Anda di halaman 1dari 31

ANALISIS NOVEL SALAH ASUHAN: INFERIORITAS BUDAYA,

AMORAL, PENYIMPANGAN RELIGI

Disusun oleh:
Calishta Dafinna Atalla 22210144003
Sherlita Oktafiani Putri 22210144004
Syifa Salsabila 22210144011
Idamsyah Zola Samosir 22210144023
Isnan Hanantova Wijaya 22210144030
Rizki Amalia Putri Hidayat 22210144031
Armelia Lestari 22210144035
Amelda Rizki Luftami 22210144039

PENDAHULUAN
Dewasa ini, perkembangan karya sastra semakin masif. Mulai dari cerpen,
puisi, hingga novel. Novel menduduki karya sastra pertama yang paling diminati
saat ini. Banyak penulis-penulis baru lahir seiring berkembangnya masa. Sastra
semakin diminati karena banyak karya sastra yang hidup dari dinamika kehidupan.
Selain itu, karya sastra semakin diminati karena berfungsi menghibur dan
mendidik.
Novel “Salah Asuhan” karya Abdoel Moeis merupakan novel yang lahir di
era Belanda. Novel ini merangkum cerita kehidupan pernikahan campur antara
kaum Pribumi oleh tokoh Hanafi dan wanita kebangsaan Eropa oleh tokoh Corie.
Cerita ini mengemas kisah kehidupan perkawinan campur yang mendatangkan
banyak problematika. Novel “Salah Asuhan” menyadarkan kita untuk mengetahui
kesenjangan moral antara orang Barat dengan penduduk asli Pribumi. Dari novel
tersebut, kita juga mengetahui tabiat-tabiat orang Barat yang tidak selaras dengan
ideologi Nusantara. Novel ini berkisah tentang karakter orang Barat yang terlalu
intoleransi terhadap sesamanya. Novel ini juga banyak mengajarkan kita nilai-nilai
moral khas kaum Pribumi yang relevan dalam berbagai kondisi.
Setelah menikmati novel ini, pembaca dihanyutkan dalam kehidupan masa
Belanda yang terdidik secara pikiran namun kurang dalam etika. Hal ini yang
menjadi topik dalam novel “Salah Asuhan” di mana tokoh Hanafi seolah salah
terdidik dikarenakan terlalu sering bergaul dengan kaum Barat. Tokoh Hanafi
digambarkan maju secara pemikiran namun tertinggal secara adab. Hal ini
dibuktikan ketika tokoh tidak mampu menghargai ibu dan istrinya, Rapiah ketika
ia belum mendapatkan apa yang ia kehendaki. Hal ini tentu sangat bertolak
belakang bagi kaum Pribumi sendiri yang sangat mengutamakan ibunya dan
menghargai istrinya.
Novel ini relevan untuk dibaca oleh semua kalangan. Sebab, novel ini
menyadarkan kita bahwa adab sama pentingnya dengan keilmuan. Karena tanpa
adanya adab seseorang yang genius pun tentu akan merusak bagi lingkungannya.

FAKTA, SARANA, DAN TEMA NOVEL SALAH ASUHAN


Menurut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 1965:11-36) membedakan unsur
pembangun sebuah novel ke dalam tiga bagian: fakta, tema, dan sarana pengucapan
(sastra). Fakta cerita meliputi tokoh, latar, dan alur cerita. Sarana cerita meliputi
judul, sudut pandang, gaya dan nada, simbolisme dan ironi. Fakta cerita dan sarana
cerita memiliki hubungan erat dengan tema sebuah novel.

A. FAKTA CERITA DALAM NOVEL SALAH ASUHAN


Fakta (facts) dalam sebuah cerita meliputi karakter (tokoh cerita), plot, latar.
Ketiganya merupakan unsur fiksi yang secara faktual dapat dibayangkan
peristiwa dan eksistensinya dalam sebuah novel. Oleh karena itu, ketiga unsur
tersebut harus dipandang sebagai satu kesatuan dalam rangkaian keseluruhan
cerita, bukan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah satu dengan yang
lain.
Alur merupakan rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita. Alur ini
merupakan unsur fiksi yang penting, karena tidak sedikit orang yang
menganggapnya sebagai hal yang paling penting dalam sebuah cerita. Tokoh
merupakan salah satu unsur cerita yang memegang peranan penting di dalam
sebuah novel, karena tanpa pelaku yang mengadakan tindakan, cerita itu tidak
mungkin ada. Latar merupakan tempat, waktu, dan budaya yang digunakan
dalam suatu cerita bersifat faktual atau bisa juga bersifat imajiner. Latar
berfungsi untuk memperkuat atau mempertegas keyakinan pembaca terhadap
jalannya suatu cerita.

