Anda di halaman 1dari 70

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Bahasa merupakan suatu kebutuhan primer bagi manusia, ini berarti bahwa bahasa

memiliki peran dan posisi yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Bahasa

bukan hanya sekedar alat untuk berkomunikasi, bahasa juga merupakan suatu

kebudayaan atau sering kita sebut dengan suatu ciri khas. Tentunya setiap daerah

memiliki bahasanya sendiri, itulah yang menyebabkan mengapa bahasa juga menjadi

suatu kebudayaan. Kebudayaan yang menjadi ciri khas dan kebanggaan dari suatu

daerah.

Jika kita melihat fakta-fakta kehidupan manusia, bahasa menjadi poros yang sangat

menentukan kehidupan manusia. Kita bisa bayangkan bagaimana jadinya jika manusia

hidup tanpa bahasa. Kita akan mati, tak bisa apa-apa jika tanpa adanya bahasa. Entah

itu bahasa lisan, tulisan, dan juga termasuk bahasa tubuh. Telah disebutkan bahwa

bahasa merupakan suatu kebutuhan primer manusia, itu terbukti karena manusia

memang benar-benar tergantung dengan bahasa. Selain itu, bagaimana pun melalui

bahasa, manusia juga dapat mengabstraksikan dan membuat konsep-konsep tentang

dunia. Manusia membangun makna-makna, nilai, norma, dan sebagainya di dalam

kehidupannya melalui bahasa.

Selain fungsi-fungsi bahasa dalam kehidupan bermasyarakat tersebut, bahasa juga

berperan penting dalam proses penciptaan karya sastra. Karya sastra merupakan hasil

karya yang cukup banyak terdapat di Indonesia. Karya sastra itu sendiri terdiri atas

puisi, prosa, dan drama. Perkembangan karya sastra di Indonesia bukan hanya pada

1
saat ini saja, tetapi juga sudah ada sejak lama. Perkembangan ini membuat karya sastra

di Indonesia masih bertahan dan masih eksis sampai saat ini.

Bahasa dan sastra itu saling berkaitan, bahasa adalah media yang dipakai para

penulis untuk menuangkan ide, gagasan, dan perasaannya agar tercipta suatu karya

sastra. Dalam penggunaan bahasa di dalam karya sastra juga terdapat gaya bahasa yang

selalu dipakai dalam setiap karya sastra. Oleh karena itu, disini penulis mengambil

judul “Penggunaan Bahasa dalam Karya Sastra” agar kita tahu sebenarnya bagaimana

hubungan bahasa dengan karya sastra serta bagaimana penggunaan bahasa di dalam

karya sastra itu sendiri. Disini penulis memilih cerpen karangan Asma Nadia yang

berjudul “Rembulan di Mata Ibu” dan puisi karya Sapardi Djoko Damono yang

berjudul “Pada Suatu Hari Nanti” untuk dianalisis bagaimana penggunaan bahasa di

dalamnya serta apa saja unsur yang membentuk karya sastra tersebut.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. bagaimana penggunaan bahasa dalam karya sastra secara umum?

2. bagaimana penggunaan bahasa dalam puisi?

3. bagaimana penggunaan bahasa dalam prosa?

4. bagaimana penggunaan bahasa dalam drama?

5. bagaimana peran bahasa dalam karya sastra?

6. bagaimana penggunaan bahasa serta unsur-unsur yang membentuk cerpen

“Rembulan di Mata Ibu” karya Asma Nadia?

7. bagaimana penggunaan bahasa serta unsur-unsur yang membentuk puisi “Pada

Suatu Hari Nanti” karya Sapardi Djoko Damono?

2
3. Tujuan Penulisan

Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. mengetahui bagaimana penggunaan bahasa dalam karya sastra secara umum

2. mengetahui bagaimana penggunaan bahasa dalam puisi

3. mengetahui bagaimana penggunaan bahasa dalam prosa

4. mengetahui bagaimana penggunaan bahasa dalam drama

5. mengetahui peran bahasa dalam karya sastra

6. mengetahui bagaimana penggunaan bahasa serta unsur yang membentuk cerpen

“Rembulan di Mata Ibu” karya Asma Nadia

7. mengetahui bagaimana penggunaan bahasa serta unsur yang membentuk puisi

“Pada Suatu Hari Nanti” karya Sapardi Djoko Damono

3
BAB II

LANDASAN TEORI

1. Bahasa

1.1. Pengertian Bahasa

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa adalah sistem lambang bunyi

yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama,

berinteraksi, dan mengidentifikasi diri. Bahasa yang dipergunakan oleh kelompok

masyarakat dalam berkomunikasi memiliki dua arti, yaitu bunyi bahasa yang

dihasilkan oleh alat-alat ucap dan arti atau makna yang tersirat dalam bunyi bahasa.

Bunyi bahasa yang disebut dengan arus ujaran tersebut merupakan getaran yang

merangsang alat pendengaran manusia, sedangkan arti atau makna adalah isi yang

terkandung di dalam bunyi bahasa yang diucapkan oleh manusia tersebut.

Setiap bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat ucap manusia belum dapat

dikategorikan sebagai bahasa apabila bunyi bahasa tersebut tidak mengandung

suatu makna tertentu di dalamnya. Suatu arus ujaran dianggap mengandung suatu

makna berdasarkan adanya konvensi dari kelompok masyarakat pemakai.

Oleh karena itu, setiap kelompok masyarakat pemakai suatu bahasa telah

memiliki kesepakatan atau konvensi mengenai struktur bunyi ujaran tertentu yang

memiliki arti tertentu. Dengan demikian, di dalam setiap kelompok masyarakat

bahasa akan terhimpun bermacam-macam susunan bunyi yang berbeda dengan

yang lain yang mengandung arti serta makna yang berbeda-beda. Selanjutnya,

hasil proses pembentukan bunyi bahasa yang telah mengandung arti serta makna

4
tertentu tersebut membentuk perbendaharaan kata dari suatu bahasa di dalam

masyarakat pemakainya.

Ada beberapa ahli yang mendefinisikan bahasa, yaitu:

1. Menurut Gorys Keraf (1997:1), Bahasa ialah alat komunikasi antara

anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap

manusia.

2. Menurut Fodor (1974), bahasa ialah sistem simbol dan tanda. Maksud dari

sistem simbol ialah hubungan simbol dengan makna yang bersifat

konvensional. Sedangkan yang dimaksud dengan system tanda ialah

bahwa hubungan tanda serta makna bukan konvensional tetapi ditentukan

oleh sifat atau ciri tertentu yang dimiliki benda atau situasi yang dimaksud.

3. Menurut Bolinger (1981), bahasa ialah memiliki system fonem, yang

terbentuk dari distinctive features bunyi, sistem morfem serta sintaksis.

Untuk mengungkapkan makna bahasa harus berhubungan dengan dunia

luar yaitu dunia diluar bahasa termasuk dunia dalam diri penutur bahasa.

Dunia dalam pengertian seperti ini disebut dengan realita.

4. Menurut Felicia (2001:1), bahasa ialah alat yang digunakan untuk dapat

berkomunikasi sehari-hari, baik bahasa lisan atupun bahasa tulisan.

5. Menurut Sunaryo (2000:6), bahasa didalam struktur budaya ternyata

memiliki kedudukan, fungsi serta peran ganda ialah sebagai akar serta

produk budaya yang sekaligus berfungsi sebagai sarana berfikir dan

sarana pendukung pertumbuhan serta perkembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi.

5
6. Menurut Owen, Bahasa ialah bahasa dapat didefenisikan sebagai kode

yang diterima secara sosial ataupun sistem konvensional untuk

menyampaikan konsep melalui kegunaan simbol-simbol yang

dikehendaki serta kombinasi simbol-simbol yang diatur oleh ketentuan.

7. Menurut Tarigan (1989:4), beliau memberikan dua definisi bahasa.

Pertama, bahasa ialah suatu sistem yang sistematis, barang kali juga sistem

generatif. Kedua, bahasa ialah seperangkat lambang-lambang mana suka

ataupun simbol-simbol arbitrer.

8. Menurut Santoso (1990:1), Bahasa ialah rangkaian bunyi yang dihasilkan

oleh alat ucap manusia secara sadar.

9. Menurut Mackey (1986:12), Bahasa ialah suatu bentuk serta bukan suatu

keadaan (lenguage may be form and not matter) ataupun sesuatu sistem

lambang bunyi yang arbitrer, atau suatu sistem dari sekian banyak sistem-

sistem, suatu sistem dari suatu tatanan ataupun suatu tatanan dalam

sistem-sistem.

10. Menurut Wibowo (2001:3), bahasa ialah sistem simbol bunyi yang

bermakna serta berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap) yang mempunyai

sifat arbitrer serta konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi

oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan serta pikiran.

11. Menurut Walija (1996:4), Bahasa ialah komunikasi yang paling lengkap

serta efektif untuk menyampaikan ide, pesan, maksud, perasaan serta

pendapat kepada orang lain.

12. Menurut Syamsuddin (1986:2), Bahasa memiliki dua pengertian. Pertama,

bahasa ialah alat yang dipakai untuk membentuk pikiran serta perasaan,

keinginan dan perbuatan-perbuatan, alat yang dipakai untuk

6
mempengaruhi serta dipengaruhi. Kedua, bahasa ialah tanda yang jelas

dari kepribadian yang baik ataupun yang buruk, tanda yang jelas dari

keluarga serta bangsa, tanda yang jelas dari budi kemanusiaan.

13. Menurut Pengabean (1981:5), Bahasa ialah suatu sistem yang

mengutarakan serta melaporkan apa yang terjadi pada sistem saraf.

14. Menurut Soejono (1983:01), Bahasa ialah suatu sarana perhubungan

rohani yang teramat penting dalam hidup bersama.

1.2. Ragam Bahasa

Ragam bahasa adalah pembagian bahasa yang ditinjau dari bagaimana cara

bahasa itu diutarakan oleh orang yang melakukan komunikasi. Lamuddin Finoza

(2002:3) memaparkan bahwa ragam bahasa menjadi sangat banyak jumlahnya

karena pemilihan corak bahasa yang dipakai seseorang untuk mengomunikasikan

sesuatu bergantung kepada tiga hal berikut ini:

1. Cara berkomunikasi: lisan atau tulisan

2. Cara pandang penutur terhadap mitra komunikasinya

3. Topik yang dibicarakan/dituliskan

Dengan berdasar pada pemaparan yang disampaikan oleh Lamuddin

tersebut, dapat diketahui bahwa ada tiga klasifikasi ragam bahasa yang terdapat

dalam bahasa Indonesia. Adapun klasifikasi ragam bahasa itu adalah :

1. Ragam bahasa berdasarkan cara komunikasi

1) Ragam lisan

2) Ragam tulisan

7
2. Ragam bahasa berdasarkan cara pandang penutur

1) Ragam dialek

2) Ragam idealek

3) Ragam Sosialek

3. Ragam bahasa berdasarkan situasi

1) Ragam terpelajar

2) Ragam resmi

3) Ragam tidak resmi

4. Ragam bahasa berdasarkan topik pembicaraan

1) Ragam hokum

2) Ragam bisnis

3) Ragam sastra

4) Ragam kedokteran

5) dsb. (lomuddin finoza, 2002:3)

2. Sastra

2.1. Pengertian Sastra

Istilah sastra secara etimologis diturunkan dari bahasa Latin, itterature (littera

= huruf atau karya tulis). Istilah itu dipakai untuk menyebut tata bahasa dan puisi.

Istilah Inggris literature, istilah Jerman literature, dan istilah Perancis literature

yang berarti segala macam pemakaian bahasa dalam bentuk tertulis.

Dalam bahasa Indonesia, kata ‘sastra’ diturunkan dari bahasa Sansekerta (sas-

artinya mengajar, memberi petunjuk atau instruksi, mengarahkan; akhiran –tra

biasanya menunjukan alat atau sarana) yang artinya alat untuk mengajar, buku

petunjuk, buku instruksi atau pengajaran.

8
Menurut Wellek dan Warren (1989) sastra adalah sebuah karya seni yang

memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. sebuah ciptaan, kreasi, bukan imitasi

2. luapan emosi yang spontan

3. bersifat otonom

4. otonomi sastra bersifat koheren(ada keselarasan bentuk dan isi)

5. menghadirkan sintesis terhadap hal-hal yang bertentangan

6. mengungkapkan sesuatu yang tidak terungkapkan dengan bahasa sehari-

hari.

Sastra bukanlah seni bahasa belaka, melainkan suatu kecakapan dalam

menggunakan bahasa yang berbentuk dan bernilai sastra. Jelasnya faktor yang

menentukan adalah kenyataan bahwa sastra menggunakan bahasa sebagai

medianya. Berkaitan dengan maksud tersebut, sastra selalu bersinggungan dengan

pengalaman manusia yang lebih luas daripada yang bersifat estetik saja. Sastra

selalu melibatkan pikiran pada kehidupan sosial, moral, psikologi, dan agama.

Berbagai segi kehidupan dapat diungkapkan dalam karya sastra.

Sastra dapat memberikan kesenangan atau kenikmatan kepada pembacanya.

Seringkali dengan membaca sastra muncul ketegangan-ketegangan (suspense).

Dalam ketegangan itulah diperoleh kenikmatan estetis yang aktif. Adakalanya

dengan membaca sastra kita terlibat secara total dengan apa yang dikisahkan.

Dalam keterlibatan itulah kemungkinan besar muncul kenikmatan estetis. Menurut

Luxemburg (1989) sastra juga bermanfaat secara rohaniah. Dengan membaca

sastra, kita memperoleh wawasan yang dalam tentang masalah manusiawi, sosial,

maupun intelektual dengan cara yang khusus.

9
Dalam mendefinisikan sastra, Jan Van Luxemburg, Mieke Bal, dan Willem G.

Westeijn berpendapat bahwa:

“Karya sastra adalah teks-teks yang tidak selalu disusun untuk tujuan

komunikasi praktis dan sementara waktu”.

“Karya sastra adalah teks-teks yang mengandung unsur fiksionalitas”.

“Karya sastra adalah jika pembacanya mengambil jarak dengan teks tersebut”.

“Dalam sastra bahannya diolah secara istimewa”.

“Sastra dapat digunakan untuk mengetahui nilai-nilai dan norma-norma yang

berlaku dalam suatu masyarakat dengan cara mempelajari kebudayaannya”.

Beberapa ahli lain yang memiliki perspektif sendiri tentang sastra,

sebagaimana yang dikutip dalam (Fitryah Hasy, 2009 : 25) adalah sebagai berikut:

1. Mursal Esten

Sastra atau Kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif

sebagai manifestasi kehidupan manusia. (dan masyarakat) melalui bahasa

sebagai medium dan memiliki efek yang positif terhadap kehidupan manusia

(kemanusiaan).

2. Atar Semi

Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya

adalah manusia dan kehidupannya menggunakan bahasa sebagai mediumnya.

