DISUSUN OLEH:
NAMA : AKWILA GIAN TULANGI
NIM : 19402057
KELAS : A
SEMESTER : IV
ADEGAN 1
Orang Tua : Tunggu! Jangan tergesa. Mari kita tentukan dulu tegak kita masing-masing.
Agar jangan silap menafsirkan peran kita masing-masing. Yang mematikan
atau yang dimatikan.
Anak Muda : Maksud Bapak?
Orang Tua : Tingkah laku harus senantiasa sesuai dengan watak yang ingin digambarkan.
(Ia bisa mengambil mitraliur dari tangan anak muda)
Sifat lahir harus sesuai dengan sifat rohani, agar …
(Anak muda sadar dan mendepak mitraliur. Terdengar serentetan
tembakan).
… agar dicapai kesatuan waktu, kesatuan ruang, kesatuan laku.
Anak Muda :
Bapak ingin bunuh saya?
Orang Tua :
Siapa hendak bunuh siapa?
Anak Muda :
Bapak ingin bunuh saya.
Orang Tua :
Membunuh kau? Aku? Hendak bunuh kau?
Anak Muda :
Ya, Bapak hendak bunuh saya!
Orang Tua :
Mengapa? Dengan alasan apa? Dengan tujuan apa aku harus membunuh
kau?
Anak Muda Jahanam! Alasan! Tujuan!
IA MENYERGAP ORANG TUA ITU. ORANG TUA MENGELAK.
Orang Tua : Tunggu dulu! Jangan tergesa. Tiap laku harus mentaati suatu gaya.
Anak Muda Laku? Gaya? Persetan semuanya! Yang penting bagiku adalah kesudahan
lakon. Berakhir! Alangkah bahagianya aku bila aku tahu, akulah pembuat
keakhiran itu
LAGI IA MENYERGAP. ORANG TUA MENGELAK SIGAP
Orang Tua : Maksudmu?
Anak Muda : Lakon Bapak berakhir kini! Kini! Akulah yang mengakhirinya.
Orang Tua : Lakon tak dapat diakhiri, tapi mengakhiri diri sendiri. Tenaga lakon sudah
hadir dalam dirinya, sejak semula. Adegan demi adegan, babak demi babak.
Anak Muda : Tapi, sekali ia toh mesti tamat?
Orang Tua : Tamat? Betapa kerap tamat justru berarti permulaan? Pengarang melukiskan
pada akhir lakonnya kata-kata “layar turun”. Apa nyatanya? Layar turun,
ruang pertunjukan terang kembali. Barulah lakon sesungguhnya mulai bagi
penonton. Ia pulang ke rumah, meletakkan dirinya di ranjang untuk
menggoreskan titik ke dalam kelam biliknya. Apa selanjutnya terjadi,
sesudah layar turun untuk kali penghabisan tadi?
Anak Muda : Tanya yang bukan tanya; bila “tamat” berarti “mati”. Ha ha ha. Apa yang
terjadi sesudah mati? Tentu tak apa-apa, sebab mati adalah keakhiran mutlak.
MENYERGAP.
Mutlak!
Orang Tua : Alangkah simpelnya, menganggap mati sebagai keakhiran mutlak. Kata
siapa? Lihat setiap agama, satu per satu mereka memperoleh rangsang
asasinya dalam rumus “Maut sebagai Awal mutlak”.
Anak Muda : Kesudahan dan kemulaan, sama saja. Pokok. Mutlak.
Orang Tua : Apa maksudmu dengan “Maut Multak” itu?
Anak Muda : Lawan dari “Kehidupan Mutlak”.
Orang Tua : Maksudmu?
Anak Muda : Kita. Bapak, aku. Aku yang hendak bunuh Bapak.
Orang Tua : Sedang tadi?
Anak Muda : Tadi? Tadi … Bapak yang hendak bunuh aku.
Orang Tua : Bagus! Bagaimana hal ini dapat kau jelaskan?
Anak Muda : Entah. Mungkin karena waktu.
Orang Tua : Karena waktu? Maksudmu?
Anak Muda : Kelanjutan waktu mengantar Bapak ke taraf di mana kematian bagi Bapak
bukan tak mungkin menjadi kenyataan.
PAUSE.
Tapi karena taraf itu ikut dalam kelanjutan waktu, maka kematian Bapak itu
mengantar dirinya sendiri ke muka. Di sini ia sudah bukan kematian lagi.
