Anda di halaman 1dari 9

Pengertian Aqidah Islam

Secara etimologi (lughatan), aqidah berakar dari kata ‘aqada – ya’qidu –


‘aqdan yang berarti simpul, ikatan, perjanjian dan kokoh. Setelah terbentuk
menjadi aqidah berarti keyakinan. Relevansi antara arti kata aqdan dan
aqidah adalah keyakinan itu tersimpul dengan kokoh di dalam hati, bersifat
mengikat dan mengandung perjanjian.
Secara terminologis (isthilahan), terdapat beberapa definisi (ta’rif) antara
lain:
1. Menurut Hasan al-Banna:
‫العقائد هي األمور التى يجب أن يصدق بها قلبك وتطمئن اليها نفسك وتكون يقينا عندك ال يمازجه ريب‬
‫واليخالطه شك‬
“Aqidah adalah beberapa perkara yang wajib diyakini keberadaannya oleh
hatimu, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak
bercampur sedikitpun dengan keragu-raguan”
2. Munurut Abu Bakar Jabir al-Jazairy:
‫ ويثنى‬,‫ يعقد عليها اإلنسان قلبه‬,‫ والسمع والفطرة‬,‫العقيدة هي مجموعة من قضايا الحق البدهية المسلمة بالعقل‬
‫ قاطعا بوجودها وثبوتها اليرى خالفها أنه يصح أو يكون أبدا‬,‫عليها صدره جازما بصحتها‬
“Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum
(axioma) oleh manusia berdasarkan akal, wahyu dan fithrah. (Kebenaran)
itu dipatrikan oleh manusia di dalam hati serta diyakini kesahihan dan
kebenarannya secara pasti dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan
dengan kebenaran itu”
Untuk lebih memahami kedua definisi di atas maka perlu dikemukakan
beberapa catatan tambahan:
1. Ilmu terbagi dua: pertama ilmu dharuri, kedua ilmu nazhari. Ilmu yang
dihasilkan oleh indera, dan tidak memerlukan dalil disebut ilmu dharuri.
Misalnya anda melihat meja di hadapan mata, anda tidak lagi memerlukan
dalil atau bukti bahwa benda itu ada. Sedangkan ilmu yang memerlukan
dalil atau pembuktian itu disebut ilmu nazhari. Misalnya 1+1=2, tentu perlu
dalil untuk orang yang belum tahu teori itu. Di antara ilmu nazhari itu, ada
hal-hal yang karena sudah sangat umum dan terkenal maka tidak
memerlukan lagi adanya dalil, misalnya sepeda bannya ada dua sedangkan
mobil bannya ada empat, tanpa dalil siapapun pasti mengetahui hal
tersebut. Hal inilah yang disebut badihiyah. Badihiyah adalah segala
sesuatu yang kebenarannya perlu dalil pembuktian, tetapi karena sudah
sangat umum dan mendarah daging maka kebenaran itu tidak perlu
pembuktian lagi.
2. Setiap manusia memiliki fithrah mengakui kebenaran (bertuhan), indera
untuk mencari kebenaran, akal untuk menguji kebenaran dan memerlukan
wahyu untuk menjadi pedoman menentukan mana yang benar dan mana
yang tidak. Tentang Tuhan, misalnya, setiap manusia memiliki fithrah
bertuhan, dengan indera dan akal dia bisa buktikan adanya Tuhan, tapi
hanya wahyulah yang menunjukkan kepadanya siapa Tuhan yang
sebenernya.
3. Keyakinan tidak boleh bercampur sedikitpun dengan keraguan. Sebelum
seseorang sampai ke tingkat yakin dia akan mengalami lebih dahulu Syak
(50%-50% antara membenarkan dan menolak), kemudian Zhan (salah satu
lebih kuat sedikit dari yang lainnya karena ada dalil yang menguatkan),
kemudian Ghalabatuz Zhan (cenderung menguatkan salah satu karena
dalilnya lebih kuat, tapi masih belum bisa menghasilkan keyakinan penuh),
kemudian Ilmu/Yakin (menerima salah satu dengan sepenuh hati karena
sudah meyakini dalil kebenarannya). Keyakinan yang sudah sampai ke
ringkat ilmu inilah yang disebut aqidah.
4. Aqidah harus mendatangkan ketenteraman jiwa. Artinya lahiriyah
seseorang bisa saja pura-pura meyakini sesuatu, akan tetapi hal itu tidak
akan mendatangkan ketenangan jiwa karena dia harus melaksanakan
sesuatu yang berlawanan dengan keyakinannya. Kawin paksa misalnya,
hidup satu rumah dengan orang yang tidak pernah dia sukai, secara
lahiriyah hubungan mereka telah sukses karena berakhir dipelaminan
namun jiwa mereka tidaklah tenteram seperti kelihatan.
5. Bila seseorang sudah meyakini suatu kebenaran, dia harus menolak
segala yang bertentangan dengan kebenaran itu. Artinya seseorang tidak
akan bisa meyakini sekaligus dua hal yang bertentangan. Misalnya ada
meyakini gula itu rasanya manis, tentunya anda akan menolak untuk
meyakini bahwa gula itu rasanya asin, tidak mungkin anda yakin bahwa
gula itu rasanya manis dan asin.
6. Tingkat keyakinan (aqidah) seseorang tergantung kepada tingkat
pemahamannya terhadap dalil. Misalnya:
– Anda akan meyakini adanya beasiswa bila anda mendapatkan informasi
tentang beasiswa tersebut dari orang yang anda kenal tidak pernah
berbohong.
– Keyakinan itu akan bertambah apabila anda mendapatkan informasi
yang sama dari beberapa orang lain, namun tidak menutup kemungkinan
bahwa anda akan meragukan kebenaran informasi itu apabila ada syubuhat
(dalil dalil yang menolak informasi tersebut).
– Bila anda melihat pengumuman beasiswa di fakultas maka bertambahlah
keyakinan anda sehingga kemungkinan untuk ragu semakin kecil
– Apabila anda diberi formulir pengajuan beasiswa maka keyakinan anda
semakin bertambah dan segala keraguan akan hilang bahkan anda tidak
mungkin ragu lagi bahkan anda tidak akan merubah pendirian anda
sekalipun semua orang menolaknya
– Ketika anda bolak balik mengurus segala yang terkait dengan beasiswa
maka bertambahlah pengetahuan dan pengalaman anda tentang beasiswa
yang diyakini tadi.

