Sayangnya tidak banyak dokumen atau catatan tentang Sastra Rejang. Kendati
demikian, Sastra Rejang masih bisa bertahan melalui tutur lisan, yang hingga saat
ini masih tetap digunakan seperti pada saat acara berasan (berunding/lamaran) dan
sebagainya. Sastra Rejang juga masih digunakan oleh orang pintar (dukun),
biasanya sebagai mantra-mantra.
Nasib Sastra Rejang inipun semakin longgar, jika saja tidak sesegera mungkin
ditumbuh kembangkan kepada generasi muda, maka Sastra Rejang yang kini hanya
bertahan sebatas tutur lisan benar-benar akan punah.
Tampaknya, belum ada Perguruan Tinggi (PT) di Kabupaten Rejang Lebong yang
tertarik melakukan penelitian atau mendalami Sastra Rejang sebagai kajian ilmiah.
Padahal, Sastra Rejang ini juga sebenarnya bisa dijadikan sebagai kurikulum non
reguler, yang bisa diajarkan kepada para mahasiswa, sehingga kedepan Sastra
Rejang masih tetap bertahan dan memiliki dokumen yang terus berkesinambungan
dipelajari para generasi penerus bangsa.
Sedangkan, para generasi muda semakin hari semakin suntuk dengan budaya
asing. Apalagi di era digital ini, gempuran budaya asing sangat mudah
mempengaruhi generasi muda. Dia bisa masuk lewat mana saja, bahkan bisa
masuk sampai ke kamar-kamar pribadi. Maka jangan heran, kalau nanti generasi
Rejang bisa kehilangan identitas aslinya.
Menurut tokoh budayawan dan penulis Sastra Rejang, Lahmudin Ani Wijaya, Sastra
Rejang bisa hilang karena keterlambatan Perguruan Tinggi menghadirkan para
pakar budaya, khususnya Sastra dan Seni Rejang.
Apalagi tokoh/budayawan yang konsisten menulis Sastra Rejang saat ini sudah
banyak yang lebih dahulu dipanggil Sang Maha Kuasa. Di antaranya, A Sani, A
Rafli, Gulam Ahmad, Arifin Jamil dan lainnya. Bahkan kabarnya, hanya tersisa satu
orang saja, yakni Lahmudin Ani Wijaya.
"Kita butuh generasi muda yang menguasai Sastra Rejang, baik itu menguasai
secara ilmiah, juga sebagai Sastrawan Rejang. Sementara, yang mampu mencetak
intelektual muda dengan kemampuannya mengkaji Sastra Rejang salah satunya
adalah Perguruan Tinggi," kata penulis naskah drama Berbahasa Rejang, Cao
Maket Rajo.
Belum ada kata terlambat, untuk menularkan Satra Rejang ini kepada generasi
penerus. Tetapi, jika tidak sesegera mungkin dilakukan, siapa nanti yang akan
menjadi sumbernya atau menjadi pengajarnya. Mumpung sekarang masih ada,
walaupun hanya segelintir orang saja.
"Saya berharap, Perguruan Tinggi bisa berperan. Sehingga, salah satu kekayaan
budaya bangsa ini tidak hilang ditelan zaman," tukas Alumnus Filsafat UGM ini.
Rejang Lebong semestinya bisa belajar dari daerah Jawa. Bagaimana mereka
mampu mempertahankan dan mendukomentasikan Sastra Jawa. Bahkan, beberapa
Perguruan Tingginya ada yang berani membuka jurusan Sastra Jawa. Kendati
demikian, mahasiswanya tidak hanya orang dengan latar belakang suku Jawa,
melainkan banyak juga dari daerah luar Jawa, bahkan dari luar negeri.
"Orang Jawa juga mendirikan Javanologi yang dipimpin Damarjati Supadjar dan Dr
Soeroso. Mengapa kita tidak mencontohnya dengan dengan mendirikan
Rejangnologi? Sastra lain bisa tumbuh dan berkembang, karena kepedulian
masyarakat dan cerdik pandai terhadap budaya mereka sendiri," terang Lahmudin.
Agar Sastra Rejang bisa tumbuh dan bekembang dan mampu sejajar dengan
sastra-sastra lainnya di Indonesia, yang dibutuhkan adalah bermunculannya
sastrawan Rejang, kritikus sastra Rejang dan peneliti sastra Rejang. Sehingga ke
depan khasanah budaya ini bisa hidup dan dipelajari di banyak Perguruan Tinggi di
Indonesia.
"Kita berharap Sastra Rejang tidak punah. Sekarang Sastra Rejang masih
digunakan sebagai mantra-mantra, ratapan orang tua di ladang-ladang dan
sebagainya," pungkas pria yang masih aktif menulis Sastra Rejang ini.
A. Rejung
Rejung merupakan pesan pendek dalam bentuk bahasa yang indah. Biasanya terdiri
dari dua kalimat sampai empat kalimat saja. Rejung juga biasanya dipakai oleh
bujang gadis ketika menegur orang yang disukainya atau bujang gadis ketika
melakukan sindiran. Rejung hampir seperti pepatah, tetapi bukan pepatah.
B. Sambai
C. Beringit
Beringit adalah bertutur sendiri, bila merasa sedih. Biasanya bertutur ini oleh orang
dulu dilakukan di ladang, orang tua yang mengasuh anak atau seorang gadis yang
sedang mengasuh adiknya.
D. Andai-andai
Andai-andai merupakan cerita yang mengarah untuk pendidikan. Dalam sastra jenis
ini, orang tua biasanya menceritakan kisah-kisah atau dongeng kepada anaknya,
agar sang anak bisa mengerti dan tidak melakukan hal serupa. Tujuan sastra ini
untuk mengajarkan anak-anaknya, supaya bersikap lebih pandai.
E. Guritan
F. Kindun
Kindun adalah jenis Sastra Rejang yang paling tinggi. Kindun merupakan Sastra
Rejang yang berbentuk puji-pujian kepada sesuatu, bisa manusia, juga hewan.
Tujuannya, agar sesuatu hal yang dilakukan tidak berbuah celaka, namun
sebaliknya bisa memberi manfaat kepada dirinya. Kindun ini biasa dipakai oleh
pawang lebah, pawang ular dan sebagainya.
Kesulitan orang mempelajari Sastra Rejang ini salah satunya pada pengucapannya.
Sebab, aksara rejang dikenal tidak lentur. Namun, jika dipelajari dengan serius,
tentunya semua hal yang sulit bisa dengan mudah dikuasai. Bahkan, ada orang
asing yang mampu dan benar-benar menguasai Sastra Rejang, baik dari segi tulisan
maupun pengucapannya.
Bahasa Rejang yang sulit pengucapannya biasa disebut dengan istilah "buah
imbang" dan "buah mbayang".
- Ngg
Contohnya: Temunggeu.
- Nda
Contoh:Kundei
- Nja
contoh: Temunjuk
- Mba
contoh:Mbeak
Lahmudin mengatakan, adanya Sastra Rejang dan Aksara Rejang adalah bukti,
bahwa Suku Rejang sudah memiliki kebudayaan yang tinggi sejak dulu sebelum
kemerdekaan.
Artinya:
Artinya:
Contoh lainnya
Pengedingku dibeleu
Uyo uku suang, temngoa desau angin, ricik bioa ndak unen tingga.
Penulis:
Iman Kurniawan
Mantan Jurnlis Harian Radar Pat Petulai, sekarang mengelola blog pribadi
www.kopicurup.id dan berdomisili di Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu.