Anda di halaman 1dari 32

KEHIDUPAN MASYARAKAT INDONESIA PASCAKOLONIAL DALAM

NOVEL SALAH ASUHAN

Disusun oleh:
Okky Saputra (20201244003)
Tansyah Bagas Ramadhani (20201244013)
Dhakiyatul Fikriyah (20201244021)
Tegar Bentar Prayoga (20201244024)
Fithriyah Fajar R (20201244030)
Dyah Ayu Noor Afifah (20201244032)
Maria Novena Elsandika (20201244035)

PENDAHULUAN

Novel merupakan salah satu karya sastra yang cukup bahkan sangat
digemari oleh masyarakat. Adapun jenis novel dibagi menjadi dua jenis, yaitu
berupa fiksi dan non fiksi. Novel berjenis non fiksi menceritakan tentang kehidupan
seseorang bersama orang di sekelilingnya dengan menunjukkan sifat dan watak dari
pelaku atau tokoh masing-masing di dalamnya. Seiring berjalannya waktu, dalam
penggunaanya, novel dapat dijadikan sebagai media pembelajaran dalam aspek
akademik. Hal itu disebabkan karena cerita dari novel dapat memberikan pelajaran
atau nilai-nilai kehidupan bagi pembaca. Novel sendiri secara tersirat dapat
memberikan manfaat berupa pengalaman hidup, motivasi, moral, dan lainnya
melalui kata demi kata yang tertulis di setiap halamannya. Maka dari itu, novel lebih
dapat menguatkan dan memberi pelajaran dibandingkan karya sastra lainnya.

Novel berjudul Salah Asuhan karya Abdul Moeis ini bercerita tentang
seorang laki-laki keturunan asli pribumi/bumiputra bernama Hanafi dan soerang
wanita keturunan Indo-Prancis yang tinggal di tanah Minangkabau, Solok tepatnya,
bernama Corrie du Bussee. Dahulunya mereka bersahabat, tetapi lama-kelamaan
perasaan Hanafi tumbuh menjadi cinta pada seorang kekasih. Tetapi hubungan
keduanya tidak direstui karena masalah perbedaan adat yang tidak dapat
dipertemukan. Corrie pun pergi meninggalkan Hanafi dengan pergi menjauh dari
Hanafi ke Betawi. Pada saat itu, ibu Hanafi menjodohkannya dengan Rapiah, anak
mamaknya dengan tujuan balas budi. Hal itu disebabkan karena ketika Hanafi
bersekolah, semua biaya ditanggung mamaknya yaitu Sutan Batuah. Akhirnya
Hanafi menikah dengan Rapiah tanpa rasa cinta hanya kewajiban saja. Kehidupan
pernikahan mereka tidak harmonis sampai lahirlah Syafei putera mereka, tetap saja
Hanafi memperlakukan Rapiah semena-mena seperti babu. Hingga sesuatu terjadi,
Hanafi digigit anjing dan harus melakukan pengobatan ke Betawi. Ia memanfaatkan
kesempatan itu untuk bertemu kembali dengan Corrie, cinta sejatinya dan tinggal
di Betawi. Kemudian Hanafi memutuskan untuk menceraikan Rapiah dan menikahi
Corrie dengan melakukan perpindahan kebangsaan. Hanafi berubah nama menjadi
Christiaan Han. Pernikahan dan perceraian itu diketahui keluarga dan kerabat
Hanafi di Minangkabau. Alih-alih pernikahan Hanafi dengan Corri berjalan
harmonis, justru malah menghidupkan bara api. Hanafi menuding Corrie
berselingkuh tapi Corrie tidak terima atas itu. Lalu ia memilih untuk bercerai
dengan Hanafi lalu meninggalkan Hanafi pergi ke Semarang. Hanafi menyusul
Corrie ke Semarang, tetapi Corrie tetap bersikukuh dengan pendiriannya untuk
bercerai. Tidak lama kemudian, Corrie dinyatakan meninggal karena penyakit
kolera kronis yang dideritanya. Hanafi menyesal dan kembali sakit seperti ketika
Corrie pergi meninggalkannya ke Betawi dulu. Jiwanya terguncang lalu ia bunuh
diri dengan meminum racun sublimat. Meskipun Hanafi sudah bukan bangsa
pribumi/bumiptra, melalui kesekapakan ibu dan mamaknya, Hanafi dimakamkan di
pemakan orang kampung.

Dari novel ini, Corrie mengajarkan “di mana bumi di pijak, di sana langir
dijunjung”. Dimanapun kita berada, kita harus menghormati adat dan peraturan
yang ada dan berlaku. Tetapi disamping itu, novel ini juga mengangkat tentang
kesombongan bangsa yang berlaku pada kaum Belanda terhadap golongan
pribumi/bumiputra. Hanafi yang semasa pendidikannya bersekolah di sekolah
Belanda ditambah jatuh cintanya dengan Corrie seorang keturunan Indo-Prancis
semakin mencerminkan sikap bukan pribumi. Seperti dibutakan oleh cinta, Hanafi
tidak memikirkan efek samping dan dampak dari perbedaan adat jika ia menikah
dengan seorang keturunan bukan pribumi. Novel ‘Salah Asuhan’ juga mengangkat
konflik pertentangan budaya yang secara khusus diperankan oleh Hanafi yang
menentang kebudayaan sebagai seorang pribumi.

Salah Asuhan menarik perhatian kami karena ceritanya yang khas dengan
kehidupan jaman dahulu dan topik yang diangkat juga mencerminkan kondisi serta
hiruk pikuk yang terjadi ketika adanya adat yang berbeda di satu wilayah, yaitu
antara pribumi/bumiputra dengan bangsa Barat. Permasalahan mengenai adat
istiadat, pernikahan lintas budaya yang berlaku keras pada jaman itu menjadi
konflik utama di kehidupan yang berlangsung. Yang mana pada saat ini, adat
istiadat tidak brlaku sekeras jaman novel ini diciptakan. Selain tentang lintas
budaya, yang menarik dari novel ini adalah masalah diskrimansi bangsa Belanda
terhadap bangsa yang mereka tinggali yaitu bangsa pribumi/bumiputra. Disamping
nilai-nilai yang tercermin, novel ini tidak terlepas dari sarana dan unsur
pembangunnya. Terlihat dari judul dan tema di setiap subnya yang saling
berkesinambungan membentuk konflik dan jalannya cerita. Sarana dalam novel ini
seperti judul, tema, latar, gaya dan tone, dan sudut pandang yang saling mendukung
jalannya cerita dan tersiratnya nilai-nilai yang ada.

FAKTA, SARANA, DAN TEMA NOVEL SALAH ASUHAN

Penyusunan novel harus melibatkan unsur-unsur pembangun agar cerita


tersebut memiliki makna. Novel Salah Asuhan juga memiliki bagian-bagian yang
saling berkaitan guna menciptakan keselarasan dalam novenl tersebut. Unsur
pembangun yang ada dalam novel ini seperti, fakta, sarana, dan tema pada novel.

A. FAKTA CERITA DALAM NOVEL SALAH ASUHAN


Pada bagian ini akan dijelaskan alur, tokoh, dan latar. Alur adalah rangkaian
peristiwa yang direkam dan dijalin sedemikian rupa sehingga menggerakkan jalan
cerita, dari awal, tengah, hingga mencapai klimaks dan akhir cerita. Kemudian ada
tokoh, yaitu pelaku atau aktor yang mengalami peristiwa dan persoalan-persoalan
dalam cerita atau rekaan sehingga peristiwa itu dapat menjadi suatu cerita yang
menarik. Sedangkan latar cerita atau tumpu atau yang juga disebut setting cerita
merupakan gambaran tempat kejadian yang ada di dalam cerita atau karya sastra.
Pada bagian ini hanya dijelaskan ketiga struktur ini karena alur, tokoh dan latar
sangat penting dan sifatnya sebagai unsur inti dalam novel.

1. Alur

Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2019:167), mengemukakan bahwa


plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu
hanya dihubungkan secara sebab akibat peristiwa yang satu disebabkan
atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Sementara itu,
Nurgiyantoro (2002:113) dalam buku Teori Pengkajian Fiksi Alur
merupakan struktur peristiwa-peristiwa, yaitu sebagaimana yang terlihat
dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa tersebut untuk
mencapai efek artistik tertentu. Pertstiwa-peristiwa cerita (alur)
dimanifestasikan lewat perbuatan, tingkah laku dan sikap tokoh-tokoh
utama cerita. Di sisi lain, alur adalah perjalanan hidup tokoh cerita yang
telah dikreasikan sedemikian rupa sehingga tampak menarik serta mampu
memancing munculnya daya suspense dan surprise (Nurgiyantoro,
2019:427)
Berdasarkan waktu, alur yang digunakan pada novel Salah Asuhan
karya Abdoel Moeis adalah alur maju, yang dimana penulis menceritakan
kisah hidup Hanafi mulai ia baru kenal dan bersahabat dengan gadis Eropa
sampai ia menikah dengan gadis lain bernama Rapiah yang dijodohkan oleh
ibunya, kemudian ia bercerai dengan Rapiah, lalu menikah dengan Corrie si
gadis Eropa yang pada akhirnya meninggal. Bagi Saya yang menarik dalam
novel ini adalah setelah Corrie meninggal, sosok tokoh utama dalam novel
ini (Hanafi) diceritakan juga sampai meninggal yang dikarenanakan bunuh
diri.
Pada novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis menggunakan jenis
alur linear. Alur linear adalah rangkaian peristiwa dalam cerita yang susul-
menyusul secara temporal yang mana pada novel Salah Asuhan karya
Abdoel Moeis dibuktikan pada “Dua tahun sudah berjalan, setelah jadi
perundingan Hanafi dengan ibunya tentang beristri itu. Sebelum ia
membenarkan kata ibunya, iapun sudah dinikahkan dengan Rapiah.”
Tahap pengenalan latar cerita pada novel tersebut terdapat pada awal
bab 1-3, terlihat pada kutipan berikut ini yang memperkenalkan tokoh
Corrie seorang gadis bangsa Barat yang amat cantik parasnya dan Corrie
juga merupakan gadis yang mudah bergaul. Disamping itu juga ada
perkenalan tokoh Hanafi adalah seorang tokoh laki-laki golongan
Bumuputra yang masuk pada golongan bangsa Eropa serta Perkenalan
tokoh Tuan du Bussee ayah Corrie, seorang Prancis yang sudah pensiun dari
jabatan arsitek. Tahap konflik pada novel ini dimulai pada saat Corrie
menolak cinta Hanafi dan Hanafi terpaksa menikah dengan Rafiah. Tahap
komplikasi mulai muncul pada saat Hanafi menikah dengan Corrie, lalu
kemudian berkembang ketika dalam pernikahan tersebut terjadi perselisihan
akibat ketersisihan mereka dari pergaulan. Tahap klimaks terjadi saat
Corrie meninggal dunia, yang mana pada saat itu Hanafi datang ke rumah
sakit dan ia pun melihat Corrie yang sedang berbaring di atas tempat
tidurnya. Tahap peleraian terlihat pada saat Hanafi memutuskan untuk
pulang kembali ke kampung halamannya. Tahap penyelesaian pada saat
Hanafi menyadari bahwa sikapnya selama ini adalah keliru dan berpesan
kepada ibunya agar memelihara anaknya supaya tidak tersesat seperti dia.
Namun, karena dia merasa sangat kehilangan Corrie dan Hanafi tidak dapat
hidup tanpanya, akhirnya dia bunuh diri.

2. Tokoh
Tokoh merupakan unsur intrinsik novel yang sangat penting dalam
novel. Tokoh sebagai unsur intrinsik novel adalah orang atau karakter yang
ditampilkan dalam novel. Oleh pembaca, tokoh sebagai unsur intrinsik
novel ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu
seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dari
tindakan yang diceritakan.
Menurut Nurgiyantoro (2000), pengertian tokoh dapat dimaknai
sebagai seseorang atau sekelompok orang yang ditampilkan dalam suatu
karya naratif dimana para pembaca dapat melihat sebuah kecenderungan
yang diekspresikan baik melalui ucapan maupun tindakan. Nurgiyantoro
(2000) juga menambahkan bahwa berdasarkan tingkat perannya, tokoh
dapat dibagi menjadi dua: tokoh tambahan dan tokoh utama. Tokoh utama
adalah tokoh yang paling diprioritaskan dalam sebuah cerita, seperti pada
novel atau karya lainnya. Sedangkan tokoh tambahan bisa disebut sebagai
tokoh pembantu yang bertugas untuk membantu peran tokoh utama. Selain
itu, tokoh tambahan hanya muncul pada suatu kejadian yang berkaitan
dengan peran yang dilakukan oleh tokoh utama.
Menurut Aminudin dalam Siswanto (2002:142) tokoh adalah pelaku yang
mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu
menjalin suatu cerita.
Dalam novel yang berjudul Salah Asuhan karya Abdoel Moeis ini
terdapat beberapa tokoh yang mempengaruhi jalannya cerita secara
keseluruhan yaitu Hanafi, Corrie du Bussee, Rapiah, Tuan du Bussee (Ayah
Corrie), dan Mariam (Ibu Hanafi).
Tokoh yang pertama adalah Hanafi. Ia adalah seorang pribumi yang
lahir di Solok, Melayu. Hanafi memiliki sifat sombong, keras kepala,
emosional dan tidak memperlakukan Ibunya dengan sopan. Walaupun ia
memiliki sifat yang buruk tetapi ia bisa digolongkan sebagai anak yang
cerdas. Hanafi bahkan bersekolah di Hogere Burgerschool, sebuah sekolah
yang dikhususkan bagi orang Belanda, Eropa, Tionghoa dan pribumi yang
elit saja. Biaya sekolahnya dari kerja keras Ibunya dibantu oleh Pamannya.
Hanafi dalam novel ini dikisahkan jatuh cinta kepada Corrie, tapi cintanya
ditolak karena ia seorang pribumi.
Kedua ada Corrie de Bussee. Corrie adalah seorang gadis Indonesia-
Belanda yang lahir dari keluarga terpandang dan kaya. Corrie adalah gadis
yang cantik, sopan, ramah dan mudah bergaul sehingga ia banyak disenangi
oleh teman-temannya. Ia hanya tinggal bersama ayahnya di Solok, Ibunya
yang merupakan orang pribumi sudah meninggal ketika Corrie masih kecil.
Corrie juga memiliki sifat keras kepala seperti Hanafi. “Lihatlah, aku ini
keras kepala sama dengan engkau. Lain daripada itu aku mengaku, bahwa
hatiku tidak tetap, sebentar begini, sebentar begitu.” Halaman 172.
Selanjutnya dalam novel ini ada tokoh bernama Rapiah. Ia adalah
gadis pribumi yang menikah dengan Hanafi karena perjodohan. Rapiah
adalah anak dari Paman yang membantu membiayai sekolah Hanafi. Rapiah
ini memiliki watak sabar dan setia. Hal ini dibuktikan dengan cara ia
menanggapi perlakuan Hanafi yang kasar dan suka marah-marah. Ia tidak
pernah membalas setiap perbuatan Hanafi yang menyakiti hatinya. Bahkan
ketika ia dikhianati oleh Hanafi, ia tidak marah sedikitpun dan justru malah
setia menunggu Hanafi untuk kembali.
Berikutnya adalah Tuan de Busse. Ia adalah ayah dari Corrie. Tuan
de Busse ini memiliki sifat sopan dan ramah. Ia menghormati budaya orang
Timur walaupun ia adalah orang Barat. Di usianya yang tidak muda lagi, ia
habiskan untuk berburu di hutan. Tuan de Bussee sangat menyayangi
anaknya, bahkan hidupnya hanya diberikan untuk anak satu-satunya itu.

Tokoh yang selanjutnya adalah Mariam. Ia adalah Ibu dari Hanafi.


Mariam sangat sayang dengan anaknya itu walaupun kelakuan anaknya
yang sangat tidak sopan dengan Ibunya. Ia juga orang yang pemaaf, ia selalu
memaafkan setiap kesalahan yang Hanafi perbuat.

3. Latar
Menurut Burhan Nurgiyantoro dalam Teori Pengkajian Sastra
(2009:23), unsur instrinsik didefinisikan sebagai penyusun karya yang
identitasnya terdapat dalam karya itu sendiri. Baik secara jelas (eksplisit),
maupun tidak (implisit), biasanya pembaca dapat mengetahui unsur-unsur
tersebut setelah membaca tulisan terlebih dahulu. Di antara beberapa unsur
ini, terdapat salah satu pembangun yang disebut latar. Latar dibagi menjadi
tiga jenis, yaitu latar waktu, suasana, dan tempat. Ketiganya memiliki peran
masing-masing dalam menggambarkan kondisi tokoh, lingkungan atau
kejadian, dan kapan peristiwa itu berlangsung. Secara garis besar deskripsi
latar fiksi dapat dikategorikan dalam tiga bagian, yakni latar tempat, latar
waktu, dan latar sosial. Latar tempat adalah hal yang berkaitan dengan
masalah geografis latar waktu berkaitan dengan masalah historis, dan latar
sosial berkaitan dengan kehidupan kemasyarakatan.
Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2010: 216), latar atau setting
adalah landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu,
dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan.
Latar dalam novel ini cukup banyak, terutama pada latar tempat.
Yang dimana banyak sekali nama-nama kota namun latar tempat yang
mendominasi hanya empat kota saja. Yang menjadi daya tarik dari novel ini
juga adalah karaktertisik tiap tokohnya dan juga latar sosialnya, pembaca
dapat ikut merasakan bagaimana peristiwa yang terjadi dalam novel Salah
Asuhan ini.
Latar tempat, terdapat beberapa kota yang menjadi latar tempat
didalam novel Salah Asuhan ini. Di antaranya ada kota Solok, Koto, Anau,
Bonjol, Padang, Batavia, atau Betawi, Probolinggo, Bandung, Surabaya,
dan Semarang. Namun latar tempat yang paling mendominasi adalah
Batavia, Semarang, dan Solok. Kemudian ada lapangan tennis yang sangat
terlihat jelas ketika dibaca yaitu terdapat pada halaman pertama yang
kutipannya sebagai berikut “Tempat bermain tennis, yang dilindungi oleh
pohon-pohon kelepa disekitarnya, masih sunyi”. Setelah itu di daerah
Minangkabau “Sesungguhnya ibunya orang kampung dan selamanya
tinggal di kampung saja tapi sebab kasihan kepada anak ditinggalkannyalah
rumah gedang di kota Anau dan tinggallah ia bersama-sama dengan Hanafi
di Solok!”. Latar tempat selanjutnya yaitu kota Betawi terlihat pada kutipan
berikut “dari kecil Hanafi sudah di sekolahkan di Betawi”. Selanjutnya ada
kota Semarang, kami menggolongkan Semarang sebagai latar tempat yang
juga mendominasi karena Semarang merupakan tempat Corrie (tokoh
utama) mengakhiri kehidupannya akibat penyakit kolera. Kalimat yang
menunjukan latar tempatnya di semarang adalah “demikian bahwa Corrie
sudah berangkat Seketika itu ia berkata hendak menurutkan ke semarang”.
Kemudian ada kota Surabaya “di surabaya mereka menumpang semalam di
suatu pansion kecil, mengaku nama Tuan dan Nona Han”.
Latar waktu, pada novel Salah Asuhan, Abdul Muis tidak
menunjukkan angka tahun sebagai latar waktu penceritaan. namun, latar
waktu dalam novel ini dapat diketahui dari hal-hal berikut:
Pada halaman 293 terdapat dialog orang belanda yang menyatakan
kebenciannya pada anak bumiputera yang menikmati ethische politiek atau
politik etis. Adapun politik etis adalah suatu kebijaksanaan penting yang
dicanangkan tahun 1901.
Pada halaman 51 terdapat istilah “Deca Park”. Deca Park merupakan
sebuah bioskop yang berada di Jakarta. Terdapat pula keterangan lain
mengenai Deca Park bahwa menjelang tahun 1920-an mulai terjadi
penggolongan bioskop ke dalam kelas-kelas, sehingga ada bioskop untuk
orang eropa saja seperti Concordia di Bandung serta Deca Park di Jakarta.
Berdasarakan dua keterangan tersebut kami dapat memberi
kesimpulan bahwa latar waktu dalam novel Salah Asuhan ini berlangsung
sekitar setelah tahun 1920-an.
Latar Sosial, latar sosial menuju pada hal-hal yang berhubungan
dengan perilaku sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam
karya fiksi. Latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi,
keyainan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain.
Beberapa latar sosial yang menurut kami termasuk dalam novel Salah
Asuhan ini.
Yang pertama masyarakat memiliki pandangan negatif terhadap
perkawinan antara Bangsa Belanda dengan Bangsa Melayu, kemudian
diskriminasi dari bangsa belanda terhapat pribumi, setelah itu masyarakat
juga menjunjung tinggi adat istiadat, dan mereka menanmkan prisip dalam
hidupnya “di mana bumi berpijak, di situ langit menjunjung”. Tokoh Hanafi
sangatlah berlainan dengan masyarakat di sekitarnya, baik saat ia berada di
lingkungan bangsa Melayu maupun maupun saat ia berada di tengah bangsa
Belanda. Hal itu lah yang telah membuat Hanafi berkonflik dengan
masyarakat.

