Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN TUGAS MANDIRI

“PENERAPAN PENDEKATAN EKSPRESIF DAN SOSIOLOGI SASTRA DALAM


MENGAPRESIASI NASKAH DRAMA BULAN BUJUR SANGKAR KARYA IWAN
SIMATUPANG (2)”
MATA KULIAH APRESIASI DRAMA DAN TEATER
Dosen Pengampu : Drs. Joni J. Loho, M

DISUSUN OLEH:
NAMA : AKWILA GIAN TULANGI
NIM : 19402057
KELAS : A
SEMESTER : IV

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI MANADO
2021
Naskah Drama
Bulan Bujur Sangkar
Karya: Iwan Simatupang

ADEGAN 1

Orang Tua : (Sibuk Menyiapkan Tiang Gantungan).


Kau siap. Betapa megah. Hidupku seluruhnya kusiapkan untuk mencari jenis
kayu termulia bagimu. Mencari jenis tali termulia. Enam puluh tahun
lamanya aku mengelilingi bumi, pegunungan, lautan, padang pasir. Harapan
nyaris tewas. Enam puluh tahun bernapas hanya untuk satu cita-cita.
Akhirnya kau ketemu juga olehku. Kau kutemukan jauh di permukaan laut.
Setangkai lumut berkawan sunyi yang riuh dengan sunyinya sendiri. Kau
kutemui jauh tinggi. Sehelai jerami dihimpit salju ketinggian, yang bosan
dengan putihnya dan tingginya. Kau siap! Kini kau bisa memulai faedahmu!

MASUK PEMUDA, BERTAMPANG LIAR, LETIH, DAN MENENTENG MITRALIUR. IA


KAGET, MELIHAT TIANG GANTUNGAN DAN ORANG YANG BERDIRI TENANG DI
SAMPINGNYA. IA MENODONGKAN MITRALIURNYA.

Orang Tua : Tunggu! Jangan tergesa. Mari kita tentukan dulu tegak kita masing-masing.
Agar jangan silap menafsirkan peran kita masing-masing. Yang mematikan
atau yang dimatikan.
Anak Muda : Maksud Bapak?
Orang Tua : Tingkah laku harus senantiasa sesuai dengan watak yang ingin digambarkan.
(Ia bisa mengambil mitraliur dari tangan anak muda)
Sifat lahir harus sesuai dengan sifat rohani, agar …
(Anak muda sadar dan mendepak mitraliur. Terdengar serentetan
tembakan). 
… agar dicapai kesatuan waktu, kesatuan ruang, kesatuan laku.

