Disusun oleh:
Calishta Dafinna Atalla 22210144003
Sherlita Oktafiani Putri 22210144004
Syifa Salsabila 22210144011
Idamsyah Zola Samosir 22210144023
Isnan Hanantova Wijaya 22210144030
Rizki Amalia Putri Hidayat 22210144031
Armelia Lestari 22210144035
Amelda Rizki Luftami 22210144039
PENDAHULUAN
Dewasa ini, perkembangan karya sastra semakin masif. Mulai dari cerpen,
puisi, hingga novel. Novel menduduki karya sastra pertama yang paling diminati
saat ini. Banyak penulis-penulis baru lahir seiring berkembangnya masa. Sastra
semakin diminati karena banyak karya sastra yang hidup dari dinamika kehidupan.
Selain itu, karya sastra semakin diminati karena berfungsi menghibur dan
mendidik.
Novel “Salah Asuhan” karya Abdoel Moeis merupakan novel yang lahir di
era Belanda. Novel ini merangkum cerita kehidupan pernikahan campur antara
kaum Pribumi oleh tokoh Hanafi dan wanita kebangsaan Eropa oleh tokoh Corie.
Cerita ini mengemas kisah kehidupan perkawinan campur yang mendatangkan
banyak problematika. Novel “Salah Asuhan” menyadarkan kita untuk mengetahui
kesenjangan moral antara orang Barat dengan penduduk asli Pribumi. Dari novel
tersebut, kita juga mengetahui tabiat-tabiat orang Barat yang tidak selaras dengan
ideologi Nusantara. Novel ini berkisah tentang karakter orang Barat yang terlalu
intoleransi terhadap sesamanya. Novel ini juga banyak mengajarkan kita nilai-nilai
moral khas kaum Pribumi yang relevan dalam berbagai kondisi.
Setelah menikmati novel ini, pembaca dihanyutkan dalam kehidupan masa
Belanda yang terdidik secara pikiran namun kurang dalam etika. Hal ini yang
menjadi topik dalam novel “Salah Asuhan” di mana tokoh Hanafi seolah salah
terdidik dikarenakan terlalu sering bergaul dengan kaum Barat. Tokoh Hanafi
digambarkan maju secara pemikiran namun tertinggal secara adab. Hal ini
dibuktikan ketika tokoh tidak mampu menghargai ibu dan istrinya, Rapiah ketika
ia belum mendapatkan apa yang ia kehendaki. Hal ini tentu sangat bertolak
belakang bagi kaum Pribumi sendiri yang sangat mengutamakan ibunya dan
menghargai istrinya.
Novel ini relevan untuk dibaca oleh semua kalangan. Sebab, novel ini
menyadarkan kita bahwa adab sama pentingnya dengan keilmuan. Karena tanpa
adanya adab seseorang yang genius pun tentu akan merusak bagi lingkungannya.
1. Alur
Menurut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 1965:14) mengemukakan
bahwa alur adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian
itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan
atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Agar menjadi sebuah alur,
hubungan peristiwa-peristiwa yang dikisahkan itu haruslah bersebab akibat,
tidak hanya sekadar berurutan secara kronologis saja serta haruslah diolah
dan penyiasatannya itu sendiri merupakan sesuatu yang indah dan menarik.
Alur ini memiliki konflik di dalam cerita dan tampaknya dapat dipahami
sebagai berbagai peristiwa untuk mencapai efek tertentu dan sekaligus
membangkitkan suspense dan surprise pada pembaca.
Dalam novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis ini memiliki
gambaran alur yang menarik dengan rangkaian peristiwa-peristiwa yang
padu dan disusun saling berkaitan sehingga penggambaran jalan cerita
tersbut mudah untuk dipahami. Penyusunan alur cerita dalam novel ini
dihadirkan dalam beberapa unsur dengan diawali pengenalan tokoh,
pengenalan masalah, puncak masalah, sampai dengan bagaimana akhir dari
cerita novel tersebut.
Novel Salah Asuhan ini menggunakan alur maju atau progresif.
