1
A. IDENTITAS BUKU
Judul : Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya. Kisah Sufi dari Madura
Genre : Agama
ISBN : 978-602-1318-40-9
2
B. SINOPSIS BUKU
“Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya. Kisah Sufi dari madura” Buku karya Rusdi
Mathari ini merupakan kumpulan dari kisah seorang sufi dari Madura bernama Cak Dlahom.
Awalnya, kisah-kisah di dalamnya merupakan tulisan berseri di situs web Mojok.co sebagai
serial Ramadan dua tahun berturut-turut, yakni 2015 dan 2016. Tulisan pertamanya ialah
“Benarkah Kamu Merindukan Ramadan?” yang tayang pada 17 Juni 2015. Tulisan tersebut
menjadi perkenalan awal pembaca Mojok.co dengan tokoh-tokoh utama serial ini, antara lain
Cak Dlahom, Mat Piti, Romlah, Pak RT, istri Bunali, dan Sarkum anaknya, serta Pak Lurah.
Sejak pertama kali tayang, pada 17 Juni 2015, cerita Cak Dlahom ini telah mampu
menyedot perhatian pembaca situs mojok. Bahkan beberapa judul seperti “Takut Neraka tapi
Sudah Terbakar” dan “Cak Dlahom Mengaku Anjing”, keduanya telah dibaca hampir empat
puluh ribu kali. Sebuah pencapaian yang fantastis yang akhirnya menggerakkan hati tim
Mojok untuk mengumpulkan total 30 judul dalam 1 buku yang sangat “renyah”, namun syarat
pendidikan agama.
Serial Cak Dlahom sendiri berkisah tentang kejadian sehari-hari di sebuah desa di
Madura. Cak Dlahom yang menjadi sentra cerita, dikisahkan sebagai seorang duda tua yang
hidup sendirian di sebuah gubuk dekat kandang kambing milik Pak Lurah. Dlahom yang
sering dianggap kurang waras, aktif menjadi komentator atau penyulut perbincangan
bersubstansi ibadah. Dari perbincangan-perbincangan inilah, tetangga Dlahom mulai
merenungkan ulang mengenai pemahaman mereka tentang agama Islam.
Kisah keseharian Cak Dlahom dan para tetangganya juga dijalin menjadi kisah
bersambung. Kisah yang mengalir dalam perkembangannya turut memunculkan tokoh-tokoh
baru. Aliran kisah itulah yang menentukan pembabakan buku ini menjadi kronologis. Latar
penulisan buku ini di dua kali Ramadan, yang mana bulan Ramadan juga menjadi situasi
dalam serial ini, membuat buku ini dibagi dalam dua bab: Ramadan Pertama dan Ramadan
Kedua.
3
dianggap kurang waras oleh orang-orang di kampungnya, dia memperhatikan spanduk yang
dibentangkan di pagar masjid. Tulisan “Selamat datang ya Ramadan. Kami Rindu padamu”
yang ada di spanduk dibacanya berulang-ulang dengan kencang.
4
Kutipan di atas adalah salah satu percakapan Cak Dlahom dengan Mat piti tentang
suatu yang Allah wajibkan atas manusia adalah sesuatu yang manusia tidak suka
melakukannya, namun manusia yang tinggi derajatnya adalah ia yang rela melakukan sesuatu
hal yang ia tidak sukai, ikhlas semata-mata demi Allah.
Sama halnya dengan suatu penggalan kisah di atas, penggambaran kisah banyak
digambarkan dengan suatu percakapan sederhana seorang Cak Dlahom yang dianggap remeh
bahkan gila oleh orang-orang dikampunya. Banyak kisah lain yang total nya berjumlah 30
kisah, yang semua kisah itu memiliki alur kronologis yang jelas dan mengandung makna
tersirat yang begitu dalam.
Penggalan cerita tersebut sebenarnya bukan tentang orang yang sedang mencari
perhatian dengan meminta dipanggil sebagai anjing. Juga bukan tentang orang dengan
gangguan jiwa yang mengaku sebagai anjing. Kisah ini bermaksud mengingatkan kita agar
lebih rendah hati dengan tidak merasa paling mulia dan mudah melabeli orang lain.
5
“Kok lucu sih ikan-ikan itu. Ada di air malah mencari di mana air.”
“Sama lucunya dengan kamu, Mat”
“Kok saya, Cak?”
“Karena kamu selalu bertanya dan ingin mencari Allah, padahal Allah meliputimu
setiap saat. Lebih dari denyutan nadi yang paling halus yang pernah kamu dengar atau kamu
rasakan.”
“Iya, Cak, terima kasih saya diberi tahu..”