10
3. Panuti Sudjiman

Sastra sebagai karya lisan atau tulisan yang memiliki berbagai ciri keunggulan

seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam isi, dan ungkapanya.

4. Ahmad Badrun

Kesusastraan adalah kegiatan seni yang mempergunakan bahasa dan garis

simbol-simbol lain sebagai alai, dan bersifat imajinatif.

5. Engleton

Sastra adalah karya tulisan yang halus (belle letters) adalah karya yang

mencatatkan bentuk bahasa. harian dalam berbagai cara dengan bahasa yang

dipadatkan, didalamkan, dibelitkan, dipanjangtipiskan dan diterbalikkan,

dijadikan ganjil.

6. Plato

Sastra adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan (mimesis). Sebuah

karya sastra harus merupakan peneladanan alam semesta dan sekaligus

merupakan model kenyataan. Oleh karena itu, nilai sastra semakin rendah dan

jauh dari dunia ide.

7. Aristoteles

Sastra sebagai kegiatan lainnya melalui agama, ilmu pengetahuan dan filsafat.

11
8. Sapardi

Memaparkan bahwa sastra itu adalah lembaga sosial yang menggunakan

bahasa sebagai medium. Bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra

menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu

kenyataan social.

9. Taum

Sastra adalah karya cipta atau fiksi yang bersifat imajinatif” atau “sastra adalah

penggunaan bahasa yang indah dan berguna yang menandakan hal-hal lain”

Awalnya sastra hanya dikelompokkan menjadi satu jenis saja yakni cerita.

Namun seiring dengan berkembangnya seni sastra, muncul beberapa jenis baru.

Berikut merupakan jenis-jenis dari seni sastra.

2.2. Jenis-jenis Sastra

Jenis-jenis karya sastra terbagi atas 3 unsur pembagian, yaitu:

a. dilihat dari sejarahnya karya sastra terdiri dari dua bagian, yaitu :

1. Sastra Lama

Sastra lama adalah karya-karya sastra yang dihasilkan oleh sastrawan yang berda

pada zaman kerajaan atau dimana belum ada pergerakan nasional. Sastra lama terdiri

dari pantun, dongeng, dan hikayat.

a. Pantun, yaitu jenis karya sastra yang berbentuk penggalan kalimat biasanya

terdiri dari empat kalimat nasehat, adat, atau ajaran agama dalam yang memiliki

12
bentuk akhiran kalimat selaras. Pantun adalah bentuk puisi lama dengan ciri-

ciri seperti :

 Tiap bait terdiri atas 4 baris

 Tiap baris terdiri atas 8 sampai dengan 12 suku kata

 Bersajak a-b-a-b

 Baris 1 dan 2 adalah sampiran

 Baris 3 dan 4 adalah isi

Contoh :

Bila terang telah berganti

Sang petang pastilah datang

Bila engkau tak ada dihati

Tak mungkin aku akan meminang

Pada contoh diatas kita lihat sudah bersajak a b a b, dan baris 1 dan 2 adalah

merupakan sampiran, sedangkan baris 3 dan 4 adalah isi.

b. Dongeng, jenis karya sastra lama yang berupa cerita fiksi. dongeng ini memiliki

beberapa jenis, diantaranya adalah legenda. febel, mite, sage, dan cerita jenaka.

c. Hikayat, hikayat adalah sastra lama dalam bentuk prosa yang biasanya

bersumber dari kisah-kisah raja ataupun dewa.

2. Sastra Modern

Sastra modern adalah karya-karya sastra yang hidup dan berkembang di kehidupan

masyarakat modern zaman sekarang. Sastra modern lahir setelah munculnya

13
pergerakan nasional. Sastra modern sendiri biasanya berupa puisi, prosa, cerpen, novel,

roman, dan drama.

Penjabaran diatas menjelaskan tentang jenis-jenis seni sastra berdasarkan bentuk

dari seni sastra, isi dari seni sastra, dan juga sejarah dari adanya seni sastra, dalam

lingkup yang berbeda ketiga pembahasan diatau bukan tidak mungkin menjadi satu

kesatuan pengelompokan pembagian jenis-jenis sastra.

Adapun beberapa perbedaan antara sastra lama dan sastra modern, yaitu:

 Bentuk dari sastra lama adalah terikat sedangkan sastra modern bentuknya

bebas.

 Tema dari sastra lama adalah istana sentris dan cenderung kaku sedangkan

sastra modern temanya masyarakat sentris dan bersifat kreatif.

 Bahasa yang digunakan sastra lama adalah bahasa melayu dan arab

sedangkan sastra modern menggunakan bahasa Indo-Eropa.

 Latar budaya dari sastra lama adalah bersifat anonim sedangkan untuk

sastra modern bersifat nonim.

 Perkembangan dari sastra lama cenderung statis dan lisan sedangkan untuk

sastra modern perkembangannya lebih dinamis dan tertulis.

b. dilihat dari bentuknya jenis-jenis sastra terdiri dari 3 bentuk, yaitu:

1. Prosa

Prosa merupakan bentuk seni sastra yang diuraikan dengan menggunkan bahasa

yang bebas dan cenderung tidak terikat oleh irama, diksi, rima, kemerduan bunyi atau

kaidah serta pedoman kesusastraan lainnya. Jenis tulisan prosa biasanya digunakan

14
untuk mendeskripsikan suatu fakta atau ide. Karenaya prosa bisa digunakan untuk surat

kabar, majalah, novel, ensiklopedia, surat, serta berbagai jenis media lainnya.

Ada 2 jenis karangan bebas (prosa) yaitu prosa lama dan prosa baru.

a. Prosa lama, diantaranya :

1. Legenda adalah cerita terjadinya suatu daerah, danau, gunung, dan

sebagainya. Contoh : Terjadinya Gunung Tangkuban Perahu, Asal – Usul

Terajadinya Danau Toba.

2. Fabel adalah cerita yang tokoh – tokohnya berupa hewan. Contoh : Kelinci

dan Buaya

3. Sage adalah cerita tentang sejarah. Contoh : Berdirinya Kerajaan Sriwijaya

4. Mitos adalah cerita tentang makhluk gaib. Contoh : Nyi Roro Kidul

b. Prosa Baru, diantaranya :

1. Cerita pendek (cerpen) adalah cerita yang bentuknya pendek.

Ciri- ciri cerpen antara lain:

 alurnya lebih sederhana,

 tokohnya hanya beberapa orang,

 latar hanya sesaat,

 lingkupnya terbatas dan

 temanya lebih sederhana

2. Novel adalah cerita yang mengisahkan sisi utuh kehidupan tokoh-tokohnya.

Ciri-ciri umum novel antara lain alurnya lebih rumit dan panjang, tokoh

15
lebih banyak dalam berbagai karakter, latar waktunya lama dengan lingkup

yang luas dan temanya lebih rumit dan kompleks daripada cerpen.

3. Autobiografi adalah karangan yang berisi riwayat hidup seseorang yang

ditulis sendiri oleh tokoh tersebut.

4. Biografi adalah karangan yang berisi riwayat hidup seseorang yang dituis

oleh orang lain.

Prosa dapat ditulis dalam berbagai bentuk, yaitu:

a. Karangan narasi, yaitu karangan yang disusun berdasarkan suatu peristiwa

tertentu dan diceritakan secara berurutan

b. Karangan deskripsi, yaitu karangan yang menggambarkan sesuatu dengan kata-

kata atau kalimat – kalimat secara terperinci dan cermat.

c. Karangan argumentasi, yaitu arangan yang berisi pendapat tentang suatu

masalah dengan penyajian data atau fakta. Dalam karangan ini biasanya

disertakan grafik, diagram atau gambar.

d. Karangan persuasi, yaitu karangan yang bertujuan untuk mempengaruhi

pembaca agar mau melakukan sesuatu sesuai yang diinginkan penulis atau

pengarang.

2. Puisi

Puisi adalah sebuah karya sastra yang diuraikan menggunakan diksi atau kata-kata

pilihan, dicirikan dengan pembahasan yang padat namun indah, biasanya karya puisi

secara tidak langsung dapat menimbulkan kecenderungan dari seseorang untuk

mempertajam kesadaranya melalui bahasa yang memiliki irama dan makna khusus.

Contoh dari puisi yaitu seperti sajak, pantun, balada.

16
Di dalam puisi, terdapat unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik, unsur instrinsik puisi

diantaranya :

 Diksi yaitu kata-kata yang dipilih seorang penyair dalam menciptakan puisi.

Kata-kata tersebut tentu kata yang mengungkapkan keindahan dan perasaan.

 Imaji yaitu upaya penyair dalam membangkitkan daya imajinasi/khayal

pembaca tentang peristiwa atau perasaan yang dialami penyair sehingga pembaca ikut

merasakannya.

 Majas yaitu pengungkapan bahasa yang dipilih penyair untuk memperjelas

maksud. Mengungkapkan dengan gambaran/kiasan, membuat kesegaran, dan

menimbulkan kejelasan perasaan.

 Rima yaitu persamaan bunyi dalam puisi yang berguna untuk memperjelas

maksud dan menimbulkan keputusan.

 Irama yaitu pergantian naik-turun, panjang-pendek pengucapan bahasa puisi

secara teratur.

Sedangkan unsur ekstrinsik puisi diantaranya seperti pendidikan pengarang,

sejarah pengarang, agama pengarang, dan latar belakang pengarang.

Adapun teknik dalam membaca puisi diantaranya :

 Ucapan dan gerakan wajar, tidak harus dibuat-buat.

 Pengucapan harus jelas.

Syarat membaca puisi yang baik diantaranya :

 Memahami isi puisi.

 Artikulasi dan intonasi tepat.

 Memberi jeda tekanan pada kata-kata yang penting.

17
 Mengeja kata-kata dengan jelas disertai mimik yang sesuai apa yang

disampaikan.

3. Drama

Drama adalah bentuk sastra yang dilukiskan dengan menggunakan bahasa yang

bebas dan panjang, serta disajikan menggunkan dialog atau monolog. Drama terdiri dari

dua jenis, yaitu drama dalam bentuk naskah dan drama yang dipentaskan. Drama juga

bias disebut dengan tiruan kehidupan manusia yang dipentaskan.

Macam-macam drama:

2. Komedi yaitu cerita yang di dalamnya mengandung humor, candaan yang bisa

menghibur penikmatnya.

3. Tragedi yaitu cerita yang di dalamnya mengandung kesusahan atau kesulitan

yang dialami oelh tokohnya.

4. Tragedi komedi yaitu cerita yang di dalamnya mengandung kesusahan dan

humor/lucu silih berganti.

5. Opera/musical yaitu drama yang diiringi oleh musik sebagai pelengkap

pementasan seninya.

Unsur-unsur drama adalah:

a. Kerangka cerita

Kerangka cerita merupakan rangkaian peristiwa yang membentuk cerita.

b. Penokohan

Penokohan menggambarkan watak setiap tokoh

18
Ada 3 macam watak tokoh, yaitu:

 Protagonis yaitu watak tokoh yang menampilkan perilaku baik : penyayang,

penyabar, pembela kebenaran dan sebagainya.

 Antagonis yaitu watak tokoh yang berperilaku jahat atau penenta yang

kebaikan.

 Tritagonis yaitu watak tokoh yang mendukung prontagonis

c. Tema yaitu gagasan pokok dalam cerita.

d. Perlengkapan, yaitu : kostum, tata panggung, tata lampu dan sebagainya.

Struktur drama ada 3 macam, yaitu :

 Prolog atau adegan pembukaan.

 Dialog atau percakapan antar tokoh

 Epilog atau adegan terakhir atau penutup.

c. dilihat dari isinyanya karya sastra terdiri atas 4 jenis, yaitu:

1. Epik

Epik adalah karangan yang melukiskan seseuatu secara objektif tanpa

mengikuti pikiran dan perasaan pribadi pengarang

2. Lirik

Lirik adalah karangan yang berisi curahan perasaan pengarang secara subjektif.

3. Didaktif

Didaktif adalah karya sastra yang isinya berupa pesan moral, tata krama,

agama, dan sebagainya.

19
4. Dramatik

Dramatik adalah karya sastra yang isinya melukiskan suatu kejadian dengan

gambaran yang berlebihan.

2.3. Fungsi Sastra

Secara sederhana Horace mengatakan bahwa sastra itu dulce et utile yang berarti

indah dan bermakna. Sastra sebagai sesuatu yang dipelajari atau sebagai

pengalaman kemanusiaan dapat berfungsi sebagai bahan renungan dan refleksi

kehidupan karena sastra bersifat koekstensif dengan kehidupan, artinya sastra

berdiri sejajar dengan hidup. Dalam kesusastraan dapat ditemukan berbagai

gubahan yag mengungkapkan nilai-nilai kehidupan, nilai-nilai kemanusiaan, nilai-

nilai sosial budaya, diantaranya terdapat dalam puisi, prosa, dan drama.

Pembahasan karya sastra yang terkait dengan kehidupan diarahkan pada

pengajaran apresiasi sastra dan bagaimana menggunakan media yang berupa puisi,

novel, cerpen, dan drama ini untuk mengungkap nilai-nilai kehidupan sesuai

dengan tema di dalam karya-karya sastra tersebut.

Dalam kehidupan bermasyarakat, sastra memiliki beberapa fungsi sebagai

berikut:

1. Fungsi rekreatif, yaitu sastra dapat memberikan hiburan yang

menyenangkan bagi penikmat atau pembacanya.

2. Fungsi didaktif yaitu sastra mampu mengarahkan atau mendidik

pembacanya karena nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang terkandung

didalamnya.

20
3. Fungsi estetis, yatiu sastra mampu memberikan keindahan

penikmat/pembacanya karena sifat keindahannya.

4. Fungsi moralitas, yaitu sastra mampu memberikan engetahuan kepada

pembaca/peminatnya sehingga tahu moral yang baik dan buruk, karena

sastra yang baik selalu mengandung moral yang tinggi.

5. Fungsi religius, yaitu sastra pun menghadirkan karya-karya yang

mengandung ajaran agama yang dapat diteladani para

penikmat/pembaca sastra.

2.4. Unsur Sastra

Karya sastra disusun oleh dua unsur yang menyusunnya, dua unsur yang

dimaksud adalah unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang

menyusun sebuah karya sastra dari dalam yang mewujudkan struktur suatu karya

sastra, seperti: tema, tokoh dan penokohan, alur dan pengaluran, latar dan

pelataran, dan pusat pengisahan. Sedangkan unsur ekstrisik ialah unsur yang

menyusun sebuah karya sastra dari luarnya, menyangkut aspek sosiologi,

psikologi, dan lain-lain.

1. Unsur Intrinsik

a. tema dan amanat

Tema adalah persoalan yang menduduki tempat utama dalam karya sastra.

Tema mayor ialah teman yang sangat menonjol dan menjadi persoalan. Tema

minor ialah tema yang tidak menonjol.

Amanat ialah pemecahan yang diberikan oleh pengarang bagi persoalan di

dalam karya sastra. Amanat biasa disebut makna. Makna dibedakan menjadi makna

niatan dan makna muatan. Makna niatan adalah makna yang diniatkan oleh

21
pengarang bagi karya sastra yang ditulisnya. Makna muatan ialah makna yang

termuat dalam karya sastra tersebut.

b. tokoh dan penokohan

Tokoh ialah pelaku dalam karya sastra. Dalam karya sastra biasanya ada

beberapa tokoh, namun biasanya ada satu tokoh utama. Tokoh utama ialah tokoh

yang sangat penting dalam mengambil peranan dalam karya sastra. Dua jenis tokoh

adalah tokoh datar (flash character) dan tokoh bulat (round character).

Tokoh datar ialah tokoh yang hanya menunjukkan satu segi, misalnya baik saja

atau buruk saja. Sejak awal sampai akhir cerita tokoh yang jahat akan tetap jahat.

Tokoh bulat ialah tokoh yang menunjukkan berbagai segi baik buruknya, kelebihan

dan kelemahannya. Jadi ada perkembangan yang terjadi pada tokoh ini. dari segi

kejiwaan dikenal tokoh introvert dan ekstrovert. Tokoh introvert ialah pribadi

tokoh tersebut yang ditentukan oleh ketidaksadarannya. Tokoh ekstrovert ialah

pribadi tokoh tersebut yang ditentukan oleh kesadarannya. Dalam karya sastra

dikenal pula dengan tokoh protagonis dan antagonis. Tokoh protagonis adalah

tokoh yang disukai pembaca atau penikmat sastra karena sifat-sifatnya. Antagonis

adalah tokoh yang tidak disukai pembaca atau penikmat sastra karena sifat-

sifatnya.

Penokohan atau perwatakan ialah teknik atau cara-caranya menampilkan

tokoh. Ada dua cara menampilkan tokoh, yaitu:

1) Cara analitik, ialah cara penampilan tokoh secara langsung melalui uraian

pengarang. Jadi, pengarang menguraikan ciri-ciri tokoh tersebut secara

langsung.

22
2) Cara dramatik ialah cara menampilkan tokoh tidak secara langsung tetapi

melalui gambaran ucapan, perbuatan, dan komentar atau penilaian pelaku

atau tokoh lain dalam suatu cerita.

 Dialog ialah cakapan antara seorang tokoh dengan banyak tokoh.

 Dualog ialah cakapan antara dua tokoh saja.

 Monolog ialah bentuk cakapan batin terhadap kejadian lampau dan

yang sedang terjadi.

 Solilokui, ialah bentuk cakapan batin terhadap peristiwa yang akan

terjadi.

c. alur dan pengaluran

Alur disebut juga plot, yaitu rangkaian peristiwa yang memiliki hubungan

sebab akibat sehingga menjadi satu kesatuan yang padu, bulat, dan utuh. Alur

terdiri atas beberapa bagian berikut:

1) Awal, yaitu pengarang mulai memperkenalkan tokoh-tokohnya.

2) Tikaian, yaitu terjadinya konflik diantara tokoh-tokoh pelaku.

3) Gawatan atau rumitan, yaitu konflik tokoh-tokohnya semakin seru.

4) Puncak, yaitu saat puncak konflik diantara tokoh-tokohnya.

5) Leraian, yaitu saat peristiwa konflik semakin reda dan perkembangan

alur mulai terungkap.

6) Akhir, yaitu saat seluruh peristiwa atau konflik telah terselesaikan.

Pengaluran yaitu teknik atau cara-cara menampilkan alur. Menurut

kualitasnya, pengaluran dibeakan menjadi alur erat dan alur longgar. Alur erat ialah

alur yang tidak memungkinkan adanya pencabangan cerita. Alur longgar adalah

alur yang memungkinkan adanya pencabangan cerita. Menurut kuantitasnya,

pengaluran dibedakan menjadi alur tunggal dan alur ganda. Alur tunggal ialah alur

23
yang hanya satu dalam karya sastra. Alur ganda ialah alur yang lebih dari satu

dalam karya sastra.

Dari segi urutan waktu, pengaluran dibedakan menjadi alur lurus dan alur tak

lurus. Alur lurus adalah alur yang melukiskan peristiwa-peristiwa berurutan dari

awal sampai akhir cerita. Alur tidak lurus ialah alur yang melukiskan tidak urut

dari awal sampai akhir cerita. Alur tidak lurus bisa menggunakan gerak balik

(backtracking), sorot balik (flashback), atau campuran keduanya.

d. latar dan pelataran

Latar disebut juga setting, yaitu tempat dan waktu terjadinya peristiwa-

peristiwa yang terjadi dalam sebuah karya sastra. Latar atau setting ini dibedakan

menjadi latar material dan sosial. Latar material ialah lukisan latar belakang alam

atau lingkungan dimana tokoh tersebut berada. Latar sosial ialah lukisan tata krama

tingkah laku, adat dan pandangan hidup. Sedangkan perlataran ialah teknik atau

cara-cara menampilkan latar.

e. sudut pandang

Sudut pandang suatu cerita dikisahkan oleh pencerita. Pencerita disini adalah

pribadi yang diciptakan pengarang untuk menyampaikan cerita. Paling tidak ada

dua pusat pengisahan yaitu pencerita sebagai orang pertama dan pencerita sebagai

orang ketiga. Sebagai orang pertama pencerita duduk dan terlihat dalam cerita

tersebut, biasanya sebagai aku dalam tokoh cerita. Sebagai orang ketiga, pencerita

tidak terlihat dalam cerita tersebut, ia duduk sebagai seorang pengamat atau dalang

yang serba tahu.

2. Unsur Ekstrinsik

Tidak ada sebuah karya sastra yang tumbuh otonom. Karya sastra ini selalu

berhubungan secara ekstrinsik dengan luar sastra. Dengan sejumlah faktor

24
kemasyarakatan seperti tradisi sastra, kebudayaan lingkungan, pembaca sastra,

serta kejiwaan mereka. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa unsur ekstrinsik

adalah unsur yang membentuk karya sastra dari luar sastra itu sendiri. Untuk

melakukan pendekatan terhadap unsur ekstrinsik, diperlukan bantuan-bantuan ilmu

kerabat seperti sosiologi, psikologi, dan lain-lain. Contoh unsur ekstrinsik yang

terdapat dalam karya sastra adalah:

1) Agama pengarang

2) Pendidikan pengarang

3) Ekonomi pengarang

4) Lingkungan tempat tingal pengarang

5) Kejadian yang terjadi di lingkungan pengarang.

2.5. Gaya Bahasa dalam Karya Sastra

Sudjiman (1998: 13) menyatakan bahwa sesungguhnya gaya bahasa dapat

digunakan dalam segala ragam bahasa baik ragam lisan, tulis, nonsastra, dan ragam

sastra, karena gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa dalam konteks tertentu

oleh orang tertentu untuk maksud tertentu. Akan tetapi, secara tradisional gaya

bahasa selalu ditautkan dengan teks sastra, khususnya teks sastra tertulis. Gaya

bahasa mencakup diksi atau pilihan leksikal, struktur kalimat, majas dan citraan,

pola rima, matra yang digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam

sebuah karya sastra.

Jorgense dan Phillips (dalam Ratna, 2009: 84) mengatakan bahwa gaya bahasa

bukan sekedar saluran, tetapi alat yang menggerakkan sekaligus menyusun kembali

dunia sosial itu sendiri. Lebih jauh menurut Simpson (dalam Ratna, 2009: 84) gaya

bahasa baik bagi penulis maupun pembaca berfungsi untuk mengeksplorasi

25
kemampuan bahasa khususnya bahasa yang digunakan. Stilistika dengan demikian

memperkaya cara berpikir, cara pemahaman, dan cara perolehan terhadap substansi

kultural pada umumnya.

Retorika merupakan penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis yang

diperoleh melalui kreativitas pengungkapan bahasa, yaitu bagaimana seorang

pengarang menyiasati bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan gagasannya.

Pengungkapan bahasa dalam sastra mencerminkan sikap dan perasaan pengarang

yang dapat digunakan untuk mempengaruhi sikap dan perasaan pembaca. Untuk

itu, bentuk pengungkapan bahasa harus efektif dan mampu mendukung gagasan

secara tepat yang memiliki segi estetis sebagai sebuah karya. Kekhasan, ketepatan,

dan kebaruan pemilihan bentuk-bentuk pengungkapan yang berasal dari imajinasi

dan kreatifitas pengarang dalam pengungkapan bahasa dan gagasan sangat

menentukan keefektifan wacana atau karya yang dihasilkan. Hal ini bisa dikatakan

bahwa bahasa akan menentukan nilai kesastraan yang akan diciptakan.

Beberapa ragam majas atau gaya bahasa dapat dikelompokkan menjadi empat

kelompok, yaitu:

a. Gaya bahasa (majas) penegasan:

1. Majas Pleonasme Adalah gaya bahasa yang dipakai untuk memperjelas

maksud dengan menggunakan kata berulang dan maknanya sudah

dikandung oleh kata yang mendahului.

2. Majas Hiperbola Adalah gaya bahasa yang dipakai untuk melukiskan

keadaan secara berlebihan

3. Majas Litotes Dipakai untuk melukiskan hal sekecil-kecilnya utnuk

merendahkan diri.

26
4. Majas Repetisi Adalah gaya bahasa mengulang kata-kata tertentu

beberapa kali. Gaya ini sering digunakan dalam berpidato

5. Majas Klimaks Adalah gaya bahasa yang menggunakan sesuatu secara

berturut-turut makin lama makin memuncak.

6. Majas Antiklimaks Adalah gaya bahasa yang menyebut sesuatu secara

berturut-turut makin lama makin menurun.

7. Majas Asidenton Adalah gaya bahasa yang melukiskan beberapa hal

secara terurai tanpa menggunakan kata penghubung.

8. Majas Polisindenton Adalah gaya bahasa yang menyebutkan beberapa hal

dengan menggunakan kata penghubung.

9. Majas Koreksio Adalah gaya bahasa yang menyebutkan sesuatu yang

slah, kemudian dibetulkan agar menarik.

10. Majas Interupsi Adalah gaya bahasa yang menggunakan sisipan kata/frase

di tengah-tengah kalimat untuk menegaskan maksud.

b. Gaya bahasa (majas) perbandingan

1. Perumpamaan/simile/asosiasi adalah perbandingan dua hal yang pada

hakikatnya berlainan, tetapi sengaja dianggap sama. Biasanya pada majas

ini diterangkan oleh pemakaian kata seperti, sebagai, ibarat, umpama, bak,

dan laksana.

2. Metafora adalah perbandingan yang implisit, tanpa kata pembanding

seperti atau sebagai diantara dua hal yang berbeda.

3. Personifikasi atau penginsanan adalah gaya bahasa yang menggunakan

sifat-sifat insani pada barang yang tidak bernyawa.

27
4. Alegori adalah gaya bahasa yang memperlihatkan perbandingan yang

utuh. Beberapa perbandingan membentuk satu kesatuan. Alegori

merupakan metafora yang diperluas dan berkesinambungan, biasanya

mengandung pendidikan dan ajaran moral.

5. Pleonasme adalah gaya bahasa yang menggunakan kata-kata mubazir.

6. Tropen adalah gaya bahasa yang melukiskan sesuatu dengan

membandingkan suatu pekerjaan atau perbuatan dengan kata lain yang

mengandung pengertian yang sejalan dan sejajar.

7. Perifrasis adalah Gaya bahasa yang melukiskan sesuatu dengan

menguraikan sepatah kata menjadi serangkaian kata yang mengandungarti

yang sama dengan kata yang digantikan itu.

c. Gaya bahasa (majas) sindiran

1. Majas Ironi Adalah gaya bahasa sindiran yang paling halus. Kadang yang

disindir sampai tidak terasa.Gaya bahasa ini dipakai dengan cara

menggunakan kata-kata yang mengandung arti kebalikan yang dimaksud.

2. Majas Sinisme Adalah gaya bahasa sindiran yang agak kasar.

3. Majas Sarkasme Adalah gaya bahasa sindiran yang paling kasar sehingga

sangat menyakitkan hati bagi orang yang disindir.

4. Majas Alusio Adalah gaya bahasa sindiran yang menggunakan

peribahasa/ungkapan yang sudah lazim.

28
d. Gaya bahasa (majas) pertentangan

1. Majas Paradoks Adalah gaya bahasa pertentangan yang di dalamnya jika

diteliti ternyata tidak ada pertentangan, sebab pokok pembicaraan sudah

berlainan.

2. Majas Antitesis Adalah gaya bahasa yang menggunakan kata-kata yang

bertentangan dengan artinya.

29
BAB III

PEMBAHASAN

1. Penggunaan Bahasa dalam Karya Sastra Secara Umum

Karya sastra merupakan suatu ciptaan atau karya manusia yang di dalamnya

membutuhkan bahasa. Entah itu bahasa tulisan maupun lisan. Bahasa tulisan digunakan

ketika penciptaan karya sastra, sedangkan bahasa lisan digunakan saat karya itu

dipentaskan. Dalam karya sastra puisi, prosa, atau pun drama sebenarnya tidak terpaut

aturan bahwa bahasa yang digunakan harus bahasa baku atau tidak.

Ditinjau dari sejarahnya memang karya sastra terbagi atas sastra lama dan sastra

baru, namun karena memang karya sastra itu banyak jenisnya tentu tiap jenis karya

sastra memiliki aturan dan cirinya sendiri. Karena ada dari beberapa karya sastra

terutama sastra lama yang menggunakan bahasa baku dalam penciptaannya. Tetapi

perbedaan bahasa yang digunakan dalam karya sastra lama dan sastra baru adalah sastra

lama cenderung menggunakan bahasa Melayu dan bahasa Arab, karena memang

bahasa Indonesia pun berawal dari bahasa Melayu yang merupakan bahasa nenek

moyang bangsa Indonesia namun seiring berjalannya waktu bahasa Indonesia memiliki

bahasa sendiri dan terpisah dari bahasa melayu. Sedangkan karya sastra baru atau

modern sekarang ini cenderung menggunakan bahasa Indo-Eropa.

Suatu karya sastra pasti mempunyai sifat khayal, adanya nilai-nilai seni atau

estetis. Oleh karena itu, dalam karya sastra diperlukan penggunaan bahasa yang khas

sehingga karya tersebut dapat menghidupkan perasaan atau menggugah emosi

pembacanya. Berbeda dengan karya lain dimana bahasa yang digunakannya harus

bersifat ilmiah dan disepakati oleh masyarakat keilmuan, bahasa dalam karya sastra

dapat bermakna konotatif dan asosiatif yaitu makna yang tidak sebenarnya. Selain itu

30
bahasa dalam karya sastra juga dapat bermakna ekspresif yang berarti dapat

membayangkan suasana pribadi pengarang atau pun bermakna sugestif yang artinya

bahasa itu dapat mensugesti atau menggugah emosi para pembaca.

