PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Bahasa merupakan suatu kebutuhan primer bagi manusia, ini berarti bahwa bahasa
memiliki peran dan posisi yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Bahasa
bukan hanya sekedar alat untuk berkomunikasi, bahasa juga merupakan suatu
kebudayaan atau sering kita sebut dengan suatu ciri khas. Tentunya setiap daerah
memiliki bahasanya sendiri, itulah yang menyebabkan mengapa bahasa juga menjadi
suatu kebudayaan. Kebudayaan yang menjadi ciri khas dan kebanggaan dari suatu
daerah.
Jika kita melihat fakta-fakta kehidupan manusia, bahasa menjadi poros yang sangat
menentukan kehidupan manusia. Kita bisa bayangkan bagaimana jadinya jika manusia
hidup tanpa bahasa. Kita akan mati, tak bisa apa-apa jika tanpa adanya bahasa. Entah
itu bahasa lisan, tulisan, dan juga termasuk bahasa tubuh. Telah disebutkan bahwa
bahasa merupakan suatu kebutuhan primer manusia, itu terbukti karena manusia
memang benar-benar tergantung dengan bahasa. Selain itu, bagaimana pun melalui
berperan penting dalam proses penciptaan karya sastra. Karya sastra merupakan hasil
karya yang cukup banyak terdapat di Indonesia. Karya sastra itu sendiri terdiri atas
puisi, prosa, dan drama. Perkembangan karya sastra di Indonesia bukan hanya pada
1
saat ini saja, tetapi juga sudah ada sejak lama. Perkembangan ini membuat karya sastra
Bahasa dan sastra itu saling berkaitan, bahasa adalah media yang dipakai para
penulis untuk menuangkan ide, gagasan, dan perasaannya agar tercipta suatu karya
sastra. Dalam penggunaan bahasa di dalam karya sastra juga terdapat gaya bahasa yang
selalu dipakai dalam setiap karya sastra. Oleh karena itu, disini penulis mengambil
judul “Penggunaan Bahasa dalam Karya Sastra” agar kita tahu sebenarnya bagaimana
hubungan bahasa dengan karya sastra serta bagaimana penggunaan bahasa di dalam
karya sastra itu sendiri. Disini penulis memilih cerpen karangan Asma Nadia yang
berjudul “Rembulan di Mata Ibu” dan puisi karya Sapardi Djoko Damono yang
berjudul “Pada Suatu Hari Nanti” untuk dianalisis bagaimana penggunaan bahasa di
dalamnya serta apa saja unsur yang membentuk karya sastra tersebut.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
2
3. Tujuan Penulisan
Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
3
BAB II
LANDASAN TEORI
1. Bahasa
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa adalah sistem lambang bunyi
yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama,
masyarakat dalam berkomunikasi memiliki dua arti, yaitu bunyi bahasa yang
dihasilkan oleh alat-alat ucap dan arti atau makna yang tersirat dalam bunyi bahasa.
Bunyi bahasa yang disebut dengan arus ujaran tersebut merupakan getaran yang
merangsang alat pendengaran manusia, sedangkan arti atau makna adalah isi yang
Setiap bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat ucap manusia belum dapat
suatu makna tertentu di dalamnya. Suatu arus ujaran dianggap mengandung suatu
Oleh karena itu, setiap kelompok masyarakat pemakai suatu bahasa telah
memiliki kesepakatan atau konvensi mengenai struktur bunyi ujaran tertentu yang
yang lain yang mengandung arti serta makna yang berbeda-beda. Selanjutnya,
hasil proses pembentukan bunyi bahasa yang telah mengandung arti serta makna
4
tertentu tersebut membentuk perbendaharaan kata dari suatu bahasa di dalam
masyarakat pemakainya.
anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap
manusia.
2. Menurut Fodor (1974), bahasa ialah sistem simbol dan tanda. Maksud dari
oleh sifat atau ciri tertentu yang dimiliki benda atau situasi yang dimaksud.
luar yaitu dunia diluar bahasa termasuk dunia dalam diri penutur bahasa.
4. Menurut Felicia (2001:1), bahasa ialah alat yang digunakan untuk dapat
memiliki kedudukan, fungsi serta peran ganda ialah sebagai akar serta
dan teknologi.
5
6. Menurut Owen, Bahasa ialah bahasa dapat didefenisikan sebagai kode
Pertama, bahasa ialah suatu sistem yang sistematis, barang kali juga sistem
9. Menurut Mackey (1986:12), Bahasa ialah suatu bentuk serta bukan suatu
keadaan (lenguage may be form and not matter) ataupun sesuatu sistem
lambang bunyi yang arbitrer, atau suatu sistem dari sekian banyak sistem-
sistem, suatu sistem dari suatu tatanan ataupun suatu tatanan dalam
sistem-sistem.
10. Menurut Wibowo (2001:3), bahasa ialah sistem simbol bunyi yang
11. Menurut Walija (1996:4), Bahasa ialah komunikasi yang paling lengkap
bahasa ialah alat yang dipakai untuk membentuk pikiran serta perasaan,
6
mempengaruhi serta dipengaruhi. Kedua, bahasa ialah tanda yang jelas
dari kepribadian yang baik ataupun yang buruk, tanda yang jelas dari
Ragam bahasa adalah pembagian bahasa yang ditinjau dari bagaimana cara
bahasa itu diutarakan oleh orang yang melakukan komunikasi. Lamuddin Finoza
tersebut, dapat diketahui bahwa ada tiga klasifikasi ragam bahasa yang terdapat
1) Ragam lisan
2) Ragam tulisan
7
2. Ragam bahasa berdasarkan cara pandang penutur
1) Ragam dialek
2) Ragam idealek
3) Ragam Sosialek
1) Ragam terpelajar
2) Ragam resmi
1) Ragam hokum
2) Ragam bisnis
3) Ragam sastra
4) Ragam kedokteran
2. Sastra
Istilah sastra secara etimologis diturunkan dari bahasa Latin, itterature (littera
= huruf atau karya tulis). Istilah itu dipakai untuk menyebut tata bahasa dan puisi.
Istilah Inggris literature, istilah Jerman literature, dan istilah Perancis literature
Dalam bahasa Indonesia, kata ‘sastra’ diturunkan dari bahasa Sansekerta (sas-
biasanya menunjukan alat atau sarana) yang artinya alat untuk mengajar, buku
8
Menurut Wellek dan Warren (1989) sastra adalah sebuah karya seni yang
3. bersifat otonom
hari.
menggunakan bahasa yang berbentuk dan bernilai sastra. Jelasnya faktor yang
pengalaman manusia yang lebih luas daripada yang bersifat estetik saja. Sastra
selalu melibatkan pikiran pada kehidupan sosial, moral, psikologi, dan agama.
dengan membaca sastra kita terlibat secara total dengan apa yang dikisahkan.
sastra, kita memperoleh wawasan yang dalam tentang masalah manusiawi, sosial,
9
Dalam mendefinisikan sastra, Jan Van Luxemburg, Mieke Bal, dan Willem G.
“Karya sastra adalah teks-teks yang tidak selalu disusun untuk tujuan
“Karya sastra adalah jika pembacanya mengambil jarak dengan teks tersebut”.
sebagaimana yang dikutip dalam (Fitryah Hasy, 2009 : 25) adalah sebagai berikut:
1. Mursal Esten
Sastra atau Kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif
sebagai medium dan memiliki efek yang positif terhadap kehidupan manusia
(kemanusiaan).
2. Atar Semi
Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya
10
3. Panuti Sudjiman
Sastra sebagai karya lisan atau tulisan yang memiliki berbagai ciri keunggulan
4. Ahmad Badrun
5. Engleton
Sastra adalah karya tulisan yang halus (belle letters) adalah karya yang
mencatatkan bentuk bahasa. harian dalam berbagai cara dengan bahasa yang
dijadikan ganjil.
6. Plato
Sastra adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan (mimesis). Sebuah
merupakan model kenyataan. Oleh karena itu, nilai sastra semakin rendah dan
7. Aristoteles
Sastra sebagai kegiatan lainnya melalui agama, ilmu pengetahuan dan filsafat.
11
8. Sapardi
bahasa sebagai medium. Bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra
kenyataan social.
9. Taum
Sastra adalah karya cipta atau fiksi yang bersifat imajinatif” atau “sastra adalah
penggunaan bahasa yang indah dan berguna yang menandakan hal-hal lain”
Awalnya sastra hanya dikelompokkan menjadi satu jenis saja yakni cerita.
Namun seiring dengan berkembangnya seni sastra, muncul beberapa jenis baru.
a. dilihat dari sejarahnya karya sastra terdiri dari dua bagian, yaitu :
1. Sastra Lama
Sastra lama adalah karya-karya sastra yang dihasilkan oleh sastrawan yang berda
pada zaman kerajaan atau dimana belum ada pergerakan nasional. Sastra lama terdiri
a. Pantun, yaitu jenis karya sastra yang berbentuk penggalan kalimat biasanya
terdiri dari empat kalimat nasehat, adat, atau ajaran agama dalam yang memiliki
12
bentuk akhiran kalimat selaras. Pantun adalah bentuk puisi lama dengan ciri-
ciri seperti :
Bersajak a-b-a-b
Contoh :
Pada contoh diatas kita lihat sudah bersajak a b a b, dan baris 1 dan 2 adalah
b. Dongeng, jenis karya sastra lama yang berupa cerita fiksi. dongeng ini memiliki
beberapa jenis, diantaranya adalah legenda. febel, mite, sage, dan cerita jenaka.
c. Hikayat, hikayat adalah sastra lama dalam bentuk prosa yang biasanya
2. Sastra Modern
Sastra modern adalah karya-karya sastra yang hidup dan berkembang di kehidupan
13
pergerakan nasional. Sastra modern sendiri biasanya berupa puisi, prosa, cerpen, novel,
dari seni sastra, isi dari seni sastra, dan juga sejarah dari adanya seni sastra, dalam
lingkup yang berbeda ketiga pembahasan diatau bukan tidak mungkin menjadi satu
Adapun beberapa perbedaan antara sastra lama dan sastra modern, yaitu:
Bentuk dari sastra lama adalah terikat sedangkan sastra modern bentuknya
bebas.
Tema dari sastra lama adalah istana sentris dan cenderung kaku sedangkan
Bahasa yang digunakan sastra lama adalah bahasa melayu dan arab
Latar budaya dari sastra lama adalah bersifat anonim sedangkan untuk
Perkembangan dari sastra lama cenderung statis dan lisan sedangkan untuk
1. Prosa
Prosa merupakan bentuk seni sastra yang diuraikan dengan menggunkan bahasa
yang bebas dan cenderung tidak terikat oleh irama, diksi, rima, kemerduan bunyi atau
kaidah serta pedoman kesusastraan lainnya. Jenis tulisan prosa biasanya digunakan
14
untuk mendeskripsikan suatu fakta atau ide. Karenaya prosa bisa digunakan untuk surat
kabar, majalah, novel, ensiklopedia, surat, serta berbagai jenis media lainnya.
Ada 2 jenis karangan bebas (prosa) yaitu prosa lama dan prosa baru.
2. Fabel adalah cerita yang tokoh – tokohnya berupa hewan. Contoh : Kelinci
dan Buaya
4. Mitos adalah cerita tentang makhluk gaib. Contoh : Nyi Roro Kidul
Ciri-ciri umum novel antara lain alurnya lebih rumit dan panjang, tokoh
15
lebih banyak dalam berbagai karakter, latar waktunya lama dengan lingkup
yang luas dan temanya lebih rumit dan kompleks daripada cerpen.
4. Biografi adalah karangan yang berisi riwayat hidup seseorang yang dituis
masalah dengan penyajian data atau fakta. Dalam karangan ini biasanya
pembaca agar mau melakukan sesuatu sesuai yang diinginkan penulis atau
pengarang.
2. Puisi
Puisi adalah sebuah karya sastra yang diuraikan menggunakan diksi atau kata-kata
pilihan, dicirikan dengan pembahasan yang padat namun indah, biasanya karya puisi
mempertajam kesadaranya melalui bahasa yang memiliki irama dan makna khusus.
16
Di dalam puisi, terdapat unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik, unsur instrinsik puisi
diantaranya :
Diksi yaitu kata-kata yang dipilih seorang penyair dalam menciptakan puisi.
pembaca tentang peristiwa atau perasaan yang dialami penyair sehingga pembaca ikut
merasakannya.
Rima yaitu persamaan bunyi dalam puisi yang berguna untuk memperjelas
secara teratur.
17
Mengeja kata-kata dengan jelas disertai mimik yang sesuai apa yang
disampaikan.
3. Drama
Drama adalah bentuk sastra yang dilukiskan dengan menggunakan bahasa yang
bebas dan panjang, serta disajikan menggunkan dialog atau monolog. Drama terdiri dari
dua jenis, yaitu drama dalam bentuk naskah dan drama yang dipentaskan. Drama juga
Macam-macam drama:
2. Komedi yaitu cerita yang di dalamnya mengandung humor, candaan yang bisa
menghibur penikmatnya.
pementasan seninya.
a. Kerangka cerita
b. Penokohan
18
Ada 3 macam watak tokoh, yaitu:
Antagonis yaitu watak tokoh yang berperilaku jahat atau penenta yang
kebaikan.
1. Epik
2. Lirik
Lirik adalah karangan yang berisi curahan perasaan pengarang secara subjektif.
3. Didaktif
Didaktif adalah karya sastra yang isinya berupa pesan moral, tata krama,
19
4. Dramatik
Dramatik adalah karya sastra yang isinya melukiskan suatu kejadian dengan
Secara sederhana Horace mengatakan bahwa sastra itu dulce et utile yang berarti
indah dan bermakna. Sastra sebagai sesuatu yang dipelajari atau sebagai
nilai sosial budaya, diantaranya terdapat dalam puisi, prosa, dan drama.
pengajaran apresiasi sastra dan bagaimana menggunakan media yang berupa puisi,
novel, cerpen, dan drama ini untuk mengungkap nilai-nilai kehidupan sesuai
berikut:
didalamnya.
20
3. Fungsi estetis, yatiu sastra mampu memberikan keindahan
penikmat/pembaca sastra.
Karya sastra disusun oleh dua unsur yang menyusunnya, dua unsur yang
dimaksud adalah unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang
menyusun sebuah karya sastra dari dalam yang mewujudkan struktur suatu karya
sastra, seperti: tema, tokoh dan penokohan, alur dan pengaluran, latar dan
pelataran, dan pusat pengisahan. Sedangkan unsur ekstrisik ialah unsur yang
1. Unsur Intrinsik
Tema adalah persoalan yang menduduki tempat utama dalam karya sastra.
Tema mayor ialah teman yang sangat menonjol dan menjadi persoalan. Tema
dalam karya sastra. Amanat biasa disebut makna. Makna dibedakan menjadi makna
niatan dan makna muatan. Makna niatan adalah makna yang diniatkan oleh
21
pengarang bagi karya sastra yang ditulisnya. Makna muatan ialah makna yang
Tokoh ialah pelaku dalam karya sastra. Dalam karya sastra biasanya ada
beberapa tokoh, namun biasanya ada satu tokoh utama. Tokoh utama ialah tokoh
yang sangat penting dalam mengambil peranan dalam karya sastra. Dua jenis tokoh
adalah tokoh datar (flash character) dan tokoh bulat (round character).
Tokoh datar ialah tokoh yang hanya menunjukkan satu segi, misalnya baik saja
atau buruk saja. Sejak awal sampai akhir cerita tokoh yang jahat akan tetap jahat.
Tokoh bulat ialah tokoh yang menunjukkan berbagai segi baik buruknya, kelebihan
dan kelemahannya. Jadi ada perkembangan yang terjadi pada tokoh ini. dari segi
kejiwaan dikenal tokoh introvert dan ekstrovert. Tokoh introvert ialah pribadi
pribadi tokoh tersebut yang ditentukan oleh kesadarannya. Dalam karya sastra
dikenal pula dengan tokoh protagonis dan antagonis. Tokoh protagonis adalah
tokoh yang disukai pembaca atau penikmat sastra karena sifat-sifatnya. Antagonis
adalah tokoh yang tidak disukai pembaca atau penikmat sastra karena sifat-
sifatnya.
1) Cara analitik, ialah cara penampilan tokoh secara langsung melalui uraian
langsung.
22
2) Cara dramatik ialah cara menampilkan tokoh tidak secara langsung tetapi
terjadi.
