Anda di halaman 1dari 36

APRESIASI DENGAN PENDEKATAN

SOSIOLOGI SASTRA

TUGAS
“Mata Kuliah Apresiasi Prosa”

Dosen Pengampu: Dr. Nas Haryati Setyaningsih, M. Pd.

Disusun Oleh:
Fatqurrahman Anugrah Utomo ( 2101418098 )

UNNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2019

1
KATA PENGATAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
karunia, taufik dan hidayah-NYA sehingga saya dapat menyeselaikan tugas mata kuliah
Apresasi Prosa dengan lancar.
Harapan saya semoga makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
dan pengetahuan bagi kita semua. Dalam penyusunan laporan ini, saya telah berusaha sebaik
baiknya. Meskipun demikian, saya menyadari bahwa dalam penulisan karya tulis ini masih
terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, saya berharap
adanya kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun demi kesempurnaan karya
tulis ini.
Akhir kata, saya sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah berperan
dalam penyusunan karya tulis ini. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala urusan kita.

Demak, 6 Mei 2020


Penyusun,

Fatqurrahman Anugrah Utomo

2
DATAR ISI

HALAMAN JUDUL 1
KATA PENGANTAR 2
DATAR ISI 3

BAB I PENDAHULUAN 4
A. Latar Belakang 4
B. Rumusan Masalah 4
C. Teori 5

BAB II PEMBAHASAN 6
A. Naskah Cerpen 6
B. Tanggapan Cerpen 25
C. Analisis Aspek Sosiologi Cerpen 31

BAB III SIMPULAN 35

DAFTAR PUSTAKA 36

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan batin manusia adalah dengan membaca
karya sastra. Karya sastra akan membantu manusia memahami hidup ini dan mendidik manusia
untuk bertindak bijaksana dan menyikapi berbagai persoalan dalam kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu, cerita, fiksi, atau kesastraan dianggap dapat membuat manusia menjadi lebih
arif, atau dapat dikatakan sebagai ’memanusiakan manusia’ (Nurgiyantoro, 1998:3-4). Karya
sastra mempersoalkan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan
sesama makhluk hidup dan lingkungannya. Karya sastra merupakan hasil dialog, kontemplasi,
dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan. Walau berupa khayalan, tidak benar
jika karya sastra dianggap sebagai hasil kerja lamunan belaka, melainkan penghayatan dan
perenungan secara intens, perenungan terhadap hakikat hidup dan kehidupan, perenungan yang
dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Salah satu bentuk karya sastra adalah cerpen. Cerpen merupakan salah satu dari karya
sastra bersifat kreatif imajinatif yang mengemas persoalan kehidupan manusia secara
kompleks dengan berbagai konflik, sehingga pembaca memperoleh pengalaman-pengalaman baru
tentang kehidupan. . Lebih lanjut Damono (1984:5) menyatakan bahwa setiap cerpen berasal
dan berakar dari satu lingkungan sosial, dan kemudian dinikmati oleh masyarakat, baik sebagai
hiburan atau sebagai penyampaian pesan yang berisi nilai-nilai pengajaran dalam kehidupan.
Untuk memahami nilai-nilai pengajaran tersebut maka diperlukan adanya apresisasi terhadap
karya sastra, salah satu wujud apresiasi itu sendiri berbentuk suatu pendekan dan menurutnya
pendekatan yang cocok untuk penyampaian pesan dari suatu karya sastra yang berisi nilai-nilai
pengajaran dan kehidupan adalah sosiologi sastra. Menurut Damono (1984:2) sosiologi sastra
pada hakikatnya adalah suatu pendekatan sastra dengan mempertimbangkan segi-segi
kemasyarakatan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana bentuk contoh cerpen yang baik untuk dianalisis dari aspek sosiologi sastra?
2. Bagaimana hasil tanggapan dari contoh cerpen yang diberikan?
3. Bagaiamana hasil analisis aspek sosiologi sastra dari contoh cerpen yang diberikan?

4
C. Teori
Sosiologi sastra adalah hasil curahan pikiran, perasaan manusia yang memiliki relasi
dengan masyarakat dengan segala proses sosialnya. Damono (dalam Kurniawan, 2012: 6)
menjelaskan beberapa hal yang menunjukkan relasi antara sosiologi dan sastra antara lain: (1)
hubungan masyarakat dengan sastra dimediasi oleh pengarangnya, (2) hubungan sosiologi dengan
sastra dimediasi oleh fakta sastra, (3) hubungan sosiologi dan sastra yang dimediasi oleh pembaca,
(4) hubungan sosiologi dan sastra dimediasi oleh kenyataan, dan (5) relasi antara sosiologi dan
sastra dimediasi oleh bahasa sebagai media sastra. Dalam latar belakang ilmu, keterkaitan
sosiologi dan sastra dapat ditentukan dalam bentuk analisis. Untuk menganalisis sebuah karya
sastra (Cerpen) Kenny (1966: 6-7) memberikan perincian yang lengkap bahwa: Menganalisis
sebuah karya sastra adalah mengidentifikasi bagian-bagian, menentukan hubungan antara bagian-
bagian, dan menemukan hubungan bagianbagian untuk keseluruhan. Terakhir, analisis selalu
bermuara pada pemahaman tentang karya sastra sebagai suatu kesatuan yang utuh dan kompleks.
Kajian sosiologi sastra terdapat tiga jenis pendekatan yang berbeda dalam sosiologi sastra
yaitu sosiologi pengarang yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang
menyangkut pengarang sebagai penghasil karya sastra; sosiologi karya sastra yang memaslahkan
karya sastra itu sendiri; sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh karya sastra
menurut Damono (dalam Faruk, 2010: 5). Selanjutnya, menurut Ratna (2011: 332) ada beberapa
hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan
dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut; (1) Karya
sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, ketiganya
adalah anggota masyarakat; (2) Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek
kehidupan yang terjadi dalam masyarakat yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat;
(3) Medium karya sastra baik lisan maupun tulisan dipinjam melalui kompetensi masyarakat yang
dengan sendirinya telah mengandung masalah kemasyarakatan; (4) Berbeda denga ilmu
pengetahuan, agama, dan adatistiadat dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetik,
etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentigan terhadap ketiga aspek tersebut;
(5) Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat
menemukan citra dirinya dalam suatu karya.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Naskah Cerpen
CERPEN 1
”Tumpeng”
Oleh: Bakdi Soemanto
Paman Kanjeng Sepuh masih saja diam seperti kemarin dan lusa, hanya sesekali batuk-batuk
beruntun. Tubuhnya sudah tampak lemah, tetapi wajahnya masih segar bahkan cerah. Nuaraina
Sawitri, kemenakannya, yang dua minggu lalu tiba di tanah air dalam rangka penelitian untuk
masternya selama tiga bulan memijat-mijat kaki Paman Kenjeng Sepuh penuh kasih sayang.
Midas, kakak Sawitri tampak tidak sabar lagi.
”Paman,” kata Midas pelan, ”saya tidak akan memaksakan kemauan saya, tetapi ingin
mengingatkan saja. Sudah lama sekali Paman tidak menyelenggarakan upacara tumpengan itu.
Sudah sejak dua puluh tahun lalu...” sambungnya mengulang-ulang kata yang sama.
”Sudah, mas,” Sawitri memotong, ”kasihan Paman Kanjeng.”
”Ah, kamu, anak kemarin sore jangan ikut-ikut urusan ini. Tugas kamu kan riset. Ya, sudah,
riset saja. Cepat-cepat sana, lalu kembali ke Amerika. Memertahankan skripsimu itu, terus cari
orang bule. Kalau perlu enggak usah pulang, jadi imigran!” Midas menukas.
”Mas!” Sawitri membelalakkan matanya, tampak bulat dan indah di balik kaca matanya yang
tebal. Walaupun selama beberapa hari kurang tidur, ia tampak tetap cantik dan sehat. Di bawah
lengannya terasa membasah. ”Kau pikir aku ini apa?” sambung Sawitri. Ia marah. Lalu berdiri dan
sedikit menjauh dari tempat tidur Paman Kanjeng Sepuh. Terlentang dengan kepala di atas bantal
bersusun tiga, lelaki tua itu menatap perawan berhati lembut itu. Matanya sayu dan terkadang
terpejam, berkaca-kaca. Sawitri merasa iba tatkala mereka saling berpapasan pandang. Kembali
wanita muda itu duduk di sisi tempat tidur, di atas babut yang bergelar di lantai. Kembali ia
memijit-mijit kakinya.
Paman Kanjeng tampak bahagia sekali. Sebagai laki-laki yang selama hidupnya bertahan
hidup lajang, sentuhan tangan Sawitri menggetarkan sarafnya. Dan ini semata-mata bukan karena
gesekan fisik; ada sesuatu yang lebih dalam yang dimiliki Sawitri, semacam nilai kesetiaan yang
tidak dimiliki setiap orang. Sesuatu yang membuatnya istimewa di mata Paman Kanjeng. Sesekali
Paman Kanjeng tersenyum, lalu mengusap matanya yang basah. Sawitri segera menyapunya

6
dengan sapu tangannya. Mungkin orang tua itu membayangkan dirinya sebagai Satyawana yang
hampir mati, ditunggui Sawitri yang setia untuk siap tawar-menawar dengan Yamadipati, sang
Dewa Maut, yang akan datang menjemput nyawa Satyawan, seperti yang diceritakan dalam
dongeng percintaan yang indah itu.
”Sebenarnya, aku tidak suka kamu pulang. Riset untuk master kayak begitu kan nggak usah
harus di Yogya,” kata Midas lagi.
Sawitri sekali lagi, membelalakkan matanya yang indah. Ia merasa tidak tahan lagi
mendengar kata-kata keras tetapi diucapkan lirih demikian. Perempuan itu bangkit cepat dan
segera meninggalkan Paman Kanjeng. Tepat di depan pintu kamar tidur, terdengar suara lemah
orang tua itu, memanggilnya.
”Nur. . .” katanya. Sawitri berhenti, menengok ke belakang. Mata mereka bertatapan lagi,
tatapan dua generasi, tatapan dua jagat pikir, yang tiba-tiba tanpa jarak. Rasa iba kembali meremas
hatinya, dan Sawitri kembali mendekati Paman Kanjeng, duduk di babut seperti tadi, kepalanya
direbahkan di tempat tidur. Sawitri tidak kuasa menahan sedu-sedannya, tatkala tangan Paman
Kanjeng yang gemetar membelai kepalanya.
”Uh!’ Midas memberikan reaksinya melihat adegan itu, ia dengan cepat meninggalkan
mereka, dengan langkah kasar. Paman Kajeng tersenyum. Tersenyum getir. Dan kebencian sekilas
sempat membersit di hati Sawitri. Kebencian yang menggigit justru karena ia harus membenci
kakaknya sendiri. Ah. . .!
Dua bulan yang lalu, tatkala Sawitri masih di Boston, kakaknya, Midas menulis surat
kepadanya. Dikatakannya dalam surat itu, bahwa Paman Kanjeng mungkin dapat menerima
gagasan penyelenggaraan upacara tumpengan, tradisi lama yang khas dinasti Kanjeng Sepuh, yang
sudah dua puluh tahun dihentikan.
Midas juga mengatakan bahwa ia menyanggupi pelaksanaan upacara itu. Bahkan, oom
Dinosauruz Onggokusumo, seorang pemilik supermarket, hotel, percetakan, dan biro perjalanan,
bersedia memberikan biaya yang diperkirakan bisa mencapai lima sampai enam juta rupiah.
Bahkan, sponsor itu bersedia mengeluarkan dukungan biaya sampai sepuluh juta rupiah, kalau
malam sebelum pelaksanaan upacara juga diselenggarakan pertunjukan wayang kulit
dengan dalang Ki Manteb yang ngetop itu.
Tapi, tentu saja, hukum bisnis harus berlaku, biro perjalanan Oom Onggo akan
mendatangkan sejumlah wisman dari beberapa negeri Eropa dengan dua bus besar untuk ikut