Jalannya cerita novel ini dimulai dengan perkenalan hingga pada
penyelesaian. Pengarang menceritakan kehidupan sang tokoh utama
(Hanafi) yang bersahabat sudah cukup lama dengan gadis Eropa, Corrie
hingga ia menikah dengan gadis lain bernama Rapiah yang dijodohkan oleh
ibunya. Kemudian ia bercerai dengan Rapiah dan menikah dengan Corrie
yang kemudian meninggal. Hanafi pun juga meninggal karena bunuh diri.
a. Eksposisi
Di dalam pengenalan cerita inilah diperkenalkan para tokoh pelaku
kepada para pembaca, mencerminan situasi para tokoh, merencanakan
konflik yang akan terjadi, dan sementara itu menjadi indikasi mengenai
resolusi fiksi tersebut. Brooks dan Warren (dalam Tarigan, 1993: 127)
dengan singkat menyatakan bahwa eksposisi dalam ‘proses
penggarapan serta memperkenalkan informasi penting kepada para
pembaca’. Adapun kutipan novel yang mencerminkan bagian eksposisi
yaitu sebagai berikut:
1) “Seorang pun belum ada di tempat permainan tennis, karena kedua
anak muda, yang duduk berlindung di bawah pohon yang rimbun
menghadapi meja the dekat permainan itu, belum boleh dikatakan
hendak bermain, sebab meskipun mereka masing-masing memakai
pakaian tennis, sedang dua buah raket tersandar di kaki kursi, tapi
kedua anak muda itu duduk di dalam kebun di sisi sebuah rumah di
sebelah tempat bermain tennis itu.” (Salah Asuhan, 20019: 1)
2) “Aku tahu betul, bahwa aku hanyalah Bumiputra saja, Corrie!
Janganlah kau ulang-ulang juga.”
“Hanafi, Hanafi! Hari ini fiilmu sangat pula susahnya. Kalau sifat
dan hatimu kurang-kurang kukenal, niscaya akan boleh tumbul
salah persangkaanku atas dirimu. Tapi dari kecil kita bercampur;
dari semasa dibangku sekolah rendah. Jadi fiil tabiatmu sudah jelas
benar bagiku.” (Salah Asuhan, 2009: 3)
3) “Oh, seisi Solok sudah melihat kita seiring, mulai dari Zaman
engkau bercelana monyet dan aku bercelana katok. Lima hari lagi
engkau akan mendiami kota ini, setiap hari kita duduk bersama-
sama di dalam kebun saja. Apakah salahnya bergaya sekali ini di
beranda muka rumahku? Dan aku tidak tinggal membujang
melainkan berserta ibuku. Esok sore pukul lima, he, Cor?” (Salah
Asuhan, 2009: 8)
b. Komplikasi
Dalam suatu karya fiksi kompliasi bertugas mengembangkan
konflik. Tokoh utama menemui gangguan-gangguan yang memisahkan
serta menjauhkan dia dari tujuannya. Dalam komplikasi inilah pembaca
dapat mempelajari serta meneliti dan memahami tipe manusia yang
bagimanakah sebenarnya tokoh utama tersebut. Berikut ini beberapa
kutipan dalam novel Salah Asuhan yang menunjukan bagian
komplikasi:
1) “Hanafi! Engkau juga mulai memperbincangkan tentang adat
lembaga serta tertib kesopanan masing-masing bangsa’ engkaupun
juga yang tak suka mengidahkannya atau mengakui atas adanya
perbedaan adat lembaga antara bangsa dengan bangsa. Setiap kita
bertukar pikiran tentang hal itu, pada akhirnya engkau senantiasa
berkecil hati seolah-olah malulah engkau, bahwa engkau masuk
golongan Bumiputra, yang kau sangka bahwa aku
menghinakannya. Bahwa sesungguhnya kulitku berwarna pula,
ibuku perempuan Bumiputra sejati, meskipun diriku masuk pada
golongan bangsa Eropa.” (Salah Asuhan, 2009: 3)
2) “Sekali lagi Hanafi bangkit dari berbaring, sambil gelak terbahak-
bahak. Maka berkatalah ia, “itulah yang kusegankan benar hidup di
tanah Minangkabau ini, Bu. Di sini semua orang berkuasa, kepada
semua orang kita berutang, baik utang uang maupun utang budi.