B. SARANA-SARANA SASTRA DALAM NOVEL SALAH ASUHAN

Stanton dalam buku Teori Pengkajian Fiksi membedakan unsur


pembangunan sebuah novel ke dalam tiga bagian: fakta, tema dan sarana
(Nurgiyantoro, 2019:31). Pada bagian ini yang akan menjadi titik focus ialah
tentang sarana atau unsur yang membangun cerita dalam novel “Salah Asuhan”.

Sarana sastra sendiri adalah adalah teknik yang dipergunakan dalam


menyusun detail cerita agar dapat menjadi pola yang bermakna. Sarana sastra yang
akan dibahas pada tulisan ini meliputi judul, sudut pandang, serta gaya dan nada
yang terkandung dalam novel tersebut. Walaupun sering dikatakan serupa tapi
sarana dan fakta sebenarnya berbeda. Fakta cerita merupakan detail-detail yang
diceritakan dalam novel, sedangkan sarana merupakan teknik menyusun detail
dalam fakta agar dapat terlihat dan bermakna. Oleh karena itu, sarana sangat penting
untuk menggambarkan dan menafsirkan makna fakta yang hendak disampaikan
pengarang.

1. JUDUL
Menurut KBBI judul berarti nama yang dipakai untuk buku atau bab
dalam buku yang dapat menyiratkan secara pendek isi atau maksud buku
atau bab itu. Pengertian ini sejalan dengan pendapat dari Sayuti bahwa judul
adalah elemen lapisan luar suatu fiksi sehingga ia merupakan elemen yang
mudah dikenali pembaca (Kurniawan,2020:48).
Judul adalah perincian atau penjabaran singkat dari topik suatu puisi.
Judul berfungsi untuk menggambarkan hal yang lebih spesifiik dari acuan
tersebut. Biasanya judul juga digunakan sebagai batas topik drai naskah
yang dibuat. Judul merupakan sebuah nama yang dipakai untuk buku, bab
dalam buku, kepala berita, dan lain-lain, identitas atau cermin dari jiwa
seluruh karya tulis, bersifat menjelaskan diri dan menarik perhatian dan
adakalanya menentukan wilayah (lokasi). Dalam artikel judul sering disebut
juga kepala tulisan. Ada juga yang mendefinisikan judul sebagai lukisan
susatu artikel atau juga disebut miniatur isi bahasa.
Novel Salah Asuhan merupakan novel terbitan Balai Pustaka karya
Abdoel Moeis yang terbit pada masa Hindia Belanda. Penggambaran dunia
pada noven Salah Asuhan menggunakan latar pada masa itu. Abdoel Moeis
memilih menggunakan judul tersebut karena ia ingin menggambarkan
kondisi yang terjadi pascakolonial yang membuat terjadinya kesenjangan
pada masa itu.
“Perbedaan itu sungguh ada, Corrie, dan sungguh besar
sekali. Sebabnya tiada lain, karena penyakit ‘kesombongan
bangsa’ itu juga. Orang Barat dating kemari, dengan pengetahuan
dan perasaan, bahwa ialah yang dipertuan bagi orang di sini. Jika
ia datang ke negeri ini dengan tidak membawa nyonya sebangsa
dengan dia, tidak dipandang terlalu hina, bila ia mengambil ‘nyai’
dari sini. (halaman 17)
Judul Salah Asuhan ini dapat dipahami sebagai kesalahan Tindakan
pada saat membesarkan anak. Abdoel Moeis menggambarkan Hanafi
sebagai tokoh utama yang kehilangan rasa bangga terhadap bangsanya
sendiri karena terlalu meninggikan bangsa Barat. Pada awal kisah dijelaskan
bahwa Hanafi sejak kecil terpisah dari keluarganya dan hidup di keluarga
Belanda. Hal ini dapat menjadi bukti bahwa judul ini menekankan pada
proses pola asuh anak yang mengembangkan pemikiran dan sikap anak.
Terdapat kalimat penguat yang seperti menjelaskan judul ini.

“Fiil itu mudah berubah, Bu, asal tidak salah asuhan. Hanafi
sungguh berfiil buruk, tapi hatinya lurus. Itulah yang
menyenangkan hatiku terhadap kepada anaknya ini. Asal ia diasuh
baik, insya Allah, Syafei akan menjadi tempat kita bergantung di
hari kemudian.” (halaman 246)

Oleh karena itu, judul Salah Asuhan dipilih untuk menggambarkan


kondisi pancakolonial dan bagaimana budaya saat itu berkembang.
Bagaimana kebudayaan dan dan pemikiran dilambangkan dengan tindakan
tokoh Hanafi, sedangkan judul di sini seperti dimensi dunia yang diciptakan
pengarang untuk melambangkan fenomena tersebut.

2. Sudut Pandang

Point of view atau yang lebih dikenal dengan sudut pandang adalah
cara atau pandangan yang digunakan penulis sebagai salah satu sarana untuk
menyajikan ceritanya (Nurgiyantoro, 2019:338). Secara lebih spesifik sudut
pandang dapat diartikan sebagai bagaimana cara pandang atau dari
kacamata mana yang dipakai penulis dalam mendeskripsikan dan
menjelaskan ceritanya. Hal ini sejalan dengan pendapat yang disampaikan
Baldic (Nurgiyantoro,2019:388), yaitu sudut pandang adalah posisi atau
sudut mana yang menguntungkan untuk menyampaikan kepada pembaca
terhadap peristiwa dan cerita yang diamati dan dikisahkan.
Sudut pandang merupakan salah satu dari unsur fiksi yang harus ada
pada sebuah cerita. Genette (1980:244; Nurgiyantoro, 2019:341)
berpendapat bahwa sebelum seorang pengarang menulis cerita ia harus
memutuskan untuk memilih sudut pandang tertentu. Ia harus telah
mengambil sikap naratif, antara mengemukakan cerita yang dikisahkan oleh
seorang tokohnya, atau oleh seorang narrator yang ada di luar cerita itu.
Akan tetapi, kita perlu menimbang pemilihan sudut pandang baik-baik agar
hasilnya dapat sesuai seperti yang diharapkan.
Abdoel Moeis dalam novel Salah Asuhan memilih untuk
menampilkan cerita-ceritanya menggunakan sudut pandang orang ketiga.
Sudut pandang orang ketiga yaitu gaya pengisahan yang menampilkan
tokoh “dia” yang diceritakan dari sudut pandang orang lain. Pada novel ini
terdapat banyak highlight pada kata “dia” dan nama dari masing-masing
tokoh yang dinarasikan oleh pengarang.

Sedang berkata demikian, Hanafi bersungut sambil


membuka sehelai surat kabar, yang terletak di atas meja, seolah-
olah hendak membaca.

Corrie meraba tangannya yang sedang menggenggam surat


kabar itu dan dengan senyum yang amat manis, yang menimbulkan
cawak pada pipi kirinya, berkatalah ia, “Hai, Hanafi! Apakah
engkau hendak menunjukan, bahwa surat kabar ini itu lebih
mengikat hatimu daripada keadaanku di sini?” (halaman 5)

Untuk lebih spesifik lagi, novel ini menggunakan sudut pandang


orang ketiga serba tahu. Sudut pandang orang ketiga serba tahu
menitiberatkan pada sikap penulis yang seolah tahu segalanya, bahkan
sampai ke ke pikiran para tokoh. Pengarang berusaha menciptakan kisah
yang fokus pada kehidupan tokoh “dia”. Lalu, pengarang sendiri bertindak
seolah-olah mereka berperan sebagai narrator atau sutradara yang
mengarahkan bagaimana cerita berjalan.

