“PENERAPAN PENDEKATAN RELIGIUSITAS DAN PSIKOLOGI SASTRA DALAM
KRITIK TERHADAP ROMAN ATHEIS KARYA ACHDIAT K. MIHARDJA” MATA KULIAH KRITIK SASTRA Dosen Pengampu : Drs. Joni J. Loho, M
DISUSUN OLEH: NAMA : AKWILA GIAN TULANGI NIM : 19402057 KELAS : A SEMESTER : IV
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI MANADO 2021 A. PENERAPAN PENDEKATAN RELIGIUSITAS TERHADAP ROMAN ATHEIS Pendekatan religiusitas adalah nilai yang berkaitan antara manusia dengan Tuhan, seperti perasaan takut berdosa, dan mengakui kebesaran Tuhan. Kepercayaan kepada Tuhan memberikan dasar bagi seseorang untuk dapat memiliki pegangan, pedoman hidup, moral, dan jalan kebenaran serta mengakui adanya kekuatan lain yang lebih besar dan berkuasa lebih dari manusia sendiri. Roman Atheis menggambarkan kehidupan tokoh utama Hasan sebagai orang yang taat beribadah kepada Tuhan dalam agama yang dianutnya (islam). Ajaran agama yang begitu ditekuninya juga berasal dari teladan kedua orang tuanya yang sama-sama taat melaksanakan perintah agama dan rajin beribadah menyembah Tuhan. Hal itu tak mengherankan karena kedua orang tua Hasan pun sejak kecil juga dididik dalam ajaran agama islam oleh kakek-nenek Hasan dari kedua belah pihak. Hasan dan keluarganya begitu tekun dalam melaksanakan ibadahnya, rajin Sembahyang lima kali sehari, mengaji, dan tak pernah melewatkan puasa, ini juga karena pengaruh cerita tentang neraka yang didengar Hasan sedari Ia berusia 5 tahun terus terngiang-ngiang tentang keadaan neraka yang akan ditempati oleh anak-anak nakal dan tidak mau sembahyang maka Hasan pun begitu tekun menjalani ajaran agama dan kepercayaannya kepada Tuhan. Kedua orang tua Hasan, juga memperdalam ilmu agama lewat ilmu mistik tarekat, yang kemudian diikuti pula oleh Hasan. Keadaan mulai berubah saat Hasan bekerja di Bandung, Ia bertemu dengan teman masa kecilnya Rusli bersama Kartini. Kehidupan Rusli yang tidak mempercayai keberadaan Tuhan mulai mempengaruhi Hasan. Walaupun begitu banyak wejangan yang diberikan orang tua Hasan kepadanya lantas Ia berusaha ingin mengislamkan Rusli dan Kartini namun tekadnya runtuh menghadapi kecakapan Rusli dan membahas soal-soal kehidupan. Semakin jelas lagi ketika Ia mulai jatuh cinta kepada Kartini, pengaruh Rusli semakin menjadi. Iman Hasan kepada Tuhan terus menciut ditambah munculnya Anwar, teman Rusli yang menganut paham Atheis selayaknya Rusli. Hasan akhirnya melupakanTuhan dan berpaling kepada “soal-soal kehidupan nyata yang harus diselesaikan” begitu kira-kira kata Rusli sahabat Hasan itu dan juga yang utama kepada cintanya, Kartini. Dengan begitu pergaulan Hasan mulai semakin rapat dengan Rusli, Kartini dan tak terkecuali juga Anwar. Tindak tanduk Hasan pun berubah, Ia mulai tidak melaksanakan kewajiban agamanya, berbohong, dan tidak lagi bersedekah tetapi malah mengusir fakir miskin yang meminta-minta kepadanya. Kehidupan Hasan sudah berbalik 180° sejak bergaul dengan teman- temannya. Ia mulai melawan orang tuanya sendiri karena perbedaan paham dan pendapat akan agama dan keberadaan Tuhan. Hasan meninggalkan Tuhan. Karena murtad, Hasan pun mendapatkan akibatnya, Ia ditinggalkan orang tua, juga istrinya. Dalam kehancurannya Hasan menyesal Ia ingin