1. Alur
Menurut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 1965:14) mengemukakan
bahwa alur adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian
itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan
atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Agar menjadi sebuah alur,
hubungan peristiwa-peristiwa yang dikisahkan itu haruslah bersebab akibat,
tidak hanya sekadar berurutan secara kronologis saja serta haruslah diolah
dan penyiasatannya itu sendiri merupakan sesuatu yang indah dan menarik.
Alur ini memiliki konflik di dalam cerita dan tampaknya dapat dipahami
sebagai berbagai peristiwa untuk mencapai efek tertentu dan sekaligus
membangkitkan suspense dan surprise pada pembaca.
Dalam novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis ini memiliki
gambaran alur yang menarik dengan rangkaian peristiwa-peristiwa yang
padu dan disusun saling berkaitan sehingga penggambaran jalan cerita
tersbut mudah untuk dipahami. Penyusunan alur cerita dalam novel ini
dihadirkan dalam beberapa unsur dengan diawali pengenalan tokoh,
pengenalan masalah, puncak masalah, sampai dengan bagaimana akhir dari
cerita novel tersebut.
Novel Salah Asuhan ini menggunakan alur maju atau progresif.
Jalannya cerita novel ini dimulai dengan perkenalan hingga pada
penyelesaian. Pengarang menceritakan kehidupan sang tokoh utama
(Hanafi) yang bersahabat sudah cukup lama dengan gadis Eropa, Corrie
hingga ia menikah dengan gadis lain bernama Rapiah yang dijodohkan oleh
ibunya. Kemudian ia bercerai dengan Rapiah dan menikah dengan Corrie
yang kemudian meninggal. Hanafi pun juga meninggal karena bunuh diri.
a. Eksposisi
Di dalam pengenalan cerita inilah diperkenalkan para tokoh pelaku
kepada para pembaca, mencerminan situasi para tokoh, merencanakan
konflik yang akan terjadi, dan sementara itu menjadi indikasi mengenai
resolusi fiksi tersebut. Brooks dan Warren (dalam Tarigan, 1993: 127)
dengan singkat menyatakan bahwa eksposisi dalam ‘proses
penggarapan serta memperkenalkan informasi penting kepada para
pembaca’. Adapun kutipan novel yang mencerminkan bagian eksposisi
yaitu sebagai berikut:
1) “Seorang pun belum ada di tempat permainan tennis, karena kedua
anak muda, yang duduk berlindung di bawah pohon yang rimbun
menghadapi meja the dekat permainan itu, belum boleh dikatakan
hendak bermain, sebab meskipun mereka masing-masing memakai
pakaian tennis, sedang dua buah raket tersandar di kaki kursi, tapi
kedua anak muda itu duduk di dalam kebun di sisi sebuah rumah di
sebelah tempat bermain tennis itu.” (Salah Asuhan, 20019: 1)
2) “Aku tahu betul, bahwa aku hanyalah Bumiputra saja, Corrie!
Janganlah kau ulang-ulang juga.”
“Hanafi, Hanafi! Hari ini fiilmu sangat pula susahnya. Kalau sifat
dan hatimu kurang-kurang kukenal, niscaya akan boleh tumbul
salah persangkaanku atas dirimu. Tapi dari kecil kita bercampur;
dari semasa dibangku sekolah rendah. Jadi fiil tabiatmu sudah jelas
benar bagiku.” (Salah Asuhan, 2009: 3)
3) “Oh, seisi Solok sudah melihat kita seiring, mulai dari Zaman
engkau bercelana monyet dan aku bercelana katok. Lima hari lagi
engkau akan mendiami kota ini, setiap hari kita duduk bersama-
sama di dalam kebun saja. Apakah salahnya bergaya sekali ini di
beranda muka rumahku? Dan aku tidak tinggal membujang
melainkan berserta ibuku. Esok sore pukul lima, he, Cor?” (Salah
Asuhan, 2009: 8)
b. Komplikasi
Dalam suatu karya fiksi kompliasi bertugas mengembangkan
konflik. Tokoh utama menemui gangguan-gangguan yang memisahkan
serta menjauhkan dia dari tujuannya. Dalam komplikasi inilah pembaca
dapat mempelajari serta meneliti dan memahami tipe manusia yang
bagimanakah sebenarnya tokoh utama tersebut. Berikut ini beberapa
kutipan dalam novel Salah Asuhan yang menunjukan bagian
komplikasi:
1) “Hanafi! Engkau juga mulai memperbincangkan tentang adat
lembaga serta tertib kesopanan masing-masing bangsa’ engkaupun
juga yang tak suka mengidahkannya atau mengakui atas adanya
perbedaan adat lembaga antara bangsa dengan bangsa. Setiap kita
bertukar pikiran tentang hal itu, pada akhirnya engkau senantiasa
berkecil hati seolah-olah malulah engkau, bahwa engkau masuk
golongan Bumiputra, yang kau sangka bahwa aku
menghinakannya. Bahwa sesungguhnya kulitku berwarna pula,
ibuku perempuan Bumiputra sejati, meskipun diriku masuk pada
golongan bangsa Eropa.” (Salah Asuhan, 2009: 3)
2) “Sekali lagi Hanafi bangkit dari berbaring, sambil gelak terbahak-
bahak. Maka berkatalah ia, “itulah yang kusegankan benar hidup di
tanah Minangkabau ini, Bu. Di sini semua orang berkuasa, kepada
semua orang kita berutang, baik utang uang maupun utang budi.
Hati semua orang mesti dipelihara dan laki-laki perempuan itu
dipergaduh-gaduhkan dari luar buat menjadi suami-istri.” (Salah
Asuhan, 2009: 31)
3) “Dua tahun sudah berjalan, setelah jadi perundingan Hanafi dengan
ibunya tentang beristri itu. Selain ia membenarkan kata ibunya, ia
pun sudah dinikahkan dengan Rapiah.” (Salah Asuhan, 2009: 73)
c. Klimaks
Titik yang memisahkan komplikasi dengan resolusi disebut dengan
klimaks. Klimaks adalah puncak tertinggi dalam serangkaian puncak
tempat kekuatan-kekuatan dalam konflik mencapai intensifikasi yang
tertinggi. Berikut ini kutipan dalam novel Salah Asuhan yang
menunjukkan klimaks:
1) “Belum ada seminggu lagi antaranya, timbul pulalah perselisihan
antar keduanya, ditimbulkan oleh suatu hal yang tidak berarti saja,
yang salah suatu penghinaan pula dari luar, dari pihak orang lain,
yang berasa perlu menyatakan tidak berkenannya atas perbuatan
kedua anak muda itu.” (Salah Asuhan, 2009: 168)
2) “Sesampainya di rumah pengantin perempuan, mempelai sudah
membantah pula hal bersanding dua. Dinamakannya
‘menepekongkan diri’. Pergaduhan semakin mengancam, karena
sekarang ‘nyinyik mamak’ dan penghulu-penghulu masuk ketengah
lalu sembah menyembah.” (Salah Asuhan, 2009: 175)
3) “Aku menuduh engkau berlaku hina di dalam rumahku ini!”
Demikian kata Hanafi dengan suara keras, sambil berdiri di muka
Corrie yang masih duduk menggigit-gigit serbet. “Tidak usah
bertanyakan ini dan itu, bukti sudah sampai cukup!” (Salah Asuhan,
2009: 177)
d. Resolusi
Dalam bagian inilah akhir suatu fiksi. Pengarang memberikan
pemecahan masalah dari semua peristiwa yang terjadi. Panuti-Sudjiman
(dalam Sugihastuti dan Suharto, 2002: 48) menyatakan penyelesaian
dapat berupa masalah yang melegakan, masalah yang menyedihkan,
atau masalah dibiarkan menggantung tanpa pemecahan. Berikut
beberapa kutipan dalam novel Salah Asuhan yang menggambarkan
Resolusi:
1) “Sudah…datang takdirnya. Vaarwel…Hannetje. Hiduplah dengan
lurus. Pelihara anakmu baik-baik, percaya pada Tuhan. Han
kenangkan Coriie!” Maka terkatup pulalah matanya; dan tidaklah
terbuka-buka lagi” (Salah Asuhan, 2009: 230)
2) “Nah..sublimat, bukan terminum dengan kesalahan tapi sengaja”
“Benar, tapi aku wajib menolong Tuan”
“Sia-sia…banyak kutelan Tuan tidak berhak…aku sengaja…mau
pergi” (Salah Asuhan, 2009: 268)
3) “Dengan bimbang hati mendekatlah ibunya ke kepalanya, lalu
Hanafi berkata dengan suara lemah-lembut, “Ibu…ampuni…akan
dosaku…Syafei pelihara…bai-baik. Jangan…diturutnya
jejakku…” (Salah Asuhan, 2009: 272)
2. Tokoh
Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Watak,
karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan
oleh pembaca dan lebih menonjol pada kualitas pribadi seorang tokoh.
Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1999:32-33) mengemukakan tokoh cerita