Semakin berkembangnya zaman bahasa yang digunakan dalam karya sastra

modern pun kian lama kian berubah. Sekarang banyak sekali karya sastra yang

menggunakan bahasa modern yang sering kita sebut bahasa ‘gaul’ dalam proses

penciptaannya. Hal ini terjadi karena tidak terikatnya pembuatan sastra dengan aturan,

karya sastra itu bebas. Pengarang bisa dengan bebas menciptakan karyanya. Itu

merupakan sebab mengapa sastra modern kini lebih diminati oleh masyarakat, karena

menggunakan bahasa modern pula. Bahasa yang memang digunakan oleh masyarakat

dalam kehidupan sehari-hari sehingga mereka lebih memahami karya sastra yang

menggunakan bahasa modern atau bahasa ‘gaul’.

Berbeda dengan karya sastra lama, sastra lama biasanya menggunakan bahasa

yang lebih rumit. Para pembaca harus menafsirkan dan menerka-nerka apa makna dari

bahasa yang digunakan oleh penyair dan pengarang zaman dahulu. Oleh sebab itu,

penggunaan bahasa dalam karya sastra lama dan baru bisa dibedakan melalui hal-hal

tersebut. Salah satu hal yang menyebabkan bahwa masyarakat sekarang lebih menyukai

sastra baru adalah penggunaan bahasanya yang lebih mudah dipahami daripada sastra

lama yang penuh makna dan harus kita tafsirkan terlebih dahulu.

2. Penggunaan Bahasa dalam Puisi

Puisi adalah salah satu bentuk karya sastra yang memiliki ciri khas dalam

penggunaan bahasanya, yaitu menggunakan kata-kata indah dan penuh makna dibalik

kata-kata itu. Keindahan sebuah puisi diciptakan oleh diksi, majas, rima, dan irama

yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Dalam karya sastra puisi hal yang paling

31
penting adalah penggunaan diksi atau pemilihan kata yang tepat di dalam karya

tersebut. Diksi sangat berperan penting dalam sebuah karya puisi, puisi akan memiliki

niali keindahan jika menggunakan kata-kata yang tepat. Hal itu juga berpengaruh pada

minat baca para pembaca, minat para pembaca akan tergugah jika sebuah puisi

menggunakan kata-kata indah yang tepat pada porsinya pula.

Bahasa yang digunakan dalam puisi berbeda dari bahasa yang digunakan kita

dalam kehidupan sehari-hari. Puisi menggunakan bahasa yang ringkas, namun penuh

makna. Kata-kata yang digunakan puisi pun merupakan kata-kata konotatif atau kata

yang memiliki arti pinjaman, karena kata-kata konotatif biasanya mengandung banyak

penafsiran dan pengertian. Hal itu diperlukan agar pembaca menafsirkan makna puisi

seusai dengan penafsirannya masing-masing.

3. Penggunaan Bahasa dalam Prosa

Dalam pengertiannya sendiri prosa merupakan suatu karangan bebas. Bebas

disini maksudnya penulis bisa dengan bebas mengembangkan ide serta gagasannya

dalam sebuah karangan. Tentu bahasa yang digunakannya pun bahasa yang bebas

sesuai keinginan penulis dan sesuai dengan tema yang diusung dalam sebuah karangan

prosa.

Semua penulis karangan prosa seperti penulis cerpen dan novel memiliki bahasa

ciri khas dalam setiap tulisannya. Seperti karangan karya Boy Candra yang selalu

menggunakan kata “hujan”, “kenangan”, dan “cinta” di setiap ceritanya. Boy Candra

selalu menceritakan mengenai kenangan dengan seseorang yang telah pergi

meninggalkannya dalam setiap karangannya. Tulisannya selalu bercerita hal-hal

mengenai patah hati yang dialami oleh seorang lelaki kemudian lelaki itu ditinggalkan

oleh wanita yang ia cintai yang memiliki kenangan indah bersamanya, biasanya karya

32
Boy Candra lebih diminati oleh kaum remaja perempuan masa kini karena mereka

menganggap bahwa karangannya sesuai dengan kehidupan remaja masa kini dan

bahasa yang digunakan Boy Candra dalam setiap karangannya pun cenderung lebih

mudah dipahami karena tidak menggunakan bahasa yang sulit dimengerti yang

mengharuskan kita berpikir dan menafsirkan apa maksud dari tulisan tersebut.

Berbeda dengan Boy Candra, Sujiwo Tejo yaitu seorang sastrawan Jawa lebih

memilih untuk menggunakan bahasa yang lebih berbudaya, novel-novel yang ditulisnya

cenderung menggambarkan pasangan Rahwana dan Sinta yang terkenal akan keabadian

cintanya. Sujiwo Tejo menggunakan bahasa yang lebih “ilmiah” dalam setiap

karangannya. Cinta Rahwana dan Sinta dikaitkan dengan kisah-kisah penciptaan alam

semesta dan cenderung dikaitkan dengan sejarah-sejarah budaya Jawa-Hindu. Biasanya

para pembaca masa kini kurang berminat untuk membaca karangan-karangan seperti

itu karena bahasa yang digunakan lebih rumit dan mereka menganggap bahwa

keadaannya tidak sesuai dengan apa yang mereka alami. Pembaca akan lebih tertarik

untuk membaca sesuatu apabila kisah yang digambarkan sesuai dengan apa ayang

dialaminya di kehidupan nyata. Namun, itu semua tidak mengurangi ketenaran

karangan-karangan dari Sujiwo Tejo sendiri, karena di luar itu semua masih banyak

masyarakat yang mengagumi tulisan-tulisannya yang penuh makna itu.

Pengarang yang lain, seperti Tere Liye memiliki ciri khas yang berbeda.

Karangan-karangannya sebagian besar bertema sosial-keagamaan. Terlihat dalam

judul-judul bukunya pun karangan-karangan dari Tere Liye bertema keagamaan.

Bahasa yang digunakannya pun bahasa atau kata-kata yang berkaitan dengan

keagamaan seperti yang ditulisnya dalam buku “Hapalan Sholat Delisa” dan “Moga

Bunda Disayang Allah”. Selain buku yang bertema keagamaan tersebut, Tere Liye juga

33
mengeluarkan karangan-karangan yang berjudul nama-nama yang berkaitan dengan

alam semesta seperti “Bumi”, “Matahari”, “Bulan” dan “Bintang”.

Ciri khas berbahasa dalam sebuah karangan prosa memang diperlukan oleh

setiap pengarang, itu merupakan modal utama agar karya-karyanya dapat dikenang dan

membekas di hati para pembacanya.

4. Penggunaan Bahasa dalam Drama

Drama merupakan karya sastra yang menggunakan lakon dan dialog yang biasa

dipentaskan. Drama mempunyai daya tarik tersendiri untuk menarik para

penggemarnya, salah satunya dengan lakon suka dan duka dalam menjalani kehidupan.

Karena drama merupakan sebuah potret yang menggambarkan bagaimana manusia

hidup di dunia ini. Bahasa yang digunakan dalam karya sastra drama pun lebih mudah

dipahami karena tidak membutuhkan penafsiran mendalam seperti halnya puisi. Sebab

drama merupakan contoh peristiwa dalam kehidupan sehari-hari yang dibuat dalam

sebuah lakon, sehingga para penikmat drama pun akan lebih mudah memahaminya.

Hingga saat ini, drama masih sangat eksis di kalangan masyarakat. Apalagi pada

era modern seperti sekarang ini banyak drama yang dipentaskan melalui sebuah

sinetron yang disiarkan oleh televisi nasional, penggemarnya pun masih sangat banyak

terutama kalangan ibu-ibu. Drama dalam sinetron banyak menceritakan peristiwa

dalam kehidupan sehari-hari meliputi hal percintaan, sosial, dan agama serta konflik

yang ada di dalamnya.

Bahasa yang digunakan pun cenderung tidak baku karena memang sesuai

kehidupan sehari-hari kita saat ini. Bahasa yang digunakan biasanya selalu sesuai

dengan tema drama itu sendiri. Sayangnya memang drama-drama yang disiarkan dalam

34
sinetron dewasa ini banyak menceritakan percintaan disbanding dengan drama yang

bertema sosial dan keagamaan.

Namun, drama-drama di luar yang dipentaskan melalui sinetron pun saat ini

masih berjalan di kalangan masyarakat. Terlebih masyarakat Jawa dengan drama lakon

Arjuna atau pun Rahwana dan Sinta serta masyarakat Sunda dengan drama-drama ciri

khasnya. Tentunya bahasa yang digunakan dalam drama Jawa dan Sunda masih

menggunakan bahasa daerahnya masing-masing. Tapi tidak menutup kemungkinan jika

drama-drama tersebut diterjemahkan ke bahasa Indonesia yang baik dan benar agar

masyarakat awam pun dapat memahaminya.

5. Peran Bahasa dalam Karya Sastra

Peran atau fungsi bahasa dalam karya sastra adalah sebagai alat dan tujuan. Karya

sastra tercipta melalui bahasa, tidak ada satu pun karya sastra yang tercipta tanpa

menggunakan bahasa. Oleh karena itu, sastra dan bahasa selalu saling berkaitan.

Dengan kata lain bahwa sastra adalah bahasa itu sendiri. Karya sastra menggunakan

bahasa sebagai media utama dalam pembuatannya, juga sebagai tujuan dari dibuatnya

karya sastra. Karena segala sesuatu yang diungkapkan penulis melalui sebuah karya

sastra itu menggunakan bahasa, juga tujuan dari penulis mengungkapkan gagasannya

pun tersampaikan melalui bahasa yang digunakannya dalam sebuah karya sastra.

Adapun beberapa hal umum mengenai bahasa yang diperlukan dalam pembuatan

karya sastra adalah pemakaian ejaan, kata, frasa, klausa, kalimat dan paragraf

mengingat bahwa konteks karya sastra sebagai bahasa secara tertulis.

Terkait dengan gaya bahasa pun bahasa Indonesia memiliki peran yang sangat

signifikan. Sebagai salah satu media komunikasi, disini bahasa Indonesia mempunyai

peran yang dinamakan literer. Dimana peran ini mengungkaapkan nilai-nilai keindahan,

35
estetika, dan imajinasi. Bisa dibilang fokus utama dari karya sastra adalah pada diksi

dan gaya bahasa. Diksi merupakan pilihan kata. Perlu dilakukan untuk dapat membuat

kalimat yang baik, benar dan menarik. Gaya bahasa secara sederhana merupakan

bagaimana cara orang berbahasa atau menyampaikan pesan bahasa. Tentunya dapat

dilakukan dengan berbagai cara tergantung yang menyampaikan (pengarang). Gaya

bahasa dalam karya sastra juga berfungsi sebagai identitas. Artinya, gaya bahasa A akan

menunjukkan karya satra itu adalah karya sastra A. Lalu, tujuan utama gaya bahasa

dalam karya sastra adalah untuk menghadirkan aspek. Karya sastra yang indah terlihat

dari gaya bahasa yang baik.

Menurut Ratna (2009: 63) unsur utama karya sastra itu adalah bahasa. Dan ada

ada dua hal yang melatarbelakangi itu. Pertama, bahasa (lisan atau tulisan) adalah alat

untuk memisahkan sekaligus untuk menunjukkan keumuman. Kedua, setiap aspek

kehidupan di dunia ini adalah bahasa maka cara untuk memahamina adalah lewat

bahasa. Karya sastra lebih menekankan pada aspek keindahan atau estetika. Maka hal

ini adalah tujuan utama dari dari diguanakannya gaya bahasa dalam penulisan karya

sastra (Ratna, 2009: 67). Karya sastra yang baik juga terlihat dari gaya bahasanya yang

baik pula.

Bahasa Indonesia membentuk karya sastra Indonesia. Sebuah karya sastra ada

karena ditopang bahasa. Bahasa Indonesia merupakan medium untuk membentuk karya

sastra (karya sastra Indonesia). Bahkan merupakan bahan yang utama (Ratna, 2009:

64). Sebuah karya sastra bisa ada karena adanya bahasa. Intinya, karya sastra tertulis

lahir dari bahasa terkait dan bahasa merupakan unsur utama pembentuk karya sastra,

utamanya karya sastra tertulis.

36
6. Penggunaan Bahasa dan Analisis Unsur Pembentuk Cerpen “Rembulan di Mata

Ibu” karya Asma Nadia

6.1. Cerpen “Rembulan di Mata Ibu” karya Asma Nadia

Kupandangi telegram yang barusan kubaca, batinku galau. Ibu sakit Diah,

pulanglah! Begitu satu-satunya kalimat yang tertera di sana. Mbak Sri menyuruhku

pulang? Tapi …. Benarkah Ibu sakit?

Bayangkan Ibu, dengan penampilannya yang tegar berkelebat. Rasanya baru

kemarin aku masih melihatnya berjalan memberi makan ternak-ternak kami sendirian.

Melalui padang rumput yang luas. Berputar-putar di sana berjam-jam. Mengawasi

rumah kecil kami yang hanya berupa noktah dari balik bukit. Tidak. Ibu bahkan tak

pernah kelihatan lelah dimalam hari. Saat semua aktivitas seharian yang menguras

kekuatan fisiknya berlalu. Ibu selalu kelihatan sangat kuat.

Tak hanya kuat, dari mulutnya pun masih kerap terdengar ungkapan-ungkapan

pedas, khususnya yang ditujukan kepadaku. “Jadi perempuan jangan terlalu sering

melamun Diah! Bekerja, itu akan membuat tubuhmu kuat!” komentarnya suatu hari

padaku. Padahal, saat itu aku sama sekali tidak menganggur. Sebuah buku berada

dipangkuanku. Tapi, Ibu tak pernah menghargai kesukaanku membaca. Di mata beliau,

itu hanyalah kegiatan tak berguna yang tak menghasilkan.

Di waktu yang lain Ibu mengecam kebiasaanku rapat dengan para pemuda desa.

Ibu sama sekali tak mau mengerti kalau rapat-rapat yang kulakukan bukan tanpa tujuan.

Kalau kami, anak-anak muda yang berkumpul disana sedang mencoba

menyumbangkan pemikiran bagi kemajuan desa. Bagi wanita sederhana itu, menghalau

ternak lebih berguna daripada bicara panjang lebar, dan adu pendapat. “Kau pikir bicara

bisa membuatmu mendapatkan uang?” Ingin sekali saat itu aku mengangguk dan

menantang matanya yang sinis. Tak tahukah Ibu, di kota sana, banyak sekali pekerjaan

37
yang mementingkan kemampuan bicara. Seharusnya Ibu melihat kegiatan pemilihan

lurah desa, dan tak hanya berkutat dengan ternak – ternaknya di padang rumput. Pak

Kades takkan terpilih kalau dia tak punya kemampuan meyakinkan dan menenangkan

rakyatnya! Akan tetapi, kalimat itu hanya ketelan dalam hati. Tak satu pun

kumuntahkan di hadapannya.

