Anda di halaman 1dari 5

Eksplorasi Kebebasan

Judul Buku : Malam Terakhir

Pengarang : Leila S. Chudori

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)

Tahun Terbit : 2009

Tebal Buku : 117 halaman

Pelaku : Gadis Asia, Marc, Adila, Salikha, Hamdani, Moko, Tami, Ilona, Rain ......
Buku kumpulan cerpen berjudul Malam Terakhir yang berisi 9 cerpen ini ditulis oleh
Leila S. Chudori. Leila S. Chudori adalah seorang penulis cerpen yang memulai menulis karyanya
pada saat ia masih remaja dan dikenal sebagai cerpenis remaja. Ia lahir di Jakarta 12 Desember
1962. Pada tahun 1980-an, karya-karyanya memperlihatkan kematangannya sebagai
pengarang. Dalam cerpennya banyak menyajikan kata-kata yang sulit dipahami, para pembaca
harus berimajinasi yang tinggi tantang isi cerpen karyanya. karyanya diterbitkan pertama kali
oleh Pustaka Utama Grafiti pada 1989, kembali diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia
pada 2009.

Buku ini dibuka dengan cerpen “ Paris, Juni 1988 ” bercerita tentang seorang gadis Asia
yang tiba di Paris pada saat musim panas yang menyewa kamar kecil di sebuah penginapan
kumuh selama tiga minggu. Penginapan itu milik seorang perempuan tua yang memelihara
sepasang tikus hitam besar, François dan Françoise. Tapi bukan kedua tikus itu yang membuat
si gadis Asia terganggu. Di sebelah kamarnya, tinggal Marc, seorang pelukis yang sering
menciptakan keriuhan dengan suara-suara aneh yang menghebohkan. Si gadis kerap terganggu
dengan suara desah, erang, dan jeritan seorang wanita, dari kamar sebelah yang dihuni Marc. Si
gadis yang terusik, akhirnya tahu bahwa suara itu adalah rekaman yang sengaja disimpan Marc
yang mengagungkan birahi dalam karyanya untuk melukis.

Dalam cerpen kedua “ Adila ” bercerita tentang Dila, gadis remaja yang merasa bahwa
hidupnya berada dalam bayang-bayang ibunya, apa yang dilakukannya selalu salah. Ibu Dila
menjadi sosok yang mengekang kehidupan Dila, sementara ayahnya justru memberi kebebasan
untuk Dila, seperti membelikan novel-novel pada Dila. Tokoh-tokoh dalam novel yang
dibacanya itu kerap muncul menjadi tokoh imajinernya dan menemani kesepian Dila. Cerpen ini
diakhiri dengan Dila yang mati bunuh diri meminum obat nyamuk cair (setelah minum bersama
tiga tokoh imajinernya) namun ibunya malah sibuk meratapi berbagai aksesoris yang dikenakan
Dila.

Dalam cerpen ketiga “ Air Suci Sita “ diceritakan dua orang tunangan yang siap
melangsungkan pernikahan, tetapi sang lelaki pergi begitu lama. Sang wanita pun berharap
tunangannya tidak berpaling dengan wanita lain. Mereka berpisah selama 4 tahun, mereka
telah banyak mengalami cobaan yang sangat banyak untuk mempertahankan perlangsungan
pernikahannya. Sang lelaki adalah sosok yang sangat setia, meskipun ia jauh dengan
tunangannya ia tetap menjaga kehormatannya sebagai lelaki, ia tidak mau menyakiti hati
tunangaannya walau ia jauh dari hadapannnya. Cerpen ini menggambarkan tentang kesetiaan
seorang lelaki terhadap wanita tunangannya.