(character) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam sesuatu karya
naratif atau drama oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan
kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa
yang dilakukan dalam tindakan. Nurgiyantoro (1995) menyatakan bahwa
tokoh dapat dikelompokkan ke dalam tokoh utama dan tokoh tambahan,
tokoh statis dan tokoh dinamis, tokoh protagonis dan tokoh antagonis, serta
tokoh tipikal dan tokoh netral.
Novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis ini, pengarang
menghadirkan tokoh-tokoh di setiap peristiwa dalam cerita tersebut. Dalam
cerita ini, karakter tokoh utama dimunculkan melalui tokoh antagonis.
Tokoh antagonis inilah yang menyebabkan timbulnya konflik dan
ketegangan sehingga cerita tersebut menjadi menarik. Selain itu, beberapa
tokoh protagonis juga sebagai pendukung dalam jalannya cerita tersebut.
Penggambaran tokoh utama, Hanafi yang memiliki karakter
antagonis dengan beberapa watak yang dimilikinya. Hal ini dapat dilihat
berikut:
a. Durhaka
Hanafi memiliki karakter durhaka kepada ibunya yang dapat
digambarkan dalam kutipan berikut:
1) “Oh, Ibu, jika Ibu hendak menyesal, janganlah aku Ibu sesali,
baiklah Ibu menyesali diri sndiri. Siapakah yang memberikan istri
serupa itu kepadaku?” (Salah Asuhan, 2009:89).
2) “Ya. Ibu, mengucaplah Ibu dengan setulus-tulusnya, barangkali Ibu
akan mendapat ilham, lalu dapat berkata dengan benar. pada
hematku Ibulah juga yang banyak bersalah atas diriku, sudah tentu
dengan tidak sengaja, melainkan karena pendapat yang berlain-lain
juga. Oleh karena menuntuk perintah Ibu saja, maka aku sampai
begini sengsaranya.” (Salah Asuhan, 2009:93).
b. Marah
Selain memiliki karakter durhaka terhadap ibunya, Hanafi memiliki
karakter pemarah yang dapat digambarkan dalam kutipan berikut:
1) “Sudah beberapa kali kau menjelaskan benar-benar, bahwa engkau
orang Barat, aku hanya orang kulit bewarna saha. Kalau pergaulan
kita demikian rintangannya, sebab aku hanya Bumiputra, alangkah
baiknya kalau engkau berkata dan berlaku secara terus terang saja,
Corrie!” (Salah Asuhan, 2009:5).
2) “Apakah yang sudah terjadi atas dirimu, Han? Fiilmu sebagai orang
bertukar pikiran!”
“Ya, Corrie, perangaimu itu akhirnya akan menyeret diriku ke
rumah gila!” (Salah Asuhan, 2009:163)
c. Kasar
Hanafi juga memiliki karakter kasar yang dapat digambarkan pada
kutipan berikut:
1) “Sampai kering kerongkonganku memanggil si Buyung, seorang
pun tidak menyahut!” kata Hanafi sambil membelalakkan matanya
kepada istrinya. (Salah Asuhan, 2009:83)
2) “Telaat, telaat!” kata Hanafi dengan memutar-mutar matanya. “Nah
inilah bahagiannya, bila aku tidak terlambat datang kemari!”
Dengan perkataan itu diempaskannyalah sebuah pestol ke atas
meja, lalu didapatkannya istrinya, sambil diketamnya tangan Corrie
dalam genggamannya. (Salah Asuhan, 2009:181)
d. Keras Kepala
Hanafi juga memiliki karakter keras kepala yang dapat digambarkan
pada kutipan berikut:
1) Hanafi tetap menolak kehendak orang, ia tidak hendak menutup
kepala, karena lebih gila pula dari komidi, bila memakai destar,
saluk dengan baju smoking dan dasi. (Salah Asuhan, 2009:73)
2) “Memang…kasihan! Ah, Ibuku…aku pengecut tapi hidupku
kosong…habis cita-cita baik…enyah!” (Salah Asuhan, 2009:268)
e. Angkuh
Hanafi juga memiliki karakter angkuh yang dapat digambarkan pada
kutipan berikut:
1) “Ha, ha, ha! Bu! Benarkah pendengaranku? Menjadi penghulu?
Saya akan menjadi penghulu dan akan belajar sembah-menyembah
baik asal mereka suka, si Buyung kujadikan penongkat!” (Salah
Asuhan, 2009:27).
2) “Oh, penting sekali. Benar, jika mereka hendak makan enak, tidak
ada keberatan bagiku, bila mereka setiap hari datang kemari. Hanya
selagi saya di kantor saja, Bu, sebab saya memang tidak dapat
bergaul dengan orang-orang serupa itu. Saya di mudik, ia di hilir.”
(Salah Asuhan, 2009:26).
Penggambaran tokoh pendukung, Corrie du Busse yang merupakan
gadis keturunan bangsa Prancis dengan karakternya yang protagonis. Hal
ini dapat digambarkan berikut:
a. Pemaaf
Corrie memiliki karakter pemaaf yang dapat dilihat pada kutipan
berikut:
1) Aku mengampuni dosamu sudah mempergunakan saat sewaktu aku
lemah, buat membawa kehormatanku ke tempat bahaya. Kuampuni
pula dosamu, bahwa engkau sudah melanggar kepercayaanku
kepadamu, kepercayaan yang dari kecilku sudah kugantungkan
padamu, karena kupandang engkau sebagai saudara tuaku. (Salah
Asuhan, 2009:57)
2) Corrie menyapu-nyapu kepala suaminya dengan tapak tangan yang
sebelah, lalu berkata dengan suara yang sayup-sayup sampai, “Oh,
Hannetje, kekasihku. Sudah lama kuampuni dosamu kepadaku. Aku
tahu engkau datang, aku menantikan engkau, buat memberi selamat
tinggal.” (Salah Asuhan, 2009:230)
Penggambaran tokoh pendukung, Rapiah merupakan seorang
bumiputera yang juga sekaligus istri dari Hanafi. Ia memiliki karakter
protagonis yang dapat dilihat berikut:
a. Sabar
Karakter sabar yang dimiliki Rapiah dapat digambarkan pada kutipan
berikut:
1) Setiap hari asal saja sudah menimbulkan amarahnya, perkara itu
sudah dipakainya buat melepaskan sakit hatinya kepada Rapiah.
Tetapi istri yang sabar itu sudah tunduk menangis saja, bagaikan
insaf akan dirinya. (Salah Asuhan, 2009:81)
2) Rapiah sedang meremas kelapa dan sambil melihat dengan sabar
serta air muka yang jernih kepada suaminya, tapi tidak
memperhentikan pekerjaannya, berkatalah ia, “Tidak terdengar di
belakang. Si Buyung membawa Syafei berjalan-jalan ke muka
rumah.” (Salah Asuhan, 2009:83)
Penggambaran tokoh pendukung, Mariam yang merupakan ibu dari
Hanafi, seorang bumiputera bangsa Minangkabau. Ibu Hanafi memiliki
watak protagonis yang dapat dilihat berikut:
a. Bijaksana
Karakter bijaksana yang dimiliki oleh Ibu Hanafi ini dapat digambarkan
pada kutipan berikut:
1) “Ayahmu orang beradat, Hanafi, ibumu orang beradat, senang-
senang hidupmu jika engkau suka menurut yang sepanjang adat
pula.” (Salah Asuhan, 2009:64)
2) Setelah ia duduk di muka Hanafi, maka dippandanginyalah sejurus
akan anaknya, lalu berkata dengan sedih, “Istrimu sangat lilah dan
lebih dari sabar, Hanafi. Oleh karena itu, makin tak patut engkau
berbuat serupa itu.” (Salah Asuhan. 2009:89)
b. Sabar
Karakter sabar yang dimiliki Ibu Hanafi dapat digambarkan pada
kutipan berikut:
1) Demikian juga ibunya, hanya suka menahan sakit senangnya di
rumah Hanafi, karena kasih kepada anak yang hanya seorang itu
saja. (Salah Asuhan, 2009:26)
2) Kesakitan dan kepiluan hati ditanggungnya dengan sabar, karena
belum putus harapannya akan memperbaiki anaknya yang seorang
itu. (Salah Asuhan, 2009:33)
Penggambaran tokoh pendukung, Tuan du Busse merupakan ayah
dari Corrie. Ia merupakan orang Prancis yang pindah ke Solok. Tuan du
Busse memiliki karakter yang dapat dilihat berikut:
a. Tidak Acuh
Tuan du Busse memiliki karakter tak acuh pada orang banyak di luar
keluargannya sendiri. Hal ini dapat digambarkan pada kutipan berikut:
Di hari tuanya ia sudah hidup menyisihkan diri sebagai orang
bertapa. Semati nyonya, yaitu seorang perempuan Bumiputra di
Solok, yang sudah dikawininya di gereja, orang tua itu sudah
mengganjur diri dari pergaulan orang banyak. Tiadalah ia pernah
berkunjung ke rumah orang lain. (Salah Asuhan, 2009:10)
b. Tegas
Sikap tegas yang dimiliki ayah Corrie itu ditunjukan dalam hal
pendidikan anaknya. Hal ini dapat digambarkan pada kutipan berikut:
Sebetulnya Corrie sudah hendak memperhentikan sekolah hingga itu
saja, tapi ayahnya meminta dengan keras, supaya menamatkan
sampai lima tahun. (Salah Asuhan, 2009:12)