Caraku berpakaian pun tak pernah benar dimatanya. Ada saja yang salah. Yang

tak rapilah, kelihatan kelaki-lakianlah dan segalanya. Sebetulnya aku heran, kenapa tiga

mbakku yang semuanya perempuan itu bisa melalui hari dengan keterpasungan

pemahaman Ibu. Mereka bisa sekolah, paling tidak sampai es em pe dan es em a tanpa

banyak bertengkar dengan Ibu. Lulus sekolah, menikah dan punya anak … dan sekali

lagi, tanpa mengalami pertentangan dengan Ibu. Sedangkan aku? Rasanya tak ada satu

hal pun, yang pernah kulakukan, yang dianggapnya benar. Selalu saja ada yang kurang.

Dahulu sekali aku pernah mencoba menyenangkan hati wanita itu. Kucoba

memasakkan sesuatu untuknya. Meski semua saudaraku tahu, aku benci kegiatan dapur

itu. Hasilnya? Aku menyesal telah mencoba karena Ibu sama sekali tak menghargai

usahaku. “Beginilah jadinya kalau anak perempuan cuma bisa belajar. Tak tahu

bagaimana memasak! Siapa yang mau menikahimu nanti kalau begini Diah?”

Dan saat itu aku makin tersungkur dalam ketidakberdayaanku menghadapi Ibu.

Perlahan aku malah berhenti berusaha menenangkan hatinya. Aku capek. Maka saat ada

kesempatan pergi meninggalkan rumah, dan meneruskan pendidikan ke bangku kuliah,

dengan peluang beasiswa, kegempur habis kemampuanku, agar kesempatan itu tidak

lepas dari tangan.

Aku harus pergi, menjauh dari Ibu, dari komentar – komentarnya yang

menyakitkan. Masih terngiang di telingaku suaranya yang bernada mengejek waktu

melihat aku mempersiapkan diri menghadapi tes bea siswa itu. “Kau tak kan berhasil

38
Diah! Tak usah capek-capek! Wanita akan kembali ke dapur, apapun kedudukannya!”

Tak kuhiraukan kalimat Ibu. Seperti biasa aku selalu berusaha menahan diri. Setidaknya

hingga saat itu. Kala pertahanan diriku roboh ke tanah. Dan untuk pertama kali aku

berani menantang matanya yang selalu bersinar sinis, dan kurasakan tanpa kasih.

Saat itu aku merasa begitu yakin. Wanita tua yang kupanggil Ibu selama ini, tak

pernah dan tak akan pernah mencintai diriku! “Diah … kok melamun?” Aku mengusap

air mata yang menitik. Laila yang menangkap kesedihanku menatapku lekat. Ada

nuansa khawatir pada nada suaranya kemudian. “Ada apa? Tulisanmu ada yang ditolak?

Mana mungkin!” ujarnya mencoba melucu. Aku tertawa pelan, mencoba mengurangi

beban dihatiku, kubalas tatapan matanya. Wajah tulus sahabat baikku itu memancar di

balik kerudung coklat yang dikenakannya.

Aku berdehem berat.“Li … percayakah kamu kalau aku bilang, ada Ibu yang tak

pernah mencintai anaknya?”. Laili menatapku bingung. Pertanyaan ini mungkin aneh

di telinganya. Apalagi aku tahu keluarganya adalah keluarga terhangat yang pernah

kutemukan. Ibu Laili tak hanya bijaksana, tapi juga selalu melimpahinya dengan

banyak kasih dan perhatian. Jauh sekali bila dibandingkan Ibu!

“Aku rasa, mencintai adalah naluri yang muncul otomatis saat seseorang menjadi

Ibu, Diah! Itu karunia Allah yang diberikan pada setiap Ibu. Rasa kasih, mengayomi,

dan melindungi!” jawab Laili hati-hati. Aku mengalihkan pandangan dari matanya.

Kami sudah tinggal satu kos selama hampir lima tahun. Kupercayakan seluruh

kegembiraan dan saat-saat sulitku padanya. Tapi, tak pernah sekalipun aku bercerita

tentang Ibu, dan ketidakadilan yang diberikan wanita itu padaku.

Sekali lagi airmataku menitik. Ingat, selama kurun lima tahun ini, aku tak pernah

menjenguk Ibu. Ya, tidak sama sekali pun! Meski batinku terasa kering. Bagaimanapun

sebagai anak, aku punya kasih yang ingin bisa kupersembahkan pada wanita yang

39
melahirkanku. Sayangnya, tak pernah ada kesempatan bagiku untuk mewujudkannya

itu. Ibu tak pernah menangkap sinar kasih dimataku, apalagi membalasnya dengan

pelukan hangat. Ibu tak pernah peduli! Bagaimana aku tidak mulai membencinya secara

perlahan? Mungkin tidak dalam artian kata benci sesungguhnya. Terus terang, aku

mulai menghapus namanya dalam kehidupanku.

Dalam tahun-tahun yang telah kulalui aku hanya mengirim surat dan foto pada

semua kakak dan keponakanku. Tak satu pun kualamatkan untuk Ibu. Kalaupun secara

rutin kusisihkan uang honor menulisku untuk Ibu, itu pun tak pernah kukirimkan

langsung. Selalu lewat salah satu kakakku. Paling sering lewat mbak Sri. Aku belajar

menyingkirkan kebutuhanku akan kasih sayang dan sikap keibuan darinya. Aku belajar

… melupakan Ibu!

“Diah … kenapa kamu menanyakan itu?” suara Laili kembali terdengar. Batinku

makin kisruh. Apa pendapatnya kalau tahu, teman baiknya, selama ini telah melupakan

Ibunya? Padahal dalam Islam tertera jelas keutamaan untuk berbakti dan menghormati

Ibu. Selama ini aku selalu berdalih di hadapan-Nya dalam shalat – shalat yang kulalui.

Bukan aku tak mencintainya. Tapi … sepertinya itu kehendak Ibu sendiri untuk

dilupakan! “Ibuku sakit Li! Apa yang harus kulakukan?” tanyaku akhirnya tanpa daya.

Laili tersenyum. Tangannya kembali menggenggam jemariku. “Itu aja kok, bingung!

Barangkali dia kangen padamu. Tengoklah Ibu, Di! Eh, kapan terakhir kali bertemu?”

Teman baikku itu seperti teringat saat-saat libur kuliah yang tak pernah kumanfaatkan

untuk pulang kampung, sebaliknya malah berkunjung ke tempatnya atau menghabiskan

waktu di kos, merentang hari. “Aku tak pernah pulang, Laili. Sudah lima tahun!”

jawabanku membuat Laili tersedak. Pantas saja gadis itu kaget. Lima tahun bukan

waktu yang singkat. “Kamu harus pulang secepatnya, Di! Biar aku yang memesankan

tiket kereta. Jangan lupa bawa oleh-oleh untuk Ibumu. Hm…apa ya, kesukaan beliau?”

40
Tiba-tiba Laili dilanda kesibukan dan kepanikan luar biasa. Seakan membayangkan

mengunjungi ibunya sendiri, yang tak pernah ditemuinya selama lima tahun! “Tak perlu

repot-repot Laili! Biar kuurus sendiri!” tolakku halus, tetapi Laili tetap bersikeras. “Hey

… jangan begitu dong, Di!selama ini kamu selalu repot-repot saat mengunjungi kami.

Jadi .. biarkan aku yang mengurus perjalananmu kali ini. Lagi pula, kamu masih harus

mempersiapkan presentasi skripsimu, kan?”

Aku menyerah. Sebelum Laili pergi, aku menatapnya sekali lagi,“Kamu yakin

aku harus pulang, Li?” Pertanyaanku hanya disambut senyum hangatnya. “Tentu,

pulanglah, Ibu pasti kangen kamu Diah!” Ahh… andai Laili tahu, perempuan macam

apa Ibuku itu! Beliau lebih keras dari karang Laili, karang masih bisa terkikis air laut,

tetapi Ibuku?

Rumah mungil kami tak banyak berubah. Juga rumah petak-petak kecil

disampingnya. Dimana ketiga mbakku dan keluarganya tinggal. Saat aku masuk

kedalam, kulihat ruangan tampak tidak serapi biasanya. Barangkali kehilangan

sentuhan tangan Ibu. Mbak Sri bilang, setahun belakangan ini Ibu beberapa kali jatuh

sakit. Akan tetapi, beliau tidak pernah mengijinkan mereka mengabarkan padaku.

Karena Ibu tak butuh kehadiranku, bisikku dalam hati.

Mbak Ningsih yang melihat kecanggunganku menjelaskan. Di pangkuannya

duduk dua bocah cilik bergelayut manja. “Ibu tak ingin aku mengganggu kuliahmu,

Diah!” Aku tersenyum sinis mendengar perkataan kakak tertuaku itu. Sejak kapan Ibu

memikirkan kuliahku? Bukankah baginya anak perempuan cuma akan ke dapur?

Mbak Rahayu yang lebih banyak diam pun ikut menambahkan, “Ibu sering

bertanya pada kami Diah, berkali-kali malah. Sudah tahun ke berapa kuliahmu? Berapa

lama lagi selesai.” “Sebetulnya Ibu sangat kangen kepadamu Diah, tapi Ibu lebih

mementingkan kuliahmu.” Mbak Sri menambahkan di tengah aktivitas menyusui

41
anaknya. Tapi, aku tak merasa perlu diyakinkan. Aku kenal Ibu. Dan selama jadi

anaknya, tak pernah Ibu bersikap kasih padaku. Tidak sekali pun, perkataan kakak-

kakakku barusan semata-mata untuk menyenangkan hatiku. Agar aku tak merasa

kejadian lima tahun yang lalu, pertengkaran hebatku dengan Ibu. Pertengkaran yang

makin memantapkan hatiku untuk pergi.

Malam itu Ibu berkali-kali menumpahkan kalimat-kalimat pedas padaku.

Tujuannya satu, agar aku tak pergi. Bagiku, sikap Ibu saat itu sangat egois dan kekanak-

kanakan. Sementara orang lain akan menyambut gembira keberhasilan anak-anaknya

meraih beasiswa macam ini, beliau sebaliknya. Tak tahukah Ibu, kalau aku harus

menyingkirkan ribuan orang untuk meraih prestasi ini? Kucoba menuliskan telinga,

tetapi kalimat-kalimat pedasnya tak berangsur surut. Malah bertambah keras. “Pergi ke

kota bagi perempuan macam kau Diah, hanya akan menjadi santapan laki-laki! Tak ada

tempat aman kecuali di kampung sendiri. Ibu tak ingin kau membuat malu keluarga.

Pulang dengan membawa aib!”

Astagfirullah … Ibu kira perempuan macam apa aku? Mulutku sudah setengah

terbuka siap membantahnya, tetapi ketiga saudaraku mencegahku. Melihat sikapku

yang menantang, kemarahan Ibu makin tak terbendung. “Jangan coba membantah!

Kurang baik dan terpelajar apa si Retno? Lalu Sumirah? Bahkan anak pak Haji Tarjo?

Pulang-pulang malah jadi perempuan jalang! Aku tak ingin punya anak jalang!” cukup!

Aku tak bisa menahan kesabaranku lebih lama. Darahku seperti mendidih mendengar

kalimat-kalimat Ibu. Kalau saja Ibu cukup mengenalku, kalau saja Ibu punya sedikit

kepercayaan pada anaknya sendiri!?? Ibu Cuma percaya pada dirinya sendiri. Seakan

semua orang akan mengalami nasib buruk.

Saat ditinggal Bapak! Ya, Bapak memang meninggalkan kami. Janjinya, bahwa,

lelaki itu akan kembali dari kota dengan membawa perubahan pada nasib kami, cuma

42
omong kosong. Di sana Bapak justru menikah lagi. Dan Ibu yang menganggap dirinya

sempurna sebagai wanita, merasa sakit hati. Setelah itu semua yang berbau pembaruan

dan kemajuan dimusuhinya habis-habisan. Termasuk niatku ke kota untuk mencari

ilmu.

Kutatap mata Ibu dengan sikap menantang. Suaraku bergetar saat berkata-kata

padanya. “Seharusnya Ibu bangga padaku! Seharusnya Ibu menyemangati, bukan

malah terus-terusan mengejekku, Bu! Sekarang Diah tahu kenapa Bapak meninggalkan

Ibu!” kataku berani. Di depanku, Ibu menatap mataku tajam. Matanya diliputi

kemarahan atas kelancanganku. “Kenapa Bapak meninggalkan Ibumu? Ayo jawab,

kenapa?!!! Sia-sia usaha mbak-mbakku yang lain untuk mengerem mulutku. Dalam

kemarahan, kulontarkan luka yang mungkin akan melekat selamanya di hati Ibu.

“Karena Ibu picik! Itu sebabnya!” Kubanting pintu kamarku dan mengurung diri

semalaman. Menangis. Batinku puas, telah kukatakan apa yang menurutku harus

didengar Ibu.

Besoknya, pagi-pagi sekali, hanya berpamitan pada mbak-mbakku, aku pergi,

dengan bongkahan luka di hatiku. Barangkali juga di hati Ibu. Tapi, aku tak peduli. Saat

aku mengenal Laili dan teman-teman Muslimah lain. Baru kusesali sikapku.

Seharusnya aku tak bersikap sekasar itu pada Ibu. Tak membalas kekasarannya dengan

tindakan serupa.

Meski begitu, penyesalanku tak bisa mengubah perasaan yang kadung hampa

terhadap Ibu. Aku masih tak menyukai wanita yang melahirkanku itu. Seperti juga

beliau tak menyukaiku. “Diah … Ibu sudah bangun.” Mbak Sri menyentuh tanganku.

Mengembalikanku dari kenangan masa lalu. Kubuka pintu kamar Ibu. Suara derit

engsel yang berkarat terdengar. Kulihat Ibu terbaring lemah di dipan. Keperkasaannya

selama ini, kulihat nyaris tak tersisa. Tangan kurusnya mengajakku mendekat.

43
Di bawah cahaya lampu teplok, kurayapi wajahnya yang penuh guratan-guratan

usia. Ibu tampak begitu tua. “Apa kabarmu Diah?” suaranya nyaris berupa bisikan.

“Baik, Bu.” Kusadari suaraku terdengar begitu datar. Barangkali mewakili kehampaan

perasaanku.

Ibu tak memandang kaget penampilanku, yang pasti merupakan pemandangan

baru baginya. Atau Ibu terlalu sakit untuk mencela busana muslimah yang kukenakan?

Sekali lagi hatiku berkomentar sinis, tanpa bisa dicegah. “Kamu kelihatan kurusan

Nduk!” ujar Ibu setelah beberapa saat kami terdiam. Aku tak menanggapi. Sebaliknya,

mataku mengitari ruangan kecil itu. Semuanya hampir tak berubah. Kenapa Ibu

bertahan dalam kesederhanaan ini? Bukankah seharusnya dengan ternak – ternak itu

Ibu mampu hidup lebih layak? Belum lagi ketiga mbakku, mustahil mereka tidak

memberikan tambahan masukan, biarpun sedikit, untuk Ibu.