Orang Tua : Bukan kematian lagi? Lalu apa?
Anak Muda : Kematian Bapak mengimbangi dirinya sendiri.
Orang Tua : Lalu?
Anak Muda : Kematian Bapak menjadi kehidupan.
Orang Tua : Kematianku menjadi kehidupan? Oh, alangkah indahnya kematian kalau
begitu.
MEREKA BERPELUKAN.
Anak Muda : Ini tiang gantungan. Bukankah begitu, Pak?
Orang Tua : Seperti kau lihat. Indah, bukan?
Anak Muda : Punya siapa?
Orang Tua : Saya
Anak Muda : Sendiri?
Orang Tua : Ya, sendiri.
Anak Muda : Bapak seorang algojo?
Orang Tua : Jelaskan dulu, apa yang kaumaksud dengan algojo itu?!
Anak Muda : Pelaksana hukuman mati, kalau tidak salah.
Orang Tua : Dari mana kau menarik kesimpulan bahwa aku punya sangkut paut tertentu
dengan hukum, dengan hukuman, dan terlebih dengan hukuman mati?! Aku
tak menyukainya!
Anak Muda : Kalau begitu, apakah arti tiang gantungan ini? Fungsinya?
Orang Tua : Kau telah mengatakan setepatnya Fungsi! Apakah mesti sama arti fungsi
dengan mencipta perbedaan antara sesama manusia? Yang menghukum
lawan yang dihukum, yang menggantung lawan yang digantung.
Anak Muda : Saya tak mengerti lagi. Bapak dirikan tiang gantungan. Tentu maksud Bapak
nanti akan ada seseorang atau lebih yang digantung di sini, hingga mati.
Bukankah begitu? Saya tak dapat menerima anggapan, Bapak dirikan tiang
gantungan di kaki gunung sini sekadar iseng saja atau sekadar menggantung
orang hingga separuh mati saja.
Orang Tua : Tentu saja tidak. Tiang gantungan ini merupakan mahkota cita-cita yang
dianut sepanjang suatu hidup penuh, 60 tahun. Dari semula sudah sejelasnya
tafsiran ini pada diri saya.
Anak Muda : Apakah tafsiran itu?
Orang Tua : Bahwa pada mulanya, pada akhirnya, hidup adalah maut juga.
Anak Muda : Sungguh menarik. Sungguh menarik. Tapi, apakah ini Asli?
Orang Tua : Tidak. Bahkan sudah sebaliknya, Basi.
Anak Muda : Jadi penganut cita yang Basi? Adakah ini sesuai dengan apa yang disebut
sebagai Cita?
Orang Tua : Tidak. Oleh sebab itulah aku merencanakan sesuatu yang asli padanya.
Anak Muda : Apakah itu?
Orang Tua : Mempraktekkannya.
Anak Muda : Caranya?
Orang Tua : Mematikan yang hidup, sudah tentu.
Anak Muda : Ha ha ha. Apakah ini juga Asli? Saya khawatir, Bapak sedemikian
menggolongkan diri ke dalam barisan pembunuh-pembunuh yang memenuhi
penjara-penjara. Sedangkan Bapak adalah Seniman. Seorang seniman besar!
Orang Tua : Tentu saja aku tak ingin menyamakan diri dengan mereka. Tidak. Sungguh
tepat penamaan yang kauberi tadi. Pembunuhan yang kurencanakan ini
adalah seni. Ya, aku seniman. Seniman besar.
Anak Muda : Akan jadi seniman.
Orang Tua : Kau benar. Akan jadi seniman.
Anak Muda : Dan bila bapak berniat benar? Jadi seniman itu?
Orang Tua : Pada saat ia, yang hidup, yang akan kumatikan, menyatakan kehadirannya
padaku.
Anak Muda : Ia Bapak gantung begitu saja.
Orang Tua : Maksudmu?
Anak Muda : Tanpa basa-basi lebih dulu? Tanpa tanya apa rela ia dimatikan?
Orang Tua : Tentu! Tentu. Ia tak akan menolak. Segalanya punya taraf.
Anak Muda : Bapak yakin ia akan menjawab “Ya.”
Orang Tua : Tentu
Anak Muda : Alasannya?
Orang Tua : Kau bertanya alasannya?
Anak Muda : Ya, alasannya!
Orang Tua : Oleh sebab itu ia, seperti kukatakan tadi, dari semula adalah maut.
Anak Muda : Ia pasti tak akan ajukan protes? Protes terhadap subtitusi kedua kondisinya
itu?