3. Latar
Abrams (dalam Nurgiantoro, 1999:284) Latar atau setting yang disebut
juga sebagai landas tumpu, menunjuk pada pengertian tempat, hubungan
waktu sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa
yang diceritakan. Latar memberikan gambaran cerita secara konkret dan
jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca dan
menciptakan suasana tertentu seolah-olah sungguh nyata dan terjadi.
Latar dibedakan menjadi latar tempat, waktu, dan sosial. Latar tempat
menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah
karya fiksi. Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya
peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar sosial menyaran
pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial
masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
a. Latar Tempat
Dalam novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis ini memiliki beberapa
latar tempat yang sangat spesifik namun sangat khas dalam novel
tersebut adalah:
1) Kota Solok
Kota Solok ini merupakan tempat tinggal Hanafi. Tempat-tempat
terjadinya peristiwa di kota Solok tersebut digambarkan pada
kutipan novel di bawah ini:
“Setiap petang berkumpulah beberapa orang penduduk Solok
yang ‘ternama’ ke tempat itu buat bermain tennis. Tua-muda,
gadis dan nyonya, bangsa Barat dan bangsa Timur sekaliannya
bercamapurgaulah di sana, buat memuaskan hati, melakukan
permainan sport yang makin digemari orang di segenap negeri.”
(Salah Asuhan, 2009:1)
Berdasarkan kutipan kalimat diatas, tempat bermain tennis atau
lapangan tennis merupakan tempat yang digunakan Hanafi dan
Corrie untuk bermain tennis. Permainan tennis tersebut merupakan
permainan yang digemari oleh penduduk Solok.
“Tiap-tiap habis bermain tennis, biasanya Hanafi mengantarkan
Corrie sampai ke muka rumahnya. Jarang sekali ia naik rumah,
meskipun ayah Corrie mempersilakan masuk, karena ia tahu,
undangan orang tua yang jarang bermuka manis itu, hanya
dengan senang hati, sekadar hendak mencukupi budi bahasa
saja.” (Salah Asuhan, 2009:8).
Pada kutipan kalimat diatas, diceritakan bahwa tempat kejadian
peristiwa tersebut yaitu di rumah Corrie.
“Jelaslah semua bagi Hanafi. Sepulangnya ke rumah,
mengempaslah ia ke atas sofa, lalu menangis tersedu-sedu.”
(Salah Asuhan, 2009:52).
Pada kutipan kalimat diatas, diceritakan bahwa tempat kejadian
peristiwa tersebut adalah di rumah Hanafi.
2) Betawi
Kota Betawi ini merupakan tempat terjadinya peristiwa bertemunya
kembali Hanafi dan Corrie yang dapat digambarkan dalam kutipan di
bawah ini:
a) “Itulah yang membimbangkan hati Corrie dan menjalarlah
pikirannya kian kemari, waktu ia menempuh jalan bersimpang
yang menuju ke Gambir Selatan. Dengan tidak diketahuinya lagi,
maka ia sudah terpelanting ke tanah, karena kereta anginnya
sudah bertumbuk dengan sebuah kereta angin pula yang
dikendarai oleh seorang pemuda bangsa Betawi.” (Salah Asuhan,
2009:103).
b) “Pada keesokan harinya, petang-petang, datanglah ia ke tempat
Corrie di Gunung Sari, lalu berkata setelah duduk, “Rumah
sudah dapat, Cor! Di Gang Ketapang, letaknya di dalam gang
besar. Sewanya tujuh puluh.” (Salah Asuhan, 2009:155).
3) Semarang
Kota Semarang merupakan tempat pertemuan terakhir Hanafi dan
Corrie sebelum Corrie meninggal. Hal ini dapat digambarkan pada
kutipan novel di bawah ini:
“Sepanjang jalan ke Semarang, Hanafi bersandar saja di atas
bangku kereta api, serta menutupkan matanya.” (Salah Asuhan,
2009:225).
Pada kutipan kalimat diatas, diceritakan bahwa Hanafi pergi ke
Semarang. Kepergiannya itu untuk menjemput kembali istrinya.
Karena Hanafi telah menyesali akan perbuatannya yang telah
menghina istrinya itu.
“Maka bangkitlah Hanafi dari duduknya, lalu menghambur ke
luar, menaiki oto yang masih menanti, lalu berseru sekeras-
kerasnya kepada supir, “Ayoh! Ke Rumah Sakit Paderi, lekas
sekali!” (Salah Asuhan, 2009:228).
Pada kutipan kalimat diatas, diceritakan bahwa Hanafi langsung
menuju ke Rumah Sakit Paderi dengan terburu-buru untuk
menjenguk istrinya. Setelah sampai di rumah sakit, ia bertemu
dengan istrinya untuk terakhir kalinya sebelum Corrie meninggal.
b. Kota Anau
Kota ini merupakan negeri kecil dan juga kampung dari Ibu Hanafi
sebelum mengikuti Hanafi ke kota Solok. Hal itu dapat digambarkan
pada kutipan novel di bawah ini:
a) “Sesampai di Kota Anau, keadaan Hanafi tidak berubah. Di hari
datangnya itu banyaklah kaum kerabat dan nyinyik mamak
datang menemuinya ke rumah gedang.” (Salah Asuhan,
2009:261)
b) “Hanafi tidak bersenang hati buat tinggal selamanya di Kota
Anau. Maksudnya hendak enyah dari tempat itu.” (Salah
Asuhan, 2009:263)
b. Latar Waktu
Dalam novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis ini memiliki
beberapa latar waktu yang sangat spesifik namun sangat khas
dalam novel tersebut adalah:
1) Pagi
Adapun peristiwa yang terjadi pada pagi hari dapat dilihat pada
kutipan berikut:
a) “Sia-sia engkau berlaku dengan tergesa-gesa secara itu,
Piah,” kata mertuanya dengan tersenyum. Hari belum
setengah delapan, kantor pos belum dibuka.” (Salah
Asuhan, 2009:129)
b) Kira-kira pukul tujuh pagi pada keesokan harinya Ibu
Hanafi sudah datang ke rumah makan di Belantung
mendapatkan anaknya. (Salah Asuhan, 2009:254)
2) Siang
Adapun peristiwa yang terjadi pada siang hari dapat dilihat
pada kutipan berikut:
Hari sudah siang, matahari sudah memancarkan sinarnya,
memberi nikmat ke seluruh alam. Penyakit Hanafi semakin
keras. Hanya sepatah-sepatah saja ia berkata-kata dengan
ibunya. Makin banyaknya darah hidup yang
dimuntahkannya. (Salah Asuhan, 2009:267)
3) Sore hari
Adapun peristiwa yang terjadi pada sore hari dapat dilihat pada
kutipan berikut:
Cahaya matahari yang diteduhkan oleh daun-daun di
tempat bermain itu, masih keras, karena dewasa itu baru
pukul tengah lima petang hari. (Salah Asuhan, 2009:1)
4) Malam
Adapun peristiwa yang terjadi pada malam hari dapat dilihat
pada kutipan berikut:
Kira-kira pukul sembilan tuan rumah mengetuk pintunya,
dan dengan tidak menantikan disuruh masuk, pintu pun
dibukanya; dan masuklah ia ke dalam, sambil memutar
menyalakan lampu listrik. (Salah Asuhan, 2009:212)
5) Berlangsung lama
Selain kejadian yang berlangsung pada pagi, siang,
petang/sore, malam hari, kejadian dari novel ini juga ada yang
berlangsung lama. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
Sebenarnyalah Hanafi jatuh sakit keras. Empat belas hari
lamanya ia demam panas, dan buah tuturnya di dalam
demam itu sangatlah membimbangkan hati ibunya. (Salah
Asuhan, 2009:61)
c. Latar Sosial
Latar sosial budaya yang terdapat dalam novel Salah Asuhan karya
Abdoel Moeis ini adalah budaya Minangkabau dalam waktu penjajahan
Belanda. Kebudayaan seperti utang budi, kawin paksa, dan mempunyai
budak. Hal ini dapat dibuktikan pada kutipan novel berikut:
1) Utang Budi
Dalam hal ini, keluarga Hanafi mempunyai utang budi kepada
pamannya yang dapat dilihat pada kutipan berikut:
Meskipun kau angsur beratus atau beribu rupiah, sampai langsai
utang itu, belumlah akan selesai utang-piutang karena utang
budimu harus kau bayar dengan budi pula. (Salah Asuhan,
2009:30)
2) Kawin Paksa
Dalam novel ini, Ibu Hanafi meminta anaknya supaya menikahi
perempuan pilihan ibunya yang dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Yang paling ibu sukai, sudahlah ibu katakan dahulu. Tidak lain
hanyalah Rapiah, anak kakak kandung ibu. Yang seibu sebapa
dengan ibu, hanya Sutan Batuah, guru kepala di Bonjol. Bukan
sebuah-sebuah kebaikannya, jika engkau suka memulangi
Rapiah.” (Salah Asuhan, 2009:65)
3) Mempunyai Budak
Dalam novel ini, adat Minangkabau juga mempunyai budak dimana
budak tersebut akan mengabdi selamanya kepada majikan. Hal ini
dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Simin!” kata Corrie, dengan suara keras dan nyaring,
“Saya, Non!”. (Salah Asuhan, 2009:14)