7
dalam upacara itu. Mereka masing-masing yang diperkirakan akan mencapai 80 sampai 100
kepala, harus membayar dua puluh dolar. Yues. . . dolar.
Tak hanya itu, jika perintisan ini sukses, setiap tahun, khususnya pada bulan Rajab, upacara
itu akan diselenggarakan. Gagasan untuk merehab rumah tua Paman Kanjeng pun mulai
dipikirkan. Bahkan, beberapa kamar samping ukuran besar itu dikatakan bisa diubah menjadi
kamar kecil-kecil untuk wisman, jika mendapat izin.
Sawitri terkejut membaca surat kakaknya. Bagaimana mungkin Midas sampai hati
mengomersialkan pamannya sendiri yang sudah tua itu. Bukan saja melaksanakan gagasan itu
dianggap mengusik ketenteraman pribadi Paman Kanjeng, tetapi juga suatu ide tanpa
pertimbangan etis. Sebagai lelaki yang hidup lajang yang memiliki beberapa hektar sawah padi
dan tebu, Paman Kanjeng berpenghasilan lebih dari cukup yang banyak diberikan kepada
kemenakan-kemenakannya, termasuk Midas. Bahkan, tatkala adik ipar Midas sakit keras Paman
Kanjeng tidak tinggal diam dengan merelakan beberapa ratus ribu rupiah untuk biaya
perawatannya. Juga, tatakala ibu mertua Midas meninggal Paman Kanjenglah yang menanggung
biayanya. Karena itu, bagi Sawitri rencana itu Paman Kanjeng sudah tidak menghendakinya lagi.
Maka dua jam setelah surat diterima, Sawitri segera ke kantor telegram dan mengirim surat kawat
singkat, ”jangan kau siksa Paman Kanjeng, beliau baik sekali kepada kita. Kamu bisa kualat,
terkutuk.”
Tapi Sawitri tahu siapa kakaknya. Telegram itu pasti tidak ada gunanya. Usulannya pasti
tidak digubrisnya. Beberapa tahun yang lalu, sebulan menjelang memulai program studinya di
Amerika, Midas memaksa Paman Kanjeng memberikan tongkat antik berkepala naga, terbuat dari
emas, kepadanya. Sawitri sangat sedih, tetapi Paman Kanjeng ikhlas, sebab menurutnya, Midas
memintanya dengan alasan untuk koleksi. Orang tua itu tidak pernah tahu, beberapa hari setelah
tongkat antik itu sudah di tangannya, segera dijualnya kepada Oom Dinozauruz Onggokusumo
yang menerima pesanan dari seorang pejabat tinggi di Jakarta. Menurut beberapa berita burung,
dengan tongkat itu, siapa pun yang memilikinya akan terjaga kelanggengannya menjadi pejabat
tinggi sekaligus direktur perusahaan besar.
Sawitri menangis tersedu-sedu di pangkuan Kanjeng, begitu tahu semuanya. Perempuan itu
tidak pernah bisa paham, hingga malam itu, mengapa darah biru yang mengalir di urat-urat
kakaknya membuatnya justru begitu rakus. Di mana ajaran-ajaran keutamaan yang dulu diberikan
di kala mereka kanak-kanak oleh sang ayah, adik Paman Kanjeng itu. Mungkinkah yang dikatakan

8
oleh Den Mas Nogobondo, seorang ahli keris yang sering bertandang ke rumah Paman Kanjeng,
bahwa yang indah tinggal pakaian. Sebab hanya pakaian yang bisa dibeli dengan uang.
Tetapi roso ialah nilai-nilai kedalaman, sudah hilang.
”Bahkan sudah lama hilang!” kata Nogobondo waktu itu. Sawitri terkejut. Kata-kata itu
terngiang kembali, tatkala Romo Kanjeng minta diambilkan minum air putih, seperti biasanya. Ia
seperti diingatkan akan sesuatu yang hilang itu: roso yang memang tidak bisa diterjemahkan itu.
”Kalau Paman tidak mengizinkan, kami tidak akan memaksa,” kata Sawitri lembut, sambil
memberikan gelas air putih itu. Paman Kenjeng tersenyum, tetapi lalu menggeleng.
”Si Midas sudah nekat. Lihatlah, besok orang-orang kampung akan datang ke mari, mulai
memasak mempersiapkan upacara itu. . .” kata paman dengan suara lemah’”Tapi . . .”Sawitri
menukas. Hatinya gusar. Kebencian pada kakaknya kembali membersit di hatinya.
”Jangan gusar anakku. Biarlah semuanya terjadi. Kamu tak mungkin akan mengendorkan
niat kakakmu. Sebab, ia dalam keadaan tidak tahu. Dan orang yang belum mengalami akan selalu
bisa keliru.” Paman Kanjeng meneguk lagi air putih itu. Dengan lembut Sawitri mengusap air di
bibir Paman dengan sapu tangan.
”Kau cantik dan hatimu ayu. Karena itu, namamu Sawitri, wanita yang paling setia kepada
lelakinya. Karena itu namamu Nuraina, mata yang bercahaya, yang paling bisa melihat,” Paman
Kanjeng tersenyum, lalu membelai kepala Nur, si cahaya.
”tapi . . .” kata Sawitri lagi.
”Sudahlah Nur. Lihatlah apa yang akan terjadi nanti.” Paman Kanjeng memejamkan
matanya, lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ada perasaan mendesir di hati
Sawitri. Ia ingat tatkala ayahnya melakukan hal yang sama menjelang meninggal. Tapi ia segera
ingat pula Nogobondo yang ahli keris itu suka menutup dan mengusap wajahnya dengan kedua
telapak tangannya, dan hingga saat ini masih segar-bugar. Ah alangkah susahnya memahami
isyarat-isyarat kehidupan.
Malam itu ia menolak ajakan kakaknya pulang. Ia ingin tidur di rumah Paman Kanjeng.
Bahkan kalau diperkenankan, tidur di babut di samping orang tua itu.
”Jangan Nur. Kamu nanti sakit. Kita akan punya kerja besar. Banyak orang akan datang ke
mari,” kata Paman Kanjeng.
”Saya ingin ti . . .”

9
”Boleh saja, kamu tidur di sini. Tapi di kamar sebelah itu. Suruh Jum membersihkannya
dahulu. Dan nanti, mintalah embah Atma menemani kamu, kata Paman dengan nada lelah.
Sawitri mengangguk.
”Aku harap, lusa nanti. Wiranti sempat datang dari Semarang. Aku ingin sekali ia melihat
upacara tumpengan kita,” sambung Paman Lanjeng.
”Ya. Saya juga kangen sekali. Waktu kecil dulu, kami main petak umpet dan lari-lari di
rumah ini,” kata Sawitri mengenang sesuatu yang indah dan kini hilang.
”Ya. Sekarang hidupnya bahagia sekali.” Paman Kanjeng menutup pembicaraan dengan
memberi isyarat bahwa ia sudah mengantuk dan ingin dibiarkan sendirian. Tatakala Sawitri berdiri
untuk mematikan lampu besar dan menyalakan lampu kecil, di luar terdengar derum mobil.
Perempuan muda itu membayangkan, kakaknya pasti sangat jengkel, dan meninggalkan halaman
rumah Paman Kanjeng dengan marah.
Malam itu Sawitri tidak bisa segera memicingkan matanya, teritama karena tadi, tiba-tiba,
menjelang ia masuk ke kamar sebelah, Paman Kanjeng memanggilnya, lagi, tepat menjelang pukul
dua belas malam.
”Katakan kepada Midas, aku memberi izin pelaksanaan tumpengan itu. Tapi, jangan lupa
tempayan dari tanah liat itu harus disertakan,” kata Paman Kanjeng. Sawitri tertegun sejenak,
tetapi segera mengangguk.
”Air kesuburan harus dimasukkan di dalam tempayan itu, semalam sebelumnya, dan
diletakkan di halaman dengan terbuka. Setelah upacara selesai, airnya disiramkan di halaman
rumah,” Paman berhenti lagi.
”Ya, Paman.”
”Hanya dengan tempayan itu, upacara khusus tumpengan sah! Hanya dengan tempayan itu!
Tidak bisa lain! Tidak bisa lain! Paman Kanjeng tiba-tiba menjadi sangat bersemangat. Lalu batuk-
batuk beruntun, agak mengerikan. Sawitri mencoba menenangkannya.
”Suruh Midas mengambilkan tempayan di senthong kamar khusus itu,” kata Paman lagi.
”Suruh dia mencucinya bersih-bersih. Dia sendiri yang harus mencucinya.” Paman berhenti lagi.
Lalu melanjutkan, ”Ingat, hanya dengan tempayan itu upacara yang diselenggarakan akan sah dan
direstui para leluhur kita,” katanya menegaskan. Kemudian Paman memberi isyarat agar Sawitri
meninggalkannya sendirian. Tatakala wanita muda itu masuk ke dalam kamar, ada sesuatu yang
mendesir di hatinya. Lalu kecemasan lenyap. Tapi, ia segera menumpasnya.