Hati semua orang mesti dipelihara dan laki-laki perempuan itu
dipergaduh-gaduhkan dari luar buat menjadi suami-istri.” (Salah
Asuhan, 2009: 31)
3) “Dua tahun sudah berjalan, setelah jadi perundingan Hanafi dengan
ibunya tentang beristri itu. Selain ia membenarkan kata ibunya, ia
pun sudah dinikahkan dengan Rapiah.” (Salah Asuhan, 2009: 73)
c. Klimaks
Titik yang memisahkan komplikasi dengan resolusi disebut dengan
klimaks. Klimaks adalah puncak tertinggi dalam serangkaian puncak
tempat kekuatan-kekuatan dalam konflik mencapai intensifikasi yang
tertinggi. Berikut ini kutipan dalam novel Salah Asuhan yang
menunjukkan klimaks:
1) “Belum ada seminggu lagi antaranya, timbul pulalah perselisihan
antar keduanya, ditimbulkan oleh suatu hal yang tidak berarti saja,
yang salah suatu penghinaan pula dari luar, dari pihak orang lain,
yang berasa perlu menyatakan tidak berkenannya atas perbuatan
kedua anak muda itu.” (Salah Asuhan, 2009: 168)
2) “Sesampainya di rumah pengantin perempuan, mempelai sudah
membantah pula hal bersanding dua. Dinamakannya
‘menepekongkan diri’. Pergaduhan semakin mengancam, karena
sekarang ‘nyinyik mamak’ dan penghulu-penghulu masuk ketengah
lalu sembah menyembah.” (Salah Asuhan, 2009: 175)
3) “Aku menuduh engkau berlaku hina di dalam rumahku ini!”
Demikian kata Hanafi dengan suara keras, sambil berdiri di muka
Corrie yang masih duduk menggigit-gigit serbet. “Tidak usah
bertanyakan ini dan itu, bukti sudah sampai cukup!” (Salah Asuhan,
2009: 177)
d. Resolusi
Dalam bagian inilah akhir suatu fiksi. Pengarang memberikan
pemecahan masalah dari semua peristiwa yang terjadi. Panuti-Sudjiman
(dalam Sugihastuti dan Suharto, 2002: 48) menyatakan penyelesaian
dapat berupa masalah yang melegakan, masalah yang menyedihkan,
atau masalah dibiarkan menggantung tanpa pemecahan. Berikut
beberapa kutipan dalam novel Salah Asuhan yang menggambarkan
Resolusi:
1) “Sudah…datang takdirnya. Vaarwel…Hannetje. Hiduplah dengan
lurus. Pelihara anakmu baik-baik, percaya pada Tuhan. Han
kenangkan Coriie!” Maka terkatup pulalah matanya; dan tidaklah
terbuka-buka lagi” (Salah Asuhan, 2009: 230)
2) “Nah..sublimat, bukan terminum dengan kesalahan tapi sengaja”
“Benar, tapi aku wajib menolong Tuan”
“Sia-sia…banyak kutelan Tuan tidak berhak…aku sengaja…mau
pergi” (Salah Asuhan, 2009: 268)
3) “Dengan bimbang hati mendekatlah ibunya ke kepalanya, lalu
Hanafi berkata dengan suara lemah-lembut, “Ibu…ampuni…akan
dosaku…Syafei pelihara…bai-baik. Jangan…diturutnya
jejakku…” (Salah Asuhan, 2009: 272)
2. Tokoh
Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Watak,
karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan
oleh pembaca dan lebih menonjol pada kualitas pribadi seorang tokoh.
Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1999:32-33) mengemukakan tokoh cerita
(character) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam sesuatu karya
naratif atau drama oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan
kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa
yang dilakukan dalam tindakan. Nurgiyantoro (1995) menyatakan bahwa
tokoh dapat dikelompokkan ke dalam tokoh utama dan tokoh tambahan,
tokoh statis dan tokoh dinamis, tokoh protagonis dan tokoh antagonis, serta
tokoh tipikal dan tokoh netral.
Novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis ini, pengarang
menghadirkan tokoh-tokoh di setiap peristiwa dalam cerita tersebut. Dalam
cerita ini, karakter tokoh utama dimunculkan melalui tokoh antagonis.
Tokoh antagonis inilah yang menyebabkan timbulnya konflik dan
ketegangan sehingga cerita tersebut menjadi menarik. Selain itu, beberapa
tokoh protagonis juga sebagai pendukung dalam jalannya cerita tersebut.
