Anda di halaman 1dari 11

Contoh sastra Surrealisme

KECUBUNG PENGASIHAN

Oleh : Danarto

KEMBANG-KEMBANG di taman bunga yang indah harum semerbak itu pun jauh-jauh sudah
menyambut bersama-sama dengan senyum mesra kepada perempuan bunting yang berjalan
gontai seolah-olah beban di dalam perutnya lebih berat dari keseluruhan tubuhnya hingga orang
melihatnya terkesan bahwa ia lebih tampak menggelinding daripada berjalan dengan kedua belah
kakinya, yang mana tentulah merupakan pemandangan yang jenaka, manapula pakaiannya
compang-camping hingga kerepotan sekali ia untuk menutupi perutnya yang bundar buncit itu
dengan selayaknya, hingga ia di jalan-jalan raya, di restoran-restoran, di pasar, di stasiun, di
tong-tong sampah, membangkitkan gairah orang-orang untuk meletuskan hasrat hati yang peka
seperti senar-senar lembut : laki-laki tersenyum kurang ajar, anak-anak tertawa mengejek,
wanita-wanita melengos. Dan kembang-kembang di taman bunga yang menyambut perempuan
bunting dengan senyum mesranya itu pun tentulah di hatinya terselip perasaan geli juga.

Taman bunga itu indah harum semerbak. Banyak orang beristirahat di sana. Orang-orang tua,
laki-laki dan perempuan, anak-anak muda yang berpasangan dan sendirian, bocah-bocah cilik
yang bermain kejar-kejaran atau yang tenang duduk-duduk di bangku. Para pensiunan, para
pegawai, para buruh, para petani yang habis belanja ke kota dan mau pulang lagi ke desanya,
para profesor dan kaum cerdik pandai, para mahasiswa, para seniman yang lusuh, para pedagang,
para tukang jual obat, para tukang catut, para tukang becak, para gelandangan dan pengemis
yang kotor, kelaparan dan compang-camping. Yah, semuanya perlu duduk-duduk di taman itu.
Tidak perlu menggagas apa yang perlu diperbuat. Yah, pokoknya ketaman bunga itu dulu dan
lantas mau apa ! Ngomong? Menikmati bunga-bunga yang jelita-jelita ? Melihat yang melihat ?
Cuci mata (kotor hati) ? Cari jodoh ? Bercerai ? Bertengkar ? Merencanakan siasat? Menghitung
keuntungan ? Menemukan rumus ? Mencari ilham ? Ngobrol cabul ? Menggapai-gapai Tuhan di
mana adanya ? Ya, segalanya diperbuat orang di taman itu. Perempuan bunting itu sudah
memasuki bagian taman bunga yang dikenalnya. Ia tiap hari ke situ. Ia makan kembang-
kembang itu. Sebagai orang gelandangan, ia paling sengsara. Ia kalah rebutan sisa-sisa makanan
di tong sampah, sebab pengemis-pengemis lain lebih cekatan. Ia tak pernah mendapatkan apa-
apa dalam bak sampah. Kemudian diputuskannya untuk memakan kembang. Berhari-hari ia
memakan kembang-kembang di taman itu. Mula-mula ia tak tahan. Tapi lama-lama biasa juga.
Tiap harinya makan bertangkai-tangkai kembang. Di sana ada kelompok Mawar, kelompok
Melati, Sedap Malam, Anggrek dan sebagainya.

“ Selamat siang, perempuan bunting “, sambut kelompok-kelompok itu bersama-sama, seperti


anak-anak sekolah kepada ibu gurunya.

“ Selamat siang, sayangku “, sahut perempuan bunting itu sambil mendekati mereka. Ia
berkeliling mengitari kelompok-kelompok itu dan terpana.
“ Kandunganmu semakin besar rupanya”, kata Mawar

“ Awas, awas, kau bisa terjungkir ”, kata Melati

“ Rasain kalau nanti meledak, wahai perempuan ayu “, sambung Sedap Malam.

Perempuan itu terkekeh-kekeh keras hingga buah dadanya terpental-pental dan perut buncitnya
bergetar seperti ada gempa bumi. Sekalian kelompok-kelompok kembang itu pun ikut tertawa.

“ Bentukmu tampak semakin lucu kalau kau tertawa keras. Saya ingat Rangda “, sela Anggrek.

“ Ah, orang-orang baik pun akan tertawa geli melihatmu “, kata Melati.

“ Hayo ! Macam apalagi kiranya?” tukas Kamboja.

“ Bungkahan batu ! “, teriak Kenanga.

“ Ah, terlalu biasa. Tidak kena “.

“ Trasi bau ! “.

“ Tong yang mbludag ! “

“ Hampir ! “

“ Padas gempal ! “

“ Bukan main! Kena! Kena! “

Perempuan bunting itu terkekeh-kekeh terus, kelompok-kelompok kembang mengikutinya,


dengan tertawa dan bergoyang.

“ Ah, kalian putri-putri jelita yang manja-manja. Suka mencemoohkan orang dengan sewenang-
wenang, “ kata perempuan itu.

“Mana suka kita,” sahut mereka dengan genit.

Lalu perempuan itu terduduk di bangku. Terbujur menelentang dan napasnya turun-naik,
tersengal-sengal seolah-olah habis dikejar harimau.

“Aduh, kalian membuatku sesak napas,” kata perempuan itu sambil tersenyum.

“Salahmu sendiri. Kami juga terpingkal-pingkal tapi tetap longgar napas,” balas Sedap Malam.

Kemudian suasana tenang. Siang itu banyak bangku kosong. Hanya ada satu dua orang lewat.
Rupanya, orang-orang sedang giat mencari rezeki.
“Ada cerita baru buat kami?” tanya Mawar.

“Ya, cobalah cerita tentang perjalananmu tadi sebelum sampai di sini,” kata Melati.

“Tentulah menarik sekali. Ayo mulailah,” kata Anggrek. Perempuan itu masih mengatur
napasnya.

“Ah, cuma seperti biasanya saja. Cerita yang itu-itu juga. Hari ini di jalan aku tak menemui
kejadian baru, “ kata perempuan itu.

“Biarlah. Karena tiap hari itu selalu hari baru, maka biarpun ceritamu yang itu-itu juga, tetaplah
ia baru,” kata Kamboja.

“Lagipula, anak kembar sesungguhnya tidaklah kembar,” kata Kenanga.

“Memang, memang,” tukas perempuan itu. “Ada seorang nabi yang membelah bulan. Persis jadi
dua. Persis benar. Sama besar dan sama irisannya. Tapi tidaklah persis bongkahan-bongkahannya:
jurangnya, gunungnya, lembahnya.”

“Benar! Benar! Bukan main! Tidaklah persis bongkahan-bongkahannya!”

“Ya, ya, bongkahan-bongkahannya lain. Ceritakan!”

“Betul! Ceritakanlah bongkahan-bongkahannya kepada kami. Ceritakanlah!”

Perempuan itu tetap duduk telentang, sedang kembang-kembang itu bergoyang-goyang. Awan di
atas berarak-arak, hingga berganti-ganti bentuknya. Semuanya kelihatan diam dan menantikan
perempuan itu.

“Dinihari itu aku merasakan kesyahduan yang sangat. Hingga terasa olehku kolong jembatan itu
adalah geraja-masjidku yang penuh harapan di masa depan. Walau tiang-tiangnya telah rapuh
hingga aku selalu khawatir bila mulai tidur di bawahnya, ia merupakan rumah Tuhan yang
kucintai dengan kekalnya.”

Ia terdiam. Kembang-kembang juga terdiam.

“Lantas aku bangkit dan berjalan-jalan ke tong-tong sampah. Di sana kudapati sekalian kawan-
kawanku. Mereka mendapatkan sisa-sisa makanan yang lumayan. Mereka beramai-ramai
memakannya. Aku berusaha mencari potongan-potongan kain. Seperti biasanya mereka
ngomong kepadaku dengan nada mengejek.”

‘Engkau mau bakmi, Manis?’

‘Ah, kagak usah ditawari. Ia kagak doyan bakmi. Itu makanan kere’. Ia toh sudah punya
makanan luks. Kembang-kembang di taman itu.”
Lantas mereka tertawa terbahak-bahak sambil melahap makanannya.

‘Sayang, aku kagak gila. Padahal, aku kepingin makan kembang.’ Begitu kata yang lain sambil
diiringi ledakan-ledakan ketawa. Aku tersenyum saja sambil mengorek-ngorek sampah. Mereka
tahu bahwa hanya orang-orang gila yang makan kembang. Tapi biarlah. Itu tak mengapa: mereka
tidak tahu. Hanya akulah yang paling tahu mengenai diriku. Selama aku tidak merugikan orang
lain, aku berani mengatakan bahwa aku tidak gila.”

Ia tersenyum dan kembang-kembang yang mendengarkan dengan baik itu pun tersenyum.

“Kemudian aku jalan lagi ke emper-emper toko. Aku tetap mencoba mencari potongan-potongan
kain. Tapi sia-sia. Yang ada hanya potongan-potongan kertas. Kulihat orang-orang pada
bersungut-sungut.

‘Orang gila manapun akan berpakaian,’ nyeletuk salah seorang.

Aku diam saja atas penglihatan orang yang tajam itu. Yah, bajuku memang compang-camping,
itulah sebabnya aku mencari potongan-potongan kain. Lalu aku ke restoran-restoran. Bukan
hendak mencari makanan, tapi tetap hendak mencoba mencari potongan-potongan kain.”

“Manusia memang aneh. Pakaiannya mentereng, tapi perutnya lapar,” tukas Sedap Malam.

Sekaliannya tertawa.

“Lalu apa cemoohan mereka?” cerita perempuan itu selanjutnya. “Wah, macam-macam. Mula-
mula mereka mengerutkan keningnya. Menelitiku dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan
pandangan jijik.

‘Wah, ini die nih, akibat dari maen-maen.’

‘Rasain sekarang menanggung akibatnya.’

Aku diam saja sambil pura-pura tidak dengar. Tapi hatiku terasa seperti diiris-iris. Ingin aku
berteriak-teriak keras-keras menceritakan riwayat hidupku ke telinga mereka yang
memandangku dengan kecurigaan besar itu.”

“Aduh! Betapa tidak enaknya jadi manusia!” tukas Kemboja.

“Yah, rasanya mereka amat kejam. Saling mendengki,” sambung Melati.

“Mudah-mudahan aku tidak akan pernah jadi manusia,” kata Mawar.

Matahari sudah condong ke barat. Sudah banyak orang yang tidur di bangku-bangku. Ada yang
mendengkur keras-keras. Tentulah mereka lelah sehabis seharian bekerja. Ada yang tidur dengan
duduk. Di bawah pohon yang rindang, orang yang tidur dengan duduk itu kelihatan seperti
patung hiasan taman. Beberapa pengemis dan gelandangan laki-laki dan perempuan berdatangan
sambil membawa bungkusan. Mereka berkumpul di bawah pohon trembesi. Isi bungkusan dibagi
dan mereka makan dengan bernafsu.

“Tapi sekarang,” kata perempuan itu kepada kelompok kembang-kembang. “Datanglah laparku.
Maka, sekianlah ceritaku. Aku harus makan sekarang. Maafkan.”

“Demikianlah tiap hari yang berlaku,” sela Kemboja.

Sekaliannya terdiam dan menundukkan kepala. Sunyi senyap sejenak, kayak ada setan lewat.

“Ambillah kami,” kata Mawar.

“Pilihlah sesukamu,” kata Melati.

“Petik yang paling segar,” kata Sedap Malam.

“Kembang kematian tak pernah meneteskan air mata. Ambillah kami sebanyak-banyaknya,” kata
Kemboja.

“Aku kembang termahal namun sengsara. Petiklah aku duluan,” kata Anggrek.

“Engkau membantu mempercepat reinkarnasi. Petiklah kami yang pertama,” kata Kenanga.

Perempuan bunting itu tunduk terpaku. Air matanya meleleh. Semuanya diam. Awan di atas juga
diam.

“Tiap hari aku selalu diiring tangisan bila aku mulai makan. Apakah itu air matamu atau air
mataku sendiri. Mestikah kejadian begini akan berlangsung terus? Sepanjang hayat di kandung
badanku? Aku merasa sedih dan bosan,” kata perempuan itu dengan mata berkaca-kaca.

“Aku mencoba mengelakkan tapi aku tak mampu. Aku benar-benar tak mampu. Hampir-hampir
aku tak percaya pada mataku bahwa memang tak ada sisa-sisa makanan sedikitpun di tong-tong
sampah ataupun di restoran. Aku tak malu mengemis. Tapi aku ditolak. Aku mau bekerja, tapi
tak ada lapangan pekerjaan bagiku. Semuanya menolakku. Hampir-hampir aku percaya bahwa
aku hidup tidak bersama manusia. O, negaraku yang miskin. Rakyatku yang miskin. Presidenku
yang miskin. Menteri-menteriku yang miskin. Orang-orang cendekiaku yang miskin. Orang-
orang kayaku yang miskin. Miskin jiwa miskin harta. O, dunia sudah terlalu miskin untuk
memberiku sisa-sisa makanan.”

Ia berhenti. Sejenak terisak-isak. Juga kelompok-kelompok kembang terisak.

“dulu aku mengira bahwa tumbuh-tumbuhan adalah benda mati dan kalian tak ku indahkan.
Kalian makhluk rendah. Tetapi ternyata kalian juga mengenal tawa dan tangis. Music dan puisi.
Ah? Manusia juga berasal dari batu dulu-dulunya. dan batu-batu, krikil-krikil, pasir-pasir
makhluk paling rendah itu yang terhantar di bawah kakiku ini adalah nenek moyangku.”
Ia berhenti. Disekanya matanya. Diaturnya nafasnya.

“wahai, kembang-kembang yang jelita. Mengenal kalian seperti mengenal semesta. Suatu
kebahagiaan. Dan lantas kita ngomong-ngomong dan berkelakar. Hingga orang-orang curiga dan
lantas bilang bahwa aku gila, karena ngomong dan ketawa sendiri dihadapan kalian. Biarlah.
Mereka toh tidak tahu. Buat apa memaksanya supaya tahu, kalau tidak tahu?”

Perempuan itu berhenti. Disekanya matanya. Kembang-kembang juga menyeka matanya. Hening
sejenak.

“batu-batu menyanyi dan esoknya ia menjelma jadi tumbuhan. Ia lahir dalam dunia baru. Syahdu.
Nafas baru, pandangan baru. Pada saat kematian tiba, tumbuhan itu berlagu. Dendang sayang
akan hidup lantas dibuang. Esoknya ia menjelma jadi binatang. Ia berlari dan mengembik. Ia
menerkam dan meraung atau ia melompat dan meringkik. Lalu embik hilang, raung hilang, dan
ringkik hilang. Dalam jelmaan yang lebih menggemparkan dengan bekal pemikiran di otak dan
perasaan di hati. Dengan keperkasaan tanggung jawab dan aliran dahsyat nafsu, melompatlah
jelmaan baru: Manusia? …. O, perjalanan yang jauh dan pedih. Kita ini apa? Dari mana? Mau
kemana?”

Perempuan itu sendu. Kembang-kembang termangu-mangu.

“Wahai, kembang-kembang yang jelita. Mengenal kalian seperti mengenal semesta. Suatu
kebahagiaan. Dan lantas kita ngomong-ngomong dan berkelakar. Tetapi sekarang aku lapar.
Kalian makananku satu-satunya. Dan itu berarti pembunuhan.”

“Buka! Tidak benar! Justru kau menolong mempercepat reinkarnasi. Petiklah aku! Ku sambut
maut dengan karangan bunga yang paling panjang,” kata Kenanga.

“O, kematian yang ku rindukan. Maut dan reinkarnasi yang kerja sama, mendekatlah! Cabutlah
nyawaku! Cukup kau sentil saja dan kau mendapatkan jiwa yang paling bagus,” kata Melati.

“ayo! Inilah aku. aku kepanasan. Tolonglah aku, wahai, Sang Maut! Air! Air! Air kematian yang
sejuk! Bawalah kemari! Kemari!” kata Mawar

Perempuan bunting itu diliputi oleh perasaan keharuan yang sangat. Sedang kelompok-kelompok
kembang itu melonjak-lonjak kegirangan, seperti kanak-kanak menyongsong ibunya yang pulang
dari pasar, untuk minta oleh-olehnya.

“reinkarnasi macam apa yang kalian bayangkan?” Tanya perempuan itu sambil menatap satu
persatu wajah-wajah kembang itu. “tak seorang makhlukpun mengetahui dengan pasti macam
apa kehidupan sehabis kematian.”

“Itu tidak penting! Itu tidak penting! Reinkarnasi macam apa, itu tidak penting! apa-apa mau!
Pokoknya, maut datang dulu!” teriak kembang-kembang itu.

“dari kembang jadi debu?”


“setuju dan mau! Memangnya kembang lebih bagus dari debu?”

“Wahai, perempuan manis, bukankah kau pernah cerita bahwa Siddharta Gautama Budha
sebelum mencapai Penerangan Yang Mulia, beliau telah hidup berulang-ulang lebih dari 530 kali.
Sebanyak 42 kali terlahir sebagai orang yang dipuja-puja. Lalu 85 kali menjadi raja. Terus 24
kali menjadi pangeran. Kemudian 22 kali menjadi orang terpelajar. Lalu 2 kali menjadi maling.
Lalu 1 kali menjadi budak. Lalu 1 kali menjadi penjudi. Kemudian berkali-kali menjadi singa,
rusa, kuda, burung, rajawali, banteng, ular, dan juga katak…. Bukan main! Mungkin kita nanti
jadi kerikil atau cacing atau manusia atau kembali menjadi kembang lagi, tapi lebih buruk:
Bunga Bangkai!.... bukan main! Aduhai, sebuah bayangan yang menyenangkan. Ayolah,
peremuan manis, cabutlah nyawaku lebih dulu. Aduhai, sebuah bayangan yang menggairahkan
mendekatlah, Manisku, mendekatlah!” kata Sedap Malam.

Suasana sejenak lengang.

“O, kadang-kadang kutemukan diriku adalah seorang pembunuh yang menipu,” kata perempuan
itu dengan air mata meleleh. “Kurayu kalian dengan segala bayangan kesenangan tentang
kehidupan yang indah sehabis kematian, hanya supaya kalian mau kumakan. Tapi benar-benar
indahkah? Aku menipumu. Dari mana aku tahu segala tetek bengek itu? Kenapa aku yakin benar
akan kelahiran kembali? KEnapa kalian juga yakin? O, terberkahilah semoga kita sekalian, yang
percaya walaupun belum pernah melihatnya.

“Kemudian semuanya diam. Masing-masing terharu. Masing-masing dilipat oleh pikirannya


sendiri-sendir.”

“KEnapa kalian suka kepada reinkarnasi?”

“Karena ia semacam dunia baru.”

“Hanya makhluk yang bodoh yang suka kepadanya. Aneh sekali, kenapa tidak bercita-cita
langsung di sisi Tuhan saja sehabis mati?”

“Siapa yang tahu timbangan kita? MAna yang lebih berat? Dosa atau kebaikan?” kata Melati.

“Tidak seorang makhluk pun tahu tentang timbangannya. PAda suatu ketika makhluk mau mati.
Ia membayangkan nantinya akan di sisi Tuhan. Bahkan ia akan menyatu di jangtung-Nya. Tapi
demikiankah kenyataannya? Menyedihkan. Menyedihkan. Ternyata, ia harus direbus dalam air
yang paling menggelegak dulu sebelum ia diturunkan lagi jadi anjing.”

“Ya, Perempuan manis,” kata Mawar. “Tidak seorang makhluk pun tahu tentang sesuatu. Restui
saja kami yang sudah bosan jadi kembang. Maut lewat tanganmu, renggutlah kami. Renggut!
Dan jangan hiraukan apa jadinya nanti sesudah itu. SEtidak-tidaknya ia sesuatu yang baru.” Kata
Kemboja.

“Tapi itu bunuh diri namanya. Dan itu dosa,” balas prempuan itu.
“Engkau yang sudah mengerjakan tiap hari sekarang sanksi?” kata Anggrek. “Wahai, Perempuan
manis.Tidak dengarkah kau bahwa banyak pertapa yang melakukan kematian berencana?
MEreka membersihkan jasmani dan rohani dalam waktu yang lama. Kemudian duduk tenang-
tenang menyambut datangnya maut! Dan mereka yakin bahwa kematian seperti itu tidak
berdosa!”

Perempuan bunting itu diam saja.

“Kalau kita bicara perkara dosa, kita semua berdosa,” kata KEnanga. “Tiap hari kami kepingin
mati saja. Itu dosa! Tiap hari engkau yang kepingin makan saja dengan melakukan pembunuhan.
Itu dosa juga ! Padahal, itu sudah berlangsung berpuluh-puluh hari dengan restu di hati kami
masing-masing. O, betapa tololnya otak kita!”

“Aku sekarang telah melihat. Seolah-olah aku melihat segalanya. Kini aku sanksi. Ya, hari ini
aku sanksi. O, betapa tidak enaknya hidup didunia. Higga aku kepingin juga mati. Sejak
sekarang aku tidak akan mengganggu kalian,” kata perempuan itu.

“Itu benar!” teriak Kemuning, sebuah kelompok kembang yang sejak tadi diam saja. “Benar!
Jangan jamah lagi, Perempuan! Engkau telah bergelimang dosa dengan melakukan pembunuhan-
pembunuhan walaupun itu dikehendaki oleh korban-korbanmu sendiri.... Dan kalian kembang-
kembang yang putus asa! Kalian dosa besar! Kalian bunuh diri!Bagaimana pun muaknya
terhadap kehidupan, makhluk akan berdosa kalau ia melakukan bunuh diri!”

“Bohong besar! Rumus dari mana itu?! Melanjutkan hidup lebih baik daripada mengakhiri hidup?
Manakah yang lebih luhur? Siapakah yang tahu?.... Biarlah rumus melawan rumus. Kontradiksi
melawan kontradiksi. Paradoks melawan paradoks.... Kita lebih baik berbuat mana suka kita!”
kata Sedap Malam.

“Tapi kenapa kalian tidak melakukan bunuh diri dengan tangan sendiri? Kenapa harus
menyuruh-nyuruh perempuan bunting itu?” kata Kemuning.

“Dia lapar. Kita butuh mati. Kita makanan dia. Klop! Kenapa kau ributkan?” tangkis Melati.

“Perempuan itu sudah tidak mau lagi. Kenapa kalian paksa-paksa?” kata Kemuning lagi.

“Ia Cuma sanksi. Dan kesanksian bisa disadarkan kembali. Jenis perempuan memang harus
selalu disadarkan. Lama-lama rayuan mesra kita akan menjerat dia dan lantas dia mau
menjulurkan tangannya yang lembut bagai sutera untuk mencekik kita,” balas Melati kembali.

“Hore!” teriak kembang-kembang itu menyambut.

“Rayu dia!”

“Hore!”

“Cumbu dia!”
“Horeee!”

Kemudian kelompok kembang-kembang itu berjingkrak-jingkrak kesenangan sambil berputar-


putar.

“Ayo. Si Jelaga Busung! Bunuh kami!”

“O.... Maut dan reinkarnasi!”

“Horee!”

“Ayo. Si Gendut Bobrok! Cekik kami!”

“O.... Kelaparan. Kehidupan dan kematian!”

“Horee!”

“Kemarilah manis. Kenapa datangnya kesanksian begitu mendadak? Aku butuh, kau butuh. Klop!
Seperti belanga dengan tutupnya.”

“Horee!”

“Kau senang, aku senang. Aku enak, kau enak. Oh, Dewi Sri. Wabah lapar. Anggur hidup. Dewa
Maut. Yang jalin menjalin dengan mesranya bagai kopersi konsumsi.”

“Horee!”

“Bohong besar! Tolol besar! Celaka besar!” teriak Kemuning. “Kalian bermain-main dengan
kebenaran. Kalian jenguk jurang yang paling dalam. Kalian berlagak sebagai ahli sihir yang
terbang ke angkasa. Terus kalian terjun ke dalamnya. Nista. Kalian lebur berkeping-keping
menempel batu karang.”

“Apa salahnya?”

“Horee!”

Kembang-kembang tambah bersemangat. Berlompat-lompatan sejadi-jadinya. Sorak-sorai


semakin keras.

“Wahai, Perempuan Bunting!” teriak Kemuning. “Jangan berbuat dosa lagi. Lekas menjauh!
Jangan sudi dirayu! Jangan sudi dicumbu! Lari! Lari! Lari cepat, seperti kilat?”

Perempuan itu cepat-cepat meninggalkan kembang-kembang sahabatnya. Jalannya gontai dan


sedikit-sedikit menoleh ke belakang.
Melihat ini, kembang-kembang yang tadinya bergoyang-goyang, disertai satu kesukaan yang
besar, telah berubah menjadi lautan kemarahan yang dahsyat dengan semangat kekuatan yang
besar. Kembang-kembang itu sudah tidak mampu menahan gejolak keinginannya yang
terpendam hingga berlompatan setinggi-tingginya dan jatuh kembali sedalam-dalamnya. Suasana
sudah tidak terkendali. Otak-otak kembang itu sudah panas. Jantung berdebar lebih keras.
Aliran-aliran darah ke kelopak, benang sari, kepala putik sudah berlari bagai anak panah yang
meloncat dari busurnya. Dan mereka lalu bergelayutan satu sama lain. Tinju diacung-acungkan
dan kaki direntang-rentangkan.

“Wahai, Kemuning!” teriak Melati. “Kau pembual yang kecil mulut. Kenapa kau ganggu
hubungan mesra kami dengan si Bunting?”

“Karena hubungan itu penuh darah dan dosa!” jawab Kemuning.

“Pembual kecil mulut memang lebih berbahaya!” teriak Mawar. “Tidak bisakah kami kau
biarkan saja? Kami suka dengan cara-cara kami. Sedang kami sendiri tak pernah memaksa kau.
Kalau kau tak mau dimakan oleh si Bunting, tidak bisakah kau tutup mulut saja?”

“Mana mungkin orang bisa tutup mulut melihat pembunuhan dan bunuh diri terus menerus?”
jawab Kemuning.

Kemudian mereka merunduk dan diam semuanya. Mereka sedang berunding mengatur siasat.
Akhirnya mereka seperti disentakkan oleh getaran yang dahsyat, mereka teriak, “Perang!”

Dan mereka lantas berlompat-lompatan, berjingkrak-jingkrak, berteriak-teriak, jerit tantangan,


raung permusuhan, susul menyusul. Alira-aliran nafsu, kebencian, dendam kemarahan, yang tadi
ditahan sebentar, kini meledak kembali, sebagai kereta ekspres yang dilepas dari tiap stasiun.

“Asah kelopak setajam-tajamnya! Pilihlah urat darah setegang-tegangnya!” teriak Melati dengan
marahnya, hingga benang-benang sarinya bergetar-getar.

“Pilih yang tegang! Itulah kepekaan!” teriak Mawar dengan kepala putik yang tambah memerah.

“Serbu!”

“Inilah kematian bagimu, wahai, Kemuning!”

“Mampus kau tukang ganggu!”

“Tidak dengarkah telingamu? Kami menyatakan perang terhadapmu!”

Kemuning, yang tidak menyangka segala pertengkaran itu akan berakibat peperangan, merasa
ngeri di hati melihat serbuan yang sekonyong-konyong ini. Badannya gemetar. Ia berpikir, saat
inilah tumpas kelompoknya. Siapa yang mampu melawan kelompok yang begitu besar dengan
dendam yang begitu dahsyat?
Mawar, Melati, Kenanga, Anggrek, Kemboja, Sedap Malam, dan lain-lainnya berbondong-
bondong melingkar-lingkar dengan keganasan yang luar biasa.

Kemuning takut, ngeri, bingung, bimbang. Tetapi rupanya ia sadar bahwa tidak ada waktu
berpikir berkepanjangan dalam menghadapi situasi yang amat gawat itu dan tiada gunanya. Ia
sambut tantangan perang itu dengan jawaban yang berani juga. Kelompok Kemuning mengasah
kelopak senjatanya cepat-cepat dan menghadapi mereka dengan keberanian dan keganasan yang
luar biasa pula.

Maka,

(dari kumpulan cerpen “Godlob”)

https://danriris.wordpress.com/2011/04/13/cerpen-aliran-surrealisme/

Anda mungkin juga menyukai