berbalik kepada jalan Tuhan namun serasa tidak ada jalan lagi baginya untuk kembali, hingga akhir cerita Hasan tertembak mati oleh tentara Jepang dengan ucapan terakhirnya “Allahu Akbar”. Dari uraian ini terdapat unsur religius di dalam roman Atheis. Menurut Hemat saya bahkan dari judul roman ini juga sudah tersingkap makna religius di dalamnya, “Atheis” artinya tidak mempercayai keberadaan Tuhan, yang kebalikannya adalah “Theis” atau Mempercayai adanya Tuhan. Bagaimana pengarang menyingkapkan ajaran agama dari roman ini adalah dengan melalui ketakwaan, keimanan, ketaatan, dan ketekunan tokoh Hasan dalam menganut agama kepercayaannya yaitu Islam. Bukan hanya Hasan namun juga kedua orang tuanya. Dengan pendekatan religius, saya mendapati bahwa kehidupan manusia akan lebih teratur dan memiliki dasar nilai-nilai moral dari kepercayaan kepada Tuhan. Ketika lepas dari sang pencipta seperti tokoh Hasan yang mulai meninggalkan Tuhan, maka yang mucul adalah tindakan-tindakan yang kurang baik seperti tidak merasa salah jika berbohong, tidak lagi mau membantu fakir miskin, dan mulai tidak hormat atau melawan orang tua. Namun itu adalah sebuah pergumulan setiap orang ketika berada di lingkungan yang berbeda harus memiliki komitmen yang kokoh tidak seperti Hasan yang semula berapi-api dalam keagamaan namun bimbang. Kejatuhan Hasan karena telah berpaling dari Tuhan akhinya disesalinya dan ketika ajalnya tiba, Ia pun berusaha kembali kepada kepercayaannya yang semula kepada Tuhan ketika mengatakan “Allahu Akbar”. Jadi nilai religius dalam Roman Atheis ini adalah untuk berusaha memelihara iman, kepercayaan kepada Tuhan dengan memiliki pendirian yang kokoh dalam Tuhan agar tidak mudah diombang-ambingkan, dan yang terakhir mungkin ada saat-saat seseorang jatuh atau murtad kepada Tuhan, namun secepat kita tahu bahwa hal tersebut sudah tidak sesuai dengan pegangan hidup kita dalam iman, secepat itu pula kita berusaha kembali dan bertobat kepada Tuhan.
B. PENERAPAN PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA TERHADAP ROMAN
ATHEIS Psikologi sastra adalah sebuah interdisiplin antara psikologi dan sastra. Daya tarik daripada kajian psikologi sastra terletak pada masalah manusia yang melukiskan potret jiwa. Psikologi sastra tidak bermaksud memecahkan masalah-masalah psikologi. Tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya, melalui pemahaman terhadap para tokoh, misalnya masyarakat dapat memahami perubahan, kontradiksi, dan penyimpangan-penyimpangan lain yang terjadi di masyarakat, khususnya yang terkait dengan aspek kejiwaan dan pesan-pesan terselubung yang hendak disampaikan. Dalam Roman Atheis, karakter dari tokoh Hasan mengalami perkembangan dari sebelumnya taat kepada Agama hingga Ia berubah dan meninggalkan Tuhan. Awalnya ada pertentangan dalam diri Hasan yang mengguncang pikirannya, Ia begitu marah dan geram kepada Rusli yang sudah tidak beragama lagi. Ia begitu tersinggung dengan setiap ucapan Rusli dan menganggapnya kafir. Namun karena kecakapan Rusli, akhirnya pola pikir Hasan pun mulai berubah. Ia mulai menerima ajaran dan masukan Rusli yang didorong oleh perasaannya kepada Kartini yang juga merupakan Atheis. Terjadi pertentangan yang hebat dalam