Guna-guna? Oh, mustahil! Corrie tidak percaya serambut jua


pada guna-guna. Hanya diketahuinya ‘kelemahan’ hatinya, bila
berdekat jua dengan Hanafi. Oleh karena itu tetaplah ia hendak
menjauhi orang itu, sekarang jua. Sehari melalaikan berarti
menambah bahaya baginya akan terjerumus ke dalam jurang; akan
‘tersesat’ atau ‘membuang diri’. Maka dengan segera bangkitlah ia
dari berbaring, lalu mendapatkan meja kecil yang ada dalam
kamar; di situ selamanya adalah tersedia kalam dan tinta. Dengan
hati yang tetap, ditulisnya sehelai surat kepada Hanafi. Maksudnya
hendak menulis dengan pendek, tapi dengan tidak sengaja, kalam
itu sudah menari ketempat yang bukan-bukan sudah menyatakan
kesedihan hati yang tidak berhingga, dan sudah pula memberi
harapan buat di masa yang akan datang! … (halaman 58)

Pemberian sudut pandang orang ketiga serba tahu memberikan


warna tersendiri pada novel ini. Tidak seperti sudut pandang manusia yang
memposisikan para pembaca sebagai tokohnya dan cenderung bersifat lebih
intim, sudut pandang jenis orang ketiga lebih menekankan pada
penggambaran dunia novel secara keseluruhan. Pembaca seperti diajak
melihat dunia yang dihuni Hanafi dan tokoh lainnya namun pembaca tidak
dapat terlalu masuk ke dunia itu karena ada batasan yang diberikan. Saat
menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu ini, penulis dapat
menggambarkan berbagai peristiwa dan peran tokoh secara lebih jelas.

Di tengah jalan mereka bersenda gurau, seolah-olah tak


adalah yang terjadi antara mereka karena pada masa yang
terlampau. Corrie berkata, bahwa ia sangat senang, bila Hanafi
setiap petang pukul setengah lima, suka menjemputnya ke
Salemba, mengantarkan ke tempat belajar piano di Gang Pasar
Baru; dan pukul tujuh suka pula mengantarkannya ke Salemba.
… “Ya, jika engkau buat menetap di Betawi, tentu boleh
membeli kereta angin, tapi antara beberapa hari engkau sudah
mesti kembali ke Solok.”
Hanafi tidak menyahut dengan seketika. Apa yang
dipikirkannya pada saat itu tiadalah hendak dibukanya kepada
Corrie. (halaman 124)

Abdoel Moeis menggambarkan novel begitu indah dengan


menggunakan sudut pandang orang ketiga. Apabila sudut pandang lain yang
digunakan pasti akan terasa perbedaan suasana yang ditimbulkan.
Penggunaan sudut pandang ini membuat pembaca seakan-akan melihat suatu
peristiwa yang terjadi pada setiap tokohnya. Jika sudut pandang orang
pertama yang digunakaan maka rasanya pun akan berubah menjadi lebih ke
individual karena akan berpusat pada salah satu tokoh saja.

Menyesalkan ia, bahwa ia sudah menyerahkan untungnya ke


tangan laki-laki itu? Susahlah Corrie akan menyahuti pertanyaan
itu dalam hatinya. Hanya yang diketahuinya, bahwa ia sebagai
…setengah terpaksa menerima Hanafi jadi suaminya, karena
…kasihan! Ya-cinta Corrie kepada Hanafi semata-mata hanya
berdasar kasihan. (halaman 182)
Sementara Corrie menanti di beranda muka, Hanafi pergi ke
kantor rumah makan, lalu minta dua buah kamar buat dia dan buat
‘adiknya’. Maka kembalilah ia ke tempat Corrie menanti, sedang
Corrie berkata pada jongos. bahwa ia menanti makanannya di
kamar saja. (halaman 183)

3. Gaya dan Nada


Bahasa yang digunakan dalam novel Salah Asuhan adalah bahasa
Melayu. Selain itu, dalam novel ini juga terdapat kata-kata dalam bahasa
Belanda, bahasa Padang, dan bahasa Betawi.
“Petang esok, pukul lima, Cor!” ( Halaman 9 ) merupakan
percakapan Bahasa Melayu yang mempunyai arti “ besok jam 5 sore.”
Kemudian pada kalimat “Had je me maar!” ( Halaman 6 )
merupakan bahasa Belanda yang memiliki arti “andai saja kau milik saya.”
Kalimat “Tidak, hanya … engkau bujang, aku gadis, sesama
manusia…” ( Halaman 2 ) Bujang disini adalah kata kasar yang berasal dari
daerah Minangkabau.
“Sekonyong-konyong mendadak terbayang wajah Tuanku
Damang… “Sekonyong-konyong” ( Halaman 235 ) adalah bahasa Betawi
yang memiliki arti tiba-tiba atau mendadak.
Dalam novel ini terdapat banyak peribahasa dan pantun tentang
nasihat seperti yang sering dituturkan oleh Ibu Hanafi, diantaranya “jika
dikupas, kulit tampak isi.”( Halaman 77) Peribahasa yang memiliki arti
Berusaha menyembunyikan kejahatan yang telah diketahui oleh banyak
orang. “Setinggi-tinggi Melambung, turunnya ke tanah jua” ( Halaman 87 )
Peribahasa yang memiliki arti sejauh-jauhnya merantau akhirnya kembali
ke kampung halaman juga.” “Ya, anakku! Sudahlah lama engkau aku
ampuni. Hal anakmu janganlah engkau risaukan. Mengucaplah, Hanafi.
Kenangkanlah nama Tuhan dan Rosul, supaya lurus jalanmu.” ( Halaman
327 ) Itu adalah pantun nasihat, karena dalam dialog Hanafi dan Ibunya. Ibu
Hanafi sedang menasihati Hanafi.
Jika tidak karena bulan, tidaklah bintang congdong kearah barat.
Jika tidak karena tuan, tidaklah badan sampai melarat.

Pulau Pandan jauh di tengah, di balik Pulau Angsa Dua.


Hancur badan dikandung tanah, budi baik dikenang jua.

Jika nak tahu di rumah raja, lihatlah rumah mangkubumi.


Jika nak tahu diuntung saya, lihatlah ombak membanting diri.

Tinggi asap di Pulau Punjung, orang membakar sarap balai.


Kehendak hati memeluk gunung, apalah daya lengan tak sampai.

Serantih teluknya dalam, batang kapas lubuk tempurung.


Kami ini umpama balam, mata lepas badan terkurung.

Mempelam di Bukit Batu, kecubung di batang Pandan.


Tak baik tuan begitu, kami bergantung digabaikan.

Kecubung di batang pandan, selasih usah berdaun.


Celaka sungguh rupanya badan, awak kasih orang tak santun.

Selasih usah berdaun, berbunga di lereng bukit.


Habis bulan berganti tahun, makin dalam makin penyakit.

Kemarin sampai baunya, dipetik agak setangkai.


Biarlah mati lenyap semuanya, dari hidup bercermin bangkai.
(pantun yang dilantunkan Rapiah pada halaman 106 – 108 )

Di dalam novel ini juga digunakan beberapa majas. Majas sendiri


berfungsi untuk memperindah kebahasan dari puisi. Pada novel ini majas-
majas digunakan untuk menambah keintensitasan suasana yang
digambarkan.
Majas perumpamaan, majas ini adalah jenis gaya bahasa yang
membandingkan sesuatu hal dengan keadaan lainnya oleh karena adanya
persamaan sifat. Dalam pengertian yang lebih sederhana, yang dimaksud
dengan majas perumpamaan adalah maja syang membandingkan dua hal
yang sebenarnya berbeda namun dipersamakan. Dalam novel banyak
terdapat perumpamaan-perumpamaan. Contoh kalimatnya, “Harapkan
burung terbang tinggi,punai di tangan engkau lepaskan.” ( Halaman 80 )
Majas litotes adalah majas yang melukiskan keadaan dengan kata-
kata yang berlawanan artinya dengan kenyataan yang sebenarnya guna
merendahkan diri, padahal maksudnya tinggi. contoh kalimatnya, “ Orang
kampong totok ini.” ( Halaman 300 ) Majas metafora,
Majas Metafora merupakan gaya bahasa yang digunakan sebagai
kiasan yang secara eksplisit mewakili suatu maksud lain berdasarkan
persamaan atau perbandingan.contohnya “Buat orang berpuasa, masih
sedikit hidangan sebegini, Rapiah!” ( Halaman 142 )

C. TEMA DALAM SALAH ASUHAN


Tema merupakan persoalan utama yang diungkapkan oleh seorang
pengarang dalam sebuah karya sastra, seperti cerpen, novel, ataupun suatu karya
tulis. Tema dapat juga dikatakan sebagai suatu gagasan pokok atau ide dalam
mmebuat suatu tulisan. Beberapa sumber mengatakan bahwa tema adalah suatu
amanat yang ingin disampaikan oleh penulis melalui karangannya, hal ini dilihat
juga dari sudut karangannya. Akan tetapi jika dilihat dari segi penulisannya tema
merupakan suatu topik yang dijadikan landasan oleh pengarang dalam
karangannya.
Tema dalam novel Salah Asuhan yaitu terdiri dari beberapa berdasarkan
perspekif yang berbeda-beda. Pertama, tema yang terdapat pada novel tersebut
mengenai pertentangan antara budaya barat dan budaya timur atau Bumiputra.
Bagaimana terdapat perbedaan budaya yang berkembang dan membuat piramida di
dalam kehidupan social. Hierarki ini menciptakan pertentangan dalam bidang
kebudayaan yang dialami pada cerita tersebut. Dalam novel ini, pertentangan
budaya lebih ditekankan pada pernikahan beda bangsa.
“Jika engkau hendak mengetahui juga akan perasaanku, Han,
baiklah kuceritakan. Aku pun turut menyalahi, tapi bukan karena
kebangsaan, oh, aku sekali-kali tidak mementingkan hal
kebangsaanku itu-melainkan karena kasihan kepada engkau
berdua. Hendak kuceritakan hal perkawinan engkau, bukanlah hal
perceraianmu. Bangsaku, demikian juga bangsamu sendiri, sekali-
kali tidak menerima perkawinan serupa itu, dan oleh karena engkau
berdua memaksa melakukannya juga, dengan tidak mengindahkan
perasaan lain, maka mereka menunjukan kemasygulannya, dengan
menyisihkan engkau dari pergaulannya…” (halaman 263)

Kedua, tema dalam novel ini berkisah seputar perbuatan anak pada
orangtuanya. Secara khusus diambil konflik anak yang durhaka terhadap ibunya.
Konflik yang digunakan untuk menggambarkan tema ini dapat terlihat dari
persoalan Hanafi yang meninggalkan istri pilihan ibunya dan bahkan meninggalkan
ibu kandungnya demi menikahi Corrie di Betawi. Akan tetapi, bukan untung yang
didapatnya malah kesialan yang selalu didapatkan Hanafi. Hingga pada akhirnya
dia menyesali perbuatannya dan meninggal dalam penyesalan.