Anak Muda :
Bapak ingin bunuh saya?
Orang Tua :
Siapa hendak bunuh siapa?
Anak Muda :
Bapak ingin bunuh saya.
Orang Tua :
Membunuh kau? Aku? Hendak bunuh kau?
Anak Muda :
Ya, Bapak hendak bunuh saya!
Orang Tua :
Mengapa? Dengan alasan apa? Dengan tujuan apa aku harus membunuh
kau?
Anak Muda Jahanam! Alasan! Tujuan!
IA MENYERGAP ORANG TUA ITU. ORANG TUA MENGELAK.
Orang Tua : Tunggu dulu! Jangan tergesa. Tiap laku harus mentaati suatu gaya.
Anak Muda Laku? Gaya? Persetan semuanya! Yang penting bagiku adalah kesudahan
lakon. Berakhir! Alangkah bahagianya aku bila aku tahu, akulah pembuat
keakhiran itu
LAGI IA MENYERGAP. ORANG TUA MENGELAK SIGAP
Orang Tua : Maksudmu?
Anak Muda : Lakon Bapak berakhir kini! Kini! Akulah yang mengakhirinya.
Orang Tua : Lakon tak dapat diakhiri, tapi mengakhiri diri sendiri. Tenaga lakon sudah
hadir dalam dirinya, sejak semula. Adegan demi adegan, babak demi babak.
Anak Muda : Tapi, sekali ia toh mesti tamat?
Orang Tua : Tamat? Betapa kerap tamat justru berarti permulaan? Pengarang melukiskan
pada akhir lakonnya kata-kata “layar turun”. Apa nyatanya? Layar turun,
ruang pertunjukan terang kembali. Barulah lakon sesungguhnya mulai bagi
penonton. Ia pulang ke rumah, meletakkan dirinya di ranjang untuk
menggoreskan titik ke dalam kelam biliknya. Apa selanjutnya terjadi,
sesudah layar turun untuk kali penghabisan tadi?
Anak Muda : Tanya yang bukan tanya; bila “tamat” berarti “mati”. Ha ha ha. Apa yang
terjadi sesudah mati? Tentu tak apa-apa, sebab mati adalah keakhiran mutlak.
MENYERGAP.
Mutlak!
Orang Tua : Alangkah simpelnya, menganggap mati sebagai keakhiran mutlak. Kata
siapa? Lihat setiap agama, satu per satu mereka memperoleh rangsang
asasinya dalam rumus “Maut sebagai Awal mutlak”.
Anak Muda : Kesudahan dan kemulaan, sama saja. Pokok. Mutlak.
Orang Tua : Apa maksudmu dengan “Maut Multak” itu?
Anak Muda : Lawan dari “Kehidupan Mutlak”.
Orang Tua : Maksudmu?
Anak Muda : Kita. Bapak, aku. Aku yang hendak bunuh Bapak.
Orang Tua : Sedang tadi?
Anak Muda : Tadi? Tadi … Bapak yang hendak bunuh aku.
Orang Tua : Bagus! Bagaimana hal ini dapat kau jelaskan?
Anak Muda : Entah. Mungkin karena waktu.
Orang Tua : Karena waktu? Maksudmu?
Anak Muda : Kelanjutan waktu mengantar Bapak ke taraf di mana kematian bagi Bapak
bukan tak mungkin menjadi kenyataan.
PAUSE.
Tapi karena taraf itu ikut dalam kelanjutan waktu, maka kematian Bapak itu
mengantar dirinya sendiri ke muka. Di sini ia sudah bukan kematian lagi.
Orang Tua : Bukan kematian lagi? Lalu apa?
Anak Muda : Kematian Bapak mengimbangi dirinya sendiri.
Orang Tua : Lalu?
Anak Muda : Kematian Bapak menjadi kehidupan.
Orang Tua : Kematianku menjadi kehidupan? Oh, alangkah indahnya kematian kalau
begitu.
MEREKA BERPELUKAN.
Anak Muda : Ini tiang gantungan. Bukankah begitu, Pak?
Orang Tua : Seperti kau lihat. Indah, bukan?
Anak Muda : Punya siapa?
Orang Tua : Saya
Anak Muda : Sendiri?
Orang Tua : Ya, sendiri.
Anak Muda : Bapak seorang algojo?
Orang Tua : Jelaskan dulu, apa yang kaumaksud dengan algojo itu?!
Anak Muda : Pelaksana hukuman mati, kalau tidak salah.
Orang Tua : Dari mana kau menarik kesimpulan bahwa aku punya sangkut paut tertentu
dengan hukum, dengan hukuman, dan terlebih dengan hukuman mati?! Aku
tak menyukainya!
Anak Muda : Kalau begitu, apakah arti tiang gantungan ini? Fungsinya?
Orang Tua : Kau telah mengatakan setepatnya Fungsi! Apakah mesti sama arti fungsi
dengan mencipta perbedaan antara sesama manusia? Yang menghukum
lawan yang dihukum, yang menggantung lawan yang digantung.
Anak Muda : Saya tak mengerti lagi. Bapak dirikan tiang gantungan. Tentu maksud Bapak
nanti akan ada seseorang atau lebih yang digantung di sini, hingga mati.
Bukankah begitu? Saya tak dapat menerima anggapan, Bapak dirikan tiang
gantungan di kaki gunung sini sekadar iseng saja atau sekadar menggantung
orang hingga separuh mati saja.
Orang Tua : Tentu saja tidak. Tiang gantungan ini merupakan mahkota cita-cita yang
dianut sepanjang suatu hidup penuh, 60 tahun. Dari semula sudah sejelasnya
tafsiran ini pada diri saya.
Anak Muda : Apakah tafsiran itu?
Orang Tua : Bahwa pada mulanya, pada akhirnya, hidup adalah maut juga.
Anak Muda : Sungguh menarik. Sungguh menarik. Tapi, apakah ini Asli?
Orang Tua : Tidak. Bahkan sudah sebaliknya, Basi.
Anak Muda : Jadi penganut cita yang Basi? Adakah ini sesuai dengan apa yang disebut
sebagai Cita?
Orang Tua : Tidak. Oleh sebab itulah aku merencanakan sesuatu yang asli padanya.
Anak Muda : Apakah itu?
Orang Tua : Mempraktekkannya.
Anak Muda : Caranya?
Orang Tua : Mematikan yang hidup, sudah tentu.
Anak Muda : Ha ha ha. Apakah ini juga Asli? Saya khawatir, Bapak sedemikian
menggolongkan diri ke dalam barisan pembunuh-pembunuh yang memenuhi
penjara-penjara. Sedangkan Bapak adalah Seniman. Seorang seniman besar!
Orang Tua : Tentu saja aku tak ingin menyamakan diri dengan mereka. Tidak. Sungguh
tepat penamaan yang kauberi tadi. Pembunuhan yang kurencanakan ini
adalah seni. Ya, aku seniman. Seniman besar.
Anak Muda : Akan jadi seniman.
Orang Tua : Kau benar. Akan jadi seniman.
Anak Muda : Dan bila bapak berniat benar? Jadi seniman itu?
Orang Tua : Pada saat ia, yang hidup, yang akan kumatikan, menyatakan kehadirannya
padaku.
Anak Muda : Ia Bapak gantung begitu saja.
Orang Tua : Maksudmu?
Anak Muda : Tanpa basa-basi lebih dulu? Tanpa tanya apa rela ia dimatikan?
Orang Tua : Tentu! Tentu. Ia tak akan menolak. Segalanya punya taraf.
Anak Muda : Bapak yakin ia akan menjawab “Ya.”
Orang Tua : Tentu
Anak Muda : Alasannya?
Orang Tua : Kau bertanya alasannya?
Anak Muda : Ya, alasannya!
Orang Tua : Oleh sebab itu ia, seperti kukatakan tadi, dari semula adalah maut.
Anak Muda : Ia pasti tak akan ajukan protes? Protes terhadap subtitusi kedua kondisinya
itu?
Orang Tua : Aku tak melihat alasan kuat yang menyebabkan ia mesti protes terhadap
kematiannya.
Anak Muda : Menurut Bapak, bukan tak mungkin saya korban itu.
Orang Tua : Ha ha ha. Bukan tak mungkin!
Anak Muda : Adakah saya akan menjawab “Ya.”
Orang Tua : Pertanyaan ini untukku atau untukmu?
Anak Muda : Menurut Bapak?
Orang Tua : Untuk kau sendiri.
Anak Muda : Bila saya menjawab “Tidak.”
Orang Tua : Ya atau Tidak, sama saja bagiku. Yang penting nilainya! Kematian berguna
bagi aku. Sederhana, bukan?
Anak Muda : Bapak ingin memaksa saya? Ini membunuh saya namanya. Sedang rencana
Bapak itu bertolak dari kemauan bebas.
Orang Tua : Bukankah Maut adalah Pembebasan?
Anak Muda : Kebebasan maksud Bapak?
Orang Tua : Apa bedanya?
Anak Muda : Kebebasan –dari semula. Pembebasan, masih harus lagi.
Orang Tua : Ah, sama saja. Lagipula bagaimana mungkin Maut dapat digambarkan
sebagai sifat Semula?
Anak Muda : Soal ini bagi saya atau Bapak?
Orang Tua : Menurut kau untuk siapa?
Anak Muda : Untuk Bapak.
Orang Tua : Pertanyaan itu bukan soal.
Anak Muda : Sungguh suatu Soal. Itulah hakikat cita Bapak itu. Oleh sebab ituh saya
protes terhadapnya. Ia dapat dijadikan dalil kesewenangan.
Orang Tua : Ha ha ha. Apakah anak hendak meyakinkan aku? Tampang kau dengan
rambut  panjang kusut begini, dengan pakaian rimba, dengan senjata
pencabut nyawa, dengan dua mata yang menyinarkan keadaan di perbatasan
dua bumi, dengan nada-nada suara yang mendambakan penjungkiran seluruh
alam. Bukankah ini tampang seorang anarkis?
Anak Muda : Kesenangan tidak sama dengan Anarkis.
Orang Tua : Tapi sama-sama memuja kemutlakan tiada batas.
Anak Muda : Dapatkah penampikan batas dicerca, bila batas sudah tidak dapat lagi dialami
sebagai jaminan mungkinnya keyakinan dan khayal?
Orang Tua : Dicerca mungkin tidak, tapi dikasihani mungkin ya!
Anak Muda : Bapak lebih buas dari sangkaku semula.
Orang Tua : Mengapa? Karena aku tak dapat meyakini citamu yang mencari batas di
tempat persembunyiannya, di keterasingan tingginya pegunungan? Tidak,
nak. Aku tak ada melihat kebulatan caramu itu. Pada hakikatnya kau adalah
pengnut batas juga. Penganut tata tertib, tata krama, tata negara.
Anak Muda : Bapak tidak?
Orang Tua : Apa kau kira hakikat tiang gantungan ini?
(Di kejauhan terdengar tembakan, disusul suara-suara. Salah satunya menyerukan perintah)
 
