Anda di halaman 1dari 160

LAPORAN TUGAS MANDIRI

“MENGAPRESIASI SELURUH DRAMA ANGKATAN 66 (1966-1970)”


MATA KULIAH APRESIASI DRAMA DAN TEATER
Dosen Pengampu : Drs. Joni J. Loho, M.Pd

DISUSUN OLEH:
AKWILA GIAN TULANGI
(19402057)
KELAS A SEMESTER IV

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI MANADO
2021
PERTANYAAN
1. Apa judul dramanya?
2. Apa jenis dramanya?
3. Masalah apa yang disampaikan pengarang?
4. Bagaimana tanggapan (perasaan, pikiran dan emosi) Anda terhadap masalah dalam teks
drama tersebut?
Teks drama dilampirkan dalam tugas

JAWABAN
A. Arifin C. Noer

1. Judul Drama : Kapai-Kapai (1970)

Jenis Drama : Tragedi

Masalah yang disampaikan pengarang adalah konflik sosial dan konflik batin
yang dialami seorang babu karena diperlakukan dengan semena-mena oleh
majikannya. Abu sebagai pesuruh yang bekerja di kantor selalu mendapat makian
serta pukulan-pukulan yang jahat dari majikan. Walaupun demikian ia memiliki suatu
pengharapan untuk memperoleh kebahagiaan namun hanya sampai di angan-angan
dan selalu saja menderita. Ketika melihat naskah drama ini maka dapat dikatakan
drama ini merupakan hasil dari penghayatan dan perenungan pengarang mengenai
kehidupan yang ada di Indonesia waktu itu, terjadi ketimpangan sosial di mana-mana,
masyarakat melarat dan tidak berdaya menghadapi pemerintah.

Tanggapan saya sebagai pembaca begitu kesal dengan cara dan perlakuan yang
tidak sepantasnya diterima oleh seorang Abu. Walaupun Ia hanya bekerja sebagai
babu, tetapi ia juga memiliki kedudukkan sebagai manusia selayaknya majikannya.
Tetapi pada kenyataan sering terjadi perlakuan semena-mena, kata-kata kebun
binatang, dan lain sebagainya begitu mengguncang perasaan dan emosi saat saya
sebagai pembaca merasa turut ikut andil merasakan penderitaan dan tekanan yang
dasyat yang menimpa tokoh Abu. Bagaimana seorang bisa kuat bertahan menghadapi
tekanan yang sedemikian itu adalah hal yang luar biasa, namun sebenarnya juga
mengecewakan karena harapan yang diberikan oleh tokoh Emak kepada Abu adalah
sesuatu yang “palsu” dalam artian seperti Namanya suatu hal yang diimpikan oleh
Abu tidak lain dan tidak bukan adalah tipu daya belaka, selayaknya Namanya cermin
tipu daya yang berusaha diraihnya, itulah angan-angan, cita-cita, kebahagiaan dan
semua mimpi-mimpi Abu untuk keluar dari kenyataan yang membuatnya tersiksa.
Selebihnya, tokoh Kakek adalah tokoh yang realistis tetapi mampu menghadirkan
makna hidup yaitu memperkenalkan agama atau sang Pencipta, Tuhan yang adalah
pusat dan sumber segala sesuatu yang berkuasa menciptakan dan menghancurkan.
Kebahagiaan sejati yang hanya dapat ditemukan saat seseorang hidup dalam Tuhan.
Hal ini memang benar dan akan sangat melegakan saat semua orang pun dapat
merasakannya dan memperolehnya sebagai bagian yang tak akan binasa.

Naskah Drama:

Kapai-Kapai
Arifin C. Noer
(1970)

Drama lima babak

Para pelaku :
Abu
Iyem
Emak
Yang Kelam
Bulan
Majikan
Kakek
Jin
Putri
Pangeran
Bel
Pasukan Yang Kelam
Kelompok Kakek
Seribu Bulan Yang Goyang-Goyang
Gelandangan
Tanjidor dll

BAGIAN PERTAMA

Dongeng Emak

Emak : Ketika prajurit-prajurit dengan tombak-tombaknya mengepung istana cahaya


itu, sang Pangeran Rupawan menyelinap diantara pokok-pokok puspa, sementara air
dalam kolam berkilau mengandung cahaya purnama. Adapun sang Putri Jelita,
dengan debaran jantung dalam dadanya yang baru tumbuh, melambaikan setangan
sutranya dibalik tirai merjan, dijendela yang sedang mulai ditutup oleh dayang-
dayangnya. Melentik air dari matanya bagai butir-butir mutiara.

Abu : Dan sang Pangeran, Mak ?


Emak : Dan Sang Pangeran, Nak ? Duhai, seratus ujung tombak yang tajam berkilat
membidik pada satu arah ; purnama di angkasa berkerut wajahnya lantaran cemas, air
kolam pun seketika membeku, segala bunga pucat lesi mengatupkan kelopaknya,
dan...

Abu : Dan Sang Pangeran selamat, Mak ?

Emak : Selalu selamat. Selalu selamat.

Abu : Dan bahagia dia, Mak ?

Emak : Selalu bahagia. Selalu bahagia.

Abu : Dan sang Putri, Mak ?

Emak : Dan sang Putri, Nak ? Malam itu merasa lega hatinya dari tindihan
kecemasan. Ia pun berguling-guling bersama Sang Pangeran dalam mimpi yang
sangat panjang, diaman seribu bulan menyelimuti kedua tubuh yang indah itu penuh
cahaya.

Abu : Dan bahagia, Mak ?

Emak : Selalu bahagia. Selalu bahagia.

Majikan : Abu !

Emak : Sekarang kau harus tidur. Anak yang ganteng mesti tidur sore-sore.

Abu : Sang Pangeran juga tidur sore-sore, Mak ?

Emak : Tentu. Sang Pangeran juga tidur sore-sore karena dia anak yang ganteng. Kau
seperti Sang Pangeran Rupawan.

Majikan : Abu !

Abu : Mak ?

Majikan : Abu !

Abu : Bagaimana keduanya bisa senantiasa selamat ?

Majikan : Abu !

Emak : Berkat cermin tipu daya.


Abu : Berkat Cermin Tipu Daya, Mak ?

Majikan : Abu !

Emak : Semuanya berkat Cermin Tipu Daya.

Abu : Cuma berkat itu ?

Majikan : Abu !

Emak : Cuma berkat itu.

Abu : Cuma.

Majikan : Abu ! Abu !

Abu : .... di mana cermin itu dapat diperoleh, Mak ?

Emak : Jauh nun di sana kala semuanya belum ada (KELUAR)

Majikan : Bangsat ! Tuli kamu ?

Abu : Mak ?

Yang Kelam : Ini adalah tahun 1930 dan bukan tahun 1919. Kau harus segera
mengenakan pakaian pesuruhmu (KELUAR)

SETELAH IA MENGENAKAN PAKAIANNYA SEBAGAI PESURUH KANTOR


TERDENGAR GEMURUH SUARA PABRIK

Majikan : Abu !

Abu : Hamba, Tuan.

Majikan : Abu !

Abu : Hamba, Tuan.

Majikan : Abu !
Abu : Hamba, Tuan.

Majikan : Abu !

Abu : Hamba, Tuan.

Majikan : Abu !

Abu : Hamba, Tuan.

Majikan : Abu !

Abu : Hamba, Tuan.

Majikan : Abu !

Abu : Hamba, Tuan.

Majikan : Bangsat kamu ! Kerja sudah hampir tiga tahun masih saja kamu melakukan
kesalahan yang sama. Lebih bodoh kamu dari pada kerbau.

Emak : Anak yang ganteng tidak boleh menangis. Apakah kau tidak malu kepada
Sang Putri Rupawan ? Setelah mencuci kaki, kau harus mengenakan pakaianmu yang
kotor, nanti emak akan mendongeng lagi. Sudah bersih kakimu ? Ketika Sang
Pangeran turun dari kudanya yang putih bersinar, ia melihat gua itu dikejauhan.
Namanya gua cahaya tapi lebih sering disebut gua hantu.

Abu : (KETAKUTAN)

Emak : Tidak usah takut. Ada Emak. Telah beratus-ratus ksatria dan raja-raja dan
pangeran-pangeran yang mencoba menerobos gua itu, semuanya musnah dibunuh
oleh hantu-hantu penjaga harta karun itu. Di angkasa serombongan mendung yang
maha hebat membendung sang surya, sehingga alam yang siang menjadi gelap gulita.
Sayup-sayup kelihatan pintu gua itu bagaikan mulut raksasa dengan sinar yang
memancar dari dalam. Sang Pangeran menggeleng-gelengkan kepala kagum karena
tahu sinar itu adalah sinar permata-permata yang tertimbun disana. Tatkala angin pun
sirna, Sang Pangeran telah memacu kudanya ke arah mulut gua. Tak ada suara
kecuali derap kuda dengan ringkiknya. Ketika kuda itu berada didepan pintu gua,
sekonyong-konyong serombongan mendung yang tebal tadi menyerang mengepung
Sang Pangeran. Tahulah kini Sang Pangeran bahwa mendung itu adalah hantu-hantu.

Abu : Dan Sang Pangeran, Mak ?


Emak : Dan Sang Pangeran, Nak ?Amboi, berjuta kuku dan taring lancip bagai ujung-
ujung belati rapat mengancam Sang Pangeran ; dari atas dari bawah, dari kiri dari
kanan, dari muka dari belakang. Rupanya hantu- hantu itu berdengus sehingga
seketika terjadi topan dasyat yang amat bacin baunya.

Abu : Dan Sang Pangeran, Mak ?

Emak : Dan Sang Pangeran, Nak ? Dengan Cermin Tipu Daya, kuku-kuku dan taring-
taring yang berjuta-juta itu seketika mencair sehingga hujan deraslah yang kini ada.
Maka dalam kehujanan itu pun, Sang Pangeran mengacungkan cerminnya dan
terbukalah pintu gua dengan sendirinya. Langit telah kembali sebagai wajarnya, yang
penuh cahaya surya ketika Sang Pangeran memboyong harta permata itu ke Istana
Cahaya dimana Sang Putri menanti dipelaminan.

Abu : Dan bahagia, Mak ?

Emak : Selalu bahagia. Selalu bahagia.

Abu : Dan Sang Putri, Mak ?

Emak : Sang Putri berdebar menanti dipelaminan, sementara rakyat seluruh kerajaan
berpesta. Dan ketika Sang Pangeran muncul di gerbang Istana Cahaya dengan di
iringi kuda-kuda yang mengangkut peti-peti harta, seketika bergetarlah dada Sang
Putri yang baru tumbuh itu dan sekalian rakyat bersorak-sorak mengelu-elukan.
Kedua mempelai itu telah berpadu dalam lautan permata yang sangat menyilaukan.
Lautan harta seharga berjuta-juta nyawa manusia.

Abu : Keduanya bahagia, Mak ?

Emak : Selalu bahagia. Selalu bahagia.

Abu : Berkat Cermin Tipu Daya, Mak ?

Emak : Berkat Cermin Tipu Daya.

Abu : Dimana Cermin itu dapat dibeli, Mak ?

Emak : Jauh nun di ujung dunia... disebuah toko milik Nabi Sulaiman...

Abu : Dan harganya, Mak ?

Emak : Nanti kau sendiri pasti tahu. Nanti. Pasti.

Abu : Bahagia, Mak ?


Emak : Pasti bahagia. Selalu bahagia. Sekarang bayangkan bagaimana kalau kau
menjadi Sang Pangeran Rupawan. Kau niscaya dapat merasakan dengan lebih nyata
apabila kau lelap tidur. Nah, sekarang pejamkan kedua matamu. Tidur. Burung-
burung pun sudah tidur. Tidur. Matahari pun sudah tidur. Tidur. Pohon-pohon pun
sudah tidur. Tidur seantero alam telah mendengkur. Tidur.

Emak : Bulan !

Bulan : Ya, Mak.

Emak : Selimuti keduanya.

Bulan : Kalau dia terbangun.

Emak : Tidurkan lagi.

Bulan : Kalau dia terjaga lagi ?

Emak : Mabukkan dia.

Bulan : Kalau sadar lagi ?

Emak : Pingsankan dia.

Bulan : Kalau dia siuman lagi ?

Emak : Itu urusan Yang Kelam. Sekarang Emak akan menyelesaikan karangan Emak
yang terakhir. Aneh sekali dalam roman Emak kali ini Abu telah mulai menemukan
kunci teka-teki kita. Ia semakin menginsyafi bagaimana selama ini ia kita
perdayakan. Namun bagaimana pun, Emak tetap berharap ia akan tetap patuh kepada
kita. Sudah menjadi kodratnya bagaimana pun ia memerlukan hiburan dan hanya
kitalah yang mampu memenuhi kebutuhan itu. Tetapi juga ini tidak berarti bahwa kita
bisa bekerja secara improvisasi seperti yang sudah-sudah. Di manakah Yang kelam ?

Yang Kelam : Saya di sini, Mak.

Emak : Kau dengar apa yang baru Emak katakan ?

Yang Kelam : Tak satu kata pun lewat dari telingaku, Mak.

Emak : Satu hal lagi; kita harus sistematik. Selama kita masing-masing tetap pada pos
kita, Emak yakin tak satu pun pekerjaan kita yang meleset.
Yang kelam : Dia tidur ?

Emak : Tidur, tidak. Tidak tidur, tidak. Seperti yang sudah-sudah, seperti yang lain-
lain juga, ia sudah mati tapi ia tidak tahu.

Yang Kelam : Saya beritahu dia ?

Emak : Belum waktunya. Berapa umur kau ?

Yang Kelam : Dua puluh satu.

Emak : Kita perpanjang amat panjang. Pada usiamu yang ke 70 beritahulah dia. Ingat
jangan ulang cara yang usang.

Bulan : Beritahu sekarang saja dia.

Emak : Kau selalu punya belas, Bulan.

Bulan : Dia orang miskin.

Emak : Justru akan kita perkaya. Ah, sudahlah. Kau dapat menolongnya dengan cara
yang menghiburnya. Waktu Emak habis. Emak harus mengarang.

Bulan : (MENYANYI) Andai kau tergoda jangan salahkan daku. Cahayaku


memancar pun bukan milikku. Kecantikkanku pun bukan milikku.

Yang Kelam : Jangan nyanyikan nyanyian itu lagi nanti Emak marah lagi.

Bulan : Kau yang salah.

Yang Kelam : Tak ada yang salah.

Bulan : Kau yang salah. Kalau kau tak ada.

Yang Kelam : Adaku bukan minatku. Tapi kalau aku tak ada kau pun dan segala pun
tak ada.

Bulan : Kenapa kau tidak memilih tidak ada ?

Yang Kelam : Karena kita ada. Dan begitu saja ada.

Bulan : Karena ada mula, karena ada mula.

Yang Kelam : Maka ada akhir dan akulah itu. Dia dan aku.
Bulan : Karena ada, itulah kesalahannya.

Yang Kelam : Kita hanya menjalani kodrat. Jalanilah kodrat maka kita akan selamat.

Bulan : (MENYANYI) Andai kau tergoda jangan salahkan daku. Cahayaku


memancar pun bukan milikku.

Yang Kelam : Jangan menyanyi. Mengeramlah kalau bisa atau diam.

Bulan : Aku hanya bisa menyanyi. Pun begitu nyanyian buakn pula milikku.

Yang kelam : Perempuan cengeng.

Bulan : Lelaki kejam. Kembalikan Cermin Tipu Daya itu.

Yang Kelam : Kau tak akan memilikinya lagi.

Bulan : Sudah satu abad kau pinjam.

Yang Kelam : Dan aku tak akan pernah mengembalikan kepadamu. Ya, sejak satu
abad yang lalu Abu sudah mulai menginsyafi bahwa puncak bahagia ada pada diriku,
tatkala ia melihat pada cerminku.

Bulan : Cerminku ! Cerminku !

Yang Kelam : Dulu. Sekarang milikku.

Bulan : Kau kejam. Kau tak punya kasihan. Kalau dia bercermin pada kau hanya
malam yang kau tampilkan.

Yang Kelam : Memang dia hanya punya malam. Akulah dia. Ini pun kodrat. Ia tak
dapat melepaskan diri dari kodrat ini.

Bulan : Konyolnya.

Yang Kelam : Itulah jawaban dari segalanya. Konyol.

ABU BANGUN, MENGIGAU. BULAN DAN YANG KELAM KELUAR.

Bulan : ( MENYANYI) Kalau kau tergoda jangan salahkan daku. Cahayaku


memancar pun bukan milikku. Andai kau mabuk jangan salahkan daku.
Kecantikkanku pun bukan milikku.

Iyem : Monyong lu ! Lelaki macam lu ? Kerbau ? Babi ?

Abu : (BINGUNG) Jam berapa, Yem ?

Iyem : Jam berapa ? Beduk sampai coblos dipalu orang juga kau masih enak- enak
ngorok. Apa kamu tidak mau kerja ?

Abu : Bukan begitu.

Iyem : Baik kalau kamu mau enak-enak ngorok biar saya yang kerja. Apa dikira tidak
bisa ? Saya kira saya masih cukup montok untuk melipat seribu lelaki hidung belang
di ketiak saya.

Abu : Kau jangan bicara sekasar itu.

Iyem : Kamu lebih kasar lagi. Tidur sama istri kamu masih mimpi yang tidak- tidak.
Tuh lihat tikar basah begitu. Kalau kau sudah bosan dengan saya bilang saja terus
terang. Jangan sembunyi-sembunyi. Ayo, kau mimpi dengan siapa ? Dengan si Ijah
yang pantat gede itu ? Bangsat !

Abu : Mimpi ?

Iyem : Jangan main lenong (MENANGIS) Memang saya sudah peot. Habis manis
sepah dibuang.

Abu : Jangan bicara begitu.

Iyem : Memang begitu.

Abu : Tidak seperti yang kau bayangkan.

Iyem : Memang begitu.

Abu : Diamlah, Yem.

Iyem : Memang begitu.

Abu : Iyem.

Iyem : Saya bunting kau tidak tahu.

Abu : Bunting ? Kau bunting ?


Iyem : Kata Emak.

Abu : Kau bunting ?

Iyem : Kalau tidak apa namanya ?

Abu : Iyemku. Iyemku (KEDUANYA MENARI)

Iyem : Pepaya bunting isinya setan.


Dimakan dukun dari Sumedang.
Perut aye bunting isinya intan.
Ditimang sayang anak disayang.

Abu : Pohon pisang tidak berduri.


Pagar disusun oleh rembulan.
Mohon abang lahir si putri.
Biar disayang setiap kenalan.

Iyemku. Iyemku.

Iyem : Abuku. Abuku (KEDUANYA BERPELUKKU) Kau masih cinta pada Iyem ?

Abu : Selalu cinta. Selalu cinta.

Iyem : Kau masih sayang pada Iyem ?

Abu : Selalu sayang. Selalu sayang.

Iyem : Iyem minta anu.

Abu : Minta apa, Yem ?

Iyem : Minta anu.

Abu : Anu apa ?

Iyem : Iyem ngidam.

Abu : Minta rujak asam, Yem ?

Iyem : Bukan.

Abu : Apa Iyem ?


Iyem : Kerupuk.

Abu : Kerupuk udang, Yem ?

Iyem : Bukan.

Abu : Kerupuk terigu, Yem ?

Iyem : Bukan.

Abu : Kerupuk plastik, Iyem ?

Iyem : Bukan. Iyem, bilang !

Abu : Iyem.

Iyem : Kepingin.

Abu : Kepingin.

Iyem : Kerupuk.

Abu : Kerupuk.

Iyem : Apa yo ?

Abu : Apa yo ?

Iyem : Apa ?

Abu : Apa ?

Iyem : Kerupuk.

Abu : Kerupuk.

Iyem : Kerbau !

Abu : Kerbau !

Iyem : Horee !

Abu : Berapa kilo, Iyem ?

Iyem : Satu biji.


Abu : Lainnya, Yem ?

Iyem : Anu.

Abu : Anu apa, Iyem ?

Iyem : Cium.

Abu : Berapa kali, Iyem ?

Iyem : Seribu kali (MEREKA BERCIUMAN)

Abu : Bau pete. Kau makan pete ?

Iyem : tadi di rumah si Ipoh. (MEREKA PUN BERCIUMAN)

YANG KELAM BERSAMA PASUKANNYA MEMUKUL LONCENG EMAS


KERAS SEKALI. ARUS WAKTU DERAS MELANDA KEDUANYA. IYEM
MELAHIRKAN DAN SETERUSNYA. ABU TERPUTAR DALAM RODA KERJA
RUTINNYA.

Majikan : Abu !

Abu : Ya, Tuan.

Majikan : Abu !

Abu : Ya, Tuan.

Majikan : Abu !

Abu : Ya, Tuan.

SERIBU MAJIKAN MEMRINTAH ABU. MENJERAT LEHER ABU MENJERIT.


SERIBU TANGAN MAJIKAN DI KEPALA ABU.

9
Yang Kelam : Ini adalah tahun 1941. Ini bukan tahun 1919. Dia dilahirkan di Salam,
6 km dari kota Solo. Dia dibesarkan di Semarang. Kemudian ia pindah ke Tegal.
Kemudian ia pindah ke Cirebon. Kemudian ia pindah ke Jakarta. Kemudian ia akan
mati pada tahun 1980.

Iyem : Tidak. Abu jangan hiraukan. Hidup saja hidup. Habis perkara. Terlalu banyak
pertanyaan untuk terlalu sedikit waktu.

Layar

BAGIAN KEDUA

Burung, di manakah ujung dunia ?

Abu : Burung, di manakah ujung dunia ?

Burung : Di sana.

Abu : Katak, di manakah ujung dunia ?

Katak : Di sana.

Abu : Rumput, dia manakah ujung dunia ?

Rumput : Di sana.

Abu : Embun, di manakah ujung dunia ?

Embun : Di sana.

Abu : Air, di manakah ujung dunia ?

Air : Di sana. (SEMUA MENERTAWAKAN ABU)

Abu : Batu, di manakah ujung dunia ?

Batu : Di sana. (SEMUA MENERTAWAKAN ABU)

Abu : Jangkerik, di manakah ujung dunia ?

Jangkerik : Di sana. (SEMUA MENERTAWAKAN ABU)

Abu : Kambing, di manakah ujung dunia ?


Kambing : Di sana.

Abu : Kambing, di manakah di sana ?

Kambing : Di sana.

Abu : Pohon, di manakah di sana ?

Pohon : Di sana.

Abu : Kakek, di manakah di sana ?

Kakek : Di sini.

Abu : Di mana ?

Kakek : Di sini.

Abu : Di sini ?

Kakek : Di sana di sini sama saja. Semuanya tak berarti. Yang kau cari adalah agama.
Tak ada obat yang paling mujarab selain agama.

Abu : Saya tidak sakit.

Kakek : Tak ada tempat yang paling teduh dan tak ada obat pelelah selain agama.

Abu : Saya tidak cape.

Kakek : Segala teka-teki silang pasti tertebak oleh agama.

Abu : Saya tak butuh semua itu. Saya butuh Cermin Tipu Daya.

Kakek : Apa itu Cermin Tipu Daya ?

Abu : Cermin Tipu Daya adalah penangkis segala bala. Penyelamat segala Pangeran
dalam dongeng purbakala.

Kakek : Inilah dia. Cermin sejati. Bukan plastik. Terbuat dari air danau purbani.
Lihatlah semua tampak jelas di sini. Lihatlah.

Abu : Wajah siapa itu ?


Kakek : Wajahmu.

Abu : Wajah saya ?

Kakek : Siapa lagi ?

Abu : begini tua ?

Kakek : Kau begitu jernih cahayanya.

Abu : Begini tua. Lebih sengsara dari nyatanya. Begini miskin.

Kakek : Di sini, kau miskin dan kaya sekaligus.

Abu : Saya tidak mengerti.

Kakek : Tak lama lagi kau akan mengerti, kalau mau dengar apa yang saya baca.

Abu : Kalau saya tetap tidak mengerti ?

Kakek : Kau adalah insan yang malang.

Abu : Kalau begitu cobalah bacakan satu baris.

Kakek : Dia Tuhan.

Abu : Tuhan.

Kakek : Tuhan.

Abu : Tuhan.

Kakek : Yang menciptakan kita.

Abu : Tuhan.

Kakek : Yakinlah.

Abu : Kalau begitu Dia yang memulai segala ini ?

Kakek : Juga yang akan mengakhiri segalanya.

Abu : Mulai dan mengakhiri ?

Kakek : Membangun dan meruntuhkan sekaligus.


Abu : Saya jadi bodoh.

Kakek : Kau memang bodoh. Dan ketika kau dihidupkan ajal disisipkan dalam salah
satu tulang igamu. Dialah-Tuhan.

Abu : Tuhan.

Kakek : Dialah-Tuhan. Yang telah menciptakan jagad raya dan seisinya. Maka
bersyukurlah kau kepadaNya. Maka bersembahlah kau kepadaNya. Maka patuhlah
kau kepada firman-firmanNya. Maka perbuatlah segala perintah-perintahNya. Maka
jauhilah segala larangan-laranganNya. Barang siapa melanggra neraka hukumannya.
Barang siapa petuh sorga upahnya.

Abu : Neraka ?

Kakek : Api sengsara yang menjilat-jilat.

Abu : Sorga ?

Kakek : Bahagia di atas bahagia.

Abu : Barangkali itu ujung dunia ?

Kakek : Memang salah satu ujungnya. Di sana Sorga. Di situ Neraka.

Abu : Di sana juga tinggal Nabi Sulaiman ?

Kakek : Oya.

Abu : Kalau begitu ada juga Cermin Tipu Daya ?

Kakek : Barangkali. Saya tidak begitu pasti.

Abu : Di jual ?

Kakek : Kalau ada dengan cuma-cuma kua dapat memilikinya.

Abu : Kau pasti ?

Kakek : Kalau ada.

Abu : Kau belum pernah kesana ?

Kakek : Ke sana ke mana ?


Abu : Ke sorga.

Kakek : Siapa pun belum.

Abu : Bagaimana kau tahu Nabi Sulaiman ada di sana ?

Kakek : Kau memang buta huruf. Dalam kitab agama lengkap segala tanda-tanda.

Abu : Kalau begitu tunjukilah saya cara menuju sorga.

Kakek : Bersembahlah kau KepadaNya.

Abu : Baik. Berapa lama saya mesti menyembah ?

Kakek : Sampai kau mati.

Abu : Ha ?

Kakek : Sampai kau mati. Atau dengan kalimat yang lebih baik ; sampai saat kau
dilepaskan dari beban jasmani.

Abu : Lalu kapan saya sempat mengecap sorga ?

Kakek : Ketika kau mati.

Abu : Ha ?

Kakek : Begitulah. Ketika kau mati kau akan sampai ke sana.

Abu : Harus sampai ke batas mati untuk sampai ke sana ?

Kakek : Harus sampai ke batas mati untuk samapai ke sana.

Abu : Harus tidak ada untuk ada ?

LENGKING SULING TAJAM PANJANG.

Iyem : Abu, di mana kau ? Abu ? Abu ? Abu ?

Kekak : Sudah waktu sembahyang. Sampai cahaya menimpa dirimu. ( KELOMPOK


KAKEK DALAM KOOR)

Koor : Inggih
Kakek : Hai manusia.

Koor : Inggih.

Kakek : Hai manusia.

Koor : Inggih

Kakek : Tuhan Pencipta.

Koor : Inggih.

Kakek : Tuhan pengasih.

Koor : Inggih.

Kakek : Tuhan Penuntut.

Koor : Inggih.

Kakek : Turut perintahNya.

Koor : Inggih

Kakek : Ketawalah

Koor : Inggih.

Kakek : Menagislah

Koor : Inggih.

Kakek : Ketawalah dala menangis.

Koor : Inggih.

Kakek : Menangislah dalam ketawa

Koor : Inggih.

Kakek : Apa yang kau cari dalam hidup ini.

Koor : Bahagia.

Kakek : Apa yang kau cari dalam hidup ini.


Koor : Bahagia.

Kakek : Apa yang kau cari dalam hidup ini.

Koor : Bahagia.

Kakek : Apa yang kau cari dalam hatimu sendiri.

Koor : Bahagia.

Kakek : Apa yang di rindu. Apa yang di mau. Apa yang dituju. Bahagia.

Koor : Laras dan padu. Laras dan padu. Diri yang alit dan Diri yang maha. Laras dan
padu, pasrah, sembah, pasrah sembah Bergayut diri padaNya.

Kakek : Mengandung diri dalam keagunganNya. Bahagia kita dalam kebahagianNya.


Hai manusia.

Koor : Inggih.

Kakek : Hai manusia.

Koor : Inggih.

Kakek : Menyatulah dalam diriNya.

Koor : Inggih.

Kakek : Padulah dirimu dalam diriNya.

Koor : Inggih. (KELOMPOK KAKEK BERLALU DALAM KOOR)

ABU TEPEKUR. HUTAN SUNYI DALAM BADAI

Iyem : Kau jangan diam saja kayak sandal dobol.

Abu : Ada apa ?

Iyem : Kau betul-betul sandal dobol. Hujan begini deras. Air sudah sampai ke lutut.
Rumah ini seperti tak beratap. Ini bukan lagi bocor. Ya Tuhan. Dengan apa mesti kita
hentikan hujan jahanam ini ? Terlalu banyak musuh kita. Di darat. Di udara. Tuhan.
Tuhan.

Abu : ...
Iyem : Ya, Tuhan. Ya, Tuhan. Kau memang sandal dobol. Bajir. Banjir. Banjiiiir
(KELUAR)

ABU TEPEKUR

Yang Kelam : Ini adalah tahun 1960. ini bukan tahun 1919. Dia akan mati pada tahun
1980. Sudah waktunya kerut ditambah pada dahinya.

Abu : Tobat, apa yang telah kau lakukan ?

Yang Kelam : Menyobek kalender.

Abu : Hilang lagi.

ABU TEPEKUR, EMAK MUNCUL

Emak : Kau tidak boleh duduk tepekur dengan wajah kusut seperti itu. Nanti kau
lekas tua. Coba lihat. Apa yang terjadi pada wajahmu ?

Abu : Tiba-tiba matahari menyergap tadi dan memberi coreng pada wajah saya.

Emak : Coba kau tengadah. Nah, ia telah memberikan luka terlalu banyak pada
dahimu. Ia telah melipatkan jumlah yang sebenarnya. Kau menangis. Anakku, kau tak
boleh seperti itu.

Abu : Aku telah mencarinya tapi aku tak menemukannya.

Emak : Apa yang telah kau lakukan ?

Abu : Aku telah berusaha mencari ujung dunia.

Emak : Buat apa ?

Abu : Aku perlu ke toko Nabi Sulaiman. Aku mau beli Cermin Tipu Daya.

Emak : Kua pasti belum mendapatkannya.

Abu : Aku tidak mendapatkannya.