Penggambaran tokoh utama, Hanafi yang memiliki karakter
antagonis dengan beberapa watak yang dimilikinya. Hal ini dapat dilihat
berikut:
a. Durhaka
Hanafi memiliki karakter durhaka kepada ibunya yang dapat
digambarkan dalam kutipan berikut:
1) “Oh, Ibu, jika Ibu hendak menyesal, janganlah aku Ibu sesali,
baiklah Ibu menyesali diri sndiri. Siapakah yang memberikan istri
serupa itu kepadaku?” (Salah Asuhan, 2009:89).
2) “Ya. Ibu, mengucaplah Ibu dengan setulus-tulusnya, barangkali Ibu
akan mendapat ilham, lalu dapat berkata dengan benar. pada
hematku Ibulah juga yang banyak bersalah atas diriku, sudah tentu
dengan tidak sengaja, melainkan karena pendapat yang berlain-lain
juga. Oleh karena menuntuk perintah Ibu saja, maka aku sampai
begini sengsaranya.” (Salah Asuhan, 2009:93).
b. Marah
Selain memiliki karakter durhaka terhadap ibunya, Hanafi memiliki
karakter pemarah yang dapat digambarkan dalam kutipan berikut:
1) “Sudah beberapa kali kau menjelaskan benar-benar, bahwa engkau
orang Barat, aku hanya orang kulit bewarna saha. Kalau pergaulan
kita demikian rintangannya, sebab aku hanya Bumiputra, alangkah
baiknya kalau engkau berkata dan berlaku secara terus terang saja,
Corrie!” (Salah Asuhan, 2009:5).
2) “Apakah yang sudah terjadi atas dirimu, Han? Fiilmu sebagai orang
bertukar pikiran!”
“Ya, Corrie, perangaimu itu akhirnya akan menyeret diriku ke
rumah gila!” (Salah Asuhan, 2009:163)
c. Kasar
Hanafi juga memiliki karakter kasar yang dapat digambarkan pada
kutipan berikut:
1) “Sampai kering kerongkonganku memanggil si Buyung, seorang
pun tidak menyahut!” kata Hanafi sambil membelalakkan matanya
kepada istrinya. (Salah Asuhan, 2009:83)
2) “Telaat, telaat!” kata Hanafi dengan memutar-mutar matanya. “Nah
inilah bahagiannya, bila aku tidak terlambat datang kemari!”
Dengan perkataan itu diempaskannyalah sebuah pestol ke atas
meja, lalu didapatkannya istrinya, sambil diketamnya tangan Corrie
dalam genggamannya. (Salah Asuhan, 2009:181)
d. Keras Kepala
Hanafi juga memiliki karakter keras kepala yang dapat digambarkan
pada kutipan berikut:
1) Hanafi tetap menolak kehendak orang, ia tidak hendak menutup
kepala, karena lebih gila pula dari komidi, bila memakai destar,
saluk dengan baju smoking dan dasi. (Salah Asuhan, 2009:73)
2) “Memang…kasihan! Ah, Ibuku…aku pengecut tapi hidupku
kosong…habis cita-cita baik…enyah!” (Salah Asuhan, 2009:268)
e. Angkuh
Hanafi juga memiliki karakter angkuh yang dapat digambarkan pada
kutipan berikut:
1) “Ha, ha, ha! Bu! Benarkah pendengaranku? Menjadi penghulu?
Saya akan menjadi penghulu dan akan belajar sembah-menyembah
baik asal mereka suka, si Buyung kujadikan penongkat!” (Salah
Asuhan, 2009:27).
2) “Oh, penting sekali. Benar, jika mereka hendak makan enak, tidak
ada keberatan bagiku, bila mereka setiap hari datang kemari. Hanya
selagi saya di kantor saja, Bu, sebab saya memang tidak dapat
bergaul dengan orang-orang serupa itu. Saya di mudik, ia di hilir.”
(Salah Asuhan, 2009:26).