Orang Tua : Aku tak melihat alasan kuat yang menyebabkan ia mesti protes terhadap
kematiannya.
Anak Muda : Menurut Bapak, bukan tak mungkin saya korban itu.
Orang Tua : Ha ha ha. Bukan tak mungkin!
Anak Muda : Adakah saya akan menjawab “Ya.”
Orang Tua : Pertanyaan ini untukku atau untukmu?
Anak Muda : Menurut Bapak?
Orang Tua : Untuk kau sendiri.
Anak Muda : Bila saya menjawab “Tidak.”
Orang Tua : Ya atau Tidak, sama saja bagiku. Yang penting nilainya! Kematian berguna
bagi aku. Sederhana, bukan?
Anak Muda : Bapak ingin memaksa saya? Ini membunuh saya namanya. Sedang rencana
Bapak itu bertolak dari kemauan bebas.
Orang Tua : Bukankah Maut adalah Pembebasan?
Anak Muda : Kebebasan maksud Bapak?
Orang Tua : Apa bedanya?
Anak Muda : Kebebasan –dari semula. Pembebasan, masih harus lagi.
Orang Tua : Ah, sama saja. Lagipula bagaimana mungkin Maut dapat digambarkan
sebagai sifat Semula?
Anak Muda : Soal ini bagi saya atau Bapak?
Orang Tua : Menurut kau untuk siapa?
Anak Muda : Untuk Bapak.
Orang Tua : Pertanyaan itu bukan soal.
Anak Muda : Sungguh suatu Soal. Itulah hakikat cita Bapak itu. Oleh sebab ituh saya
protes terhadapnya. Ia dapat dijadikan dalil kesewenangan.
Orang Tua : Ha ha ha. Apakah anak hendak meyakinkan aku? Tampang kau dengan
rambut panjang kusut begini, dengan pakaian rimba, dengan senjata
pencabut nyawa, dengan dua mata yang menyinarkan keadaan di perbatasan
dua bumi, dengan nada-nada suara yang mendambakan penjungkiran seluruh
alam. Bukankah ini tampang seorang anarkis?
Anak Muda : Kesenangan tidak sama dengan Anarkis.
Orang Tua : Tapi sama-sama memuja kemutlakan tiada batas.
Anak Muda : Dapatkah penampikan batas dicerca, bila batas sudah tidak dapat lagi dialami
sebagai jaminan mungkinnya keyakinan dan khayal?
Orang Tua : Dicerca mungkin tidak, tapi dikasihani mungkin ya!
Anak Muda : Bapak lebih buas dari sangkaku semula.
Orang Tua : Mengapa? Karena aku tak dapat meyakini citamu yang mencari batas di
tempat persembunyiannya, di keterasingan tingginya pegunungan? Tidak,
nak. Aku tak ada melihat kebulatan caramu itu. Pada hakikatnya kau adalah
pengnut batas juga. Penganut tata tertib, tata krama, tata negara.
Anak Muda : Bapak tidak?
Orang Tua : Apa kau kira hakikat tiang gantungan ini?
(Di kejauhan terdengar tembakan, disusul suara-suara. Salah satunya menyerukan perintah)
“Mat! Kau tempuh jalan yang mendaki lereng gunung itu. Mungkin ia mendaki. Mungkin ia
menempuh itu. Begitu kau lihat dia, tembak! Kita akan bertemu di lereng sana.”
(Suara lain)
“Saya, Pak.”
ADEGAN II
ADEGAN III
PANGGUNG GELAP
https://teaterlkkunimed.wordpress.com/2013/09/14/naskah-bulan-bujur-sangkar/
http://ssgpelajarbahasa.blogspot.com/2011/11/pendekatan-ekspresif.html
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132049472/pendidikan/materi-kuliah-pengantar-
ilmu-sastra-ii-pendekatan-dalam-pengkajian-sastra.pdf
http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Iwan_Simatupang
https://id.wikipedia.org/wiki/Iwan_Simatupang#:~:text=Iwan%20Martua
%20Dongan%20Simatupang%2C%20lebih,%2C%20penyair%2C%20dan
%20esais%20Indonesia.&text=Tulisan%2Dtulisannya%20dimuat%20di
%20majalah,Mimbar%20Indonesia%20mulai%20tahun%201952.
https://tirto.id/sejarah-pemberontakan-prri-permesta-di-sumatera-dan-sulawesi-
ga3g