10
Udara dalam kamar itu terasa dingin, dingin yang aneh. Mbah Atmo yang dimimta
menemaninya sudah tertidur pulas. Sawitri mencoba berdoa, tetapi agak sulit konsentrasi. Tepat
pukul dua pagi, perempuan muda itu tertidur pulas. Ia baru terbangun tatkala kakaknya tiba di
rumah itu.
Midas sangat gembira mendengar cerita Sawitri bahwa Paman Kanjeng akhirnya merstui
rencana itu. Ini artinya, jika orang kampung nanti datang membantu memasak, memasang tenda,
mengumpulkan buah-buahan, mempersiapkan tempat, penyembelihan kambing, tidak akan takut
kena damprat Paman Kanjeng. Tapi Midas belum begitu puas kalau ia belum mendengar sendiri
kata-kata Paman Kanjeng. Untuk meyakinkan orang tua itu, atau setengahnya memojokkannya,
Midas memutuskan untuk mengambil tempayan ”pusaka” itu dan membersihkannya lebih dahulu,
baru kemudian menemui Paman Kanjeng.
Persis pukul sembilan pagi, orang-orang kampung mulai datang. Kampret dan Gogom segera
dipanggil Midas untuk untuk menemani memasuki kamar tempayan dan mengangkatnya pelan-
pelan. Hampir semua orang kampung ikut menyaksikan pengambilan benda sederhana tetapi luar
biasa itu. Sawitri duduk di babut menunggu Paman Kanjeng yang masih tidur nyenyak.
”Hati-hati,’ kata Midas memberi perintah Kampret dan Gogom. Orang-orang kampung
menahan nafas.
”Aku sendiri akan menjinjing tempayan itu ke kamar, kalian mendampingi aku,” kata Midas
lagi. Mereka mengangguk. Lalu dengan sekali jinjing tempayan sederhana itu terangkat.
Semua yang menyaksikan takjub. Midas tertawa terbahak-bahak. Tetapi tanpa diduganya, tiba-
tiba tempayan itu remuk di tangannya. Pecahan-pecahan itu terserak di lantai.
Midas terbelalak, demikian pula orang-orang kampung yang menyaksikannya. Beberapa
detik kemudian, orang-orang kampung itu menyerbu ke dalam kamar berebut pecahan-pecahan
tempayan itu. Mereka tidak mendengar bahwa Sawitri menjerit keras-keras tatkala mendapati
Paman Kanjeng. Sudah tidak bernafas lagi. Tangannya bersilang di dada, seperti ditata rapi.
Matanya terpejam bagaikan tertidur nyenyak. Mulutnya seperti tersenyum, ikhlas meninggalkan
yang harus ditinggalkan. Ikhlas terhadap upacara yang sudah seharusnya dihentikan.
Sawitri tersedu-sedu di dada Paman Kanjeng yang sangat mencintainya. Nuraena Sawitri
telah mengantakannya ke alam damai. Si mata cahaya yang setia telah membukakan jalan terang
orang tua yang hampir terpojok perubahan zaman yang tak seorang pun mampu menolaknya.
*****

11
CERPEN 2
“Rumah Yang Terbakar”
Oleh: Kuntowijoyo
Ada dua pantangan yang tak boleh di langgar di dusun pinggir hutan itu. Kata orang, mahluk
halus yang menunggu dusun, mbaurekso, akan marah bila ada yang berani menerjang larangan.
Kemarahan tidak hanya ditimpakan pada pelanggarnya, tetapi pada seluruh warga. Tidak
seorangpun, kecuali yang berani nyerempet-nyerempet bahaya melanggarnya. Itupun dengan
resiko dikucilkan oleh penduduk. Pantangan pertama ialah orang tak boleh kawin dengan orang
dari dusun di dekatnya, dusun yang terletak di sebelah utara pematang, meskipun secara
administrative masuk dalam kelurahanyang sama. Kedua, orang tidak boleh mendirikan surau di
dusun itu.
Pantangan pertama bisa dimengerti karena ada perbedaan pekerjaan. Di sebelah selatan
adalah petani, sedang di sebelah utara adalah pedagang. Engkau tak akan berbahagia kawin dengan
orang pelit, apa-apa dihitung, kata orang-orang tua. Pantangan yang kedua ada hubungannya
dengan yang pertama. Dulu perbedaan pekerjaan itu telah menyebabkan perang antar desa. Karena
itu orang selatan harus berbeda dengan orang utara dalam segala hal. Memakai bahasa sekarang,
orang akan bilang “harus punya jati diri”. Kebetulan dusun di utara itu adalah dusun santri dan
mau tidak mau orang selatan harus jadi abangan.
Demikianlah, untuk menyambut kelahiran bayi orang-orang utara akan slawatan dan orang
selatan klenengan. Perbedaan itu dulu konon jadi serius katika Pak Jokaryo (orang arab akan
menyebutnya Zakaria ) dari dusun itu tiba-tiba jadi santri. Dia ingin mendirikan surau di
pekarangannya. Tentu saja itu membuat marah besar danyang dusun. Kabarnya umpamanya suatu
hari sebuah tiang selesai dibangun, pagi harinya tiang itu sudah pindah ke tengah hutan. Kalau
suatu hari dinding-dinding telah dibuat, pagi hari dinding akan terlihat di tepi sungai. Seseorang
yang kesurupan danyang dusun mengatakan bahwa surau boleh dibangun, tetapi di luar desa, di
tengah hutan yang wingit, tidak boleh ada mihrab, bangunan yang menonjol tempat imam itu, jadi
seperti rumah biasa. Orang harus percaya bahwa yang nyurupi adalah danyang desa. Bagaimana
tidak. Yang kerasukan itu adalah petani-petani, yang tidak pernah makan sekolahan, tidak tahu pa-
bengkong-nya kraton, tapi bahasa jawa kawinya bagus, lengkap dengan sira (“engkau”) dan ingsun
(“aku”). Jokaryo pun mengalah, dan membangun surau tidak di desa, tapi di tengah hutan. Sehabis
maghrib mereka bertemu, bersama-sama berdzikir sampai malam. Semacam gerakan tarekat.

12
Rupanya tidak ada penerus Jokaryo, ketika dia meninggal surau itu dikosongkan. Kalau
orang berkendaraan atau jalan melewati hutan itu orang akan melihat rumah dari kayu dan bamboo
itu. Tetapi tentu saja rumah itu sudah berubah fungsi. Anak laki-laki Jokaryo ikut transmigrasi ke
Kalimantan dan anak-anak perempuannya kawin, pindah desa. Di dusun itu tanah dan rumah yang
ditinggalkan jadi milik dusun, dan siapa saja dapat memanfaatkan. Kira-kira selama lima belas
tahun, rumah itu hanya dimanfaatkan untuk berteduh petani, pencari kayu, dan pejalan yang
kelelahan. Ada gentong tempat air dan siwur untuk mengambil air. Malam hari orang yang lewat
akan takut, sebab kata orang dusun rumah yang tak berpenghuni akan ditempati sebangsa lelembut,
apalagi hutan itu dikenal keramat.
Rumah itu begitu telantar, genting-gentingnya pecah. Maka datanglah Bu Kasno sebagai
penyelamat. Dia mengganti genting-genting yang pecah, kayu-kayu yang lapuk, dan dinding-
dinding yang menganga. Beberapa dicatnya. Pendek kata, orang yang lewat dan tidak tahu riwayat
akan mengira itu rumah baru. Kata orang Bu Kasno berbuat itu karena perewangannya mengatakan
bahwa syaratnya menjadi kaya ialah memperbaiki rumah itu. Rumah itu dibuat ramai kembali oleh
Bu Kasno. Mula-mula orang-orang dusun berterima kasih pada Bu Kasno. Tetapi, tidak semua
orang bergembira dengan “kebaikan hati” Bu Kasno. Rumah itu jadi aib dusun! Sekaligus
membuat dusun kecil itu terkenal!
Bagaimana tidak terkenal, Bu Kasno telah menyulap banguna tua di tengah hutan itu jadi
tempat yang hidup di malam hari. Rumah itu telah menjadi semacam pulau kebebasan yang
terlengkap di dunia: ada tempat minum-minum, ada bordil. Pikiran untuk menjadikan rumah itu
sebagai tempat judi juga, selalu dibuang jauh oleh Bu Kasno karena ia segan berurusan dengan
polisi. Kabarnya perewangan pun setuju dengan kebijakan Bu Kasno.
Orang-orang dusun itu terbagi tiga. Yang tidak setuju dengan Bu Kasno berpikir bahwa tidak
nglakoni (“ menjalankan syariat”) itu boleh-boleh saja, tapi tidak ada caranya untuk pergi ke
perempuan nakal. Itu tidak sesuai dengan ajaran adapt manapun, tidak cocok dengan agama
manapun. Perempuan tiu boleh asal yang baik-baik perempuan rumahan masih ada, mosok cari
yang murahan. Mereka yang setuju dengan Bu Kasno berpendapat bahwa ia telah menyuguhkan
hiburan yang paling top di dunia. Orang jawa itu harus ja dan wa, harus nglegena artinya telanjang,
apa adanya, sewajarnya, tidak boleh mengatakan tidak butuh padahal memerlukan. Petani harus
jadi petani, jangan berpura-pura jadi santri, tidak ada gunanya pura-pura alim.

13
Minum dan perempuan itu tidak dilarang oleh undang-undang. Yang bisa dihukum itu
memperkosa, tetapi tidak hubungan yang suka-sama-suka. Sebagian kecil orang, terutama yang di
sekitar masjid (tidak ada yang tahu kenapa akhirnya yang mbaurekso pun mentolerir pembangunan
mesjid), sangat tidak setuju dengan ulah Bu Kasno. Mereka berpendapat itu telah mencoreng muka
sendiri.
Orang-orang desa pun bertambah maju. Mereka juga tahu tentang cara-cara modern untuk
menikmati servis yang disediakan Bu kasno itu. Begini: mula-mula minum, lalu ngamar. Minum
menjadikan badan panas dan orang yang paling pemalu pun akan jadi pemberani, hilang sekat-
sekat. Jangan terbalik. Atau, kalau terang bulan, minum sekadarnya lalu ajak salah seorang
penghuni untuk jalan-jalan di hutan. Dan disanalah rumah yang paling alami, mungkin sama
seperti nenek moyang sebelum peradaban sopan santun menjerat orang. Hutan yang dulu keramat
dan banyak hantunya, telah ditinggalkan oleh para mahluk halus, karena mulai banyak orang lalu-
lalang di situ. Lagi pula Bu Kasno telah membuat perjanjian bahwa mereka yang tidak kelihatan
tak akan mengganggu “anak-anaknya”. Pada malam hari rumah itu akan di hiasi lampu-lampu
gantung, sekalipun dari luar tampak sunyi, di dalam meriah, banyak orang.
Yang paling gelisah dengan servis Bu Kasno ialah orang-orang sekitar mesjid. Masih banyak
yang tahu persis bahwa rumah yang ditempati (mereka tidak sampai hati untuk menyebut rumah
bordil apalagi pelacuran, sebab itu akan menyakitkan hati mereka sendiri) ialah bekas milik
Jokaryo yang dulu untuk surau. Tetapi tidak ada cara menyalurkan kegelisahan. Menggugat ke
desa hanya mengingatkan orang akan “luka-luka” lama. Kekhawatiran mereka akan kegagalan
memang beralasan, sebab banyak aparat desa telah menjadi pelanggan Bu Kasno. Kalau berhasil
akan beruntung, kalau gagal akan buntung selamanya.
Di antara orang yang paling gelisah ialah Ustadz Yulianto Ismail. Dia telah datang jauh-jauh
dari sebuah pesantren, tinggal disitu untuk mengajar, nyaris tanpa gaji, dan menghadapi tantangan
yang begitu berat. Dia merasa bertanggung jawab. Dan susahnya, ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Demikianlah usaha itu berjalan bertahun-tahun tanpa gangguan. Bu Kasno pun menjadi kaya. Dari
rumah bamboo (orang menggambarkan rumah Bu Kasno yang dulu ibarat sarng laba-laba yang
akan terbang oleh angina dan akan hanyut oleh hujan) telah menjadi rumah tembok (orang desa
bilang rumahnya sekarang magrong-magrong, megah). Selain itu, Bu Kasno juga punya tiga buah
colt yang menghubungkan desa pelosok itu dengan kota.