Dalam cerpen keempat “ Sehelai Pakaian Hitam “ berkisah tentang Salikha yang tak
gentar mengkritisi Hamdani, lelaki yang lambat laun menyadari bahwa dia terkenal karena
memberikan citra saleh di hadapan masyarakat hingga lupa akan jati dirinya. Hamdani, seorang
laki-laki berbaju putih tanpa noda. Sementara di sisi lain, ia berbaju hitam dan hidup dalam
kemaksiatan. Salikha yang berbeda pandangan dengannya, berani terus terang dan jujur dalam
berperilaku, tidak setuju dengan kemunafikan Hamdani.

Dalam cerpen kelima “ Untuk Bapak “ bercerita tentang cinta seorang anak yang
bernama Moko kepada bapaknya, yang mengganggap bapaknya seperti Bhisma dalam cerita
Mahabharata, laki-laki yang selama hidupnya dikenal sangat setia pada sumpahnya.

Dalam cerpen keenam “ Keats “ bercerita tentang Tami yang dalam perjalanan pulang
dari Eropa menuju Jakarta berimajinasi sedang berbincang dengan John Keats, penyair Inggris
awal abad 19 yang menulis sajak Tentang Mati. Keats mengusiknya terkait kepulangannya ke
Indonesia untuk menikahi Hidayat, penyair religius yang direstui penuh oleh keluarganya. Orang
yang terlihat sempurna, padahal belum tentu dalamnya sebaik tampilan luar.

Dalam cerpen ketujuh “ Ilona “mengisahkan tentang rasa enggan Sang tokoh utama,
yaitu Ilona untuk terikat dalam komitmen berlabelkan pernikahan. Gagalnya pernikahan
orangtuanya, membuat Ona tidak percaya pada pernikahan dan memiliki pandangan yang lain
terhadap kehidupan. Ona memilih untuk melahirkan seorang putra tanpa melalui pernikahan
setelah tiga setengah tahun tanpa kabar bersekolah di luar negeri dan pulang menemui
ayahnya.

Dalam cerpen kedelapan “ Sepasang Mata Menatap Rain “ berkisah tentang Rain, gadis
cilik berusia dua tahun yang dengan kepolosan dan rasa ingin tahu yang besar banyak bertanya
mengenai permasalahan yang membuat orang dewasa bahkan kehabisan kata untuk
menjelaskannya. Rain kemudian menatap sepasang mata pengamen cilik yang dianggapnya
mewakili kelaparan dan kesedihan hingga membuatnya tergerak dan mengajak orangtuanya
untuk membantu pengamen tersebut.

“ Malam Terakhir “ menjadi cerpen penutup dalam kumpulan cerpen ini. Tiga orang
aktivis demokrasi, Si gemuk, Si kurus, dan Si kacamata dituduh membakar sebuah gerbong
kereta dalam sebuah demonstrasi hingga dijebloskan ke dalam penjara dan disiksa sampai
babak belur. Ketiganya akan dieksekusi dengan cara digantung di hadapan umum serta
dinikmati oleh masyarakat mapan sebagai sebuah ‘pertunjukan seni’. Pada malam terakhir
mereka disekap, seorang gadis yang juga bagian dari demonstrasi dimasukkan ke dalam penjara
yang sama. Gadis itu telah mengalami penyiksaan di luar batas kemanusiaan yang bahkan
melebihi penyiksaan aktivis pria. Secara paralel, seorang gadis cantik berusia 22 tahun, putri
seorang tokoh penting yang terlibat dalam pertumpahan darah mahasiswa, mempertanyakan
hukuman mati yang ditimpakan pada keempat mahasiswa itu. Ia tidak bisa memahami
bagaimana hukuman mati dilaksanakan tanpa bukti kesalahan para terhukum. Ia juga tidak bisa
mengerti mengapa hukuman mati itu disebut ayahnya sebagai ‘pertunjukan seni’
Pada sisi pengaluran, pengarang memilih berbagai alur dalam beberapa cerpen dalam
buku ini. Dalam cerpen “Paris, Juni 1998”, “Adila”, “Air Suci Sita”, “Keats”, “Sepasang Mata
Menatap Rain” , dan “Malam Terakhir” menggunakan alur maju. Dalam cerpen “Ilona” dan
“Untuk Bapak” menggunakan alur campuran. Sedangkan untuk cerpen “Sehelai Pakaian Hitam”
menggunakan alur mundur