Penggambaran tokoh pendukung, Corrie du Busse yang merupakan
gadis keturunan bangsa Prancis dengan karakternya yang protagonis. Hal
ini dapat digambarkan berikut:
a. Pemaaf
Corrie memiliki karakter pemaaf yang dapat dilihat pada kutipan
berikut:
1) Aku mengampuni dosamu sudah mempergunakan saat sewaktu aku
lemah, buat membawa kehormatanku ke tempat bahaya. Kuampuni
pula dosamu, bahwa engkau sudah melanggar kepercayaanku
kepadamu, kepercayaan yang dari kecilku sudah kugantungkan
padamu, karena kupandang engkau sebagai saudara tuaku. (Salah
Asuhan, 2009:57)
2) Corrie menyapu-nyapu kepala suaminya dengan tapak tangan yang
sebelah, lalu berkata dengan suara yang sayup-sayup sampai, “Oh,
Hannetje, kekasihku. Sudah lama kuampuni dosamu kepadaku. Aku
tahu engkau datang, aku menantikan engkau, buat memberi selamat
tinggal.” (Salah Asuhan, 2009:230)
Penggambaran tokoh pendukung, Rapiah merupakan seorang
bumiputera yang juga sekaligus istri dari Hanafi. Ia memiliki karakter
protagonis yang dapat dilihat berikut:
a. Sabar
Karakter sabar yang dimiliki Rapiah dapat digambarkan pada kutipan
berikut:
1) Setiap hari asal saja sudah menimbulkan amarahnya, perkara itu
sudah dipakainya buat melepaskan sakit hatinya kepada Rapiah.
Tetapi istri yang sabar itu sudah tunduk menangis saja, bagaikan
insaf akan dirinya. (Salah Asuhan, 2009:81)
2) Rapiah sedang meremas kelapa dan sambil melihat dengan sabar
serta air muka yang jernih kepada suaminya, tapi tidak
memperhentikan pekerjaannya, berkatalah ia, “Tidak terdengar di
belakang. Si Buyung membawa Syafei berjalan-jalan ke muka
rumah.” (Salah Asuhan, 2009:83)
Penggambaran tokoh pendukung, Mariam yang merupakan ibu dari
Hanafi, seorang bumiputera bangsa Minangkabau. Ibu Hanafi memiliki
watak protagonis yang dapat dilihat berikut:
a. Bijaksana
Karakter bijaksana yang dimiliki oleh Ibu Hanafi ini dapat digambarkan
pada kutipan berikut:
1) “Ayahmu orang beradat, Hanafi, ibumu orang beradat, senang-
senang hidupmu jika engkau suka menurut yang sepanjang adat
pula.” (Salah Asuhan, 2009:64)
2) Setelah ia duduk di muka Hanafi, maka dippandanginyalah sejurus
akan anaknya, lalu berkata dengan sedih, “Istrimu sangat lilah dan
lebih dari sabar, Hanafi. Oleh karena itu, makin tak patut engkau
berbuat serupa itu.” (Salah Asuhan. 2009:89)
b. Sabar
Karakter sabar yang dimiliki Ibu Hanafi dapat digambarkan pada
kutipan berikut:
1) Demikian juga ibunya, hanya suka menahan sakit senangnya di
rumah Hanafi, karena kasih kepada anak yang hanya seorang itu
saja. (Salah Asuhan, 2009:26)
2) Kesakitan dan kepiluan hati ditanggungnya dengan sabar, karena
belum putus harapannya akan memperbaiki anaknya yang seorang
itu. (Salah Asuhan, 2009:33)
Penggambaran tokoh pendukung, Tuan du Busse merupakan ayah
dari Corrie. Ia merupakan orang Prancis yang pindah ke Solok. Tuan du
Busse memiliki karakter yang dapat dilihat berikut:
a. Tidak Acuh
Tuan du Busse memiliki karakter tak acuh pada orang banyak di luar
keluargannya sendiri. Hal ini dapat digambarkan pada kutipan berikut:
Di hari tuanya ia sudah hidup menyisihkan diri sebagai orang
bertapa. Semati nyonya, yaitu seorang perempuan Bumiputra di
Solok, yang sudah dikawininya di gereja, orang tua itu sudah
mengganjur diri dari pergaulan orang banyak. Tiadalah ia pernah
berkunjung ke rumah orang lain. (Salah Asuhan, 2009:10)
b. Tegas
Sikap tegas yang dimiliki ayah Corrie itu ditunjukan dalam hal
pendidikan anaknya. Hal ini dapat digambarkan pada kutipan berikut:
Sebetulnya Corrie sudah hendak memperhentikan sekolah hingga itu
saja, tapi ayahnya meminta dengan keras, supaya menamatkan
sampai lima tahun. (Salah Asuhan, 2009:12)
3. Latar
Abrams (dalam Nurgiantoro, 1999:284) Latar atau setting yang disebut
juga sebagai landas tumpu, menunjuk pada pengertian tempat, hubungan
waktu sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa
yang diceritakan. Latar memberikan gambaran cerita secara konkret dan
jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca dan
menciptakan suasana tertentu seolah-olah sungguh nyata dan terjadi.