Aku memperhatikan ranjang Ibu. Kasur tipis diatas dipan yang pasti tak nyaman

untuknya. Cahaya penerangan pun tidak memadai. Padahal, di rumah ketiga saudara

perempuanku sudah diterangi cahaya listrik. Lalu … uang kirimanku yang rutin meski

tak seberapa mestinya cukup meringankan Ibu. Tapi kenapa?

Kulihat meja jati tua disamping Ibu. Ada beberapa botol obat di sana. Kertas-

kertas dan beberapa foto yang dibingkai. Kudekatkan tubuhku untuk melihat jelas.

Mendadak mataku nanar … masya allah! Aku tak sanggup berkata-kata. Segera kutahan

diriku sebisanya untuk tak menangis.

Ibu yang menyadari arah pandanganku menjelaskan, “Jangan salahkan mbakmu

Diah. Foto-foto itu Ibu yang maksa minta. Kadang Ibu pandangi, jika Ibu kangen kamu.

Lihat, itu pasti waktu kamu masih tingkat satu, ya? Belum pakai jilbab! Yang lainnya

sudah rapih berjilbab.” Kulihat ibu tersenyum. Dimatanya ada kerinduan yang

mendalam. Batinku kembali terguncang. Ibu kangen padaku? Betulkah? Apa yang

44
membuat Ibu begitu berubah? Usia tuanyakah? Waktu lima tahunkah? Hatiku terus

bertanya-tanya. Kemana larinya sikap keras dan ketus Ibu?

“Tolong Ibu, Nduk, Ibu ingin duduk di beranda,” pintanya sekonyong-konyong.

Kupapah tubuh ringkihnya keluar. Diatas sana langit mulai gelap. Beberapa bintang

meramaikan rembulan yang mulai muncul. Langit jingga tampak terbias indah

menyambut malam. Bersisian kami duduk di beranda. Beberapa waktu berlalu dalam

keheningan. Tanpa kata-kata, tetapi bisa kulihat wajah Ibu tampak cerah menatap langit

yang dihias purnama. Lalu …

“Ning … Ningsih….” Tergopoh-gopoh mbakku muncul mendengar panggilan

dari Ibu. “Dalem Bu…” “Tolong ambilkan kotak kayu Ibu di bawah tempat tidur, ya…”

Tak lama Mbak Ning sudah muncul lagi. Sebuah kotak kayu yang terlihat amat tua

diserahkannya kepada Ibu.

“Bukalah Diah, itu untukmu. Ibu selalu takut tak sempat memberikannya

kepadamu. Ibu sudah tua Diah,” suara Ibu. Matanya masih menatap langit. Meski tak

mengerti, kuturuti permintaan orang tua itu. Dan tanpa bisa kucegah, kedua belah

mataku terbelalak melihat isinya. Uang! Dimana-mana uang! Begitu banyak, darimana

Ibu mendapatkannya?

Ibu terkekeh sendiri melihat keterkejutanku. Beberapa giginya yang sudah

ompong terlihat. “Itu untukmu Diah..” aku menutup kembali kotak kayu itu, kuserahkan

kepada Ibu. “Diah ndak butuh uang Ibu. Beberapa tahun ini sudah ada kerja sambilan.

Jaga toko sambil nulis-nulis,” ujarku berusaha menolak. “Ibu tahu .. Ibu baca surat yang

kirimkan kepada mbak-mbakmu .. tapi itu uangmu. Kau membutuhkannnya. Mungkin

tak lama lagi.” Suara Ibu memaksa.

Ahh..wisudaku…itukah yang Ibu pikirkan? “Wisuda tak perlu biaya sebanyak ini,

Bu ….” Tolakku lagi. “Tapi kau harus menerimanya Diah, itu uangmu. Uang yang kau

45
kirimkan selama ini untuk Ibu lewat mbakmu. Sebagian ada juga hakmu dari penjualan

ternak,” jelas wanita itu lagi.

Aku melongo. Teringat dipan tua yang kasurnya tipis, lampu templok, kursi

diruang tamu yang sudah jelek dan bufet yang kusam. Bukankah dengan uang itu Ibu

bisa hidup lebih layak? “Kenapa tak Ibu pakai untuk keperluan Ibu?” tanyaku heran.

Ibu hanya tersenyum. Matanya mencari-cari rembulan yang setengah tertutup awan.

“Ibu tak butuh uang sebanyak itu, Diah! Lagi pula .. Ibu khawatir tak bisa lagi

memberimu uang.”

“Diah kan sudah jelaskan ke Ibu, Diah sudah bisa cari uang sendiri meski sedikit-

sedikit. Ibu tak perlu repot memikirkan aku,” ujarku keras kepala. Tapi, lagi-lagi Ibu

memaksaku. “Kau akan membutuhkannya Diah, untuk pernikahanmu nanti. Semua

mbakmu hidup sederhana. Anak mereka banyak, mungkin tak kan banyak bisa

membantumu jika hari itu tiba!”

Deg! Hatiku berdetak. Untuk pernikahanku? Sejauh itukah Ibu memikirkanku?

Kata-kata Ibu berikutnya bagai telaga sejuk mengaliri relung – relung hatiku. “Maafkan

Ibu jika selama ini keras padamu Diah! Kau benar … ibu memang picik! Itu karena Ibu

tak ingin kau terluka. Ibu tak ingin kau kecewa. Itu sebabnya Ibu tak pernah memujimu.

Kau harus punya hati sekeras baja untuk menapaki hidup. Ibu ingin anak bungsu Ibu

menjadi sosok yang berbeda. Seperti rembulan merah jambu, bukan kuning keemasan

seperti yang biasa kita lihat.” Ibu menunjuk purnama yang benderang. Aku mengikuti

telunjuknya. Batinku terasa lebih segar.

Rembulan merah jambu … itukah yang di inginkan Ibu, menjadi seseorang.

Menjadi orang dalam arti sebenarnya. Punya karakter dan prinsip yang berbeda. Siap

mengarungi kerasnya selama ini? Hatiku berbunga-bunga. Semua kehampaan,

kebencian, dan kekesalanku pada wanita tua itu tiba-tiba terbang ke awan. Aku tak lagi

46
membencinya! Ternyata aku cukup punya arti dimata Ibu. Aku rembulan di hatinya!

Tanpa ragu, kepeluk Ibu erat.

Bersama-sama, kami menghabiskan waktu yang tak terlupakan di beranda

memandangi langit, dan … rembulan yang kini merah jambu dalam pandanganku!

6.2. Analisis Cerpen “Rembulan di Mata Ibu” karya Asma Nadia

Cerpen ini menceritakan tentang seorang anak yang bernama Diah, dia adalah anak

bungsu dari 4 bersaudara. Diah merasakan bahwa ibunya membencinya karena ibunya

selalu bersikap keras hanya kepada dirinya, tidak kepada 3 orang kakaknya. Hingga

suatu hari ia lulus sekolah dan ingin melanjutkan pendidikannya untuk berkuliah di luar

kota, namun ibunya menentangnya. Ibunya berkata bahwa percuma saja Diah kuliah

karena pada hakikatnya wanita akan menjadi ibu rumah tangga juga, akan kembali ke

dapur juga. Diah tetap pergi ke kota untuk menggapai mimpi-mimpinya tanpa

sepengetahuan ibunya.

Hingga 5 tahun ia berada di kota, tanpa pernah pulang unthuk menemui ibunya. Ia

hanya mengirim uang untuk ibunya lewat kakaknya. Pada suatu hari ia menerima

telegram dari kakaknya yang memberitahu bahwa ibunya sedang sakit dan memintanya

untuk pulang. Akhirnya Diah pulang ke rumahnya dan pada akhir cerita Diah tahu

bahwa selama ini ibunya berlaku keras hanya untuk membuatnya menjadi gadis yang

tangguh, ibunya tak ingin Diah menjadi gadis desa yang bodoh seperti ibunya.

Cerpen ini menggunakan bahasa tidak baku yang juga mudah dipahami atau

komunikatif. Pada dasarnya penggunaan bahasa yang komunikatif memang diperlukan

dalam sebuah karya sastra agar para pembaca tidak kebingungan dalam membaca karya

tersebut serta berguna untuk meningkatkan minat baca para pembaca. Bahasa dalam

cerpen ini juga bersifat sugestif, yang berarti bahwa kata-kata yang diungkapkan cerpen

47
ini dapat menggugah emosi para pembaca. Terasa sekali dengan penggambaran bahasa

saat Diah berdialog dengan ibunya yang selalu saja bersikap keras dan tidak pernah

mengeluarkan kata pujian kepada Diah membuat para pembaca juga merasakan emosi

yang Diah rasakan. Para pembaca ikut merasakan kesal kepada sosok ibu yang

pengarang gambarkan melalui kata-katanya. Hal ini juga terjadi pada akhir cerita saat

sang ibu mengungkapkan alasan mengapa selama ini dia bersikap demikian kepadanya,

para pembaca juga ikut merasakan haru saat itu. Itu berarti bahwa cerpen “Rembulan

di Mata Ibu” ini menggunakan bahasa yang sugestif dan bahasa yang digunakan pula

sukses menggugah emosi para pembacanya.

 Unsur Intrinsik

2. Tema

Tema pada cerpen “Rembulan di Mata Ibu” ini adalah kasih sayang

seorang ibu kepada anaknya. Sang ibu rela dibenci anaknya karena sikap

kerasnya yang semata-mata untuk mendidik anaknya agar menjadi wanita kuat

dan tangguh di masa yang akan datang. Ibunya tidak mau anak bungsu

perempuannya menjadi wanita bodoh yang hanya berdiam diri di kampung

seperti dirinya.

3. Alur

Cerpen ini menggunakan alur campuran, yaitu penulis menceritakan

kejadian secara progresif yang diselingi flashback atau kejadian di masa lalu.

a. Bagian awal

Saat itu Diah mendapat telegram dari mbak Sri bahwa ibunya sedang

sakit. Seketika itu pula Diah teringat akan masa lalunya sebelum ia berangkat

ke kota untuk melanjutkan kuliah. Ia teringat dengan sikap Ibunya yang sangat

keras kepadanya. Ucapan-ucapan pedas selalu terlontar dari mulut sang Ibu.

48
Menurut Diah apapun yang dilakukannya tidak ada satu pun yang dianggap

benar oleh Ibu, dimata Ibunya Diah selalu saja salah. Sampai pada akhirnya

Diah merasa lelah dengan sikap sang Ibu dan memutuskan untuk meninggalkan

rumah dan melanjutkan pendidikan kuliahnya di kota tanpa sepengetahuan

ibunya, saat itu dia hanya berpamitan kepada saudara-saudaranya.

b. Bagian tengah

Laili datang dan membuat Diah terbangun dari lamunannya. Laili adalah

sahabat baik Diah. Mereka sudah tinggal satu kos selama hampir lima tahun

terakhir. Diah bercerita kepada Laili bahwa Ibunya sedang sakit. Pada saat itu

juga Laili langsung menyuruh Diah untuk pulang menemui Ibunya di kampung.

Walau awalnya Diah sempat bimbang namun akhirnya ia mengikuti saran Laili

untuk pulang menemui Ibunya di kampung.

Tibalah Diah di kampung halaman. Disana ia bertemu dengan Mbak Sri,

Mbak Ningsih, dan Mbak Rahayu. Ketiga Mbaknya itu menjelaskan bahwa

setiap hari Ibunya selalu menanyakan keadaan dan kuliahnya. Mereka

mengatakan bahwa Ibu juga merindukannya. Tapi semua penjelasan kakak-

kakaknya itu tidak dipedulikannya. Diah malah mengingat kejadian lima tahun

yang lalu dimana ia dan Ibunya mengalami pertengkaran hebat dan pada

akhirnya membuatnya pergi meninggalkan rumah.

c. Bagian akhir

Mbak Sri menyentuh tangannya yang membuat Diah kembali bangun dari

kenangan masa lalu. Ketika itu Ibunya sudah bangun. Walaupun agak canggung

tapi akhirnya Ibunya menjelaskan maksud dari sikapnya selama ini kepada

Diah. Awalnya Diah merasa kaget tapi ia sangat bahagia mendengar penjelasan

dari Ibunya bahwa selama ini Ibunya tidak pernah membencinya, ibunya hanya

49
ingin mendidik Diah agar menjadi wanita yang tangguh dan berpendidikan.

Bukan menjadi wanita lemah dan bodoh. Seketika rasa benci dan kesal Diah

terhadap ibunya pun hilang dari benaknya. Dan mereka pun akhirnya

berpelukan.

4. Tokoh dan Penokohan

a.) Tokoh

 Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam cerita

yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan.

Tokoh utama dalam cerpen ini adalah Diah dan Ibu.

 Tokoh sentral merupakan tokoh yang amat potensial menggerakan alur

karena hampir seluruh cerita berpusat pada dirinya dan hanya terdiri dari

satu orang. Tokoh sentral dalam cerpen ini adalah Diah. Kerena hampir

seluruh cerita berpusat pada dirinya.

 Tokoh bawahan merupakan tokoh yang tidak begitu besar pengaruhnya

terhadap perkembangan alur, walaupun ia terlibat juga dalam

pengembangan alur itu. Tokoh bawahannya adalah Mbak Sri, Mbak

Ningsih, dan Mbak Rahayu.

 Tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya muncul sedikit dalam cerita atau

tidak dipentingkan dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitan dengan

tokoh utama. Tokoh tambahannya adalah Laili.

b.) Penokohan

Tokoh-tokohnya adalah:

a. Diah

 Sabar, tergambar dalam kalimat “Seperti biasa aku selalu berusaha

menahan diri.” Dalam kalimat tersebut pengarang menggambarkan

50
bahwa Diah memiliki sifat sabra, kata yang meyakinkan bahwa Diah

penyabar adalah “menahan diri” yang merujuk pada arti menahan

emosi.

 Pasrah, tergambar dalam kalimat “Perlahan aku malah berhenti

berusaha menenangkan hatinya. Aku capek.” Dalam kalimat tersebut

sifat pasrah Diah tergambarkan oleh kata “berhenti berusaha”.

 Berjiwa sosial, terdapat dalam kalimat “Kalau kami, anak-anak muda

yang berkumpul disana sedang mencoba menyumbangkan pemikiran

untuk kemajuan desa.” Dalam kalimat tersebut terdeskripsikan bahwa

Diah memiliki jiwa sosial yang tinggi dengan pemikiran dan keinginan

untuk membangun desanya.

 Gemar membaca, pengarang menggambarkan Diah suka membaca

melalui kalimat “Ibu tak pernah menghargai kesukaanku membaca.”