1.2. Landasan Filosofis Aqidah Islam


Pada hakikatnya filsafat dalam bahasan aqidah tetap bersumber pada Al-
Qur’an dan As-Sunnah.
Allah mengutus (Rasul) yang membawa pesan dari-Nya untuk disampaikan
kepada seluruh umat manusia. Pesan Allah itu ditulis dalam Al-Kitab (Al-
Qur’an). Allah menganugerahkan kebijakan dan kecerdasan berfikir kepada
manusia untuk mengenal adanya Allah dengan memperhatikan alam
sebagai bukti hasil perbuatan-Nya Yang Maha Kuasa. Hasil perbuatan
Allah itu serba teratur, cermat dan berhati-hati. Yang menerima hikmah-
hikmai inilah yang disebut “Hukuman” atau “Filosof.

Berikut beberapa pendapat para filosof barat tentang Tuhan:

 Pendapat Xenophanes
Xenophanes menyatakan: “Tuhan hanya satu, yang terbesar di antara dewa
dan manusia, tidak serupa dengan makhluk yang fana.”
“Tuhan Yang Esa itu tidak dijadikan tidak bergerak dan berubah-ubah, dan
ia mengisi seluruh alam. Dia melihat semuanya, mendengar semua dan
memikirkan seluruhnya. Mudah sekali Ia memimpin alam ini dengan
kakuatan fikirNya.”
 Pendapat Socrates
Socrates menyatakan: “Tuhan pencipta ala mini bukanlah hanya untuk
memikirkan dan memperhatikan manusia saja, tapi ialah roh bagi manusia.
Jika tidak begitu cobalah sebutkan padaku, hewan manakah yang dapat
mengetahui adanya Tuhan yang mengatur susunan tubuh yang mempunyai
sifat-sifat tinggi seperti ini! Coba katakana hewan mana selain manusia
yang dapat dibawa akalnya menyembah dan berkhidmah kepada Tuhan?”
 Pendapat Descartes
Descartes menyatakan: “Saya tidak menjadikan diri saya sendiri. Sebab
kalau saya menjadikan, tentulah saya dapat memberikan segala sifat
kesempurnaan kepada diri saya itu. Oleh sebab itu tentu saya dijadikan
oleh Dzat yang lain. Dan sudah pasti pula Dzat lain itu menjadikan saya
mempunyai sifat-sifat kesempurnaan, kalau tidak akan sama halnya
dengan diri saya.”
“Saya selalu merasa diri saya dalam kekurangan, dan pada waktu itu juga
diri saya merasa tentu ada Dzat yang tidak kekurangan, yakni sempurna.
Dan Dzat yang sempurna itu ialah Allah”[5]
Mari kita kaji Al-Qur’an lalu kita perhatikan kandungannya, bahwa apa
yang dinyatakan oleh para filosof di atas, semakna dengan apa yang
dinyatakan oleh Allah di dalam Al-Qur’an:

Dan Apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya


dari setitik air(ma
Dan ia membuat perumpamaan bagi kami; dan Dia lupa kepada
kejadiannya; ia berkata: “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang
belulang, yang telah hancur luluh?”
Katakanlah: “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali
yang pertama. dan Dia Maha mengetahui tentang segala makhluk.
[QS.36:77-79].
Maka hendaklah manusia memperhatikan dari Apakah Dia diciptakan?
Dia diciptakan dari air yang dipancarkan,
yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.
Sesungguhnya Allah benar-benar Kuasa untuk mengembalikannya (hidup
sesudah mati). [QS.86:5-8]
Dari uraian di atas, nyatalah bahwa pada hakikatnya landasan aqidah Islam
adalah Al-Qur’an dan Sunnah.

B. FUNGSI DAN PERANAN AKIDAH ISLAM


a. Fungsi akidah islam ,diantaranya yaitu :
1. Sebagai pondasi untuk mendirikan bangunan Islam.
2. Merupakan awal dari akhlak yang mulia. Jika seseorang memiliki
aqidahyang kuat pasti akan melaksanakan ibadah dengan tertib, memiliki
akhlak yang mulia, dan bermu’amalat dengan baik.
3. Semua ibadah yang kita laksanakan jika tanpa ada landasan aqidah maka
ibadah kita tersebut tidak akan diterima

b. Sedangkan peran akidah dalam islam meliputi :


1. Aqidah merupakan misi pertama yang dibawa para rasul Allah.
Allah berfirman:Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-
tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah
Thaghut itu” (QS. An-Nahl: 36).
2. Manusia diciptakan dengan tujuan beribadah kepada Allah.
Allah berfirman:”Dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali
untuk menyembah-Ku”. (QS. Adz-Dzariyat: 56).
3. Aqidah yang benar dibebanrkan kepada setiap mukallaf.
Nabi bersabda:”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga
mereka bersaksi bahwasanya tiada sesembahan yang sebenarnya selain
Allah dan bahwasanya Muhammad adalah rasul utusan Allah.” (Muttafaq
‘alaih).
4. Berpengang kepada aqidah yang benar merupakan kewajiban manusia
seumur hidup.
Allah berfirman:”Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan Tuhan
kami ialah Allah kemudian merkea beristiqomah (teguh dalam pendirian
mereka) maka para malaikat akan turun kepada mereka (seraya berkata) :
“Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih dan
bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang dijanjikan Allah
kepadamu.”(QS. Fushilat: 30).

5. Aqidah merupakan akhir kewajiban seseorang sebelum meninggalkan


dunia yang fana ini.
Nabi saw bersabda:“Barangsiapa yang akhir ucapannya “Tiada sesembahan
yang berhak disembah selain Allah niscaya dia akan masuk surga”. (HSR.
Al-Hakim dan lainnya).
6. Aqidah yang benar telah mampu menciptakan generasi terbaik dalam
sejarah umat manusia, yaitu generasi sahabat dan dua generasi sesusah
mereka.
Allah berfirman:”Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, kamu menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
mungkar dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali-Imran: 110).
7. Kebutuhan manusia akan aqidah yang benar melebihi segala kebutuhan
lainnya karena ia merupakan sumber kehidupan, ketenangan dan
kenikmatan hati seseorang. Dan semakin sempurna pengenalan serta
pengetahuan seorang hamba terhadap Allah semakin sempurna pula dalam
mengagungkan Allah dan mengikuti syari’at-Nya.

1.3. Landasan Religius Aqidah Islam


Sumber aqidah Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Artinya apa saja yang
disampaikan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan oleh Rasulullah dalam
Sunnahnya wajib diimani (diyakini dan diamalkan).[6]
Akal pikiran tidaklah menjadi sumber aqidah, tetapi hanya berfungsi
memahami nash-nash yang terdapat dalam kedua sumber tersebut dan
mencoba –kalau diperlukan – membuktikan secara ilmiah kebenaran yang
disampaikan Al-Qur’an dan Sunnah. Itupun harus didasari oleh suatu
kesadaran bahwa kemampuan akal sangat terbatas. Sesuatu yang
terbatas/akal tidak akan mampu menggapai sesuatu yang tidak terbatas.
Misalkan, saat ditanya, kekal [sesuatu yang tidak terbatas] itu sampai
kapan?, maka akal tidak akan mampu menjawabnya karena akal itu
terbatas.
Aqidah itu mempunyai sifat keyakinan dan kepastian sehingga tidak
mungkin ada peluang bagi seseorang untuk meragukannya. Dan untuk
mencapai tingkat keyakinan ini, aqidah Islam wajiblah bersumber pada dua
warisan tersebut [Al-Qur’an Hadits] yang tidak ada keraguan sedikit pun
padanya. Dan akal bukanlah bagian dari sumber yang tidak ada keraguan
padanya.
Dengan kata lain, untuk menjadi sumber aqidah, maka asal dan
indikasinya haruslah pasti dan meyakinkan, tidak mengandung sedikut
pun keraguan. Jika kita memandang Al-Qur’an dari segi wurud, maka ia
adalah pasti lagi meyakinkan karena telah ditulis selagi Rasulullah masih
hidup dan juga dihafal serta sejumlah besar sehabat yang mustahil mereka
sepakat berdusta untuk memalsukannya. Dan juga karena itu, tidak pernah
timbul perselisihan tentang kesahihan Al-Qur’an di kalangan umat Islam
sejak dahulu hingga sekarang.[7] Tidak pernah ada yang berbeda pendapat
bahwa Tuhan itu ada, bahwa Tuhan itu satu, bahwa Tuhan itu mahakuasa.
Aqidah atau iman itu mempunyai peran dan pengaruh dalam hati. Ia
mendorong manusia untuk melakukan amal-amal yang baik dan
meninggalkan perbuatan keji dan mungkar. Ia mengawal dan membimbing
manusia ke jalan yang lurus dan benar serta menjaganya untuk tidak
tergelincir ke dalam lembah kesesatan; dan juga menanamkan dalam
dirinya kecintaan kepada kebenaran dan kebaikan. Sesungguhnya hidayah
Allah hanya diberikan kepada manusia yang hatinya telah dimasuki iman.
[8]
Allah berfirman dalam Surat al-Taghabun/64:11 :
. . . )11 ‫(التغابن‬. . . ‫ومن يؤمن باهلل يهد قلبه‬
“Dan barang siapa yang beriman kepada Allah niscaya Allah akan memberi
hidayah kepada hatinya.”
Pada hakikatnya, iman yang dalam hati itu atau aqidah ibarat nur atau
cahaya yang menerangi hati dan sangat diperlukan oleh manusia dalam
kehidupannya di dunia. Tanpa cahaya itu hati sangat gelap, sehingga akan
sangat mudah orang tergelincir dalam lembah maksiat. Ibarat orang yang
berjalan pada waktu malam tanpa lampu atau cahaya, ia akan sangat
mudah terperosok ke dalam lobang atau jurang. Demikianlah peranan
iman yang merupakan bangunan bawah/fondasi utama dari kepribadian
yang kukuh dan selalu mengawal serta membuat hati agar selalu baik dan
bersih, sehingga dapat memberi bimbingan bagi manusia ke arah
kehidupan yang tenteram dan bahagia.

2. RUANG LINGKUP, KAIDAH, FUNGSI SERTA MANFAAT AQIDAH


ISLAM

1. Ruang Lingkup Pembahasan Aqidah


Meminjam sistimatika Hasaln al-Banna maka ruang lingkup pembahasan
aqidah adalah:
1. Ilahiyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan Ilah (Tuhan, Allah) seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat-sifat
Allah, af’al Allah dan lainnya.
2. Nubuwat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan Nabi dan Rasul, termasuk tentang Kitab-Kitab Allah, mu’jizat,
karamat dan lain sebagainya.
3. Ruhaniyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan alam metafisik seperti Malaikat, Jin, Iblis, Syetan, Roh dan lain
sebagainya.
4. Sam’iyyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa
diketahui lewat Sam’i (dalil naqli berupa Al-Qur’an dan Sunnah) seperti
alam barzakh, akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat, surga neraka dan
lain sebagainya.[9]
Di samping sistimatika di atas, pembahasan aqidah bisa juga mengikuti
sistimatika arkanul iman (rukun iman) yaitu:
1. Iman Kepada Allah SWT.
2. Iman Kepada Malaikat (termasuk juga makhluk ruhani lain seperti Jin,
Iblis dan Syetan).
3. Iman Kepada Kitab-Kitab Allah.
4. Iman Kepada Nabi dan Rasul.
5. Iman Kepada Hari Akhir.
6. Iman Kepada Takdir Allah.
2. Delapan Kaidah Aqidah
1. Apa yang saya dapat dengan indera saya, saya yakin adanya, kecuali bila
akal saya mengatakan “tidak” berdasarkan pengalaman masa lalu.
Misalnya, bila saya untuk pertama kali melihat sepotong kayu di dalam
gelas berisi air putih kelihatan bengkok, atau melihat genangan air di
tengah jalan [fatamorgana], tentu saja saya akan membenarkan hal itu.
Tapi bila terbukti kemudian bahwa hasil penglihatan indera saya salah
maka untuk kedua kalinya bila saya melihat hal yang sama, akal saya
langsung mengatakan bahwa yang saya lihat tidak demikian adanya.
2. Keyakinan, di samping diperoleh dengan menyaksikan langsung, juga
bias melalui berita yang diyakini kejujuran si pembawa berita.
Banyak hal yang memang tidak atau belum kita saksikan sendiri tapi kita
meyakini adanya. Misalnya anda belum pernah ke Thailand, Afrika atau
Yaman, tapi anda meyakini bahwa negeri-negeri tersebut ada. Atau tentang
fakta sejarah, tentang Daulah Abbasiyah, Umayyah atau tentang kerajaan
Majapahit, dan lain-lain, anda meyakini kenyataan sejarah itu berdasarkan
berita yang anda terima dari sumber yang anda percaya.
3. Anda tidak berhak memungkiri wujudnya sesuatu, hanya karena anda
tidak bisa menjangkaunya dengan indera anda.
Kemampuan alat indera memang sangat terbatas. Telinga tidak bisa
mendengar suara semut dari jarak dekat sekalipun, mata tidak bisa
menyaksikan semut dari jarak jauh. Oleh karena itu, seseorang tidak bisa
memungkiri wujudnya sesuatu hanya karena inderanya tidak bisa
menyaksikannya.
4. Seseorang hanya bisa menghayalkan sesuatu yang sudah pernah
dijangkau oleh inderanya.
Khayal manusiapun terbatas. Anda tidak akan bisa menghayalkan sesuatu
yang baru sama sekali. Waktu anda menghayalkan kecantikan seseorang
secara fisik, anda akan menggabungkan unsur-unsur kecantikan dari
banyak orang yang sudah pernah anda saksikan.

5. Akal hanya bisa menjangkau hal-hal yang terikat dengan ruang dan
waktu.
Tatkala mata mengatakan bahwa tiang-tiang listrik berjalan waktu kita
menyaksikannya lewat jendela kereta api akal dengan cepat
mengoreksinya. Tapi apakah akal bisa memahami dan menjangkau segala
sesuatu? Tidak. Karena kemampuan akalpun terbatas. Akal tidak bisa
menjangkau sesuatu yang tidak terikat dengan ruang dan waktu.

6. Iman adalah fithrah setiap manusia.


Setiap manusia memiliki fithrah mengimani adanya Tuhan. Pada saat
seseorang kehilangan harapan untuk hidup, padahal dia masih ingin hidup,
fithrahnya akan menuntun dia untuk meminta kepada Tuhan. Misalnya
bila anda masuk hutan, dan terperosok ke dalam lubang, pada saat anda
kehilangan harapan untuk bisa keluar dari lubang tiu, anda akan berbisik
“Oh Tuhan!”
7. Kepuasan materil di dunia sangat terbatas.
Manusia tidak akan pernah puas secara materil. Seorang yang belum punya
sepeda ingin punya sepeda. Setelah punya sepeda ingin punya motor dan
seterusnya sampai mobil, pesawat, dan lain lain. Bila keinginan tercapai
maka akan berubah menjadi sesuatu yang “biasa”, tidak ada rasa kepuasan
pada keinginan itu. Selalu saja keinginan manusia itu ingin lebih dari apa
yang sudah di dapatnya secara materil. Dan keinginan manusia akan
dipuaskan secara hakiki di alam sesudah dunia ini.
8. Keyakinan tentang hari akhir adalah konsekuensi logis dari keyakinan
tentang adanya Allah.
Jika anda beriman kepada Allah, tentu anda beriman dengan segala sifat-
sifat Allah, termasuk sifat Allah Maha Adil. Kalau tidak ada kehidupan lain
di akhirat, bisakah keadilan Allah itu terlaksana? Bukankah tidak semua
penjahat menanggung akibat kejahatannya di dunia ini? Bukankah tidak
semua orang yang berbuat baik merasakan hasil kebaikannya?. Bila anda
menonton film, ceritanya belum selesai tiba-tiba saja dilayar tertulis
kalimat “Tamat”, bagaimana komentar anda? Oleh sebab itu, iman anda
dengan Allah menyebabkan anda beriman dengan adanya alam lain
sesudah alam dunia ini yaitu Hari Akhir.

3. Fungsi Aqidah
Aqidah adalah dasar, fondasi untuk mendirikan bangunan. Semakin tinggi
bangunan yang akan didirikan harus semakin kokoh pula fondasi yang
dibuat. Kalau fondasinya lemah bangunan itu akan cepat ambruk. Tidak
ada bangunan tanpa fondasi.[10]
Kalau ajaran Islam kita bagi dalam sistimatika Aqidah Ibadah Akhlak dan
Mu’amalat, atau Aqidah Syari’ah dan Akhlak, atau Iman Islam dan Ihsan,
maka ketiga/keempat aspek tersebut tidak bisa dipisahkan sama sekali.
Satu sama lain saling terkait. Seseorang yang memiliki aqidah yang kuat,
pasti akan melaksanakan ibadah dengan tertib, memiliki akhlak yang mulia
dan bermu’amalat dengan baik. Ibadah seseorang tidak akan diterima oleh
Allah swt kalau tidak dilandasi dengan aqidah. Misalnya orang nonmuslim
memberi beras kepada seorang yang miskin, amal ibadah orang itu nilainya
NOL di hadapan Allah, Allah tidak menerima ibadahnya karena orang itu
tidak punya landasan aqidah.
Seseorang bisa saja merekayasa untuk terhindar dari kewajiban formal,
misalnya zakat, tapi dia tidak akan bisa menghindar dari aqidah. Misalnya,
aqidah mewajibkan orang percaya bahwa Tuhan itu cuma satu yaitu Allah,
orang yang menuhankan Allah dan sesuatu yang lain [uang misalnya] maka
akan kelihatan nanti, tidak bisa ditutup-tutupi, tidak bisa direkayasa. Entah
dari bicaranya yang seolah-olah uang telah membantu hidupnya, tanpa
uang dia tidak akan nisa hidup, atau dari perilakunya yang satu minggu
sekali datang ke pohon besar dan berdoa disitu.
Itulah sebabnya kenapa Rasulullah SAW selama 13 tahun periode Mekah
memusatkan dakwahnya untuk membangun aqidah yang benar dan kokoh.
Sehingga bangunan Islam dengan mudah berdiri di periode Madinah.
Dalam dunia nyatapun ternyata modal untuk membangun sebuah
bangunan itu lebih besar tertanam di fondasi.
Jadi aqidah berfungsi sebagai ruh dari kehidupan agama, tanpa ruh/aqidah
maka syari’at/jasad kita tidak ada guna apa-apa.

E. ALIRAN AKIDAH ISLAM


Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih + 120 H.pada abad permulaan kedua
hijriah di kota Basyrah dan mampu bertahan sampai sekarang, karena
paham ini mampu menyusup ke dalam masyarakat Islam di Barat dan di
Timur bahkan sampai ke Indonesia.
Pokok-pokok pendirian mu’tazillah setiap orang yang memeluk aliran
mu’tazillah diharusan untuk memegang kepada lima ajaran :

a. Tauhid (Ke-Esaan)
b. Al-Adlu (Keadilan )
c. Wal-wal Wa’id (Janji dan Acaman)
d. Al-Manzilah Bainal Manziladaini (tempat diantara dua)
e. Amar Ma’rup Nahi Munkar (Menyuruh krbaikan dan melarang
kejelekan)

Ahli sunnah dan jama’ah ini kelihatannya timbul sebagaireaksi terhadap


paham-paham glongan mu’tazilah yang telah dijelaskan sebelumnya dan
terhadap sikap mereka dalam menyiarkan ajaran-ajaran itu. Aliran ini
terdiri dari beberapa ajaran, diantaranya :
1. Ajaran-Jaran Al-asy’ariyah
2. Ajaran Maturi

Anda mungkin juga menyukai