Latar dibedakan menjadi latar tempat, waktu, dan sosial. Latar tempat
menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah
karya fiksi. Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya
peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar sosial menyaran
pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial
masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
a. Latar Tempat
Dalam novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis ini memiliki beberapa
latar tempat yang sangat spesifik namun sangat khas dalam novel
tersebut adalah:
1) Kota Solok
Kota Solok ini merupakan tempat tinggal Hanafi. Tempat-tempat
terjadinya peristiwa di kota Solok tersebut digambarkan pada
kutipan novel di bawah ini:
“Setiap petang berkumpulah beberapa orang penduduk Solok
yang ‘ternama’ ke tempat itu buat bermain tennis. Tua-muda,
gadis dan nyonya, bangsa Barat dan bangsa Timur sekaliannya
bercamapurgaulah di sana, buat memuaskan hati, melakukan
permainan sport yang makin digemari orang di segenap negeri.”
(Salah Asuhan, 2009:1)
Berdasarkan kutipan kalimat diatas, tempat bermain tennis atau
lapangan tennis merupakan tempat yang digunakan Hanafi dan
Corrie untuk bermain tennis. Permainan tennis tersebut merupakan
permainan yang digemari oleh penduduk Solok.
“Tiap-tiap habis bermain tennis, biasanya Hanafi mengantarkan
Corrie sampai ke muka rumahnya. Jarang sekali ia naik rumah,
meskipun ayah Corrie mempersilakan masuk, karena ia tahu,
undangan orang tua yang jarang bermuka manis itu, hanya
dengan senang hati, sekadar hendak mencukupi budi bahasa
saja.” (Salah Asuhan, 2009:8).
Pada kutipan kalimat diatas, diceritakan bahwa tempat kejadian
peristiwa tersebut yaitu di rumah Corrie.
“Jelaslah semua bagi Hanafi. Sepulangnya ke rumah,
mengempaslah ia ke atas sofa, lalu menangis tersedu-sedu.”
(Salah Asuhan, 2009:52).
Pada kutipan kalimat diatas, diceritakan bahwa tempat kejadian
peristiwa tersebut adalah di rumah Hanafi.
2) Betawi
Kota Betawi ini merupakan tempat terjadinya peristiwa bertemunya
kembali Hanafi dan Corrie yang dapat digambarkan dalam kutipan di
bawah ini:
a) “Itulah yang membimbangkan hati Corrie dan menjalarlah
pikirannya kian kemari, waktu ia menempuh jalan bersimpang
yang menuju ke Gambir Selatan. Dengan tidak diketahuinya lagi,
maka ia sudah terpelanting ke tanah, karena kereta anginnya
sudah bertumbuk dengan sebuah kereta angin pula yang
dikendarai oleh seorang pemuda bangsa Betawi.” (Salah Asuhan,
2009:103).
b) “Pada keesokan harinya, petang-petang, datanglah ia ke tempat
Corrie di Gunung Sari, lalu berkata setelah duduk, “Rumah
sudah dapat, Cor! Di Gang Ketapang, letaknya di dalam gang
besar. Sewanya tujuh puluh.” (Salah Asuhan, 2009:155).
3) Semarang
Kota Semarang merupakan tempat pertemuan terakhir Hanafi dan
Corrie sebelum Corrie meninggal. Hal ini dapat digambarkan pada
kutipan novel di bawah ini:
“Sepanjang jalan ke Semarang, Hanafi bersandar saja di atas
bangku kereta api, serta menutupkan matanya.” (Salah Asuhan,
2009:225).
Pada kutipan kalimat diatas, diceritakan bahwa Hanafi pergi ke
Semarang. Kepergiannya itu untuk menjemput kembali istrinya.
Karena Hanafi telah menyesali akan perbuatannya yang telah
menghina istrinya itu.