 Bersemangat, terdapat pada kalimat “… dengan peluang beasiswa,

kugempur habis kemampuanku, agar kesempatan itu tak lepas dari

tangan.”

 Kurang berpikir panjang, tergambar pada kalimat “Ibu tak pernah

menangkap sinar kasih di mataku, apalagi membalasnya dengan

pelukan hangat. Ibu tak pernah peduli padaku!” Diah mengatakan

bahwa ibunya tak peduli padanya hanya karena ibunya selalu bersikap

keras padanya, padahal dibalik itu semua ibunya sedang mendidiknya

agar menjadi wanita tangguh dan kuat.

 Egois, terdapat pada kalimat “Aku belajar menyingkirkan kebutuhanku

akan kasih sayang dan sikap keibuan darinya. Aku belajar melupakan

... Ibu!” Diah berlaku egois saat mengatakan bahwa ia tak butuh ibunya,

51
padahal pada hakikatnya seorang anak pasti akan membutuhkan sosok

ibu.

 Rajin beribadah, tergambar pada kalimat “…dalam shalat-shalat yang

kulalui.”

 Keras kepala, pengarang mendeskripsikan bahwa Diah keras kepala

melalui kalimat “Kutatap mata Ibu dengan sikap menantang”

 Lancang, dalam kalimat “Karena Ibu picik! Itu sebabnya!” kita dapat

mengetahui bahwa Diah bersikap lancing. Tidak sepatutnya kita sebagai

anak berbicara itu kepada orang tua kita, apalagi kepada Ibu. Sebesar

apapun rasa benci dan kesal kita terhadap orang tua, kita tak pantas

untuk mengucapkan hal seperti itu pada orang tua kita.

b. Ibu

 Kuat, sifat ibu kuat tergambar dari kalimat yang dilontarkan oleh Diah

yaitu “Ibu bahkan tak pernah kelihatan lelah di malam hari.”

 Keras, sikap keras ibu terdapat pada kalimat “Maafkan Ibu jika selama

ini keras padamu Diah!” dan terdapat pada cerita-cerita yang dilontarkan

Diah.

 Ucapannya pedas, terdapat pada kalimat “Kau takkan berhasil Diah! Tak

usah capek-capek! Wanita akan kembali ke dapur, apa pun

kedudukannya!”

 Penyayang, pengarang menggambarkan bahwa ibu penyayang pada

bagian akhir dalam cerita yaitu pada kalimat “Kadang Ibu pandangi, jika

Ibu kangen kamu.”

 Rela berkorban, terdapat pada kalimat “Ibu tak butuh uang sebanyak itu,

Diah! Lagi pula ... Ibu khawatir tak bisa lagi memberimu uang.”

52
c. Laili

 Baik, terlontar dari ucapan Diah yaitu “Wajah tulus sahabat baikku itu

memancar di balik kerudung coklat yang dikenakannya.” Dalam kata

“wajah tulus” pun kita dapat mengetahui bahwa Laili adalah orang yang

baik.

 Bijaksana, terdapat pada kalimat “…Itu karunia Allah yang diberikan

pada setiap Ibu. Rasa kasih, mengayomi, dan melindungi!” jawab Laili

hati-hati.”

 Pengertian, dalam kalimat “Kamu haru pulang secepatnya, Di! Biar aku

yang memesankan tiket kereta.”

 Perhatian, pengarang menggambarkan sifat Laili yang perhatian melalui

kalimat “Jangan lupa bawa oleh-oleh untuk Ibumu.” yang dilontarkan

Laili kepada Diah.

d. Mbak Sri

 Perhatian, terdapat pada kalimat “Mbak Sri bilang, setahun belakangan

ini Ibu beberapa kali jatuh sakit.”

 Bijak, pengarang menggambarkan bahwa Mbak Sri itu bijak melalui

kalimat “Sebetulnya Ibu sangat kangen padamu Diah, tapi Ibu lebih

mementingkan kuliahmu.”

e. Mbak Ningsih

 Bijaksana, terdapat pada kalimat “Ibu tak ingin mengganggu kuliahmu,

Diah!”

f. Mbak Rahayu

 Bijaksana, terdapat pada kalimat “Ibu sering bertanya pada kami Diah,

berkali-kali malah. Sudah tahun ke berapa kuliahmu?”

53
5. Latar

a. Latar Tempat

 Padang rumput, kita dapat mengetahui latar tempat di padang rumput

melalui kalimat “… kemarin aku masih melihatnya berjalan memberi

makan ternak-ternak kami sendirian. Melalui padang rumput yang luas.”

 Kamar, saat Diah mengatakan “Kubuka pintu kamar Ibu”

 Di beranda rumah, terdapat pada kalimat “Bersama-sama, kami

menghabiskan waktu yang tak terlupakan di beranda”

b. Latar Waktu

 Senja, tergambar melalui kalimat “Langit jingga tampak berbias indah

menyambut malam.” Langit jingga selalu mendeskripsikan bahwa hari

itu sedang senja.

 Malam hari, terdapat pada kalimat “Malam itu Ibu berkali-kali

menumpahkan kalimat-kalimat pedasnya padaku.”

c. Latar Suasana

 Sedih, tergambar dalam kalimat “Aku mengusap air mata yang menitik”

itu menandakan bahwa Diah sedang menangis yang merujuk pada rasa

sedih.

 Tegang, pengarang menggambarkan suasana tegang pada saat Diah

mengatakan “Seharusnya Ibu bangga padaku! Seharusnya Ibu

menyemangati, bukan malah terus-terusan mengejekku, Bu! Sekarang

Diah tahu kenapa Bapak meninggalkan Ibu!” kepada ibunya.

 Bahagia, terdapat pada bagian akhir cerita. Tergambar dalam kalimat

“Semua kehampaan, kebencian, dan kekesalanku pada wanita tua itu

54
tiba-tiba terbang ke awan. Aku tak lagi membencinya! Tanpa ragu

kupeluk Ibu erat.”

6. Sudut Pandang

Pada cerpen “Rembulan di Mata Ibu” karya Asma Nadia ini sudut

pandang yang digunakan pengarang adalah sudut pandang orang pertama yang

cenderung menggunakan “aku” dalam menceritakan peristiwa-peristiwa yang

ada dalam cerpen tersebut. Pada bagian awal cerpen juga terlihat bahwa

pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama, hal ini terdapat pada

kalimat “Kupandangi telegram yang barusan kubaca, batinku galau” pada

paragraf pertama.

7. Amanat

Amanat pada cerpen “Rembulan Di Mata Ibu” antara lain:

 Jangan pernah membenci orang tua, terlebih lagi seorang ibu yang telah

mengandung dan melahirkan kita. Karena sekeras-kerasnya orang tua

mendidik anaknya pasti semua itu ada maksud dan tujuannya.

 Jangan pernah berkata kasar, membentak, menatap sinis, membuat hati

orang tua kita terluka atas apa yang kita lakukan. Karena tidaklah

mungkin kita terlahir di dunia ini tanpa adanya seorang ibu.

 Turutilah apa yang diinginkan orang tua, karena tidak ada orang tua

yang mau menjerumuskan anaknya ke tempat yang salah. Semua orang

tua ingin anaknya sukses dan bahagia.

 Jangan pernah sekalipun menjawab perkataan orang tua dengan kata-

kata kasar, karena itu bisa melukai hatinya. Walau sekasar apapun

perkataannya itu semua demi kebaikan anaknya.

55
 Unsur Ekstrinsik

Latar Belakang Pengarang

Asmarani Rosalba (lahir di Jakarta tahun 1972), lebih dikenal sebagai

Asma Nadia, adalah penulis Indonesia.Ia lahir dari pasangan Amin Usman dan

Maria Eri Susianti. Saat ini dikenal sebagai Ketua Forum Lingkar Pena, suatu

perkumpulan yang ikut dibidaninya untuk membantu penulis-penulis muda.Ia

juga menjadi Ketua Yayasan Lingkar Pena, dan manajer Lingkar Pena

Publishing House. Karena karya-karyanya ia pernah mendapat berbagai

penghargaan. Selain menulis, Asma sering diminta untuk memberi materi dalam

berbagai loka karya yang berkaitan dengan penulisan serta keperempuanan.

Perempuan yang berpendirian kuat, tetapi lemah lembut ini,

mempunyaiobsesi untuk terus menulis.Itulah sebabnya, ketika kesehatannya

menurun, iatetap semangat untuk menuls.Di samping itu, dorongan dan

semangat yangdiberikan keluarga dan orang-orang yang menyayanginya,

memotivasi Asmauntuk terus dan terus menulis.Perempuan berjilbab ini tetap

aktif mengirimkantulisan-tulisannya ke majalah-majalah Islam.

Asma telah menulis 40 buku hingga saat ini.Banyak di antaranya

diterbitkan oleh Penerbit Mizan. Di antaranya:

1. Derai Sunyi, novel, mendapat penghargaan Majelis Sastra Asia Tenggara

(MASTERA)

2. Preh (A Waiting), naskah drama dua bahasa, diterbitkan oleh Dewan

Kesenian Jakarta

3. Cinta Tak Pernah Benar, kumpulan cerpen, meraih Pena Award

4. Rembulan di Mata Ibu (2001), novel, memenangkan penghargaan Adikarya

IKAPI sebagai buku remaja terbaik nasional

56
5. Dialog Dua Layar, memenangkan penghargaan Adikarya IKAPI, 2002

6. 101 Dating meraih penghargaan Adikarya IKAPI, 2005

7. Jangan Jadi Muslimah Nyebelin!, nonfiksi, best seller.

8. Emak Ingin Naik Haji: Cinta Hingga Ke Tanah Suci (AsmaNadia

Publishing House)

9. Jilbab Traveler (AsmaNadia Publishing House)

10. Muhasabah Cinta Seorang Istri

11. Catatan Hati Bunda

 Gaya Bahasa yang Digunakan

Dialek yang digunakan pada cerpen ini adalah dialek Jawa. Disebut dialek

karena hanya beberapa kata yang menggunakan bahasa daerah. Seperti dalam

kalimat “Kamu kelihatan kurusan Nduk!” dalam bagian akhir cerita.

Adapun majas yang digunakan cerpen ini adalah sebagai berikut:

a.) Majas metafora

Majas metafora yaitu majas yang berupa kiasan persamaan antara benda

yang diganti namanya dengan benda yang menggantinya. Dengan kata lain

pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya,

melainkan sebagai lukisan. Majas metafora dalam cerpen ini terdapat pada

kalimat:

“Kau harus punya hati sekeras baja untuk menapaki hidup”

“Kata-kata Ibu berikutnya bagai telaga sejuk mengaliri relung-relung hatiku.”

“Ibu ingin anak bungsu Ibu menjadi sosok yang berbeda. Seperti rembulan

merah jambu (purnama)”

b.) Majas perumpamaan

“Beliau lebih keras dari karang”

57
c.) Majas sarkasme

Majas sarkasme adalah majas sindiran yang paling kasar. Majas ini biasanya

diucapkan oleh orang yang sedang marah. Seperti pada kalimat “perempuan

macam kau Diah hanya akan menjadi santapan laki-laki!” yang dilontarkan sang

ibu ketika marah.

d.) Majas hiperbola

Majas hiperbola adalah majas yang berupa pernyataan berlebihan dari

kenyataannya dengan maksud memberikan kesan mendalam. Seperti dalam

kalimat “Darahku seperti mendidih mendengar kalimat-kalimat Ibu.”

e.) Majas personifikasi

Menyatakan sesuatu tidak hidup seolah-olah menjadi hidup. Seperti dalam

kalimat “Langit jingga tampak berbias indah menyambut malam.”

7. Penggunaan Bahasa dan Analisis Unsur Pembentuk Puisi “Pada Suatu

Hari Nanti” karya Sapardi Djoko Damono

7.1. Puisi “Pada Suatu Hari Nanti” karya Sapardi Djoko Damono

Pada suatu hari nanti,

Jasadku tak akan ada lagi,

Tapi dalam bait-bait sajak ini,

Kau tak akan kurelakan sendiri.

Pada suatu hari nanti,

Suaraku tak terdengar lagi,

Tapi di antara larik-larik sajak ini.

58
Kau akan tetap kusiasati,

Pada suatu hari nanti,

Impianku pun tak dikenal lagi,

Namun di sela-sela huruf sajak ini,

Kau tak akan letih-letihnya kucari.

7.2.Analisis Puisi “Pada Suatu Hari Nanti” karya Sapardi Djoko Damono

 Unsur Intrinsik

11. Tipografi

Pada puisi “Pada Suatu Hari Nanti” karya Sapardi Djoko Damono,

tipografi yang ditampilkan adalah bentuk rata kiri dan lurus bawah. Puisi itu

diberi wajah yang sederhana untuk memperkuat makna yang disampaikan.

Tipografi puisi diatas dibentuk oleh tiga bait, yang mana jumlah baris tiap bait

berbeda-beda. Pada bait pertama, terdiri atas empat baris dan tiap baris

mempunyai jumlah kata yang berbeda sehingga menimbulkan tampilan yang

tidak rata kanan-kiri melainkan hanya rata kiri saja. Pada bait kedua terdiri atas

dua baris yang disusun sama seperti bait sebelumnya. Bait ketiga terdiri atas dua

baris. Bait ketiga, keempat, dan kelima, masing-masing terdiri atas empat baris

yang disusun sama seperti bait sebelumnya.

Antara bait satu dan yang lainnya diberi jeda (spasi). Hal itu sebagai

penanda perpindahan bait. Karena mungkin setiap bait mengandung makna

yang terpisah. Jumlah baris dalam satu bait berbeda-beda. Demikan juga jumlah

kata dalam satu baris juga berbeda-beda. Hal itu menimbulkan panjang

pendeknya tampilan baris. Walaupun baris dibuat rata kiri, namun sebelah

59
kanan terlihat tidak rata. Penampilan yang semacam itu tidak akan membuat

pembaca atau penikmat puisi bosan.

12. Diksi

Diksi adalah pemilihan kata yang tepat, padat dan kaya akan nuansa

makna dan suasana sehingga mampu mengembangkan dan mempengaruhi daya

imajinasi pembaca (Fajahono. 1990:59).

Kata-kata yang digunakan pada puisi ini mudah untuk dipahami

(komunikatif), contoh pada kalimat “pada suatu hari nanti” pembaca bisa

mengerti maksud dari puisi ini bahwa menceritakan sesuatu yang akan datang.

Lalu pada kalimat “jasadku tak akan ada lagi” sudah jelas bahwa suatu saat nanti

tokoh ‘ku’ tidak akan ada lagi di dunia ini, dalam hal ini menjelaskan bahwa

tokoh ‘ku’ suatu hari nanti akan meninggal, jasadnya tak aka nada lagi

mengingat bahwa kita semua sebagai manusia juga pasti akan mengalami hal

serupa. Kata-kata pada bait selanjutnya mudah dipahami karena lebih menjurus

ke makna yang sebenarnya.

