pujangga sejati, yang hendak berjuang yang hendak menghindarkan hal-hal buruk untuk
membangun semangat baik dan jernih dalam sanubari masyarakat Indonesia. (1992:10)

                                       M.R. Djaroh, “Pudjangga Baru”, Des, 1994

Satu kemenangan telah tentu: kesusastraan Indonesia dapat aliran baru, aliran
dengan cara Armijn. Armijn identik zaman baru, zaman teknik, abad ke-20. (1992:9)
                                       Karir Halim, “Pudjangga Baru,” Des, 1994

Sikap Armijn yang demikian tersebut memberikan penafsiran bahwa Armijn ingin
sedikit meninggalkan kehidupan yang bisa dibilang sedikit terbelakang. Pengarang
menampilkan tokoh Tini yang menentang norma kemasyarakatan pada saat itu. Dalam
kata-kata yang penulis tuliskan sebagai pendahuluan dari novel ini penulis mengungkapkan
sebagai berikut.

Perahu tumpangan keyakinanku, berlayarlah engaku, jangan enggan menempuh


angin ribut, taufan badai, ke tempat pelabuhan yang hendak engkau tuju. Berlayarlah
engaku ke dunia baru. (hal 5)

Penulis rupanya memiliki pandangan yang realistis terhadap kehidupan. Berlayarlah


engkau ke dunia baru merupakan sebuah ungkapan yang menunjukkan betapa penulis
sangat antusias untuk mengikuti perkembangan zaman yang terjadi. Namun, tanggapan
seseorang antara yang satu dengan yang lain tentang kehidupan yang baru tidaklah sama.
Hal ini juga lah yang Armijn utarakan dalam pena Belenggunya.

Jika melirik cerita kawin paksa antara Yah dan suaminya, kita akan berasumsi
bahwa pengarang tidak begitu sepakat dengan budaya kawin paksa tersebut. Armijn
menganggap bahwa kawin paksa akan menimbulkan banyak kerugian dan penderitaan bagi
sebagian pihak. Hal tersebut diilustrasikan dari tokoh Yah yang menderita akibat kawin
paksa yang dilakukan oleh orang tuanya kepada dirinya. Ini juga merupakan salah satu
gambaran bahwa penulis ingin melepaskan hal-hal lama yang telah mendarah daging di
dalam masyarakat yang penulis anggap merugikan.

BAB III

SIMPULAN
Pendekatan sosiopsikologis dalam novel belenggu merumuskan tiga hal. Yang pertama
adalah kehidupan sosial budaya. Kehidupan sosial budaya dalam novel belenggu adalah
sebagai berikut.

1.      Pertentangan kehidupan sosial antara kaum muda dan kaum tua.

2.      Wanita sudah bisa mengenyam pendidikan tinggi.

3.      Budaya musik pada saat itu adalah musik keroncong.

Yang kedua yaitu kehidupan masyarakat. Kehidupan masyarakat dalam novel Belenggu
dapat dipaparkan sebagai berikut.

1.      Kehidupan masyarakat yang mewah yang merupakan pengaruh dari kehidupan masyarakat
barat.

2.      Dokter pada masa itu dapat dikatakan memiliki budi yang lebih luhur daripada dokter
pada masa sekarang.

3.      Kehidupan masyarakat dengan kawin paksa belum bisa terlepaskan satu sama lain.

Yang ketiga adalah tanggapan jiwa pengarang yaitu bahwa pengarang ingin melangkahkan
kakinya ke dunia baru, dunia yang lebih modern. Namun, disamping semua itu, bahwa
masyarakat masih belum bisa menerima kehidupan yang modern merupakan hal yang
menimbulkan keraguan dalam diri pengarang untuk melangkahkan kakinya. Pengarang
merupakan seorang yang realisme.

Anda mungkin juga menyukai