Alur disebut juga plot, yaitu rangkaian peristiwa yang memiliki hubungan
sebab akibat sehingga menjadi satu kesatuan yang padu, bulat, dan utuh. Alur
kualitasnya, pengaluran dibeakan menjadi alur erat dan alur longgar. Alur erat ialah
alur yang tidak memungkinkan adanya pencabangan cerita. Alur longgar adalah
pengaluran dibedakan menjadi alur tunggal dan alur ganda. Alur tunggal ialah alur
23
yang hanya satu dalam karya sastra. Alur ganda ialah alur yang lebih dari satu
Dari segi urutan waktu, pengaluran dibedakan menjadi alur lurus dan alur tak
lurus. Alur lurus adalah alur yang melukiskan peristiwa-peristiwa berurutan dari
awal sampai akhir cerita. Alur tidak lurus ialah alur yang melukiskan tidak urut
dari awal sampai akhir cerita. Alur tidak lurus bisa menggunakan gerak balik
Latar disebut juga setting, yaitu tempat dan waktu terjadinya peristiwa-
peristiwa yang terjadi dalam sebuah karya sastra. Latar atau setting ini dibedakan
menjadi latar material dan sosial. Latar material ialah lukisan latar belakang alam
atau lingkungan dimana tokoh tersebut berada. Latar sosial ialah lukisan tata krama
tingkah laku, adat dan pandangan hidup. Sedangkan perlataran ialah teknik atau
e. sudut pandang
Sudut pandang suatu cerita dikisahkan oleh pencerita. Pencerita disini adalah
pribadi yang diciptakan pengarang untuk menyampaikan cerita. Paling tidak ada
dua pusat pengisahan yaitu pencerita sebagai orang pertama dan pencerita sebagai
orang ketiga. Sebagai orang pertama pencerita duduk dan terlihat dalam cerita
tersebut, biasanya sebagai aku dalam tokoh cerita. Sebagai orang ketiga, pencerita
tidak terlihat dalam cerita tersebut, ia duduk sebagai seorang pengamat atau dalang
2. Unsur Ekstrinsik
Tidak ada sebuah karya sastra yang tumbuh otonom. Karya sastra ini selalu
24
kemasyarakatan seperti tradisi sastra, kebudayaan lingkungan, pembaca sastra,
serta kejiwaan mereka. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa unsur ekstrinsik
adalah unsur yang membentuk karya sastra dari luar sastra itu sendiri. Untuk
kerabat seperti sosiologi, psikologi, dan lain-lain. Contoh unsur ekstrinsik yang
1) Agama pengarang
2) Pendidikan pengarang
3) Ekonomi pengarang
digunakan dalam segala ragam bahasa baik ragam lisan, tulis, nonsastra, dan ragam
sastra, karena gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa dalam konteks tertentu
oleh orang tertentu untuk maksud tertentu. Akan tetapi, secara tradisional gaya
bahasa selalu ditautkan dengan teks sastra, khususnya teks sastra tertulis. Gaya
bahasa mencakup diksi atau pilihan leksikal, struktur kalimat, majas dan citraan,
pola rima, matra yang digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam
Jorgense dan Phillips (dalam Ratna, 2009: 84) mengatakan bahwa gaya bahasa
bukan sekedar saluran, tetapi alat yang menggerakkan sekaligus menyusun kembali
dunia sosial itu sendiri. Lebih jauh menurut Simpson (dalam Ratna, 2009: 84) gaya
25
kemampuan bahasa khususnya bahasa yang digunakan. Stilistika dengan demikian
memperkaya cara berpikir, cara pemahaman, dan cara perolehan terhadap substansi
yang dapat digunakan untuk mempengaruhi sikap dan perasaan pembaca. Untuk
itu, bentuk pengungkapan bahasa harus efektif dan mampu mendukung gagasan
secara tepat yang memiliki segi estetis sebagai sebuah karya. Kekhasan, ketepatan,
menentukan keefektifan wacana atau karya yang dihasilkan. Hal ini bisa dikatakan
Beberapa ragam majas atau gaya bahasa dapat dikelompokkan menjadi empat
kelompok, yaitu:
merendahkan diri.
26
4. Majas Repetisi Adalah gaya bahasa mengulang kata-kata tertentu
10. Majas Interupsi Adalah gaya bahasa yang menggunakan sisipan kata/frase
ini diterangkan oleh pemakaian kata seperti, sebagai, ibarat, umpama, bak,
dan laksana.
27
4. Alegori adalah gaya bahasa yang memperlihatkan perbandingan yang
1. Majas Ironi Adalah gaya bahasa sindiran yang paling halus. Kadang yang
3. Majas Sarkasme Adalah gaya bahasa sindiran yang paling kasar sehingga
28
d. Gaya bahasa (majas) pertentangan
berlainan.
29
BAB III
PEMBAHASAN
Karya sastra merupakan suatu ciptaan atau karya manusia yang di dalamnya
membutuhkan bahasa. Entah itu bahasa tulisan maupun lisan. Bahasa tulisan digunakan
ketika penciptaan karya sastra, sedangkan bahasa lisan digunakan saat karya itu
dipentaskan. Dalam karya sastra puisi, prosa, atau pun drama sebenarnya tidak terpaut
aturan bahwa bahasa yang digunakan harus bahasa baku atau tidak.
Ditinjau dari sejarahnya memang karya sastra terbagi atas sastra lama dan sastra
baru, namun karena memang karya sastra itu banyak jenisnya tentu tiap jenis karya
sastra memiliki aturan dan cirinya sendiri. Karena ada dari beberapa karya sastra
terutama sastra lama yang menggunakan bahasa baku dalam penciptaannya. Tetapi
perbedaan bahasa yang digunakan dalam karya sastra lama dan sastra baru adalah sastra
lama cenderung menggunakan bahasa Melayu dan bahasa Arab, karena memang
bahasa Indonesia pun berawal dari bahasa Melayu yang merupakan bahasa nenek
moyang bangsa Indonesia namun seiring berjalannya waktu bahasa Indonesia memiliki
bahasa sendiri dan terpisah dari bahasa melayu. Sedangkan karya sastra baru atau
Suatu karya sastra pasti mempunyai sifat khayal, adanya nilai-nilai seni atau
estetis. Oleh karena itu, dalam karya sastra diperlukan penggunaan bahasa yang khas
pembacanya. Berbeda dengan karya lain dimana bahasa yang digunakannya harus
bersifat ilmiah dan disepakati oleh masyarakat keilmuan, bahasa dalam karya sastra
dapat bermakna konotatif dan asosiatif yaitu makna yang tidak sebenarnya. Selain itu
30
bahasa dalam karya sastra juga dapat bermakna ekspresif yang berarti dapat
membayangkan suasana pribadi pengarang atau pun bermakna sugestif yang artinya
modern pun kian lama kian berubah. Sekarang banyak sekali karya sastra yang
menggunakan bahasa modern yang sering kita sebut bahasa ‘gaul’ dalam proses
penciptaannya. Hal ini terjadi karena tidak terikatnya pembuatan sastra dengan aturan,
karya sastra itu bebas. Pengarang bisa dengan bebas menciptakan karyanya. Itu
merupakan sebab mengapa sastra modern kini lebih diminati oleh masyarakat, karena
menggunakan bahasa modern pula. Bahasa yang memang digunakan oleh masyarakat
dalam kehidupan sehari-hari sehingga mereka lebih memahami karya sastra yang
Berbeda dengan karya sastra lama, sastra lama biasanya menggunakan bahasa
yang lebih rumit. Para pembaca harus menafsirkan dan menerka-nerka apa makna dari
bahasa yang digunakan oleh penyair dan pengarang zaman dahulu. Oleh sebab itu,
penggunaan bahasa dalam karya sastra lama dan baru bisa dibedakan melalui hal-hal
tersebut. Salah satu hal yang menyebabkan bahwa masyarakat sekarang lebih menyukai
sastra baru adalah penggunaan bahasanya yang lebih mudah dipahami daripada sastra
lama yang penuh makna dan harus kita tafsirkan terlebih dahulu.
Puisi adalah salah satu bentuk karya sastra yang memiliki ciri khas dalam
penggunaan bahasanya, yaitu menggunakan kata-kata indah dan penuh makna dibalik
kata-kata itu. Keindahan sebuah puisi diciptakan oleh diksi, majas, rima, dan irama
yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Dalam karya sastra puisi hal yang paling
31
penting adalah penggunaan diksi atau pemilihan kata yang tepat di dalam karya
tersebut. Diksi sangat berperan penting dalam sebuah karya puisi, puisi akan memiliki
niali keindahan jika menggunakan kata-kata yang tepat. Hal itu juga berpengaruh pada
minat baca para pembaca, minat para pembaca akan tergugah jika sebuah puisi
Bahasa yang digunakan dalam puisi berbeda dari bahasa yang digunakan kita
dalam kehidupan sehari-hari. Puisi menggunakan bahasa yang ringkas, namun penuh
makna. Kata-kata yang digunakan puisi pun merupakan kata-kata konotatif atau kata
yang memiliki arti pinjaman, karena kata-kata konotatif biasanya mengandung banyak
penafsiran dan pengertian. Hal itu diperlukan agar pembaca menafsirkan makna puisi
disini maksudnya penulis bisa dengan bebas mengembangkan ide serta gagasannya
dalam sebuah karangan. Tentu bahasa yang digunakannya pun bahasa yang bebas
sesuai keinginan penulis dan sesuai dengan tema yang diusung dalam sebuah karangan
prosa.
Semua penulis karangan prosa seperti penulis cerpen dan novel memiliki bahasa
ciri khas dalam setiap tulisannya. Seperti karangan karya Boy Candra yang selalu
menggunakan kata “hujan”, “kenangan”, dan “cinta” di setiap ceritanya. Boy Candra
mengenai patah hati yang dialami oleh seorang lelaki kemudian lelaki itu ditinggalkan
oleh wanita yang ia cintai yang memiliki kenangan indah bersamanya, biasanya karya
32
Boy Candra lebih diminati oleh kaum remaja perempuan masa kini karena mereka
menganggap bahwa karangannya sesuai dengan kehidupan remaja masa kini dan
bahasa yang digunakan Boy Candra dalam setiap karangannya pun cenderung lebih
mudah dipahami karena tidak menggunakan bahasa yang sulit dimengerti yang
mengharuskan kita berpikir dan menafsirkan apa maksud dari tulisan tersebut.
Berbeda dengan Boy Candra, Sujiwo Tejo yaitu seorang sastrawan Jawa lebih
memilih untuk menggunakan bahasa yang lebih berbudaya, novel-novel yang ditulisnya
cenderung menggambarkan pasangan Rahwana dan Sinta yang terkenal akan keabadian
cintanya. Sujiwo Tejo menggunakan bahasa yang lebih “ilmiah” dalam setiap
karangannya. Cinta Rahwana dan Sinta dikaitkan dengan kisah-kisah penciptaan alam
para pembaca masa kini kurang berminat untuk membaca karangan-karangan seperti
itu karena bahasa yang digunakan lebih rumit dan mereka menganggap bahwa
keadaannya tidak sesuai dengan apa yang mereka alami. Pembaca akan lebih tertarik
untuk membaca sesuatu apabila kisah yang digambarkan sesuai dengan apa ayang
karangan-karangan dari Sujiwo Tejo sendiri, karena di luar itu semua masih banyak
Pengarang yang lain, seperti Tere Liye memiliki ciri khas yang berbeda.