14
Akhirnya, jalan itu ditemukan oleh Ustadz Yulianto. Bu Kasno kematian suaminya, dan
orang-orang desa menghubungkan kematian suami dengan kekayaan Bu Kasno. Dikabarkan,
kematian itu termasuk dalam perjanjian dengan perewangan. Bu Kasno mengumumkan usahanya
akan ditutup selama seminggu, selama tujuh hari penuh rumah ditengah hutan akan ditutup sama
sekali. Untuk melaksanakan rencananya, Yulianto harus bekerja sendirian, sebab ini pekerjaan
rahasia. Dengan sepeda sudah ditelitinya bahwa rumah itu sama sekali kosong, tidak seorangpun
menjaga, hanya satu lampu minyak yang tetap dinyalakan di depan. Apa yang akan dikerjakan
Yulianto? Membakar rumah alias surau bekas peninggalan Jokaryo ialah pekerjaan utama seorrang
ustadz! Itu berarti nahi `anil munkar, mencegah kejahatan.
Demikiankah pada lepas tengah malam Yulianto keluar membawa sepedanya. Ditangannya
ada minyak tanah dalam kaleng plastic. Penduduk desa itu sudah tertidur karena lelah setelah tiga
malam berturut-turut gaple di rumah Bu Kasno. Jadi tidak seorangpun akan menjadi saksi
perbuatan ustadz itu. Ia keluar dari desa ketika terdengar seekor ayam jantan berkokok. Kata orang
desa, ada jago berkokok tengah malam begitu berarti ada janda mengandung. Yulianto melihat
jam tangan dengan korek api begitu ia memasuki kawasan hutan: pukul dua. Hutan itu sunyi, gelap,
pohon-pohon jati berdiri kaku. Dengan ketetapan penuh dan semangat bernyala-nyala Yulianto
mengayuh sepedanya. Ia menyandarkan sepedanya di pohon, syukurlah tidak ada orang. Bahkan
mungkin bintang dan angina pun tertidur. Dia mulai menuangkan minyak pada dinding-dinding
dari bamboo dan tiang dari kayu. Pekerjaan itu belum pernah dilakukannya, seumur hidup dan
baru sekali, namun ia mengerjakan dengan sempurna. Sekarang ia mengeluarkan korek dan berdoa
sebentar.
Dinyalakannya korek itu. Dinding bamboo menyambut api. Setelah yakin akan hasil
kerjanya, usaha ini tidak boleh gagal, Yulianto menarik sepedanya dan kembali memasuki desa.
Dia mencoba tidur, tapi sampai subuh tiba, badannya hanya miring ke kanan dan ke kiri. Ketika
subuh tiba, dia mengambil wudhu, orang lain telah mendahului adzan.
Selesai sembahyang, seseorang berkata,”Ustadz, rumah di tengah hutan itu terbakar:.
“Alhamdulillah,” kata orang banyak.Jamaah masjid itu pergi keluar desa untuk melihat apa
yang telah terjadi. Banyak orang mengerumuni rumah itu. Api telah padam. Orang mulai bergerak
maju melihat apa yang tertinggal. Tiba-tiba seorang berteriak,”ada orang disini!”
Orang pun mulai mengeluarkan mayat dari reruntuhan.
“Dua orang!” Orang menemukan dua mayat.

15
“Satu laki-laki, satu perempuan!”
Rasanya mereka kenal betul dengan yang perempuan. Kerumunan itu disibakkan oleh
seorang perempuan yang segera menubruk mayat.
“Oalah, nduk. Begitu besar tekadmu. Maafkanlah ibumu ini!”
Tahulah orang bahwa mayat perempuan itu adalah gadis dusun itu, dan mayat laki-laki
adalah pemuda dari dusun di utara pematang.
Orang tua gadis itu melarang mereka berhubungan. Mereka telah terbakar di tempat itu
waktu berpacaran. Orang-orang berpikir mereka sengaja bunuh diri bersama. Dari kerumunan
muncul Ustadz yang memandangi dengan nanar pada dua mayat.
“Astaghfirullah,” katanya, kemudian terjatuh tak sadar.
Yogyakarta, 25 Mei 1996
*****
CERPEN 3
“Mbok Jah”
Oleh: Umar Kayam
Sudah dua tahun, baik pada Lebaran maupun Sekaten, Mbok Jah tidak “turun gunung” keluar
dari desanya di bilangan Tepus, Gunung Kidul, untuk berkunjung ke rumah bekas majikannya,
keluarga Mulyono, di kota. Meski pun sudah berhenti karena usia tua dan capek menjadi pembantu
rumah, Mbok Jah tetap memelihara hubungan yang baik dengan seluruh anggota keluarga itu. Dua
puluh tahun telah dilewatinya untuk bekerja sebagai pembantu di rumah keluarga yang sederhana
dan sedang-sedang saja kondisi ekonominya. Gaji yang diterimanya tidak pernah tinggi, cukup
saja, tetapi perlakuan yang baik dan penuh tepa slira dari seluruh keluarga itu telah memberinya
rasa aman, tenang dan tentram. Buat seorang janda yang sudah selalu tua itu, apalah yang
dikehendaki selain atap untuk berteduh dan makan serta pakaian yang cukup. Lagi pula anak
tunggalnya yang tinggal di Surabaya dan menurut kabar hidup berkecukupan tidak mau lagi
berhubungan dengannya. Tarikan dan pelukan istri dan anak-anaknya rupanya begitu erat
melengket hingga mampu melupakan ibunya sama sekali. Tidak apa, hiburnya. Di rumah keluarga
Mulyono ini dia merasa mendapat semuanya. Tetapi waktu dia mulai merasa semakin renta, tidak
sekuat sebelumnya, Mbok Jah merasa dirinya menjadi beban keluarga itu. Dia merasa menjadi
buruh tumpangan gratis. Dan harga dirinya memberontak terhadap keadaan itu. Diputuskannya
untuk pulang saja ke desanya.

16
Dia masih memiliki warisan sebuah rumah desa yang meskipun sudah tua dan tidak
terpelihara akan dapat dijadikannya tempat tinggal di hari tua. Dan juga tegalan barang sepetak
dua petak masih ada juga. Pasti semua itu dapat diaturnya dengan anak jauhnya di desa. Pasti
mereka semua dengan senang hati akan menolongnya mempersiapkan semuanya itu. Orang desa
semua tulus hatisnya. Tidak seperti kebanyakan orang kota, pikirnya. Sedikit-sedikit duit,
putusnya. Maka dikemukakannya ini kepada majikannya. Majikannya beserta seluruh anggota
keluarganya, yang hanya terdiri dari suami istri dan dua orang anak, protes keras dengan keputusan
Mbok Jah. Mbok Jah sudah menjadi bagian yang nyata dan hidup sekali dari rumah tangga ini,
kata ndoro putri. Dan siapa yang akan mendampingin si Kedono dan si Kedini yang sudah beranjak
dewasa, desah ndoro kakung. Wah, sepi lho mbok kalau tidak ada kamu. Lagi, siapa yang dapat
bikin sambel trasi yang begitu sedap dan mlekok selain kamu, mbok, tukas Kedini dan Kedono.
Pokoknya keluarga majikan tidak mau ditinggalkan oleh mbok Jah. Tetapi keputusan mbok
Jah sudah mantap. Tidak mau menjadi beban sebagai kuda tua yang tidak berdaya. Hingga jauh
malam mereka tawar-menawar. Akhirnya diputuskan suatu jalan tengah. Mbok Jah akan “turun
gunung” dua kali dalam setahun yaitu pada waktu Sekaten dan waktu Idul Fitri.
Mereka lantas setuju dengan jalan tengah itu. Mbok Jah menepati janjinya. Waktu Sekaten
dan Idul Fitri dia memang 17ating. Seluruh keluarga Mulyono senang belaka setiap kali dia
17ating. Bahkan Kedono dan Kedini selalu rela ikut menemaninya duduk menglesot di halaman
masjid kraton untuk mendengarkan suara gamelan Sekaten yang hanya berbunyi tang-tung-tang-
tung-grombyang itu. Malah lama kelamaan mereka bisa ikut larut dan menikmati suasana Sekaten
di masjid itu.
“Kok suaranya aneh ya, mbok. Tidak seperti gamelan kelenangan biasanya.”
“Ya, tidak Gus, Dan Rara. Ini gending keramatnya Kanjeng Nabi Mohamad.”
“Lha, Kanjeng Nabi apa tidak mengantuk mendengarkan ini, mbok.”
“Lha, ya tidak. Kalau mau mendengarkan dengan nikmat pejamkan mata kalian.” Nanti rak
kalian akan bisa masuk.”
Mereka menurut. Dan betul saja, lama-lama suara gamelan Sekaten itu enak juga didengar.
Selain Sekaten dan Idul Fitri itu peristiwa menyenangkan karena kedatangan mbok Jah, sudah
tentu juga oleh-oleh mbok Jah dari desa. Terutama juadah yang halus, bersih dan gurih, dan
kehebatan mbok Jah menyambal terasi yang tidak kunjung surut. Sambal itu ditaruhnya dalam satu
stoples dan kalau habis, setiap hari dia masih akan juga menyambelnya. Belum lagi bila dia

17
membantu menyiapkan hidangan lebaran yang lengkap. Orang tua renta itu masih kuat ikut
menyiapkan segala masakan semalam suntuk. Dan semuanya masih dikerjakannya dengan
sempurna. Opor ayam, sambel 18ating ati, lodeh, srundeng, dendeng ragi, ketupat, lontong, abon,
bubuk kedela, bubuk udang, semua lengkap belaka disediakan oleh mbok Jah. Dari mana enerji
itu 18ating pada tubuh orang tua itu tidak seorang pun dapat menduganya. Setiap dia pulang ke
desanya, mbok Jah selalu kesulitan untuk melepaskan dirinya dan pelukan Kedono dan Kedini.
Anak kembar laki-perempuan itu, meski sudah mahasiswa selalu saja mendudukkan diri mereka
pada embok tua itu. Ndoro 18ating18i18 ndoro kakung selalu tidak lupa menyisipkan uang sangu
beberapa puluh ribu rupiah dan tidak pernah lupa wanti-wanti pesan untuk selalu kembali setiap
Sekaten dan Idul Fitri.
“Inggih, ndoro-ndoro saya 18ating18-den rara yang baik. Saya pasti akan 18ating.”
Tetapi begitulah. Sudah dua Sekaten dan dua Lebaran terakhir mbok Jah tidak muncul.
Keluarga Mulyono bertanya-tanya jangan-jangan mbok Jah mulai sakit-sakitan atau jangan-jangan
malah….
“Ayo, sehabis Lebaran kedua kita kunjungi mbok Jah ke desanya,” putus ndoro kakung.
“Apa bapak tahu desanya?”
“Ah, kira-kira ya tahu. Wong di Gunung Kidul saja, lho. Nanti kita 18atin orang.”
Dan waktu untuk bertanya kesana kemari di daerah Tepus, Gunung Kidul, itu ternyata lama
sekali. Pada waktu akhirnya desa mbok Jah itu ketemu, jam sudah menunjukkan lewat jam dua
siang. Perut Kedono dan Kedini sudah lapar meskipun sudah diganjal dengan roti sobek yang
seharusnya sebagian untuk oleh-oleh mbok Jah.
Desa itu tidak lndah, nyaris buruk, dan ternyata juga tidak makmur dan subur. Mereka
semakin terkejut lagi waktu menemukan rumah mbok Jah. Kecil, miring dan terbuat dan gedek
dan kayu murahan. Tegalan yang selalu diceriterakan ditanami dengan palawija nyaris gundul
tidak ada apa-apanya.
“Kula nuwun. Mbok Jah, mbok Jaah.”
Waktu akhirnya pintu dibuka mereka terkejut lagi melihat mbok Jah yang tua itu semakin
tua lagi. Jalannya tergopoh tetapi juga tertatih-tatih menyambut bekas majikannya.
“Walah, walah, ndoro-ndoro saya yang baik, kok bersusah-susah mau 18ating ke desa saya
yang buruk ini. Mangga, 18atin, ndoro, silakan masuk dan duduk di dalam.”

18
Di dalam hanya ada satu meja, beberapa kursi yang sudah reyot dan sebuah amben yang
agaknya adalah tempat tidur mbok Jah. Mereka disilakan duduk. Dan keluarga Mulyono masih
ternganga-nganga melihat kenyataan rumah bekas pembantu mereka itu.
“Ndoro-ndoro, sugeng riyadi, nggih, minal aidin wal faifin. Semua dosa-dosa saya supaya
diampuni, nggih, ndoro-ndoro, gus-den rara.”
“Iya, iya, mbok. Sama-sama saling memaafkan.”
“Lho, ini tadi pasti belum makan semua to? Tunggu, semua duduk yang enak, si mbok
masakkan, nggih?”
“Jangan repot-repot, mbok. Kita tidak lapar, kok. Betul!”
“Aah, pasti lapar. Lagi ini sudah hampir asar. Saya masakkan nasi tiwul, nasi dicampur
tepung gaplek, nggih.”
Tanpa menunggu pendapat ndoro-ndoronya mbok Jah langsung saja menyibukkan dirinya
menyiapkan makanan. Kedono dan Kedini yang ingin membantu ditolak. Mereka kemudian
menyaksikan bagaimana mbok Jah mereka yang di dapur mereka di kota dengan gesit menyiapkan
makanan dengan kompor elpiji dengan nyala api yang mantap, di dapur desa itu, yang
sesungguhnya juga di ruang dalam termpat mereka duduk, mereka menyaksikan si mbok dengan
sudah payah meniup serabut-serabut kelapa yang agaknya tidak cukup kering mengeluarkan api.
Akhirnya semua makanan itu siap juga dihidangkan di meja. Yang disebutkan sebagai semua
makanan itu nasi tiwul, daun singkong rebus dan sambal cabe merah dengan garam saja. Air
minum disediakan di kendi yang terbuat dari tanah.
“Silakan ndoro, makan seadanya. Tiwul Gunung Kidul dan sambelnya mbok Jah tidak pakai
terasi karena kehabisan terasi dan temannya Cuma daun singkong yang direbus.”
Mereka pun makan pelan-pelan. Mbok Jah yang di rumah mereka kadang-kadang masak
19ating19i19 atau sup 19ating19i di rumahnya hanya mampu masak tiwul dengan daun singkong
rebus dan sambal tanpa terasi. Dan keadaan rumah itu? Ke mana saja uang tabungannya yang
lumayan itu pergi? Bukankah dia dulu berani pulang ke desa karena yakin sanak saudaranya akan
dapat menolong dan menampungnya dalam desa itu? Keluarga itu, seakan dibentuk oleh
pertanyaan batin kolektif, membayangkan berbagai kemungkinan. Dan Mbok Jah seakan mengerti
apa yang sedang dipikir dan dibayangkan oleh ndoro-ndoronya segera menjelaskan.
“Sanak saudara saya itu miskin semua kok, ndoro. Jadi uang sangu saya dan kota lama-lama
ya habis buat bantu ini dan itu.”

19
“Lha, lebaran begini apa mereka tidak 20ating to, mbok?”
Mbok Jah tertawa. “Lha, yang dicari di sini itu apa lho, ndoro. Ketupat sama opor ayam?”
“Anakmu?”
Mbok Jah menggelengkan kepala tertawa kecut.
“Saya itu punya anak to, ndoro?”
Kedono dan Kedini tidak tahan lagi. Diletakkan piring mereka dan langsung memegang bahu
embok mereka. “Kau ikut kami ke kota ya? Harus! Sekarang bersama kami!” Mbok Jah tersenyum
tapi menggelengkan kepalanya.
“Si mbok tahu kalau anak-anakku akan menawarkan ini. Kalian anak-anakku yang baik.
Tapi tidak, gus-den rara, rumah si mbok di hari tua ya di sini mi. Nanti Sekaten dan Lebaran akan
20ating saya pasti 20ating. Betul.”
Mereka pun tahu itu keputusan yang tidak bisa ditawar lagi. Lalu mereka pamit mau pulang.
Tetapi hujan turun semakin deras dan rapat. Mbok Jah mengingatkan ndoro kakungnya kalau hujan
begitu akan susah mengemudi. Jalan akan tidak kelihatan saking rapatnya air hujan turun. Di depan
hanya akan kelihatan warna putih dan kelabu. Mereka pun lantas duduk berderet di amben di
beranda memandang ke tegalan. Benar tegalan itu berwarna putih dan kelabu.
*****
CERPEN 4
“Kang Sarpin Minta Dikebiri”
Karya : Ahmad Tohari
KANG Sarpin meninggal karena kecelakaan lalu lintas pukul enam tadi pagi. Ia sedang
dalam perjalanan ke pasar naik sepeda dengan beban sekuintal beras melintang pada bagasi. Para
saksi mengatakan, ketika naik dan hendak mulai mengayuh, Kang Sarpin kehilangan
keseimbangan. Sepedanya oleng dan sebuah mobil barang menyambarnya dari belakang. Lelaki
usia lima puluhan itu terpelanting, kemudian jatuh ke badan jalan. Kepala Kang Sarpin luka parah,
dan ia tewas seketika. Satu lagi penjual beras bersepeda mati menyusul beberapa teman yang lebih
dulu meninggal dengan cara sama.
Beban sekarung beras pada bagasi dan terkadang sekarung kecil lainnya pada batangan
adalah risiko besar bagi setiap penjual beras bersepeda. Tetapi mereka tak jera. Setiap hari mereka
membeli padi dari petani, kemudian mengolahnya di kilang lalu menjual berasnya ke pasar.

20
Mereka tak peduli sekian teman telah meninggal menjadi bea jalan raya yang kian sibuk dan kian
sering minta tumbal nyawa.
Berita tentang kematian itu sampai kepada saya lewat Dalban, ipar Kang Sarpin sendiri.
Ketika menyampaikan kabar itu Dalban tampak biasa saja. Wajahnya tetap jernih. Kata-katanya
ringan. Mulutnya malah cengar-cengir. Entahlah, kematian Kang Sarpin tampaknya tidak menjadi
kabar duka.
Di rumah Kang Sarpin saya telah melihat banyak orang berkumpul. Jenazah sudah
terbungkus kafan dan terbujur dalam keranda. Tetapi tak terasa suasana duka cita. Wajah para
pelayat cair-cair saja. Mereka duduk santai dan bercakap sambil merokok seperti dalam kondangan
atau kenduri. Ada juga yang bergurau dan tertawa. Asap mengambang di mana-mana melayang
seperti kabut pagi. Ah, saya harus bilang apa. Di rumah Kang Sarpin pagi itu memang tak ada
duka cita atau bela sungkawa. Kalaulah ada seorang bemata sembab karena habis menangis, dialah
istri Kang Sarpin. Tampaknya istri Kang Sarpin berduka seorang diri.
Setelah menaruh uang takziyah di kotak amal saya mencari kursi yang masih kosong. Sial.
Satu-satunya kursi yang tersisa berada tepat di sebelah Dalban. Ipar Kang Sarpin masih ngoceh
tentang si mati. Dan saya tak mengerti mengapa omongan si Dalban seperti menyihir para pelayat.
Orang-orang tampak tekun menikmati cerita tentang almarhum dari mulut nyinyir itu.
“Ya, wong gemblung itu sudah meninggal,” kata Dalban dengan enak. Wajahnya tampak
tanpa beban.
“Bagaimana aku tak menyebut iparku wong gemblung. Coba dengar. Suatu ketika di kilang
padi, orang-orang menantang Sarpin: bila benar jantan maka dengan upah lima ribu rupiah dia
harus berani membuka celana di depan orang banyak. Mau tahu tanggapan Sarpin? Tanpa pikir
panjang Sarpin menerima tantangan itu. Ia menelanjangi dirinya bulat-bulat di depan para
penantang. Lalu enak saja, dengan kelamin berayun-ayun, dia berjalan berkeliling sambil meminta
upah yang dijanjikan.”
Cerita Dalban terputus oleh gelak tawa orang-orang. Dan Dalban makin bersemangat.
“Ya, orang-orang hanya nyengir dan mengaku kalah. Malu dan sebal. Sialnya mereka harus
mengumpulkan uang lima ribu. Tetapi Yu Cablek, penjual pecel di kilang padi yang melihat
kegilaan Sarpan berlari sambil berteriak, ‘Sarpin gemblung, dasar wong gemblong!’’’
Orang-orang tertawa lagi. Dan jenazah Kang Sarpin terbujur diam dalam keranda hanya
beberapa langkah dari mereka. Saya mengerutkan alis. Ah, sebenarnya orang sekampung, lelaki

21
dan perempuan, sudah tahu siapa dan bagaimana Kang Sarpin. Dia memang lain. Dia tidak hanya
mau menelanjangi diri di depan orang banyak. Ada lagi tabiatnya yang sering membuat orang
sekampung mengerutkan alis karena tak habis pikir. Kang Sarpin sangat doyan main perempuan
dan tabiat itu tidak ditutupi-tutupinya. Dia dengan mudah mengaku sudah meniduri sekian puluh
perempuan. “Saya selalu tidak tahan bila hasrat birahi tiba-tiba bergolak,” kata Kang Sarpin suatu
saat.
“Tetapi Kang Sarpin masih ada baiknya juga,” cerita Dalban lagi. “Meski gemblung dia
berpantangan meniduri perempuan bersuami. Kalau soal janda sih, jangan ditanya; yang tua pun
dia mau. Dan hebatnya lagi dia juga tak pernah melupakan jatah bagi istrinya, jatah lahir maupun
batin.”
DALBAN terus ngoceh dan orang-orang tetap setia mendengar dan menikmati ceritanya.
Saya juga ikut mengangguk-angguk. Tetapi saya juga merenung. Sebab tadi malam, kira-kira
sepuluh jam sebelum kematiannya Kang Sarpin muncul di rumah saya. Di bawah lampu yang tak
begitu terang wajahnya kelihatan berat. Ketika saya tanya maksud kedatangannya, Kang Sarpin
tak segera membuka mulut. Pertanyaan saya malah membuatnya gelisah. Namun lama-kelamaan
mulutnya terbuka juga.
Ketika mulai berbicara ucapannya terdengar kurang jelas. “Mas, saya sering bingung.
Sebaiknya saya harus bagaimana?”
“Maksud Kang Sarpin?”
“Ah, Mas kan tahu saya orang begini, orang jelek. Wong gemblung. Doyan perempuan. Saya
mengerti, sebenarnya semua orang tak suka kepada saya. Sudah lama saya merasa orang
sekampung akan lebih senang bila saya tidak ada. Saya adalah aib di kampung ini.”
“Kang, semua orang sudah tahu siapa kamu,” kata saya sambil tertawa. “Dan ternyata tak
seorang pun mengusikmu. Lalu mengapa kamu pusing?”
“Tetapi saya merasa menjadi kelilip orang sekampung. Ah, masa-iya, saya akan terus begini.
Saya ingin berhenti menjadi aib kampung ini. Lagi pula sebentar lagi saya punya cucu. Saya sudah
malu jadi wong gemblung. Saya sudah ingin jadi wong bener, orang baik-baik. Tetapi
bagaimana?”
“Yang begitu kok Tanya saya? Mau jadi orang baik-baik, semuanya tergantung Kang Sarpin
sendiri, kan? Kalau mau baik, jadilah baik. Kalau mau tetap gemblung, ya terserah.”

22
“Tidak! Saya ingin berhenti gemblung. Sialnya, kok ternyata tidak mudah. Betul. Mengubah
tabiat ternyata tidak mudah. Dan inilah persoalannya mengapa saya datang ke mari.”
Saya pandangi wajah Kang Sarpin. Matanya menyorotkan keinginan yang sangat serius.
Anehnya, saya gagal menahan senyum.
“Bila Kang Sarpin bersungguh-sungguh ingin jadi wong bener, kenapa tidak bisa? Seperti
saya bilang tadi, masalahnya tergantung kamu, bukan?”
“Sulit Mas,” potong Sarpin dengan mata berkilat-kilat. “Saya sungguh tak bisa!”
“Kok? Tidak bisa atau tak mau?”
“Tak bisa.” Kang Sarpin menunduk dengan menggeleng sedih.
“Lho, kenapa?”
“Ah, Mas tidak tahu apa yang terjadi dalam diri saya. Burung saya lho, Mas! Burung saya;
betapapun saya ingin berhenti main perempuan, dia tidak bisa diatur. Dia amat bandel. Bila sedang
punya mau, burung sama sekali tak bisa dicegah. Pokoknya dia harus dituruti, tak kapan, tak di
mana. Sungguh Mas, burung saya sangat keras kepala sehingga saya selalu dibuatnya jengkel. Dan
bila sudah demikian saya tak bisa berbuat lain kecuali menuruti apa maunya.
“Sekarang, Mas, saya datang kemari untuk minta bantuan. Tolong. Saya suka rela diapakan
saja asal saya bisa jadi wong bener. Saya benar-benar ingin berhenti jadi wong gemblung.”
Terasa pandangan Kang Sarpin menusuk mata saya. Saya tahu dia sungguh-sungguh
menunggu jawaban. Sialnya, lagi-lagi saya gagal menahan senyum. Kang Sarpin tersinggung.
“Mas, mungkin saya harus dikebiri.”
Saya terkejut. Dan Kang Sarpin bicara dengan mata terus menatap saya.
“Ya. Saya rasa satu-satunya cara untuk menghentikan kegemblungan saya adalah kebiri. Ah,
burung saya yang kurang ajar itu memang harus dikebiri. Sekarang Mas, tolong kasih tahu dokter
mana yang kiranya mau mengebiri saya. Saya tidak main-main. Betul Mas, saya tidak main-main!”
Tatapan Kang Sarpin makin terasa menusuk-nusuk mata saya. Wajahnya keras. Dan saya
hanya bisa menarik napas panjang.
“Entah di tempat lain Kang, tetapi di sini saya belum pernah ada orang dikebiri.
Keinginanmu sangat ganjil, Kang.”
“Bila tak ada dokter mau mengebiri, saya akan pergi kepada orang lain. Saya tahu di
kampung sebelah ada penyabung yang pandai mengebiri ayam aduannya. Saya kira, sebaiknya

23
saya pergi ke sana. Bila penyabung itu bisa mengebiri ayam, maka dia pun harus bisa mengebiri
saya. Ya. Besuk, sehabis menjual beras ke pasar ….”
“Jangan Kang,” potong saya. Tatapan Kang Sarpin kembali menusuk mata saya. “Kamu
jangan pergi ke tukang sabung ayam. Dokter memang tidak mau mengebiri kamu. Tetapi saya kira
dia punya cara lain untuk menolong kamu. Besuk Kang, kamu saya temani pergi ke dokter.”
Wajah Kang Sarpin perlahan mengendur. Pundaknya turun dan napasnya lepas seperti orang
baru menurunkan beban berat. Setelah menyalakan rokok Kang Sarpin menyandarkan ke
belakang. Tak lama kemudian, setelah minta pengukuhan janji saya untuk mengantarnya ke dokter,
Kang Sarpin minta diri. Saya mengantarnya sampai ke pintu. Ketika saya berbalik tiba-tiba sebuah
pertanyaan muncul di kepala; apakah Kang Sarpin adalah lelaki yang disebut cucuk senthe? Di
kampung ini cucuk senthe adalah sebutan bagi lelaki dengan dorongan birahi meledak-ledak dan
liar sehingga yang bersangkutan pun tak bisa mengendalikan diri. Entahlah.
SAYA tersadar ketika semua orang bangkit dari tempat duduk masing-masing. Rupanya
Modin yang akan memimpin upacara pelepasan jenazah sudah datang. Bahkan keranda sudah
diusung oleh empat lelaki yang berdiri di tengah halaman. Kini suasana hening. Dalban yang sejak
pagi terus ngoceh, juga diam.
Modin mengawali acara dengan memintakan maaf bagi almarhum kepada semua yang hadir.
Modin juga menganjurkan kepada siapa saja yang punya utang piutang dengan Kang Sarpin untuk
segera menyelesaikannya dengan para ahli waris. Sebelum doa dibacakan, modin tidak melupakan
tradisi kampung kami; meminta semua orang memberi kesaksian tentang jenazah yang hendak
dikubur.
“Saudara-saudara, saya meminta kalian bersaksi apakah yang hendak kita kubur ini jenazah
orang baik-baik?”
Hening. Orang-orang saling berpandangan dengan sudut mata. Saya melihat Dalban
menyikut lelaki di sebelah. “Bagaimana? Sarpin itu tukang main perempuan. Apa harus kita
katakan dia orang baik-baik?”
Masih hening. Saya merasa semua orang menanggung beban rasa pakewuh, serba salah.
Maka Modin mengulang pertanyaannya, apakah yang hendak dimakamkan adalah jenazah orang
baik-baik. Sepi. Anehnya tiba-tiba saya merasa mulut saya bergerak.
“Baik!”

24
Suara saya yang keluar serta merta bergema dalam kelengangan. Saya melihat semua orang
juga Modin, tertegun lalu menatap saya. Entahlah, saat itu saya bisa menyambut tatapan mereka
dengan senyum.
Keranda bergerak bersama langkah empat lelaki yang memikulnya. Bersama orang banyak
yang berjalan sambil bergurau, saya ikut mengantar Kang Sarpin ke kuburan. Saya tak menyesal
dengan persaksian saya. Di mata saya seorang lelaki yang di ujung hidupnya sempat bercita-cita
jadi wong bener adalah orang baik. Entahlah bagi orang lain, entah pula bagi Tuhan.
*****

B. Tanggapan
CERPEN 1
”Tumpeng”
Oleh: Bakdi Soemanto
Pada cerpen pertama berjudul tumpeng ini, menceritakan pertentangan terkait pelaksanaan
tradisi tumpengan yang sudah lama tidak diadakan lagi dan sekarang akan dilaksanakan karena
alasan komersil. Terdapat banyak nilai yang diambil dari cerpen tersebut yang ditampilkan dari
berbagai sikap tokoh, seperti paman kanjeng yang mencoba untuk mempertahankan tradisi yang
sudah disahkan, sawitri yang menjadi penjaga paman kanjeng, Midas kakak dari Sawitri yang bersi
kukuh untuk tetap mengadakan adat demi tujuan keuntungan pribadi, Oom seorang pengusaha
yang akan mendanai acara tumpengan dengan tujuan komersiil, dan tokoh yang tak hadir dalam
cerita namun kata-katanya dijadikan Sawitri sebagai petunjuk yakni Den Mas Nogobondo yang
menyatakan yang paling utama dan hilang adalah roso. Banyak sekali petuah atau nilai sosial yang
secara tidak langsung terkait menjaga tradisi agar tetap murni adanya tanpa ada tujuan-tujuan
tertentu, kemudian menghargai pendapat seseorang karena bukan hal mudah untuk menjaga tradisi
dan butuh pendapat dari para tokoh masyarakat yang paham betul akan tujuan pelaksanaan tradisi,
kemudian pesan yang secara tersurat datang pada Den Mas Nogobondo, seorang ahli keris yang
sering bertandang ke rumah Paman Kanjeng, yang menyatakan bahwa ”tradisi yang indah tinggal
pakaian, sebab hanya pakaian yang bisa dibeli dengan uang, tetapi roso ialah nilai-nilai
kedalaman, sudah hilang”. Mungkin tanggapan saya terkait cerpen tersebut terkait teori sosiologi
sastra adalah adanya nilai dalam karya sastra tersebut yang bersumber dari tradisi masyarakat
setempat untuk saling menghargai tradisi dan tradisi tak terlepas dengan tujuan sebagairasa syukur
masyarakat setempat akan nikmat yang diberikan yang kuasa dan tidak boleh ada tujuan komersiil

25
didalamnya karena sifat tradisi yang sakral. Maka dari itu untuk menyadarkan masyarakat akan
nilai tradisi itu sendiri pengarang menciptakan karya sastra ini, karena nilai tradisi yang ada
sekarang ini sudah mulai pudar dari ajaran tradisi terdahulu. Hal ini terjadi karena adanya berbagai
kepentingan oleh pihak-pihak yang ingin mencari keuntungan.
*****
CERPEN 2
“Rumah Yang Terbakar”
Oleh: Kuntowijoyo
Sebelum kita menanggapi cerita daricerpen yang berjudul “rumah yang terbakar” alngkah
baiknya kitaulas kembali isi dari cerpen tersebut. Telah kita ketahui awal cerita itu mengisahkan
tentang kepercayaan yang dianut masing-masing masyarakat yang berbeda dan meyakini tentang
pantangan (larangan) untuk bergaul dengan masyarakat diluar desa meskipun tetangga desa
sekalipun. Kepercayaan ini turun temurun dilakukan karena karena masyarakat berpegang teguh
atas jatidirinya hingga tak segan pernah ada perang karena perbedaan jatidiri dan kepercayaan itu.
Perbedaan itu terkait perbedaan kepercayaan hingga akhir ceritapun dibuktikan adanya musibah
karena perbedaan itu. Kita lihat awal masalah itu dimulai ketika tokoh dari arab yang bertempat
tinggal didesa yang berbeda kepercayaan yaitu pak Jokaryo yangakan mendirikan surau di
pekarangan rumahnya. Dan karena adanya berbagai desakan dan kepercayaan yang dianut
masyarakat setempat pak Jokaryo pun mengalah dan mendirikan suraunya ditengah hutan
diperbataan desa. Pada suatu hari Pak Jokaryo meninggal dunia dan tak ada yang meneruskan
surau yang didirikan Pak Jokaryo. Hingga pada suatu ketika surau itu sudah mulai rusak dan
hampir tak dapat dihuni lagi hadirlah bu Karno yang memperbaiki surau itu karena saran dari
kepercayaannya terhadap perewangannya yang mengatakan bahwa tempat itu akan membawa
keberuntungan. Bukan diperbaiki menjadi surau kembali namun Bu Kasno mendirikannya sebagai
peluang bisnis terselubung yaitu tempat hiburan malam hingga akhirnya tempat itu maju dan
ramai. Hingga akhirnya masyarakat terbagi manjadi tiga karena ulah Bu Kasno yaitu orang yang
mendukung, orang yang menolak karena takut kalau penghuni hutan akan marah, dan orang yang
menolak karena bangunan bekas surau harus tetap menjadi surau. Akhirnya pada suatu ketika
muncul tokoh Ustadz Yulianto yang ingin sekali untuk menyebarkan ajaran agama desikitar area
itu tanpa hambatan apapun namun karena adanya tempat hiburan malam itu serasa sang Ustadz
tidak dapat berbuat apa-apa karena penanaman agama didaerah itu memang masih terbatas.

26
Akhirnya ada kesempatan juga untuk Ustadz Yulianto membubarkan tempat itu, ketika suatu saat
tempat itu tutup karena suami Bu Kasno meninggal yang membuatnya menutup tempat itu selama
tujuh hari. Suatu malam Ustadz Yilianto akan membakar dan adapun kesempatan saat malam sepi
pukul dua pagi tidak ada orang dan warga yang melihat maupun berada disekitar sana Ustadz
Yulianto membakar tempat tersebut. Pagi harinya para santri Ustadz Yulianto mendapat kabar
kalau tempat hiburan malamitu ludes terbakar hingga semua berbondong-bondong untuk
menyaksikan bersama ustadz Yulianto, namun perkiraan Ustadz Yulianto beranggapan bahwa
tempat itu kosong ternyata meleset, ternyata ada dua orang pemudi terbakar didalamnya ternyata
dua pemudi itu pasangan yang berbeda desa dan berbeda kepercayaan hingga akhirnya tradisi yang
diyakini warga secara turun temurun itu tersebut terbukti dan sang Ustadz menyesali hal itu.
Akhirnya setelah kita memahami alur cerita dan isi cerita ini kita baru dapat menanggapi bahwa
cerita tersebut memiliki latar nilai sosial keyakinan masyarakat terkait tradisi dan hukum adat yang
berlaku dimasing-masing desa, masyarakat masih menjunjung murni nilai tradisi itu hingga
masyrakat diingatkan terkait musibah yang terjadi karena masyarakat telah melenceng jauh dari
tradisi dimana sudah mulai banyak orang yang memasuki desa dan mengubah kepercayaan desa
tersebut. Mungkin dengan musibah itu masyarakat dapat kembali ke tradisi yang murni yang
mereka anut dan menjaganya agar tidak ada musibah yang terjadi lagi didesa itu. itulah segala nilai
moral terkait jatidiri yang dimiliki masyarakat dan kuatnya tradisi yang dianutnya.

*****
CERPEN 3
“Mbok Jah”
Oleh: Umar Kayam

Sebelum kita menanggapi cerita “mbok jah” alangkah baiknya kita memahami isi dari
cerpen tersebut. Pada awal cerita digambarkan akan keadaan keluarga yang berkecukapan terdiri
dari suami, istri, dan dua anak kembarnya beserta satu pembantu yang sudah mulai menua.
Dahulunya keluarga ini sangat harmonis, sangat akrab dan saling tepa salira dalam tradisi Jawa
dengan pembantunya. Rasa saling menghargai dan saling memiliki terjalin erat antara majikan dan
pembantunya yang bernama Mbok Jah itu. Namun, permasalahan terjadi ketika Mbok Jah semakin
tua dan sudah tidak mampu mengerjakan urusan rumah memilih untuk kembali ke Desa. Hal ini
ia lakukan bukan karena tanpa alasan melainkan Mbok Jah hanya tidak ingin menjadi buruh

27
tumpang gratis karena tidak dapat memberikan apa-apa kepada keluarga itu sedangkan mbok Jah
selalu dicukupkan kebutuhannya oleh keluarga itu hingga Mbok Jah beralasan kalau akan ada
keluarga yang merawatnya disana, padahal anaknya sendiri yang merantau ke Surabaya sudah
hidup berkecukupan melupakan mbok Jah. Pada awalnya anggota keluarga ini tidak setuju akan
keputusan Mbok Jah dan keluarga ini tidak merasa keberatan karena pengabdian Mbok Jah yang
besar hingga sampai mampu merawat Kedono dan Kedini nama anak kembar keluarga itu sampai
besar dan begitu akrab dengan Mbok Jah. Hingga suatu hari diajaklah mbok Jah untuk bernegosiasi
dan akhirnya ditemukan jalan tengah jika mbok Jah diperkenankan untuk hidup sebatang kara di
Desa asalkan setiap lebaran dan sekatenan mbok Jah untuk kembali berkumpul dengan keluarga
itu. Pada tahun pertama mbok Jah mampu menepati kesepakatan yang diberikan Doro putrid an
Doro kakung sebutan untuk majikan mbok Jah diamana ia bisa datang waktu lebaran dan juga
sekaten bahakan sempat anak kembar majikan itu menemani mbok Jah mendengarkan music
gamelan dihalaman Masjid keraton. Namun, pada akhirnya telah dua lebaran dan sekatenan mbok
Jah tak pernah mampir ke kediaman majikannya itu. Terbesit pemikiran bahwa mungkin mbok Jah
mulai bertambah tua hingga tak sanggup datang lagi, pada akhirnya disepakati oleh keluarga
mantan majikan mbok Jah itu untuk menengok kondisi mbok Jah di Desa meski sebenarnya
mereka tidak ada yang tahu satupun tentang keberadaan rumah mbok Jah. Namun, dengan tekad
yang kuat dan pemberitahuan tentang nama desa yang akan mbok Jah tinggali tanpa berfikir
panjang mereka mendatangi rumah itu. Cukup lama mereka bertanya-tanya kepada penduduk
setempat terkait keberadaan rumah mbok Jah hingga pada akhirnya ketemu juga sebuah gubug
kecil yang sangat sederhana ditengah ladang tanduh yang tidak terfikirpun dalam pemikiran
keluargamantan majikan mbok Jah itu, karena sebelumnya mbok Jah pernah beralsan kalau ada
keluarga disana yang merwatnya. Kemudian diketuklah pintu dan hadirlah mbok Jah betapa kaget
dan senangnya mbok Jah didatangi mantan majikan yang baik hati itu, lalu dijamunya tamu agung
itu dengan menu sederhana hingga beberapa pertanyaan terlontar dalam hati sang mantan majikan
itu, dengan mantab mbok Jah menjawab dan tahu apa yang ditanyakan oleh mantan Majikannya
itu dan menceritakan yang sebenarnya hingga membuat hati satu keluarga itu tersentuh dan ikut
prihatin namun semua sudah ketetapan mbok Jah mereka tidak dapat menolak permintaan mbok
Jah ituhingga akhirnya mereka mantan majikan mbok Jah pulang. Pada akhir cerita ini tidak
dijelaskan secara jelas apa yang terjadi terhadap mantan majikan mbok Jah itu dijalan karena hanya
diceritakan bahwa doro kakung tidak dapat mengemudi ditengah hujan lebat, dan mereka terjebak

28
hujan lebat hanya dapat melihat ladang yang berwarna putih abu-abu. Tanggapan terkait cerita ini
adalah tentang nilai rasa saling memiliki antar keluarga yang sangat erat meski mereka bukan
keluarga kandung sekalipun, nilai yang diajarakan dalam cerita ini dalah tepo seliro saling
menghargai, saling memilki, dan saling menyayangi antar manusia. Terkait keterkaitan dengan
pendekatan sosiologi sastra sudah sangat jelas pendekatan ini berdasarkan nilai sosial dan budaya
masyarakat untuk saling menghargai antar satu sama lain yaitu nilai teposliro yang ditonjolkan
dalam karya sastra ini. Tanggapan terkait keseluruhan karya ini lebih pada akhir cerita yang tidak
diperkenalkan jelas dan alur cerita yang secara keterbacaan selalu meloncat-loncat.

*****
CERPEN 4
“Kang Sarpin Minta Dikebiri”
Karya : Ahmad Tohari

Sebelum kita menanggapi cerita “kang sarpin minta dikebiri” alangkah baiknya kita kita
memahami isi sari cerita tersebut. Cerita ini mengisahkan tentang orang yang telah meninggal
dalam mata masyarakat orang buruk namun diakhir hidupnya ia menceritakan ingin menjadi orang
baik dan ada sedikit nilai tradisi yang dipercayai masyarakat setempat yaitu cucuk senthe. Cerita
ini berawal ketika tokoh kang Sarpin seorang penjual beras keliling meninggal dunia karena
ditabrak oleh mobil dan jenazahnya akan dimakamkan. Dimana dirumah duka tidak ada
seorangpun yang terlihat sedih akan kepergian Kang Sarpin untuk selamanya dikarenakan
perlakuan kang Sarpin yang dianggap gemblung oleh masyarakat sekitar desanya yang mengakui
bahwa kang Sarpin itu memang gemblung. Kisah kegemblungan kang sarpin secara terang-
terangan diungkapakan dari mulut parawarga ketika takziyah dirumah duka secara terang-terangan
dan tidak merasa ewuh kepada sanak keluarga kang Sarpin bahkan Dalban ipar kang Sarpin juga
ikut menceritakan kegemblungan kan Sarpin semasa hidupnya kepada warga yang takziyah disana.
Dalban bercerita bahwa kang Sarpin iparnya adalah orang yang suka main perempuan bahakan
semasa hidupnya ia secara terang-terangan bercerita sudah berpuluh wanita telah ia gauli. Dalban
juga bercerita kalau saat ia dan beberapa warga dipenggilingan pagi kang Sarpin juga pernah
ditantang untuk membuka seluruh baju tak terkecuali yang menutupi kemaluannya jika kang
Sarpin benar seorang laki-laki dan akan mendapat upah lima ribu dari setiap orang yang ada disana,
dan pada akhirnya kang Sarpin menerima tantangan itu hingga para warga yang ada disana sangat