diri Hasan, namun karena perasaan cintanya hingga Ia mulai merasa senang selalu berada dekat Kartini maupun Hasan hingga cara pandang mereka pun juga ia turuti. Ternyata walaupun didikan yang sedari kecil Hasan terima tentang agamanya tak dapat Ia pertahankan karena “cinta beda agama” yang tercipta atau lebih tepatnya cinta dengan pertentangan agama. Hasan lebih mengutamakan perasaan cintanya kepada Kartini dibandingkan dengan keyakinannya sendiri. Hasan terkadang cemburu dan iri dengan kedekatan Kartini dengan Rusli. Ia pun sering mengunjungi rumah Rusli dengan tujuan untuk bertemu Kartini. Hingga Ia tahu bahwa ternyata Kartini turut menyukainya pula, Hasan begitu bersemangat dan begitu senang ketika ia dapat dicintai oleh orang yang dicintai:kartini. Hingga tokoh Anwar muncul, seorang yang anarkis, dan tidak sopan, suka berbuat sesukanya dan selalu ingin menjadi pusat perhatian. Hasan kurang menyukai Anwar karena suka melirik pada Kartini. Pergolakan juga terjadi saat Hasan pulang ke kampungnya Panyenderan. Kedua orang tua Hasan yang sangat membangga-banggakannya kini berubah total, mereka sangat kacau, putus asa, kecewa, sedih, dan marah bercampur aduk ketika tahu bahwa anak mereka Hasan sudah menyeleweng dari kepercayaan kepada Tuhan yang sudah diajarkan kepadanya sejak kecil. Karena kekecewaan yang besar itu, bahkan Ayah Hasan tidak memberi maaf kepadanya hingga meninggal. Kejujuran Hasan kepada kedua orang tuanya itu pula disesalinya, pikirannya begitu kacau hatinya hancur karena telah menjadi anak durhaka dan tidak mengindahkan perintah orang tuannya. Hasan pun mencari pelipur lara ke Kartini yang sanggup menghiburnya kala itu yang kemudian menjadi istrinya. Cerita ini belum berakhir di situ, namun masalah baru pun berdatangan, penyakit TBC yang diderita Hasan menjadi dan percekcokan pun terjadi pada rumah tangga Hasan. Karena curiga akan hubungan istrinya dengan Anwar, Ia terus berkata kasar kepada Kartini hingga menempelengnya karena sudah benar-benar tak tertahankan amarahnya itu. Kartini pun ikut terpukul, Ia tidak tahan lagi dengan perlakuan suaminya itu hingga ia lari meninggalkan rumah. Pikir saya itu adalah hal yang mungkin wajar-wajar saja sebagai seorang perempuan yang merasa tidak memperoleh perlindungan di rumahnya sendiri tentunya akan segera melarikan diri dari tekanan tersebut. Kartini lari dan tanpa sengaja bertemu Anwar. Kejadian di tempat penginapan tidak pernah diduga oleh Kartini. Ketika ia begitu terpuruk dengan keadaan rumah tangganya, ia juga ditimpa ketakutan dan kekhawatiran yang amat dasyat kala itu ketika Anwar hendak mencoba memperkosanya. Pikiran Kartini begitu kacau sama halnya juga dengan Hasan. Hasan begitu Khawatir dan menyesali perbuatannya terhadap Kartini. Namun hubungan mereka berakhir dengan perceraian. Hasan begitu frustasi dengan kehidupannya. Ia sudah ditinggalkan oleh orang-orang yang dicintai, baik istrinya maupun kedua orang tuanya. Kemarahan Hasan mulai menjadi saat Ia mengetahui bahwa Anwar sempat membawa Kartini ke Penginapan. Hasan murka dan begitu membara-bara dalam amarahnya yang tak terkendali. Yang ada dalam pikiran Hasan adalah untuk segera membalas dendam kepada Anwar. Hasan jadi gelap mata, tidak