“Mat! Kau tempuh jalan yang mendaki lereng gunung itu. Mungkin ia mendaki. Mungkin ia
menempuh itu. Begitu kau lihat dia, tembak! Kita akan bertemu di lereng sana.”
(Suara lain)
 “Saya, Pak.”

LALU SUARA-SUARA ITU MENDEKAT


Anak Muda : Nah, Pak. Para pemuja batas itu sudah menyusul aku. Aku mesti pergi lagi.
Mereka belum boleh mendapatkan aku. Selamat tinggal algojoku.
Orang Tua : Mengapa batas yang kaucari itu, tak ingin kautemui saja pada tali ini. Ia
terbuat dari tali jenis bangsawan. Dari bawah salju puncak tertinggi di dunia.
Lekas! Waktu tak banyak lagi bagi kau.
Anak Muda : Tidak, Pak! Pun tali ini terlalu lurus. Terlalu licin seperti tata tertib, tata
krama, tata negara. Batas yang kau cari itu menolak tiap yang lurus, yang
licin, yang bagus, yang sopan, yang indah, yang beradab, yang
berkebudayaan.
DERAP SEPATU MAKIN MENDEKAT.
Anak Muda : Jangan menangis, Algojo; ingat, tingkah laku harus sesuai dengan….
Orang Tua : … dengan watak yang ingin dilukiskan
Anak Muda : Bagus! Bagus! Buat apa menangis; Ayo berpestalah! Berhari besarlah!
Rayakan keberangkatan suatu watak ke kerajaannya. Kerajaan dari tiada
batas.
Orang Tua : Ya, pesta hari besar
Anak Muda : Selamat tinggal.
Orang Tua : Watak, Besar.

ADEGAN II

SUARA SEPATU MENDEKAT. TEMBAKAN. PERGULATAN. LANTAS SENYAP.


PANGGUNG TERANG. PADA TIANG GANTUNGAN TERAYUN-AYUN MAYAT
BERPAKAIAN DINAS, LENGKAP DENGAN SENJATANYA.
Orang Tua : Hari Besar. Hari ini aku merayakan berangkatnya suatu watak besar ke
kerajaan tiada batas. Watak kecil harus selamat tinggal. Peranannya terdiri
atas cuma mengucapkan kata-kata “Selamat tinggal!” saja. Sesudah itu ia
mesti menghilang lagi. Lari ke belakang layar, terus ke jalan raya. Di situlah
wajahnya. Sesekali ia memperkenankan dirinya libur ke kakilima-kakilima,
menyorakkan “eli eli lama sabachtani” kepada setiap orang yang lalu, yang
berangkat. (Pause).
 