“Persoalannya, bagaimana kamu akan mengenali Allah sementara salatmu baru
sebatad gerakan lahiriah. Sedekahmu masih kautulis di pembukuan laba rugi kehidupanmu.
Ilmumu kaugunakan mencuri atau membunuh saudaramu. Kamu merasa pintar sementara
bodoh saja tak punya….”
“Ya Allah… astgfirullah… subhanallah…. betapa bodohnya saya, Cak…”
“Yang bilang kamu pintar itu siapa, Mat? Kamu itu hanya merasa pintar dan merasa
bodoh. Padahal dua-duanya kamu tak punya…”
Kutipan-kutipan di atas hanya beberapa bagian kecil dari penggalan percakapan Cak
Dlahom dari seluruh kisah di dalam buku ini. Menggambarkan betapa banyak dari kita yang
masih salahkaprah dalam hal agama. Kisah-kisah dalam buku ini menggambarkan cara
pandang Cak Dlahom yang begitu berbeda dengan orang-orang lazimnya. Cak Dlahom dapat
merubah cara pandang kita terhadap kekeliruan kekeliruan yang berasal dari permasalahan
sederhana di kehidupan sehari-hari.
Buku ini adalah pencerahan bagaimana islam bukan hanya tentang shalat lima waktu,
membaca Al Quran, puasa, zakat dan berhaji. Tak sebatas urusan-urusan kita dengan
Allah semata. Ucapan, perilaku, kasih sayang dan cara kita menghargai serta menghormati
hak orang lain adalah Islam. Islam adalah indah, namun keindahan itu hanya akan terlihat jika
umatnya dapat merepresentasikan Islam dalam kehidupan di dunia, bukan akhirat semata.
6
C. BIOGRAFI PENGARANG
7
D. KELEMAHAN DAN KEUNGGULAN KARYA
KELEMAHAN
KEUNGGULAN
Suguhan ceritanya pun enak dibaca diselingi dengan humor-humor ringan dan segar.
Karena itu, meskipun berisi petuah-petuah hidup yang mengandung nilai religius, namun
pembaca seakan diajak untuk menikmati cerita tanpa harus merasa sedang diceramahi.
Ditambah lagi cerita yang memotret kisah hidup sehari-hari orang biasa, berlatar belakang
masyarakat desa yang bersahaja.
Tak salah bukunya ini diberi judul yang cukup unik, "Merasa Pintar, Bodoh Saja tak
Punya,". Kata bodoh mewakili upaya reflektif cak Dlahom mengenai pengetahuan manusia
dalam mencari jati diri dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Sejumlah kisah di buku ini membincangkan ritus ibadah agama Islam yang dijalankan,
seperti wudhu, puasa, syahadat, salat hingga persoalan hidup sehari-hari. Di sinilah
kemampuan naratif cak Rusdi, sapaan akrab Rusdi Mathari, membuat pembahasan mengenai
ritual agama menjadi kaya makna dan tidak kaku.
8
E. SIMPULAN
Buku ini sangat bagus bagi semua orang yang ingin mengerti agama, terlebih hal-hal
prinsipiel dalam kehidupan sehari-hari. Bagi orang awam tentu juga sangat menyenangkan
membaca cerita agama yang dikemas secara renyah oleh Rusdi. Cara Rusdi bertutur dalam
buku ini setidaknya bisa merubah cara pandang kita terhadap kekeliruan-kekeliruan yang
berasal dari permasalahan sederhana di kehidupan sehari-hari.
Tapi tentunya tidak hanya untuk kalangan awam, jika dimaknai dengan mendalam
buku ini juga sangat mungkin digunakan sebagai renungan bagi pendakwah. Hal-hal
prinsipiel yang disinggung buku ini bisa dimaknai lebih mendalam agar tidak terjadi
permasalahan seperti di atas. Buku ini layak menjadi referensi pendakwah-pendakwah agar
lebih elegan dalam bertindak, cerdas bertutur, dan kontekstual saat menyiarkan agama.
Tapi kini Rusdi tidak ada lagi. Beliau kembali ke hadapan pencipta, dengan
menyisakan kisah-kisah Cak Dlahom yang bisa kita pelajari berulang kali. Setidaknya Rusdi
meninggalkan buku ini untuk kita pahami. Penulis berharap agar semakin banyak orang
seperti Rusdi yang renyah, dewasa, bijaksana, dan jenaka dalam berdakwah.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan dengan penggalan kata-kata Rusdi lewat Cak
Dlahom-nya, “Kamu itu hanya merasa pintar dan merasa bodoh. Padahal dua-duanya kamu
tak punya….”