...Dengan bimbang hati mendekatlah ibunya ke kepalanya,


lalu Hanafi berkata dengan suara lemah-lembut, “Ibu... Ampuni
…akan dosa… ku… Syafei pelihara… baik-baik. Jangan …
diturutnya… jejakku….”
“Ya anakku! Sudahlah lama engkau aku ampuni. Hai
anakku janganlah engkau risaukan. Mengucaplah, Hanafi.
Kenanglah nama Tuhan dan Rasul, supaya lurus jalanmu”
Hanafi memandang dengan sedih kepada ibunya, berkata,
“Lailaha illallah. Muhammad dar Rasulullah!”
Dalam berjabat tangan dengan ibunya, melayanglah jiwa
Hanafi. (Halaman 327)

KETERKAITAN ANTAR STRUKTUR DALAM NOVEL SALAH ASUHAN

Setiap novel haruslah saling berkaitan antara unsur satu dengan lainnya.
Keterkaitan antar unsur pasti ada karena tidak mungkin berjalannya suatu cerita
secara padu apabila tidak selarasnya tiap unsur yang membangun. Alur dalam cerita
berfungsi sebagai rangkaian penggambaran cerita, sedangkan tokoh adalah pelaku
yang diceritakan. Keduanya saling berkaitan, dimana alur berperan sebagai
rangkaian peristiwa yang dialami atau dilakukan tokoh. Lalu, tokoh sendiri adalah
pelaku yang menjalankan cerita tersebut. Kedua unsur ini saling berpengaruh dalam
proses membentuk cerita, karena tidak akan ada alur bila tidak adanya pelaku yang
diceritakan dan tokoh tidak akan berguna jika tidak adak ada peristiwa yang ia
lakukan. Pada novel Salah Asuhan alur yang digunakan adalah alur maju,
sedangkan untuk tokohnya ada Hanafi, Corrie, Ibu Hanafi, Rapiah, dan Tuan Du
Bussee. Dengan menggunakan alur maju maka diceritakan kelima tokoh tersebut
dalam menghadapi pertentangan budaya. Dari yang awalnya Tuan Du Bussee
menentang hubungan Corrie dengan bumiputra. Kemudian Corrie memutuskan
untuk pergi ke Betawi dan melupakan Hanafi. Setelah kepergian Corrie Hanafi
menjadi seperti orang gila. Ibu Hanafi yang sedih melihat anaknya itu lalu
menjodohkannya dengan putri dari kakaknya yang bernama Rapiah. Akan tetapi,
pernikahan itu kemudia berakhir saat Hanafi telah bertemu Kembali dengan Corrie
di Betawi. Jadi, sudah dapat terlihat bahwa hubungan keduanya yaitu, penggunaan
alur sebagai cara pengisahan pengarang dalam merangkai peristiwa yang dilakukan
tokoh dalam novel.

Keterkaitan tokoh dan latar. Tokoh yang berperan sebagai pelaku cerita
membutuhkan latar atau setting untuk membantu pengembangan karakter tokoh.
Pada novel ini diceritakan bahwa Hanafi yang mengagungkan budaya barat
memilih tinggal di Solok daripada di kampung halamannya di Minangkabau.
Penggambaran latar tempat disini sebagai bukti tindakan tokoh Hanafi yang enggan
tinggal di daerah yang dianggapnya masih terbelakang itu. Selain itu, tokoh Hanafi
dan Corrie disisihkan dari bangsanya karena mereka memutuskan menikah. Pada
bagian itu latar sosial kebiasaan hidup masa itu dan adat istiadat yang membuat
kedua tokoh mengalami pengembangan karakter menjadi saling mendendam.
Penggunaan latar waktu juga ada pada halaman 51 terdapat istilah “Deca Park”.
Deca Park merupakan sebuah bioskop yang berada di Jakarta. Penggunaan latar
sejatinya digunakan untuk menggambarkan dan menciptakan dunia beserta suasana
bagi para tokohnya. Pemilihan ini disesuaikan dengan tema kisah yang diambil.
Oleh karena itu, tokoh dan latar memiliki hubungan timbal balik agar dapat
tergambarnya suatu situasi dan peristiwa.

Selanjutnya adalah hubungan alur atau plot dengan latar. Alur


menggambarkan urutan cerita, bisa dengan hubungan waktu, kejadian, atau
hubungan dari sebab dan akibat. Sedangkan latar cerita atau tumpu atau yang juga
disebut setting cerita merupakan gambaran tempat kejadian yang ada di dalam
cerita atau karya sastra. Di dalam latar cerita juga memuat bagaimana situasi dan
suasana terjadinya peristiwa. Hubungan alur dengan latar dalam novel salah asuhan
ini saling berkaitan satu sama lain. Alur dalam novel ini yaitu alur maju. Dimulai
dari perkenalan tokoh, misal saja Hanafi yang merupakan bumiputra asal Solok.
Pada tahapan alur ini terdapat latar tempat yaitu Solok. Kemudian ada tahap konflik
dimulai pada saat Corrie menolak cinta Hanafi dan Hanafi terpaksa menikah dengan
Rafiah. Disini terdapat latar suasana sedih yaitu cinta Hanafi ditolak. Tahap alur
selanjutnya adalah klimaks pada saat Hanafi menikah dengan Corrie, lalu kemudian
berkembang ketika dalam pernikahan tersebut terjadi perselisihan akibat
ketersisihan mereka dari pergaulan. Disini dijelaskan latar suasana yang
menegangkan yaitu adanya perselisihan. Selanjutnya tahap peleraian terlihat pada
saat Hanafi memutuskan untuk pulang kembali ke kampung halamannya. Disini
terdapat keterangan latar tempat yaitu kampung halaman Hanafi di Solok. Tahap
selanjutnya adalah tahap penyelesaian pada saat Hanafi menyadari bahwa sikapnya
selama ini adalah keliru dan berpesan kepada ibunya agar memelihara anaknya
supaya tidak tersesat seperti dia. Namun karena dia merasa sangat kehilangan
Corrie dan Hanafi tidak dapat hidup tanpanya, akhirnya dia bunuh diri. Disini
terdapat latar suasana sedih ketika Hanafi merasa sangat kehilangan Corrie. Dari
tahapan alur yang ada dalam novel Salah Asuhan ini bisa dilihat bahwa alur dan
latar itu saling berhubungan. Alur dalam novel ini digambarkan dengan latar.

Hubungan tema dan tokoh. Tema adalah pokok pikiran, ide, atau gagasan
tertentu yang akan melatarbelakangi dan mendorong seseorang menulis
karangannya. Sedangkan tokoh adalah pelaku atau aktor yang mengalami peristiwa
dan persoalan- persoalan dalam cerita atau rekaan sehingga peristiwa itu dapat
menjadi suatu cerita yang menarik. Novel Salah Asuhan ini bertemakan
pertentangan budaya barat dan budaya timur. Tokoh dalam novel ini ada Hanafi,
Corrie, Rapiah dan masih banyak lagi. Tema dan tokoh dalam novel ini memiliki
hubungan yang penting. Tokoh Hanafi diceritakan sebagai bumiputra (budaya
timur) sedangkan Corrie diceritakan sebagai orang Belanda (budaya barat). Jadi
tokoh dalam novel ini menggambarkan tema yang ada.

Pemilihan judul novel Salah Asuhan karya Abdul Moeis ini dapat
berkaitan dengan dengan latar tempat dari novel tersebut. Latar tempat novel
tersebut dua diantaranya adalah HBS (Sekolah Hanafi & Corrie) dan Solok,
Sumatera Utara (Tempat tinggal Hanafi & Ibu). Dimana dari kedua judul tersebut
dapat mencerminkan adanya dua budaya yang bisa dikaitkan dengan judul Salah
Asuhan, tokoh Hanafi yang bertekad untuk mengubah kultur pribuminya diganti
dengan kultur eropa yang mana didapatkannya atau teradaptasi saat dia bersekolah
di HBS dan tempat ia bekerja. Disisi lain jika dilihat dari unsur tokoh, berbagai
nama penting dalam novel ini seperti Hanafi, Corrie, Rafiah dan Mariam (Ibu
Hanafi) sangat berkaitan erat terhadap perjalanan topik serta alur dalam novel ini.
Pemilihan judul Salah Asuhan ini juga dapat dikaitkan dengan alur novel, ketika
Hanafi mulai terdoktrin dengan hasratnya untuk mendapatkan Corrie tanpa
memperhatikan prasaan Rafiah (istri pertama Hanafi) dan Mariam (Ibu Hanafi).
Selain latar dan tokoh, pemilihan judul Salah Asuhan juga dapat dikaitkan dengan
tema utama dari novel ini. Novel Salah Asuhan karya Abdul Moeis ini bertemakan
tentang beberapa hal yang menjadi poin utamanya, diantaranya anak yang durhaka,
pertentangan antara budaya barat dengan budaya timur, pribumi Indonesia yang
kebarat-baratan, pribumi Indonesia yang tidak suka budayanya sendiri dan lelaki
yang keras dan emosional.