Itulah duka ceritamu, Pahlawan. Kau tak lagi puas dengan ukuranmu yang
kecil. Kau ingin memperbesarnya dengan menyatukan diri dengan
pengertian-pengertian, seperti “mengejar”, “memburu”. Darimana
kauperoleh hak berbuat demikian, sedang “mengikut” saja tak pernah
kaulakukan? Tidak, Pahlawan. Mengejar, bahkan mengikuti dari belakang
adalah hak-hak istimewa yang hanya dikaruniakan dewa-dewa kepada
mereka yang sudah mengalami kenikmatan berangkat. Dari mengucapkan
“selamat tinggal”. Tahukah kau, bagaimana sikap seseorang yang berangkat?
Ia menjabat tangan-tangan kerdil kotor dan berbau kesetiaan harian dari
mereka yang tinggal. Bila perlu, ini dilakukannya dengan iringan senyum
palsu di mulutnya. Senyum ini perlu untuk menenteramkan mereka agar
sabar dengan hasilnya. Kedok seperti ini perlu bagi mereka yang tinggal.
Sebab segera ia berangkat, manusia-manusia yang tinggal ini meletuskan
perang saudara. Kedok itu mereka perebutkan. Bila Magrib tiba, pulanglah
mereka ke rumahnya masing-masing. Sambil membaca mantera-mantera dan
jampi-jampi, mereka gulung sobekan-sobekan kedok tadi menjadi azimat.
Azimat baru! Bila anjing melengkingkan gonggongan terakhirnya,
mengantar binatang berangkat dini hari, dengan rahasia digoreskannyalah
sebuah kata pada azimat itu.
(Kepada mayat.)
 
Tahukah kau, Pahlawan! Kata apa? “Selamat Tinggal!” Ha ha ha. “Selamat
Tinggal!” Tapi aku telah hindarkan penggulungan azimatmu.
(Memegang jari mayat).
 
Tangan dan jari-jayang kaubikin kasar bentuknya dengan kesibukan
mengejar dan mencabut nyawa ini, tidak perlu kausiksa lebih lama lagi
dengan memegang kalam untuk menuliskan “Selamat Tinggal!” Ha ha ha.
Aku telah muncul di panggung. Berangkatmu dari bumi adalah berangkat
tanpa selamat tinggal. Berangkat yang human, humanitis, psikologis, social
paedagogis, sosiologis, ekonomis; berangkat yang prosais, puitis, liris, ritmis.
(Pause)
 