Bahasa yang digunakannya pun bahasa atau kata-kata yang berkaitan dengan
keagamaan seperti yang ditulisnya dalam buku “Hapalan Sholat Delisa” dan “Moga
Bunda Disayang Allah”. Selain buku yang bertema keagamaan tersebut, Tere Liye juga
33
mengeluarkan karangan-karangan yang berjudul nama-nama yang berkaitan dengan
Ciri khas berbahasa dalam sebuah karangan prosa memang diperlukan oleh
setiap pengarang, itu merupakan modal utama agar karya-karyanya dapat dikenang dan
Drama merupakan karya sastra yang menggunakan lakon dan dialog yang biasa
penggemarnya, salah satunya dengan lakon suka dan duka dalam menjalani kehidupan.
hidup di dunia ini. Bahasa yang digunakan dalam karya sastra drama pun lebih mudah
dipahami karena tidak membutuhkan penafsiran mendalam seperti halnya puisi. Sebab
drama merupakan contoh peristiwa dalam kehidupan sehari-hari yang dibuat dalam
sebuah lakon, sehingga para penikmat drama pun akan lebih mudah memahaminya.
Hingga saat ini, drama masih sangat eksis di kalangan masyarakat. Apalagi pada
era modern seperti sekarang ini banyak drama yang dipentaskan melalui sebuah
sinetron yang disiarkan oleh televisi nasional, penggemarnya pun masih sangat banyak
dalam kehidupan sehari-hari meliputi hal percintaan, sosial, dan agama serta konflik
Bahasa yang digunakan pun cenderung tidak baku karena memang sesuai
kehidupan sehari-hari kita saat ini. Bahasa yang digunakan biasanya selalu sesuai
dengan tema drama itu sendiri. Sayangnya memang drama-drama yang disiarkan dalam
34
sinetron dewasa ini banyak menceritakan percintaan disbanding dengan drama yang
Namun, drama-drama di luar yang dipentaskan melalui sinetron pun saat ini
masih berjalan di kalangan masyarakat. Terlebih masyarakat Jawa dengan drama lakon
Arjuna atau pun Rahwana dan Sinta serta masyarakat Sunda dengan drama-drama ciri
khasnya. Tentunya bahasa yang digunakan dalam drama Jawa dan Sunda masih
drama-drama tersebut diterjemahkan ke bahasa Indonesia yang baik dan benar agar
Peran atau fungsi bahasa dalam karya sastra adalah sebagai alat dan tujuan. Karya
sastra tercipta melalui bahasa, tidak ada satu pun karya sastra yang tercipta tanpa
menggunakan bahasa. Oleh karena itu, sastra dan bahasa selalu saling berkaitan.
Dengan kata lain bahwa sastra adalah bahasa itu sendiri. Karya sastra menggunakan
bahasa sebagai media utama dalam pembuatannya, juga sebagai tujuan dari dibuatnya
karya sastra. Karena segala sesuatu yang diungkapkan penulis melalui sebuah karya
sastra itu menggunakan bahasa, juga tujuan dari penulis mengungkapkan gagasannya
pun tersampaikan melalui bahasa yang digunakannya dalam sebuah karya sastra.
Adapun beberapa hal umum mengenai bahasa yang diperlukan dalam pembuatan
karya sastra adalah pemakaian ejaan, kata, frasa, klausa, kalimat dan paragraf
Terkait dengan gaya bahasa pun bahasa Indonesia memiliki peran yang sangat
signifikan. Sebagai salah satu media komunikasi, disini bahasa Indonesia mempunyai
peran yang dinamakan literer. Dimana peran ini mengungkaapkan nilai-nilai keindahan,
35
estetika, dan imajinasi. Bisa dibilang fokus utama dari karya sastra adalah pada diksi
dan gaya bahasa. Diksi merupakan pilihan kata. Perlu dilakukan untuk dapat membuat
kalimat yang baik, benar dan menarik. Gaya bahasa secara sederhana merupakan
bagaimana cara orang berbahasa atau menyampaikan pesan bahasa. Tentunya dapat
bahasa dalam karya sastra juga berfungsi sebagai identitas. Artinya, gaya bahasa A akan
menunjukkan karya satra itu adalah karya sastra A. Lalu, tujuan utama gaya bahasa
dalam karya sastra adalah untuk menghadirkan aspek. Karya sastra yang indah terlihat
Menurut Ratna (2009: 63) unsur utama karya sastra itu adalah bahasa. Dan ada
ada dua hal yang melatarbelakangi itu. Pertama, bahasa (lisan atau tulisan) adalah alat
kehidupan di dunia ini adalah bahasa maka cara untuk memahamina adalah lewat
bahasa. Karya sastra lebih menekankan pada aspek keindahan atau estetika. Maka hal
ini adalah tujuan utama dari dari diguanakannya gaya bahasa dalam penulisan karya
sastra (Ratna, 2009: 67). Karya sastra yang baik juga terlihat dari gaya bahasanya yang
baik pula.
Bahasa Indonesia membentuk karya sastra Indonesia. Sebuah karya sastra ada
karena ditopang bahasa. Bahasa Indonesia merupakan medium untuk membentuk karya
sastra (karya sastra Indonesia). Bahkan merupakan bahan yang utama (Ratna, 2009:
64). Sebuah karya sastra bisa ada karena adanya bahasa. Intinya, karya sastra tertulis
lahir dari bahasa terkait dan bahasa merupakan unsur utama pembentuk karya sastra,
36
6. Penggunaan Bahasa dan Analisis Unsur Pembentuk Cerpen “Rembulan di Mata
Kupandangi telegram yang barusan kubaca, batinku galau. Ibu sakit Diah,
pulanglah! Begitu satu-satunya kalimat yang tertera di sana. Mbak Sri menyuruhku
kemarin aku masih melihatnya berjalan memberi makan ternak-ternak kami sendirian.
rumah kecil kami yang hanya berupa noktah dari balik bukit. Tidak. Ibu bahkan tak
pernah kelihatan lelah dimalam hari. Saat semua aktivitas seharian yang menguras
Tak hanya kuat, dari mulutnya pun masih kerap terdengar ungkapan-ungkapan
pedas, khususnya yang ditujukan kepadaku. “Jadi perempuan jangan terlalu sering
melamun Diah! Bekerja, itu akan membuat tubuhmu kuat!” komentarnya suatu hari
padaku. Padahal, saat itu aku sama sekali tidak menganggur. Sebuah buku berada
dipangkuanku. Tapi, Ibu tak pernah menghargai kesukaanku membaca. Di mata beliau,
Di waktu yang lain Ibu mengecam kebiasaanku rapat dengan para pemuda desa.
Ibu sama sekali tak mau mengerti kalau rapat-rapat yang kulakukan bukan tanpa tujuan.
menyumbangkan pemikiran bagi kemajuan desa. Bagi wanita sederhana itu, menghalau
ternak lebih berguna daripada bicara panjang lebar, dan adu pendapat. “Kau pikir bicara
bisa membuatmu mendapatkan uang?” Ingin sekali saat itu aku mengangguk dan
menantang matanya yang sinis. Tak tahukah Ibu, di kota sana, banyak sekali pekerjaan
37
yang mementingkan kemampuan bicara. Seharusnya Ibu melihat kegiatan pemilihan
lurah desa, dan tak hanya berkutat dengan ternak – ternaknya di padang rumput. Pak
Kades takkan terpilih kalau dia tak punya kemampuan meyakinkan dan menenangkan
rakyatnya! Akan tetapi, kalimat itu hanya ketelan dalam hati. Tak satu pun
kumuntahkan di hadapannya.
Caraku berpakaian pun tak pernah benar dimatanya. Ada saja yang salah. Yang
tak rapilah, kelihatan kelaki-lakianlah dan segalanya. Sebetulnya aku heran, kenapa tiga
mbakku yang semuanya perempuan itu bisa melalui hari dengan keterpasungan
pemahaman Ibu. Mereka bisa sekolah, paling tidak sampai es em pe dan es em a tanpa
banyak bertengkar dengan Ibu. Lulus sekolah, menikah dan punya anak … dan sekali
lagi, tanpa mengalami pertentangan dengan Ibu. Sedangkan aku? Rasanya tak ada satu
hal pun, yang pernah kulakukan, yang dianggapnya benar. Selalu saja ada yang kurang.
Dahulu sekali aku pernah mencoba menyenangkan hati wanita itu. Kucoba
memasakkan sesuatu untuknya. Meski semua saudaraku tahu, aku benci kegiatan dapur
itu. Hasilnya? Aku menyesal telah mencoba karena Ibu sama sekali tak menghargai
usahaku. “Beginilah jadinya kalau anak perempuan cuma bisa belajar. Tak tahu
bagaimana memasak! Siapa yang mau menikahimu nanti kalau begini Diah?”
Dan saat itu aku makin tersungkur dalam ketidakberdayaanku menghadapi Ibu.