B. SARANA-SARANA SASTRA DALAM NOVEL SALAH ASUHAN


Sarana-sarana sastra dalam novel Salah Asuhan meliputi judul, sudut
pandang, gaya dan nada, simbolisme dan ironi. Stanton (2012:46) mengatakan
sarana cerita merupakan teknik yang digunakan oleh pengarang untuk memilih
dan menyusun detil-detil cerita (peristiwa dan kejadian) menjadi pola yang
bermakna.
Fakta cerita merupakan suatu hal pasti yang ada dalam sebuah novel yang
tidak dapat diubah seperti tokoh, alur, dan latar sedangkan sarana-sarana novel
merupakan unsur instrinsik yang terdapat dalam sebuah novel untuk
menggambarkan atau mengembangkan ide cerita penulis. Fakta cerita dan
sarana cerita adalah dua hal yang saling berhubungan yang berjalan beriringan
dalam sebuah cerita dalam novel dan menyeimbangkan tatanan sebuah cerita
dalam novel.
1. Judul
Kristiana, dkk. (2020: 6-7) menyatakan bahwa judul merupakan
penggalan gambaran keseluruhan yang dihasilkan oleh pengarang. Jadi
dapat disimpulkan bahwa judul merupakan sebuah serangkaian kata yang
menarik bagi pembaca yang diberikan dan dibuat penulis untuk
menggambarkan isi sebuah novel. Karena judul adalah hal pertama yang
dilihat untuk menarik perhatian pembaca, maka judul dibuat dengan ciri
khas tersendiri yang merepresentasikan sebuah kisah yang tedapat dalam
novel.
Judul novel tersebut sudah memberikan gambaran dari sebuah cerita
yang ada di dalamnya yang menceritakan mengenai seorang Hanafi yang
merupakan warga Melayu yang ingin pindah kewarganegaraan menjadi
warga negara Belanda. Namun bagaimanapun orang-orang akan tetap
mengenalnya sebagai warga Melayu asli. Hal itu diperkuat dengan sebuah
kutipan dalam cerita novel sebagai berikut.
“Jadi engkau sekarang sudah menjadi orang Eropa! Cristian, sungguh
manis bunyinya, nanti namamu Chris saja lagi, Chrisje, Christy, sungguh
manis tapi…..”
Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa Hanafi sudah pindah warga
kewarnegaraan Belanda dan namanya berubah menjadi Christian Han.
Ia senang diakui sebagai warna Belanda padahal sebenarnya ia adalah
warga melayu yang menikahi orang Eropa. Dalam pandangan warganya
hal itu dapat menjatuhkan derajat bangsa mereka. Judul Salah Asuhan
sendiri sudah sesuai dengan kisah yang ada pada cerita Hanafi
memanglah pemuda baik yang tahu tata cara berperilaku namun, akibat
ia yang tumbuh dan hidup di lingkungan Eropa dan berbaur akrab
dengan sseluruh kebudayaan yang ada di dalamnya membuat ia
terjerumus masuk ke dalamnya hingga ia akhirnya melupakan
kebudayaannya sendiri dan lebih memilih untuk berpindah
kewarganegaraan.
Salah Asuhan sendiri mengacu pada sikap seorang Hanafi yang
sejak dari awal sudah salah dalam memilih jalan, ia begitu bangga
dengan sikap yang menunjukkan kebarat-baratan dan menuntut
persamaan hak sesuai dengan warga Eropa lain dengan cara berpindah
pada warga kenegaraan Belanda dan melupakan identitas aslinya
sebagai warga Melayu. Namun, di liang lahat pun ia tetap dikubur
bersama dengan orang Melayu lain bukan dengan Eropa. Di bawah ini
adalah berupa kutipan cerita dalam novel yang menggambarkan bahwa
harga diri menjadi diri sendiri akan lebih dipandang sebagai manusia
dari pada memaksakan diri menjadi orang lain.
“Han, engkau sungguh seorang terpelajar, tapi di dalam rasa dengan
rasa itu engkau seolah-olah buta dan tuli. Tidak dapat diterangkan
selanjut-lanjutnya insaf lah engkau, pada rasa bangsaku, engkau masih
Bumiputera, dan engga lah mereka menerima engkau, bila engkau
menyerukan diri memasuki bangsa itu.
Pada pendapat mereka, lebih tinggilah derajat mu sebagai manusia,
bila engkau tinggal kekal di dalam bangsamu saja, tapi menyatakan
perpindahan saja terhadap kepada bangsanya, bangsa Eropa.
Jika engkau melakukan sedemikian niscaya kehormatannya kepadamu
akan lebih besar, dipandangnya dirimu sebagai seorang Bumiputera
yang sopan dan terpelajar.
Tapi secara yang engkau lakukan sekarang, sekali-kali tiada lah
disukainya. Itulah semua rasa dan perasaan itu tidak dapat
dikemudikan, walau oleh yang mengandung perasaan itu sekalipun.”
2. Sudut Pandang
Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2010:248) menyatakan bahwa sudut
pandang atau point of view menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan.
Ia merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai
sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa
yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.
Pengertian lain dari sudut pandang adalah cara penulis untuk memberikan
persepsi pembaca terhadap posisi penulis dalam menuangkan kisahnya
yang menjadi sarana dalam karya fiksi untuk membuat alur sebuah kisah.
Pembagian sudut pandang menurut Atar Semi (1988) mengungkapkan
pengertian sudut pandang sebagai titik kisah yang merupakan
penempatan dan posisi pengarang dalam ceritanya. Atar Semi juga
mengemukakan bahwa titik kisah dalam sudut pandang atau point of
view terbagi menjadi empat jenis. Empat jenis pembagian sudut pandang
tersebut yaitu: (1) pengarang sebagai tokoh utama, (2) pengarang sebagai
tokoh sampingan, (3) pengarang sebagai orang ketiga, dan (4) pengarang
sebagai narator atau pemain.
Dalam novel Salah Asuhan menggunakan sudut pandang orang
ketiga dia mahatahu penggunaan sudut pandang orang ketiga dia
mahatahu karena penulis sendiri memposisikan dirinya sebagai pelaku
yang berada di luar cerita, jika penulis menggunakan sudut pandang lain
contohnya sudut pandang orang pertama berarti penulis akan berperan
menjadi seorang tokoh utama yaitu Hanafi, namun di sini tidak hal ini
diperkuat dengan beberapa kutipan cerita yang terdapat dalam novel
Salah Asuhan sebagai berikut. Sudut pandang dalam novel Salah Asuhan
memakai sudut pandang yaitu sebagai berikut :
a. Sudut Pandang Orang Ketiga “dia” (mahatahu)
Dalam penggunaan sudut pandang orang ketiga ini seorang penulis
menempatkan diri sebagai pelaku ketiga yang berada di luar cerita
yang mengetahui kehidupan dan cerita pada para tokoh yang berada di
dalam novel yang dilakukan dengan melalui perasaan, pikiran,
pandangan serta motivasi tokoh yang berupa tindakan dan pemikiran
tokoh. Contoh dari penggunaan sudut pandang orang ketiga terdapat
dalam kutipan cerita novel di bawah ini :

semalam-malaman itu Corrie tidak merasai tidur nyenyak. Setiap


saat ia bertanya dalam hatinya, “cintakah ia pada Hanafi?” tapi
senantiasa didengarnya pula sahutan, “Oh! Anak Belanda
dengan orang Melayu boleh disamakan haknya dengan orang
Eropah!” (hal 35)
Di sini penulis seakan-akan tahu bahwa keadaan Corrie yang tidak bisa
tidur nyenyak semalaman karena perasaanya yang bimbang kepada
Hanafi, yang mempertanyakan pada dirinya sendiri apakah benar ia
mencintai seorang Hanafi yang mempunyai perbedaan dengannya,
yaitu perbedaan bangsa.

Semalam-malaman itu Hnafi tidak tidur sekejap juga. Rindu dan


cinta, kepada Corrie sekonyong-konyong sudah berbalik
meenjadi dendam dan benci. Mengertilah ia, bahwa gadis itu
sudah mempermainkan-mainkannya, seolah-olah
dipergunakannya buat perintang-rintang hati dan buat
penyingkat-nyingkatkan waktu dalam pakansi, (hal 59).
Dalam kutipan cerita novel di atas penulis mengetahui apa yang ada
dalam pikiran dan perasaan Hanafi. Pada malam itu Hanafi tidak bisa
tidur karena terganggu dengan pikiran bahwa Corrie sedang
mempermainkan perasaanya, akibat sikap dan tindakan yang dilakukan
Corrie kepada Hanafi mengubah pikiran Hanafi untuk mencintainya
sehingga perasaan cintanya berubah menjadi perasaan benci dan
dendam.