Berangkat yang hina. Tanpa rasa puas dari seorang yang telah
memperolokkan orang lain; memperolokkan masyarakat; memperolokkan
umat manusia. Berangkatmu adalah persis jatuhnya cangkir yang sudah
punya retak, diletakkan tak hati-hati di pinggir meja. Kau jatuh berserakan.
Nyonya rumah menjawab tuan rumah “O, hanya mangkok yang sudah retak
itu, Pak; ia toh sudah lama hendak kubuang saja.” Tahu apa kata tuan
rumah? “Bagus. O, Mien. Bawakan aku lagi teh secangkir, tapi dalam
mangkok porselin yang baru kita beli itu, hmm?” Kau dicampakkan dalam
tong sampah oleh seorang babu pengomel. Ha ha ha. Tong sampah! Selamat
tinggal. Ha ha ha.
SEORANG PEREMPUAN MASUK. USIANYA LEBIH KURANG 25 TAHUN. WAJAHNYA
KUATIR, LETIH. MELIHAT MAYAT DIGANTUNG IA TERKEJUT. ORANG TUA
MELIHATNYA, TERUS TERBAHAK, DAN SESEKALI MENERIAKKAN “SELAMAT
TINGGAL!”
Perempuan : Selamat petang!
Orang Tua : Selamat….
Perempuan : … petang!
Orang Tua : Siapa kau?
Perempuan : Aku?
Orang Tua : A….
Perempuan : … ku!
DI KEJAUHAN TERDENGAR LETUSAN-LETUSAN SENAPAN, SAHUT MENYAHUT.
SESUDAH MITRALIUR BERUNTUN, IA TAMPAK LEGA. SAMBIL MENGUCAPKAN
SYUKUR, IA TERISAK-ISAK. MENANGIS.
Orang Tua : Syukurlah, ia masih hidup. Teriakannya yang terakhir tadi belum akhir
baginya. Akhirnya ia sampai juga ke kerajaannya.
Perempuan : Bapak mengenalnya.
Orang Tua : Siapa tak mengenalnya!? Itulah cacat dari tiadanya batas. Garis yang
membulatkan diri kita tak ada. Kita hanya lobang saja di udara.
Perempuan : Ia singgah di sini?
Orang Tua : Di mana dia tak singgah? Lobang ada di segala, ada di tiada. Baginya tak ada
perairan. Teritorial. Ia dapat berlabuh di mana ia suka. Yang penting baginya
adalah singgah. Itu pengertian gaib antara Tiba dan Berangkat.
Perempuan : Bila ia tiba di sini?
Orang Tua : Pada saat ia berangkat lagi.
Perempuan : Bila ia berangkat dari sini?
Orang Tua : Pada saat ia hendak tiba lagi.
Perempuan : Ia baru saja dari sini. Baunya masih mengendap di sini. Bagaimana rupanya
kini, Pak? Kuruskah? Gemukkah? Masih utuhkah tubuhnya? Belum
pincang? Tuli? Buta? Adakah masih tahi lalat pada keningnya atas alis
matanya sebelah kiri? Tahi lalat sebesar biji delima? Tahi lalat berwarna
ungu tua, sandaran bibirku di kala rindu. Tahi lalat, bukit dalam impianku,
dari balik mana Bulan Bujursangkar terbit. Tapi kini, kebun belakang rumah
kami habis dirusak babi hutan berturunan dari pegunungan. Delima habis
mereka injak-injak, bijinya berserakan. Bulan Bujursangkar tak muncul lagi.
Ke mana bibirku harus kusandarkan?
Orang Tua : Ke mari.
MENUNJUK TIANG GANTUNGAN
Perempuan : Agar ia menjadi bibir yang hilang montoknya, hilang merahnya?
Orang Tua : Apa kurangnya bibir yang tak punya sifat-sifat yang kausebut itu?
Perempuan : Adakah yang lebih jelek daripada Garis Lurus? Bibir yang mencari sandaran
pada tiang gantungan adalah Garis Lurus.
Orang Tua : Mengapa?
Perempuan : Bibir mayat. Hendak ke mana segalanya yang serba lurus ini mengunjuk?
Orang Tua : Hampir lupa aku, kau adalah tunangannya.
(Menunjuk gunung di kejauhan). Tunangan seorang penantang yang serba
lurus.
Perempuan : Cinta kami bukan pertemuan Dua Garis Sejajar.
Orang Tua : Tentu. Kau bukan pencipta Ilmu Ukur baru.
Perempuan : Cinta kami bukan persilangan
Orang Tua : Bukan Salib?!
Perempuan : Bukan! Bukan Salib! Sama sekali bukan Salib!
Orang Tua Salib adalah cinta dengan huruf besar.
Perempuan : Kata siapa?
(Orang tua hendak menjawab).
Cinta di seberang sana dari Maut.
Orang Tua : Coba sebutkan perasaan besar manusia, yang bukan tegak di seberang sana
dari maut.
Perempuan : Kata siapa kita mesti menyeberang?
Orang Tua : Mesti tidak! Tapi sebaiknya!
Perempuan : Sebaiknya? Adakah tiang gantungan ini bapak dirikan berasas Susila yang
dikandung pengertian “Sebaiknya” ini juga? Saya kuatir, sampai kiamat tak
akan ada orang yang Bapak gantung.
Orang Tua : ( menunjuk mayat. )
Dan ini?
Perempuan : Ia Bapak paksa, Bapak bunuh!
Orang Tua : Kata siapa?
Perempuan : Kesimpulan satu-satunya yang dapat ditarik dari keadaan di sini.
Orang Tua : Kau hamba logika.
Perempuan : Justru algojonya.
Orang Tua : Jadi, menurut pendapat kau, akulah pembunuh pahlawan kita yang mencoba