Nada pada novel ini tentunya dipengaruhi oleh latar. Pada novel Salah
Asuhan gaya atau nada pada dialog bisa dibilang tidak ada unsur humor sama sekali.
Dibuktikan dengan suasana yang terjadi dalam novel ini, dimulai dengan
diceritakan Hanafi tinggal bersama ibunya dan kemudian Hanafi bersekolah dan
bekerja di budaya eropa tersebut. Dialoog-dialog yang terdapat pada novel ini di
dominasi dengan nada seperti marah ketika Hanafi membentak ibunya, sedih ketika
Hanafi curhat kepada Piet mengenai nyonya yang sangat membencinya dan Corrie
mengucapkan salam perpisahan kepada Hanafi di rumah sakit. Selain itu juga
terdapat nada rindu, yang mana penulis menceritakan ketika Hanafi sangat
merindukan Corrie dan saat itu pula Hanafi berangkat ke semarang untuk menemui
Corrie.

JUDUL IDE ATAU GAGASAN UTAMA DARI MAKALAH INI PADA NOVEL
SALAH ASUHAN

Pada sub bab ini, membahas tentang gagasan yang diambil dari Novel
berjudul ‘Salah Asuhan’ karya Abdoel Moeis. Selain dari gagasan, terdapat pula
pesan moral yang diambil dari rangakaian cerita setiap bab novel ini. Dengan
membaca novel ini, gagasan utama yang dapat diambil adalah perbedaan golongan
Barat dan Timur berupa kesombongan bangsa Barat terhadap pribumi, mengikuti
dan/ atau menghormati kebudayaan adat yang berlaku di tempat yang ditinggali,
pertentangan budaya sebagai seorang pribumi/bumiputra yang digambarkan oleh
Hanafi, dan kesantunan pada orang yang lebih tua dan orang lain. Dari beberapa
gagasan utama tersebut, pesan moral dan makna apa yang dapat diambil akan
dijelaskan lebih lanjut.

A. Perbedaan Golongan Barat dan Timur


Indonesia sebagai negara terjajah. Di awal terlihat sosok pemuda
pribumi yang tergila-gila dengan budaya Barat. Disebut tergila-gila
karena ia sendiri buta terhadap kebudayaannya sendiri sebagai seorang
pribumi bahkan berani merendahkannya. Corrie sebagai seorang wanita
blasteran pria Perancis-wanitaIndonesia sehingga dengan sendirinya ia
memiliki kehormatan sebagai orang Eropa, mengkritik sikap Hanafi yang
membandingbandingkan budaya Eropadengan Pribumi bahkan ia lebih
mengetahui budaya pribumi daripada Hanafi sendiri sebagai orang bumiputera.
Hanafi mengkritik norma-norma yang berlaku di kalangan pribumi seperti hubungan
antara seorang gadis dengan bujang. la lebih suka gaya Eropa yang tidak
mempermasalahkan hal tersebut. Bahkan ia selalu mengantar Carrie pulang. la merasa
gusar saat Corrie merasa tidak enak berduaan dengan Hanafi di depan umum. Lebih
parahnya lagi, kaum pribumi yang tidak mampu berbahasa Belanda selain ibunya
tidak masuk bilangan. Ditambah lagi, sikapnya yang terlalu berlebih-lebihan dalam
bergaya hidup Eropa, membuatnya anti terhadap kebudayaan Melayu yang kental
dengan jalan ke-Islaman sehingga pada puncaknya ia menganggap agama Islam
sebagai takhayul yang membuatnya terkucilkan. Di depan Belanda, ia merendahkan
bahkan cenderung melenyapkan negerinya sendiri, Minagkabau, dalam
pernyataannya, "Seindah-indahnya negeri ini, jika tak ada ibuku, niscaya sudah
lamalah kutinggalkan".
Namun, jika ditinjau lebih jauh, pandangan negatif Barat terhadap
Melayu cukup beralasan karena melihat kondisi masyarakatnya yang
kampungan, berbadan kotor, berpakaian tidak layak dan kotor, serta tidak
berpendidikan. Bahkan ini merupakan jawaban dari seorang anak kecil,
Syafe'i di atas pangkuan ibunya, Rapiah, saat ditanya tentang siapakah
orang Melayu itu?
Oleh Corrie dijelaskan adat kesopanan pribumi mengenai hubungan
antara seorang gadis dan bujang yang sangat terbatas dan dianggap tabu.
Seorang gadis tidak boleh berhubungan langsung dengan kaum lelaki di
depan umum. Jika hal tersebut dilanggarnya, maka orang -orang akan
menganggapnya janggal. Berbeda dengan budaya Eropa yang menganggap
hubungan yang erat antara seorang gadis dengan seorang bujang sebagai
bentuk tunangan yang nantinya berujung pernikahan yang indah.
Hanafi yang sepenuhnya mengikuti budayaEropa menegur Corrie
yang masih memperhatikan norma-norma adat Minangkabau sehingga saat
Corrie mengkritik sikapnya yang dikhawatirkan melanggar adat, Hanafi
langsung menyerang balik dengan menghadirkan fakta -fakta budaya Eropa
yang menunjukkan batasan undang-undang kesopanan yang gelap karena
tidak tertulis.
Pandangan buta Hanafi terhadap budaya pribumi telah membuatnya
lebih agresif dalam mengkritik dan menghina budaya local disbanding
sahabatnya sekaligus kekasihnya, Corrie. Bahkan Corrrie mengakui jika
penghinaan terhadap bumiputera lebih banyak keluar dari mulut Hanafi.
Corrie yang sangat bijak dalam menyikapi perbedaan budaya dan
menasehati Hanafi agar menghargai perbedaan yang ada.
Dalam percakapan pertama di antara kedua pemuda dan pemudi ini
dapat diambil pelajaran bahwa Eropa dan bumiputera memiliki budayanya
masing-masing yang tidak perlu dipertentangkan. Hanafi adalah seorang
pribumi asli Minangkabau. la merupakan anak tunggal sebagai tumpuan
harapan keluarga sehingga ia disekolahkan oleh sanak keluarganya di
sekolah-sekolah Eropa di Jakarta agar menjadi anak yang pandai dan
melebihi keluarganya di kampung. Mereka berjuang mati -matian agar
Hanafi bias berpendidikan tinggi. Namun, pengawasan orang tua dan sanak
keluarganya melupakan satu hal penting dalam diri Hanafi, yaitu kesad aran
sebagai seorang pribumi yang berbeda budaya dengan Barat.
Novel ini menghadirkan sebuah adat Eropa yang sangat menarik
sekaligus sedikit membuat mulut pembaca tersinggung, yaituadat orang
Perancis dalam penerimaan tamu yang begitu ramah, namun ia sege ra
memuji tamunya saat mereka segera pulang kembali. Hal positif yang
dihadirkan kaum Eropa di Indonesia adalah penanaman kesadaran urgensi
pendidikan tinggi bagi kaum Wanita. Budaya seorang lelaki yang merayu
wanita pujannya sangat kontradiktif dengan bud aya bumiputera yang hanya
cukup mendatanginya secara langsung ke keluarga wanita pujannya tersebut
dan meminta agar sudi menikahkannya.
Penghormatan bangsa Eropa terhadap pribumi hanya sekedar
pernghormatan biasa kepada pribumi yang bertingkah laku sopan. Namun,
pada saat pribumi tersebut berani menikahi wanita Eropa, mereka
menganggapnya besar kepala dan telah lancang sehingga segera mereka
jauhi dan kucilkan. Kondisi seperti ini sering terjadi di Indonesia yang
diduduki oleh sebagian kecil orang Eropa, ak an lebih parah lagi jika di
negara Eropa sendiri. Sikap bangga pribumi terhadap bangsa Eropa, selain
meniru gaya hidup mereka, kedatangan mereka untuk berkunjnung
merupakan sebuah penghormatan yang diimpi -impikan oleh sebagian besar
pribumi. Cara menyambut tamu Eropa berbeda seperti biasanya dengan
tradisi lokal, bangsa Eropa dalam hal ini Belanda. Mereka disuruh duduk di
atas kursi bukan permadani yang terhampar di atas lantai sebagaimana
layaknya adat Minangkabau.
Saat seorang pria keturunan Eropa menikah dengan wanita pribumi,
tamu Eropa yang berkunjung hanya memberi hormat kepada keturunan
Eropa saja, tidak kepada istrinya. Status pribumi yang melekat pada istri
lelaki berkebangsaan Eropa tidak lepas sehingga di manapun tidak
mendapatkan penghormatan sebagaimana penghormatan yang didapatkan
oleh suaminya.

Deskripsi lainnya terkait budaya Eropa di Indonesia, kebiasaan


kaum pria Eropa di rumah membaca koran sambil duduk di atas kursi malas.
Hal ini menjadi kebiasaan yang dilakukan kaum ningrat pada saat itu ,
namun pada masa sekarang, aktivitas seperti ini telah membudaya bagi
semua kalangan di Indonesia.