memikirkan hal-hal lain lagi, bahkan tidak memperhatikan bahaya yang ada di sekitar, hingga sebelum meluapkan amarahnya, Ia sudah terlebih dahulu tewas ditembak tentara Jepang. Sungguh Roman Atheis ini begitu mengunggah pikiran dan perasaan saya dengan turut merasakan bagaimana pergolakan yang dialami para tokohnya. Bagaimana kebimbangan, keinginan/nafsu, rasa-rasa lainnya seperti marah, iri hati,dendam, kecewa dan dangkal dapat memberikan akibat-akibat tertentu jika hanya diluapkan dengan sesuka hatinya saja, namun sebaiknya, pikiran positif pengendalian diri dan mengasihi sesama sebaiknya diperbanyak agar dapat memperoleh hasil positif dan baik. Id pada tokoh Anwar adalah salah satu yang paling terlihat. Ketika berada di tempat penginapan, Anwar tidak dapat menahan keinginannya yaitu untuk meniduri Kartini walaupun Kartini sudah mulai mengancam, namun Awar tetap memaksa karena perasaannya yang sudah tidak terkendali, ia ingin segera memuaskan keinginannya itu namun Kartini berhasil lari. Terlihat pula id pada tokoh Hasan dan Rusli saat berkunjung ke rumah Kartini, mereka makan begitu lahap dan banyaknya karena memang sangat kelaparan. Merekapun sangat menikmati makanan tersebut walau Hasan sempat muntah- muntah lantaran tidak mengerti candaan Rusli dan Kartini tentang makanan Cina. Ada pula Id pada tokoh Hasan yang menyadari dan mengagumi bahwa Kartini ialah tokoh yang sangat mengagumkan, yang mampu membuat Hasan jatuh cinta seketika. Selain itu, ada beberapa gambaran dimana tokoh Hasan berulang kali ingin menemui Kartini, maka daripada itu lebih sering bertandang kerumah kawannya yakni Rusli, hanya untuk menemui Kartini. Sehingga keinginan-keinginan untuk terus muncul itulah yang membuat Hasan mengacu pada komponen Id. Berikut cuplikan, tokoh Hasan yang mengarah pada Id “Aku tidak bisa lanjut. Hatiku berdegup tak karuan. Malukah aku, atau menyesal atau malah cemas, karena aku sudah beradu kulit dengan seorang perempuan yang bukan muhrim? Entahlah, belum pernah hatiku berdegup demikian. Belum pernah aku merasa dihinggapi perasaan yang demikian dengan sehebat itu. Memang hebat benar pengaruh-pengaruh yang bekerja keras atas diriku pada malam itu: kesunyian malam, harum bedak, dan minyak wangi, dan selanjutnya masih terasa benar diujungj jari-jari dan telapak kedua belah tanganku keempukan buah dada Kartini. Ketika dia hendak jatuh terlentang ke dalam pelukanku.”(Atheis, 85) Melalui penuturan tersebut dapat diketahui apabila dalam komponen Id sesungguhnya tokoh Hasan memiliki dorongan nafsu atau keinginan terhadap keberadaan Kartini, namun di lain pihak ia menyadari bahwa hal tersebut bertentangan dengan agama yang ia anut. Ia paham betul bahwa bersentuhan ataupun berhubungan secara langsung dengan orang yang bukan muhrimnya ialah sesuatu yang dosa. Namun, dorongan nafsu yang ada seringkali membuatnya lupa akan wujud keagamaan yang dianut. Selain itu, id juga berhubungan terhadap suatu keadaan psikologis dimana individu tersebut dapat dengan mudah terpengaruh terhadap keadaan. Hal inilah yang juga berkembang dan terjadi pada tokoh Hasan. Dalam keberadaannya, Hasan mewujudkan tokoh yang mudah dikelabui terhadap keadaan sekitar. Hal tersebut dapat dilihat