Dalam hatinya, Hanafi sebenarnya girang bahwa sudah terpaksa


berangkat ke Betawi. Udara di rumah memang kurang nyaman
dan di Betawi ada Corrie! (hal 96)
Kutipan cerita novel di atas penulis seolah-olah mengetahui apa yang
dirasakan oleh tokoh Hanafi, yaitu kebahagiaan seorang tokoh yang
akhirnya dapat pergi ke Betawi untuk menemui sang pujaan hati yang
amat dirindukannya yaitu Corrie, sedangkan di rumah Hanafi tidak
merasakan kenyamanan akibat masalah-masalah yang dialaminya
bersama dengan ibunya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam novel Salah Asuhan karya
Abdoel Moeis penulis memakai sudut pandang orang ketiga “dia”
(mahatahu). Penulis menempatkan diri sebagai pencerita yang
mengetahui kehidupan para tokoh satu dengan tokoh lain, di sini penulis
memiliki kebebasan penuh untuk mengatur bagaimana jalan cerita
novel yang dibuatnya dengan melalui lingkup, waktu, dan tempat cerita,
serta dapat berpindah-pindah dari tokoh “dia” yang satu lalu berpindah
lagi ke tokoh “dia” yang lain.
3. Gaya Bahasa dan Nada
Gaya bahasa adalah sebuah style atau ciri khas penulis dalam
mengungkapkan pikiran, ide, pendapat penulis melalui sebuah pilihan kata,
struktur kalimat, pemajasan, tipografi karya, dan ilustrasi yang digunakan
oleh penulis melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan
kepribadian penulis.
Lalu Gaya bahasa yang digunakan dalam novel Salah Asuhan ini
cukup sulit di artikan. Karena novel ini merupakan novel lama dan di
dalamnya juga terdapat bahasa Belanda. Penggunaan gaya bahasa yang
bercampur antara budaya barat dan budaya timur dapat terlihat bahwa
acuan nilai yang menjadi daya tarik sendiri antar gaya bahasa yang
digunakan. Selain itu terdapat peribahasa seperti berikut ini.
“saat ini, air mukamu jernih, keningmu licin, bolehkah ibu
menuturkan niatk itu, supaya tidak menjadi duri dalam daging”.
(halaman 25).
Ada pula majas perbandingan seperti dalam kutipan “sesungguhnya
tiadalah berdusta apabila ia berkata sakit kepala, karena sebenarnyalah
kepalanya bagai dipalu”. (halaman 47)
Nada merupakan suatu penekanan pada tinggi rendahnya
pengucapan suatu kata ataupun kalimat untuk memberikan tekanan khusus
pada kata-kata tertentu yang di mana biasanya sangat berkaitan dengan
pelafalan dan intonasi untuk pengucapan bunyi bahasa maupun
pembentukan makna kalimat.
"Yang sangat menyedihkan hati ibunya ialah kerena bagi Hanafi
segala orang yang tidak pandai bahasa Belanda, tidaklah masuk
pada bilangan. Segala hal-ikhwal yang berhubungan dengan
orang Melayu, dicatat dan dicemoohkannya."
Berdasarkan data tersebut, tergambarkan bahwa ibu Hanafi sedih melihat
karakter anaknya yang membedakan orang bumiputera dengan orang
Eropa. Sampai-sampai Hanafi mencemooh bangsanya sendiri.
"Meskipun aku sudah keluar dari bangsaku dan dengan bangsa
sendiri sudah tidak seikhwan, siapakah yang akan dapat
memutuskan tali silaturahim antara Ibu dengan anak?"
Berdasarkan data tersebut, tergambarkan bahwa Hanafi sudah
menyamakan haknya dengan bangsa Eropa tanpa seizin ibunya.
4. Simbolisme dan Ironi
Sebuah simbol adalah benda, sesuatu yang konkret. Warna, kejadian
alam, cahaya, hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda tertentu dapat
digunakan untuk melambangkan kehidupan atau perasaan manusia, seperti
kematian, kemelaratan, kesedihan, cinta, kebahagiaan, kejahatan, rasa
dendam, dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud simbolisme adalah
aliran yg menekankan pada simbol atau lambang dalam karya sastra.
Simbolisme dalam fiksi adalah penggunaan simbol-simbol untuk
menggambarkan ide, tema, atau emosi secara tersirat. Simbolisme telah
digunakan dalam fiksi selama berabad-abad, dan dapat ditemukan di
berbagai genre, termasuk sastra klasik, fiksi modern, dan film. Simbolisme
digunakan untuk mengekspresikan makna yang lebih dalam, yang mungkin
sulit diungkapkan dengan kata-kata langsung. Pengertian lain dari
simbolisme adalah bentuk yang memberikan makna pada setiap kata
ataupun kalimat yang disajikan dalam sebuah karya sastra.
Menurut Raman dalam Suminto, simbol atau lambang digunakan
pengarang untuk mengungkapkan pikiran emosi, kesan yang samar-
samar,penuh misteri, dan sulit dinyatakan. Simbolisme digunakan untuk
mengekspresikan makna yang lebih dalam, yang sulit diungkapkan dengan
kata-kata langsung. Dalam fiksi, simbolisme dapat memunculkan tiga efek
yang bergantung bagaimana simbol yang bersangkutan digunakan.
Pertama, sebuah simbol yang muncul pada satu kejadian penting dalam
cerita menunjukkan makna peristiwa tersebut. Kedua, satu simbol yang
ditampilkan berulang-ulang mengingatkan beberapa elemen konstan dalam
semesta cerita. Ketiga, sebuah simbol yang muncul pada konteks yang
berbeda-beda akan membantu menemukan tema. Berikut ini simbolisme
yang ditemukan pada novel Salah Asuhan yaitu sebagai berikut :
"Bahwa sesungguhnya kulitku berwarna pula, ibuku perempuan
Bumiputra sejati."
Berdasarkan data tersebut, digambarkan bahwa kalimat “kulitku
berwarna” menyimbolkan bahwa Corrie merupakan orang Barat yang
identik dengan kulit berwarna putih. Meskipun ibunya merupakan orang
Bumiputera.
“Sudah berapa kali kau menjelaskan benar-benar bahwa engkau
orang Barat, aku hanya orang kulit berwarna saja."
Berdasarkan data tersebut, orang kulit berwarna di sini bukan menyatakan
simbol orang Barat, melainkan simbol orang Timur yang identik dengan
kulit berwarna sawo matang.
"Apalagi setelah engkau lahir ke dunia, Corrie, seakan-akan
mendapat bulan dengan mataharilah kami rasanya."
Data tersebut, menggambarkan bahwa terdapat simbol yaitu konotasi
simbol.
Ironi dapat didefinisikan sebagai gaya bahasa berupa sindiran halus
untuk menyatakan suatu maksud tertentu dengan menggunakan kata-kata
yang berlainan dan bertolak belakang. Sedangkan, menurut Stanton, ironi
dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa sesuatu berlawanan
dengan apa yang telah diduga sebelumnya. Pengertian lain dari ironi ialah
Ironi merupakan cara untuk menunjukkan bahwa sesuatu berlawanan
dengan apa yang telah diduga sebelumnya.
Fungsi dari penggunaan majas ironi adalah untuk menyindir secara
halus, menyindir dengan mengatakan hal sebaliknya tanpa mengungkapkan
maksud ancaman yang diinginkan, sehingga sindiran bersifat tidak
langsung atau implisit. Ironi yang terdapat dalam novel Salah Asuhan yaitu
ironi dramatis dan ironi verbal.
A. Ironi Dramatis
Ironi dramatis adalah jenis ironi yang digunakan untuk membuat
pembaca lebih sadar akan apa yang terjadi dari pada karakter. Di bawah
ini merupakan kutipan novel yang terdapat dalam novel Salah Asuhan.
Tapi.. tapi, meskipun demikian, Corrie boleh memastikan, bahwa ia
tidak dapat membalas percintaan Hanafi, sebab... ya, sebab...? sebab
ia ‘tidak’ cinta!
Berdasarkan data tersebut, merupakan ironi dramatis. Karena, Corrie
setelah berjalannya cerita, justru Corrie termakan ucapannya sendiri.
B. Ironi Verbal
Ironi verbal adalah penggunaan kata-kata yang berbeda dari apa yang
sebenarnya dikatakan seseorang. Ironi verbal dimana seseorang
mengatakan atau menulis satu hal dan berarti kata lain, atau
menggunakan katakata yang menyampaikan makna yang merupakan
kebalikan dari makna harfiah. Di bawah ini merupakan contoh kutipan
novel Salah Asuhan:
Bersisir dan berminyaklah. Pasak sanggul rambutmu secara mestinya,
tentu rambut itu tak akan memberimu tanda-tanda buruk lagi
kepadamu, Rapiah! Oh anakku, kalau semua kau yakini buruknya,
tentu tubuhmu akan semakin kurus! Ibu Hanafi berkata demikian
sambil tersenyum.
Berdasarkan data tersebut, merupakan ironi verbal. Karena
mengungkapkan makna dengan cara berkebalikan. Ibu Hanafi berkata
pada Rapiah bahwa yang dirasakaan dan dialami Rapiah itu hanya
tahayul dan jangan percaya terhadap hal seperti itu.
C. TEMA DALAM NOVEL SALAH ASUHAN
Tema adalah gagasan (makna) dasar umum yang menopang sebuah karya
sastra sebagai struktur semantik dan bersifat abstrak yang secara berulang-ulang
dimunculkan lewat motif-motif dan biasanya dilakukan secara implisit
(Nurgiyantoro, 1965:115). Untuk menemukan tema sebuah karya fiksi, maka
harus mencari kesimpulan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan
bagian-bagian cerita tertentu.
Tema yang terdapat dalam novel Salah Asuhan ini adalah tentang perbedaan
adat istiadat dan pola asuh orang tua terhadap anaknya. Hanafi diasuh oleh
keluarga lain, ia besar dengan pandangan yang sama dengan keluarga itu.
Hanafi yang tinggal dengan keluarga Belanda dan sekolah di sekolah Belanda
merasa ia sudah sama seperti mereka. Seakan-akan ia lupa dengan budaya yang
ditakdirkannya. Setelah Hanafi berpisah dengan ibunya, memang hidupnya
senang untuk sementara, tetapi jangka panjangnya ia menjadi susah. Setelah
berpisah dengan ibunya, hidupnya menjadi tidak tearah. Iman-nya tidak kuat
dan akhirnya ia bunuh diri. Ucapan-ucapan Hanafi yang tidak sopan kepada
ibunya menekankan gagasan bahwa Hanafi tidak patut dicontoh karena ia
adalah anak durhaka. Ibu Maryam yang akhirnya masih punya toleransi
terhadap anaknya itu akhirnya putus asa, sampai-sampai menyalahkan dirinya
sendiri karena ia merasa sudah salah mengasuh anak semata wayangnya itu.
Tetapi walaupun telah dicemooh habis-habisan dan ditinggalkan oleh Hanafi, ia
tetap memaafkan anaknya. Hanafi pun pada akhirnya menyesal akan perbuatan
yang telah merugikan ibunya itu.
Melalui tema ini, pengarang ingin menekankan kasih ibu terhadap anaknya
yang tidak bisa dibalas dengan harta, tetapi dengan budi, kasih, dan hormat.
Pengarang juga menegaskan hubungan antara anak dan ibu itu kekal. Sang Ibu
mampu memaafkan salah anaknya sebesar apapun itu karena kasih ibu tidak
bersyarat.
FUNGSI: KETERKAITAN ANTAR STRUKTUR DALAM NOVEL SALAH
ASUHAN
Cerita dalam novel Salah Asuhan berbentuk alur maju dengan
pengembangan tokoh yang terdapat dalam cerita tersebut yang semakin
berkembang. Menceritakan seorang lelaki yang telah dididik sedari kecil dengan
budaya kebaratan oleh orang tuanya, Hanafi terus membawa hal itu ditemani
dengan teman kecilnya Corrie Du Busse yang merupakan wanita cantik keturunan
Belanda. Karena didikan yang diberikan oleh orang tuanya itulah membuat Hanafi
memiliki pendidikan yang tinggi pula dan meletakkan kebudayaan barat sebagai
acuan dari nilai yang ia punya untuk berbudaya, sedangkan budaya sendiri dianggap
budaya yang tidak ada gunanya.
Corrie akhirnya meninggalkan hanafi ke Betawi karena ingin menghindari
benturan sosial pribumi terhadap perbedaan budaya yang kontras dan di sisi lain dia
ingin melanjutkan pendidikannya. Melihat hal itu ibu Hanafi menjodohkan Hanafi
dengan Rapiah yang merupakan anak dari ayah yang menyekolahkan Hanafi
sampai sekarang ini. Dengan berat hati Hanafi menerima dengan bujukan Ibunya
walaupun masih memiliki hati kepada Corrie. Pada akhirnya karena budaya barat
yang dianut yang jauh dengan moralitas budaya tradisional, Hanafi sering
melakukan kekerasan terhadap Rapiah dan mengganggapnya seperti babu, tidak
mengganggap anaknya syafei, dan durhakan kepada Ibunya sendiri. Alur yang tidak
menguntungkan bagi Hanafi ini membuatnya semakin tidak bertanggung jawab
dengan menikah dengan Corrie karena secara dasar bahwa Hanafi memiliki tokoh
yang mencintai kebarat-baratan.
Sebelum Corrie menikah bahkan bertemu dengan Hanafi kembali antara
kedua sahabat sedari kecil ini, Hanafi terlebih dahulu terkena gigitan oleh anjing
gila yang mengantarkan dia berobat ke Jakarta. Dia berangkat dari Solok yang
dianggap terlalu kuno permasalahan pengobatan. Tidak tahu takdir menemukan
mereka berdua yang diamana Corrie yang masih di asrama Belanda dalam usia 21
tahun. Akhirnya atas dianggapnya Hanafi sebagai hak Eroa yang sama, mereka pun
menjalin hubungan di Betawi dan mengurungkan untuk kembali ke Solok. Mereka
namun akhirnya tidak bahagia dan Hanafi tetap tidak melakukan hal yang tidak
pantas ke istrinya bahwasanya Corrie dituduh telah berzina dengan orang lain.
Corrie sakit hati dengan tuduhan tersebut lalu memutuskan untuk cerai dan pindah
ke Semarang sehingga terdapat pergantian latar dalam alur sampai akhir plot cerita.
Jika dilihat dari alur yang berkaitan dengan latar diatas, ternyata hal itu juga
dapat dikaitkan dengan tokoh yang ternyata secara gamblang dipaparkan bahwa
terdapat penggantian latar dari setiap tokoh. Pertama, Hanafi yang awalnya dari
Solok akhirnya pergi ke Betawi untuk berobat dan menjalin kasih dengan Corrie
dan terakhir dia ingin melihat orang yang telah dibuat kecewa yaitu Corrie ke
Semarang. Kedua, Corrie juga tidak memiliki alur yang berbeda atas latar yang
telah dilalui yaitu dari Solok, Betawi, sampai ke Semarang. Namun, perbedaan
terdapat pada waktunya terjadi perpindahan dan urgensi dari perpindahan latar
tersebut.
Tidak bisa dipungkiri bahwasanya Novel Salah Asuhan karangan Abdoel
Muis ini memiliki tema yaitu inferioritas budaya dan pandangan budaya kebarat-
baratan. Hal ini sangat menyangkut-paut dengan karakter utama yang dirasa sangat
dibenci oleh pembaca yaitu Hanafi. Hanafi sangat merupakan gamabaran dari tema
yang merupakan kerusakan harga diri budaya sendiri yang dicampakan olehnya
karena pendidikan yang tinggi didapat dengan pemikiran kebarat-baratan. Pada
akhirnya itu merembet ke moralitasnya dalam berhubungan suami-istri bahkan
sampai hubungan ia denga ibunya yang bisa dianggap sebagai anak durhaka.
Selain itu, lebih ditangkap secara mendasar pada bagian judul yaitu Salah
Asuhan ini sangat berkaitan juga masalah pengembangan tokoh dan alur mengenai
Hanafi yang benar-benar dididik oleh orangtuanya secara ideologi barat yang
merupakan momok yang sangat di pusatkan dalam keseluruhan alur cerita dan
pengaruh dalam perkembangan isi cerita dalam novel ini. Bisa dikatakan judul
sudah sangat tepat diberikan karena merupakan muara asal dalam permasalahan
utama yang yang dipermasalahkan.
Gaya bahasa atau nada sangat dipengaruhi juga oleh latar dan tokoh. Latar
bisa dilihat bahwasanya jika di Solok atau kebudayaan Minangkabau-nya akan
terlihat nada yang halus dan gaya bahasa bersifat mengasihi satu sama lain dalam
pemaparan baiknya. Terdapat peribahasa seperti “saat ini, air mukamu jernih,
keningmu licin, bolehkah ibu menuturkan niatk itu, supaya tidak menjadi duri
dalam daging”. (halaman 25). Ada pula majas perbandingan seperti dalam kutipan
“sesungguhnya tiadalah berdusta apabila ia berkata sakit kepala, karena
sebenarnyalah kepalanya bagai dipalu”. (halaman 47). Selain itu juga terdapat
bahasa Belanda beberapa kali dikaitkan karena terdapat tokoh belanda yaitu Corrie
De Busse.

MAKNA: INFERIORITAS BUDAYA, SIFAT AMORAL, DAN


PENYIMPANGAN RELIGI PADA NOVEL SALAH ASUHAN
A. Inferioritas Budaya
Disebutkan bahwa, Tokoh Hanafi merupakan putra asli kelahiran tanah
Minangkabau, yang seadari kecil di didik dengan cara dan ilmu yang
berlandaskan dari budaya barat atau kebarat-baratan, dan hal tersebut tentu
mengakibatkan wawasan dan rasa cintanya terhadap bangsa dan tanah
kelahirannya sendiri tidak tertanam sedari dini.
Yang menyebabkan tokoh Hanafi menjadi tidak mengerti dan tidak peduli
terhadap budaya bangsanya sendiri, dan bahkan membuat dirinya anti pati dan
membenci bangsanya sendiri, hal tersebut dapat di lihat dari beberapa hal,
seperti Hanafi yang lebih mementingkan memilih cintanya terhadap Corrie
seorang gadis Belanda yang ia cintai, tanpa mementingkan sanksi sosial berupa
di kucilkan di lingkup tempat kelahirannya sendiri,. Hanafi tidak peduli dengan
resiko itu, karena dalam benaknya tanah kelahirannya tidak terlalu berperan
penting dalam hidupnya, di banding Corrie, gadis belanda yang notabene
berasal dari tempat acuan hidupnya yaitu bangsa barat.
B. Amoral
Selain Inferioritas Budaya, tokoh Hanafi juga memperlihatkan sifat Amoral,
sifat tersebut merupakan sifat menonjol pada tokoh Hanafi ini. Hal tersebut
dibuktikan dengan Hanafi yang tidak memperdulikan sifat balas budi terhadap
jasa Ayah Rapiah, yang sudah membantu mengangkat taraf pendidikan dan
hidupnya unruk lebih tinggi, alih-alih membalas budi dengan cara menikahi
Rapiah dan mencintainya dengan sepenuh hati, Hanafi malah mencampakannya
memperlakukannya seperti babu bahkan tidak mengakui anak hasil pernikahan
mereka yaitu Syafei.
Hal tersebut merupakan tindakan yang tak terpuji terlebih lagi Hanafi pda
akhirnya menceraikan Rapiah dan lebih memilih Corrie sang pujaan hati, selain
Hanafi menyakiti perasaan Rapiah ia juga menyakiti hati ibunya, karena dengan
begitu Hanafi sudah menentang dan berhianat pada ibunya tentang
komitmentnnya menikahi Rapiah Untuk balas budi dan mengikuti kemauan
ibunya.
C. Penyimpangan Religi
Hanafi merupakan Putra asli Minangkabau, dan Minangkabau merupakan
daerah yang memiliki sejarah panjang dan keterkaitan kuat terhadap suatu
kepercayaan Religi, Namun Hanafi sangat berkebalikan dengan aspek itu,
seperti cintanya kepada Corrie yang kemungkinan besar keduanya memiliki
kepercayaan yang berbeda, dan moral nya yang sangat tidak mencerminkan
kebanyakan rakyat Minangkabau yang beragama. Dan yang terakhir adalah
caranya terhadap menyikapi masalah hidup yang sangat tragis, di sebutkan pada
akhir cerita Hanafi memilih jalan kegelapan untuk menyikapi penyesalan
hidupnya, yaitu mengakhiri hidupnya atau bunuh diri, cara tersebut merupakan
cara yang sangat berlawanan dengan agama atau kepercayaan apapun dan tidak
seharusnya dilakukan untuk mengakhiri suatu permasalahan.

PENUTUP
Fakta cerita dalam novel Salah Asuhan meliputi karakter, plot dan alur. Alur
dalam novel ini menggunakan alur maju. Tokoh yang terdapat dalam novel ini
adalah Hanafi, sebagai tokoh utama yang memiliki karakter durhaka, pemarah,
kasar, keras kepala, angkuh. Selanjutnya Corrie yang memiliki karakter pemaaf.
Lalu Rapiah yang memiliki karakter sabar. Ibu Hanafi memiliki karakter bijaksana
dan sabar. Terakhir, Tuan du Busse memiliki karakter tak acuh dan tegas. Latar
dalam novel ini meliputi latar tempat; latar waktu; latar sosial. Latar tempat yang
digunakan di kota Solok, Betawi, Semarang, Kota Anau. Latar waktu terdapat
dalam novel yaitu pagi, siang, sore, malam. Latar sosial dalam novel ini adalah
kebudayaan waktu penjajahan Belanda seperti utang budi, kawin paksa,
mempunyai budak.
Sarana sastra dalam novel ini meliputi judul; sudut pandang; gaya dan nada;
simbolisme dan ironi. Judul novel ini memberikan gambaran mengenai Hanafi yang
merupakan warga Melayu ingin pindah kewarganegaraan warga negara Belanda.
Sudut pandang novel ini menggunakan sudut pandang orang ketiga dia mahatau.
Penggunaan gaya bahasa becampur antara budaya barat dan timur. Terakhir,
simbolisme dan ironi. Simbolisme merupakan bentuk yang memberikan makna
setiap kata atau kalimat. Ironi adalah cara untuk menunjukan bahwa sesuatu
berlawanan dengan sebelumnya.
Tema dalam novel ini adalah perbedaan adat istiadat dan pola asuh orang
tua terhadap anaknya, kawin campur antarbangsa, kawin secara paksa. Dari segi
mengambil tema dalam novel ini adalah perbedaan adat istiadat antara sifat sosial
yang taat adat istiadat dan tidak taat adat istiadat.
Dalam novel ini berbentuk alur maju dengan pengembangan tokoh dalam
cerita yang semakin berkembang. Novel ini memiliki tema yaitu inferioritas budaya
dan pandangan budaya kebarat-baratan. Hal ini sangat menyangkut paut dengan
karakter utama yang dirasa sangat dibenci oleh pembaca yaitu Hanafi.
Dalam novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis ini, dapat disimpulkan
mengenai makna judul atau gagasan utama dari makalah ini adalah inferioritas
budaya, amoral, dan penyimpangan religi. Inferioritas budaya dapat dilihat pada
tokoh Hanafi yang dididik sedari kecil dari budaya barat atau kebarat-baratan.
Amoral dapat dilihat pada sifat tokoh Hanafi yang tidak memperdulikan sifat balas
budi terhadap jasa Ayah Rapiah. Penyimpangan religi dapat dilihat pada Hanafi
yang kurangnya kepercayaan dalam beragama.
Berdasarkan hasil makalah ini, kami menyarankan kepada pembaca untuk
meneliti lebih lanjut tentang novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis ini. Kami
berharap dapat melakukan penelitian dari segi unsur ekstrinsiknya.

DAFTAR PUSTAKA
Moeis, Abdoel. 2009. Salah Asuhan. Jakarta: Balai Pustaka
Nurgiyantoro, B. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press

Anda mungkin juga menyukai