melakukan tugasnya ini? Begitulah jadinya, kalau kau terlalu lama jadi
ditelan filsafat.
Perempuan : Bapak rupanya sarjana, ya?
Orang Tua : Persetan sarjana. Kesarjanaan! Ha ha ha. Mari kita bangun kembali peristiwa
ini.
(Menunjuk mayat).
Ia datang ke mari untuk apa?
Perempuan : Melakukan kewajibannya.
Orang Tua : Bagus. Bagaimana ia kini?
Perempuan : Mati digantung.
Orang Tua : Bagus. Apa kesimpulannya?
Perempuan : (sinis)
Berkewajiban berarti dibunuh.
Orang Tua : Bagus! Bagus!
Perempuan : Adakah penolakan terhadap kesarjanaan itu berarti Bapak lalu menganut
kepura-puraan.
Orang Tua : Persetan Sofisme. Pahlawan kita ini harus berterima kasih padaku. Ia telah
kubebaskan dari peranannya yang pelik. Yakni mempunyai kewajiban.
Kewajiban membuat kita terlalu sadar akan diri sendiri. Kita menjadi
angkuh. Bila ukuran watak yang  mendukungnya tak seberapa, maka
celakalah. Kewajiban itu lalu menjadi bentuk tertentu dari kesewenangan.
Ya, tunanganmu tadi menolak dalilku yang menyatakan bahwa
kesewenangan sama saja dengan Anarki.
Perempuan : Tapi….
Orang Tua : Tunggu. Ha ha ha. Mengapa aku hampir lupa, cinta kadang-kadang berarti
kesamaan-kesamaan. Dalilku tak mengandung arti meremehkan Anarki
maupun kesewenangan. Aku hanya ingin mengemukakan hierarki dari
pengertian-pengertian saja. Anarki hanyalah sebagian kecil dari
kesewenangan.
Perempuan : Atau sebaliknya?
Orang Tua : Tidak. Hingga kini, anarki hanya dapat mempertahankan dirinya lewat rasa
tak puas, lapar, rapat-rapat rahasia, sabotase, peledakan-peledakan bom
waktu, dan penyebaran pamflet-pamflet gelap. Penghadapan wajah ke bawah
tanah inilah yang senantiasa tak dapat kusetujui. Bagaimana bahagia di atas
tanah dapat diperjuangkan di bawah tanah? Tidak! Bahagia adalah juga
masalah sinar matahari. Masalah harmoni.
Perempuan : Bapak seorang klasikus juga.
Orang Tua : Karena harmoni yang kukatakan itu? Aku bahkan terus bertarung melawan
klasikisme. Aku ingin memancungnya bila saja, di mana saja kutemui.
Perempuan : Mengapa?
Orang Tua : Karena ia memperkenankan dirinya menciptakan pada manusia kini rasa
asing terhadap dirinya sendiri. Masa kita kini adalah masa yang justru
mengabdi kepada yang serba tak harmonis. Disharmoni. Demikian ibadah
zaman baru. Lihat saja seni … musik modern, sastra modern, drama modern.
Perempuan : Bapak seorang modernis?
Orang Tua : Tidak!
Perempuan : Mengapa?!
Orang Tua : Modernisme juga cuma satu istilah saja.
Perempuan : Apakah kalau begitu paham Bapak?
Orang Tua : Ketiadanamaan, yang mencoba sinonimnya pada tiang gantungan.
SUARA-SUARA RIMBA, TANDA PETANG MENJELANG. AGAK DEKAT, ALUNAN
SERUNAI MEMAINKAN SEBUAH LAGU RAKYAT YANG SANGSAI. SESEKALI
SERUNAI ITU BERHENTI, LALU TERDENGAR SUARA GEMBALA KECIL, 15 TAHUN
UMURNYA, MENYERU-SERUKAN DOMBANYA AGAR TIDAK TERLALU JAUH.
Perempuan : Siapa itu?
Orang Tua : Harmoni.
Perempuan : Menyatakan dirinya lewat siapa?
Orang Tua : Seorang gembala cilik. Tiap hari ia ke lereng gunung ini menjagai domba-
dombanya. Anak haram jadah?!
Perempuan : Mengapa Bapak marah?!!
Orang Tua : Sawangku menjadi olehnya.
Perempuan : Karena nada-nada serunai itu terlalu harmonis?
Orang Tua : Ya, setiap kali ia kudengar, aku selalu dan seolah dihadapkan dengan sebuah
lukisan yang oleh suatu prasangka tertentu dalam diriku tak kusukai.
Perempuan : Adakah lukisan itu jelek?
Orang Tua : Tidak.
Perempuan : Warna-warnanya barangkali tak sesuai? Pelukisnya tak tahu membagi
bidang? Tak pernah mempelajari psikologi dalam filsafat warna? Bingkainya
barangkali terlalu menyolok!
Orang Tua : Ia sama sekali tak berbingkai.
Perempuan :
O, jadi, lukisan yang bertemakan keabadian?
Orang Tua :
Bukan! Bukan! Bukan!
Perempuan :
Siapa pelukisnya?
Orang Tua :
Aku tak tahu.
Perempuan :
Dugaan Bapak?
Orang Tua :
Aku tidak tahu.
Perempuan :
Tentang apa lukisan itu?
Orang Tua :
Aku tidak tahu.
Perempuan :
Dugaan Bapak?
Orang Tua :
Sorga.
Perempuan :
Alasan Bapak?
Orang Tua :
Terlalu damai.
Perempuan :
Alasan Bapak.
Orang Tua :
Tanpa konflik.
(Suara serunai. Sesekali gembala menyeru dombanya. Orang tua gelisah).
Stop! Hentikan!
SERUNAI TERHENTI. ORANG TUA BINGUNG. SERUNAI MULAI LAGI. TERHARU,
DIAM-DIAM PEREMPUAN PERGI