dari keberadaan tokoh Rusli yang mampu dengan mudah memasukkan Hasan pada hal-hal yang sesungguhnya tidak sesuai dengan kehidupan Hasan. Dimana, Hasan yang mulanya merupakan sosok yang religius seketika berubah untuk ikut-ikutan menjadi individu yang tidak begitu mementingkan persoalan agama dan kemudian lebih berfokus pada hal-hal yang bersifat duniawi. Hal tersebut terjadi karena Hasan melihat bahwa lingkungan sekitarnya menjadi sangat asyik dan tidak terlalu kaku. Sehingga ia pun terbawa arus keadaan yang ada. Ego pada roman ini terdapat juga pada tokoh Rusli dimana Ia sangat pandai dalam menyampaikan pendapatnya serta cara-cara bersikapnya begitu baik terutama terhadap tokoh Hasan. Rusli tahu menempatkan diri dalam perbedaan pendapat yang ada antara dirinya dengan Hasan, tokoh Rusli ini tetap tenang dan mampu mengatasi segala kesalahpahaman hingga akhirnya Ia dapat memengaruhi tokoh Hasan. Dalam roman Atheis keberadaan ego yang dimiliki Hasan diwujudkan dengan serangkaian cara-cara logis yang ia wujudkan untuk mendapatkan hati seorang Kartini. Dimana dalam kehidupannya, Hasan yang merupakan seorang pemeluk agama taat rela meninggalkan semua hal yang dianutnya demi memiliki pemikiran yang sama dengan Kartini. Hal tersebut ia lakukan agar ia dapat dengan mudah masuk dalam kehidupan Kartini dan mampu diterima oleh orang-orang yang ada disekitarnya. Sehingga, Kartini pun mampu menerima Hasan karena sesuai dengan gaya hidupnya. Di lain pihak, tak dapat dipungkiri bahwa secara sadar sesungguhnya Hasan memang ingin keluar daripada zona nyaman, yakni keluar dari ilmu-ilmu perkara agama. Ia ingin memuaskan hasrat dan keinginannya terhadap persoalan-persoalan duniawi, yang akhirnya ia memutuskan untuk mengikuti banyak kegiatan dan perdebatan dengan kawan-kawan barunya. Hingga akhirnya ia pun melupakan perkara agama yang pernah dianutnya. Berikut cuplikan perkataan Hasan dalam Atheis “Rupanya perkataan “Atheis” itu, bunga layu itu dengan tiba-tiba sudah berubah manjadi seekor ular cobra yang tegak mendesis-desis hendak menggigit, “jangan! Janganlah sekali lagi saudara mengatakan, bahwa saya ini Atheis! Karena………….. (hening beberapa jurus. Kemudian dengan suara merendah) karena saya takut. Takut neraka! Dan memang neraka itu ada. Saudara! Ada! (suaranya naik lagi)” , (Atheis, 185- 186) Dalam kutipan tersebut sesungguhnya secara sadar Hasan mengetahui pula bahwa keinginannya untuk keluar dari dogma-dogma agama dan mempercayai kawanannya juga merupakan hal yang buruk. Namun, hal tersebut pun tidak sesuai dengan keinginannya yang jelas-jelas ingin sekali mengetahui kehidupan yang nyata secara duniawi. Namun diakhirnya, Hasan pun kemudian sadar pula bahwa pilihan yang ia ambil selama ini ialah suatu keputusan yang salah. Pilihannya untuk lebih berfokus pada hal-hal yang bersifat duniawi dan meninggalkan ilmu-ilmu kebatinan justru memasukkannya pada jurang kesengsaraan yang kemudian membuatnya sadar bahwa ia telah cukup jauh dengan Tuhan. Bahkan orang-orang yang ia percayai dan ia sayangi kemudian meninggalkannya satu persatu baik itu Kartini maupun hilangnya kepercayaan orang tua Hasan terhadap dirinya. Hati nurani mencakup informasi tentang hal-hal yang dianggap