“Maka bangkitlah Hanafi dari duduknya, lalu menghambur ke
luar, menaiki oto yang masih menanti, lalu berseru sekeras-
kerasnya kepada supir, “Ayoh! Ke Rumah Sakit Paderi, lekas
sekali!” (Salah Asuhan, 2009:228).
Pada kutipan kalimat diatas, diceritakan bahwa Hanafi langsung
menuju ke Rumah Sakit Paderi dengan terburu-buru untuk
menjenguk istrinya. Setelah sampai di rumah sakit, ia bertemu
dengan istrinya untuk terakhir kalinya sebelum Corrie meninggal.
b. Kota Anau
Kota ini merupakan negeri kecil dan juga kampung dari Ibu Hanafi
sebelum mengikuti Hanafi ke kota Solok. Hal itu dapat digambarkan
pada kutipan novel di bawah ini:
a) “Sesampai di Kota Anau, keadaan Hanafi tidak berubah. Di hari
datangnya itu banyaklah kaum kerabat dan nyinyik mamak
datang menemuinya ke rumah gedang.” (Salah Asuhan,
2009:261)
b) “Hanafi tidak bersenang hati buat tinggal selamanya di Kota
Anau. Maksudnya hendak enyah dari tempat itu.” (Salah
Asuhan, 2009:263)
b. Latar Waktu
Dalam novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis ini memiliki
beberapa latar waktu yang sangat spesifik namun sangat khas
dalam novel tersebut adalah:
1) Pagi
Adapun peristiwa yang terjadi pada pagi hari dapat dilihat pada
kutipan berikut:
a) “Sia-sia engkau berlaku dengan tergesa-gesa secara itu,
Piah,” kata mertuanya dengan tersenyum. Hari belum
setengah delapan, kantor pos belum dibuka.” (Salah
Asuhan, 2009:129)
b) Kira-kira pukul tujuh pagi pada keesokan harinya Ibu
Hanafi sudah datang ke rumah makan di Belantung
mendapatkan anaknya. (Salah Asuhan, 2009:254)
2) Siang
Adapun peristiwa yang terjadi pada siang hari dapat dilihat
pada kutipan berikut:
Hari sudah siang, matahari sudah memancarkan sinarnya,
memberi nikmat ke seluruh alam. Penyakit Hanafi semakin
keras. Hanya sepatah-sepatah saja ia berkata-kata dengan
ibunya. Makin banyaknya darah hidup yang
dimuntahkannya. (Salah Asuhan, 2009:267)
3) Sore hari
Adapun peristiwa yang terjadi pada sore hari dapat dilihat pada
kutipan berikut:
Cahaya matahari yang diteduhkan oleh daun-daun di
tempat bermain itu, masih keras, karena dewasa itu baru
pukul tengah lima petang hari. (Salah Asuhan, 2009:1)
4) Malam
Adapun peristiwa yang terjadi pada malam hari dapat dilihat
pada kutipan berikut:
Kira-kira pukul sembilan tuan rumah mengetuk pintunya,
dan dengan tidak menantikan disuruh masuk, pintu pun
dibukanya; dan masuklah ia ke dalam, sambil memutar
menyalakan lampu listrik. (Salah Asuhan, 2009:212)
5) Berlangsung lama
Selain kejadian yang berlangsung pada pagi, siang,
petang/sore, malam hari, kejadian dari novel ini juga ada yang
berlangsung lama. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
Sebenarnyalah Hanafi jatuh sakit keras. Empat belas hari
lamanya ia demam panas, dan buah tuturnya di dalam
demam itu sangatlah membimbangkan hati ibunya. (Salah
Asuhan, 2009:61)
c. Latar Sosial
Latar sosial budaya yang terdapat dalam novel Salah Asuhan karya
Abdoel Moeis ini adalah budaya Minangkabau dalam waktu penjajahan
Belanda. Kebudayaan seperti utang budi, kawin paksa, dan mempunyai
budak. Hal ini dapat dibuktikan pada kutipan novel berikut:
1) Utang Budi
Dalam hal ini, keluarga Hanafi mempunyai utang budi kepada
pamannya yang dapat dilihat pada kutipan berikut:
Meskipun kau angsur beratus atau beribu rupiah, sampai langsai
utang itu, belumlah akan selesai utang-piutang karena utang
budimu harus kau bayar dengan budi pula. (Salah Asuhan,
2009:30)
2) Kawin Paksa
Dalam novel ini, Ibu Hanafi meminta anaknya supaya menikahi
perempuan pilihan ibunya yang dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Yang paling ibu sukai, sudahlah ibu katakan dahulu. Tidak lain
hanyalah Rapiah, anak kakak kandung ibu. Yang seibu sebapa
dengan ibu, hanya Sutan Batuah, guru kepala di Bonjol. Bukan
sebuah-sebuah kebaikannya, jika engkau suka memulangi
Rapiah.” (Salah Asuhan, 2009:65)
3) Mempunyai Budak
Dalam novel ini, adat Minangkabau juga mempunyai budak dimana
budak tersebut akan mengabdi selamanya kepada majikan. Hal ini
dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Simin!” kata Corrie, dengan suara keras dan nyaring,
“Saya, Non!”. (Salah Asuhan, 2009:14)
PENUTUP
Fakta cerita dalam novel Salah Asuhan meliputi karakter, plot dan alur. Alur
dalam novel ini menggunakan alur maju. Tokoh yang terdapat dalam novel ini
adalah Hanafi, sebagai tokoh utama yang memiliki karakter durhaka, pemarah,
kasar, keras kepala, angkuh. Selanjutnya Corrie yang memiliki karakter pemaaf.
Lalu Rapiah yang memiliki karakter sabar. Ibu Hanafi memiliki karakter bijaksana
dan sabar. Terakhir, Tuan du Busse memiliki karakter tak acuh dan tegas. Latar
dalam novel ini meliputi latar tempat; latar waktu; latar sosial. Latar tempat yang
digunakan di kota Solok, Betawi, Semarang, Kota Anau. Latar waktu terdapat
dalam novel yaitu pagi, siang, sore, malam. Latar sosial dalam novel ini adalah
kebudayaan waktu penjajahan Belanda seperti utang budi, kawin paksa,
mempunyai budak.
Sarana sastra dalam novel ini meliputi judul; sudut pandang; gaya dan nada;
simbolisme dan ironi. Judul novel ini memberikan gambaran mengenai Hanafi yang
merupakan warga Melayu ingin pindah kewarganegaraan warga negara Belanda.
Sudut pandang novel ini menggunakan sudut pandang orang ketiga dia mahatau.
Penggunaan gaya bahasa becampur antara budaya barat dan timur. Terakhir,
simbolisme dan ironi. Simbolisme merupakan bentuk yang memberikan makna
setiap kata atau kalimat. Ironi adalah cara untuk menunjukan bahwa sesuatu
berlawanan dengan sebelumnya.
Tema dalam novel ini adalah perbedaan adat istiadat dan pola asuh orang
tua terhadap anaknya, kawin campur antarbangsa, kawin secara paksa. Dari segi
mengambil tema dalam novel ini adalah perbedaan adat istiadat antara sifat sosial
yang taat adat istiadat dan tidak taat adat istiadat.
Dalam novel ini berbentuk alur maju dengan pengembangan tokoh dalam
cerita yang semakin berkembang. Novel ini memiliki tema yaitu inferioritas budaya
dan pandangan budaya kebarat-baratan. Hal ini sangat menyangkut paut dengan
karakter utama yang dirasa sangat dibenci oleh pembaca yaitu Hanafi.
Dalam novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis ini, dapat disimpulkan
mengenai makna judul atau gagasan utama dari makalah ini adalah inferioritas
budaya, amoral, dan penyimpangan religi. Inferioritas budaya dapat dilihat pada
tokoh Hanafi yang dididik sedari kecil dari budaya barat atau kebarat-baratan.
Amoral dapat dilihat pada sifat tokoh Hanafi yang tidak memperdulikan sifat balas
budi terhadap jasa Ayah Rapiah. Penyimpangan religi dapat dilihat pada Hanafi
yang kurangnya kepercayaan dalam beragama.
Berdasarkan hasil makalah ini, kami menyarankan kepada pembaca untuk
meneliti lebih lanjut tentang novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis ini. Kami
berharap dapat melakukan penelitian dari segi unsur ekstrinsiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Moeis, Abdoel. 2009. Salah Asuhan. Jakarta: Balai Pustaka
Nurgiyantoro, B. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press