Perlahan aku malah berhenti berusaha menenangkan hatinya. Aku capek. Maka saat ada
dengan peluang beasiswa, kegempur habis kemampuanku, agar kesempatan itu tidak
Aku harus pergi, menjauh dari Ibu, dari komentar – komentarnya yang
melihat aku mempersiapkan diri menghadapi tes bea siswa itu. “Kau tak kan berhasil
38
Diah! Tak usah capek-capek! Wanita akan kembali ke dapur, apapun kedudukannya!”
Tak kuhiraukan kalimat Ibu. Seperti biasa aku selalu berusaha menahan diri. Setidaknya
hingga saat itu. Kala pertahanan diriku roboh ke tanah. Dan untuk pertama kali aku
berani menantang matanya yang selalu bersinar sinis, dan kurasakan tanpa kasih.
Saat itu aku merasa begitu yakin. Wanita tua yang kupanggil Ibu selama ini, tak
pernah dan tak akan pernah mencintai diriku! “Diah … kok melamun?” Aku mengusap
air mata yang menitik. Laila yang menangkap kesedihanku menatapku lekat. Ada
nuansa khawatir pada nada suaranya kemudian. “Ada apa? Tulisanmu ada yang ditolak?
Mana mungkin!” ujarnya mencoba melucu. Aku tertawa pelan, mencoba mengurangi
beban dihatiku, kubalas tatapan matanya. Wajah tulus sahabat baikku itu memancar di
Aku berdehem berat.“Li … percayakah kamu kalau aku bilang, ada Ibu yang tak
pernah mencintai anaknya?”. Laili menatapku bingung. Pertanyaan ini mungkin aneh
di telinganya. Apalagi aku tahu keluarganya adalah keluarga terhangat yang pernah
kutemukan. Ibu Laili tak hanya bijaksana, tapi juga selalu melimpahinya dengan
“Aku rasa, mencintai adalah naluri yang muncul otomatis saat seseorang menjadi
Ibu, Diah! Itu karunia Allah yang diberikan pada setiap Ibu. Rasa kasih, mengayomi,
dan melindungi!” jawab Laili hati-hati. Aku mengalihkan pandangan dari matanya.
Kami sudah tinggal satu kos selama hampir lima tahun. Kupercayakan seluruh
kegembiraan dan saat-saat sulitku padanya. Tapi, tak pernah sekalipun aku bercerita
Sekali lagi airmataku menitik. Ingat, selama kurun lima tahun ini, aku tak pernah
menjenguk Ibu. Ya, tidak sama sekali pun! Meski batinku terasa kering. Bagaimanapun
sebagai anak, aku punya kasih yang ingin bisa kupersembahkan pada wanita yang
39
melahirkanku. Sayangnya, tak pernah ada kesempatan bagiku untuk mewujudkannya
itu. Ibu tak pernah menangkap sinar kasih dimataku, apalagi membalasnya dengan
pelukan hangat. Ibu tak pernah peduli! Bagaimana aku tidak mulai membencinya secara
perlahan? Mungkin tidak dalam artian kata benci sesungguhnya. Terus terang, aku
Dalam tahun-tahun yang telah kulalui aku hanya mengirim surat dan foto pada
semua kakak dan keponakanku. Tak satu pun kualamatkan untuk Ibu. Kalaupun secara
rutin kusisihkan uang honor menulisku untuk Ibu, itu pun tak pernah kukirimkan
langsung. Selalu lewat salah satu kakakku. Paling sering lewat mbak Sri. Aku belajar
menyingkirkan kebutuhanku akan kasih sayang dan sikap keibuan darinya. Aku belajar
… melupakan Ibu!
“Diah … kenapa kamu menanyakan itu?” suara Laili kembali terdengar. Batinku
makin kisruh. Apa pendapatnya kalau tahu, teman baiknya, selama ini telah melupakan
Ibunya? Padahal dalam Islam tertera jelas keutamaan untuk berbakti dan menghormati
Ibu. Selama ini aku selalu berdalih di hadapan-Nya dalam shalat – shalat yang kulalui.
Bukan aku tak mencintainya. Tapi … sepertinya itu kehendak Ibu sendiri untuk
dilupakan! “Ibuku sakit Li! Apa yang harus kulakukan?” tanyaku akhirnya tanpa daya.
Laili tersenyum. Tangannya kembali menggenggam jemariku. “Itu aja kok, bingung!
Barangkali dia kangen padamu. Tengoklah Ibu, Di! Eh, kapan terakhir kali bertemu?”
Teman baikku itu seperti teringat saat-saat libur kuliah yang tak pernah kumanfaatkan
waktu di kos, merentang hari. “Aku tak pernah pulang, Laili. Sudah lima tahun!”
jawabanku membuat Laili tersedak. Pantas saja gadis itu kaget. Lima tahun bukan
waktu yang singkat. “Kamu harus pulang secepatnya, Di! Biar aku yang memesankan
tiket kereta. Jangan lupa bawa oleh-oleh untuk Ibumu. Hm…apa ya, kesukaan beliau?”
40
Tiba-tiba Laili dilanda kesibukan dan kepanikan luar biasa. Seakan membayangkan
mengunjungi ibunya sendiri, yang tak pernah ditemuinya selama lima tahun! “Tak perlu
repot-repot Laili! Biar kuurus sendiri!” tolakku halus, tetapi Laili tetap bersikeras. “Hey
… jangan begitu dong, Di!selama ini kamu selalu repot-repot saat mengunjungi kami.
Jadi .. biarkan aku yang mengurus perjalananmu kali ini. Lagi pula, kamu masih harus
Aku menyerah. Sebelum Laili pergi, aku menatapnya sekali lagi,“Kamu yakin
aku harus pulang, Li?” Pertanyaanku hanya disambut senyum hangatnya. “Tentu,
pulanglah, Ibu pasti kangen kamu Diah!” Ahh… andai Laili tahu, perempuan macam
apa Ibuku itu! Beliau lebih keras dari karang Laili, karang masih bisa terkikis air laut,
tetapi Ibuku?
Rumah mungil kami tak banyak berubah. Juga rumah petak-petak kecil
disampingnya. Dimana ketiga mbakku dan keluarganya tinggal. Saat aku masuk
sentuhan tangan Ibu. Mbak Sri bilang, setahun belakangan ini Ibu beberapa kali jatuh
sakit. Akan tetapi, beliau tidak pernah mengijinkan mereka mengabarkan padaku.
duduk dua bocah cilik bergelayut manja. “Ibu tak ingin aku mengganggu kuliahmu,
Diah!” Aku tersenyum sinis mendengar perkataan kakak tertuaku itu. Sejak kapan Ibu
Mbak Rahayu yang lebih banyak diam pun ikut menambahkan, “Ibu sering
bertanya pada kami Diah, berkali-kali malah. Sudah tahun ke berapa kuliahmu? Berapa
lama lagi selesai.” “Sebetulnya Ibu sangat kangen kepadamu Diah, tapi Ibu lebih
41
anaknya. Tapi, aku tak merasa perlu diyakinkan. Aku kenal Ibu. Dan selama jadi
anaknya, tak pernah Ibu bersikap kasih padaku. Tidak sekali pun, perkataan kakak-
kakakku barusan semata-mata untuk menyenangkan hatiku. Agar aku tak merasa
kejadian lima tahun yang lalu, pertengkaran hebatku dengan Ibu. Pertengkaran yang
Tujuannya satu, agar aku tak pergi. Bagiku, sikap Ibu saat itu sangat egois dan kekanak-
meraih beasiswa macam ini, beliau sebaliknya. Tak tahukah Ibu, kalau aku harus
menyingkirkan ribuan orang untuk meraih prestasi ini? Kucoba menuliskan telinga,
tetapi kalimat-kalimat pedasnya tak berangsur surut. Malah bertambah keras. “Pergi ke
kota bagi perempuan macam kau Diah, hanya akan menjadi santapan laki-laki! Tak ada
tempat aman kecuali di kampung sendiri. Ibu tak ingin kau membuat malu keluarga.
Astagfirullah … Ibu kira perempuan macam apa aku? Mulutku sudah setengah
yang menantang, kemarahan Ibu makin tak terbendung. “Jangan coba membantah!
Kurang baik dan terpelajar apa si Retno? Lalu Sumirah? Bahkan anak pak Haji Tarjo?
Pulang-pulang malah jadi perempuan jalang! Aku tak ingin punya anak jalang!” cukup!
Aku tak bisa menahan kesabaranku lebih lama. Darahku seperti mendidih mendengar
kalimat-kalimat Ibu. Kalau saja Ibu cukup mengenalku, kalau saja Ibu punya sedikit
kepercayaan pada anaknya sendiri!?? Ibu Cuma percaya pada dirinya sendiri. Seakan
Saat ditinggal Bapak! Ya, Bapak memang meninggalkan kami. Janjinya, bahwa,
lelaki itu akan kembali dari kota dengan membawa perubahan pada nasib kami, cuma
42
omong kosong. Di sana Bapak justru menikah lagi. Dan Ibu yang menganggap dirinya
sempurna sebagai wanita, merasa sakit hati. Setelah itu semua yang berbau pembaruan
ilmu.
Kutatap mata Ibu dengan sikap menantang. Suaraku bergetar saat berkata-kata
malah terus-terusan mengejekku, Bu! Sekarang Diah tahu kenapa Bapak meninggalkan
Ibu!” kataku berani. Di depanku, Ibu menatap mataku tajam. Matanya diliputi
kenapa?!!! Sia-sia usaha mbak-mbakku yang lain untuk mengerem mulutku. Dalam
kemarahan, kulontarkan luka yang mungkin akan melekat selamanya di hati Ibu.
“Karena Ibu picik! Itu sebabnya!” Kubanting pintu kamarku dan mengurung diri
semalaman. Menangis. Batinku puas, telah kukatakan apa yang menurutku harus
didengar Ibu.
dengan bongkahan luka di hatiku. Barangkali juga di hati Ibu. Tapi, aku tak peduli. Saat
aku mengenal Laili dan teman-teman Muslimah lain. Baru kusesali sikapku.
Seharusnya aku tak bersikap sekasar itu pada Ibu. Tak membalas kekasarannya dengan
tindakan serupa.
Meski begitu, penyesalanku tak bisa mengubah perasaan yang kadung hampa
terhadap Ibu. Aku masih tak menyukai wanita yang melahirkanku itu. Seperti juga
beliau tak menyukaiku. “Diah … Ibu sudah bangun.” Mbak Sri menyentuh tanganku.
Mengembalikanku dari kenangan masa lalu. Kubuka pintu kamar Ibu. Suara derit
engsel yang berkarat terdengar. Kulihat Ibu terbaring lemah di dipan. Keperkasaannya
selama ini, kulihat nyaris tak tersisa. Tangan kurusnya mengajakku mendekat.
43
Di bawah cahaya lampu teplok, kurayapi wajahnya yang penuh guratan-guratan
usia. Ibu tampak begitu tua. “Apa kabarmu Diah?” suaranya nyaris berupa bisikan.
“Baik, Bu.” Kusadari suaraku terdengar begitu datar. Barangkali mewakili kehampaan
perasaanku.
baru baginya. Atau Ibu terlalu sakit untuk mencela busana muslimah yang kukenakan?
Sekali lagi hatiku berkomentar sinis, tanpa bisa dicegah. “Kamu kelihatan kurusan
Nduk!” ujar Ibu setelah beberapa saat kami terdiam. Aku tak menanggapi. Sebaliknya,
mataku mengitari ruangan kecil itu. Semuanya hampir tak berubah. Kenapa Ibu
bertahan dalam kesederhanaan ini? Bukankah seharusnya dengan ternak – ternak itu
Ibu mampu hidup lebih layak? Belum lagi ketiga mbakku, mustahil mereka tidak
Aku memperhatikan ranjang Ibu. Kasur tipis diatas dipan yang pasti tak nyaman
untuknya. Cahaya penerangan pun tidak memadai. Padahal, di rumah ketiga saudara
perempuanku sudah diterangi cahaya listrik. Lalu … uang kirimanku yang rutin meski
Kulihat meja jati tua disamping Ibu. Ada beberapa botol obat di sana. Kertas-
kertas dan beberapa foto yang dibingkai. Kudekatkan tubuhku untuk melihat jelas.
Mendadak mataku nanar … masya allah! Aku tak sanggup berkata-kata. Segera kutahan
Diah. Foto-foto itu Ibu yang maksa minta. Kadang Ibu pandangi, jika Ibu kangen kamu.
Lihat, itu pasti waktu kamu masih tingkat satu, ya? Belum pakai jilbab! Yang lainnya
sudah rapih berjilbab.” Kulihat ibu tersenyum. Dimatanya ada kerinduan yang
mendalam. Batinku kembali terguncang. Ibu kangen padaku? Betulkah? Apa yang
44
membuat Ibu begitu berubah? Usia tuanyakah? Waktu lima tahunkah? Hatiku terus
Kupapah tubuh ringkihnya keluar. Diatas sana langit mulai gelap. Beberapa bintang
meramaikan rembulan yang mulai muncul. Langit jingga tampak terbias indah
menyambut malam. Bersisian kami duduk di beranda. Beberapa waktu berlalu dalam
keheningan. Tanpa kata-kata, tetapi bisa kulihat wajah Ibu tampak cerah menatap langit
dari Ibu. “Dalem Bu…” “Tolong ambilkan kotak kayu Ibu di bawah tempat tidur, ya…”
Tak lama Mbak Ning sudah muncul lagi. Sebuah kotak kayu yang terlihat amat tua
“Bukalah Diah, itu untukmu. Ibu selalu takut tak sempat memberikannya
kepadamu. Ibu sudah tua Diah,” suara Ibu. Matanya masih menatap langit. Meski tak
mengerti, kuturuti permintaan orang tua itu. Dan tanpa bisa kucegah, kedua belah
mataku terbelalak melihat isinya. Uang! Dimana-mana uang! Begitu banyak, darimana
Ibu mendapatkannya?
ompong terlihat. “Itu untukmu Diah..” aku menutup kembali kotak kayu itu, kuserahkan
kepada Ibu. “Diah ndak butuh uang Ibu. Beberapa tahun ini sudah ada kerja sambilan.
Jaga toko sambil nulis-nulis,” ujarku berusaha menolak. “Ibu tahu .. Ibu baca surat yang
Ahh..wisudaku…itukah yang Ibu pikirkan? “Wisuda tak perlu biaya sebanyak ini,
Bu ….” Tolakku lagi. “Tapi kau harus menerimanya Diah, itu uangmu. Uang yang kau
45
kirimkan selama ini untuk Ibu lewat mbakmu. Sebagian ada juga hakmu dari penjualan
Aku melongo. Teringat dipan tua yang kasurnya tipis, lampu templok, kursi
diruang tamu yang sudah jelek dan bufet yang kusam. Bukankah dengan uang itu Ibu
bisa hidup lebih layak? “Kenapa tak Ibu pakai untuk keperluan Ibu?” tanyaku heran.
Ibu hanya tersenyum. Matanya mencari-cari rembulan yang setengah tertutup awan.
“Ibu tak butuh uang sebanyak itu, Diah! Lagi pula .. Ibu khawatir tak bisa lagi
memberimu uang.”
“Diah kan sudah jelaskan ke Ibu, Diah sudah bisa cari uang sendiri meski sedikit-
sedikit. Ibu tak perlu repot memikirkan aku,” ujarku keras kepala. Tapi, lagi-lagi Ibu
mbakmu hidup sederhana. Anak mereka banyak, mungkin tak kan banyak bisa
Kata-kata Ibu berikutnya bagai telaga sejuk mengaliri relung – relung hatiku. “Maafkan
Ibu jika selama ini keras padamu Diah! Kau benar … ibu memang picik! Itu karena Ibu
tak ingin kau terluka. Ibu tak ingin kau kecewa. Itu sebabnya Ibu tak pernah memujimu.
Kau harus punya hati sekeras baja untuk menapaki hidup. Ibu ingin anak bungsu Ibu
menjadi sosok yang berbeda. Seperti rembulan merah jambu, bukan kuning keemasan
seperti yang biasa kita lihat.” Ibu menunjuk purnama yang benderang. Aku mengikuti
Menjadi orang dalam arti sebenarnya. Punya karakter dan prinsip yang berbeda. Siap
kebencian, dan kekesalanku pada wanita tua itu tiba-tiba terbang ke awan. Aku tak lagi
46
membencinya! Ternyata aku cukup punya arti dimata Ibu. Aku rembulan di hatinya!
memandangi langit, dan … rembulan yang kini merah jambu dalam pandanganku!
Cerpen ini menceritakan tentang seorang anak yang bernama Diah, dia adalah anak
bungsu dari 4 bersaudara. Diah merasakan bahwa ibunya membencinya karena ibunya
selalu bersikap keras hanya kepada dirinya, tidak kepada 3 orang kakaknya. Hingga
suatu hari ia lulus sekolah dan ingin melanjutkan pendidikannya untuk berkuliah di luar
kota, namun ibunya menentangnya. Ibunya berkata bahwa percuma saja Diah kuliah
karena pada hakikatnya wanita akan menjadi ibu rumah tangga juga, akan kembali ke
dapur juga. Diah tetap pergi ke kota untuk menggapai mimpi-mimpinya tanpa
sepengetahuan ibunya.
Hingga 5 tahun ia berada di kota, tanpa pernah pulang unthuk menemui ibunya. Ia
hanya mengirim uang untuk ibunya lewat kakaknya. Pada suatu hari ia menerima
telegram dari kakaknya yang memberitahu bahwa ibunya sedang sakit dan memintanya
untuk pulang. Akhirnya Diah pulang ke rumahnya dan pada akhir cerita Diah tahu
bahwa selama ini ibunya berlaku keras hanya untuk membuatnya menjadi gadis yang
tangguh, ibunya tak ingin Diah menjadi gadis desa yang bodoh seperti ibunya.