13. Majas

Bahasa figuratif atau majas adalah bahasa kiasan yang mengiaskan atau

mempersamakan sesuatu hal dengan hal lain supaya gambaran menjadi jelas,

lebih menarik, dan hidup.

Pada puisi ini hanya terdapat majas metafora. Metafora adalah bahasa

kiasan seperti perbandingan, hanya tidak menggunakan kata-kata

perbandingan.Metafora itu melihat sesuatu dengan perantaraan benda yang lain

(Becker, 1978:317).

60
Yaitu pada bait I, II, dan III :

I: Tapi dalam bait-bait sajak ini

Kau takkan kurelakan sendiri

II : Tapi di antara larik-larik sajak ini

Kau akan tetap kusiasati

III: Namun di sela-sela huruf sajak ini

Kau takkan letih-letihnya kucari

Pada kata-kata tersebut menggunakan majas metafora karena

mengumpamakan sesuatu dengan larik, bait dalam sajak.

14. Citraan

Pengimajian atau pencitraan adalah suatu kata atau kelompok kata yang

digunakan untuk mennggunakan kembali kesan-kesan panca indera dalam jiwa

pembaca.

a. Citra penglihatan

Jasadku tak akan ada lagi

Tapi dalam bait-bait sajak ini

Tapi di antara larik-larik sajak ini

Impianku pun tak dikenal lagi

Namun di sela-sela huruf sajak ini

Kau takkan letih-letihnya ku cari

b. Citra pendengaran

Suaraku tak terdengar lagi

61
c. Citra perasa

Kau takkan kurelakan sendiri

Kau akan tetap kusisati

15. Amanat

Amanat merupakan pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada

para pembacanya. Amanat dari puisi ini adalah bahwa penyair ingin

menyampaikan kesetiaannya kepada pembaca walaupun ia sudah tidak ada di

dunia ini, pembaca tak perlu sedih. Karena dia tetap setia dan tetap bisa

menemani pembaca melalui karya-karyanya.

16. Verifikasi

1) Rima

Rima adalah unsur bunyi untuk menimbulkan kemerduan puisi, unsur

yang dapat memberikan efek terhadap makna nada dan suasana puisi, dan juga

rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi. Pada puisi ini semua baitnya

mempunyai akhiran i yang memberikan kesan kesetiaan, pengandaian dan

rayuan terhadap sesuatu yang akan dihadapi.

2) Ritme

Ritme adalah pengulangan bunyi, kata, frase dan kalimat pada puisi. Pada

puisi ini ritma terdapat pada bait I, II, dan III yaitu pengulangan klausa “pada

suatu hari nanti”.

17. Nada

Nada adalah sikap penyair terhadap pembaca. Sikap penyair pada puisi ini

adalah lembut dan halus karena ia menjelaskan bahwa walau suatu hari nanti ia

tidak ada, tapi karya-karyanya akan selalu ada menemani para pembaca.

62
18. Perasaan

Perasaan adalah suasana perasaan sang penyair yang diekspresikan dan

harus dihayati oleh pembaca. Pada puisi ini, penyair merasa sedih karena pada

suatu hari nanti ia akan meninggalkan sosok “Kau” pada puisi ini yang bisa

berarti pembaca, tetapi ia pun senang karena walaupun suatu hari nanti ia tiada,

ia tetap menemani dan keberadaannya itu digantikan oleh larik-larik sajak dan

kenangan indah semasa hidupnya.

19. Tema

Puisi Pada Suatu Hari Nanti karya Sapardi Djoko Damono mempunyai

tema kesetiaan. Kesetian terhadap ‘Kau’ yang berarti pembaca, walaupun ‘Aku’

dalam puisi ini tidak ada, tetapi dia akan tetap setia dan tetap ada bagi pembaca.

20. Kata Konkret

Kata konkret adalah kata-kata yang jika dilihat secara denotatif sama,

tetapi secara konotatif tidak sama, bergantung pada situasi dan kondisi

pemakainya. Atau dengan kata lain, kata-kata itu dapat menyaran kepada arti

yang menyeluruh. Seperti pengimajian, kata yang dikonkretkan juga erat

hubungannya dengan penggunaan kiasan dan lambang.

Pada puisi ini kata konkret terdapat pada kata:

Namun di sela-sela huruf sajak ini

Kau takkan letih-letihnya kucari

Penyair mengiaskan bahwa kehidupan itu disamakan dengan sela-sela

huruf pada kata-kata dalam sajak, yang penyair tak lelah atau letih mencari

tujuannya.

63
 Unsur Ekstrinsik

Latar Belakang Penyair

Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono (lahir 20 Maret 1940 di Surakarta)

adalah seorang pujangga Indonesia terkemuka. Ia dikenal dari berbagai puisi-

puisi yang menggunakan kata-kata sederhana, sehingga beberapa diantaranya

sangat populer. Masa mudanya dihabiskan di Surakarta. Pada masa ini ia sudah

menulis sejumlah karya yang dikirimkan ke majalah-majalah. Kesukaannya

menulis ini berkembang saat ia menempuh kuliah di bidang bahasa Inggris di

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sejak tahun 1974 ia mengajar di

Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia, namun

kini telah pensiun. Ia pernah menjadi dekan di sana dan juga menjadi guru besar.

Pada masa tersebut ia juga menjadi redaktur pada majalah “Horison”, “Basis”,

dan “Kalam”.

Sapardi Djoko Damono banyak menerima penghargaan.Pada tahun 1986

ia mendapatkan anugerah SEA Write Award.Ia juga penerima penghargaan

Achmad Bakrie pada tahun 2003. Ia adalah salah seorang pendiri Yayasan

Lontar.

Karya-karya

Sajak-sajak Sapardi Djoko Damono, telah diterjemahkan ke dalam

berbagai bahasa. Sampai sekarang telah ada delapan kumpulan puisinya yang

diterbitkan. Ia tidak saja menulis puisi, tetapi juga menerjemahkan berbagai

karya asing, menulis esai, serta menulis sejumlah kolom/artikel di surat kabar,

termasuk kolom sepak bola.

64
Beberapa puisinya sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya,

seperti Aku Ingin (sering kali dituliskan bait pertamanya pada undangan

perkawinan), Hujan Bulan Juni, Pada Suatu Hari Nanti, Akulah si Telaga, dan

Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari. Kepopuleran puisi-puisi ini sebagian

disebabkan musikalisasi terhadapnya. Yang terkenal terutama adalah oleh Reda

Gaudiamo dan Tatyana (tergabung dalam duet “Dua Ibu”). Ananda Sukarlan

pada tahun 2007 juga melakukan interpretasi atas beberapa karya Sapardi Djoko

Damono. Berikut adalah karya-karyanya yang berupa kumpulan puisi dan

prosa:

1. “Duka-Mu Abadi”, Bandung (1969)

2. “Lelaki Tua dan Laut” (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway)

3. “Mata Pisau” (1974)

4. “Sepilihan Sajak George Seferis” (1975; terjemahan karya George

Seferis)

5. “Puisi Klasik Cina” (1976; terjemahan)

6. “Lirik Klasik Parsi” (1977; terjemahan)

7. “Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak” (1982, Pustaka Jaya)

8. “Perahu Kertas” (1983)

9. “Sihir Hujan” (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia)

10. “Water Color Poems” (1986; translated by J.H. McGlynn)

11. “Suddenly the night: the poetry of Sapardi Djoko Damono” (1988;

translated by J.H. McGlynn)

12. “Afrika yang Resah (1988; terjemahan)

65
13. “Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia” (1991;

antologi sajak Australia, dikerjakan bersama R:F: Brissenden dan David

Broks)

14. “Hujan Bulan Juni” (1994)

15. “Black Magic Rain” (translated by Harry G Aveling)

16. “Arloji” (1998)

17. “Ayat-ayat Api” (2000)

18. “Pengarang Telah Mati” (2001; kumpulan cerpen)

19. “Mata Jendela” (2002)

20. “Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro?” (2002)

21. “Membunuh Orang Gila” (2003; kumpulan cerpen)

22. “Nona Koelit Koetjing :Antologi cerita pendek Indonesia periode awal

(1870an – 1910an)” (2005; salah seorang penyusun)

23. “Mantra Orang Jawa” (2005; puitisasi mantera tradisional Jawa dalam

bahasa Indonesia)

66
BAB IV

PENUTUP

1. Simpulan

Dari definisi yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli, dapat kita

simpulkan bahwa bahasa adalah suatu sistem arbiter yang merupakan sebuah

tanda dan bunyi yang digunakan manusia sebagai media untuk berkomunikasi.

Sedangkan pengertian dari sastra sendiri adalah karya imaginatif maupun non-

imaginatif yang dituangkan berdasarkan pemikiran dan perasaan penulisnya.

Sastra adalah hasil cipta manusia dengan menggunakan media bahasa tertulis

maupun lisan, bersifat imajinatif, disampaikan secara khas, dan mengandung

pesan yang bersifat relatif.

Setiap penulis sastra memiliki gaya bahasa tersendiri dalam setiap

karyanya. Antar penulis memiliki gaya bahasa yang berbeda. Tentunya karya

sastra yang dihasilkan akan terasa sekali memiliki gaya bahasa yang khas dari

pemiliknya. Dan hal ini disadari secara jelas oleh pembaca. Keberbedaan gaya

bahasa antar penulis karya sastra dilatarbelakangi banyak hal. Pengalaman

hidup, lingkungan yang membentuk dan keberagaman bahan bacaan adalah

beberapa hal umum yang dapat menjadi penyebab keberbedaan gaya bahasa

seorang penulis sastra.

Bahasa Indonesia membentuk karya sastra Indonesia. Sebuah karya

sastra ada karena ditopang bahasa. Bahasa Indonesia merupakan medium untuk

membentuk karya sastra (karya sastra Indonesia). Bahkan merupakan bahan

yang utama (Ratna, 2009: 64). Sebuah karya sastra bisa ada karena adanya

bahasa. Intinya, karya sastra tertulis lahir dari bahasa terkait dan bahasa

67
merupakan unsur utama pembentuk karya sastra, utamanya karya sastra

tertulis.

Bisa dibilang, antara sastra dan bahasa memiliki hubungan yang sangat

erat. Analoginya bagai dua sisi mata uang. Saling terikat dalam dua hubungan;

kualitas intelektualitas bahasa dan kualitas emosionalitas karya sastra (Ratna,

2009: 158). Kualitas intelektualitas bahasa terlihat dari bahasa atau unsur yang

membentuk karya sastra. Semisal kata atau kalimat. Sedangkan kualitas karya

sastra dapat dilihat dari nilai yang terkandung dari sebuah karya sastra. Yang

dimaksud disini adalah tentang estetika.

Cerpen yang dianalisi dalam makalah ini berjudul “Rembulan di Mata

Ibu”. Cerpen ini menggunakan bahasa tidak baku yang juga mudah dipahami

atau komunikatif. Bahasa dalam cerpen ini juga bersifat sugestif, yang berarti

bahwa kata-kata yang diungkapkan cerpen ini dapat menggugah emosi para

pembaca. Hal ini terjadi pada akhir cerita saat sang ibu mengungkapkan alasan

mengapa selama ini dia bersikap demikian kepadanya, para pembaca juga ikut

merasakan haru saat itu. Itu berarti bahwa cerpen “Rembulan di Mata Ibu” ini

menggunakan bahasa yang sugestif dan bahasa yang digunakan pula sukses

menggugah emosi para pembacanya.

Sementara bahasa atau kata-kata yang digunakan pada puisi “Pada Suatu

Hari Nanti” karya Sapardi Djoko Damono ini mudah untuk dipahami

(komunikatif), contohnya terdapat pada kalimat “pada suatu hari nanti”

pembaca bisa mengerti maksud dari puisi ini bahwa menceritakan sesuatu yang

akan datang. Lalu pada kalimat “jasadku tak akan ada lagi” sudah jelas bahwa

suatu saat nanti tokoh ‘ku’ tidak akan ada lagi di dunia ini, dalam hal ini

68
menjelaskan bahwa tokoh ‘ku’ suatu hari nanti akan meninggal, jasadnya tak

aka nada lagi mengingat bahwa kita semua sebagai manusia juga pasti akan

mengalami hal serupa. Kata-kata pada bait selanjutnya mudah dipahami karena

lebih menjurus ke makna yang sebenarnya.

2. Saran

Berdasarkan simpulan di atas, maka penulis mengemukakan saran yang

dapat menjadi tolak ukur dan pertimbangan dalam mengembangkan

pengetahuan mengenai penggunaan bahasa dalam karya sastra. Kita sebagai

mahluk yang dalam kehidupannya tidak bisa lepas dari bahasa harus lebih

dalam untuk menggali pengetahuan tentang penggunaan bahasa dalam karya

sastra ini. Karena pada dasarnya bahasa dan sastra itu saling berkaitan dan tidak

dapat dipisahkan.

Bahasa bukan hanya sekedar alat untuk berkomunikasi bagi manusia,

bahasa sangat berperan penting dalam penciptaan karya sastra. Setiap penulis

atau pengarang tentu memiliki gaya atau ciri khas dalam bahasa yang ia

gunakan dalam karyanya. oleh karena itu, saat kita ingin menganalisis sebuah

karya sastra kita harus benar-benar teliti dalam menafsirkan atau mengartikan

apa maksud dari pengarang dalam bahasa yang ia gunakan.

69
DAFTAR PUSTAKA

Nurholis. 2016. Introduction to Literaly Analysis. Bandung


Siswantoro. 2010. Metode Penelitian Sastra. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
https://ilmuseni.com/seni-sastra/jenis-jenis-seni-sastra
http://mail-chaozkhakycostikcomunity.blogspot.co.id/2015/06/jenis-jenis-karya-sastra-
berdasarkan-bentuk-dan-isi.html
http://seri-bahasa-indonesia.blogspot.co.id/2014/02/pengertian-fungsi-dan-ragam-sastra.html
Blog. Seri Bahasa Indonesia
https://mazidatulkhoir.wordpress.com/2012/10/07/gaya-bahasa-dalam-karya-sastra/
http://reztynasier12.blogspot.co.id/2014/10/analisis-unsur-intrinsik-novel-rembulan.html
http://composhare.blogspot.com/2015/06/analisis-puisi-pada-suatu-hari-nanti-Sapardi-Djoko-
Damon.html
http://zaen.blog.uns.ac.id/2016/02/18/penggunaan-bahasa-indonesia-dalam-sinetron-dan-
pengaruhnya/
www.ilmubahasa.net, Gudangnya Materi Ilmu Bahasa, Media Karya Sastra dan Informasi.
https://kelasmayaku.wordpress.com/2010/08/06/gaya-bahasa-majas-2/
http://www.jejenjaelani.id/bahasa-dalam-sastra/
https://asemmanis.wordpress.com/2009/10/03/pengertian-sastra-secara-umum-dan-menurut-
para-ahli/

70

Anda mungkin juga menyukai