Untuk pengungkapan karakter tokoh, pengarang menggunakan dua cara, yaitu analitis
dan dramatis. Karakter tokoh kadang diungkapkan secara analitis (langsung) oleh pengarang
dan kadang hanya dapat dipahami melalui perilaku keseharian tokoh (dramatis). Sedangkan
dalam hal sudut pandang cerita, pengarang menggunakan sudut pandang yang berbeda-beda
dalam beberapa cerpen. Dalam cerpen “Paris, Juni 1998”, “Adila”, “Air Suci Sita”, “Ilona”, dan
“Malam Terakhir” menggunakan sudut pandang orang ketiga. Tokoh-tokoh dalam cerpen ini
selalu disebutkan namanya dalam cerita, misalnya Marc, Dila, Ona, dan tokoh lainnya.
Sedangkan dalam cerpen “Sehelai Pakaian Hitam”, “Untuk Bapak”, “Keats”, dan “Sepasang
Mata Menatap Rain” menggunakan sudut pandang orang pertama karena menggunakan kata
‘aku’ dan ‘saya’ dalam cerita.

Dalam hal tema cerita, cerpen-cerpen dalam buku ini memiliki tema yang bermacam-
macam. Ada cerita yang mengangkat tema tentang kebebasan dan keterikatan ("Paris, Juni
1998", "Adila", kedua cerpen ini juga mengandung unsur seksual yang agak eksplisit. Kemudian
“Keats”). Atau cerita dengan tema tentang kemunafikan dan menjadi diri sendiri ("Sehelai Kain
Hitam"). Salah satu tema cerita yang menarik dalam buku ini adalah tema cerita yang
menyinggung tentang bagaimana pandangan sebagian besar masyarakat tentang kesetiaan
seorang laki-laki dan kesetiaan seorang perempuan dalam "Air Suci Sita". Dalam buku ini, juga
terdapat cerpen yang bertemakan sindiran terhadap kondisi sosial dan ketidakadilan yang
dirasakan kaum tak berdaya ("Sepasang Mata Menatap Rain", "Malam Terakhir"), cerpen yang
bertemakan kasih sayang pada bapak (“Untuk Bapak”), serta arti sebuah komitmen yang
dimaknai dengan pernikahan (“Ilona”).

Dalam buku ini, pengarang menggunakan gaya bahasa dan penyampaian cerita yang
sangat puitis dan penuh dengan metafora. Bahasa puitis membuat sebuah cerita dalam buku ini
lebih hidup dan "mengena”. Tetapi, untuk tipe pembaca yang lebih menyukai bahasa yang
realistis mungkin akan merasa bosan karena penyampaian yang "berpanjang-panjang" dalam
beberapa bagian dari cerpen yang ada. Terkait dengan keberadaan banyak metafora sendiri,
sebenarnya ada beberapa metafora yang tidak mudah dimengerti. Sehingga, jika pembaca tidak
jeli dalam memahami setiap kalimat dari cerpennya, maka permbaca tidak akan mengerti
pesan yang terkandung dalam cerpen ini.
Dalam keragaman cerita yang terdapat dalam buku ini, kita bisa mengetahui bahwa
kebebasan berekspresi, kemerdekaan dari penindasan, keleluasaan menetapkan pilihan hidup,
kesetiaan, kejujuran, integritas, kepekaan, dan keberanian adalah hal-hal penting yang dianut
dan diperjuangkan seorang pengarang, Leila S. Chudori dalam menuliskan buku kumpulan
cerpen ini. Sehingga kita, para pembaca pantas membaca buku kumpulan cerpen ini. Akhirnya,
selamat menikmati berbagai lika-liku dalam buku kumpulan cerpen Malam Terakhir.

Anda mungkin juga menyukai