buruk oleh orang tua dan masyarakat. Perilaku ini sering dilarang dan menyebabkan buruk, konsekuensi atau hukuman perasaan bersalah dan penyesalan. Berikut merupakan kutipan daripada penyesalan Hasan saat memutuskan untuk tidak menganut perihal agama: “Kamu telah berdosa! Ayahmu sampai mati, karena tak tertahankan lagi penderitaanya memikirkan pendirianmu yang sesat! Kamu telah telah ingkar dari agamamu sendiri! Kamu telah pecat dari imanmu kepada Tuhan! Telah murtad! Kafir! Atheis!” Mendesing-desing suara itu, seolah-olah dalam lobang perlindungan yang gelap itu ada seorang yang berdiri di depan Hasan, menghardik dan mencela habis-habisan. Hasan memejamkan matanya lagi. Tidak berani melihatb apa-apa lagi. Tapi air matanya merembes diantara celah kelopak matanaya (Atheis, 217). Melalui pernyataan yang tercantum dalam roman Atheis tersebut, dapat diketahui bahwa apa yang dilakukan Hasan sesungguhnya memang merupakan hal yang amat buruk. Ia telah melenceng dan melenggang jauh daripada ajaran agama. Hingga harus banyak konsekuensi yang diterima Hasan. Salah satunya ialah kepergian Ayahnya yang merasa kecewa dan tidak becus membesarkan Hasan sebagai anak yang baik. Selain itu, keberadaan nilai-nilai ataupun norma yang ada dianggap tidak sesuai dengan kehidupan Hasan yang melenceng dari hal-hal yang bersifat keagamaan. Hal tersebutlah yang merupakan bagian daripada superego dalam kehidupan Hasan sebagai tokoh utama. Selain beberapa hal di atas, dalam roman Atheis juga menceritaka secara rinci mengenai guncangan kejiwaan atau hal-hal yang berkaitan dengan lekukan emosi lainnya dari sang tokoh utama, Hasan, dalam mengalami perubahan-perubahan di hidupnya. Retorika kehidupan mengenai perubahan kepercayaan yang dialami Hasan karena tidak bisa memilih pendirian yang benar, dengan mengulik melalui cara Rusli berbicara, mengemukakan pendapat yang ramah, dan simpatik memperoleh sukses, dapat dengan mudah memasuki ruang-ruang di otak Hasan. Hal tersebutlah yang kemudian membuat Hasan menjadi dilema. Ia merasa takut dengan ucapan Rusli yang sangat berbeda dengan ajaran agamanya, namun ucapan-ucapan Rusli tersebut juga membuatnya terbius secara tidak sadar. Ia pun kemudian merasa menjadi manusia baru. Karena imannya yang telah goncang, ia tidak lagi merasa sebagai teis yang tulen, tetapi lebih merasa sebagai atheis meskipun Rusli dan Anwar belum menganggapnya sebagai atheis. Setelah memasuki dunia atheis kegoncangan kepercayaan yang dideritanya berkembang menjadi konflik kejiwaan. Konflik itu muncul semenjak ia mulai kenal dengan Kartini. Hasan yang tadinya berkeyakinan mistik dengan pembatasan pergaulan, merasa kaget dengan kenyataan hidup modern, bebas lepas yang diperlihatkan Kartini yang kemudian dikawininya. DAFTAR PUSTAKA https://www.ruangbacaan.com/2019/01/ebook-atheis-achdiat-k-mihardja.html https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/seloka/article/download/17289/8735 http://eprints.umm.ac.id/25277/ http://aninditya-ardhana-riswari-fib14.web.unair.ac.id/artikel_detail-168255-Psikologi %20Sastra-RELASI%20KONSEP%20FREUD%20DENGAN%20TOKOH%20HASAN %20DALAM%20NOVEL%20ATHEIS%20KARYA%20ACHDIAT%20K %20MIHARDJA:%20SEBUAH%20KAJIAN%20PSIKOLOGI%20SASTRA.html