Cerpen ini menggunakan bahasa tidak baku yang juga mudah dipahami atau
dalam sebuah karya sastra agar para pembaca tidak kebingungan dalam membaca karya
tersebut serta berguna untuk meningkatkan minat baca para pembaca. Bahasa dalam
cerpen ini juga bersifat sugestif, yang berarti bahwa kata-kata yang diungkapkan cerpen
47
ini dapat menggugah emosi para pembaca. Terasa sekali dengan penggambaran bahasa
saat Diah berdialog dengan ibunya yang selalu saja bersikap keras dan tidak pernah
mengeluarkan kata pujian kepada Diah membuat para pembaca juga merasakan emosi
yang Diah rasakan. Para pembaca ikut merasakan kesal kepada sosok ibu yang
pengarang gambarkan melalui kata-katanya. Hal ini juga terjadi pada akhir cerita saat
sang ibu mengungkapkan alasan mengapa selama ini dia bersikap demikian kepadanya,
para pembaca juga ikut merasakan haru saat itu. Itu berarti bahwa cerpen “Rembulan
di Mata Ibu” ini menggunakan bahasa yang sugestif dan bahasa yang digunakan pula
Unsur Intrinsik
2. Tema
Tema pada cerpen “Rembulan di Mata Ibu” ini adalah kasih sayang
seorang ibu kepada anaknya. Sang ibu rela dibenci anaknya karena sikap
kerasnya yang semata-mata untuk mendidik anaknya agar menjadi wanita kuat
dan tangguh di masa yang akan datang. Ibunya tidak mau anak bungsu
seperti dirinya.
3. Alur
kejadian secara progresif yang diselingi flashback atau kejadian di masa lalu.
a. Bagian awal
Saat itu Diah mendapat telegram dari mbak Sri bahwa ibunya sedang
sakit. Seketika itu pula Diah teringat akan masa lalunya sebelum ia berangkat
ke kota untuk melanjutkan kuliah. Ia teringat dengan sikap Ibunya yang sangat
keras kepadanya. Ucapan-ucapan pedas selalu terlontar dari mulut sang Ibu.
48
Menurut Diah apapun yang dilakukannya tidak ada satu pun yang dianggap
benar oleh Ibu, dimata Ibunya Diah selalu saja salah. Sampai pada akhirnya
Diah merasa lelah dengan sikap sang Ibu dan memutuskan untuk meninggalkan
b. Bagian tengah
Laili datang dan membuat Diah terbangun dari lamunannya. Laili adalah
sahabat baik Diah. Mereka sudah tinggal satu kos selama hampir lima tahun
terakhir. Diah bercerita kepada Laili bahwa Ibunya sedang sakit. Pada saat itu
juga Laili langsung menyuruh Diah untuk pulang menemui Ibunya di kampung.
Walau awalnya Diah sempat bimbang namun akhirnya ia mengikuti saran Laili
Mbak Ningsih, dan Mbak Rahayu. Ketiga Mbaknya itu menjelaskan bahwa
kakaknya itu tidak dipedulikannya. Diah malah mengingat kejadian lima tahun
yang lalu dimana ia dan Ibunya mengalami pertengkaran hebat dan pada
c. Bagian akhir
Mbak Sri menyentuh tangannya yang membuat Diah kembali bangun dari
kenangan masa lalu. Ketika itu Ibunya sudah bangun. Walaupun agak canggung
tapi akhirnya Ibunya menjelaskan maksud dari sikapnya selama ini kepada
Diah. Awalnya Diah merasa kaget tapi ia sangat bahagia mendengar penjelasan
dari Ibunya bahwa selama ini Ibunya tidak pernah membencinya, ibunya hanya
49
ingin mendidik Diah agar menjadi wanita yang tangguh dan berpendidikan.
Bukan menjadi wanita lemah dan bodoh. Seketika rasa benci dan kesal Diah
terhadap ibunya pun hilang dari benaknya. Dan mereka pun akhirnya
berpelukan.
a.) Tokoh
karena hampir seluruh cerita berpusat pada dirinya dan hanya terdiri dari
satu orang. Tokoh sentral dalam cerpen ini adalah Diah. Kerena hampir
Tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya muncul sedikit dalam cerita atau
b.) Penokohan
Tokoh-tokohnya adalah:
a. Diah
50
bahwa Diah memiliki sifat sabra, kata yang meyakinkan bahwa Diah
emosi.
Diah memiliki jiwa sosial yang tinggi dengan pemikiran dan keinginan
tangan.”
bahwa ibunya tak peduli padanya hanya karena ibunya selalu bersikap
akan kasih sayang dan sikap keibuan darinya. Aku belajar melupakan
... Ibu!” Diah berlaku egois saat mengatakan bahwa ia tak butuh ibunya,
51
padahal pada hakikatnya seorang anak pasti akan membutuhkan sosok
ibu.
kulalui.”
Lancang, dalam kalimat “Karena Ibu picik! Itu sebabnya!” kita dapat
anak berbicara itu kepada orang tua kita, apalagi kepada Ibu. Sebesar
apapun rasa benci dan kesal kita terhadap orang tua, kita tak pantas
b. Ibu
Kuat, sifat ibu kuat tergambar dari kalimat yang dilontarkan oleh Diah
Keras, sikap keras ibu terdapat pada kalimat “Maafkan Ibu jika selama
ini keras padamu Diah!” dan terdapat pada cerita-cerita yang dilontarkan
Diah.
Ucapannya pedas, terdapat pada kalimat “Kau takkan berhasil Diah! Tak
kedudukannya!”
bagian akhir dalam cerita yaitu pada kalimat “Kadang Ibu pandangi, jika
Rela berkorban, terdapat pada kalimat “Ibu tak butuh uang sebanyak itu,
Diah! Lagi pula ... Ibu khawatir tak bisa lagi memberimu uang.”
52
c. Laili
Baik, terlontar dari ucapan Diah yaitu “Wajah tulus sahabat baikku itu
“wajah tulus” pun kita dapat mengetahui bahwa Laili adalah orang yang
baik.
pada setiap Ibu. Rasa kasih, mengayomi, dan melindungi!” jawab Laili
hati-hati.”
Pengertian, dalam kalimat “Kamu haru pulang secepatnya, Di! Biar aku
d. Mbak Sri
kalimat “Sebetulnya Ibu sangat kangen padamu Diah, tapi Ibu lebih
mementingkan kuliahmu.”
e. Mbak Ningsih
Diah!”
f. Mbak Rahayu
Bijaksana, terdapat pada kalimat “Ibu sering bertanya pada kami Diah,
53
5. Latar
a. Latar Tempat
b. Latar Waktu
c. Latar Suasana
Sedih, tergambar dalam kalimat “Aku mengusap air mata yang menitik”
itu menandakan bahwa Diah sedang menangis yang merujuk pada rasa
sedih.
54
tiba-tiba terbang ke awan. Aku tak lagi membencinya! Tanpa ragu
6. Sudut Pandang
Pada cerpen “Rembulan di Mata Ibu” karya Asma Nadia ini sudut
pandang yang digunakan pengarang adalah sudut pandang orang pertama yang
ada dalam cerpen tersebut. Pada bagian awal cerpen juga terlihat bahwa
pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama, hal ini terdapat pada
paragraf pertama.
7. Amanat
Jangan pernah membenci orang tua, terlebih lagi seorang ibu yang telah
orang tua kita terluka atas apa yang kita lakukan. Karena tidaklah
Turutilah apa yang diinginkan orang tua, karena tidak ada orang tua
kata kasar, karena itu bisa melukai hatinya. Walau sekasar apapun
55
Unsur Ekstrinsik
Asma Nadia, adalah penulis Indonesia.Ia lahir dari pasangan Amin Usman dan
Maria Eri Susianti. Saat ini dikenal sebagai Ketua Forum Lingkar Pena, suatu
juga menjadi Ketua Yayasan Lingkar Pena, dan manajer Lingkar Pena
penghargaan. Selain menulis, Asma sering diminta untuk memberi materi dalam
(MASTERA)
Kesenian Jakarta
56
5. Dialog Dua Layar, memenangkan penghargaan Adikarya IKAPI, 2002
Publishing House)
Dialek yang digunakan pada cerpen ini adalah dialek Jawa. Disebut dialek
karena hanya beberapa kata yang menggunakan bahasa daerah. Seperti dalam
Majas metafora yaitu majas yang berupa kiasan persamaan antara benda
yang diganti namanya dengan benda yang menggantinya. Dengan kata lain
pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya,
melainkan sebagai lukisan. Majas metafora dalam cerpen ini terdapat pada
kalimat:
“Ibu ingin anak bungsu Ibu menjadi sosok yang berbeda. Seperti rembulan
57
c.) Majas sarkasme
Majas sarkasme adalah majas sindiran yang paling kasar. Majas ini biasanya
diucapkan oleh orang yang sedang marah. Seperti pada kalimat “perempuan
macam kau Diah hanya akan menjadi santapan laki-laki!” yang dilontarkan sang
7.1. Puisi “Pada Suatu Hari Nanti” karya Sapardi Djoko Damono
58
Kau akan tetap kusiasati,
7.2.Analisis Puisi “Pada Suatu Hari Nanti” karya Sapardi Djoko Damono
Unsur Intrinsik
11. Tipografi
Pada puisi “Pada Suatu Hari Nanti” karya Sapardi Djoko Damono,
tipografi yang ditampilkan adalah bentuk rata kiri dan lurus bawah. Puisi itu
Tipografi puisi diatas dibentuk oleh tiga bait, yang mana jumlah baris tiap bait
berbeda-beda. Pada bait pertama, terdiri atas empat baris dan tiap baris
tidak rata kanan-kiri melainkan hanya rata kiri saja. Pada bait kedua terdiri atas
dua baris yang disusun sama seperti bait sebelumnya. Bait ketiga terdiri atas dua
baris. Bait ketiga, keempat, dan kelima, masing-masing terdiri atas empat baris
Antara bait satu dan yang lainnya diberi jeda (spasi). Hal itu sebagai
yang terpisah. Jumlah baris dalam satu bait berbeda-beda. Demikan juga jumlah
kata dalam satu baris juga berbeda-beda. Hal itu menimbulkan panjang
pendeknya tampilan baris. Walaupun baris dibuat rata kiri, namun sebelah
59
kanan terlihat tidak rata. Penampilan yang semacam itu tidak akan membuat
12. Diksi
Diksi adalah pemilihan kata yang tepat, padat dan kaya akan nuansa
(komunikatif), contoh pada kalimat “pada suatu hari nanti” pembaca bisa
mengerti maksud dari puisi ini bahwa menceritakan sesuatu yang akan datang.
Lalu pada kalimat “jasadku tak akan ada lagi” sudah jelas bahwa suatu saat nanti
tokoh ‘ku’ tidak akan ada lagi di dunia ini, dalam hal ini menjelaskan bahwa
tokoh ‘ku’ suatu hari nanti akan meninggal, jasadnya tak aka nada lagi
mengingat bahwa kita semua sebagai manusia juga pasti akan mengalami hal
serupa. Kata-kata pada bait selanjutnya mudah dipahami karena lebih menjurus
13. Majas
Bahasa figuratif atau majas adalah bahasa kiasan yang mengiaskan atau
mempersamakan sesuatu hal dengan hal lain supaya gambaran menjadi jelas,
Pada puisi ini hanya terdapat majas metafora. Metafora adalah bahasa
(Becker, 1978:317).
60
Yaitu pada bait I, II, dan III :
14. Citraan
Pengimajian atau pencitraan adalah suatu kata atau kelompok kata yang
pembaca.
a. Citra penglihatan
b. Citra pendengaran
61
c. Citra perasa
15. Amanat
para pembacanya. Amanat dari puisi ini adalah bahwa penyair ingin
dunia ini, pembaca tak perlu sedih. Karena dia tetap setia dan tetap bisa
16. Verifikasi
1) Rima
yang dapat memberikan efek terhadap makna nada dan suasana puisi, dan juga
rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi. Pada puisi ini semua baitnya
2) Ritme
Ritme adalah pengulangan bunyi, kata, frase dan kalimat pada puisi. Pada
puisi ini ritma terdapat pada bait I, II, dan III yaitu pengulangan klausa “pada
17. Nada
Nada adalah sikap penyair terhadap pembaca. Sikap penyair pada puisi ini
adalah lembut dan halus karena ia menjelaskan bahwa walau suatu hari nanti ia
tidak ada, tapi karya-karyanya akan selalu ada menemani para pembaca.
62
18. Perasaan
harus dihayati oleh pembaca. Pada puisi ini, penyair merasa sedih karena pada
suatu hari nanti ia akan meninggalkan sosok “Kau” pada puisi ini yang bisa
berarti pembaca, tetapi ia pun senang karena walaupun suatu hari nanti ia tiada,
ia tetap menemani dan keberadaannya itu digantikan oleh larik-larik sajak dan
19. Tema
Puisi Pada Suatu Hari Nanti karya Sapardi Djoko Damono mempunyai
tema kesetiaan. Kesetian terhadap ‘Kau’ yang berarti pembaca, walaupun ‘Aku’
dalam puisi ini tidak ada, tetapi dia akan tetap setia dan tetap ada bagi pembaca.
Kata konkret adalah kata-kata yang jika dilihat secara denotatif sama,
tetapi secara konotatif tidak sama, bergantung pada situasi dan kondisi
pemakainya. Atau dengan kata lain, kata-kata itu dapat menyaran kepada arti
huruf pada kata-kata dalam sajak, yang penyair tak lelah atau letih mencari
tujuannya.
63
Unsur Ekstrinsik
sangat populer. Masa mudanya dihabiskan di Surakarta. Pada masa ini ia sudah
kini telah pensiun. Ia pernah menjadi dekan di sana dan juga menjadi guru besar.
Pada masa tersebut ia juga menjadi redaktur pada majalah “Horison”, “Basis”,
dan “Kalam”.
Achmad Bakrie pada tahun 2003. Ia adalah salah seorang pendiri Yayasan
Lontar.
Karya-karya
berbagai bahasa. Sampai sekarang telah ada delapan kumpulan puisinya yang
karya asing, menulis esai, serta menulis sejumlah kolom/artikel di surat kabar,
64
Beberapa puisinya sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya,
seperti Aku Ingin (sering kali dituliskan bait pertamanya pada undangan
perkawinan), Hujan Bulan Juni, Pada Suatu Hari Nanti, Akulah si Telaga, dan
Gaudiamo dan Tatyana (tergabung dalam duet “Dua Ibu”). Ananda Sukarlan
pada tahun 2007 juga melakukan interpretasi atas beberapa karya Sapardi Djoko
prosa:
Seferis)
11. “Suddenly the night: the poetry of Sapardi Djoko Damono” (1988;
65
13. “Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia” (1991;
Broks)
22. “Nona Koelit Koetjing :Antologi cerita pendek Indonesia periode awal
23. “Mantra Orang Jawa” (2005; puitisasi mantera tradisional Jawa dalam
bahasa Indonesia)
66
BAB IV
PENUTUP
1. Simpulan
Dari definisi yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli, dapat kita
simpulkan bahwa bahasa adalah suatu sistem arbiter yang merupakan sebuah
tanda dan bunyi yang digunakan manusia sebagai media untuk berkomunikasi.
Sedangkan pengertian dari sastra sendiri adalah karya imaginatif maupun non-
Sastra adalah hasil cipta manusia dengan menggunakan media bahasa tertulis
karyanya. Antar penulis memiliki gaya bahasa yang berbeda. Tentunya karya
sastra yang dihasilkan akan terasa sekali memiliki gaya bahasa yang khas dari
pemiliknya. Dan hal ini disadari secara jelas oleh pembaca. Keberbedaan gaya
beberapa hal umum yang dapat menjadi penyebab keberbedaan gaya bahasa
sastra ada karena ditopang bahasa. Bahasa Indonesia merupakan medium untuk
yang utama (Ratna, 2009: 64). Sebuah karya sastra bisa ada karena adanya
bahasa. Intinya, karya sastra tertulis lahir dari bahasa terkait dan bahasa
67
merupakan unsur utama pembentuk karya sastra, utamanya karya sastra
tertulis.
Bisa dibilang, antara sastra dan bahasa memiliki hubungan yang sangat
erat. Analoginya bagai dua sisi mata uang. Saling terikat dalam dua hubungan;
2009: 158). Kualitas intelektualitas bahasa terlihat dari bahasa atau unsur yang
membentuk karya sastra. Semisal kata atau kalimat. Sedangkan kualitas karya
sastra dapat dilihat dari nilai yang terkandung dari sebuah karya sastra. Yang
Ibu”. Cerpen ini menggunakan bahasa tidak baku yang juga mudah dipahami
atau komunikatif. Bahasa dalam cerpen ini juga bersifat sugestif, yang berarti
bahwa kata-kata yang diungkapkan cerpen ini dapat menggugah emosi para
pembaca. Hal ini terjadi pada akhir cerita saat sang ibu mengungkapkan alasan
mengapa selama ini dia bersikap demikian kepadanya, para pembaca juga ikut
merasakan haru saat itu. Itu berarti bahwa cerpen “Rembulan di Mata Ibu” ini
menggunakan bahasa yang sugestif dan bahasa yang digunakan pula sukses
Sementara bahasa atau kata-kata yang digunakan pada puisi “Pada Suatu
Hari Nanti” karya Sapardi Djoko Damono ini mudah untuk dipahami
pembaca bisa mengerti maksud dari puisi ini bahwa menceritakan sesuatu yang
akan datang. Lalu pada kalimat “jasadku tak akan ada lagi” sudah jelas bahwa
suatu saat nanti tokoh ‘ku’ tidak akan ada lagi di dunia ini, dalam hal ini
68
menjelaskan bahwa tokoh ‘ku’ suatu hari nanti akan meninggal, jasadnya tak
aka nada lagi mengingat bahwa kita semua sebagai manusia juga pasti akan
mengalami hal serupa. Kata-kata pada bait selanjutnya mudah dipahami karena
2. Saran
mahluk yang dalam kehidupannya tidak bisa lepas dari bahasa harus lebih
sastra ini. Karena pada dasarnya bahasa dan sastra itu saling berkaitan dan tidak
dapat dipisahkan.
bahasa sangat berperan penting dalam penciptaan karya sastra. Setiap penulis
atau pengarang tentu memiliki gaya atau ciri khas dalam bahasa yang ia
gunakan dalam karyanya. oleh karena itu, saat kita ingin menganalisis sebuah
karya sastra kita harus benar-benar teliti dalam menafsirkan atau mengartikan
69
DAFTAR PUSTAKA
70