Emak : Belum.
Abu : Aku tidak mendapatkan apa-apa.

Emak : Belum. Ah, jangan suka beraduh kesah. Yang sangat kau perlukan sekarang
adalah rekreasi banyak-banyak. Emak bawa oleh-oleh. (TEPUK)

ROMBONGAN LENONG

Raja Jin : Hahaha. Akulah raja jin. Jin Bagdad namaku. Aku telah curi Putri Cina
paling ayu. Aku mau persunting dia jadi permaisuriku.

Putri Cina : Akulah Putri Cina yang malang. Yang baru saja tidur bermimpi di atas
ranjang. Mimpi bercumbu dengan seorang Pangeran dari Jepang. Begitu sedang
meluap nafsuku dadanya yang lapang. Dan tangan Pangeran membelai rambutku
yang panjang. Tiba-tiba si bandot Raja Jin dari Bagdad datang. Tak dinyana ia
sekonyong bertengger di jendela, di atas permadani terbang. Aduh Tuhanku Yang
Maha Kuasa, tolonglah hambamu yang maha malang. Dari cengkeraman dan ciuman
Raja Jin yang berkumis panjang.

Raja Jin : He Putri Cina Ayu.

Putri Cina : Tolong.

Raja Jin : He Putri Cina Ayu.

Putri Cina : Tolong.

Raja Jin : Lihatlah bulan di atas sahara dan bintang bertebar bagai pijar bara. Lihatlah
daunan kurma melambai tanpa suara. Dan wahai jernih airnya tenang tak bertara.
Itulah semua lambang aku punya gairah asmara. Kuadukan kini dendam nafsuku
tanpa pura-pura. Dihadapanmu he Putri Cina bak Si Gahara.

Putri Cina : Tolong. Maling.

Raja Jin :Akulah Gatotokoco gandrung.

Putri Cina : Maling.

Raja Jin : Akulah Romeo.

Putri Cina : Maling.


Raja Jin : Akulah Pronocitro.

Putri Cina : Maling.

Raja Jin : Akulah Qais yang dahaga di atas sahara.

Putri Cina : Tolong.

Pangeran : Tenang, tuan-tuan. Tenang ! Jangan tajut. Jangan cemas. Tuan-tuan


Pangeran Rupawan telah berada dihadapan tuan-tuan. Inilah lakon secara bahagia
akan diselesaikan dengan pertarungan seru dan penuh ketegangan. Antara Raja Jin
Bagdad dan aku Sang Pangeran Tampan. Tenang tuan-tuan. Putri Cina Ayu akan
kuselamatkan. He hidung belang. Jangan ganggu wanita itu.

Raja Jin : Ha, ini pula ikut campur nafsu orang. Minggir.

Pangeran : Minggir.

Raja Jin : Minggir atau kulempar ke laut Hindia. Atau kau ingin lumat karena
kuludahi ? Haha.

Pangeran : Ha ha ha.

Raja Jin : Apa ketawa ? Moncong sekecil itu. Minggir.

Pangeran : Tidak kau lihat apa yang terselip pada pinggangku ? Sudah rabun
matamu ?

Raja Jin : Bah ! Kupanggang kau ! Kusate kau ! Kurebus kau ! Kutumbuk kau !

Pangeran : Tidak kau lihat apa yang terselip pada pinggangku ? Sudah rabun
matamu ?

Raja Jin : Bah ! Gua gampar lu ! Gua palu lu !

Pangeran : Tidak kau lihat apa yang terselip pada pinggangku ? Sudah rabun
matamu ?

Raja Jin : Oh, oh, oh Cermin Tipu Daya. Cair aku. Cair aku oleh sinarnya. Tolong.
Tolooong.

Putri Cina : Terima kasih, Tuan, terima kasih. Pertolongan tuan menyelamatkan
diriku sebagai perawan. Terima kasih tua, oh saya masih tetap bersih. Tuan, maukah
tuan, e e, saya ingin jadi istri tuan.
Pangeran : Tentu. Tentu. Memang begitulah akhir lakon harus berlaku.

Duet : Senantiasa bahagia berkat Cermin Tipu Daya. Sekali lagi jangan lupa berkat
Cermin Tipu daya.

ABU BERSUIT KEMUDIAN BERTEPUK TANGAN DENGAN GEMBIRA

Emak : Semangatmu kembali pulih.

Abu : Aku telah lahir kembali.

Emak : Kau bahkan montok.

Abu : Aku kembali jadi bayi.

Emak : Segar.

Abu : serasa pagi hari. Matahari. Angin pagi. Sisa embun. Udara yang bersih.

Emak : Wajahmu merah karena darah yang padat gairah.

Abu : Aku sedikit pun tak goyah oleh pukulan-pukulan waktu.

Emak : Kau tahu berkat apa ?

Abu : Berkat Emak.

Emak : Tidak begitu. Kau harus menyebutnya berkat harapan.

Duet : Ya berkat harapan. Sekali lagi berkat harapan. Hanya harapan. Peganglah
selalu harapan. Obat mujarab bagi seluruh anggota keluarga. Sekali lagi jangan lupa :
Harapan.

Majikan : Abu ! Abu !

Abu : (DIAM)

Majikan : Anjing !

Abu : (MERANGKAK) Ya, Tuan.


Majikan : Anjing !

Abu : Ya, Tuan.

Majikan : Anjing !

Abu : Ya, Tuan.

Majikan : Anjing !

Abu : Ya, Tuan. (MERANGKAK)

Majikan : Ini pesangonmu ! Keluar ! Hancur perusahaan !

10

IYEM MENANGIS MENUBRUK ABU

Iyem : Beras kita habis. Mamat dikeluarkan dari sekolahnya. Si Siti ternyata bunting.
Lotre kita tidak kena lagi.

11

Yang Kelam : Satu-satunya kesalahannya adalah kelahirannya dan ia bernama


manusia. Sekiranya Adam yang satu ini tidak memiliki apa yang di sebut impian,
niscaya ia dapat merasa aman. Ia tak akan tahu apa-apa, tak akan pernah mengalami
apa-apa, bahkan apa yang disebut mati. Tetapi semuanya seperti tinta yang terlanjur
tumpah, dan lagi buah Kuldi itu pun Ia sajikan di hadapannya.

Layar

BAGIAN KETIGA

Matahari melesat, Bulan berpusing-pusing

GEMURUH MESIN. SEBUAH KANTOR. PEKERJA-PEKERJA

Majikan II : Jadi kau adalah ..-


Abu : Ya, Tuan.

Majikan II : Kau jangan lupa. Kau adalah ..-

Abu : Saya, Tuan.

Majikan II : Apa pun yang terjadi kau adalah ..-

Abu : Saya, Tuan.

Majikan II : Siapa namamu ?

Abu : Abu, Tuan.

Majikan II : Bukan. Kau adalah ..-

Abu : Saya, Tuan.

Majikan II : Hafalkan itu.

Abu : Saya, Tuan.

Majikan II : Bagaimana ?

Abu : ..-

Majikan : Bagus. Berapa jumlahnya ?

Abu : Dua pendek satu panjang.

Majikan II : Bagus. Berapa ?

Abu : Dua pendek satu panjang.

Majikan II : Bagus. Siapa namamu sebenarnya ?

Abu : ..-

Majikan II : Siapa ?

Abu : Dua pendek satu panjang.

Majikan : Bagus (MENEKAN BEL ) Nama siapa ini ?

Abu : Bukan nama saya.


Majikan II : (MENEKAN BEL) Ini siapa ?

Abu : Orang lain.

Majikan II : (MENEKAN BEL) Ini ?

Abu : (KETAWA)

Majikan II : Siapa ?

Abu : Saya, Tuan.

Majikan II : Kenapa ketawa ?

Abu : Gampang.

Majikan II : (MENEKAN BEL)

Abu : Saya, Tuan

Majikan II : (MENEKAN BEL)

Abu : Bukan saya, Tuan.

Majikan II : Siapa ?

Abu : Tak peduli saya.

Majikan II : Kau memang sekrup yang baik. (NGEBEL)

Abu : Saya, Tuan.

Majikan II : (MENEKAN BEL)

Abu : Saya, Tuan.

Majikan II : (MENEKAN BEL)

Abu : Saya, Tuan.

Majikan II : Cukup. Besok kau mulai bekerja.

Abu : Saya, Tuan.

2
ABU KETAWA. KELOMPOK KAKEK LEWAT. YANG KELAM LEWAT. ABU
MEMANGGIL BEL.

Bel : Bagaimana ? Senang ?

Abu : Luar biasa. Banyak kau bantu saya.

Bel : Titik titik setrip

Abu : Ada apa ?

Bel : Tidak apa-apa. Saya hanya ingin memanggil namamu.

Abu : Senang saya.

Bel : Tet tet teeeeet.

Abu :Sangat merdu suaramu.

Bel : Tet tet teeeeet.

Abu : Saya yakin saya akan tetap gesit bekerja sampai umur saya 60 tahun. Selama
kau tetap ada maksud saya.

Bel : Tentu. Saya akan tetap setia membantumu.

Abu : Sejak sekarang saya akan bergantung kepadamu.

Bel : Tentu.

Abu : Suaramu jelas lebih lantang daripada jerit Pak Direktur.

Bel : O ya.

Abu : Dulu waktu saya masih bekerja di percetakan betul-betul sial saya. Hampir
setiap jam saya kena marah.

Bel : Kenapa begitu ?

Abu : Tuan saya dulu mempunyai mulut yang lebar tapi suaranya seperti cicit tikus.
Setiap dia memanggil saya selalu seperti tersumbat lehernya. Tentunya saja saya
sangat kerap tidak mendengar panggilannya dan akibatnya dia marah-marah. Padahal
kalau dia tahu diri, satu-satunya yang patut dimarahi adalah lehernya.
Bel : Lucu juga.

Abu : Tapi menyakitkan. Bel.

Bel : Hm ?

Abu : Saya senang sama kamu.

Bel : Saya harap begitu.

Abu : Kehadiranmu sungguh-sungguh membantu pekerjaan saya. Kau telah membuat


saya menjadi seorang yang gesit. Bel.

Bel : Hm ?

Abu : Saya senang sama kamu.

Bel : Tet tet teeeeet.

Abu : Ada apa ?

Bel : Saya senang sama kamu.

KELOMPOK KAKEK LEWAT. YANG KELAM LEWAT. GEMURUH MESIN


ROBOT ABU. BUNYI BEL.

Abu : Saya, Tuan.

BUNYI BEL

Abu : Saya, Tuan.

BUNYI BEL

Abu : Saya, Tuan.

BUNYI BEL DAN ABU MENARI

Iyem : Kita bunuh saja (ABU MELUDAH) Kita bunuh saja (ABU MELUDAH) Kita
bunuh saja.
Abu : Siapa ?

Iyem : Entah (IYEM MELUDAH)

Abu : Saya ? (IYEM MELUDAH) Kau. Kita bunuh saja.

Iyem : Orok kita saja.

Abu : Kita harus tahan. Setidaknya satu hari lagi anggap saja puasa.

Iyem : Ini hari kelima. Lapar. Lapar. Lapar. Lapar.

Abu : Jangan hitung.

Iyem : Kita bunuh saja.

Abu : Kelinci yang malang.

Iyem : Kita bunuh saja.

Abu : Matanya.

Iyem : Jangan tatap. Kita bunuh saja. Kita bunuh saja.

Abu : Orok itu akan mati juga.

Iyem : Tapi secara perlahan.

Abu : Anakku yang malang, semoga kau yang terakhir.

Iyem : Tapi dia lahir juga.

Abu : Benih kita menetas.

Iyem : Tapi susuku kering.

Abu : Sekarang perlahan.

Iyem : Jangan bantal itu.

Abu : Kapuknya berceceran.

Iyem : Dengan telapak tangan kita.

Abu : Jangan tekan.


Iyem : Aku usap.

Abu : Aku saja.

Iyem : Aku akan mencium mulutnya.

Abu : Kita hisap nafasnya.

Iyem : Hangatnya.

Abu : Tutup matanya.

Iyem : Perlahan.

Abu : Capung itu menggelepar.

Iyem : Patah sayap-sayapnya.

Abu : Perlahan.

Iyem : Tak henti-henti.

Abu : Kita hisap nafasnya.

Iyem : Hangatnya.

Duet : Kita rampok nafasnya. Kira rampok udaranya. Kita rampok waktunya. Kita
rampok hari-harinya. Kita rampok harapannya.

Abu : Kau jangan menangis.

Iyem : Hangatnya.

Abu : Orok itu pun tidak menangis.

Iyem : Kita harus berterimakasih kepadanya.

Abu : Maka anak itu tidak akan pernah kecapean.

Iyem : Kau jangan menangis. (MENANGIS SANGAT)

Abu : Kau jangan menangis. (MENANGIS SANGAT)

Duet : Beratus-ratus orok kita rampok nafasnya. Yang tinggal sesal dan kesunyian.
5

GEMURUH MESIN. ROBOT-ROBOT (ABU-ABU), BEL-BE


BUNYI BEL

Koor : ( ROBOT-ROBOT ). Saya, Tuan. (BUNYI BEL) . Saya, Tuan. (BUNYI BEL)
. Saya, Tuan. (BUNYI BEL) . Saya, Tuan. (BUNYI BEL) . Saya, Tuan. (BUNYI
BEL) . Saya, Tuan.

BUNYI KENTUT

Koor : Saya, Tuan.

BUNYI BEL

Koor : Inggih . (BUNYI BEL) Inggih. (BUNYI BEL) Inggih. (BUNYI KENTUT)
Inggih. (KENTUT) Inggih. (BEL)

Koor : (CAPEK) Inggih. (BEL) (Sangat CAPEK) Inggih. (BUNYI BEL) (SAKIT)
Inggih (BEL) (SANGAT SAKIT) Inggih (BEL) (SANGAT SAKIT) Inggih ( BEL)
(SANGAT SAKIT) Inggih (BEL) (TAK BERTENAGA) Inggih.

TEROR BERJUTA BEL. ROBOT-ROBOT DITEROR. BEL. RPBPT. REBAH.


BEL. ROBOT DUDUK. BEL. ROBOT BERDIRI DST..

6
Bulan : Ya Abu, hanya sahwatlah hiburan sejati.

KEDUANYA BERPANDANGAN. KEDUANYA NAIK SAHWAT.

Abu : Iyem.

Iyem : Abu.

Abu : Iyem.

Iyem : Abu.

SUARA NAFAS BERDESA. SUARA DUA EKOR ANJING. SERIBU


MENGELILINGI MEREKA.
Seribu Bulan : Menyatu dalam nafas rembulan. Mengisap nafas harum rembulan.
Goyang-goyangkan buah rembulan. (KEDUANYA MERANGKAK MUNDUR)
Goyang-goyangkan buah rembulan. Pejam-pejamkan mata rembulan. Cecer-cecerkan
peluh rembulan.

Bulan : Awan sepotong dalam kelabu. Membalut tubuh Adam dan Hawa. Tandas-
tandaskan sampai pun tua. Sebelum musnah dirampok waktu.

Seribu Bulan : Goyang-goyangkan buah rembulan. Pejam-pejamkan mata rembulan.


Cecer-cecerkan peluh rembulan.

SUARA NAFAS BERDESA. SUARA DUA EKOR ANJING.

YANG KELAM DENGAN PASUKANNYA DATANG. KAMAR BEDAH.

Yang Kelam : Salibkan ! (ABU DISALIB) Salibkan (IYEM PUN )

Abu : Akan di apakan saya ?

Iyem : Akan di apakan saya ?

Yang Kelam : Kalian selalu terlambat mengetahui. Ini adalah tahun 1974 dan bukan
tahun 1919. Ini adalah saat kalian mengalami keajaiban dunia. Kalian akan
menyaksikan karya besar dari Seniman besar (PADA PASUKANNYA) Yang
perempuan dulu. Kurangi rambutnya. (IYEM DICABUTI RAMBUTNYA. IYEM
BERONTAK)

Abu : Kau apakan istri saya ? Kau gila !

Iyem : Luar biasa sakitnya. Kau jangan diam saja. Sakitnya.

Yang Kelam : Berhenti dulu. ( PADA IYEM) Apa yang kau rasakan ?

Iyem : Saya merasa sedang dijerumuskan ke dalam sebuah jurang. Sangat gelap.
Sangat dalam. Sedemikian mengawang tubuh saya meluncur. Serasa tubuh saya
terbuat dari bulu jambu

Yang Kelam : Apalagi ?

Iyem : Matahari melesat. Bulan berpusing-pusing.

Yang Kelam : Kerjakan keduanya. Mulai mulai dari tulang-tulang sendinya (ABU
DAN IYEM DIPUKULI. MEREKA BERONTAK) Garap rambutnya. Kurang.
Sekarang dahinya. Lengkap wajahnya. Gorok sedikit lehernya. Jangan lupa giginya !
Sekarang matanya

Iyem : Kita terlalu amat lelah.

Abu : Bukan main. Langit seolah menekan pundak.

Iyem : Tiga orang mayat anak kita.

Abu : Seorang lagi mayat cucu kita.

Iyem : Kita terlalu amat lelah.

Abu : Bukan main, siapa pula menusuk-nusuk ini lutut, pinggang seperti digerogoti
semut. Jam berapa sekarang ? (SERENTAK LONCENG, BEL BERBUNYI.
MEREKA BERPACU DENGAN SANG WAKTU). Kalau begitu kita harus
bergegas. Segera.

Iyem : Ke mana ?

Abu : Ikut saja. Pasti gembira.

Iyem : Jauhnya. Kemana ?

Abu : Ikut saja.

Iyem : Saya ingin tahu kemana ?

Abu : Ke ujung dunia.

Iyem : Buat apa ?

Abu : Menjumpai Nabi Sulaiman.

Iyem : Apa perlunya ?

Abu : Membeli sesuatu.

Iyem : Apa ?

Abu : Cermin Tipu Daya.

Iyem : Apa itu ?

Abu : Penangkis segala bala. Pembalas dendam.


Iyem : Kepada siapa ?

Abu : Entah. Setidak-tidaknya pada Sang Waktu.

Yang Kelam : Tangkap. Bawa ke kantor.

Majikan : ..-

Abu : Saya, Tuan.

Majikan : Bersama ini kami semua menyatakan penghargaan atas jasa anda yang
telah dengan setia bekerja disisni. Bersama ini kami menyatakan rasa terima kasih
kami atas bantuan anda selama bekerja disini. Bersama ini kami menyatakan bahwa
anda telah mendapat hak pensiun.

10

Emak : Bulan.

Bulan : Iya Mak.

Emak : Yang Kelam.

Yang Kelam : Saya, Mak.

Emak : Pekerjaan kita hampir selesai.

Yang Kelam : Sepuluh putaran lagi, Mak.

BAGIAN KEEMPAT

Abu dan Iyem kehujanan

Abu : Derasnya air hujan.

Iyem : Anginnya, anginnya.

Abu : Derasnya hujan.


Iyem : Anginnya, anginnya.

Abu : Sebagian bernama rahmat.

Iyem : Sebagian lagi sudah laknat.

Abu : Semua pintu tertutup.

Iyem : Mata itu melotot memenuhi jendela.

Abu : Tapi kita harus terus melangkah.

Iyem : Kemana ?

Abu : Ke ujung dunia.

Iyem : Masih jauh ?

Abu : Masih ada waktu.

Iyem : Sampai dimana kita ?

Abu : Sampai di sini.

Iyem : Letihnya. Letihnya.

Abu : Tapi kita tak bisa pulang.

Iyem : Kamu yang salah

Abu : Yang punya rumah yang salah.

Iyem : Tidak. Surat perjanjian sewa rumah yang salah.

Abu : Kita tak akan pernah pulang.

Iyem : Anak-anak pun sudah lenyap entah kemana.

Abu : Sebagian di kubur, sebagian kabur.

Iyem : Kita berteduh.

Abu : Di mana ?

Iyem : Tak penting di mana.


Abu : Seluruh teras toko sudah penuh dengan gelandangan, bekas tetangga kita juga.

Iyem : Itu ada teras restoran cina.

Abu : Lumayan.

Iyem : Babi haram.

Abu : Dulu.

Iyem : Sekarang ?

Abu : Halal. Pohon kita makan.

Iyem : Tanah kita makan.

Abu : Besi kita makan.

Iyem : Kehormatan kita makan.

Abu : Kata kita makan.

Iyem : Kalau babi pun musnah kita makan lengan sendiri, ya ?

Abu : Setuju.

Iyem : Jari-jari sendiri kita sate.

Abu : Kuping sendiri kita goreng.

Iyem : Jempol kita rebus.

Abu : Setuju.

Iyem : Setuju.

Abu : Kenapa senyum ?

Iyem : Nggak. Kenapa ketawa ?

Abu : Lucu.

Iyem : Kenapa ?

Abu : Dulu kamu tidak percaya Cermin Tipu Daya.


Iyem : Dulu tidak ada waktu. Anak-anak selalu bengal. Sekarang aku sudah tua.
Sudah waktunya mencoba percaya.

Abu : Tu dia.

Iyem : Apa ?

Abu : Pelabuhan. Aku tidak mau ke sana. Aku tidak mau ke sana. Aku cape, aku
cape. Lalu bagaimana.

Iyem : Mari kita bunuh diri saja.

Abu : Aku tidak berani.

Iyem : Kalau begitu kita disini saja menadahkan tangan, mengemis meminta- minta.

Abu : Tidak. Kita harus melangkah terus. Harus semakin yakin kita. Kita akan
mendapatkannya, tak peduli apa. Kita lebih dulu harus sampai di ujung dunia.

Iyem : Aku cape, aku cape.

Abu : Surya di atas kepala.

Iyem : Sengatnya, sengatnya.

Abu : Pelu langit betapa asemnya.

Iyem : Ke mana kita ?

Abu : Tanya lagi. Ke toko Nabi Sulaiman.

Iyem : Lebih baik kita hentikan saja permainan ini. Ini permainan anak-anak muda.
Tubuh kita terlalu lembek dan tak akan bisa tahan terhadap sengatan sang surya. Kita
berhenti di sini saja. Kita mengemis saja. Kita akan dapat makan juga.

YANG KELAM MUNCUL LALU MENEMPELENG IYEM. BEBERAPA


GELANDANGAN MENGELILINGI MEREKA. ABU DAN IYEM DIGARI
MEREKA DISERET. SUNYI. YANG KELAM MEMBACA PIAGAM TANPA
SUARA. ORKES TANPA SUARA. TEPUK TANGAN TANPA SUARA.

BAGIAN KELIMA

Pintu

1
GELANDANGAN UMUMNYA CACAT BADAN. SEMUA MENYUARAKAN
NAFAS MEREKA. MEREKA LAPAR. SANGAT LAPAR. MEREKA HAUS.
SANGAT HAUS. SANGAT CAPE.

A : Mari kita mengheningkan cipta bagi arwah-arwah pahlawan kita yang telah gugur
di medan juang. Mengheningkan cipta mulai. (MUSIK) Mengheningkan cipta selesai.
Terima kasih.

MEREKA MENYUARAKAN NAFAS. LAPAR. HAUS. CAPE SEKALI.

B : Mari kita bertempur.

Semua : Mari.

B : Kita bertempur mati-matian.

Semua : Setuju.

B : Kita musnahkan musush kita.

Semua : Setuju.

B : Kita gigit tengkuknya.

Semua : Setuju.

B : Majuuuuu !

Semua : Majuuuuu !

B : Gempuuuuur !

Semua : Gempuuuuur !

B : Serbuuuuu !

Semua : Sipa musuh kita ?

B : Siapa, ya ? (SEMUA KETAWA) Mana kambingnya ?

Semua : Yang hitam warnanya ?

B : Siapa ?

Semua : Malam turun.


B : Kita pun berlindung.

Semua : Siang tiba.

B : Terserak kita.

YANG KELAM KONTROL. GELANDANGAN MENJERIT. YANG KELAM


HILANG. SEMUA MENYANYI BERULANG-ULANG

Semua : Tawur ji tawur. Selamat dawa umur.

G : Horee ! Horee ! (NYANYI HENTI) Saya puara-pura nemu dompet.

Semua : Pura-pura nemu dompet.

G : Tebal sekali.

Semua : Apa isinya ?

.. : Kartu penduduk.

Semua : Siapa punya ?

.. : Tidak bernama. E, ada tulisannya. Alias Subroto.

Semua : Apa lagi isinya ?

.. : Banyak. Surat-surat. Surat-surat.

Semua : ( MARAH) Apa lagi isinya ?

.. : O iya. Uang.

Semua : Begitu dong. Berapa ?

.. : Seperak.

Semua : (MARAH) Berapa ?

.. : O iya, sejuta.
Semua : Begitu, dong.

.. : Tapi saya punya.

Semua : (MARAH) Apa ?

.. : Saya punya.

Semua : (MARAH) Bilang lagi !

.. : Bukan kalian punya.

Semua : Apa ? Perampok !

Abu : Iyem. Iyem (KELOMPOK KAKEK LEWAT DENGAN KOOR. IYEM IKUT
DIBELAKANGNYA) Sendiri. Persetan ! Itu pasti pintu gua itu.

GELANDANGAN MUNCUL. MEREKA BARU SAJA MAKAN DAGING


MENTAH. MEREKA MEROKOK PENUH ASAP.

.. : Serang !

Semua : Maju !

.. : Gempur !

.. : Jangan beri ampun !

.. : Siapa musush kita ?

Semua : Brengsek ! (TERTAWA)

Abu : Siapa kamu ? (H MENGGELENGKAN KEPALA) Bisu ? (H


MENGGELENGKAN KEPALA) Lalu siapa kamu ? (H MENGGELENGKAN
KEPALA) Siapa kamu ?

Semua : Abu.

Abu : Sedang apa kalian ?

Semua : Mencari kambing hitam.

Abu : Persetan buat apa ? Setelah kalian temukan pangkal kemelaratan kalian, lalu
kalian cincang-cincang, setelah puas kalian muntahkan, dendam purba itu, apa yang
kalian dapatkan ? Bahkan kalian habiskan tenaga sia-sia. Persoalannya sangat
menyakitkan sekali ; kenapa kalian terlempar kesini ? Barangkali sunyi yang
mendorong Ia menciptakan kita.

Semua : Kenapa ?

Abu : Kita dikutuk !

Semua : Kenapa ?

Abu : Sunyi biang keladinya.

Semua : Kenapa ?

Abu : Tak ada waktu untuk Kenapa. Lebih baik kalian ikut saja. Kita pergi menuju
kaki langit.

Semua : Kemana ?

Abu : Ke ujung dunia.

Semua : Ke mana ?

Abu : Ke toko Nabi Sulaiman.

Semua : Buat apa ?

Abu : Untuk membebaskan kita dari kutuk ini.

Semua : Bahagia.

Abu : Ya itu nama khasiatnya.

Semua : Setuju.

Abu : Kita berangkat sekarang. Kita seberangi samudera itu. Sudah kulihat pintu gua
itu.

Semua : Kami setuju.

Abu : Kita masuki gua itu. Kita pungut pusaka itu.

Semua : Ya.

Abu : Kita berangkat.

Semua : Kita berangkat.

Abu : Pintu gua.

Semua : Ya.

Abu : Ada pintu yang lain.

Semua : Ya.

Abu : Kita masuki.

Semua : Ya.

Abu : Ada pintu yang lain.

Semua : Ya.

Abu : Kita masuki.

Semua : Ya.

Abu : Ada pintu yang lain.

Semua : Ya.

Abu : Kita masuki.

Semua : Ya.

Abu : Ada pintu yang lain.

Semua : Ya.

Abu : Kita masuki.


Semua : Ya. (SUNYI)

Abu : Itu dia.

Semua : Pintu.

Abu : Itu dia.

Semua : Pintu.

Abu : Itu dia.

Semua : Pintu.

Abu : Itu dia.

Semua : Pintu.

Abu : Itu dia.

Semua : Pintu.

Abu : Itu dia.

Semua : Semuanya pintu.

Abu : Semuanya cahaya.

Semua : Semuanya pintu.

Abu : Cermin Tipu Daya.

Semua : Pintu. Pintu. Pintu.

Abu : Cahaya.

Semua : Pintu.

Abu : Mak !

Semua : Mak !

Abu : Mak !

Semua : Mak !
Abu : Emak datang ! Emak datang !

Semua : Emak datang ! Emak datang !

BERSAMA ABU MEREKA GEMBIRA.SEMUANYA BERPESTA. EMAK,


YANG KELAM, DAN BULAN MUNCUL. ABU MENGUCAPKAN PIDATO.
SEBELUMNYA IA MENDAPATKAN MAHKOTA DARI EMAK.

Yang Kelam : (SETELAH MENYERAHKAN CERMIN TIPU DAYA) ini adalah


tahun 1980, dan bukan tahun 1919 sudah waktunya kau mati.

SEMUA BERTEPUK TANGAN. MUNCUL BEL DENGAN GOLOKNYA. EMAK


MENMBAKKAN PISTOLNYA KE ARAH ABU DAN MENYERETNYA. HIRUK
RIUH SEMUANYA BERTEPUK TANGAN MENGIKUTI ABU YANG DISERET.

HAMPIR BERSAMAAN KELOMPOK KAKEK DAN JENAZAH ABU LEWAT.


IYEM DI BELAKANG. SEMUANYA LARUT DALAM KOOR. CAHAYA
MENYUSUT. SANDIWARA BERAKHIR DENGAN AWAL ADEGAN
PERTAMA.
TAMAT

2. Judul Drama : Mega-Mega (1966)

Jenis Drama : tragedi

Masalah yang dikemukakan pengarang adalah mengenai kehidupan gelandangan


yang masing-masing mendambakan kehidupan yang diinginkan mereka. banyak hal
yang tak dapat terwujud karena sebagai orang kecil mereka memiliki banyak
kekurangan. Permasalahan sosial dan ekonomi diceritakan dalam lakon ini, kaum
gelandangan yang tinggal di tempat lusuh, di bawah megah. Percekcokkan yang
terjadi di antara mereka menyebabkan perpecahan hingga mereka meninggalkan
tempat mereka semula dan meninggalkan Mae, orang tua yang menyayangi mereka
seperti anak sendiri.
Tanggapan saya dalam membaca lakon ini begitu menyedihkan karena melihat
hidup para gelandangan yang begitu berkekurangan dan tidak dapat hidup dengan
layak, hidup mereka menjadi sembrautan layaknya sampah masyarakat. Mae sebagai
tokoh yang paling tua sangat tersiksa karena harus hidup sendirian di masa tuanya
tidak memiliki siapa-siapa lagi, apalagi ia seorang yang mandul tak bisa memperoleh
anak hingga harus diusir oleh suaminya sendiri, betapa sakit hati sebagai seorang
Wanita yang tak berdaya. Para gelandangan yang lebih muda dari dirinya sudah ia
anggap sebagai anak sendiri namun mereka pun pada akhirnya pergi
meninggalkannya. Pikiran dan perasaannya berada di antara dua pilihan yang tak
dapat ditentukannya, di satu sisi ia ingin mereka tetap tinggal bersama-sama
dengannya sehingga ia tidak merasa kesepian, namun di sisi lain ia sangat
menyayangi mereka dan ingin mereka menemukan suatu kehidupan yang lebih baik
lagi dari sebelumnya hingga pada akhirnya ia pun tidak dapat berbuat apa-apa, ia
menyerah dan membiarkan mereka meninggalkannya seorang diri. Bahkan tokoh
Koyal diakhir cerita begitu menyedihkan dengan pikirannya yang terlampau jauh
hingga menjadi tidak waras dan terus berkhayal-khayal untuk memiliki uang dengan
memenangkan lotre. Kisah dari drama ini menekan perasaan dan emosi pembaca
dalam hal keterbatasan dan pilihan-pilihan yang tak dapat diterima pada akhirnya
adalah hal yang harus ditempuh.

Naskah Drama :

Mega-Mega Karya Arifin C Noer

BAGIAN PERTAMA
di bawah mega

( Beberapa saat sebelum layar disingkirkan, kedengaran seorang perempuan muda


menyanyikan sebuah tembang Jawa. Kemudian penonton akan menyaksikan
perempuan muda itu menyanyi dengan gairah sekali. Ia berdiri dan bersandar pada
batang beringin yang tua berkeriput itu. Di antara jemari tangannya terselip sebatang
rokok kretek. Ia biasa dipanggil kawan-kawannya dengan panggilan RETNO.

Sementara itu, disebelahnya seorang perempuan tua bersandar. Ia adalah seorang


perempuan tua dengan bentuk bibir yang selalu nampak tersenyum dan dengan
kelopak matanya yang biru. Senyum itu rupanya ditujukan pada suatu harapan yang
telah lama dinantikanya ; tak kunjung tiba. Adapun malam yang selalu ia isi dengan
perhatian itu agaknya hanya memberikan warna gelap pada sekeliling matanya. Ia
biasa dipanggil MAE.

Sesekali di antara nyanyian itu terjadi percakapan yang sama sekali tak diharapkan
Retno sendiri )
MAE : Tidak kalah dibanding Srimulat. Tambahan dia cantik. Seperti aku! Persis.
( diam ) Cantik dan tersia.  ( tiba-tiba seperti mencari sesuatu di sekelilingnya, tapi ia
pun tersenyum apabila sadar yang dicarinya itu sebenarnya tak ada. Lalu ia berseru
keras ) Retno! Suaramu merdu.

RETNO : Ho-oh! ( kembali menyanyi)

MAE : Percaya. Asli! tidak dibuat-buat.

( Mereka bercakap tanpa saling menengok dan keduanya menerima cahaya listrik dari
lampu yang tergantung pada tiang listrik yang berhadapan dengan beringin itu )

MAE : Sebenarnya dia bisa mbarang (berseru) kau bisa mbarang* (*maksudnya
ngamen)

RETNO : Kenapa tidak? Segala bisa. Asal mau. Apalagi cuma mbarang.

MAE : Kenapa kau tidak mbarang saja?

RETNO : Sama saja. (Menyanyi lagi)

MAE : Tidak. Kalau kau mbarang untung-untung bisa masuk radio. Pasti bisa. Kalau
kau masuk radio kau akan lebih baik.

RETNO : (meludah)

MAE : Semuanya harus dicoba!

RETNO : Sama saja. Sama edan. (menyanyi lagi tapi baru sekecap ia berhenti). Sama
edan. Sama…alaaahh setan! (menyanyi lagi)

( Sejenak tak ada bicara. Tiba-tiba Retno berhenti menyanyi sebab ada seorang
pemuda lewat )

MAE : Saya kira enak mbarang. Cobalah. Tidak salahnya. Kenapa?

RETNO : Diam (pada yang lewat). Mampir Mas!

( Pemuda itu cuma lewat tapi jels ia naik nafsu )

RETNO : Banci edan! (meludah) Sinting!


MAE : Kenapa? Siapa?

RETNO : Laki-laki itu.

MAE : Kenapa?

RETNO : Saya cantik, kan?

MAE : Lantas?

RETNO : ( tertawa lalu meludah ). hanya orang banci saja yang lewat di sini tanpa
sekerlingpun melihat pinggang saya.

MAE : Memang. Kau cantik.

RETNO : Tidak cuma itu. Montok. (tertawa lalu meludah). Kadang-kadang saya
ingin berpidato di alun-alun ini. Pidato dihadapan berjuta-kuta laki-laki. Telanjang.
Kalau tidak, –sebentar! Pemuda itu berdiri saja dipojok jalan itu. (membetulkan letak
kutangya) Rejeki tidak boleh terbang percuma begitu saja. (pergi menyusup gelap)

( Sepeninggal Retno, Mae dicekam suasana sepi. Ia menatap keliling : Kegelapan dan
kesenyapan. Ia menggigil. Dingin. Takut. Aneh. Angin kencang lewat. Ia tersenyum
waktu matanya bertemu dengan bulan yang gendut dilangit. Dan ia pun keramaian
dirinya dengan khayalan-khayalan. Sekonyong-konyong ia marah. Ia membayangkan
seakan ia kini mengorek-ngorek bulan itu )

MAE : Sinuwun! Sinuwun! malam lagi! ini malam syura. Malam Syura Apa?
(menggeleng-geleng dengan sedih. Ia menangis tapi ia sudah cape).
Diam, nak. Diam sayang. kalau tidak juga kita dapatkan disini, tentu kita pindah lagi.
Di sini sayangku. Kita tidur di sini malam ini. cah bagus. Ini malam syura, Kita tidur
bersama Sinuwun Gusti Pangeran di alun-alun keramat ini. ( dengan kasih ia
meninabobokan anak-nya dengan sebuah tembang jawa)

( Muncul Seorang pemuda remaja. Ia mendekati Mae dengan isyarat-isyarat


tangannya, berlaku seperti orang bisu. Namanya PANUT.)

PANUT : (menunjuk-nunjuk perutnya dengan mulutnya)


bbbbb….aaaaa..a….bbbb..bbb,,aaaa

MAE : (jantungnya bergertar sangat cepat) Kenapa? Kenapa kau? Kenapa kau?
Kenapa kau, Panut? Panut?

PANUT : bbbbb….aaaaaa..bbb….
MAE : Gustiku. Gusti Pangeran. Kenapa? Gusti. Kenapa kau jadi bisu?

PANUT : (menggeleng-geleng) AAAaaaaa..aaa..bbbbb..

MAE : (menangis) Gusti. Saya jadi bingung. Siapa yang salah? Kenapa? Panut,
anakku Panut.

( Tiba-tiba Panut tertawa sangat keras.)

MAE : Edan!!

(Panut terus tertawa)

MAE : Kurang ajar (mengambil sebilah kayu dan mengacung-acungkan kayu itu)
Awas kalau kau ulangi. Ayo!

( Panut menyusup kegelapan seraya tertawa )

MAE : Kurang ajar. Anak nakal……Tidak. Bukan kau sayang. Diam, sayang,
(melemparkan kayu itu) Nah, diam sekarang. Panut nakal, ya?

( Panut muncul lagi. Ia masih tertawa )

PANUT : Gampang. Gampang, Mae! Lebih gampang dari mencopet,

MAE : Kau ini sedang apa?

PANUT : Tapi ada cara lain. Menari. (menari jawa seraya mulutnya memusiki). Ha,
ini lebih gampang tapi saya harus membedaki dan menghiasi muka segala. Terlalu
banyak kerja.

MAE : Nanti dulu. Kau ini sedang bicara apa?

PANUT : Saya tidak akan mencopet lagi.

MAE : Berapa kali Mae bilang? tidak usah kau belajar mencopet. tidak baik.

PANUT : Soal baik tidaknya saya tidak peduli. Soalnya tangan ini. Sial. Setengah
tahun sudah latihan tapi sekalipun tak pernah saya berhasil. Bagaimana saya tidak
jengkel.
MAE : Jengkel pada siapa?

PANUT : Pada diri saya sendiri. Coba di pasar Bringharjo. Jelas laki-laki itu orang
yang ceroboh. Artinya kalau saja pinter dan cekatan tentu pulpennya sudah saya
dapatkan. Tapi saya gemetaran. karena gemetar rusak segalanya. Pulpen sudah
ditangan tapi kaki sukar dilangkahkan. Terpaksa saya berikan pulpen itu ketika mata
laki-laki itu melotot dan segera saya menghilang.

MAE : Apa kata Mae? Nguli saja, nguli saja. Kau nekat coba-coba nyopet. Nguli
lebih baik dari apapun yang dapat kau lakukan. Mae juga ingin nguli saja kalau ada
orang yang suka. Tapi Mae sudah terlalu tua. Cari kerja untuk orang semacam Mae
yang tidak punya tempat tinggal tentu sangat sukar. Orang takut kepada kita. Orang
sukar percaya. Percayalah Panut. kalau nguli kau bisa merasa senang.

PANUT : Saya tidak akan mencopet lagi.

MAE : Nah, itu baik sekali. Mae percaya kau memang anak yang baik. Kau pernah
dengar suara adzan tidak?

PANUT : Setiap kali saya dengar.

MAE : Maksudku kau percaya pada Tuhan tidak?

PANUT : Seperti setiap orang. Tapi Mas Woto bilang Tuhan itu tidak ada. Tuhan itu
racun. Tuhan itu arak. Candu. Tuhan itu asap rokok. Kata Mas Marwoto.

MAE : Itu tidak perlu. Kau sendiri percaya tidak? kalau kau percaya memang tak
layak kau mencopeti barang milik orang lain.

PANUT : Saya bilang saya tidak akan mencopet lagi. Bajingan. Kemarin saya coba-
coba bantu Mas Wiryo tapi sial juga.

MAE : Membantu apa?

PANUT : Maling.

MAE : Astaga.

PANUT : Untung saya tidak tertangkap. Kasihan Mas Wiryo

MAE : Maling itu kan lebih jahat daripada mencopet.


PANUT : Tentu saja, maling itu kan tidak berjiwa ksatria seperti pencopet.

MAE : Bukan itu maksud mae!

PANUT : Soalnya tangan ini Mae. Sial. Tapi Tunggu dulu. Tad itu Mae betul-betul
percaya to? Kalau Panut bisu?

MAE : Haduuuuuuh, hampir Mae tidak bisa bernapas tadi. Kaget bukan kepalang.
Kok tiba-tiba kamu jadi bisu tadi. Padahal kamu itu anak mae yang paling cerewet.
Banyak omong banyak cerita.

PANUT : Itu sudah cukup. Itu namanya saya berhasil. Besok pagi saya akan mulai

MAE : Mulai apa?

PANUT : Ngemis

MAE : Astaga

PANUT : Apa salah?

MAE : Panut! Kalau kamu anak saya, kupingmu itu sudah saya jewer. Otot mu masih
kuat tubuh mu masih utuh. Kamu mau minta-minta seperti tua bangka yang tersia
sebatang kara? Oalah le le. Kakimu itu akan membusuk kalau tidak dipakai buat
bekerja.

PANUT : Ngemis kan juga kerja. Kamu kira ngemis itu enteng? Kan makan tenaga
dan perasaan juga. Soalnya bukan itu. Soalnya sial saya ini. Dan lagi soal makan,
bukan soal perasaan.

MAE : Ya, tapi kau masih kuat untuk bekerja. Bekerja baik-baik maksud Mae. Tidak
mencelakakan. Nguli misalnya. Kau bisa seperti Tukijan. Begitu rajin dia bekerja di
pasar. Tapi dasar orang suka bekerja dan rajin. Tadi pagi-pagi benar ia pergi ke
Sumantrah.

PANUT : Siapa?

MAE : Tukijan. Pagi tadi ia naik kereta api ke jakarta. Dari sana nanti ia nyeberang
ke Sumantrah.

PANUT : Mulut rusak. Baru saja saya lihat dia sedang nongkrong dekat bioskop
Indra.
MAE : Siapa?

PANUT : Tukijan.

MAE : Kau salah lihat pasti. Bukan Tukijan yang kudisan. Tukijan yang bersih
ganteng.

PANUT : Ya, Tukijan yang gandrung pada si Retno kemayu itu to.

MAE : Kau sungguh-sungguh?

PANUT : Biar buta mata saya kalau saya bohong. Kemaren Tukijan memang bilang
begitu pada semua orang. Tadi saya lihat sendiri ia sedang nongkrong dekat bioskop
Indra.

MAE : Sedang apa dia?

PANUT : Tukijan?

MAE : Ya

PANUT : Nongkrong, Melamun, seperti Gatotkaca kehilangan sayap.

MAE : Saya tidak percaya

PANUT : Percaya terserah, tidak terserah. Bukan urusan saya! Tikarnya Mae. Saya
kira enak sekali malam terang bulan ini tidur di tengah alun-alun (tertawa) Tukijan,
Tukijan.

Mae memberikan sehelai tikar buruk pada panut. Tiba-tiba muncul Retno dari
kegelapan.

RETNO : Sial!

PANUT : (seraya membaringkan badan)

RETNO : Apa?

PANUT : Tidak (baring)

MAE : Siapa yang sial?


RETNO : (meludah) Siapa lagi? Pemuda itu. (meludah)

MAE : Bukan kau?

RETNO : tentu saja dia. Tengik. Akik

PANUT : (tertawa)

MAE : Kau memang cantik.

RETNO : Luar biasa! (tertawa pahit. lalu menarik nafas kesal) Setan. Tukijan edan!

MAE : Siapa yang kau kutuk? Sejak sore tidak habis-habis kau mengutuk. Selalu kau
marah-marah.

(sunyi sebentar)

RETNO : Lama-lama aku jadi ingin pergi dari Jogja ini.

MAE : Kemana?

RETNO : Kemana saja. (tiba-tiba) Aduuuuuuh!

MAE : Kalau kau bilang begitu pada Tu…..

RETNO : Diam! SI banci itu lewat lagi.

(Pemuda yang tadi muncul lagi dari kegelapan)

RETNO : ( membusungkan dadanya) Mlampah-mlampah dik?

( Setelah beberapa lama berpaling dengan nafas yang kacau segera pemuda itu
menghilang dalam kegelapan)

RETNO : Banci sintiiing banci sinting banci sintiing! UUuuh! (meludah) Pasti
Mahasiswa dia. Nafsu melimpah uang cuma serupiah.

PANUT : Ngaku santri lagi.

RETNO : Tahu saya. Kita sering lihat dia lewat. Rumahnya pastidekat rumah Haji
Bilal. Kalau saya sedang mencuci ia selalu lewat. Kalau siang ia buang mukanya
jauh-jauh dari saya (meludah). Tapi kalau malam niak turun nafasnya melihat
kecantikan saya (tertawa). Besok malam saya peluk dia dari belakang (meludah)
Pura-pura.

MAE : Kau memang cantik.

RETNO : Menggiurkan! (tertawa pahit lalu meludah)

MAE : kau tidak pernah mengandung?

PANUT : (tertawa keras)

RETNO : Apa?

MAE : Kau tidak pernah mengandung?

RETNO : Gila! (senyum pahit tapi genit) Diam!

MAE : Tidak habis-habis kau mengutuk.

RETNO : (tak tahu kepada siapa) Gara-gara kau semuanya serba sial.

MAE : Tidak baik. Apalagi untuk malam ini. Aku bilang sekarang. Malam ini malam
terang bulan. Sangat menyenangkan tidur di alun-alun ini. Di muka pagelaran.
Berkat. Sinuwun itu sakti. Alangkah segarnya. Kita boleh melalmun dengan
sempurna di sini.

PANUT : Tidak bau air kencing seperti di Musium

MAE : Nyaman. Banyak angin. Tapi juga angin yang baik. Bersih. Anak-anak mesti
dilindungi dari angin yang terbaik sekalipun (menina-bobokan lagi anaknya dengan
sebuah tembang jawa).

RETNO : Tukijan edam!

MAE : Apa?

RETNO : Bulan—–AH, Setan!

MAE : Kuning montok seperti kau (diam) Kau kira enak orang tidak punya anak?
RETNO : (diam)

PANUT : (menyanyikan sebuah lagu picisan tema cinta)

MAE : Retno!

RETNO : (malas) Hmmmm? (Makin kesal) Alaaaah setan!

MAE : Kau kira enak orang tidak punya anak?

RETNO : (diam)

MAE : Kau pernah mengandung?

RETNO : Ho-oh!

MAE : Berapa kali?

RETNO : Satu kali tapi persetan!

MAE : Berapa?

RETNO : Satu!!

MAE : Enak?

RETNO : Sakit!

MAE : Jadi sungguh-sungguh?

RETNO : (diam) Persetan!

MAE : Sungguh-sungguh sakit?

RETNO : Iya. kalau Mae ingin tahu, melahirkan itu rasanya sakit.

PANUT : (tertawa)

RETNO : Ketawa
PANUT : Sakit (tertawa)

(Mae tertawa juga. Retno juga akhirnya)

RETNO : Memang lucu juga.

MAE : Melahirkan. Sakit. Semuanya.

(Sunyi sebentar)

MAE : Anak-anak manis. Semua orang berjuang untuk mereka. (tiba-tiba bergetar
dadanya) Aduuuuh biyuuuung…..(kepada Retno) Kemana anak itu?

RETNO : (meledak) Mati!!!! (menyesal) Dia mati!!!

MAE : (marah) Kau juga yang salah.

RETNO : (meledak) Jangan banyak mulut!!! (diam) Maaf Mae

MAE : Kau yang patut disalahkan. Sebenarnya kau bisa berrbuat yang lebih baik.

RETNO : Memang. (tiba-tba) Aduuh! Setan!

MAE : Memang. Selalu ada pemecahan buat setiap persoalan. Tapi kau malas
mencari.

RETNO : Bukan aku.

MAE : Kau!

RETNO : Bukan.

MAE : Orang punya anak itu mesti prihatin! Mesti hati-hati. kau tahu, Retno? Angin
itu lembut ya? Nyaman ya? Tapi Angin itu berbahaya bagaimanapun juga. Yang enak
di badan tidak selamanya enak di hati. Yang enak di hati tidak enak di badan. Kau
harus jujur. He, Retno angin bukan? Angin itu kosong kelihatannya padahal setan
isinya. Kau tidak hati-hati. Tidak mau, kau salah.

RETNO : Bukan aku. Suamiku.

MAE : Kau! Kau adalah Ibunya!


RETNO : Dan suamiku adalah bapaknya! Dia harus cari makan.

MAE : Apa dia tidak cari makan?

RETNO : Cari makan! Untuk perkutut! (tiba-tiba ia menangis. ia menghindar.


Beberapa lama ia tersedu) Sebenarnya aku sangat sayang padanya.

PANUT : (bangkit). Tadi Koyal makan, Mae? (karena Mae tidak menjawab, ia
kembali berbaring)

RETNO : Sejak gadis dulu aku mengidamkan dapat melahirkan anak laki-laki. Anak
itu laki-laki dengan mata yang teduh seperti kolam. Hatiku selalu bergetaran
menyanyi setiap kali bertemu dengan mata itu. Tapi makin lama mata itu makin
kering sebab bapaknya tidak pernah melakukan apa-apa. Suatu ketika aku sakit. (lama
diam) Anak itu sakit. Kelaparan. Ia mati. Sejak itu aku hampir gila oleh perasaan
kecewa dan kesal. (diam) Suatu hari suamiku pulang setelah menuntaskan bergelas-
gelas arak. Bukan main aku marah. Dan sekonyong nasib turut campur. Rumah itu
terbakar (gerahamnya merapat ketat) Setan! Setan!

MAE : Pendeknya kalian berdua. Kalian berdua salah. Kalian malas. Kalau anak itu
sekarang masih hidup, barangkali ia sudah cukup mampu menolong kau. Saya yakin
kau sangat menyesal dan suatu ketika kau bisa gila bila kau merasa kangen kepada
anak yang malang itu.

RETNO : Sudahlah.

MAE : Retno….

RETNO : (diam pergi dan bersandar pada tiang listrik)

MAE : Tapi tidak semua orang melahirkan anak.

PANUT : Laki-laki tidak.

RETNO : Dan….

MAE : Dan?

RETNO : Dan perempuan seperti aku. Lonte.

MAE : Tidak.
RETNO : Kenapa?

MAE : Perempuan seperti Mae. Ya, tidak?. Tidak semua perempuan. Saya telah
menjalani hidup tidak kurang dari lima puluh tahun, panjang dan lengang. Tidak
pernah sekalipun melahirkan anak.

RETNO : Mae memang mandul.

MAE : (marah) Saya tahu! Tahu! Tahu! Saya tahu! (menangis dan mengusap-usap
matanya)

RETNO : (menyesal akan omong tadi tapi didahului Mae)

MAE : (seraya menangis) Setiap orang dijagat raya. Semuanya. Seluruh isi jagat.
Semut-semut pun tahu saya perempuan mandul. Tapi tidak sepatutnya kau berkata
begitu dihadapan saya.

RETNO : Saya minta maaf. Mae

MAE : (makin reda tangisnya) Saya kesepian. Saya sungguh-sungguh kesepian


sebagai perempuan. Tidak itu saja. Bahkan saya sangat kesepian sebagai manusia.
Sampai-sampai saya sangsi pada diri saya sendiri. Sampai-sampai saya tidak tahu lagi
dimana saya ini berada. Betul-betul seperti mimpi. Mimpi yang sangat buruk! Kalau
sampai pada tempat itu alangkah ngerinya. Saya tidak lagi dapat melihat apa-apa.
Saya mulai menyangsikan semuanya. Saya sangsi apakah saya ada atau tidak ada.
Atau apakah yang ada dan apa yang tidak ada. Apakah saya yang ada dan yang lain
tidak ada. Atau apakah yang lain ada dan saya tidak ada. apakah….tak taulah!
Seluruhnya hanyalah jalanan panjang yang lengang tak berujung. Sementara tapak
kaki mulai kabur.(diam) Segala yang hidup disibuki oleh tugas kewajibannya masing-
masing. Tapi Mae…perempuan kertas yang dipinjami nyawa cuma. Tersia dan
disingkirkan dimana-mana.

RETNO : Kita sama-sama Mae.

(Sekonyong-konyong muncul HAMUNG si Kaki Pincang)

HAMUNG : Maunyya kita sama-sama, tapi si Tukijan itu plintat-plintut seperti orang
banci. Saya kira dia sudah tidur di Senen dan niat saya pagi nanti akan menyusulnya.
Setidaknya saya tidak langsung ke Sumatera. Saya memang belum berniat kesana. Ee,
tahu-tahu, baru saja keluar dari stasiun Tugu sore tadi, keluar dengan karcis di
tangan,, nyelonong hidungnya.

RETNO : Hidung siapa?


HAMUNG : Tukijan.

MAE : Betul, Retno. Panut juga bilang begitu.

PANUT : (bangkit) Betul. Aku juga melihatnya di Bioskop Indra. Mula-mula aku kira
mataku yang salah. dan aku mengira cuma hantu atau rohnya., (tertawa) agaknya
memang Tukijan.Jaaaaan!….. Jan! Lama sudah ia memimpikan tanah. Selalu ia
ceritakan nenek-neneknya. Petani semuanya. Tanah itu kotak wasiat, katanya
(tertawa) Kotak wasiat. Pernah satu kali saya diajak olehnya ke Bantul Lihat-lihat
sawah, katanya. (tertawa) Lihat-lihat sawah. Saya tahu dia punya kemauan keras.
Saya hormat kepadanya. Apalagi saya jauh lebih muda. Tapi saya tak salah kalau
mengajak dia supaya meniru perbuatan saya. Terus terang saja saya bilang bahwa
mencopet itu penghasilannya banyak. Kuncinya tentu saja terletak pada keterampilan.
dan kelincahan kita. Mas Marwoto sendiri mengatakan bahwa mencopet itu seni
hidup yang paling tinggi. Seperti halnya berjudi, dasarnya memang untung-untungan.
Tapi kata Mas Woto, untung-untungan itu sudah sifatnya dunia, sifatnya……

HAMUNG : Tutup moncongmu, bocah.

RETNO : Jadi…..

MAE : Saya juga heran.

PANUT : Kan saya sudah bilang tadi Dia saya temi dekat bioskop Indra. Lagi
melamun. Tapi juga seperti orang bingung. Ah, dia itu. Seperti bukan laki-laki saja.
Nih, lihat. Panut!

RETNO : (tak ambil perduli pada Panut seperti yang lainnya juga) Kalau begitu….
(tersenyum dan dibalik senyumnya ia menyembunyikan sesuatu) Aneh sekali bukan?

HAMUNG : Aneh sekali. Dia itu orang yang teguh pendirian. Tapi, eh.
Mengherankan sekali. Saya tanya kenapa dia belum berangkat padahal dia sudah
pamit pada kita, ia cuma diam.

PANUT : Bukan mustahil ia pun telah pamit dan minta restu pada Kanjeng Sinuwun.
(tertawa) Memang sedih juga kalau dia jadi berangkat. Tapi memang aneh….

MAE : Waktu adzan subuh tadi pagi untuk pertama kalinya saya menangis seperti
seorang Ibu yang sedang melepas anaknya pergi jauh. Tidak kurang dari satu jam
mata saya meneteskan air. Berkali-kali saya menggelengkan kepala. Mulut saya tak
henti-henti berdoa. Eh, tahu-tahu dia belum berangkat. Betul kata orang dulu. Orang
yang bepergian tak merasa tenang kalau ada diantara orang yang ditinggalkannya
belum rela.
(Panut bangkit berdiri dan sekonyong-konyong bisu-bisuan lagi)

PANUT : Bbbb….Aaaaaa…..bBbbbb.

HAMUNG : Kumat. Kemasukan setan! Kalau tidak ayan.

PANUT : Bajigur.

HAMUNG : Habis kau seperti orang yang kehilangan kepala, Kalau kau terus begitu
kau bisa sinting.. Tapi ya bagus juga. Kalau kamu miring, si Koyal ada kawannya.
Ya, tentu ada bedanya. Kalau Koyal kesana kemari pamer bahwa dia anaknya
Kumico dan bangga akan badannya yang jangkung seperti opsir Belanda. Sebaliknya
tentu kamu gembar-gembor bilang masih keturunan Jepang (tertawa)

PANUT : Jangan menghina begitu Mung! Kan tidak kamu saja yang punya perasaan?

HAMUNG : Tidak. Celeng juga punya perasaan.

MAE : Sudah Hamung. Jangan kau teruskan seperti kemarin. Nanti dia nangis lagi.
Eh, siapa yang nangis kemarin?

PANUT : Bukan saya! Koyal. Dia cemburu, pacarnya serong. Tiap malam pacarnya
digandeng orang katanya.

RETNO : Biasanya dia sudah datang.

PANUT : Siapa? Tukijan?

RETNO : (genit) Cih! Koyal!

PANUT : O, Koyal. Daripada menunggu lama-lama, Kan ada saya? (tertawa)

RETNO : Ee

MAE : Memang. Biasanya Koyal terus saja nyelonong kalau kita sedang asyik-
asyinya ngobrol

HAMUNG : Yakin saya. Dia bisa gila. Setengah mati dia ingin jadi orang kaya.

PANUT : Impiannya selangit


HAMUNG : Lucunya dia cumua ingin punya uang bertumpuk. Tapi sintingnya,
sedikitnpun ia tidak mau bekerja. Ia cuma ngemis.

PANUT : Makan pun tak mau ia urunan seperti kita-kita ini. Dia cuma makan. Bayar
tidak mau.

RETNO : (tertawa) Dan edannya uang hasil minta-minta nya ia belikan lotre. Entah
sudah berapa puluh lembar lotre dibelinya. Satu kalipun belum pernah ia menang.

MAE : Biarkan ia tidak urunan. Ini permintaan Mae. Mae bilang, kalau kalian semua
yang Mae masakkan boleh Mae anggap sebagai anak-anak Mae. Dan sudah umumnya
anak-anak. Tidak semuanya rajin. Mesti ada saja yang nakal ataupun malas. Mae
ingin kalian semua rukun satu sama lain. Sedikit-sedikit yang malas diajar kerja.
Sedikit-sedikit yang suka nyopet diajar kerja. Mae ingin semua senang lahir batin.

(Terdengar suara daari jauh : NUUUUT!! AYO!! )

PANUT : Itu suara Mas Woto. (berseru) Hooooiiii!!

MAE : Tak usah turut Panut. Tak usah. Lebih baik kau pura-pura tak dengar.

PANUT : (berseru) Kemana Mas?

( Terdengar dari jauh : Ada makanan! Cepat! )

MAE : (gelisah) Jangan turut, Nak. Jangan. Kasihan dirimu.

PANUT : (semangat) Sebentar Moaaasss!

( Panut pergi Mae terluka dan sedih )

MAE `: Dia pasti mednapat celaka! Pasti mendaat celaka! Tapi memang dia masih
bocah. Bukan salahnya (menangis)

HAMUNG : Jangan pedulikan

MAE : Dia tidak bersalah. Dia masih bocah. Setiap orang harus…….

HAMUNG : Sama sekali tak ada salahnya. Tak ada yang salah.

MAE : Orang tuanya yang salah. Tapi siapa orang tuanya? Di sini saya orang tuanya.
Jadi saya yang bersalah. Seharusnya saya terus menahannya.
HAMUNG : Tak ada gunanya.

RETNO : Mae tak usah terlalu susah.

MAE : Siapa bilang? Mae tak pernah bertanggung jawab. Sekarang disini Mae
berusaha jadi Ibu kalian. Salah satu di antara kalian sedang menuju ke penjara tanpa
di sadarinya. Apakah Mae harus diam saja? Kalian tahu? Dialah yang satu-satunya
yang Mae harapkan selain Koyal. Hamung, kau besok ke Jakarta. Mungkin juga
Tukijan. Dan kemudian Retno. Dan kalau Mae biarkan Panut masuk penjara dan
koyal pergi ke tempat lain, apakah yang terjadi atas diri Mae? Pulang ke Tegal?
Tempat itu bukan lagi tempat Mae…….Tak ada tempat. Mae akan kembali seperti
ketika pertama Mae datang kemari. Sebatang kara. Kering.

RETNO : Mae tak usah khawatir. Saya tak akan meninggalkan Mae.

MAE : Semua akan meninggalkan Mae pada akhirnya. Suamiku yang pertama pun
berkata begitu dulu, tapi akhirnya ia pun mengusirku juga. Dan kemudian suamiku
yang bernama Sutar meninggalkan aku. Malah suamiku yang paling setia dan paling
tua pergi juga. dimakan gunung merapi.

RETNO : Tidak, Mae. Saya juga sebatang kara. Saya juga tersia. sebab itu saya lebih
senang dengan Mae. Berkumpul sangat membantu mengurangi kesusahan.

MAE : Tidak. Kau tidak tersia. Kau masih muda. Belum masanya kau berputus asa.
Sekiranya kau menurut nasihat Mae dan tak usah kau menjadi….

RETNO : (memotong) Mae.

MAE : Retno. Mae sayang sekali padamu. Pada Hamung, pada Tukijan, pada Koyal,
pada Panut dan pada siapa saja yang memandang Mae sebagai Ibunya, Seperti juga
Mae sangat sayang pada Mas Ronggo (diam) Ia kena lahar (diam) Retno, diam-diam
perasaan Mae remuk waktu Tukijan pamit tadi pagi. Tambah lagi Hamung……dan
Panut.

RETNO : Sudahlah Mae.

HAMUNG : Ya Mae. Retno akan tinggal di sini dan akan selalu bersama Mae.

MAE : Keinginan Mae memang begitu juga, tetapi sebaliknya bagi Retno….

HAMUNG : Setidak-tidaknya dia tidak akan melupakan Mae (menguap)


RETNO : Percayalah Mae. Kami tak akan begitu saja melupakan Mae. Kami juga
menganggap diri kami sebagai putra-putri Mae yang nakal-nakal. Bukan Panut dan
Koyal yang nakal, tapi kami semua juga nakal-nakal. (tersenyum menghibur) Dan
kenakalan kami tidak mengurangi cinta kami pada Mae.

MAE : (menangis)

RETNO : Mae, jangan menangis begitu. Mae.

MAE : Mae kesepian.

RETNO : Mae sendiri yang bilang dan selalu bilang pada si Koyal bahwa kawan kita
banyak. Bintang-bintang , Bulan, Langit…

MAE :Mae bahkan lupa pada wajah Mae sendiri.

RETNO : Mae.

MAE : Kalau kau menurut kata Mae, kau kawin dan Mae kau tinggalkan. Sebaliknya
kalau kau tetap tinggal disini dan kau terus begini…oh, Mae tak tahu apa yang Mae
kehendaki.

( Ketika cuma beberapa angin yang berkata. Tiba-tiba terdengar teriakan Koyal :
HOOOOIIII! Aku dapat lotre!! Hoooiiii!!! Aku menang!! )

MAE : (menghapus air matanya) Koyal.

RETNO : Dapat lotre. Dia menang.

HAMUNG : Memuncak sintingnya.

( Lelaki kurus tinggi berkulit terang, meski banyak daki, dan berambut lurus, muncul
dengan nafas kacau)

KOYAL : Wah! saya cari kemana-mana, rupanya kalian disini

MAE : Kita disini malam ini. Malam terang bulan. Malam syyura. Malam penuh
berkah.

HAMUNG : Kau nanti….


KOYAL : Betul! Malam berkah melimpah (tertawa menang) Lihatlah kedua
tanganku. Di tangan kiri ; lembaran lotre. Di tangan kanan sobekan koran.! Kalian
tahu? Aku telah menyobek koran yang terpasang di muka gedung Agung. Aku terlalu
girang. Aku sobek saja koran itu. Tak peduli! ( tertawa )

MAE : Koyal…..

RETNO & HAMUNG : (hampr bersamaan) Kau menang?

KOYAL : ( tersenyum bangga ) Hampir!

RETNO : Ha?

KOYAL : (tersenyum bangga) Hampir! Cuma beda sedikit. Beda satu (tertawa)

RETNO : Edan.

HAMUNG : Biasa. Kepala penjol otaknya ya penjol.

MAE : ( riang ) Anakku dapat lotre!

KOYAL : (bangga) Hampir Mae.

MAE : Syukur. Syukurlah. Hampir.

KOYAL : Kau lihat, Mung. Pada koran ini tertulis : “hadiah seratus juta jatuh pada
nomer 432480, Solo”, sedangkan punyaku 432488. Ha, beda satu, kan? (tertawa
senang) Hampir aku menang. Betul tidak?

HAMUNG : Belum menang sudah hilang ingatan.

KOYAL : Tak ambil pusing aku. Yang penting aku hampir menang. Artinya tak lama
lagi aku pasti menang. Kau lihat, Muung. (menunjukan lot yang lain) Nih, aku sudah
beli lagi. tidak cuma itu malah. Baru saja aku tanya tukang nujum. Burung glatik
yang cerdik itupun menjanjikan kemenangan itu. Satu kartu dengan gambar bunga
mawar, satu kartu dengan gambar sapi, satu kartu dengan gambar rumah. kau mesti
tak percaya?

HAMUNG : Kau sendiri percaya?

KOYAL : Tentu saja. Saya sudah bayar kok


HAMUNG : Ya, udah. Sama saja.

KOYAL : Apanya yang sama?

HAMUNG : Ya, kalau kau sendiri percaya pada tukang nujum itu, saya ya turut-turut
percaya. Biar kau senang. Kau kan slalu ingin senang?

KOYAL : (tertawa) Bagaimana kau ini. Senang itu kan tujuan semua orang?

HAMUNG : Syukur, kalau kau mengerti itu.

KOYAL : Ah. Kalau kau percaya saya mengerti itu. Itu sudah sejak semua orang tua
saya hilang.

HAMUNG : Kau sendiri percaya?

KOYAL : Ha?

HAMUNG : Ya, sudah. Percaya. (diam) Nah saya yakin kau telah melupakan sesuatu.

KOYAL : Apa?

HAMUNG : Nah betul kan? Belum kejatuhan uang kau sudah melupakan sahabatmu
sendiri.

KOYAL : Ikat pinggang ini? Kau kira dapat mencuri? Tidak. Saya tidak mau seperti
Panut. Juga lantaran Bapak saya dulu kumico. Sungguh mati. Ikat pinggang ini
dihadiahkan Tukijan sendiri waktu ia akan berangkat tadi pagi.

HAMUNG : Apa ikat pinggang itu sahabatmu? Betul-etul kau lupa. Suling mu Yal!

KOYAL : (tertawa) mana bisa saya lupa? (mengambil suling dari selipan ikat
pinggangnya). Mau lagu apa?

MAE : Leloledung, Yal

KOYAL : Aduh. Lagu nenek-nenek

RETNO : Koyal sih biasanya lagu India.


KOYAL : Itu dia. Selera kita ternyata sama. Kau ingat Retno? Nanti dulu. Kau ini
harum sekali. ( pada Hamung ) Retno cantik ya? (tertawa) Nah, kau ingat lakon Ali
Baba?

RETNO : Yang main…eee…

KOYAL : Kura-kura makan kelapa, ya? Pura-pura lupa, biar orang lain bilang; eh
Retno kau persis bintang Film Sakila (tertawa)

RETNO : Dan kau seperti Mahipal.

KOYAL : Kalau begitu tepat sekali kita menyanyi malam ini. Dengar. (memainkan
sulinhg) (jangan lupa; sebenarnya permainannya sumbang)

HAMUNG : Koyal pintar ya?

RETNO : Kau memang pintar, Yal.

MAE : Anakku pinter…..

KOYAL : (berhenti) Itu sudah bakat. Pinter itu sudah bakat saya. Kau sendiri pernah
dengar cerita ayah saya yang dulu pernah jadi Kumico. Sudah lumrah kalau ia punya
anak sepintar saya. Cuma sayangnya mereka terlampau cepat mati.

HAMUNG : Maumu kapan?

KOYAL : Apanya yang kkapan?

MAE : Hamung, sudah.

HAMUNG : (keras) Maumu kapan orang tuamu mati?

KOYAL : Mau saya setelah saya dewasa. Tapi mereka terburu matii dan membiarkan
saya terlunta-lunta (melamun) Kalau saya ingat nasib saya, ingat saya pada filem
Malaya. P. Ramli Maksud saya. Retno tentu ingat juga.

RETNO : Jambulnya jambul onta

KOYAL : Betul lho. Saya ingat nasib saya kalau dengar lagu-lagunya. Saya jadi ingat
ibu bapak saya. Terutama saya tidak bisa melupakan pipa gadingnya yang panjang
itu. Pipa itu dikagumi semua orang. Ah (diam) He, Mung. Kau lahir dimana?
HAMUNG : Tak ambil pusing.

KOYAL : Orang ditanya tempat lahirnya dimana kok, jawabnya tak ambil pusing.

HAMUNG : Habis? Apa kau kira saya tahu tempat dimana saya dilahirkan? Apa
orang lain pun tahu tempat dimana dia dilahirkan? Apa kau tahu?

KOYAL : Kenapa tidak tahu?

HAMUNG : Kau tahu darimana ?

KOYAL : Dari ibu bapak saya tentu saja.

HAMUNG : Atau dari tetangga-tetanggamu.

KOYAL : Tidak. Dari ibu bapak saya sendiri

HAMUNG : Sama saja.

KOYAL : Ya, tidak.

HAMUNG : Ya, sama. Artinya kau sendiri tidak tahu. Apa kau dilahirkan di ranjang
atau di atas rumput tentu kau sendiri tidak tahu. Dan bagaimana bisa tahu? (tertawa)

KOYAL : Kau ini main-main. Ditanya betul-betul kok.

HAMUNG : Kau kira saya main-main? Tanyalah lagi saya. He, Mung, di mana kau
lahir? Atau di atas ranjang atau di meja kau dilahirkan?

KOYAL : He, Mung. Di mana kau lahir?

HAMUNG : Tidak tahu (tertawa) Pasti kau anggap itu main-main. Coba kau fikirkan.
atau coba kau tanya lagi. He, Mung, Bagaimana kakimu bisa pincang?

KOYAL : He, Mung. Bagaimana kakimu bisa pengkor?

HAMUNG : Tidak tahu (tertawa) Ha, kau anggap saya main-main lagi? Tidak. Coba
kau fikirkan. Saya tahu bahwa saya ada, tatkala saya merasa sakit hati kalau kaki
pincang saya dijadikan ejekan oleh kawan-kawan saya.

KOYAL : (keras gembira) Nah, disanalah kampung halamanmu.


HAMUNG : Rumah tempat saya tinggal maksudmu>

KOYAL : Dimana lagi?

HAMUNG : Rumah itu berisi puluhan anak-anak kalau kau mau tahu.

KOYAL : Keluarga apa itu? Berapa ibunya?

HAMUNG : Rumah itu, rumah yatim piatu. Rumah itu musnah waktu pecah perang
dulu. Nah, bagaimana saya bisa tahu di mana saya dilahirkan? Atau tanyalah. He,
Mung, siapa orang tuamu?

KOYAL : He, Mung. Siapa oorang tuamu?

HAMUNG : Tidak tahu. (tertawa) Mengerti? (tertawa) Karena itu kenapa saya mesti
ambil pusing? Yang penting sekarang saya ada. Sebab itu saya harus memberi diri
saya makan.

KOYAL : Itu kau. Saya tetap ambil pusing. Habis saya punya orang tua. Hanya
sayang mereka, juga paman saya dan keluarganya, semuanya dicincang pemuda-
pemuda waktu revolusi dulu. Mereka membantu Belanda dan Jepang. Bagaimana
lagi? Kami perlu makan. Akhirnya tinggal saya seorang. Kalau saya kaya tentu…

HAMUNG : ( memotong ) …tentu tidak miskin (tertawa)

MAE : Sudah, Hamung.

( Retno yang sejak tadi gelisah, dalam diamnya, sekarang turut tertawa )

KOYAL : Tidak, tentu saya bisa memperkembangkan bakat kepintaran saya. Lalu
saya fikir…

HAMUNG : (memotong) Lalu saya melamun (tertawa)

MAE : Hamung.

RETNO : (tertawa)

KOYAL : ( tidak peduli ) Lalu saya fikir saya harus punya banyak uang dulu. Malah
akhir-akhir ini saya mencintai uang. Mengapa tidak? Saya telah melihat rumah yang
bagus-bagus. Saya telah melihat mobil yang bagus-bagus. Saya telah melihat segala
apa saja yang hanya bisa didapatkan dengan uang. Lalu…
HAMUNG : …..ngemis (tertawabersama Retno)

KOYAL : ……lalu saya mulai mengumpulkan uang. Tapi pasti terlalu lama. Lalu
saya belikan lotre. Dan baru saja saya hampir menang (tertawa) Itu tandanya tidak
lama lagi saya akan menang. Dan kalau saya menang dan menang dan menang dan
menang…dan menang lagi….oh, uang saya. Bertumpuk setinggi gunung Merapi.
(tertawa) Ya, Mung. Kau boleh pergi ke Jakarta besok dan membuat rumah setinggi
pohon kelapa, dan di sebelahnya, Tukijan boleh membangun rumah yang besarnya
lima kali keraton. Apa yang saya perbuat?

HAMUNG : Ngemis. (tertawa bersama Retno)

KOYAL : Tidak. Saya akan mendirikan di antara rumah raksasa itu hanya sebuah
gubug kecil saja. Tapi..dengar. Kalau jam tujuh pagi saya, Raja Uang, Keluar dari
gubug itu dengan dua buah koper penuh berisi uang. Jangan lupa, becak langganan
saya sudah menunggu di muka. Dengan dua koper itu saya berkeliling kota. (tertawa)
Orang-orang di sepanjang jalan bersorak sorak ; Hidup Raja Uang, Hiduup Raja
uang! Tentu saja saya hanya manggut-manggut. Dan dari koper itu, saya hambur-
hamburkan uang. Pasti saya tertawa menyaksikan orang-orang berebutan uang seperti
anak-anak ayam. Nah, kalau sudah jam 2 siang saya pulang. Uang habis sama sekali.
Dalam gubug ajaib itu saya tidur siang. Tidur di atas kasur yang berisi uang.
Berbantalkan bantal yang berisi uang, seraya memeluk guling berisi uang (tertawa).
Sorenya saya keluar jalan-jalan dengan empat buah koper berisi uang. Tentu saja kali
ini saya mesti menyewa mobil. Tiap-tiao rumah saya masuki dan saya taburi dengan
uang. Terutama sekali rumah kau dan rumah Tukijan. (tertawa) Dan kalau sudah
habis…

HAMUNG : (memotong) Ngemis lagi.

(Sekonyong muncul Panut dengan tergesa.)

PANUT : Tidak usah, Yal. He, Yal. Dengan gampang kau akan punya banyak uang
asal kau mau turut saja malam ini.

KOYAL : Kemana?

PANUT : Turut sajalah.

HAMUNG : Ya, turut saja biar penjolmu bertambah penjol.

MAE : Jangan. Ayo, Panut, kau membantah Mae. Jangan pergi! Disini saja! Koyal,
kau pun tak usah pergi.
PANUT : Ayo, Yal. Jangan seperti kerbau banci.

KOYAL : Mencuri?

PANUT : Turut saja. Tanggung beres.

KOYAL : Tidak. Saya tidak mau.

MAE : Nah, kau anak pintar, Koyal.

PANUT : Betul kau tidak mau uang?

KOYAL : Kalau uang saya mau.

PANUT : Turut lah dengan saya. Segera.

KOYAL : (lama) Tidak mau.

PANUT : Betul?

KOYAL : ……

MAE : Panut, turut kata Mae. Jangan pergi. Jangan. Kemanapun jangan.

PANUT : Betul, Yal? Betul kau tidak mau?

KOYAL : (melihat pada bulan)

PANUT : Syukur. ( melihat kejauhan ) Nah, kebetulan ada seekor kerbau yang lain.
Itu jantan sungguh. Sijio. ( Berseru ) Jioooo!! (pada Koyal ) Kerbau yang itu akan
berkubang uang.( pergi segera )

MAE : ( patah ) Panut! ( marah ) Harus ada yang dimarahi! Siapa? Jangan diam saja!
Kenapa diam saja! (amarahnya terkumpul pada wajahnya)

HAMUNG : (melihat kejauhan) Itu dia si Tukijan. Ia sedang menuju kemari.

RETNO : ( berdebar ) Mana?

KOYAL : ( tak percaya ) Mana? Ah, kau pasti main-main kan. Dia sudah berangkat
ke Jakarta tadi pagi? ( melihat ) Eh, betul Mae, si Tukijan. (gemetar) Celaka. Celaka.
HAMUNG : Ada apa?

KOYAL : Tidak (gugup) Itu. Mungkin. Mungkin dia dapat celaka. Barangkali. Ia
(gugup mencari sarung dari dalam kantongnya). (lalu tiba-tiba seperti kedinginan)
Hhhhhh, dinginnya. Hhhhhh. (dikenakannya sarungnya sehingga celananya tak
nampak).

MAE : Betul si Tukijan? Kau betul…

HAMUNG : Betul. Kenapa?

MAE : Kalau dia berniat pergi lagi besok atau lusa atau besok atau lusa seharusnya
dia tidak menolak. Tapi kenapa? (diam) Tak tahu saya. Tak tahu. (melihat arah
darimana Tukijan akan muncul)

HAMUNG : Barangkali banyak untungnya kelak. Siapa tahu? Barangkali kau lebih
senang juga. Tapi itu urusanmu. Nah, saya tentu saja tak hendak mencampuri
sedikitpun. Memang bukan watak saya ambil peduli urusan orang lain. Salah-salah
malah menjerumuskan.

MAE : Kelihatannya sangat aneh. Sangat lesu kelihatannya.

KOYAL : (semakin gemetar dan itu diselimutinya dengan gigilan dingin yang dibuat-
buat) Hhuuuuufff. Hhhhhhh, dinginya..

(Muncul seorang laki-laki sebaya dengan Hamung. Agaknya orang ini pendiam tapi
matanya tajam dan segera mengesankan sebagai seorang lelaki yang penuh
kesungguhan. Namun ia juga emosionil. Dia langsung duduk disebelah Mae. Retno
tidak pernah melihat kepadanya. Hamung bangkit.)

KOYAL : Kemana, Mung?

HAMUNG : Ngopi. (lenyap dalam kegelapan)

KOYAL : Ikut, Mung. (bangkit lalu lenyap dalam kegelapan)

(Sepi berapa detik. Angin)

TUKIJAN : Mae.

MAE : Mae mengerti (menangis)


TUKIJAN : Kalau sekali ini juga gagal lagi, saya berharap subuh nanti saya sungguh-
sungguh sudah punya ketetapan hati yang teguh; setidaknya sudah beli karcis lagi;
seharusnya memang begitu.

( Samar-samar dari kejauhan kedengaran orkes jalanan sedang memainkan keroncong


langgeng jawa tema cinta “erotik )

TUKIJAN : Mae tentu mengerti.

MAE : (mengangguk dalam sisa tangisnya)

TUKIJAN : Sama sekali salah kalau orang mengira bahwa niat saya ini didorong oleh
rasa ingin menolong. Kalau hanya lantaran perasaan itu barangkali tak perlu sampai-
sampai saya harus memperistri kau. Saya membutuhkan kau. Tak lebih dari itu.

RETNO : (Masih membisu)

TUKIJAN : Impian itu mesti diwujudkan, barulah ada artinya.

RETNO : (cuma memandang laki-laki itu. Itupun cuma beberapa saat).

TUKIJAN : Saya juga tidak suka menjanjikan apa-apa. Semuanyya masih bakal.
Yang saya miliki hanya kemauan. Dan lagi kita hanya mendengar bahwa tanah di
seberang penuh kekayaan yang masih terpendam. Sangat luas. Segalanya masih
terpendam. Segalanya. Di dalam tanah dan di dalam diri kita. Kalau kita sungguh-
sungguh menghendaki, kita harus mengangkatnya ke permukaan hidup kita. Saya kira
begitu.

RETNO : (kembali memandang lelaki itu).

TUKIJAN : Retno! Kau percaya? Saya tak peduli siapa kau. Saya hanyya
membutuhkan kau. Tak lebih dari itu. Saya tidak tahu tapi betul saya tak akan
melakukan apa-apa seandainya kau tak ada. Itu saja. Itu pun.

RETNO : Lantaran saya sangat mencintaimu, saya terpaksa menolak kau ajak.
Percayalah, kau akan lebih senang sekiranya kau berangkat sendiri. Tak ada orang
yang akan merepoti kau. Waktu kau lebih banyak.

TUKIJAN : ( bernafas berat. Sebentar menundukan kepalanya lalu melihat pada


Mae ).

MAE : ( memandang kosong. ia hanya membayangkan dirinya menangis. kosong).


RETNO : ( tiba-tiba ) Setan! Setan! ( sebentar menutup mukanya lalu sekonyong ia
melangkah menyusup dan lenyap dalam kegelapan )

( Tukijan meludah. Bersama orkes jalanan yang sayup-sayup suaranya. Cahaya pentas
pun menyusup surut dan gelap mutlak akhirnya. istirahat Sesaat.)

BAGIAN KEDUA
Di Atas Mega

( Bersamaan dengan makin terangnya cahaya pentas, terdengar suara seruling Koyal
yang sumbang itu menyusup di sela-sela angin malam yang bergemuruh. Mae, Retno
dan Hamung sudah nyenyak tidur. Tukijan terbaring gelisah setengah tidur di atas
tikar. Sedangkan Koyal masih asyik masyuk di tengah impian-impiannya dengan
serulingnya duduk di bawah tiang listrik )

KOYAL : ( Berhenti main suling ) Uuuu. Uuuuu! Uuuuuu!! ( melepas nafas kepada
beringin ) Selamat malam, beringin tua. ( kepada bulan ) Selamat malam, bulan
gendut. ( kepada rumputan ) Selamat malam rumput, ( memandang keliling ) Selamat
malam semuanya. Huh, malam! ( kepada bulan ) Apa? Melamun? Enak memang.
Melamun itu nikmat. ( kepada beringin ) Melamun juga kerja kan? Dan tidak cuma
itu, Aku membeli lotre untuk menjelmakan keinginanku. Uang! Uang! Uang!
( tertawa memperlihatkan lotnya ) Lihat. ( kepada bulan ) Menang? ……Akan
menang. Baru hammpir menang. ( kepada rumputan ) Kau yang tuli! ( kepada bulan )
Aku baru akan menang…Tidak…satu bedanya (memperlihatkan sobekan koran )
Aku bacakan ya! ( membacanya lambat-lambat ) Di koran tertulis 4-3-2-4-8-0,
sedangkan kepunyaan saya : 4-3-2-4-8-0, ( terkejut ) Heran aku (tak pecaya) Ah,
mungkin aku salah baca. 4-3-2-4-8-….0 ( kepada bulan ) He, aku menang artinya
( matanya makin melotot ) aku menang sekarang ( tertawa ) Aku menang. Aku
menang. Tentu engkau yang telah menyulap. Bulan, kau, main-main. Tapi biarlah.
aku senang ( tertawa ) Aku menang. He, rumpur aku menang. (tertawa) Biar! Aku
menang beringin tua. (tertawa) Biar. Enak! ( kepada bulan ) Terimakasih, bulan.
Terimakasih….Ya, enak. Segar, ya? Horeee!!! Hiudp bulan! Hidup impian!
Dongnengmu indah, sangat indah, bulanku. Horeeee!!!

( Sejak itu maka cahaya pentas pun berubah dengan cahaya yang fantastis. Koyal
berteriak kegirangan )

KOYAL : Horee!! Aku menang lotre!! Horee (diam) Melamun sendirian kurang
nikmat. Lebih asyik kalau kubangunkan semua orang. Semua saja (berteriak)
Hoooooooiiiiiii!!! Koyal menaaaaaaaaang!!! Aku menang lotreeeeeeeee!!! (tertawa)
Kubangunkan saja orang-orang itu.

( Fantastis. Koyal meniup sulingnya. Mae bangun )


KOYAL : (berhenti main suling) Mae, lihat (menunjukan lotnya serta sobekan
korannya) Aku menang. Baca. Ayo, baca. Sama ya?

MAE : Mae tidak bisa membaca.

KOYAL : Mae bilang saja. Koyal menang!

MAE : Koyal menang! O, ya. Koyal menang!

KOYAL : (tertawa) Horeeee! Koyal menang!!!!

( Fantastis. Koyal meniup sulingnya. Retno bangun )

KOYAL : (berhenti main suling) Ha, lihat. Aku menang, ya?

RETNO : Tadi kau bilang baru hampir menang?

KOYAL : Sekarang bilanglah; Kau menang!

RETNO : Kau menang – Setan

KOYAL : (tertawa) Horeee!!! Menang!!! Menang!!!

( Fantastis. Koyal meniup sulingnya. Hamung bangun )

KOYAL : (berhenti main suling) Lihat Mung. Sama kan? 432480, di koran dan
punyaku juga 432480.

HAMUNG : Kau sendiri percaya?

KOYAL : Tentu saja. Kau?

HAMUNG : Ya percayaaaa.

KOYAL : Horeee!!! (tertawa) Menang!!! Horeee!!!

(Fantastis Koyal meniup sulingnya. Tukjan malas bangkit)

KOYAL : (berhenti main suling) Jan, katakan aku menang.

TUKIJAN : (diam dan jengkel)


KOYAL : Jan, katakan. Aku menang. Katakan.

TUKIJAN : (masih diam)

KOYAL : Jan.

TUKIJAN : (sekonyong meletus) Diam, anjing!

KOYAL : Tentu aku akan diam nanti setelah kau bilang aku menang.

TUKIJAN : (menahan amarhnya)

KOYAL : Jan, tolong. Tolonglah. Katakan aku menang lotre.

TUKIJAN : DIam tidak?

KOYAL : Tentu. Tapi katakan dulu.

TUKIJAN : Kutampar kau nanti.

KOYAL : Kau mau. Pasti. Pasti. Nah, katakan. Aku menang.

TUKIJAN : (dengan kesal) Kau menang! Monyet!

KOYAL : Ah, aku senang (tertawa) Horeee!!!

TUKIJAN : Mampus kau nanti. Gila.

KOYAL : Horeee!!! Koyal dapat lottre!!!

MAE : Kau tak boleh enak sendiri.

HAMUNG : Tak boleh

RETNO : Sama sekali tak boleh.

MAE : Kau tak boleh mengucapkan Koyal menang lotre. Di sini kau harus bilang;
Kita menang lotre (berteriak) KIta menang lotre!!!

KOYAL : Betuul (berteriak) Horeeee!!! Kita menang lotre!!! (tertawa)


MAE : Kau juga harus serukan itu. Retno.

HAMUNG : Ya, kau juga, Retno.

KOYAL : Kau juga, Hamung.

MAE : Juga Tukijan.

KOYAL : Ayo serukan, Retno.

RETNO : Aku menang lotreeee!!!

MAE : KIta.

KOYAL : Bukan kau!

RETNO : Kita menang lotreeee!!!!

KOYAL : Kau, Hamung.

HAMUNG : Kita menang lotreeee!!!

MAE : Sekarang kau, Tukijan.

TUKIJAN : (terpaksa) Kita menang lotre!

MAE : Sekarang kita sama-sama.

KOYAL : Ya. Kita sama-sama berseru sekarang. Satu, dua, tiga.

SEMUA : Kita menang lotre!!!

KOYAL : Kurang keras. satu, dua tiga!

SEMUA : Kita menang lotre!!!

KOYAL : Sedikit keras lagi. Biar orang mendengar seruan kita.

MAE : Ya, biar langit terbelah dan mengirimkan keajaibannya.


KOYAL : Satu, dua, tiga!!

SEMUA : Kita menang lotre!!!

KOYAL : Satu, dua, tiga!!!

SEMUA : Kita menang lotre!!!!

KOYAL : Satu, dua, tiga!!!!

SEMUA : Kita menang lotre!!!!!!

TUKIJAN : Ini gila. Ini gila. Mimpi gila!

KOYAL : Biar. Lezat. (tertawa) Jangan terlampau sadar. Kita sibuk sekarang. Kita
harus urus kemenangan kita. Jangan biarkan waktu jadi terbuang. Kita harus punya
rancangan. Jadi pertama-tama kita harus menukarkan lot ini ke bank. Betul, Mung?

HAMUNG : Betul.

KOYAL : Uang! Uang! Uang! (tertawa) Kita ke bank sekarang.

RETNO : Jam berapa sekarang?

( Lonceng keraton berdentang tiga kali.)

RETNO : Terang sudah tutup.

KOYAL : Perduli amat. Begitu, kan Mung?

HAMUNG : Begitu.

KOYAL : KIta mulai, bulan sayang (pada Retno) Iya. Perduli tutup perduli buka.
Uang, uang kita. Kalau perlu bank itu kita beli. Akur, Mung?

HAMUNG : Akur.

KOYAL : Uang. (tertawa) Kita ke Bank sekarang. Tidak jauh dari sini. Dekat kantor
pos. Setuju?

SEMUA : Setuju.
KOYAL : Kemana kita?

SEMUA : Ke Bank.

KOYAL : Tukar apa kita?

SEMUA : Tukar uang.

KOYAL : Uang siapa punya?

SEMUA : Uang kita punya.

KOYAL : Siap semua!

(Semua siap berbaris)

KOYAL : Kita serbu gudang uang. Maju jalan!

SEMUA : (sambil jalan ke krii) Kita serbu gudang uang. Kita bongkar kantor Bank.

( Berkali-kali mereka menyerukan itu. Sampai sayup-sayuo dan lenyap. Lampu jalan
tergoyang-goyang. Suara mereka mulai jelas lagi kedengarannya setelah agak
beberapa lama. Dari sebelah kanan itu muncul mereka berada di muka Bank
sekarang. Gednug itu bertingkat dua.)

KOYAL : Untung sekali kita. Direktur Bank ini berumah di bagian atas gedung ini.

MAE : Mae pernah tidur disana.

HAMUNG : Saya pernah tidur dimana-mana.

RETNO : Tapi kita agak payah juga. Kita tak bisa mengetuk pintu itu. Bagaimana
bisa? Ketukan kita tak akan ada artinya. Sama sekali pada pintu berterali besi itu.

KOYAL `: Susah-susah. Apa tidak ada yang bernama batu di atas dunia ini. (tertawa)
Akur tidak, Mung?

HAMUNG : Akur.

MAE : Tapi sebelum kita pergunakan batu, kita coba dulu dengan seruan kita.
KOYAL : Boleh juga. (berseru) Pak Direktur!!! Ayolah.

SEMUA : Pak Direktur!!! (tertawa) Pak DIrektur!!!! (Tertawa) Pak Direktur!!!!

MAE : Kerbau juga tidur orang gede itu.

HAMUNG : Baru tau? Orang gede itu daging semuanya. Seperti kerbau. Apalagi
kalau sedang tidur.

KOYAL : Terpaksa dengan batu.

RETNO : Kalau dia marah?

KOYAL : Kita kan punyya uang. Sumbat saja mulutnya dengan uang.

HAMUNG : Uang itu sumbat ajaib.

KOYAL : Ayo, ambil batu yang besar. Masing-masing satu.

(Semua ambil batu)

KOYAL : Ayo, kita ketuk saja keras-keras.

(Lima batu pada lima tangan di ketukan pada pintu besi.


Sound Effect.. Lima batu pada lima tangan di ketukan pada pintu besi.
Sound Effect)

SEMUA : Pak Direktut!!!

( lima batu pada lima tangan di ketukan pada pintu besi. Sound effect )

RETNO : (menunjuk ke atas) Itu dia. Kasihan. Masih dalam kanttuknya.

MAE : Hmmmm. Gemuknya. Persis babi.

HAMUNG : Tidak,. Babi di kebiri.

SEMUA : (tertawa)

RETNO : Hush. Betul kataku. Dia marah-marah.


KOYAL : Maaf, pak–Kebutuhan mendesak.

MAE : Betu;, Tuan.

RETNO : — Tapi sangat mendesak sekali.

KOYAL : —Tukar lotre, pak. Maksud kami, kami menang lotre. Kami mau tukar. —
Tidak pak. Kami butuh malam ini.

RETNO : Kasihan dia. Menguap terus.

MAE : Husssh.

KOYAL : Tapi uang, uang kami kan? Kenapa mesti tunggu segala? — Tidak, pak.
Tidak bisa.

HAMUNG : Tidak.

MAE : Tidak bisa

RETNO : Tidak. Tidak.

KOYAL : — Apa? —- Sungguh-sungguh pak? — (pada kawan-kawannya) Apa betul


omongannya?

RETNO : Tentu saja betul.

MAE : Tentu saja.

HAMUNG : Tentu.

KOYAL : Bagaimana, Jan?

TUKIJAN : (marah) Betul!!!!

KOYAL : (tertawa) Jadi betul kita bebas beli apa saja cuma dengan menunjukan lot
ini, Mung?

HAMUNG : Betul.

KOYAL : Cuma dengan menunjukan lot?


HAMUNG : Cuma dengan menunjukan lot.

KOYAL : (tertawa besar kesenangan) Horeee!! Hidup Pak Direktur!!!!

SEMUA : Hidup!!

KOYAL : Hidup uang!!!

SEMUA : Hidup!!!

KOYAL : Terimakasih, Pak. Silakan meneruskan tidur.

SEMUA : Selamat tidur, Pak (tertawa).

KOYAL : Kemana kita sekarang?

RETNO : Ke mana?

KOYAL : Mae?

MAE : Mae? Mae ingin makan.

RETNO : Makan gudeg.

MAE : Iya, gudeg.

KOYAL : Ke mana, Mung?

HAMUNG : Ke mana saja.

MAE : Ke tempat di mana kita paling sering dihina orang.

KOYAL : Ke pasar Gede Beringharjo.

MAE : Itu salah satunya. Tapi baik juga.

KOYAL : Ayo, Siap semua.

( semua berbaris )
KOYAL : Ke pasar makan gudeg.

SEMUA : (ambil jalan ke kanan) Ke pasar makan gudeg.

( Berkali-kali mereka menyerukan itu. Sampai mereka lenyap dan sayup-sayup


kedengarannya. Angin gemuruh mengaduknya. Lampu jalan tergoyang-goyang.
Suara mereka mulai makin jelas lagi kedengarannya agak beberapa lama.
Dari sebelah kiri mereka muncul. Mereka di muka pasar sekarang. Di sana banyak
becak yang parkir. Juga bakull-bakul sudah mulai meramaikannya dengan jual beli
mereka )

RETNO : Kebetulan sekali. Cuma ada seorang disana yang sedang makan.

KOYAL : Nampaknya malah sudah selesai.

MAE : Sudah ramai benar pasar.

HAMUNG : Memang waktunya. Sekarang sudah hampir pagi.

TUKIJAN : Kita ini mimpi.

KOYAL : Cerewet! Soalnya kan kita cari kenikmatan!

TUKIJAN : (menantang) Apa?

KOYAL : (ketakutan) Tidak—Kenapa takut? Bukankah malam ini saya yang jadi
raja? (pada bulan) Bukankah begitu bulan?—-Harus? Baik (seketika berubah sikap
untuk meyakinkan dirinya ia bertolak pinggang) He, Jan! Dengar!

TUKIJAN : (takut) Ya, Yal.

KOYAL : Kamu jangan banyak cerewet ya?

TUKIJAN : Ya, Yal.

KOYAL : Malam ini kita akan makan kabut.

TUKIJAN : Ya, Yal.

KOYAL : Dan menelan bulan.


TUKIJAN : Ya, Yal.

KOYAL : Kita akan mengenakan pakaian dari angin.

TUKIJAN : Iya, Yal.

MAE : Kalau perlu kita akan mencoba meniti garis kaki langit.

TUKIJIAN : Ya, Yal.

KOYAL : (pada bulan) Begitukah, bulan? (tertawa) Enak juga.

RETNO : E, kita ini jadi makan apa tidak?

KOYAL : Kenapa pula urung. Ayo. Makan sekenyang-kenyangnya. Toh cuma mega
—-Hamung, yang baik cara kau berjalan.

HAMUNG : Lupa? Pincang (menunjuk kakinya)

KOYAL : (tersenyum agung) O, ya (pada mae) Mae, cepat sedikit berjalan supaya
tidak kalah dengan matahari. Kalau ketinggalan akan sia-sia saja pesta kita. Nah,
ambil tempat duduk masing-masing. Hamung, sopan sedikit. Sopan santun diperlukan
bagi siapa saja yang memilki kekayaan. Dan kita? Kaya. Mulya. Faham? (akan
duduk) Permisi, mas (duduk) Retno di sisi saya. Yang lain satu deret. (diam) Jangan
pergi dulu, mas. Saksikan dulu pesta kami —- Makan lagi? Boleh saja. Sepuas anda
(tertawa) Dunia kita yang punya. Semuanya kita yang punyya (tertawa) Monggo,
monggo. Silahkan. Sampai ketemu. Kalau kesusahan soal uang temui saja saya mas.
Rumah kami di…… (pada Mae) Di mana, Mae?

MAE : Baru dibangun besok. Besok jadi.

KOYAl : Baru dibangun. Besok jadi. (tertawa) Monggo. Monggo

HAMUNG : Kopi susu panas, pak!

RETNO : Saya coklat susu panas, pak!

KOYAL : Mae apa?

MAE : Teh susu panas.


KOYAL : Teh susu panas satu. Lalu satu gelas campuran dari ketiga macam
minuman yang tadi (oada Tukijan) Segera kau pesan, Jan. Jangan sampai kadaluarsa
seperti Sangkuriang.

TUKIJAN : Minuman yang tidak ada, pak!

RETNO : Bagaimana, mbak yu? — Dada mentok.

KOYAL : Saya juga mbakyu. (pada yang lain) Kalian sama?

HAMUNG : Tambah telor lima butir.

MAE : Yang lain tidak usah kecuali enam potong hati dan rempelo.

TUKIJAN : Campur aduk bijih besi dan kawat yang ruwet.

( Begitulah mereka mendapatkan minuman mereka masing-masing. Begitulah mereka


mendapatkan makanan mereka masing-masing. Mereka bersantap dengan sopan dan
rakus sekali, kecuali Tukijan )

KOYAL : Enak jadi orang kaya, bukan?

RETNO : Ya. Terang enak. ( pada Mae ) Bagaimana, Mae?

MAE : Tidak tahu.

KOYAL : Bagaimana menurut kau, Mung?

HAMUNG : Sama saja.

KOYAL : Tentu saja tidak sama.

HAMUNG : Ya, tidak sama.

KOYAL : Sudah kenyang semua?

SEMUA : Sudah.

KOYAL : Minuman dulu. Hitung, pak. — Gudeg berapa, mbak yu? — Ya, semuanya
saja lihat lot ini dan lihat sobekan koran ini. —- Ha, beres? — (tertawa) Kalian lihat?
(tertawa)
SEMUA : (tertawa)

KOYAL : Ke mana lagi kita?

RETNO : Sesudah makan tentu saja harus kita fikirkan soal pakaian.

HAMUNG : Tangkas sekali fikiranmu.

KOYAL : Ya, untuk melengkapi sopan-santun, kita harus membalut badan kita
dengan pakaian yang gemerlapan sehingga segalanya tersembunyi rapih.

RETNO : Kita ke toko Kim Sin.

KOYAL : Kita borong semua yang ada.

MAE : Saya akan ambil boneka.

HAMUNG : Betul semuanya.

TUKIJAN : Betul sekali. Saya butuh kampak dan cangkul.

KOYAL : Baiklah kita semuanya siap berangkat sekarang. Kita ke toko Kim SIn

( Beberapa kali mereka menyuarakan itu. Sampai mereka lenyap dan sayup-sayup
kedengarannya. Angin gemuruh mengaduknya. Lampu jalan tergoyang-goyang.
Suara mereka mulai jelas lagi kedengarannya setelah agak beberapa lama.
Dari sebelah kiri mereka muncul. Mereka di muka toko ramai sekarang. Pengusaha
toko kebetulan ada di muka pintu )

RETNO : ( gugup senang ) Selamat malam, taokeh.

KOYAL : Jangan sebut taokeh. Kita ini pembeli.

MAE : Selamat pagi, tuan.

KOYAL : Apa kita budaknya? Dan lagi sekarang belum waktunya matahari
mempertontonkan dirinya. Kalau sempat waktunya, tentulah selesai pula kita
memiliki kekuasaan ini. (dengan cara merendahkan Cina itu dan memegang pundah
Cina itu) Selamat malam menjelang pagi. Heh, selamat malam menjelang pagi. (Cina
itu melepaskan diri dari tangan Koyal) Apa? Sopan? —- Memang kamu bukan budak
saya — (kejam) Ya, tadi memang kamu bukan budak saya. Tapi dalam beberapa
menit ini kamu adalah budak saya. Di tangan saya ada cukup uang untuk
mmenjadikan siapa saja budak-budak saya — Jangan ajari saya soal kesopanan. Saya
tahu saya kaya. Dan saya tahu sopan santun itu cuma milik mutlak orang kaya dan
saya…

MAE : Kita!

KOYAL : Kita…

RETNO : Kita!

KOYAL : Kami. Kami adalah orang-orang kaya pada saat ini. Lagi pula apa
sebenarnya yang mendorong kamu orang untuk tersinggung? padahal saya…

MAE : Kami datang akan menimbuni kamu orang dengan keuntungan yang
berlebihan dibanding dengan kebutuhan kamu orang untuk makan — Ya, pakaian
biar sopan — Bukan. Bukan untuk menghindari dingin. Demi sopan santun. Kalau
hanya karena dingin kita berpakaian maka pada musim kemarau kita tak perlu
berpakaian artinya. Jadi, biar sopan. Paham? Biar semuanya tersembunyi. Tapi apa
perlunya kita berbincang soal ini. Yang penting ini. Untuk kamu orang keuntungan,
dan untuk kami orang pakaian. Beres? (pada kawan-kawannya) Ketawa dia.

(semua ketawa)

KOYAL : (pada cina) Ya, ya …. (pada kawan-kawannya) Ayo masuk kita (pada cina)
Tidak. Tidak usah dibuka semua pintu. Cukup pintu ini saja. Kami maklum
sebenarnya toko sudah tutup kan.

( Semuanya masuk melalui pintu yang sempit itu. Mereka menyerbu lemari-lemari di
mana pakaian-pakaian bertumpukan dan juga barang-barang lain dipamerkan)

RETNO : Oh, Tuhan. Betapa bahagia saya. Sudah lama saya impi-impikan barang ini
(pada Mae) Lihatlah, Mae. Mungil. B-H ini sangat bagus, bukan?

MAE : Bagus sekali, Retno. Bagus sekali. Coba pilihkan Mae satu.

KOYAL : Satu! Satu kotak sekalian. Kamu tidak boleh begitu gampang melupakan
bentuk pakaian yang pertama setelah lama nenek-nenek kita kedinginan, eh bukan!
Setelah lama nenek-nenek kita tidak sopan.

HAMUNG : Bisa terus pakai di sini. Bah? — Terima kasih. Ah, pelayanannya sangat
memuaskan sekali ( ke tempat ganti pakaian)
( Koyal mendekati Hamung. Dia juga ganti pakaian. Dia mengenakan kemeja lebih
dulu kemudian celana. Setelah bercermin, ia bercermin pada Hamung)

HAMUNG : Kau tampak kukuh sekarang.

KOYAL : Persis bapak saya. Seperti orang Belanda, ya? (bangga)

( Lalu ia mencari dasi sekarang )

HAMUNG : Ah, pakai dasi segala.

KOYAL : Embel-embel. Biar sopan. Sopan itu embel-embel. Di sini (tertawa)


Bagaimana cara memasangnya?

HAMUNG : Kira-kira saja. Asal pantas.

( Koyal kini mondar-mandir menikmati pakaiannya. Demikian juga Hamung. Tukijan


sampai saat itu belum mendapatkan apa yang dikehendaki. Bahkan ia dibantu oleh
Cina pemilik toko. Tiba-tiba Retno dan Mae exit )

KOYAL : Hai, mau ke mana?

RETNO & MAE : (off stage) Ganti pakaian!

TUKIJAN : Ini dia! (begitu senangnya tangan pada dadanya)

KOYAL : Apa?

TUKIJAN : Kampak.

HAMUNG : COba sebatang, Yal.

KOYAL : Apa?

HAMUNG : Rokok.

(Koyal dan Hamung merokok)

TUKIJAN : Itu dia! (lari mendapatkan) Oh.

KOYAL : Apa Jan?


TUKIJAN : Cangkulku. Cangkulku. Hidupku. Hatiku

( Mae muncul, begitu lari ia mendapatkan sesuatu. Dipeluknya dan diciumnya kini.
Dia menangis kini)

MAE : Kangen….kangen….oh, anakku….kangen….. cah bagus…..bonekaku…


mataku….hidungku…tanganku….kakiku….
KOYAL : (heran takjub luar biasa) Aduuuh!

HAMUNG : Ada apa?

KOYAL : (menggeleng-geleng kagum dan nafasnya turun naik) Aduuuh, bidadari


sungguh-sungguh. Ratu bidadari. Aduuuuh, seribu bidadadri jadi satu.

( Retno dengan kemayu muncul )

KOYAL : Semuanya takluk. Aduuuh. Bagaimana bisa begitu cantik. Bisa-bisanya


kau jadi bidadari.

HAMUNG : Kau, cantik, Retno.

RETNO : Baru tahu sekarang?

KOYAL : Maksud saya kau jauh lebih, jauh lebih cantik dalam pakaian merah
menyala dengan ukuran yang ketat seperti itu.

( Tukijan membuang kampaknya )

KOYAL : He, kenapa? Kenapa dia buang kampaknya?

Tukijan membuang cangkulnya.

KOYAL : He, nanti dulu. Kenapa dia lempar cangkulnya?

MAE : Cemburu dia.

HAMUNG : Biasa. Tukijan. Cemburu.

KOYAL : Betul kau cemburu, Jan?

TUKIJAN : (melotot)
KOYAL : Lalu kenapa?

TUKIJAN : (melotot)

RETNO : Memang dia cemburu. Tidak mungkin dia tidak cemburu.

MAE : Tukijan, anakku sayang.

( Tukijan diam saja )

KOYAL : Kau jangan diam saja, Retno.

RETNO : (dengan genit) Kau cemburu, Mas Jan?

TUKIJAN : (sekonyong meleddak) Cape, Bangsat! Orang bisa cape oleh impian apa
oun. Lumpuh. Bajingan! Bajingan!

( Koyal menengadah )

KOYAL : Bagaimana, bulan? Apakah saya masih berkuasa? — Baik (bertolak


pinggang) He, Jan. Kau jangan mentang-mentang, ya!

TUKIJAN : (ketakutan) Tidak, Yal. Sungguh mati saya tidak mentang-mentang.

KOYAL : (lebih bangga) Saya tahu kau cape. Ya?

TUKIJAN : Cape.

KOYAL : Ingin istirahat? Mengaso?

TUKIJAN : Mengaso.

KOYAL : Katakan saja itu lebih baik. Ini peringatan terakhir ; ingat-ingat dengan
baik perananmu malam ini.

TUKIJAN : Saya usahakan.

KOYAL : Juga yang lainnya.

SEMUA : Saya usahakan.


KOYAL : Nah, karena saya juga cape kita harus mengaso. Tapi karena kita orang-
orang terkaya di seluruh jagat raya ini maka sudah sepatutnya tempat istirahat kita
pun terhebat. Ada usul?

MAE : Kaliurang.

RETNO : Kita semua pernah ke sana. Saya kira akan menyenangkan sekali kalau kita
ke Tawangmangu.

TUKIJAN : Sama saja.

MAE : Yang penting saya boleh naik kuda, kuda putih.

KOYAL : Bagaimana?

SEMUA : Tawangmangu.

KOYAL : Siap semua. (semua berbaris) Kita ke stanplat bus.

SEMUA : (sambil jalan ke kiri) Kita ke stanplat bus.

( Beberapa kali mereka menyerukan itu sampai mereka lenyap dan sayup-sayup
kedengarannya. Angin gemuruh mengaduknya. Lampu-lampu jalan tergoyang-
goyang. Suara mereka mulai lagi jelas kedengarannya setelah agak beberapa lama.
Dari sebelah kanan mereka muncul. Mereka di stanplat bus kini)

KOYAL : (tergesa) Ha, itu dia (mengejar) Solo! Solo! Sombong betul dia. Bagaimana
kalau kita sewa sedan saja?

HAMUNG : Kita bisa langsung.

RETNO : Begitu lebih baik. Kita bisa langsung. Bisa lebih cepat.

( Koyal mendekati sedan itu. Dia tampak berunding. Tapi kita tidak bisa mendengar
apa yang mereka cakapkan sebab mereka agak jauh. Akhirnya kita tahu koyal
tersenyum dan melambaikan tangannya. )

KOYAL : Ayo!

( Semua mendekati sedan itu. Satu demi satu masuk ke dalamnya. Koyal dengan
Retno duduk di muka di samping supir. Tak berapa lama mereka pun berangkat )
MAE : Naik apa kita?

KOYAL : Sedan!

MAE : (tersenyum) Lupa.

(Angin menderu-deru)

RETNO : Kita tidak mampir dulu ke prambanan?

HAMUNG : Mungkin saya dilahirkan di dalam candi sana.

KOYAL : Betul?

HAMUNG : Saya bilang mungkin. Mungkin saja saya dilahirkan di atas pohon
kelapa (tertawa)

RETNO : Kita tidak singgah dulu?

( Sekonyong kendaraan itu sangat kencang larinya. Mereka tegang. Retno akan
mengucapkan sesuatu tapi Mae mengisyaratkan dengan jari pada bibirnya.
Sekonyong sedan itu berhenti tiba-tiba. Tentu saja mereka sangat terkejut dan
terdorong ke depan )

KOYAL : (pada sopir) Betul. Hampir saja.

( Sedan berangkat lagi )

RETNO : Apa?

KOYAL : Hampir ketabrak. Untung sopir kita ini seroang sopir tua yang cekatan.

RETNO : Cuma hampir. Untung sekali.

KOYAL : Lebih dari untung.

RETNO : Panjang umur orang itu.

KOYAL : Bukan orang. bebek!


MAE : Bukan bebek. Ayam. Di tawangmangu banyak benar orang jual sate ayam
yang bukan ayam.

TUKIJAN : (jengkel) Mana ada sate ayam yang bukan dari ayam.

MAE : Ada. Sate kelinci

KOYAL : Ya namanya sate kelinci.

MAE : Tidak. Namanya sate ayam.

RETNO : Kenapa?

MAE : Tidak apa-apa. Cuma satu cara untuk cari keuntungan.

TUKIJAN : Habis perkara.

( Angin. Dari jauh kedengarannya anak-anak menyanyikan “naik-naik ke


tawangmangu” )

(Fade in. Fade Out)

MAE : Nah, yang berbaju kembang-kembang itu. Yang rambutnya agak keriting

KOYAL : Apa?

MAE : Dia turut dalam truk anak-anak sekolah itu.

KOYAL : Kenapa?

MAE : Anak Mae dia

RETNO : Sampai kita.

KOYAL : Kita sudah sampai.

MAE : Sampai (girang sekali) Tawangmangu.

( Secara mekanis ia menunjukan lot pada sopir lalu ke luar dari sedan setelah sang
sopir mengangguk )
KOYAL : Terima kasih.

( Semua keluar dari sedan itu )

RETNO : Bangun. Mas Hamung, bangun.

( Dengan malas Hamung bangun dari tidurnya. Ia telah tertidur lama sekali. Begitu
bangun keluar dan begitu mendekati salah seorang penjual jeruk )

KOYAL : Segar sampai ke tulang.

HAMUNG : Sungguh-sungguh manis? —- Ya, saya tahu jeruk ini jeruk


Tawangmangu. —- Berapa sepuluh? — Berapa? Mahal betul?

( Retno segera menuju ke tempat di mana beragam kembang tumbuh. Sedang Mae
sibuk memperhatikan orang-orang yang sedang sibuk. Dan Tukijan jongkok
memandang sawah ladang yang membentang. Adapun Koyall sedang menatap
tuannya, sang purnama )

TUKIJAN : Cuma otot dan otak yang dibutuhkan tanah-tanah itu Sumatera.

HAMUNG : Mahal ah.

MAE : (melihat kabut) Kabut itu. Hidup ini.

HAMUNG : Kenapa di sini justru lebih mahal? (berseru) Yal !

KOYAL : Apa?

HAMUNG : Beli jeruk.

KOYAL : (menunjukkan lot) Nah, lihat!

HAMUNG : (pada penjual jeruk) Lihat! (dengan cuma-cuma mengambil tiga buah)

KOYAL : Terimakasih, bulan saya sangat terharu. Terimakasih.

MAE : Saya membutuhkan seekor untuk mendaki kabut itu.

HAMUNG : (berseru) Jan! (melemparkan sebuah padanya)


TUKJAN : (setelah dipandangnya jeruk itu lalu dengan malas dilemparnya)

( Hamung mendekati Mae dan menyerahkan sebuah )

MAE : Saya tidak membutuhkan jeruk. Saya tidak pernah ngidam. (menangis) Saya
ingin naik kuda.

RETNO : Saya juga butuh seekor. Biar tidak cape kita mendaki puncak sana. Ah,
betapa indahnya air terjun itu pasti.

KOYAL : Tu ada seekor — Mana lagi mas?

RETNO : Ada seekor lagi. Warnanya putih sama sekali.

MAE : Yang berwarna putih untuk Mae — Menunggang awan.

KOYAL : Kurang berapa? Satu. kan?

HAMUNG : Itu dia.

KOYAL : (kepada para pemilik kuda) Saudara-saudara kami memerlukan kuda-kuda


itu. Sekarang lihat! (memperlihatkan lot) Beres. Beres — (tertawa) — Beres (bangga)
Ayo. Naiklah sendiri-sendiri.

( Pertama Retno. agak kesukaran )

RETNO : Tidak galak tho. pak’e?

MAE : Kebetulan kecil sekali. Kecil mungil oh, putih seperti awan. Tolong Mae
dibantu sedikit (dengan dibantu dan agak susah menunggang kuda)

KOYAL : Ah, sekarang saya jadi koboy (tertawa senang)

( Semua sudah siap di punggung kuda masing-masing )

RETNO : Kita ke tempat air terjun. Pake— Yuk, kita berangkat.

( mereka berangkat )

MAE : Menyenangkan. Bukan main menyenangkan menunggang awan.


( Mereka lenyap ke kiri lalu muncul lagi dari sebelah kanan )

HAMUNG : Dingin kau, Yal?

KOYAL : (tertawa) Mana dingin? Saya mengenakan jas dan dasi. Bukan dingin, tapi
segar. Segar bugar. Bahkan kita seperti telanjang badan.

MAE : Ini namanya kesejatian. Nafas bayi — lepaskan, le. Saya akan melarikan kuda
ini cepat-cepat ( dibawa lari oleh kudanya )

RETNO : Hei, nanti jatuh, Mae!

( Mae telah lenyap. )

RETNO : Lepaskan Pak’e

HAMUNG : Lepaskan, Mas.

KOYAL : Lepaskan, dik.

TUKIJAN : Lepaskan.

( Dengan cepat mereka melarikan kudanya. Mereka lenyap. Mereka muncul. Mereka
lenyap. Mereka muncul lagi )

( Angin mengaduk-aduk. Cahaya semakin suram )

RETNO : Di mana dia?

KOYAL : Di sana tak ada.

RETNO : Di situ tak ada.

HAMUNG : Di sebelah sana juga tak ada.

KOYAL : Di sebelah situ juga tak ada.

RETNO : Kita terus saja ke ujung sana.


( Lagi dengan cepat mereka melarikan kudanya. Mereka lenyap. mereka muncul.
Mereka lenyap. Mae muncul dengan kudanya yang larat dan berhenti tiba-tiba di
sudut panggung kiri atas. Cahaya hampir hilang sama sekali )

( keempat yang lain muncul, dan berhenti. Angin sama sekali tak ada. Kini
seluruhnya hanya ilhuet )

RETNO : Itu dia. (berseru) Mae! — Ia tersangkut di kabut.

MAE : Mae!

HAMUNG : Mae!

TUKIJAN : Mae!

MAE : Mae sedang mengecap bahagia.

KOYAL : Ada apa disana?

MAE : Kabut ini maksudmu?

KOYAL : Ya, ada apa disana?

MAE : Asap dupa.

( Mereka tak mengerti mereka bertanya-tanya )

RETNO : Apa lagi Mae?

MAE : Air mata.

( Mereka tak mengerti mereka bertanya-tanya )

HAMUNG : Yang lainnya, Mae?

MAE : Kuburan.

TUKIJAN : Kuburan siapa, Mae?

MAE : Mae sangka mereka pahlawan-pahlawan. Ada tulisan jawa pada sebilah batu
besar.
TUKIJAN : Apa bunyinya?

MAE : “Jawabannya adalah sunyi. Merekalah yang mencoba menjawab, namun


sesunggunya mereka jualah ujud jawabannya. Sunyi ”

RETNO : (tiba-tiba ketakutan) Kita harus segera turun. Harus segera. Tak tahan.

KOYAL : Mae! Turunlah segera dari kabut itu.

SEMUA : (kecuali Retno yang menangis) Turun! Turun! Mae!

( Mae melarikan kudanya dan lenyap. Setelah agak lama ia muncul di muka mereka.
Tanpa kata. Dalam sunyi mereka segera berbalik dan melarikan kudanya masing-
masing kembali ke tempat semula. Mereka lenyap. Mereka muncul. Angin. Cahay
demi sedikit kembali terang)
( Mereka semua turun dari kudanya. Retno terus menangis )

MAE : Kenapa menangis, nak Retno?

RETNO : Terus menangis.

MAE : Kenapa? Kenapa, nak Retno?

RETNO : ( dalam tangisnya ) Pulang.

MAE : Benar. Kita harus pulang. Semua orang setelah sejauh apapun berjalan mesti
kembali pulang ke rumahnya. Tapi dimana rumah kita?

RETNO : Ya, kemana kita akan pulang?

MAE : Ini juga pertanyaan.

KOYAL : Di mana?

HAMUNG : Di mana saja. Rumah saya dunia.

MAE : Keraton.

HAMUNG : Beli saja.

KOYAL : Apa?
HAMUNG : Kalau perlu kau beli saja keraton Mataram itu.

KOYAL : (terbahak-bahak) Setuju. Semua menyiapkan diri.

( Semua berbaris )

KOYAL : Kita berangkat. Keraton kita beli.

SEMUA : (seraya berangkat) Keraton kita beli. Raja kita beli. Keraton kita beli.

( Beberapa kali mereka menyerukan itu. Sampai mereka lenyap dan sayup-sayp
kedengarannya. Angin gemuruh mengaduk-aduknya. Lampu jalan tergoyang-goyang.
Lonceng Keraton berdentang satu kali; setengah tiga. Suara mereka kembali jelas
setelah agak beberapa lama. Dan lalu muncullah mereka. Di sitihinggil kini.

MAE : (melihat keliling) Keramat. Keramat. (gemetar) Sinuwun Gusti Ndalem


nyuwun ngapunten.

KOYAL : (menunjuk dirinya) Inii Sinuwun Gusti. Semua jangan salah dan keliru.
(berlagak raja jawa) Ha, ha, ha…..Kebetulan. Mereka telah boyong, sebelum kita
menghunus keris dan tombak-tombak prajurit diangkkatkan, paman patih.

HAMUNG : (berlaku sebagai patih) Demikianlah yang tersedia, Gusti.

KOYAL : Ajow, kemenangan tanpa setitik keringat.

HAMUNG : Demikianlah adanya, Gusti. Kemenangan angan-angan.

KOYAL : Paman Patih.

HAMUNG : Hamba, Gusti Prabu?

KOYAL : Ibunda.

MAE : Ada apa, ananda Raja?

KOYAL : Cuma memanggil. (diam) Rajinda.

RETNO : Kanda.

KOYAL : Paman Patih.


HAMUNG : Adakah yang dapat hamba lakukan, Gusti?

KOYAL : Aku hanya memanggil. (tertawa) Bulan, sejak kini permainan yang kau
ciptakan luar biasa sekali. Kenikmatan yang kau kirim terasa sangat aneh. Badan saya
tergetar-getar jadinya. Enak. Enak. (tergetar-getar seperti kedinginan) Nikmat.
Nikmat. (tertawa) Ibunda.

MAE : Mengapa, nanda sayang?

KOYAL : Sewaktu Ibunda melahirkan ananda, apakah mendiang ayahanda tidak


kelupaan sesuatu?

MAE : Kelupaan apa, ananda?

KOYAL : Memberi nama ananda.

MAE : Betul juga. Oh, baru ibunda ingat sekarang. (pada Hamung) Patih.

HAMUNG : Hamba, bunda Ratu?

MAE : Kita harus mencari nama sekarang.

HAMUNG : Apa tidak sebaiknya nama koyal saja, Gusti?

KOYAL : Nama siapa itu?

HAMUNG : Nama Gusti Prabu.

KOYAL : Cuma satu? Begitu pendek.

MAE : Itu nama kecil (pada Hamung) Sekarang marilah kita cari nama gelar yang
sepadan dengan kesaktian dan keagungan dan cita-cita ananda Prabu.

HAMUNG : Tepat saatnya. Bulan Syura. Sang Dewa Waktu telah berkenan hadir
malam ini untuk meramaikan keraton jaya ini, dengan anugerah kemenangan besar
kerajaan mega dan berkenan pula semoga Sang Hyang membisikkan ilham wahyu
sebuah nama yang gagah megah pada telinga Sinuwun Gusti Koyal. Sehingga
karenanya kerajaan mega dengan rakyatnya yang bergumpal-gumpal banyaknya akan
beroleh raja gagah megah dengan nama gelar yang megah gagah.

MAE : Dengarlah; Sultan Batara Nirwana. Apakah bukan anam yang merdu?
KOYAL : Cukup merdu tapi terlampau pendek untuk bisa dinyanyikan.

HAMUNG : Sekiranya hamba diperkenankan, Gusti?

KOYAL : Tentu. Cobalah.

HAMUNG : Sultan Raja Purnama Maha Raja.

RETNO : Kanda.

KOYAL : Ya. Adinda?

RETNO : Apa tidak kena kalau kanda bergelar Pangeran Endah Takterperi?

KOYAL : (manggut) Bagus sangat. Tapi saya kira ketiga-tiganya sama-sama bagus.

HAMUNG : Jatuh tersila pada Sinuwun Gusti Prabu tentunya.

KOYAL : Saya tidak usah memilih. Yang terbaik adalah menggunakan ketiga-
tiganya.

HAMUNG : Bagaimana, Gusti?

KOYAL : Malam ini saya bergelar, siapa Rajinda?

RETNO : Pangeran Endah Takterperi.

KOYAL : Lengkapnya begini; Sultan Raja Pangeran Endah Takterperi, kau punya
usul, Paman?

HAMUNG : Sultan Raja Purnama Maha Raja.

KOYAL : Jadi, Sultan Raja Pangeran Endah Takterperi, eh Purnama Maha Raja, eh,
Ibu punya kemauan bagaimana tadi?

MAE : Sultan Batara Nirwana.

KOYAL : Komplit ; Sultan Raja Pangeran Endah Takterperi, eh, Purnama, eh, Maha
Raja, eh, Batara Nirwana. Bagaimana Paman Patih?

HAMUNG : Agung nian, Gusti Prabu.


KOYAL : Coba kau yang sebutkan.

HAMUNG : Tidakkah lidah hamba terlampau pendek?

KOYAL : Maksud, paman?

HAMUNG : Ampuni hamba, Gusti, hamba bertanya tidakkah nama sepanjag itu tidak
sukar menyimpannya.

KOYAL : Panjang sekali sukar dihafal, pendek sekali sukar untuk dinyanyikan.
(diam) Kita bagi empat saja. Begini. Pertama, setiap kali saya menyebutkan Pangeran
Raja Sultan.

RETNO : (segera) Endah Takterperi.

HAMUNG : (segera) Purnama Maha Raja.

MAE : (segera) Indera Kehiyangan.

KOYAL : (tertawa) Ya, begitu maksud saya. Raja Pangeran Sultan.

RETNO : Endah Takterperi.

HAMUNG : Purnama Maha Raja.

MAE : Indera Nirwana, eh, Batara Nirwana.

TUKIJAN : Ampuni hamba, Gusti.

KOYAL : Ya.

TUKIJAN : Apakah jabatan hamba dalam kerajaan mega ini, Gusti?

KOYAL : Boleh kau pilih sesuka kau.

TUKIJAN : Kalau begitu hamba akan bertindak, selaku Bendaha Istana sahaja.

KOYAL : Terserah.
TUKIJAN : Ampuni hamba, Sinuwun Gusti. Sehubungan dengan kewajiban hamba,
perkenankanlah hamba bertanya bukankah tatkala Paduka berkenan belanja di toko
Kim Sin Paduka telah khilaf, maksud saya Paduka belum bayar?

KOYAL : Apa benar demikian, Paman Patih?

KOYAL : Apakah benar demikian, Ibunda?

MAE : Apakah itu tidak berarti dengan semena-mena kita dituduh ceroboh dan tidak
senonoh?

KOYAL : Jadi?

HAMUNG & MAE & RETNO : Ada udang dibalik batu.

KOYAL : (pada Tukijan) Bagaimana?

TUKIJAN : Sama saja.

KOYAL : (tersinggung) Sama bagaimana?

TUKIJAN : Semuanya mega.

KOYAL : Benar juga.

TUKIJAN : Kalau begitu mari ramai-ramai kita bakar saja kerajaan ini.

KOYAL : (murka) Mau berontak?

MAE : (semangat) Pemberontakan?

HAMUNG : Pemberontakan?

RETNO : Pemberontakan?

TUKIJAN : (meledak) Cape! Kita jadi sinting semua!

MAE : (semangat) Penghinaan!

KOYAL : (murka) Saya yang di sini jadi raja yang bergelar Pangeran Sultan Raja.
RETNO : (murka) Endah Takterperi!

HAMUNG : (murka) Purnama Maha Raja!

MAE : (murka) Batara Durga!

KOYAL : (tertawa dibuat-buat seperti raja) Jangan bicara sembarang bicara. Bicara
sopan besar anugrahnya. Penghinaan, perang akibatnya. Di sini raja bukan sembarang
raja. Raja sakti mandraguna (manggut-manggut). Masih ada ampunan. Nah, kalau kau
ada usul apa usulmu, kalau ada kehendak, ucapkan semerdu-merdunya.

TUKIJAN : Hamba cape. Kita semua nanti bisa jadi hilang fikiran dan hilang ingatan.

RETNO : Penghinaan lagi!

MAE : Habiskan riwayatnya!

HAMUNG : Huru Hara!

KOYAL : Sabar. Sabar. (pada Tukijan) Ulangi kalimat pertama saja. Kalimat
selanjutnya kau simpan saja sendiri. Itu namanya kesopanan.

TUKIJAN : Hamba cape. Kita….

KOYAL : Cukup (pada Hamung) Bagaimana, usul itu ditimbnang, Paman Patih?

HAMUNG : Berdasarkan kebutuhan kerajaan usul itu sangat tepat. Memang


sebaiknya kita harus segera menukar tenaga yang lelah setelah berkeras menghalau
prajurit musuh dalam perang laga baru saja.

KOYAL : Usul diterima. Gatutkoco pun telah binaa. Tak ada lagi kebutuhan tenaga
(bertepuk sekali) Mari Rajinda mana gundik-gundik saya?

HAMUNG : Dalam jumlah yang cukup memadai hasrat telah tersedia dan tersaji
dalam peraduannya masing-masing.

KOYAL : Tak sabar yang ada (menahan nafasnya). Perintah! Paman Patih tidur di
kamar sana. Dan selama saya beradu, umumkan pada rakyat bahwa kerajaan dalam
bahaya.

HAMUNG : Titah hamba agungkan, Gusti Paduka. (menyingkir dan tidur)


KOYAL : Bendahara hanya boleh tiduran. Rancangkan sumber harta dan kekayaan.

TUKIJAN : Hamba patuh, Gusti Prabu. (menyingkir lalu terbaring).

KOYAL : Ibunda.

MAE : Bunda di kamar sana.

KOYAL : Bunda bebas memilih ranjang. Hanya satu yang tabu. Ranjang ananda.

MAE : Tentu (menyingkir terus tidur)

( Semuanya ke kamarnya masing-masing )

KOYAL : ( dengan corong tangannya berseru ) Paman Patih!

HAMUNG : (dengan nada jauh) Hamba, Gusti.

KOYAL : Berapa gundik paman?

HAMUNG : Cuma tujuh belas. Perawan semua.

( Koyal tertawa terpingkal-pingkal )

KOYAL : (pada bulan) Kau lucu sekali, bulan gendut. (tertawa) Enak sekali (tertawa)
Uang! Uang! (tertawa terpingkal-pingkal)

( Sementara angin makin kencang dan sementara kawan-kawannya tertidur semua


dan sementara cahaya mulai surut, Koyal terus terpingkal-pingkal. Dalam kegelapan
dan angin yang deras masih juga ia terpingkal-pingkal. Selanjutnya, istirahat )

( BAGIAN KETIGA )
DI ATAS MEGA

( Bagian ketiga ini dimulai dengan tangis panjang tokoh kita, Koyal. Cahay demi
sedikit menyibak kegelapan. Hanya seroang saja di antara kawan-kawannya yang
belum puas tidur yaitu Tukijan. Yang sejak sore tadi hanya berguling-guling setengah
tidur. Di bawah tiang listrik Koyal berjongkok membelakangi penonyon. Ia menangis
)

KOYAL : Semua orang sudah tahu Koyal menang lotre. Kau juga sudah tahu.
Kelelawar juga sudah tahu, saya telah menjadi orang yang terkaya. Kau juga, rumput.
Kau juga maklum, beringin tua. Lebih-lebih kau bulan. Kaulah yang paling tahu
segala apa yang sekarang ada pada saya. Seantero jagat raya tahu segalanya tentang
diri saya. Tapi semuanya, juga kau bulan gendut tak pernah tahu, tak pernah mau
tahu……oh kalian…….oh, kau……tak pernah peduli………pasti! Semuanya tidak
tahu bahwa sejak lama Koyal jatuh cinta……jatuh cinta pada Retno……Kau
menertawakan saya, ndut? Biar. Rumput-rumputan juga mencibir. Biar. Kau juga
terkekeh-kekeh, beringin tua. Biar. Sudah sejak lama saya selalu ingin memegang
kakinya. (berhenti menangis) Malam ini, ya? Ya? Saya akan pegang kaki itu.
(tertawa) Bulan, kau pasti jatuh hati pada kaki itu. Nah, saya pegang dia. — Berani.
Kenapa? —- Biar. Kalau dia marah beri saja dia uang seratus dua ratus —- ribu. Saya
orang kaya — (tertawa) Kaya (tertawa) Kaki. Biar. (Bangkit perlahan dan dengan
bergetar dan nafas berdesah. Ia mendekati Retno yang lelap tidur berselimut kain.
Betisnya kelihatan. Beberapa saat Koyal cuma memandangi saja dan sesekali ia
meminta pertimbangan sang rembulan. Lalu dengan hati-hati sekali ia menyibak
ujung selimutnya sehingga betis Retno nampak lebih jelas. Lalu dengan nafasnya
yang makin kacau ia meraba betis Retno. Baru saja sedikit kulit tangannya
menyentuh kulit betis itu segera ditariknya lagi seperti tersentuh api. tersenyum)
Bulan……(turun naik nafasnya) Kaki, eh, betis perempuan itu lain, ya? (tertawa
berdesis) Halus….. (dirabanya lagi kaki itu) Halus….. Dia diam saja. (tertawa
berdesis) Barangkali dia juga senang….. (dipegangnya kaki itu agak lama) Bulan,
(tertawa) Kau tidak ingin pegang? ………. Mana yang lebih enak, uang atau betis
perempuan? ……. Saya jadi agak pusing. Pusing-pusing enak. (tertawa berdesis)

( Sekonyong-konyong Tukijan bangkit dan segera menangkap leher baju Koyal.


Sehingga baju yang buruk itu tentu robek sebagian. Karena sobek maka Tukijan
menjambak lengan bajunya )

TUKIJAN : Bajingan. ( diludahi muka Koyal )

KOYAL : (terkejut dan takut amat). Tidak, eh, tidak.

TUKIJAN : Tidak? Kau kurang ajar. Kau bangsat. Kau gila.

KOYAL : ….tidak,….

TUKIJAN : Kau mau melawan?

KOYAL : Tidak.

TUKIJAN : Kenapa kau lakukan itu? Kenapa?

KOYAL : Eh, ….. tidak.


TUKIJAN : Tidak?

KOYAl : Tidak.

TUKIJAN : Tidak? Bilang.

KOYAL : Tidak…..tidak sengaja…….barangkali.

TUKIJAN : Barangkali? Barangkali apa?

KOYAL : Barangkali……saya…..saya…..sedang mimpi….

TUKIJAN : Apa?

KOYAL : …..tidak…..

TUKIJAN : Kau gila. Bilang (meledak) Gila!

KOYAL : …..Gila…..

TUKIJAN : Bangsat!

( Sekali Tukijan menempeleng pipi Koyal dan Koyal menangis meraung-raung)

TUKIJAN : Lagi?

KOYAL : …….tidak…..

TUKIJAN : Bajingan!

( Sekali lagi Tukijan menempeleng pipi Koyal dan Koyal meraung-raung kesakitan
sehingga karenanya Mae terkejut dan terjaga dari tidurnya. Jantung perempuan tua itu
kencang berdenyut. Segera ia masuk ke dalam persoalan itu )

MAE : E,ee ada apa ini? Kenapa? Jan, jangan pukul dia.

TUKIJAN : Bangsat!

MAE : Ada apa? Kenapa?


TUKIJAN : Kamu telah menghina saya, Yal. Kamu telah mengejek saya. Berapa kali
telah saya katakan tentang ini semuua? Kamu boleh, boleh melakukan apa saja
dengan dia. Siapa bisa melarang? Memang dia lonte. Saya tahu, Yal. Dia lonte.
Karena itu tidak ada yang bisa melarang kau berbuat apa saja dengan dia. Tidak
peduli kamu tidak waras. Tapi janghan di muka hidung saya. Berapa kali telah saya
katakan? Jangan di muka saya. Semua kawan mengerti. Tapi diam-diam rupanya
kamu memancing-mancing amarah saya.

( Retno Terbangun )

RETNO : Ada apa?

( Hamung terbangun )

HAMUNG : Tidak ada apa-apa.

RETNO : Mae?

MAE : Nanti dulu. Nanti dulu. (baru saja ia membayangkan. Tukijan seolah-olah
akan memukul Koyal) Nanti dulu. (mencucur air dari matanya) Sabar. Sabar.
(mendekati Koyal yang masih terisak dan membelai kepalanya) Kenapa mesti
bertengkar? Kenapa mesti?

TUKIJAN : Ikat pinggang saya. Bajingan. Setengah mati saya putar-putar mencari
barang itu, Kembalikan!

KOYAL : (seraya terisak) Saya tidak mencurinya. Saya menemukannya.

TUKIJAN : Menemukan di tempat saya.

KOYAL : Tidak.

TUKIJAN : Lepaskan, bangsat.

KOYAl : Saya tidak mencuri. Saya menemukannya.

MAE : Lepaskan nak. Kau nanti boleh beli ikat pinggang yang baru. Lepaskan.

KOYAL : Saya tidak mencuri.

TUKIJAN : Bilang lagi!


KOYAL : Tidak. Saya diberi.

TUKIJAN : Bangsat! Siapa yang memberi kamu? Setan?

KOYAL : Bukan. Orang.

TUKIJAN : Bangsat. Siapa?

KOYAL : Bukan. Dia.

TUKIJAN : Dia siapa? Ayo, lepaskan dulu.

KOYAL : (takut menyerahkan ikat pinggang) Jangan pukul saya. Saya diberi kok.

TUKIJAN : (menyambar ikat pinggangnya) Diberi pangeranmu! Siapa yang memberi


kamu?

( Koyal melihat kepada Retno )

TUKIJAN : Siapa?

KOYAL : Dia?

TUKIJAN : Dia siapa?

KOYAL : Retno.

( Retno pergi menyusup kegelapan yang mulai agak tipis. Sejak itu agak lama tak
terjadi percakapan. Angin semakin kencang )

TUKIJAN : Yal, kemari.

( Koyal diam saja )

TUKIJAN : Ke sini.

KOYAL : (takut-takut) Apa?

TUKIJAN : Maaf, ya?

KOYAL : Saya tidak mau mencuri.


TUKIJAN : Ke sini kau.

KOYAL : Saya juga tidak mau dipukul.

TUKIJAN : Tidak.

KOYAL : Tidak mau.

TUKIJAN : Kalau kau tidak mau ke sini malah saya pukul.

( Takut-takut Koyal mendekati Tukijan )

TUKIJAN : Yal.

( Curiga Koyal memandang Tukijan )

TUKIJAN : Kau tahu…

KOYAL : Tidak tahu.

TUKIJAN : Ya, kalau kau tahu artinya kau waras Yal. Kau ingin sembuh?

KOYAL : Saya tidak sakit kok. Bagaimana?

TUKIJAN : Kau memang tidak sakit. Kau cuma tidak waras.

MAE : Tukijan! Jaga bicaramu! Tak patut kata-katamu!

TUKIJAN : Biar dia sembuh, Mae.

MAE : Tidak begitu caranya. Lagi pula dia masih bisa merasa sakit hati seperti kau.
Dia juga manusia seperti kau. — Dan adakah perlunya?

HAMUNG : Diam saja. Mae.

MAE : Kau memang begitu. Kau tak pernah ambil pusing.

HAMUNG : Siapa orangnya yang rela pusing dan pusing-pusing, Mae? Mae, jagat ini
sangat besar dan tidak pernah menghiraukan siapa saja. Sebaiknya Mae diam. Mae
akan senang.
MAE : Saya bukan kau.

TUKIJAN : Saya juga. Saya sebenarnya sayang pada Koyal.

HAMUNG : Mae nanti kecewa. Kita tidak akan mendapatkan apa yang kita minta.
Orang lain tidak akan memberikan apa-apa pada kita. Lebih baik diam. Dan apa
gunanya?

MAE : Kau memang tak punya hati, Hamung.

HAMUNG : Sama saja.

TUKIJAN : Tapi saya punya. He, Yal. Kau butuh apa?

KOYAL : Uang.

TUKIJAN : kalau begitu serahkan kepada saya lot itu?

( Koyal menyerahkan semua lotnya, ragu-ragu dengan tanda tanya )

TUKIJAN : Kau ingin uang?

KOYAL : Yang banyak.

TUKIJAN : Kau bisa mendapatkannya lebih banyak tanpa kertas ini.

KOYAL : Kali ini saya pasti menang.

TUKIJAN : Saya kira kau nanti akan sembuh kalau saya berani melakukan sesuatu.
Betul kau ingin uang banyak?

KOYAL : Betul?

TUKIJAN : Pasti suatu ketika kau akan menjadi orang kaya, kaya harta dan kaya
segalanya. ( disobeknya lot itu).

KOYAL : Jangan! Mae, dia menyobek uang saya.

MAE : (benci) Kau telah menyakiti hatinya.

TUKIJAN : Ini lebih baik.


HAMUNG : Tak ada yang lebih baik. Juga sebaliknya.

TUKIJAN : Jangan menangis. Kau bukan anak kecil. Kalau kau tetap menangis kau
tak akan pernah mendapatkan uang yang banyak itu, kecuali angka-angka.

KOYAL : kau jahat (bangkit takut-takut mengancam Tukijan). Berikan lot itu!

TUKIJAN : Tak ada gunanya.

KOYAL : Kau terlalu jahat. Berikan lot itu.

TUKIJAN : Lebih berguna untuk angin. (dilemparkannya sobekkan lot itu tepat
tatkala angin menderas).

KOYAL : Mae, dia jahat sekali. Oh, uang saya diterbangkan angin. (mengejar
sobekan lot) Tolong….!

( Seraya berteriak-teriak Koyal terus mengejar sobekan-sobekan itu dan menyusup


kegelapan. sementara itu Tukijan duduk terpekur dan Hamung menyatakan
ketidaksenangannya )

HAMUNG : Kau sebenarnya ingin menampar Retno.

( Tukijan cuma menarik nafas berat )

HAMUNG : Kalau saya jadi kau tentu pipi Retno yang saya tampar dan bukan pipi
orang lain, apalagi pipi si kepala kopong itu.

TUKIJAN : Diam, Mung.

HAMUNG : Kau juga tahu saya bisa melakukan hal yang serupa atas diri kau. Saya
anggap kau sama dengan Koyal.

MAE : Sudah. semuanya diam.

HAMUNG : Tidak apa-apa, Mae

MAE : Cukup. Mae tak suka ada percekcokan lagi.

HAMUNG : Kau telah memperkosa kebahagiaan orang lain.


MAE : Cukup. Sekali lagi Mae minta. Berhenti kalian bertengkar mulut. Kalian mulai
lupa. Kalian sudah lupa. Kalian anak-anak Mae. Sekarang Ibu kalian menyuruh kalian
diam. — Oh Betapa enaknya dunia ini tanpa….tanpa…Maksud saya kita akan lebih
bahagia tanpa pertengkaran.

HAMUNG : Jangan harapkan itu Mae.

MAE : Ini malam syura. Di alun-alun ini bertebaran semalam suntuk berbagai ragam
berkah. Semuanya. Seluruhnya bernama berkah.

HAMUNG : Kecewa pada akhirnya. Jangan terlalu banyak berharap.

( Seorang pemuda dengan wajah kusut dan pucat karena semalaman tak tidur dengan
gemetar lewat. Ia adalah pemuda yang tadi sore dikejar Retno. Begitu ia keluar,
langsung muncul beberapa orang peronda. Sebelum mereka keluar. Salah seorang
diantara mereka menyorotkan lampu senter pada sekitar yang gelap. Tak luput wajah
tokoh kita. Begitu mereka lenyap, terdengar suara mereka )

TUKIJAN : Bajingan.

MAE : Sabar.

HAMUNG : Susah, bukan ? Lebih baik tidak ambil pusing.

TUKIJAN : Mereka kira semua yang tidur di emper-emper adalah pencuri-pencuri.

MAE : Biarkan saja.

TUKIJAN : Mereka orang-orang beragama. Saya berani taruhan, sebagian besar dari
mereka lebih jahat daripada penghuni emper-emper toko. Untung saja mereka punya
pakaian yang bagus-bagus dan bersih-bersih.

HAMUNG : Kau sendiri diam-diam menyamaratakan mereka.

TUKIJAN : Tidak.

HAMUNG : Mudah-mudahan.

( Muncul Retno )

RETNO : Mae, kemana dia?


MAE : Siapa?

RETNO : Si banci tadi. Kemana dia? Saya melihatnya tadi dekat masjid.

MAE : Pemuda?

RETNO : Ya. Kemana?

MAE : Kemana ya? Mae kira kesana. Ke arah bioskop Sobo.

RETNO : Huh, patah lehernya nanti, saya cekik. Betul bukan? Sampai tujuh keliling
si banci itu akan berputar-putar sekitar alun-alun ini membuntuti saya. Kemana tadi?

MAE : Ke Sobo. Tapi kenapa harus kesana? Lagipula sudah pagi.

RETNO : Ke Sobo? Saya peluk dia ( Menyusup kegelapan )

( Mae memandangi Tukijan yang menahan jengkel )

TUKIJAN : Saya bunuh dia.

HAMUNG : Kenapa ?

( Sekonyong-konyong Retno muncul lagi )

RETNO : Mana bedak saya?

( Retno membedaki wajahnya )

MAE : Kau tidak akan pergi bukan?

RETNO : Pergi kemana?

MAE : Pergi jauh.

RETNO : Saya senang disini.

MAE : Ya, seharusnya kau berpikir begitu.

( Tapi Retno pergi lagi )


MAE : Ya, saya harap begitu. Saya harus merebutnya. Oh, saya tiba-tiba takut sekali.
Hamung sebentar lagi pergi. Sebentar lagi. Semuanya akan kembali sepi, Kenapa
jantung saya? Saya gemetar sekali. ( Sekonyong-konyong menubruk dan memeluk
Tukijan ) Jan! ( Dalam isak ) Jan. ( dalam isak ) Kenapa sama sekali kau tak punya
rasa terimakasih? Tapi siapa yang memilikinya? Tapi kau anakku. Kalau sama sekali
kau tak punya apa-apa namun paling sedikit kau harus punya rasa terimakasih.
Sekarang kau diam saja serupa patung-patung di musium. Kau tak melihat saya dalam
memandang saya. Sebab itu gampang saja kau akan tinggalkan ibumu sendiri di alun-
alun ini, di tanah bebas yang tidak bebas ini. ( melepaskan dirinya dari Tukijan dan
duduk menunduk ) Kalau saya muda pasti saya tak akan mengucapkan kata-kata itu.
Hamung sekalipun cintamu samar-samar, tapi pasti kepergianmu nanti akan
melengkapi kesepian saya. ( Setelah mengosongkan dirinya ) Tapi sebagai orang tua,
sebagai seorang Ibu yang tabah tentu saja saya harus melepaskan kalian berdua
dengan doa restu, dan saya akan menyertai kalian dengan keprihatinan saya. Ikhtiar.
( Tersenyum sementara air mata itu masih kemerlap pada bulu matanya yang kelabu
itu ) Nah, beginilah memang kesudahannya.

HAMUNG : ( Menyalakan rokok ) Kita tak usah buru-buru. Kereta yang akan
membawa kita bertolak ke Solo jam empat. Paling cepat, biasanya setengah tujuh
kereta itu berangkat dari Tugu. Dulu ada kereta yang berangkat pagi dari sini. Kata
Mas Dharmo, kita nanti memasuki Senen jam sembilan atau delapan. Tapi jangan
harapkan. Lebih baik kita bayangkan lusa baru sampai. — Barangmu dimana?

( Tukijan tidak menyahut )

HAMUNG : Barangkali saya akan nguli di sana. Atau kembali ke pekerjaan lama ;
becak. Tapi saya akan berusaha jadi calo. Kau harus membesarkan otot di Sumatera.
Musuhmu bukan saja binatang tapi batang pohon raksasa. Kau pernah dengar cerita
Mbah Wirjo tentang sebuah keluarga yang habis musnah karena didatangi seekor
ular?— (tertawa) Saya tidak punya apa-apa, tapi saya ingin apa-apa kalau sudah lama
saya tinggal di Jakarta. Saya kira saya harus belajar pada orang-orang Batak. Kau
pernah dengar bagaimana mereka menguasai stanplat bus? Mereka sungguh-sungguh
penguasa. Jangan harap polisi bisa berbuat sesuatu disana. Juga yang lain jangan kau
harapkan. Saya pikir begitu. Saya harus seperti mereka. Kalau ukuran mereka mati,
saya pun  harus demikian. Saya tidak punya apa-apa.— Dimana barangmu?

( Tukijan masih diam )

HAMUNG : Gelagatnya kau akan mengurungkan kepergianmu lagi. Jangan kau


hiraukan orang lain. Apalagi Mae. Biasa. Orang tua. Katakan saja kau tidak akan
melupakannya. Katakan saja, kelak  kalau ada rejeki dan kau bisa pulang, kau tentu
akan menengoknya dan membawa oleh-oleh, niscaya perempuan tua itu pasti senang.
Jangan pedulikan kau tepati atau tidak janji-janji itu. Tadi sore saya sudah
mengatakannya. Sekarang kau.
( Tukijan meninggalkan tempay itu dan pergi. Hamung menyanyikan sebuah lagu
jawa. Dengan wajah pucat Panut muncul. Hamung berhenti menyanyi. Hamung tajam
memperhatikan Panut )

HAMUNG : Darimana kau?

PANUT : Tikarnya, Mae (berbaring)

( Mae menangis lagi )

MAE : Darimana?

PANUT : Mana tikar yang satu lagi. Dingin sekali.

( Hamung menyanyi lagi )

MAE : Dengan diam, justru kau mengatakan semuanya begitu lengkap. Tidak usah.
Seharusnya kau tidak menceritakan dengan cara apapun. Lebih baik begitu. Lebih
baik bagi kau sendiri. Juga bagi orang lain. Terutama bagi Mae. Lebih baik tak ada
apa-apa kalau saya sendiri tidak pernah punya apa-apa.

( Panut bangkit menawarkan rokok )

PANUT : Rokok, Mas Hamung.

( Setelah beberapa lama memperhatikan Panut, Hamung tersenyum dan mengambil


sebatang. Tanpa diminta, Panut menggoreskan sebatang geretan dan akhirnya
menyalalah kedua ujung rokok. Lagi, Hamung memperhatikan Panut. Karena
pandangan itu Panut jadi agak risih dan merasa tidak enak. Lalu melentangkan
badan )

HAMUNG : Rokok mahal itu marem.

MAE : Kau sekarang bukan bayi lagi. Kau sekarang seorang lelaki setengah baya
dengan kumis yang panjang dan mata yang amat tajam. Di mana kau, Panut?

( Panut bangkit )

MAE : Bayi itu maksud saya.

( Panut merebahkan badannya lagi )


HAMUNG : Berapa harganya sebungkus?

MAE : Sebaiknya saya juga merokok. Barangkali saya bisa lebih baik. Berikan
sebatang pada saya.

( Panut bangkit dan menyerahkan sebatang rokok. Tatkala rokok itu di bibir Mae itu
menyala, Panut mulai bisa tersenyum. Satu kali hisapan Mae tidak apa-apa. Dua kali
hisapan juga tidak apa-apa. Tiga kali hisapan ia batuk-batuk. Hamung dan Panut
tertawa )

MAE : Tidak enak. ( Sambil batuk-batuk) Tidak enak. Tidak ada yang enak.

PANUT : Belum biasa.

MAE : Kalau sudah biasa?

PANUT : Enak.

MAE : Tidak begitu. Kalau sudah biasa kita tidak akan lagi merasakan pahitnya.

PANUT : Nih. (mengisap dengan nikmat dan menghembuskannya) Nikmat.

MAE : Seperti mencuri.

PANUT : (Marah) Saya tidak mencuri! Bilang lagi!

MAE : Saya tidak mengatakan kau mencuri. Saya hanya bilang kalau sudah biasa
mencuri lama-lama juga kita tidak rasakan seperti kerjaan yang jahat.

PANUT : Saya tidak mencuri! Bilang lagi! Saya pukul! Dengar!

MAE : Saya tidak bilang kau mencuri. Kau pasti tidak pernah mencuri. Dan kalau
pun pernah melakukannya, kau pasti tak akan mengatakannya.

PANUT : Mas Hamung, rokok ini untuk Mas Hamung (menyerahkan sebungkus
rokok)

HAMUNG : Buat saya?

PANUT : Buat Mas Hamung.


HAMUNG : Nanti dulu, dari siapa rokok itu?

PANUT : Dari……

HAMUNG : (menerima rokok) Jangan teruskan. Tak perlu. Tak ada bedanya bagi
saya. Yang penting rokok.

PANUT : Saya senang.

HAMUNG : Tidak perduli. Yang terang ini rokok mahal.

PANUT : Rokok kretek termahal.

HAMUNG : Kau masih punya?

PANUT : Masih. Barangkali tinggal enam batang.

HAMUNG : Coba beri saya sebatang. Saya isap sekarang.

( Panut memberikan sebatang lagi pada Hamung )

HAMUNG : Yang masih utuh baru saya buka nanti kalau kereta api itu telah
membawa saya ke arah barat. Coba nyalakan.

( Panut menggoreskan geretan )

HAMUNG : Nah, lihat. Sekarang saya punya dua sekaligus. Sekali waktu memang
tak ada jeleknya kita menikmati sesuatu lebih dari biasanya (tertawa)

PANUT : Saya sungguh-sungguh senang.

HAMUNG : Kau pikir begitu? Kau senang kalau saya mengisap rokok pemberianmu
ini?

PANUT : Senang.

HAMUNG : Biar kau lebih senang, berikan rokok itu semua.

PANUT : Jangan, yang lima batang ini untuk saya sendiri.

HAMUNG : Dan kau senang?


PANUT : Senang.

HAMUNG : Bagus. Kalau begitu kelak kau akan jadi laki-laki yang jantan.

PANUT : Saya makin senang sekarang.

HAMUNG : Dan kalau kereta api itu membawa saya ke arah barat, kau juga tetap
senang?

PANUT : Tidak.

HAMUNG : Kenapa?

PANUT : Karena saya sedih.

HAMUNG : Jadi kau tidak senang karena kau sedih?

PANUT : Saya tidak senang karena kita berpisah.

HAMUNG : Betul?

PANUT : Betul.

HAMUNG : Betul tidak senang?

PANUT : Tidak senang.

HAMUNG : Betul sedih?

PANUT : Sedih sekali

HAMUNG : Sungguh sayang. Kalau begitu kau akan jadi laki-laki yang tidak
bahagia.

PANUT : Saya sungguh-sungguh tidak paham.

HAMUNG : Kau memang masih bocah.

PANUT : Tapi kau seharusnya menerangkan semua itu. Saya ingin menjadi laki-laki
yang jantan.
HAMUNG : Betul?

PANUT : Betul. Bagaimana?

HAMUNG : Itu gampang.

PANUT : Bagaimana?

HAMUNG : Kalau saya berangkat nanti, tepat sewaktu saya melangkahkan kaki
kesana kau harus membenci saya. Setidak-tidaknya kau tidak boleh menyimpan
perasaan apa pun karena peristiwa itu. Sekalipun kita sudah lama sekali bergaul.

PANUT : Kenapa mesti begitu?

HAMUNG : Tidak apa-apa. Memang harus begitu.

( Lama Panut berpikir. Mereka bertatapan )

PANUT : Bisa.

HAMUNG : Bisa ?

PANUT : Bisa.

HAMUNG : Kau yakin akan berhasil?

PANUT : Yakin. Dua hari ini saya selalu merasa yakin. Memang harus begitu.

HAMUNG : Betul?

PANUT : Percayalah, Mas. Saya tidak tahu kenapa.

HAMUNG : Kalau begitu saya juga yakin kelak kau akan bisa jantan dan bahagia.

( Panut menyalakan rokok lagi menyambung rokoknya sendiri )

PANUT : Semalam ini saya sudah menghabiskan sebungkus lebih.

HAMUNG : Kuat betul kau.

PANUT : Saya sudah dewasa.


HAMUNG : Saya lihat begitu.

MAE : Saya lihat malah dia seperti telah beruban rambutnya. Tapi kenapa kumisnya
panjang sekali dan amat tajam ujungnya.

HAMUNG : Bukan main.

MAE : Gatotkoco.

PANUT : Saya lebih suka Ontorejo.

HAMUNG : (seraya mengamati karcis sepur) Pas Betul uang saya.

PANUT : Saya punya uang.

HAMUNG : Banyak?

PANUT : Tidak. Tapi lebih banyak dari biasanya.

HAMUNG : Berapa?

PANUT : Saya hitung dulu.

HAMUNG : Tidak usah. Saya anggap saja jumlahnya terlampau banyak sehingga
sukar dihitung oleh tiga orang.

MAE : (mengancam) jangan berani kau merampasnya, Hamung. Jangan sekali-kali


kau ambil uangnya. Uang itu hak miliknya.

HAMUNG : Siapa yang akan merampas uangmu, Nut?

PANUT : Tidak ada. Malah saya ingin memberikan kepada Mas Hamung sedikit.

MAE : Jangan. kau anak tolol. Uang itu uangmu sendiri. Kenapa kau berikan kepada
orang lain?

PANUT : Tidak semuanya.

MAE : Jangan.

PANUT : Mae nanti juga saya beri.


MAE : Jangan.

PANUT : Ini uang saya. Uang saya sendiri.

MAE : Tapi kau anak saya.

PANUT : Tapi kau bukan ibu saya.

( Hamung tersenyum. Lama diam mereka )

PANUT : Terimalah uang ini, Mas Hamung. Untuk jajan di jalan.

HAMUNG : (setelah menerima uang itu) Sekarang saya akan pergi ke musium. Saya
akan mandi. Lalu saya berangkat ke stasiun.

( Hamung dan Panut saling memandang )

HAMUNG : Kita mulai.

( Hamung lenyap dalam kabut pagi. Lonceng keraton berdentang empat kali.

PANUT : Mae, terimalah uang ini.

( Mae cuma menangis )

PANUT : Terimalah, Mae. Semuanya dapat bagian.

MAE : Kau telah mencuri.

PANUT : (marah) Bilang lagi! Saya pukul!

MAE : Saya tidak bertanggung jawab. Saya salah.

PANUT : (menahan diri) Karena saya bukan anak Mae. Lebih baik begitu. Mae nanti
bisa senang. Terimalah, Mae.

MAE : Saya tidak mau makan tanpa lebih dulu saya bekerja.

PANUT : (marah) Saya sudah bekerja!

MAE : Kalau begitu makanlah sendiri.


PANUT : (luka) Mae.

( Mae cuma menangis )

PANUT : (pasti) Saya harus jadi laki-laki, tapi saya sedih. Lebih baik merokok
banyak-banyak. (membuang ingusnya) Saya mulai merasa benci entah pada siapa.
Persetan..

( Setelah menyalakan rokok. Panut pergi. Adzan pertama di angkasa )

MAE : Saya harus mempertahankan Retno. Kalau dia juga pergi saya akan merasa
hilang.

( REtno dan Tukijan muncul )

RETNO : Sebagian di musium. Biar saya saja yang berkemas. — Tapi nanti dulu.
Kau tahu aku tak akan memberi kau anak?

TUKIJAN : Saya tidak butuh anak. Saya butuh kau.

RETNO : Tapi sebenarnya kita butuh.

TUKIJAN : Bukan halangan.

( Retno mengemasi barang-barangnya yang terbungkus di bawah beringin. Tatkala


terpandang Mae yang tengah menangis, ia berhenti bekerja. Lama diam saja )

TUKIJAN : Apalagi yang kau tunggu?

( Masih diam )

TUKIJAN : Kita nanti terlambat.

( Masih diam )

TUKIJAN : Apalagi yang dipikirkan? Kita sudah kehilangan waktu satu hari.

( Retno memandang Mae )

TUKIIJAN : Retno.
RETNO : Kau saja yang pergi.

TUKIJAN : Kenapa? Apalagi?

RETNO : Saya tidak tahu.

TUKIJAN : Semuanya hanya berkisar pada perasaan saja. Ruwet jadinya. Semua
tidak ada yang terwujud.

( Di kejauhan melengking peluit kereta api )

RETNO : Saya tidak bisa.

TUKIJAN : Kenapa?

( Retno diam )

TUKIJAN : Berubah lagi. Kau harus berpikir, bukan merasakan.

RETNO : Dan saya tidak sanggup.

( Tukijan memandang beringin tua )

RETNO : Saya mencintai kau, tapi juga mencintai yang lain.

TUKIJAN : Siapa?

RETNO : Saya tidak bisa berdusta.

TUKIJAN : Ya, kau mencintai dirimu juga. Kau tidak pernah mencintai siapapun
kecuali mencintai gincumu.

RETNO : (bangkit marah) Apa kau pikir kau juga mencintai saya? Omong kosong!
Kau cuuma mencintai dirimu sendiri. saya akui yang paling saya cintai tentu diri saya
sendiri, sebab tak ada orang yang mencintai orang lain lebih daripada mencintai
dirinya sendiri.

TUKIJAN : Kenapa kau jadi marah-marah begitu?

RETNO : (marah) Siapa yang mulai?


TUKIJAN : Saya marah karena kau berubah sikap lagi.

RETNO : Saya marah karena kau marah. Belum apa-apa sudah berani marah-marah.
Akan kau jadikan apa saya di tanah seberang sana? Jadi babu? Seenaknya saja. Apa
kau pikir saya akan mati kelaparan kalau tetap tinggal di sini? (tiba-tiba menangis)
Saya jadi bingung.

TUKIJAN : Tentu saja kau jadi bingung. Sudah saya bilang yang harus kau lakukan
sekarang adalah berpikir bukan merasakan.

RETNO : Saya bingung karena terlampau banyak orang yang saya cintai. Dan, O
Gusti, saya tidak bisa melupakannya. Saya sangat mencintai perempuan tua itu juga.

TUKIJAN : Saya mengerti. Bukan kau saja yang mencintainya. Banyak orang yang
mencintainya. Kita semua berhutang budi kepada mae. Dengan sayang ia mengurus
makanan kita. Paling tidak saya tidak bisa melupakan masakannya. Kita selalu tidak
percaya bahwa dengan bahan-bahan yang kacau kita dapat menikmati makanan yang
luar biasa lezatnya. Saya yakin, orang-orang yang berumah mewah akan
menghabiskan makanan itu dalam sekejap, sekiranya makanan itu disajikan dalam
wadah yang biasa dipergunakan mereka. Apalagi kalau disajikan dalam wadah yang
berukir dari keraton (diam) Tapi apa kau pikir demikian picik Mae, sehingga Mae
mengharapkan balasan dari setiap yang dilakukannya untuk kita? Mae orang tua.
Orang tua tidak pernah mengharap apa-apa. Mereka cuma mengharapkan anak-
anaknya senang dan bahagia; jauh lebih senang daripada dia sendiri.

RETNO : Justru karena itu saya tidak tega. Saya tidak bisa. Sudahlah. Kau nanti
terlambat. Pergilah kau. kalau mungkin, saya akan menyusul kelak. Percayalah, saya
mencintai kau kapan saja. Saya akan selalu mengenangkan kau.

TUKIJAN : Betul-betul kau tidak punya kepala. Apa kau mau makan tanah karena
perempuan bangka itu?

MAE : Retno putriku.

RETNO : Ya, Mae (pada Tukijan) Kau tidak tahu. Seminggu yang lalu dia terjatuh di
parit sana. Sudah sangat lemah. Tidak lama lagi.

MAE : Retno. Dekatlah kemari.

RETNO : (mendekati Mae) Saya tidak akan pergi, Mae. Saya tidak mau.

MAE : Mae akan mengatakan sesuatu.


RETNO : Kali ini saya akan mendengarkan lebih dari yang pernah saya lakukan.

MAE : Kau memang anak perempuan saya. Kau cantik dan baik budi. Itulah yang
sebenarnya. Sayang, kau sendiri tidak tahu (diam) Sekarang sebagai anak yang baik
turutlah apa kata Mae; Pergilah dengan Tukijan.

RETNO : (menangis dan memeluk) Tidak, Mae. Saya tidak bisa.

MAE : Tentu kau tidak bisa. Dan siapa yang suka ajal? Tidak ada. Tapi siapa yang
bisa menolaknya? Juga tidak ada. Dan apakah kau mengira Mae mengharap kau pergi
meninggalkan Mae? (Retno menggeleng kepalanya) Tidak, bukan? Mae juga tidak
mau kau tinggalkan. Mae sangat mencintai kau lantaran kau anak perempuanku satu-
satunya. Kalau kau pergi, Mae tidak akan pernah mempunyai anak secantik dan
sebaik kau lagi. Tapi apakah kau berpikir Mae juga ingin mempertahankan kau tetap
di sini dan terus menjual diri?

( Retno menutup bibir Mae )

RETNO : Saya mengerti.

MAE : Kenapa saya tiba-tiba melihat kau sedang menimang anak di suatu rumah
yang teduh di bawah pohon-pohon yang rimbun?

RETNO : Melihat saya?

MAE : Dalam khayalan Mae. Tapi saya harap demikianlah yang sebenarnya. Kau
nanti dapat berkah. Sebagai anak perempuan Mae, pergilah kau sebab masih banyak
yang lebih baik yang perlu kau kerjakan. Kau harus lebih cepat dari pada matahari
sekarang. Apalagi di sana.

TUKIJAN : Segera, Retno.

RETNO : Mae.

MAE : Lebih baik kau tak mengucapkan apa-apa.

RETNO : Saya tidak bisa.

MAE : Apa dulu kau menyangka bisa melakukan apa yang selama ini kau lakukan di
sini setiap malam?

RETNO : Mae.
MAE : Percayalah. lama-lama kau bisa dan biasa.

TUKIJAN : Minta pangestu, Mae.

( Mae cuma memandang kosong tatkala mereka melangkah perlahan dan lenyap.
Begitu mereka lenyap, begitu berdentang lonceng keraton satu kali )

( Kedengaran Koyal berteriak-teriak. Ia lalu muncul dengan memegang kepalanya )

KOYAL : Mae, mereka memukuli saya. Tolong. Mereka memukuli saya. Kepala saya
berdarah.

MAE : (berdebar meraba kepala Koyal. Lama ia mencari luka itu) Tak ada darah.

KOYAL : Ada. Tadi saya raba. Tangan saya merah. Lihat.

MAE : Tangamu kotor. hitam.

KOYAL : Tadi merah. Tapi kepala saya berdarah.

MAE : Sekarang tidak.

KOYAL : Pening. Sakit bukan main

MAE : Kenapa mereka memukul kepalamu?

KOYAL : Ada tiga orang laki-laki menyuruh saya menyobeki gambar yang
terpancang di muka kantor pos sana.

MAE : Gambar bioskop?

KOYAL : Bodoh. Gambar partai.

MAE : Lalu?

KOYAL : Tiga laki-laki itu menyuruh saya menguliti gambar itu.

MAE : Siapa mereka?

KOYAL : Siapa. Bodoh. Mereka yang punya hambar. Mereka perlu memperbarui.
Kalau sudah selesai nanti saya diberi upah.
MAE : Mana uang itu sekarang?

KOYAL : Tidak ada.

MAE : Tidak ada?

KOYAL : Tidak ada.

MAE : Kenapa?

KOYAL : Kenapa. Bodoh. belum selesai. lalu mereka memukuli kepala saya.

MAE : Tiga orang tadi?

KOYAL : Tiga orang tadi. Bodoh. Ada beberapa orang lain dari arah barat datang dan
segera memukuli kepala saya sehingga kepala saya berdarah. Lihat.

MAE : (setelah meraba) Tidak ada.

KOYAL : Tadi ada. (tiba-tiba) Mae! Mereka mengejar saya! Mereka mengejar saya!

MAE : Mana mereka? Mana?

KOYAL : Mereka! Mereka datang! Mereka! Mae! Masing-masing membawa kayu


yang sangat besar. Tolong, Mae. Tolong! Kayu itu sangat besar!

MAE : Mana?

KOYAL : Jangan pukul kepala saya! Jangan! Aduh! Sakit! Berdarah. Jangan!
Tolong! Tolooooong! (seraya menjerit-jerit ia lari menyusup kabut yang biru itu,
setelah berputar-putar menghindari pukulan-pukulan yang tak ada itu. Dengan sedih,
Mae mengikuti pusingan-pusingan Koyal)

( Adzan subuh berkumandang di udara di sela-sela garis cahaya fajar yang lembut.
Lalu Mae muncul lagi )

MAE : Gusti Pangeran. (anaknya bangun) Kau babngun, sayang. Kau tertawa,
sayang. (memainkan anak itu) Nah, cah bagus. Kita tak pernah mendapatkan, tapi
selalu meraa kehilangan. (memejamkan mata) Tak ada. Sama saja —- gustiku, cuma
kita berdua.
( Lama-lama Mae tertidur bersandar pada batang beringin. Warna fajar. Lalu beragam
warna waktu berputar di sana berbagai warna. sementara itu secara perlahan layar
diturunkan bagai kelambu sutera )

SELESAI

3. Judul Drama : Prita Istri Kita (1966)

Jenis Drama : monolog

Masalah yang diangkat pengarang dalam drama ini adalah masalah ekonomi
kehidupan keluarga, suami-istri, utamanya pergulatan batin dari tokoh istri, yakni Prita.
Masalah yang dihadirkan pengarang adalah kehidupan pernikahan yang masih muda
namun serba berkekurangan hingga tokoh prita merasa menyesal dan tersiksa hingga
telah menikahi suaminya hingga ia selalu teringat kepada mantan pacarnya yaitu Beni. Ia
berkhayal ingin lari dari suaminya dan pergi menempuh hidup yang lebih layak bersama
Beni di Jakarta. Tapi itu hanyalah khayalan yang berbeda dari kenyataan yang harus
diterima dan dijalaninya.

Tanggapan saya sebagai pembaca berpikir bahwa drama ini memberi gambaran
tentang kehidupan pernikahan yang jauh berbeda dengan kehidupan sebelum menikah.
Karena itu setelah membaca monolog ini saya harus mempersiapkan diri sebaik mungkin
sebelum menikah serta memilah pasangan yang terbaik dari Tuhan hingga nanti tidak
akan menyesalinya. Manusia pada umumnya memiliki insting serta keinginan dalam diri
sendiri, terutama terhadap kebutuhan-kebutuhan seperti pemenuhan makanan untuk
hidup dan juga mengenai pemenuhan keinginan seksual yang disebut ID. Ketika
keinginan-keinginan itu tidak terpenuhi dengan baik, atau kurang memuaskan, maka
seseorang akan mencoba mencari jalan keluar lain seperti alternatifnya dalam drama ini
meninggalkan suami dan pergi bersama mantan pacar untuk memenuhi keinginan
pribadi, walaupun hanya dalam khayalannya, itu diprioritaskan oleh prita hingga itu
merupakan ego dari tokoh tersebut. Namun lebih jauh lagi, Prita menyadari bahwa Ia
sudah mengambil keputusan untuk hidup bersama suaminya Broto dan Ia harus
menjalaninya sesuai dengan aturan yang berlaku sebagai suami-istri, sebagai suatu
keluarga, Ia harus menerima keadaanya dan setiap kekurangan dari pasangan, hal ini
disebut sebagai superego dari tokoh Prita. Tanggapan saya, saya merasa turut prihatin dan
kecewa ketika kehidupan dalam pernikahan tidak sejahtera atau tidak sesuai dengan
harapan. pastinya penyesalan yang mendalam akan terus terngiang-ngiang dalam pikiran
hingga mulai membanding-bandingkan apa yang dimiliki dengan yang tak dimiliki.
Meskipun adalah hal yang wajar ketika seorang mencari alternatif lain untuk memperoleh
keinginan, saya tidak membenarkan pemikiran yang mulai melenceng dan beralih dari
komitmen awal yang dibuat. Setidaknya harus konsisten dengan komitmen yang dibuat
apapun yang terjadi kedepannya. Karena tidak sesuai harapan, namun sudah terikat dalam
suatu ikatan, Prita menjadi berpura-pura dalam menjalani kehidupan pernikahannya.
Meskipun berat, itu adalah risiko dari keputusannya, selain itu, tokoh Broto juga adalah
sosok yang baik, mungkin saja, Pritalah yang harus mengubah pola pikirnya dan mencari
solusi yang terbaik secara bersama agar dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik
lagi.

Naskah Drama:
4. Judul Drama : Matahari di Sebuah Jalan Kecil (1966)

Jenis Drama : Domestik

Masalah yang disampaikan pengarang adalah mengenai konflik sosial dan


ekonomi masyarakat yang mempengaruhi moral. Kehidupan yang semakin berkembang
dan harga kebutuhan pokok pula naik, membuat orang yang kaya semakin kaya dan
orang miskin semakin miskin. Dan untuk mempertahankan hidup di tengah krisis dan
keadaan yang tak menentu maka semakin banyaklah bermunculan para penipu dan
pencuri yang berkeliaran dan menipu siapa saja yang dapat ditipu.

Tanggapan saya ketika membaca naskah drama saya sangat-sangat kesal dengan
tokoh Pemuda yang suka berbohong dan menipu Simbok. Ia sepertinya sudah tidak ada
rasa takutnya sama sekali namun dengan beraninya dan tidak tahu malu menipu dan
mengelabui tokoh Simbok yang teringat kepada anaknya ketika melihat pemuda ini. ia
pun mengkhianati kepercayaan Simbok yang telah mempercayainya. Akhirnya saya
merasa tokoh Simbok dan mampu mengeluarkan kata apa-apa lagi setelah mengetahui
bahwa Pemuda itu adalah pnipu dan pencuri yang memang sudah berkeliaran dan
memakan korban-korban para penjual. Penyesalan, dan kekecewaan yang dirasakan
simbok tidak ada duanya setelah ia mengira bahwa pemuda ini adalah pemuda yang baik
bahkan menganggapnya lebih baik dari anaknya sendiri.

Naskah Drama :
SEBENTAR LAGI BERKAS-BERKAS DI LANGIT AKAN BUYAR DAN
MATAHARI AKAN MEMULAI MEMANCARKAN SINARNYA YANG PUTIH,
TERANG DAN PANAS. JALAN ITUPUN AKAN MULAI HIDUP, BERNAFAS DAN
DEBU-DEBU AKAN SEGERA BERTERBANGAN MENGOTORI UDARA.
JALAN ITU BUKAN JALAN KELAS SATU. JALAN ITU JALAN KECIL
YANG HANYA DILALUI KENDARAAN-KENDARAAN DALAM JUMLAH KECIL.
TETAPI SEBUAH PABRIK ES YANG TIDAK KECIL BERDIRI DI PINGGIRNYA
DAN PABRIK ITU MEMILIKI GEDUNG YANG SANGAT TUA. DI DEPAN
GEDUNG ITULAH PARA PEKERJA PABRIK MENGERUMUNI SIMBOK YANG
BERJUALAN PECEL DI HALAMAN.
SEORANG LAKI-LAKI YANG SEJAK MALAM TERBARING, TIDUR DI
AMBANG PINTU YANG TERPALANG TAK DIPAKAI ITU, BANGUN DAN
MENGUAP SETELAH SEORANG YANG BERTUBUH PENDEK
MEMBANGUNKANNYA. LAKI-LAKI ITU ADALAH PENJAGA MALAM.

PENJAGA MALAM
Uuuuuh, gara-gara pencuri, aku jadi kesiangan.

SI PENDEK 
Tadi malam ada pencuri?

PENJAGA MALAM
Di sana, di ujung jalan itu! (menunjuk)

SI PENDEK 
Tertangkap?

PENJAGA MALAM
Dia licik seperti belut. (menggeliat lalu pergi)

SI PENDEK  (duduk lalu membaca koran)

SEORANG PEMUDA (ANAK LAKI-LAKI) MEMBAWA BAKI DI ATAS


KEPALANYA LEWAT. IA MENJAJAKAN KUE DONAT DAN ONDE-ONDE.
SUARANYA NYARING SEKALI. TAK ADA ORANG MENGACUHKANNYA.
BEGITU IA LENYAP SEORANG PEMUDA LEWAT PULA YANG BERJALAN
DENGAN PERLAHAN, BERBAJU LURIK KUMAL, SEPATU KAIN YANG SUDAH
RUSAK DAN BURUK, WAJAHNYA PUCAT. SEBENTAR IA MEMPERHATIKAN
ORANG-ORANG YANG TENGAH MAKAN LALU IA PERGI DAN IAPUN TAK
DIPERHATIKAN ORANG.

GEMURUH MESIN YANG TAK PERNAH BERHENTI ITU, YANG ABADI ITU,
MAKIN LAMA MAKIN MENGENDUR DAYA BUNYINYA SEBAB LALU LINTAS
DI JALAN ITU MULAI BERGERAK DAN ORANG-ORANG SEMAKIN BANYAK
DI HALAMAN PABRIK ITU. SIMBOKPUN MAKIN SIBUK MELAYANI MEREKA.
LIHATLAH!

SI TUA (menerima pecel)
Sedikit sekali.

SIMBOK (tak menghiraukan dan terus melayani yang lain)

SI PECI
Ya, sedikit sekali (menyuapi mulutnya)

SI TUA
Tempe lima rupiah sekarang.

SI KACAMATA
Beras mahal (membuang cekodongnya) kemarin istriku mengeluh.

SI PECI
Semua perempuan ya ngeluh.

SI KURUS    
Semua orang pengeluh.

SI KACAMATA
Kemarin sore istriku berbelanja ke warung nyonya pungut. Pulang-pulang ia
menghempaskan nafasnya yang kesal……. Harga beras naik lagi, katanya.

SI PECI
Apa yang tidak naik?

SI TUA
Semua naik.

SI KURUS
Gaji kita tidak naik.

SI KACAMATA
Anak saya yang tertua tidak naik kelas.

SI TUA
Uang seperti tidak ada harganya sekarang.

SI KURUS
Tidak seperti…. Ah memang tak ada harganya.

SI TUA (mengangguk-angguk)
SI PECI
Ya.

SI KACAMATA
Ya.

SI PENDEK
Menurut saya (menurunkan koran yang sejak tadi menutupi wajahnya. Sebentar ia
berfikir sementara kawannya bersiap mendengar cakapnya). Menurut saya, sangat tidak
baik kalau kita tak henti-hentinya mengeluh sementara masalah yang lebih penting pada
waktu ini sedang gawat menantang kita. Dalam seruan serikat kerja kitapun telah
dinyatakan demi menghadapi revolusi dan soal-soal lainnya yang menyangkut negara kita
harus turut aktif dan bersiap siaga untuk segala apa saja dan yang terpenting tentu saja
perhatian kita.

SI TUA (menggaruk-garuk)

SI PENDEK
Ya, baru saja saya baca dari koran….nich, korannya…. Bahwa kita harus waspada
terhadap anasir-anasir penjajah, kolonialisme. Kita harus hati-hati dengan mulut yang
manis dan licin itu. (tiba-tiba batuk dan keselek)…..tempe mahal tidak enak rasanya…
(meneruskan yang semula) beras yang mahal hanya soal yang tidak lama.

SI PECI
Ya.

SI KACAMATA
Ya.

SI PENDEK
Ya.

SI TUA
Dulu (batuk-batuk), dulu saya hanya membutuhkan uang sepeser untuk sebungkus nasi.

SI PECI
Dulu?

SI TUA
Ketika jaman normal.

SI KURUS
Jaman Belanda.

SI TUA
Ya, jaman Belanda. Untuk sehelai kemeja saya hanya membutuhkan uang sehelai rupiah.

SI KURUS
Tapi untuk apa kita melamun, untuk apa kita mengungkap-ungkap yang dulu?

SI PENDEK (makin berselera)
Ya, untuk apa? Untuk apa kita melamun? Untuk apa kita mengkhayal? Apakah dulu
bangsa kita ada yang mengendarai mobil? Sepedapun hanya satu dua orang saja yang
memilikinya. Kalaupun dulu ada itulah mereka para bangsawan, para priyayi dan para
amtenar yang hanya mementingkan perut sendiri saja. Sekarang lihatlah ke jalan raya.

SI PENDEK
 …… Lihatlah Kemdal Permai, stanplat. Pemuda-pemuda kita berkeliaran dengan sepeda
motor. Kau punya sepeda? Ya, kita bisa mendengarkan lagu-lagu dangdut dari radio. Ya?

SI KACAMATA
Ya.

SI PENDEK
Ya, tidak?

SI KURUS
Ya.

SI PENDEK
Ya, tidak?

SI TUA (mengangguk-angguk)

SI PENDEK
Sebab itu kita tidak perlu mengeluh, apalagi melamun dan mengkhayal, sekarang yang
penting kita bekerja, bekerja yang keras.

SI KACAMATA
Saya juga berpikir begitu.

SI PENDEK
Kita bekerja dan bekerja keras untuk anak-anak kita kelak.

SI KACAMATA
Saya ingin anak saya memiiki yamaha bebek.

SI PENDEK
Asal giat bekerja kita bebas berharap apa saja.

SI KURUS
Tapi kalau masih ada korupsi? Anak kita akan tetap hanya kebagian debu-debunya saja
dari motor yang lewat di jalan raya.

SI PECI
Ya.

SI KACAMATA
Ya.

SI TUA
Ya, sekarang kejahatan merajalela.

SI KURUS
Semua orang bagai diajar mencuri dan menipu.

SI KACAMATA
semua orang.

SI KURUS
Uang serikat kerja kitapun pernah ada yang menggerogoti (melirik kepada si pendek)

SI PECI
Ya, setahun yang lalu. (melirik si pendek)

SI KACAMATA
Ya, dan sampai sekarang belum tertangkap tuyulnya. (melirik pad si pendek)

SI TUA (mengangguk-angguk)

PEMUDA muncul lagi, mula-mula ragu lalu ia turut bergerombol dan makan pecel.

SI PECI
Ya, setahun yang lalu (melirik si pendek) Sekarang kita sukar mempercayai orang.

SI KURUS
Bahkan kita takkan percaya lagi pada kucing. Kucing sekarang takut pad tikus dan tikus
sekarang besar-besar, malah ada yang lebih besar daripada kucing, dan adapula tikus
yang panjangnya satu setengah meter dan empat puluh kilogram beratnya. Tapi yang
lebih pahit kalau kucing jadi tikus alias kucing sendiri sama kurang ajarnya dengan tikus.

SI PECI
Ya, sekarang kucing malas-malas dan kurang ajar.

SI KACAMATA
Dunia penuh tikus sekarang.
SI KURUS
Dan tikus-tikus jaman sekarang beraqni berkeliaran di depan mata pada siang hari
bolong.

SI TUA
Omong-omong perkara tikus, (batuk-batuk) sekarang ada juga orang yang makan tikus.

SI KACAMATA
Bukan tikus, cindel. Orang Tionghoa di tempat saya biasa menelan cindel hidup-hidup
dengan kecap, mungkin untuk obat.

SI TUA
Bukan cindel, tikus-tikus, Wirog. Petani-petani sudah sangat jengkel karena diganggu
sawahnya, sehingga mereka dengan geram dan jengkel lalu memakan tikus-tikus sebagai
lauk, daripada mubazir. Tapi ada juga yang memakan tikus itu sebab……….lapar.

SI PECI
Ya, sekarang sudah hampir umum di kampung-kampung, bahkan ada juga anjuran dari
pemerintah setempat.

SI KURUS (pada si tua)
Enak?

SI TUA
Ha?

SI KURUS
Sedap?

SI TUA
Saya tidak turut makan (tersenyum).

SEMUA TERTAWA. LONCENG BEKERJA BERDENTANG. MEREKA MASING-


MASING MENGHITUNG DAN MENYERAHKAN UANG PADA SIMBOK
KEMUDIAN PERGI BEKERJA, LEWAT JALAN SAMPING. YANG TERAKHIR
ADALAH SI PENDEK.

SI PENDEK
Berapa Mbok?

SIMBOK
Apa?

SI PENDEK
Nasi pecel dua, tempe satu, tahu satu, rempeyek satu.
SIMBOK
Tujuh puluh lima.

SI PENDEK 
Bon. (pergi)

PEMUDA MENGHABISKAN MAKANNYA DENGAN LAHAP SEKALI, SETELAH


MEMBUANG CEKODONGNYA IA MINTA AIR YANG BIASA DISEDIAKAN
OLEH PENJUAL PECEL ITU. IA BERDIRI, MEROGOH SAKU CELANA. IA
CEMAS, SAKU BAJU DIROGOHNYA. IA MAKIN CEMAS, SIMBOK
MEMPERHATIKAN DENGAN BIASA.

SIMBOK
Ada yang hilang?

PEMUDA
Barangkali tidak.

SIMBOK
Apa?

PEMUDA
Dompet.

SIMBOK
Dompet? Ada uang di dalamnya?

PEMUDA
Juga surat keterangan penduduk. Tapi (mengingat-ingat) barangkali saya lupa dan tidak
hilang. Tadi malam saya mengenakan baju hijau dengan celana lurik hijau. Yang
mungkin dompet itu dalam saku baju hijau….. Berapa Mbok?

SIMBOK
Nasi dua.

PEMUDA
Tempe dua, tahu tiga.

SIMBOK
Delapan puluh.

PEMUDA (seraya hendak pergi)


Sebentar saya pulang mengambil uang. Dompet saya dalam saku baju hijau barangkali.

SIMBOK
Nanti dulu.
PEMUDA
Tak akan lebih dari sepuluh menit. Segera saya kembali.

SIMBOK
Tapi sebentar lagi saya mau pergi dari sini.

PEMUDA
Tapi dompetku ketinggalan di rumah. Sebentar rumahku tidak jauh dari sini.

SIMBOK
Ya, tapi sebentar lagi saya akan pergi dari sini.

PEMUDA
Sebentar (akan pergi)

SIMBOK (berdiri dan berseru)


Hei, nanti dulu. Bayarlah baru kau boleh pergi.

PEMUDA
Jangan berteriak. Tentu saja saya akan membayar. Tapi saya mesti mengambil uang dulu
di rumah. Mbok tidak percaya?

SIMBOK (diam)

PEMUDA
Tunggulah sebentar, saya orang kampung sini juga.

TERDENGAR ADA SUARA


Ada apa Mbok?

SI KURUS
Ada apa Mbok? (di jendela)

SIMBOK
Dia belum bayar.

PEMUDA
Tunggulah lima menit (pergi).

SI KURUS
Hai, dik! Tunggu!

PEMUDA
Saya akan mengambil uang. Saya belum membayar makanan saya, sebab itu saya akan
pulang mengambil uang saya. Dompet saya ketinggalan.
SI KURUS
Ya, tapi jangan main minggat-minggatan.

PEMUDA
Saya tidak berniat lari atau minggat, lagipula saya sudah bilang sama si Mbok.

SI KURUS
Simbok mengijinkan?

PEMUDA
Saya Cuma sebentar.

SI KURUS
Simbok memperbolehkan engkau pergi?

PEMUDA (diam)

SI KURUS
Simbok keberatan engkau meninggalkan tempat ini sebelum engkau membayar
makananmu.

PEMUDA
Bagaimana dapat saya bayar? Dompet saya ketinggalan.

SI KURUS
Ya, tapi jangan main minggat-minggatan.

PEMUDA
Saya tidak berniat minggat atau lari.

SI KURUS (lenyap dari jendela, muncul dari pintu samping)


Dimana rumahmu?

PEMUDA
Dekat.

SI KURUS
Dekat di mana?

PEMUDA
Di kampung ini.

SI KURUS
Ha? (pada Simbok) Mbok, kenal pada anak itu?
SIMBOK
Seumur hidup baru pagi ini saya menjumpainya. Tapi peristiwa semacam ini kerap
kualami. Dulu saya percaya ada orang yang betul-betul ketinggalan uangnya tetapi orang-
orang sebangsa itu tidak pernah kembali. Seminggu yang lalu saya tertipu dua puluh
rupiah. Tampangnya gagah dan meyakinkan sekali, waktu itu ia bilang uangnya
tertinggal di rumah. Tapi sampai hari ini pecel yang dimakannya belum dibayar. Benar
dua puluh itu tidak banyak, tetapi dua puluh kali sepuluh adalah tidak sedikit. Sekarang
saya sudah kapok dan cukup pengalaman.

SI KURUS
Baru sekarang ini kau jajan pada simbok, bukan?

PEMUDA
Ya.

SI KURUS
Lalu kenapa kau berani-berani jajan padahal kamu tahu tak beruang.

PEMUDA
Saya beruang.

SI KURUS
Bayarlah sekarang.

PEMUDA
Uang saya ketinggalan.

SI KURUS
Kenapa kau berani jajan.

PEMUDA
Saya tidak tahu kalau uang saya ketinggalan di saku baju hijau. Dan sekarang saya akan
pergi mengambil uang itu.

MUNCUL DI JENDELA, SI PECI

SI PECI
Ada apa dia?

SI KURUS
Makan tidak bayar.

SI PECI
Siapa?

SI KURUS
Pemuda ini.

SI PECI
Dia? (lenyap dari jendela muncul dari pintu)

SI KURUS
Kau bayarlah sebelum orang-orang ramai datang ke sini.

SI PECI
Ya, bayarlah. (pada simbok) Berapa dia habis?

SI KURUS
Berapa Mbok?

SIMBOK
Delapan puluh.

DUA ORANG ANAK MASUK, MEREKA MENONTON

SI KURUS
Kenapa jadi diam?

SI PECI
Kenapa?

PEMUDA
Saya tidak berniat minggat.

SI KURUS
Masih muda sudah belajar tidak jujur. Masih muda sudah belajar makan tanpa jerih
payah.

SI PECI
Kenapa tidak membayar?

PEMUDA
Saya mau membayar, uang saya ketinggalan.

SI PECI
Ketinggalan di mana?

SI KURUS
Di bank?

PEMUDA
Di rumah.
SI KURUS
Di mana rumahmu?

PEMUDA
Di sini.

SI KURUS
Di sini di mana?

PEMUDA
Di kampung ini.

SI KURUS
Kau warga kampung ini?

PEMUDA
Saya orang baru.

SI KURUS
Kau tahu nama kampung ini?

PEMUDA
Pegulen.

SI KURUS
Pegulen? Di RT mana kau tinggal?

PEMUDA
Di RT lima.

SI KURUS
RT lima betul?

PEMUDA
Kalau tidak keliru.

SI KURUS
Kalau tidak keliru?

PEMUDA
Mungkin saya lupa, saya orang baru.

SI KURUS
Baik. Siapa kepala RT lima?
PEMUDA
Saya orang baru di kampung ini.

SI KURUS
Tentu saja kau harus mengatakan orang baru di kampung ini, sebab kalau kau
mengatakan orang lama di kampung sini tentu kau harus menjawab siapa nama kepala
RT lima. Baik, dari mana asalmu?

PEMUDA
Muntilan.

SI KURUS
Dekat. Nah, kau katakan di mana tempat tinggalmu?

PEMUDA
RT lima Pegulen.

SI KURUS
RT lima dimana?

PEMUDA
Di RT lima.

SI KURUS
Ya, di rumah siapa?

PEMUDA
Dekat bengkel Slamet.

SI KURUS
Bengkel Slamet, bengkel mobil itu?

PEMUDA
Bengkel sepeda.

SI KURUS
O.., Ya betul, bengkel sepeda. Di mana bengkelnya?

PEMUDA
Di dekatnya.

SI KURUS
Di atasnya?

PEMUDA
Di sebelahnya.
SI KURUS
Ya, di sebelah atas.

PEMUDA
Sebelah kiri.

SI KURUS
O…, rumah siapa itu?

PEMUDA
Rumah tukang sepatu.

SI KURUS
Hapal sekali. Tukang sepatu siapa namanya?

PEMUDA
E….. Mas Narko, Sunarko.

SI KURUS
Salah, ternyata kau bohong. Nah, sejak sekarang saya akan memanggilmu pembohong.
Rumah itu adalah rumah saya. Di muka rumah itupun berdiri rumah Simbok ini. Kau
bohong.

PEMUDA
Saya tidak bohong. Bukankah diantara rumah saudara dan bengkel ada sebuah rumah
petak yang agak bagus.

SI KURUS
Kau cerdas sekali, tapi tolol. Rumah itupun rumah pak Prawiro, bukan rumah mas
Sunarko.

PEMUDA
Barangkali namanya Sunarko Prawiro.

SI KURUS
Indah sekali namanya. Kau yakin benar nama itu?

PEMUDA
Saya tidak begitu kenal namanya.

SI KURUS
Tentu saja pak Prawiro itu sangat tidak kenal padamu.

PEMUDA
Tapi saya kenal orangnya dan saya mondok pada istrinya.
SI KURUS
Setiap orang yang punya sepatu yang rusak dan buruk seperti sepatumu pasti kenal
padanya. Dia tukang sepatu.

PEMUDA
Tapi saya betul-betul kenal.

SI KURUS
Betul?

PEMUDA
Betul.

SI KURUS
Betul?

PEMUDA (diam)

SI KURUS
Puh! Pembohong. Tampangmu saja sudah mirip bajingan. Pintar kau ngoceh ya? Saya
adalah orang yang paling benci pada ketidakjujuran, saya muak. Saya menyesal sekali
melihat penipu semuda kau. Tapi saya terlanjur muak. Saya benci, kau tahu? Gaji saya
sedikit, tapi saya tak mau menipu atau mencuri. Ya, tentu saja kau semakin kurus, sebab
benar kata Joyoboyo, yang pintar keblinger yang jujur mujur. Sekarang baiklah, bayar
atau tidak? Ya memang sedikit uang delapan puluh rupiah, tapi bagi saya kejahatan tetap
kejahatan, dan saya benci serta menyesal, yang melakukan perbuatan hina itu adalah
manusia bukan anjing. Dan lebih menyesal lagi kalau yang melakukan kerja nista itu
adalah bakal dan calon orang, yaitu kamu, PEMUDA. Nah, bayar atau tidak? Terus
terang.

PEMUDA
Saya mau bayar.

SI KURUS
Bayarlah!

PEMUDA
Uang saya ketinggalan.

SI KURUS
Ketinggalan di mana? Di Bank? Di kantong pak Prawiro atau mau mencopet dahulu?
Mau belajar jadi garong… biar… cair kepalamu? Sayang kumismu jarang, kalau panjang
dan lebat saya sudah gemetar.

PEMUDA
Betul, uang saya ketinggalan.

SI KURUS
Bohong!

PEMUDA
Sungguh.

SI KURUS
bohong. Kau tadi sudah bohong sebab itupun kau pasti pembohong.

PEMUDA
Percayalah mas, kalau saya berbohong………

SI KURUS (memotong)
Bohong. Bohong kau…… (geram hendak memukul pemuda itu tetapi tiba-tiba ia
mengurungkan niatnya) Saya percaya kau adalah manusia, bukan binatang. Saya jadi
ingat saudara saya sendiri. Seperti sekarang juga saya merasa parah dalam hati. Waktu itu
saya tidak bisa menahan diri lagi sebenarnya, tetapi saya juga mengerti bahwa saudara
saya itu mesti masuk penjara, sebab ia telah melakukan kejahatan yang kubenci, tapi saya
merasa parah dan tetap benci akan apa yang berbau ketidakjujuran. Sekarang terus terang
saja mau bayar atau tidak?

DARI PINTU MUNCULLAH SI KACAMATA, SI TUA, DAN LAIN-LAIN, YANG


TAK HADIR HANYA SI PENDEK.

SI KACAMATA
Ada apa?

SI PECI
Makan tidak bayar.

SI TUA
Siapa, pemuda ini?

SI PECI
Ya, pemuda ini?

SI KACAMATA
Segagah ini?

SI PECI
Kalau tidak gagah barangkali tidak berani ia menipu (pada pemuda) Hei, pemuda. Kau
punya uang tidak?

PEMUDA (lama)
Punya.

SI PECI
Nah, kenapa mesti tidak bayar?

PEMUDA
Uang saya ketinggalan.

SI PECI
Ketinggalan? Lebih baik tidak usah berbohong. Kalau bersikeras semua orang akan
mengempalkan tangannya dan darah akan mengotori mukamu nanti. Bayar atau…

PEMUDA
Uang saya ketinggalan.

SI KURUS
Ketinggalan-ketinggalan. Sekarang mengakulah. Kau mau menipu ya?

SI PECI
Punya uang tidak?

SI KURUS
Mengaku.

SI PECI
Kau pasti tidak punya uang.

SI KURUS
Dan kau mengaku penipu.

SI TUA
Nah, bilang saja terus terang, jangan kau sakiti badanmu sendiri.

SI KACAMATA
Sudah kawan-kawan, saya yakin dia tidak beruang. Tapi….. Sebab itu lebih baik ia
menanggalkan celananya saja. Kalau memang dia berduit tentu ia nanti boleh mengambil
celananya kembali. Jadi celananya jadi jaminan. Bagaimana?

SI PECI
Ya, lebih baik begitu, semua orang setuju.

SI KURUS
Tanggalkan pakaianmu.

PEMUDA
Saya malu.
SI KURUS
Tidak, kau tidak punya malu. Kau tidak malu makan tidak bayar. Tanggalkan celanamu!
Tanggalkan!

SI PECI
Cepat!

PEMUDA
Saya tidak pakai celana dalam.

SI KURUS
Bohong, kau pembohong sebab itu kau pembohong.

PEMUDA
Sungguh mati. Demi Tuhan, tentang celana dalam saya tidak berbohong. Kalau saya
menanggalkan pantalon saya, saya telanjang. Oh, sungguh saya tidak tahu bagaimana
saya mengatakannya. Dan tentu saja sayapun tak dapat membuktikannya. Percayalah
kalau saya membuka celana, akan telanjanglah saya.

SI KURUS
Sejak tadi kau sedang menelanjangi dirimu sendiri dan kau diam-diam telah memberi api
pada setiap orang yang telah melihatmu.

TIBA-TIBA SEORANG PEREMPUAN JURAGAN BATIK BERSAMA PEMBANTU


YANG MEMAYUNGINYA MUNCUL DAN IA TERTARIK UNTUK MELIHAT
KEJADIAN ITU.

PEREMPUAN (dengan yang nyata-nyata dibuat-buat ia bicara pada si kacamata)


Ada apa to dik?

SI KACAMATA
Makan tidak bayar.

PEREMPUAN
Siapa?

SI KACAMATA
Si pemuda ini.

PEREMPUAN
O, lalu?

SI KACAMATA
Mula-mula dia mau menipu pura-pura akan mengambil uang yang katanya ketinggalan
tetapi agaknya dia berbohong. Sebab itu kami sepakat kalau ia menanggalkan celananya
untuk pengganti uang atau untuk jaminan kalau memang di punya uang.

PEREMPUAN
Berapa tho, habisnya?

SI KACAMATA
Berapa dik?

SI KURUS
Delapan puluh rupiah.

PEREMPUAN
Ah, sedikit. Baiklah, jangan ribut-ribut. Kasihan. (mengambil uang dari tasnya) Ini Mbok
seratus rupiah.

SI KURUS
Nanti dulu, Mbakyu. Mbakyu bilang kasihan padanya, sehingga mendorong rasa kasihan
Mbakyu untuk membayarnya. Tidak, tidak, saya tidak tersinggung. Sayapun memang
kalau delapan puluh itu sedikit dan saya juga dapat atau siapa saja masih mampu
memberi, tapi bukan itu soalnya. Kalau Mbakyu kasihan padanya sama seperti Mbakyu
membantu melahirkan seorang bandit di tanah kewalian ini. Saya juga maklum, apa yang
Mbakyu lakukan itu mulia, tapi hal yang mulia juga minta tempat dan saat yang tepat.
Dan sekarang saat tidak minta yang sejenis itu. Apa yang kami lakukan sekarang adalah
juga kemuliaan, meskipun menampakkan kekasaran dan penghinaan, tetapi ia juga
bersama kemuliaan yang diridhoi Tuhan. Dan jangan lupa saya dan teman-teman di sini
atau siapa saja juga mampu kalau berniat memberi anak pemuda ini uang seratus rupiah,
tetapi bukan itu soalnya.

SI PECI
Ya, itu soalnya.

SI KACAMATA
Ya.

SI TUA (mengangguk-angguk)

TANPA MEMBERI REAKSI APA-APA PEREMPUAN DAN PEMBANTUNYA


PERGI MELANJUTKAN PERJALANAN.

SI PECI
Sombong benar perempuan itu.

SI KURUS
Mau buka celana tidak?
PEMUDA (diam)

SI KURUS
Baiklah, tadi saya sudah berkata dan saya percaya bahwa kau bukan anjing, karenanya
kau pasti memiliki rasa malu. Baik, sekarang bajumu saja kau tanggalkan.

SI PECI
Ya, baju saja.

SI KACAMATA
Ya, baju saja.

SI PECI
Ayo cepat.

SI TUA
Nah, sebentar lagi kalau mata orang-orang di sini copot dan melotot, maka gemparlah di
muka pabrik ini, sebab ada seorang pemuda yang dipukuli ramai-ramai oleh orang
banyak.

PEMUDA
Saya melepaskan baju saya, Pak!

SI KURUS
Lepaskan!

PEMUDA
Saya tidak berkaos.

SI PECI
Tak perduli. Tanggalkan.

SI KURUS
Malu, malu! Priyayi kamu? Ha? Tak berkaos malu, tapi berani menipu. Laknat kau ini.
Penipu bagi dirimu sendiri! Lepaskan!

PEMUDA
Saya akan melepaskan tapi bukan baju melainkan sepatu.

SI PECI
Sepatu kain yang jebol itu? Kau telah membuat dagelan yang lebih menjengkelkan lagi
tau?

SI KACAMATA
Ya, satu rupiah tak akan ada orang yang sudi membeli sepatu abunawas itu.
TIBA-TIBA TERDENGAR GEMURUH SUARA TRUK. MENDEKAT DAN
BERHENTI TIDAK JAUH DARI TEMPAT ITU.

SI KACAMATA
Nah, pak sopir datang. Biarlah dia yang membereskannya biar tahu rasa kalau nanti
lengannya sudah dikilir oleh pak sopir.

SI SOPIR
Ada apa hah?

SI PECI
Makan tak bayar.

SI SOPIR
Si kecil ini?

SI KACAMATA
Ya, si kecil ini.

SI SOPIR (pada pemuda)
Oo, sudah kenyang, hah? Terlalu pagi. Matahari masih terlalu rendah untuk dikhianati.
(pada si peci) Lalu, akan kita apakan dia?

SI PECI
Ia harus menanggalkan bajunya.

SI SOPIR
Begitu semestinya. Lebih baik makan baju daripada makan tidak bayar, bukan? Lalu?

SI PECI
Ia menolak melepaskan bajunya.

SI SOPIR
Itu tidak adil, ia bisa menolak untuk telanjang badan tapi ia makan tanpa bayar
seenaknya. Itu tidak adil. (pada pemuda) He, anak muda. Kau pemuda Indonesia, bukan?
Tidak, jangan mengangguk! Kalau kau meng-iya-kan pertanyaan saya kau sama dengan
mengatakan bahwa pemuda Indonesia itu dibolehkan makan di warung tanpa bayar.
Tidak, tanah ini akan menangis mendengar cerita itu. Dengarkan! Dulu waktu sehabis
perang saya juga pernah menjadi pencopet, tanpa perduli lagi. Tapi malang rupanya
tangan ini terlampau kasar sehingga tangan ini lebih suka diborgol, dalam penjara. Nah,
di tempat yang sepi itu aku mengakui bahwa aku telah menyakiti orang, menyakiti hati
dari tanah yang kita cintai ini dan pasti Tuhan akan menutup pintuNya bagi orang
semacam aku. Sebab itulah setelah aku keluar dari rumah yang baik dan mulia itu,
kemudian aku menjadi lebih maklum bahwa kita tak boleh berbuat jahat. Tidak, jangan.
Tapi dengarlah lagi! Kau tahu, kalau kau berjalan ke arah barat dari arah sini kau akan
sampai pada sebuah perempatan, di mana berdiri beberapa batang pohon beringin. Kau
tentu sudah tahu di belakang pohon beringin itu berderet asrama. Dan kau tahu asrama
apa itu? (lama) Asrama Polisi! Nah, kau suk kuantarkan ke asrama itu?

PEMUDA (diam)

SI SOPIR
Suka! Tentu tidak, ya? Nah, copot bajumu!

PEMUDA
Saya malu.

SI SOPIR
Jangan malu-malu (keras) copot!

PEMUDA MENANGGALKAN BAJUNYA PADA SI PECI.

SI PECI (menyerahkan baju kepada Simbok)


Simpanlah baju ini Mbok. Nanti kalau ia kembali membawa uang berikan baju ini.

SI SOPIR
Beres sudah! Ayolah, kita bekerja sekarang. Habis waktunya terbuang.

ORANG-ORANG PERGI, MASUK KE DALAM PABRIK. KECUALI SI SOPIR


YANG PERGI KE ARAH DARI MANA IA MUNCUL TADI. TAPI BELUM LAMA
DUA LANGKAH ORANG-ORANG BERGERAK TIBA-TIBA….

SI KURUS
Saya kira kalau baju itu disimpan Simbok sekarang niscaya kurang aman. Lebih baik baju
itu dititipkan pada Abduh yang kerjanya dekat jendela.

SI PECI
Baiklah, Mbok, saya membawa bajunya ke dalam. Kalau ada apa-apa panggillah saya.
(menerima baju)

BERES SUDAH……ORANG-ORANG SUDAH MULAI BEKERJA, DI HALAMAN


ADA SIMBOK DAN SI PEMUDA. GEMURUH MESIN KEMBALI NYATA. LEWAT
SEORANG PEREMPUAN MENJAJAKAN JENANG GENDUL. SANGAT NYARING
SUARANYA.

PEMUDA
Mbok, mula-mula maksud saya tidak akan menipu. Sesudah dua hari ini saya hanya
minum air mentah saja. Tidak makan apa-apa.

SIMBOK (diam)
PEMUDA
Seminggu yang lalu saya masih di Klaten, bekerja di sebuah bengkel. Ya aku tidak cukup
dapat makan. Sebab itulah aku mencari pekerjaan di sini.

SIMBOK (diam)

PEMUDA
Asalku sendiri dari desa, desa yang wilayahnya di gunung kidul, Wonogiri. Juga Mbok
pun tahu tanah macam apa yang menguasai tanah macam gunung kidul itu. Tanah tandus.
Tanah yang tidak mengkaruniakan buah bagi mulut yang papa. Sebab itulah aku turun
dan mengembara sampai ke pesisir utara ini. Tapi jarak selatan sampai ke pesisir utara
tidak juga memberikan apa-apa. Karenanya aku terus menyusuri ke Barat, ke tanah wali
ini, dengan harapan tanah serta rumah di kota ini akan sudi memberi makan saya. Tujuh
hari sudah saya disini dan dua hari sudah saya lapar. Dan pada hari ketiga kelaparan saya
membawa saya kemari ke tempat Mbok berjualan pecel. Tidak, saya tidak bermaksud
menipu. Sekali-kali tidak (menengadah) Tuhan, kutuklah aku!

SIMBOK (bangkit dan bergerak menuju jendela dan berseru)


Abduh! Abduh!

SI PECI (di jendela)
Ada apa Mbok?

SIMBOK
Mana baju tadi?

SI PECI
Dia membawa uang?

SIMBOK
Tidak, baju itu akan saya bawa ke pasar, saya jual.

SI PECI
Nanti direbut oleh anak itu lagi.

SIMBOK
Tidak, kemarikan saja.

SI PECI
Baiklah (lenyap dari jendela, kemudian Simbok menerima baju tadi lewat jendela)

PEMUDA
Ya, Mbok sebelum saya memesan nasi pecel tadi saya sudah berjanji pada diri sendiri,
tidak, saya harus membayar! Entah kapan saja tapi harus bayar. Demi Allah, hukumlah
saya. Ya, Mbok kalaupun saya pergi tak kembali kesini atau kapan saja saya pasti kemari
untuk membayar makan saya. Ibu saya mengajarkan kejujuran dan hukum bahwa,
bekerja artinya tenaga, bahwa bekerja artinya makan. Hal itu kusadari sejk aku mulai
tahu bahwa tanah tempat saya berpijak sangat keras, begitu angkuh dan tandus.

SIMBOK (memberikan baju tanpa berkata apa-apa)

PEMUDA
Tidak Mbok, bukan maksud saya minta dikasihani, saya hanya ingin menceritakan dan
saya hanya ingin mengatakan bahwa hati saya bersih. Terhadap baju itu sudah rela dan
paham bahwa barang itu patut saya berikan pada Simbok sebagai ganti makanan yang
telah saya makan.

SIMBOK
Terimalah.

PEMUDA
tidak.

SIMBOK
Terimalah.

PEMUDA
tidak.

SIMBOK
Terimalah.

PEMUDA
Mbok percayalah.

SIMBOK
Saya percaya sebab itu kau harus mau menerima baju kembali.

PEMUDA
Tapi baju ini bukan milikku lagi. Ibu bilang aku tidak boleh memiliki barang kepunyaan
orang lain. Tidak… Ada air mata di mata Simbok.

SIMBOK
Tidak.

PEMUDA
Saya tidak tahan melihat orang menangis, meskipun ibuku senantiasa menangis setiap
malam. Dan sekarang hanya tinggal tangisnya belaka sebab itu telah lewat. Simbok
kasihan pada saya lalu menangis? Tidak!

SIMBOK
Tidak, saya ingat anak saya.
PEMUDA
Simbok punya anak?

SIMBOK
Ya, satu-satunya, jantan yang cantik.

PEMUDA
Dimana sekarang?

SIMBOK
Di sini.

PEMUDA
Di sini?

SIMBOK
Di Kendal. Di PENJARA.

PEMUDA
Ha?

SIMBOK
Ya, sayapun tak pernah menyangka, anak saya itu akan menjadi pencuri sepeda. Tidak,
saya cukup memberi ia makan. Tapi barangkali disebabkan pergaulannya atau barangkali
saya salah mengajar atau mendidik dia atau…..atau…..atau…. Oh, saya tidak tahu. Tapi
aku tahu dan percaya matamu lain dengan matanya. Saya melihat matamu bening, sebab
itu saya yakin kau tidak seperti anak saya. Kau seperti kemenakan saya. Kau pasti…Kau
pasti anak baik. (tiba-tiba) Akh, cepat terimalah baju ini dan segeralah kau pergi dari
tempat ini sebelum penjaga malam sampai kemari.

PEMUDA (menerima baju itu)


baiklah. Terima kasih dan selamat tinggal Mbok.

BEGITU IA LENYAP, MUNCUL PENJAGA MALAM YANG TAMPAK BARU


SELESAI MANDI. IA TAMPAK KEDINGINAN.

PENJAGA MALAM
Minta pecel yang pedes (kedinginan). Katanya tadi ada pemuda yang mau menipu?

SIMBOK (tak begitu acuh)


Ya.

PEMJAGA MALAM
Bagaimana tampangnya?
SIMBOK
Kurus dan cantik.

PENJAGA MALAM
Pakai baju lurik.

SIMBOK
Ya, kalau tidak salah.

PENJAGA MALAM
Bajigur! Bajigur! Kurang ajar dia. Tapi dia tak jadi menipu di sini bukan? Kemana ia?
Jangkrik anak itu! Belut!

SIMBOK
Ada apa? Ada apa?

PENJAGA MALAM
Pasti dia. Kemarin malam dia juga menipu di sebuah warung di pasar Kauman.

SIMBOK
Haa….? (menelan ludah) Ya, Allah.

LANGIT DI ATAS MULAI KOTOR OLEH NAFAS MANUSIA DAN LALU


LINTASPUN MULAI LEBIH RAMAI. SEORANG ANAK LAKI-LAKI
MENJAJAKAN ES LILIN LEWAT, TANDA HARI SUDAH SIANG. SUARANYA
NYARING, MENYEMBUL DI SELA-SELA KESIBUKAN.

SELESAI

5. Judul Drama : Seorang Laki-Laki Tua (1966)

Jenis Drama :

6. Judul Drama : Sepasang Pengantin (1968)

Jenis Drama :

7. Judul Drama : Nenek Tercinta (1966)

Jenis Drama : Tragedi

Masalah yang diangkat oleh pengarang adalah mengenai masalah hubungan sosial
kekeluargaan yang ruwet di mana nenek yang kaya raya selalu menjaga serta melindungi
harta bendanya, namun juga sering ia curiga pada anak-anaknya hingga terjadi
persekongkolan untuk membunuh nenek ini. pegulatan yang terjadi akhirnya memakan
korban jiwa.

Menanggapi permasalahan dalam drama ini, harta benda pada umumnya adalah
hal yang sementara sehingga tidak seharusnya membuat hubungan dalam keluarga
menjadi hancur. Walau demikian, tokoh nenek adalah tokoh yang sangat menghargai
usaha dan jerih Lelahnya dengan menjaga hartanya dengan ketat. Ia sangat
menyayanginya sebagai milik pusakanya. Karena kecintaannya ini membuat nenek
sendiri tidak mempercayai anak-anaknya sendiri. Karena rasa perhatian yang besar pada
harta bendanya, emosi nenek naik dan mulai menuduh sembarangan. Di sisi lain
kecerobohan dari anak Nenek juga adalah karena tuduhan-tuduhan nenek juga hingga ia
ingin membunuh nenek dengan mengunjungi dukun, hal ini menggambarkan betapa
marahnya anak yakni lestri kepada orang tuanya sendiri. Namun sebesar apapun masalah
dalam keluarga, penting untuk memiliki superego yang baik dan benar sedini mungkin
karena Tindakan yang terburu-buru dan keinginan yang tak terkendali seperti yang
dilakukan oleh anak-anak nenek ini akhirnya memakan korban jiwa dan tak lain dan tak
bukan adalah kemenakannya sendiri. Penyesalan yang tak terkira selalu datang
belakangan.

Ringkasan Cerita:
Nenek, yang sudah renta dimakan usia itu selalu terlibat cekcok dengan anak dan
menantunya. Harta dan kekayaan menjadi api yang membakar tali ikatan keluarga.

Tiap hari, sang nenek terus ketakutan kunci-kuncinya hilang dicuri. Sehingga kunci-kunci
itu ia simpan di tempat yang menurutnya aman. Bahkan lagi, ia selalu menuduh kunci itu
hilang saat lupa dimana menaruhnya.

Lastri, anaknya dan Masiroh menantunya bersekongkol untuk menghabisi nyawanya.


Anehnya, hal itu dilakukan dengan cara mistis, alias dukun.

Niat jahat itu, ditentang keras Laila, cucu kesayangan nenek. Di sini, penonton disajikan
pesan-pesan moral berbalut agama.

Sayangnya, dukun yang dipercaya akan mempercepat kematian nenek lewat mantra itu
merupakan dukun palsu. Bahkan, ia membawa kabur sebuah kotak yang diduga berisi
harta kekayaan nenek.

Di akhir cerita, Dudung keponakan Lastri mati akibat jatuh dari pohon dan kepalanya
membentur batu. Saat itulah, Lastri bertekuk lutut memohon maaf kepada nenek. Situasi
ini dimanfaafkan si Dukun untuk menyatroni kamar nenek.
B. W. S. Rendra

1. Judul Drama : Bib Bob Rambate Rate Rata (1967)


Jenis Drama : minikata

Daftar Pustaka
http://naskahdrama-rps.blogspot.com/2010/08/kapai-kapai-arifin-c-noer.html
https://banongautama.wordpress.com/2015/09/28/naskah-mega-mega-karya-arifin-c-noer/
https://docplayer.info/52013892-Prita-istri-kita-karya-arifin-c-noer.html
http://naskahdramapbsi.blogspot.com/2012/11/lakon-matahari-di-sebuah-jalan-kecil.html
https://metrojateng.com/teater-nenek-tercinta-kisahkan-harta-kekayaan-hingga-santet/

Anda mungkin juga menyukai