ADEGAN III

ORANG TUA BERHENTI MENANGIS.


Orang Tua : Haaaaai!!!
(Gaung bersahutan.)
 
Haaai! Siapa perempuan muda tadi. Ia cuma menyebut dirinya Aku. Haai
Akuuu!!
(Gaung kembali bersahutan).
 
Ke mana ia pergi? Mengapa ia pergi? Bodoh aku ini. Kubiarkan ia pergi.
Sedang kesempatan sudah begitu bagusnya. Aku ngomong saja tentang
lobang, peraturan teritorial, tahi lalat, warna ungu tua, bulan bujursangkar,
delima, celeng, ilmu ukur baru. Ia perempuan cantik. Begitu cantik. Buah
dadanya, buah dadanya! Ia akan kurebahkan di sini. Ah, peduli apa kalau
pun ada orang melihatnya. Dan apabila ia meronta? Tentu saja ia meronta
Ronta keperawanan. Tiap terjang tumitnya di dadaku ini, merupakan medali
cinta tertinggi bagiku. Kebetinaan harus ditemui di balik kerusakan. Di balik
kutang dan celana sutra yang dirobek paksa. Di balik rintih penyerahan tubuh
dengan paksa. Tanpa kekerasan segalanya hanya akan menjadi masalah garis
lurus. Mengapa aku harus enggan memperkosanya? Aku, yang sudah berusia
60 tahun. Yang tak pernah berani membuka hatiku kepada kejelitaan jenis
betina dari umat manusia. 60 tahun adalah usia yang patut diakhiri. Atas
kehendak  bebasku, siapa sanggup melarangnya? Seperti juga, siapa yang
sanggup melarang aku memperkosa perempuan tadi, andai ia masih di sini
sekarang. Dan mesti dia orangnya. Gadis, remaja, jelita, cendekia, jenial,
setia, penuh cita-cita. Pendeknya perempuan sempurna. Dan dia ini tunangan
dari pemuda sempurna. Laki-laki sempurna. Gagah, tampan, jujur, berani,
berperadaban jasmani dan rohani yang tinggi, suka malam sunyi dengan
gonggong anjing di kejauhan. Suka memandangi bintang-bintang. Suka
puisi, suka drama, suka segala yang indah. Pendeknya laki-laki sempurna,
Perempuan sempurna dengan laki-laki sempurna.
DI KEJAUHAN TERDENGAR LETUSAN-LETUSAN SENAPAN. LANTAS DIBALAS
SEBUAH MITRALIUR. LANTAS SORAK KEMENANGAN.
Orang Tua : Sempurna.
(Terdengar Serunai).
Gembala jahanam. Stop! Hentikan!
(Serunai Berhenti).
Akhirnya ia berhenti juga. Akhirnya ada manusia yang mematuhi aku.
Berhentiiii.
(Gaung Bersahutan).
Nah, aku kini beroleh titik mula. Hai bimbang, enyah kau! Serunai dan
gembala telah tunduk. Aku kini mulai dengan babak pertama pelaksanaan
citaku. Apa kata filsuf Perancis yang kenes itu? Cogito… Persetan bahasa
latin. Biar kucoba dengan bahasa ibuku sendiri. Aku membunuh oleh sebab
itu aku ada!!! Nah, itu dia. Aku membunuh oleh sebab itu aku ada! Ayo para
sarjana, catat filsafat baru ini. Lekas tulis buku-buku pengantar tentangnya.
Filsafat sekarang adalah “Filsafat pengantar filsafat” saja. Itulah daya
maksimum manusia – pengantar. Mengantar hingga sampai pintu tertutup
saja. Apa di balik pintu tertutup itu? Kamar kosong. Pada kuncinya
tersangkut sobekan kertas karton kecil dengan tulisan eli eli lama sabachtani.
Ha ha ha. Eli eli lama sabachtani.
SUARA SERUNAI KEMBALI. ORANG TUA BERHENTI TERTAWA. GEMBALA KECIL
MUNCUL, IA KAGET MELIHAT MAYAT TERGANTUNG, DAN HENDAK PERGI.
Orang Tua : Ada apa, Nak?
Gembala : Ada prajurit. Banyak prajurit! Mereka mengusung sebuah mayat.
Orang Tua : Mayat? Mayat siapa?
Gembala : Seorang laki-laki.
Orang Tua : Pemuda? Rambutnya panjang? Pakaiannya macan loreng? Tahi lalat atas alis
sebelah kiri? Berwarna ungu tua? Di mana ia sekarang?
Gembala : Di sana.
Orang Tua : Beristirahat?
Gembala : Bukan. Menurunkan mayat lain dari pohon.
Orang Tua : Mayat lain? Mayat siapa?
Gembala : Seorang perempuan yang menggantung dirinya di atas pohon.
Orang Tua : Bagaimana rupanya?
Gembala : Ia telanjang.
Orang Tua : Telanjang?
Gembala : Pakaiannya dirobek-robek jadi tali gantungannya.
Orang Tua : Apakah ia masih gadis? Buah dadanya! Buah dadanya!
GEMBALA PERGI DIAM-DIAM. SUARA BELANTARA MAKIN RAMAI.
Orang Tua : (Berbisik).
Babi hutan berturunan dari pegunungan. Buah delima habis mereka injak-
injak. Bulan bujursangkar tak terbit lagi. Tak terbit lagi.
PAUSE.
Aku membunuh, oleh sebab itu aku ada. Aku yang menyumbangkan bab
terakhir pada ilmu filsafat. Haai sarjana-sarjana filsafat, catat ini Aku
membunuh, oleh sebab itu aku ada.
SAYUP-SAYUP SUARA SERUNAI. LAGU RAKYAT. AMAT SANGSAI.
Orang Tua : MENGAKHIRI HIDUPNYA. Aku membunuh, oleh sebab itu aku ada.

PANGGUNG GELAP

APRESIASI NASKAH DRAMA BULAN BUJUR SANGKAR


A. PENDEKATAN EKSPRESIF
Iwan Martua Simatupang adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang cerdas
dan sangat berbakat hingga pada masanya, begitu banyak karya-karyanya yang mendapat
sorotan dari kacamata pengamat sastra dari dalam maupun luar negeri. Diantara karya-
karyanya berupa esai, novel dan sajak, ada sebuah drama yang tidak kalah uniknya yaitu
Bulan Bujur Sangkar (1960). Naskah drama ini menciptakan pengalaman lahir batin dari
buah pemikiran seorang Iwan, mengenai realitas yang sedang terjadi pada masa itu,
pemberontakan dan disharmonisasi. Sempat mendalami drama di Amsterdam pada tahun
1957 bukan menjadikan Iwan seorang dramawan yang biasa-biasa saja, tetapi mampu
menggambarkan dengan terbuka, isi serta pergolakan pikiran, perasaan, dan emosi lewat
imajinasi dan kreativitas dari karakter setiap tokoh yang ada pada naskah drama ini,
terutama tokoh orang tua. Tokoh orang tua yang tidak seperti biasanya merupakan istilah
yang dapat dibilang aneh tapi nyata, nyata dalam alam penjelajahan pikiran pengarang
hingga tertuang ke dalam lakon ini. Iwan berpandangan bahwa seorang pengarang adalah
orang yang bebas dan dapat mengungkapkan pikiran secara jernih dan terbuka, tanpa
adanya batasan-batasan tertentu yang menghalanginya, hingga naskah drama Bulan Bujur
Sangkar bukan drama yang biasa tapi sungguh di luar dari biasanya. Rasanya seperti
Iwan ingin menunjukkan “begini maksud saya” lewat drama itu. Karakter tokoh orang
tua yang aneh tapi punya pikiran yang tinggi, namun juga bisa dibilang bagai
pemberontak, menciptakan tiang gantungan yang tidak berarti apa-apa selain untuk
membunuh dan jika tidak dibunuh. Begitu pula penjabaran Iwan selanjutnya dari
percakapan monolog dan dialog antar tokoh mengenai kehidupan dan kematian, serta
batas-batas yang menghasilkan kesewenangan hingga penyelewengan dan pemikiran
mengenai tindakan asusila mungkin saja terbayang jelas dalam diri Iwan sebagai
pengungkapan mengenai tanggapannya terhadap dunia nyata sehingga tulisan-tulisannya
pun turut dijadikan penyampaian pesan secara terbuka mengenai rasa dan emosi serta
imajinasi pengarang. Iwan menulis karyanya dengan cara yang berbeda dengan biasanya
karena Ia mampu menerangkan sisi lain dari kehidupan masyarakat tanpa melihat pada
batas-batas yang mungkin diberikan bagi seorang pengarang untuk menulis karya sesuai
batasan tersebut.
Pengarang dalam hal ini Iwan rasanya mengajak para pembaca untuk turut
berpikir keras dalam memahami tiap lakon yang diisi penuh dengan filsafat seorang Iwan
yang sempat memperdalam ilmu filsafat di Paris (1958). Terlihat jelas keunikan dan
keistimewaan Iwan dari naskah drama Bulan Bujur Sangkar yang tingkatanya tinggi dan
sukar dipahami namun juga memuat sisi-sisi modern lewat cara berpikir tokoh yang
tinggi penuh filasafat seyogianya cara berpikir Iwan sendiri sebagai pengarangnya.

B. PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA


Sosiologi sastra menurut Ian Watt diklasifikasikan menjadi 3 bagian diantaranya
konteks sosial pengarang, sastra sebagai cermin masyarakat, dan fungsi sosial sastra. Dari
ketiganya saya hanya akan mencoba menerapkan salah satu pendekatan yaitu sastra
sebagai cermin masyarakat. Sastra sebagai cermin masyarakat mengandung arti sejauh
mana sastra dapat dianggap mencerminkan keadaan masyarakat.
Naskah drama Bulan Bujur Sangkar adalah Drama yang sangat berpengaruh di
masanya. Bagaimana tidak, lakon dari Iwan Simatupang ini merupakan bayangan dari
keadaan masyarakat pada saat itu. Sekitar tahun 1960-an drama ini muncul seirama
dengan pemberontakan yang terjadi kala itu, PRRI dan Permesata di Sumatra dan
Sulawesi. Drama Bulan Bujur Sangkar menceritakan tentang pertentangan,
pemberontakan, kehidupan, kematian, logika, hati nurani, dan filsafat lainnya yang lekat
erat dengan tindak tanduk masyarakat. Tidak ada keharmonisan. Terjadi kekacauan
akibat penolakkan terhadap sistem yang dirasa kurang etis dan mungkin dirasa berat
sebelah. Bulan Bujur Sangkar merefleksikan bagaimana aturan-aturan yang berlaku
dilanggar dan tindakan-tindakan yang semena-mena pun terjadi karena ketidakpuasan
kepada pemerintah, tuduhan korupsi dan kaum atas yang bermain-main dibelakang,
menghasilkan disharmonisasi. Pengejaran terhadap tokoh Orang Muda oleh tentara
tentunya meenunjukkan bagaimana dengan mudahnya seorang dapat dibunuh dan
membunuh pada saat itu, sehingga orang-orang lain pun pada masa itu mungkin saja
lebih memilih bunuh diri daripada jadi korban tembakan. Keegoisan dan ketamakan dari
tokoh orang tua juga untuk mematikan atau dimatikan lewat tiang gantung, mengacu
pada bagaimana keadaan masyarakat yang hanya mementingkan diri sendiri dan tidak
menghiraukan orang lain. Gembala cilik dalam naskah drama ini dikatakan sebagai anak
haram jadah atau anak diluar nikah, menggambarkan realitas masyarakat yang sering
bergonta-ganti pasangan dan memiliki anak diluar nikah yang tidak jelas asal-usulnya,
siapa ayah-ibunya, dan hal itu pun bukan hanya pada masa lampau namun terjadi pada
masa sekarang. Pemikiran tokoh orang tua yang bernafsu kepada perempuan hingga
memiliki niat untuk melecehkannya adalah cerminan kehidupan masyarakat ada yang
tidak dapat mengendalikan keinginannya dan merupakan tindakan asusila. Jadi sebagai
cerminan keadaan masyarakat, Bulan bujur sangkar cukup memenuhi kriteria tersebut.
Keadaan masyarakat dapat terlihat dalam naskah drama ini, namun mungkin juga saya
setuju dengan pendapat kritikus-kritikus yang saya baca, yang memandang Bulan Bujur
Sangkar memiliki tingkatan di atas rata-rata atau juga inkonvensional, cara
penggambarannya terlalu tinggi hingga saya juga selaku pembaca hanya dapat
menangkap bagian-bagian yang dapat saya raih. Pada intinya naskah Drama Bulan Bujur
Sangkar sudah bisa menggambarkan keadaan masyarakat terutama kondisi
pemberontakan yang tejadi di Indonesia pada waktu itu.
DAFTAR PUSTAKA

 https://teaterlkkunimed.wordpress.com/2013/09/14/naskah-bulan-bujur-sangkar/
 http://ssgpelajarbahasa.blogspot.com/2011/11/pendekatan-ekspresif.html
 http://staffnew.uny.ac.id/upload/132049472/pendidikan/materi-kuliah-pengantar-
ilmu-sastra-ii-pendekatan-dalam-pengkajian-sastra.pdf
 http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Iwan_Simatupang
 https://id.wikipedia.org/wiki/Iwan_Simatupang#:~:text=Iwan%20Martua
%20Dongan%20Simatupang%2C%20lebih,%2C%20penyair%2C%20dan
%20esais%20Indonesia.&text=Tulisan%2Dtulisannya%20dimuat%20di
%20majalah,Mimbar%20Indonesia%20mulai%20tahun%201952.
 https://tirto.id/sejarah-pemberontakan-prri-permesta-di-sumatera-dan-sulawesi-
ga3g

Anda mungkin juga menyukai