B. Mengikuti atau Menghormati Kebudayaan yang Berlaku


Seperti Corrie yang menghormati kebudayaan di Minangkabau tempat ia
tinggal. Corrie menjunjung tinggi peribahasa “di mana bumi di pijak, di sana langit
dijunjung”. Sebagai kaum bangsa Barat, Corrie tetap menghormati dan mengikuti
kebudayaan yang ada ditambah ibu Corrie sendiri seorang pribumi/bumiputra.
Kebudayaan tersebut seperti pernikahan antara kaum bangsa Barat dan pribumi
tidak dianjurkan. Memang ibu Corrie mengalami hal itu, tetapi jika sang laki-laki
seorang pribumi dan perempuan merupakan bangsa Barat, nantinya akan
berdampak di kehidupan pernikahan dan keluarganya. Baik dari pihak laki-laki
maupun perempuan.
Corrie sangat menghargai dan menghormati budaya tersebut. Dia rela
menjauh dari Hanafi, sahabat yang ingin menjadi kekasihnya,untuk tetap
menghormati kebudayaan dan adat yang berlaku. Dari sikap Corrie menghadapi hal
tersebut sangat menunjukkan bahwa ia sangat menghormati adat istiadat dan aturan
yang berlaku, sekalipun ia bukan warga asli pribumi. Peribahasa tersebut diatas
sangat diterapkan oleh Corrie demi menjaga keutuhan dan kekeluargaan anatara
keluarga Corrie dan Hanafi pada saat itu.
Hanafi sendiri semasa sekolahnya, ia bersekolah dan hidup di lingkungan
yang bukan pribumi, Belanda. Maka dari itu, kebiasaannya berorientasi condong
terhadap bangsa Barat. Bahkan ketika Corrie berbicara kepada Hanafi perihal ia
seorang pribumi/bumiputra, Hanafi merasa tersinggung oleh pernyataan itu. Hanafi
menerapkan dan mengikuti kebiasaan lingkungan sekiatrnya sebagai seorang bukan
pribumi. Namun, kebiasaan itu malah terbawa hingga dia keluar dari lingkungan
Belanda dan melupakan budayanya sendiri sebagai seoran pribumi.

C. Pertentangan Budaya Sebagai Seorang Pribumi

Hanafi adalah pemuda pribumi asal kota Anau, Solok. Dia beruntung dapat
bersekolah di Betawi sampai tamat HBS. Ibunya yang sudah janda, memang
berusaha agar anaknya kelak menjadi orang pandai. Oleh karena itu ia tidak segan-
segan menitipkan Hanafi paad keluarga Belanda. Pendidikan dan pergaulan yang
serba Belanda memungkinkan Hanafi berhubugan erat dengan Corrie De Busse,
gadis keturunan Indo-Prancis. Hanafi bahkan telah merasa bebas dari kungkungan
tradisi dan adat istiadat negerinya sendiri. Mulai dari sikap, pemikiran, dan cara
hidupnya juga sudah kebarat-baratan.

Perasaan cinta pun tumbuh dari dalam hati Hanafi untuk Corrie.
Bagaimana tidak hal ini justru mneimbulkan sebuah pertentangan. Corrie justru
mengingatkan kepada Hanafi bahwa sebuah perkawinan campuran bukan hanya
tidak lazim dalam ukuran waktu, tetapi juga akan mendatangkan berbagai masalah
nanti di masa depan. Timur tinggal timur, dan barat tinggal barat, tidak akan dapat
ditimbuni jurang yang membasahi kedua bagian itu. Perasaan Corrie sendiri
mengatakan lain. Namun mengingat dirinya yang Indodan dengan sendirinya
perilaku dan sikap hidupnya juga berpihak pada kebudayaan Barat, serta Hanafi
yang pribumi yang tidak akan begitu melepas akar budaya leluhurnya.

Novel Salah Asuhan ini memang mengadung pertentangan antara budaya


Barat dan Timur karena perbedaan antara kebudayaan, sikap, dan perilakunya
sendiri. Sehingga hal ini sangat mengkhawatirkan para pemudanya akibat dampak
negatif yang timbul. Perbedaan budaya Barat dan Timur ini sehingga menyebabkan
pertentangan oleh Ayah Corrie bahwa bagaimanapun keadaan yang telah dicapai
Bnagsa Timur tidak akan mampu mensejajarkan dan mnegubah persepsi
masyarakat yang telah tertanam sejak zaman kolonialisasi hingga sekarang.

Pernyataan Ayah Corrie tuan De Busse telah mengisyaratkan kepada


anaknya Corrie, bahwa percampuran pernikahan antara kebudayaan Barat dengan
kelompok pribumi sangatlah ditentang oleh kedua bangsa Barat, bahwa kelompok
pribumi sangatlah rendah dan jika ada pernikahan percampuran antara kedua
kebudayaan sangatlah tidak diindahkan, khususnya jika kelompok pribumi
mengambil istri dari bangasa Eropa, dipandangnya bahwa perempuan dari bangsa
Barat telah menghinakan bangsanya, dna dianggap tidak sederajat dengan
bangsanya. Lalu jikalau hal tersebut terjadi maka pada saat itulah haknya sebagai
orang Eropa akan dicabut dan diasingkan dari bangsanya sendiri. Hal itu juga
berlaku untuk ketika seorang bangsa bumiputra yang ingin dipersamakan dengan
bangsa Eropa. Ia akn dikeluarkan serta diasinngkan dari bangsa Bumiputra. Setelah
mendengar pernyataan ayahnya Corrie sangat meresapi dan mengerti akan hal
pertentangan hubungan antara orang Barat dengan orang Pribumi. Begitu sulit dan
hinanya untuk menyatukan kedua kebudayaan itu dalam sebuah percampuran
perkawinan.
D. Sikap Terhadap Orangtua dan Orang Lain

Tokoh Rapiah dalam novel ini sangat menunjukkan sikap kesantunannya


terhadap orangtua dan oranglain. Ia patuh dan santun terhadap suaminya, Hanafi
meskipun perlakuan Hanafi “membabukan” Rapiah. Tetapi ia sangat menghormati
Hanafi sebagai suaminya serta pemimpin di keluarga. Selain itu, Rapiah juga
bersikap baik dan menghormati ibu Hanafi, mertuanya. Ia menganggap ibu Hanafi
seperti ibu kandungnya sendiri, meskipun putranya, Hanafi, memperlakukan
Rapiah sedemikian rupa seperti tidak menganggapnya sebagai istri sekalipun
mereka mempunyai buah hati, Syafei.
Di sisi lain, Hanafi berkebalikan dengan Rapiah. Hanafi bersikap angkuh
dan tidak menghormati orang lain, orangtuanya sendiri bahkan istri yang
meliharkan anak darah daginya sendiri. Sikap itu tidak terlihat hanya kepada
kerabat dan keluarganya saja. Dengan Corrie, istri baru yang ia cintainya pun,
Hanafi malah menuding Corrie yang tidak-tidak hingga menyebabkan Corrie sakit
hati. Dari perbuatan terhadap sikapnyalah yang membuat Hanafi menyesal sendiri
dan menjadi orang yang menyedihkan.
Setiap tokoh dalam novel ini melihatkan sikap, sifat dan watak masing-
masing. Bahkan bukan tokoh utamapun dilihatkan pula. Seperti pada saat Corrie
pergi dari Hanafi lalu mencari pekerjaan, Corrie bertemu berbagai orang baru di
tempat-tempat bekerjanya yang sama sekali tidak menghormatinya sebagai
perempuan dan sebagai orang baru. Selain itu, nyonya Pension sang pemilik rumah
tumpangan yang ditumpangi Corrie sebelum ia berangkat ke Semarang, bersikap
baik dan menghargai orang lain, Corrie. Sekalipun berita dan desas-desus tentang
Corrie sudah terdengar dan menyebar luas. Nyonya pension menghargai dan
menghormati Corrie.
Melalui gagasan ini, Abdul Moeis menggambarkan lewat sikap, sifat dan
watak tokoh-tokoh yang bertujuan untuk menghormati satu sama lain baik kepada
orangtua sendiri maupun orang lain. Penggambaran sifat itu tidak hanya berkutat
dengan sifat baik namun juga dengan sifat antagonis dari salahs atu tokohnya. Jadi,
pembaca dapat mengambil pesan moral dan nilai-nilai tidak bergantung dengan satu
sifat yang menunjukkan baiknya saja tetapi juga dapat mempelajarinya melalui sifat
antagonis yang dibangun dalam novel.

PENUTUP

Novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis memiliki detail cerita atau fakta
cerita yang menggambarkan kondisi pancakolonial. Mengenai fakta cerita dalam
novel teranalisis yang berjudul Salah Asuhan karya Abdoel Moeis ini terdapat
beberapa tokoh yang mempengaruhi jalannya cerita secara keseluruhan yaitu
Hanafi, Corrie du Bussee, Rapiah, Tuan du Bussee (Ayah Corrie), dan Mariam (Ibu
Hanafi). Berdasarkan waktu, alur yang digunakan pada novel Salah Asuhan karya
Abdoel Moeis adalah alur maju, yang dimana penulis menceritakan kisah hidup
Hanafi mulai ia baru kenal dan bersahabat dengan gadis Eropa sampai ia menikah
dengan gadis lain bernama Rapiah yang dijodohkan oleh ibunya, kemudian ia
bercerai dengan Rapiah, lalu menikah dengan Corrie si gadis Eropa yang pada
akhirnya meninggal. Pada novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis menggunakan
jenis alur linear. Tahap pengenalan latar cerita pada novel tersebut terdapat pada
awal bab 1-3, terlihat pada kutipan berikut ini yang memperkenalkan tokoh Corrie
seorang gadis bangsa barat yang amat cantik parasnya dan Corrie juga merupakan
gadis yang mudah bergaul.

