Pendapat Xenophanes
Xenophanes menyatakan: “Tuhan hanya satu, yang terbesar di antara dewa
dan manusia, tidak serupa dengan makhluk yang fana.”
“Tuhan Yang Esa itu tidak dijadikan tidak bergerak dan berubah-ubah, dan
ia mengisi seluruh alam. Dia melihat semuanya, mendengar semua dan
memikirkan seluruhnya. Mudah sekali Ia memimpin alam ini dengan
kakuatan fikirNya.”
Pendapat Socrates
Socrates menyatakan: “Tuhan pencipta ala mini bukanlah hanya untuk
memikirkan dan memperhatikan manusia saja, tapi ialah roh bagi manusia.
Jika tidak begitu cobalah sebutkan padaku, hewan manakah yang dapat
mengetahui adanya Tuhan yang mengatur susunan tubuh yang mempunyai
sifat-sifat tinggi seperti ini! Coba katakana hewan mana selain manusia
yang dapat dibawa akalnya menyembah dan berkhidmah kepada Tuhan?”
Pendapat Descartes
Descartes menyatakan: “Saya tidak menjadikan diri saya sendiri. Sebab
kalau saya menjadikan, tentulah saya dapat memberikan segala sifat
kesempurnaan kepada diri saya itu. Oleh sebab itu tentu saya dijadikan
oleh Dzat yang lain. Dan sudah pasti pula Dzat lain itu menjadikan saya
mempunyai sifat-sifat kesempurnaan, kalau tidak akan sama halnya
dengan diri saya.”
“Saya selalu merasa diri saya dalam kekurangan, dan pada waktu itu juga
diri saya merasa tentu ada Dzat yang tidak kekurangan, yakni sempurna.
Dan Dzat yang sempurna itu ialah Allah”[5]
Mari kita kaji Al-Qur’an lalu kita perhatikan kandungannya, bahwa apa
yang dinyatakan oleh para filosof di atas, semakna dengan apa yang
dinyatakan oleh Allah di dalam Al-Qur’an:
5. Akal hanya bisa menjangkau hal-hal yang terikat dengan ruang dan
waktu.
Tatkala mata mengatakan bahwa tiang-tiang listrik berjalan waktu kita
menyaksikannya lewat jendela kereta api akal dengan cepat
mengoreksinya. Tapi apakah akal bisa memahami dan menjangkau segala
sesuatu? Tidak. Karena kemampuan akalpun terbatas. Akal tidak bisa
menjangkau sesuatu yang tidak terikat dengan ruang dan waktu.
3. Fungsi Aqidah
Aqidah adalah dasar, fondasi untuk mendirikan bangunan. Semakin tinggi
bangunan yang akan didirikan harus semakin kokoh pula fondasi yang
dibuat. Kalau fondasinya lemah bangunan itu akan cepat ambruk. Tidak
ada bangunan tanpa fondasi.[10]
Kalau ajaran Islam kita bagi dalam sistimatika Aqidah Ibadah Akhlak dan
Mu’amalat, atau Aqidah Syari’ah dan Akhlak, atau Iman Islam dan Ihsan,
maka ketiga/keempat aspek tersebut tidak bisa dipisahkan sama sekali.
Satu sama lain saling terkait. Seseorang yang memiliki aqidah yang kuat,
pasti akan melaksanakan ibadah dengan tertib, memiliki akhlak yang mulia
dan bermu’amalat dengan baik. Ibadah seseorang tidak akan diterima oleh
Allah swt kalau tidak dilandasi dengan aqidah. Misalnya orang nonmuslim
memberi beras kepada seorang yang miskin, amal ibadah orang itu nilainya
NOL di hadapan Allah, Allah tidak menerima ibadahnya karena orang itu
tidak punya landasan aqidah.
Seseorang bisa saja merekayasa untuk terhindar dari kewajiban formal,
misalnya zakat, tapi dia tidak akan bisa menghindar dari aqidah. Misalnya,
aqidah mewajibkan orang percaya bahwa Tuhan itu cuma satu yaitu Allah,
orang yang menuhankan Allah dan sesuatu yang lain [uang misalnya] maka
akan kelihatan nanti, tidak bisa ditutup-tutupi, tidak bisa direkayasa. Entah
dari bicaranya yang seolah-olah uang telah membantu hidupnya, tanpa
uang dia tidak akan nisa hidup, atau dari perilakunya yang satu minggu
sekali datang ke pohon besar dan berdoa disitu.
Itulah sebabnya kenapa Rasulullah SAW selama 13 tahun periode Mekah
memusatkan dakwahnya untuk membangun aqidah yang benar dan kokoh.
Sehingga bangunan Islam dengan mudah berdiri di periode Madinah.
Dalam dunia nyatapun ternyata modal untuk membangun sebuah
bangunan itu lebih besar tertanam di fondasi.
Jadi aqidah berfungsi sebagai ruh dari kehidupan agama, tanpa ruh/aqidah
maka syari’at/jasad kita tidak ada guna apa-apa.
a. Tauhid (Ke-Esaan)
b. Al-Adlu (Keadilan )
c. Wal-wal Wa’id (Janji dan Acaman)
d. Al-Manzilah Bainal Manziladaini (tempat diantara dua)
e. Amar Ma’rup Nahi Munkar (Menyuruh krbaikan dan melarang
kejelekan)