Pada novel salah asuhan ini, sarana sastranya dituliskan Abdoel Moeis
dengan menggunakan corak yang khas. Seperti pada bagian judul. Judul pada novel
yang dianalisis adalah Salah Asuhan. judul Salah Asuhan dipilih untuk
menggambarkan kondisi pancakolonial dan bagaimana budaya saat itu
berkembang. Novel ini adalah sebuah novel Indonesia karya Abdoel Moeis yang
diterbitkan pada Tahun 1928 oleh Balai Pustaka. Judul Salah Asuhan ini dapat
dipahami sebagai kesalahan tindakan pada saat membesarkan anak. Novel ini
menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu. Sudut pandang orang ketiga
serba tahu menitikberatkan pada sikap penulis yang seolah tahu segalanya, bahkan
sampai ke ke pikiran para tokoh. Pengarang berusaha menciptakan kisah yang fokus
pada kehidupan tokoh “dia”. Lalu, pengarang sendiri bertindak seolah-olah mereka
berperan sebagai narrator atau sutradara yang mengarahkan bagaimana cerita
berjalan. Bahasa yang digunakan dalam novel Salah Asuhan adalah bahasa Melayu.
Selain itu, dalam novel ini juga terdapat kata-kata dalam bahasa Belanda, bahasa
Padang, dan bahasa Betawi. Di dalam novel ini juga digunakan beberapa majas.
Majas sendiri berfungsi untuk memperindah kebahasan dari puisi. Pada novel ini
majas-majas digunakan untuk menambah keintensitasan suasana yang
digambarkan adalah majas perumpamaan, majas litotes, dan majas metafora.

Berikutnya mengenai tema. Tema merupakan persoalan utama yang


diungkapkan oleh seorang pengarang dalam sebuah karya sastra, seperti cerpen,
novel, ataupun suatu karya tulis. Tema dapat juga dikatakan sebagai suatu gagasan
pokok atau ide dalam membuat suatu tulisan. Tema dalam novel Salah Asuhan yaitu
terdiri dari beberapa berdasarkan perspekif yang berbeda-beda. Pertama, tema yang
terdapat pada novel tersebut mengenai pertentangan antara budaya barat dan
budaya timur atau Bumiputra. Kedua, tema dalam novel ini berkisah seputar
perbuatan anak pada orangtuanya. Secara khusus diambil konflik anak yang
durhaka terhadap ibunya. Adapun sarana-sarana tersebut meliputi judul, tema,
tokoh dan penokohan, alur, latar, serta amanat yang terkandung dalam novel
tersebut. Sarana-sarana tersebut menjadi penting karena tanpa sarana tersebut suatu
cerita tak akan dapat terbentuk. Misalnya dalam suatu karya harus memiliki tokoh
agar nantiya cerita yang dibuat pengarang terlihat nyata dan bisa dinikmati oleh
pembacanya. Hal ini karena tokoh merupakan pelaku atau orang yang terdapat di
dalam cerita tersebut.

Keterkaitan antar unsur pasti ada karena tidak mungkin berjalannya suatu
cerita secara padu apabila tidak selarasnya tiap unsur yang membangun. Alur dalam
cerita berfungsi sebagai rangkaian penggambaran cerita, sedangkan tokoh adalah
pelaku yang diceritakan. Keduanya saling berkaitan, dimana alur berperan sebagai
rangkaian peristiwa yang dialami atau dilakukan tokoh. Tokoh yang berperan
sebagai pelaku cerita membutuhkan latar atau setting untuk membantu
pengembangan karakter tokoh. Pada novel ini diceritakan bahwa Hanafi yang
mengagungkan budaya barat memilih tinggal di Solok daripada di kampung
halamannya di Minangkabau. Penggambaran latar tempat disini sebagai bukti
tindakan tokoh Hanafi yang enggan tinggal di daerah yang dianggapnya masih
terbelakang itu. Tema adalah pokok pikiran, ide, atau gagasan tertentu yang akan
melatarbelakangi dan mendorong seseorang menulis karangannya. Sedangkan
tokoh adalah pelaku atau aktor yang mengalami peristiwa dan persoalan- persoalan
dalam cerita atau rekaan sehingga peristiwa itu dapat menjadi suatu cerita yang
menarik. Tema dan tokoh dalam novel ini memiliki hubungan yang penting.

Tentang gagasan yang diambil dari Novel berjudul Salah Asuhan karya
Abdoel Moeis, terdapat pula pesan moral yang diambil dari rangakaian cerita setiap
bab novel ini. Dengan membaca novel ini, gagasan utama yang dapat diambil
adalah perbedaan golongan Barat dan Timur berupa kesombongan bangsa barat
terhadap pribumi, mengikuti dan menghormati kebudayaan adat yang berlaku di
tempat yang ditinggali, pertentangan budaya sebagai seorang pribumi/bumiputra
yang digambarkan oleh Hanafi, dan kesantunan pada orang yang lebih tua dan
orang lain. Lebih parahnya lagi, kaum pribumi yang tidak mampu berbahasa
Belanda selain ibunya tidak masuk bilangan. la merupakan anak tunggal sebagai
tumpuan harapan keluarga sehingga ia disekolahkan oleh sanak keluarganya di
sekolah-sekolah Eropa di Jakarta agar menjadi anak yang pandai dan melebihi
keluarganya di kampung. Namun, pengawasan orang tua dan sanak keluarganya
melupakan satu hal penting dalam diri Hanafi, yaitu kesadaran sebagai seorang
pribumi yang berbeda budaya dengan Barat. Novel ini menghadirkan sebuah adat
Eropa yang sangat menarik sekaligus sedikit membuat mulut pembaca
tersinggung, yaitu adat orang Perancis dalam penerimaan tamu yang begitu
ramah, namun ia segera memuji tamunya saat mereka segera pulang kembali. Dari
sikap Corrie menghadapi hal tersebut sangat menunjukkan bahwa ia sangat
menghormati adat istiadat dan aturan yang berlaku, sekalipun ia bukan warga asli
pribumi. Hanafi sendiri semasa sekolahnya, ia bersekolah dan hidup di lingkungan
yang bukan pribumi, Belanda. Ibunya yang sudah janda, memang berusaha agar
anaknya kelak menjadi orang pandai. Pendidikan dan pergaulan yang serba Belanda
memungkinkan Hanafi berhubugan erat dengan Corrie De Busse, gadis keturunan
Indo-Prancis.

Dalam novel ini, Abdul Moeis bertujuan untuk mengingatkan kita agar
tidak berperilaku kebarat-baratan dan tidak melupakan adat dan budaya Negara
kita. Roman pertama Abdul Moeis ini jelas hendak mempetanyakan kawin campur
antar bangsa. Dalam roman ini, tampak jelas mempersoalkan kawin antar bangsa
yang tidak menghasilkan kebahagiaan. Jadi selain merupakan bacaan umum, roman
Salah Asuhan juga merupakan bacaan wajib para pelajar. Dengan dibuatnya
makalah ini, pembaca bisa mengetahui pengertian dari isi yang terkandung dalam
novel Salah Asuhan. Pembaca juga bisa mempelajari unsur-unsur yang terkandung
di dalam novel Salah Asuhan. Pembaca bisa mempelajari unsur yang terkandung
didalamnya, baik itu unsur interinsik dan ekstrensik. Dalam pendekatan kedua
unsur tersebut sangatlah luas, tentunya hal ini menjadi tugas kita mahasiswa untuk
menggali lebih dalam akan unsur-unsur dari karya tersebut. Penulis menyadari
sepenuhnya jika makalah ini masih banyak kesalahan dan jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, untuk memperbaiki makalah tersebut penulis meminta kritik yang
membangun dari para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Clara, Debby Sebtia; Yayah Chanafiah; dan Emi Agustina. 2020. Kajian
Postkolonial dalam Novel Salah Asuhan Karya Abdoel Moeis. Jurnal
Ilmiah Korpus Vol 4, No 2. Diakses pada 11 November 2021, dari
https://ejournal.unib.ac.id/index.php/korpus/article/view/9514

dKampus. 2017. “Unsur Pembangun Roman: Tema, Alur, Tokoh dan Penokohan”.
Diakses pada 14 November 2021, dari
https://www.dkampus.com/2017/01/unsur-pembangun-roman/

Hafid, Abdul. 2017. Diskriminasi Bangsa Belanda dalam Novel Salah Asuhan
Karya Abdoel Moeis (Kajian Postkolonial). KEMBARA: Jurnal Keilmuan
Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya Vol 3, No 2. diakses pada 11
November 2021, dari
https://ejournal.umm.ac.id/index.php/kembara/article/view/5609/pdf

Kusmarwanti. “Latar Dalam Fiksi”. Diakses pada 14 November 2021, dari


http://staffnew.uny.ac.id/upload/132310008/pendidikan/Materi+4+LATA
R+DALAM+FIKSI.pdf

Moeis, Abdoel. 2019. Salah Asuhan. Jakarta: Balai Pustaka.

Nurgiyantoro, Burhan. 2012. Teori Fiksi Robert Stanton. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

___________. 2019. Sastra Anak : Pengantar Dunia Anak (Edisi Revisi).


Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

___________. 2019. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University


Press.

Prinada, Yuda. 2021. “Apa itu Latar Waktu, Suasana & Tempat? Ini Pengertian
dan Contohnya”. Diakses pada 13 November 2021, pada
https://tirto.id/apa-itu-latar-waktu-suasana-tempat-ini pengertian-dan-
contohnya-gaAG

Anda mungkin juga menyukai