29
kecewa dan jengkel deng kang Sarpin yang berani melakukan hal gemblung seperti itu. Dalban
juga menceritakan bahwa kang Sarpin juga memiliki sisi baik yaitu tidak pernah menggauli
perempuan yang bersuami dan masih perawan ia hanya menggauli para janda saja. Akhirnya dari
berbagai cerita itu tokoh saya sekilas mengingat kembali kejadian semalam sebelum Kang Sarpin
meninggal dunia. Dimana pada malam itu kang Sarpin menyatakan keinginanannya untuk menjadi
orang baik dan tidak gemblung lagi karena dia sudah dewasa dan akanmemiliki cucu maka ia harus
berubah dan tidakingin cucunya tau bahwa kakeknya sebagai aib warga desa. Lalu tokoh saya
tidakdapat menyarankan apapun keculai bisa berubah atau tidaknya tergantung tekad danusaha
kang Sarpin itu sendiri. Lalu kang Sarpin bercerita bahwa ia sudah berkali-kali mencoba untuk
menjadi baik dan menyalahkan kemaluannya sendiri yang tidak bisa ia kendalikan, hingga
terpeesit pemikiran Kang Sarpin untuk mengebiri dirinya sendiri agar ia dapat menjadi orang baik
tanpa beban sedikitpun. Akhirnya tokoh saya memiliki saran untuk mengunjungi dokter karena ia
beranggapan bahwa kang Sarpin sebenarnya salah satu dari orang yang menjadi laki-laki yang
disebut cucuk senthe yaitu laki-lakiyang dorongan birahinya meledak-ledak dan menyarankan
untuk besok akan diantarkan ke dokter bukan untukkebiri namun konsultasi karena kelainan itu
dapat diobati. Kemudian, alur cerita dikembalikan pada situasi awal dimana jenazah kang Sarpin
akan diangkat dan dibawa menuju makam oleh seorang mudin ditanyakan kepada warga setempat
untuk mengikhlaskan dan memaafkan segala perilaku kang Sarpin selama hidupnya namun ketika
mudin bertanya apakah kang Sarpin orang baik-baik warga yang ikut takziyah berdiam tanpa ada
yang berani dan merasa saling ewuh untuk mengatakan kang Sarpin orang baik-baik, hingga
ditanyalkan kembali tanpa basa-basi tokoh saya berkata baik dan menjadi pusat perhatian warga
yang ada disana karena warga tidak tahu tentang cerita kang Sarpin sebenarnya untuk ingin
menjadi orang baik kepada tokoh saya pada suatu malam. Tanggapan yang dapat kita dapatkan
adalah terkait pendekatan sosiologi saastra sudah didapatkan terkait istilah cucuksenthe. Selain itu
nilai moral juga banyak dipermainkan dalam cerita ini dimana orang yang sebenarnya memiliki
jiwa yang baik dantulus merasa malu dan tidak dapat menahan diri karean itu sudah kodrat yang
ia jalani. Kemudian penilaian para warga yang hanya bisa meniali sepihak akan sikap seseorang
ini juga sebagai fenomena yang sering terjadi juga dibahas dan dikemas dalam bentuk yang
berbeda dan unik. Kritik secara keseluruhan sebenranya istilah cucuk senthe sangat menarik
perhatian pembaca namun tidak dijelaskan secara rinci dan banyak terkait cucuk senthe itu sendiri

30
padahal ini merupakan poin untama dalam pendekatan spsiologi sastra untuk mengkaji terkait
kebiasaan atau perilaku polakehidupan masyarakat yang berkembang didalam bentuk karya sastra.
*****

C. Analisis Aspek Sosiologi Cerpen “Kang Sarpin Minta Dikebiri”


1. Sekilas Tentang Pengarang
Ahmad Tohari, (lahir di Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah, 13 Juni 1948;
umur 71 tahun) adalah sastrawan dan budayawan berkebangsaan Indonesia. Ia
menamatkan SMA di Purwokerto. Karya monumentalnya, Ronggeng Dukuh Paruk, sudah
diterbitkan dalam berbagai bahasa dan diangkat dalam film layar lebar berjudul Sang Penari.
Ia pernah mengenyam bangku kuliah, yakni Fakultas Ilmu Kedokteran Ibnu
Khaldun, Jakarta (1967-1970), Fakultas Ekonomi Universitas Jendaral
Soedirman, Purwokerto (1974-1975), dan Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas
Jenderal Soedirman (1975-1976). Tulisan-tulisannya berisi gagasan kebudayaan dimuat di
berbagai media massa. Ia juga menjadi pembicara di berbagai diskusi/seminar kebudayaan
2. Cerpen “Kang Sarpin Minta Dikebiri”
Cerita ini mengisahkan tentang orang yang meninggal dalam keadaan buruk dimata
masyarakat namun diakhir hidupnya ia ingin sekali untuk berubah. Dalam cerita ini
menceritakan tentang Tokoh Sarpin yang mana ia dianggap orang gemblung didaerahnya
karena sikapnya yang tak punya malu dan sering main perempuan. Dan suatu hari Sarpin
meninggal dunia karena kecelakaan ketika hendak berjualan beras. Ketika ia akan
dikebumikan tetangga yang melayat bukannya sedih atau turut berduka melainkan
membicarakan sikapgemblung Sarpin ketika masih hidup. Padahal suatu malam sebelum
kematiannya, Sarpin sempat menemui tokoh aku menceritakan tentang niatan dirinya untuk
berubah namun terkendala karena kelainan yang dialaminya yaitu gairah seks yang menggebu-
gebu dan ingin meminta untuk melakukan kebiri. Namun, tokoh aku paham akan apa yang
dialami Sarpin bahwa itu merupakan kelainan yang masyarakat setempat mengistilahkan
sebagai cucuk senthe, dan tokoh aku hanya ingin mengantarkan Sarpin ke dokter bukan untuk
dikebiri namun untuk mengkonsultasikan kelainan yang Sarpin alami. Berlanjut pada jelang
pemakaman Sarpin moden sebelum mengantarkan jenazah Sarpin sempat menanyakan
kebaikan Sarpin kepada penglayat namun tidakada satupun yang menyahutinya hingga

31
ditanyakan sekali lagi hanya tokoh saya yang menyatakan bahwa Sarpin orang yang baik
karena dia sempat mendengar pesan sebulum Sarpin meninggal ia ingin menjadi orang baik.
3. Warna lokal Cerpen “Kang Sarpin Minta Dikebiri”
Secara sekilas warna lokal tidak terlihat dengan begitu jelas. Hal ini dikarenakan tradisi
yang dimunculkan lebih menonjol kepada prosesi pemakaman. Namun dalam logat
pembicaraan ada kata-kata atau logat atau istilah Jawa yang ditunujukan seperti “gemblung”
dan “cucuk senthe”. Mungkin kata gemblung sering disebutkan sebagai ungkapan masyarakat
terhadap perilaku tokoh Sarpin. Setelah itu istilah “cucuk senthe” juga dimunculkan sekilas
dan tidak dibahas secara lanjut karena istilah itu muncul dalam hati pemkiran tokoh aku ketika
menilai sikap yang diceritakan Sarpin. Jadi warna lokal cerpen ini adalah masyarakat Jawa.
4. Istilah Gemblung pada Masyarakat Jawa
Dalam cerpen “Kang Sarpin Minta Dikebiri” istilah gemblung disebutkan untuk padanan
tokoh utama yaitu Sarpin. Masyarakat sekitar menyebutkan Sarpin orang gemblung karena
suka bermain perempuan dan tidak mampu menahan diri dari gairah seksual hingga tidak malu
untuk bercerita dan menunjukkan gairah seksnya ke orang-orang sekitar Sarpin. Ternyata
istilah atau padanan kata gemblung tampak pada pepatah Jawa yang menyebutkan, “Gemblung
jinurung edan kuwarisan” (Orang nasar yang selalu selamat). Sifat ini dijumpai dalam
masyarakat, namun tidak boleh dijadikan contoh. Suatu ketika orang seperti ini pasti akan
menderita musibah karena kekurangajarannya. Di dunia akan berlaku, “Sepandai-pandai tupai
melompat, akhirnya pasti akan gawal juga”. Pantangan tersebut sebaiknya jangan dijadikan
model, aturan atau hukum harus ditegakkan.
5. Cucuk Sente dalam istilah Jawa
Didalam cerpen “Kang Sarpin Minta Dikebiri” ditemukan istilah cucuk sente. Jika didalam
cerpen istilah cucuk senthe adalah sebutan bagi lelaki (di desa yang ada dalam cerpen) dengan
dorongan birahi meledak-ledak dan liar sehingga yang bersangkutan pun tak bisa
mengendalikan diri. Namun, secara keseluruhan masyarakat Jawa tidak mengenal istilah ini.
Jika dilihat dari potongan kata istilah itu mungkin dapat diakitkan mulai dari kata cucuk dalam
istilah Jaw ajika diterjemahkan merupakan paruh burung dan sente yang berada pada istilah
goprak sente yang berarti keturunan ke 18 dari tingkat keturunan masyarakat Jawa. Maka tidak
ada kaitan sama sekali dengan istilah cucuk sente sehingga istilah cucuk sentehanya didapatkan
dalam istilah masyaakat desa tersebut yang menjadi kepercayaan secara turun temurun.

32
6. Fungsi dan Peran Warna Lokal Cerpen “Kang Sarpin Minta Dikebiri”
(Penguatan Identitas Masyarakat Jawa)
Dalam cerpen “Kang Sarpin Minta Dikebiri”, menceritakan tentang istilah yang diyakinai
masyarakat desa yaitu adanya Sang Cucuk Senthe yang merupakan seorang lelaki paruh baya
bernama Sarpin yang dikenal telah meniduri puluhan atau mungkin ratusan perempuan dan tak
pernah menutup-nutupi hobinya tersebut kepada para tetangganya di desa. Alkisah, suatu hari
Kang Sarpin berkeluh kesah pada tokoh yang menjadi narator dalam cerpen ini. Dalam curahan
hatinya, ia mengaku amat kesal pada burungnya sendiri.
“Dia amat bandel. Bila sedang punya mau, burung saya sama sekali tak bisa dicegah.
Pokoknya dia harus dituruti, tak kapan, tak dimana. Sungguh burung saya sangat keras
kepala sehingga saya selalu dibuatnya jengkel. Dan bila sudah demikian, saya tak bisa
berbuat lain kecuali menuruti apa maunya (Tohari, 82:2015)”.
Ternyata secara ilmu kedokteran istilah cucuk senthe juga diperkenalakan oleh Sigmund
Freud yang pernah bilang bahwa tidak ada motif yang lebih valid yang menggerakkan tindakan
manusia selain insting libido. insting libido bisa merujuk pada segala nafsu kebinatangan yang
melampaui soal makan, minum, dan seks: keserakahan, keinginan membunuh, hasrat pamer
kekuatan atau segala sifat lain yang tidak lagi mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan.
Namun, karena ketidak tahuan masyarakat setempat dan berpegang teguh dengan norma
dan nilai masyarakat yang ada pada masyarakat Jawa yang begitu menjujung tinggi sopan
santun, saling menghormati dan menghargai hak apalagi seorang wanita, dan juga sikap saling
rasan masayrakat menganggap Kang Sarpin diadili sebagai orang jahat dan bukan orang baik-
baik.
“Bagaimana aku tak menyebut iparku wong gemblung. Coba dengar. Suatu ketika di
kilang padi, orang-orang menantang Sarpin: bila benar jantan maka dengan upah lima
ribu rupiah dia harus berani membuka celana di depan orang banyak. Mau tahu
tanggapan Sarpin? Tanpa pikir panjang Sarpin menerima tantangan itu. Ia menelanjangi
dirinya bulat-bulat di depan para penantang. Lalu enak saja, dengan kelamin berayun-
ayun, dia berjalan berkeliling sambil meminta upah yang dijanjikan.”
Padahal penyataan itu salah, karena bukan keinginan dia untuk melakukan itu namun
karena kelainan yang dimiliki kang Sarpin yang membuat dirinya melakukan seperti itu. Jadi,
dapat dikatakan masyarakat disana merupakan masyarakat desa yang terbatas ilmu

33
pengetahuannya. Dan masyarakat yang memiliki karakter ini sangat banyak ditemui khususnya
di Pulau Jawa, selain itu latar belakang pengarang pun yang berasal dari Banyumas Jawa
Tengah dan beberapa karyanya juga seperti Sang Penari juga mengangkat permasalahan yang
berada di Jawa Tengah. Dari penggunaan bahasa dan semua istilah yang ada dalam cerpen
tersebut juga menyatakan istilah yang sering diucapkan masyarakat Jawa Tengah.

34
BAB III
SIMPULAN

Kehidupan yang ideal adalah kehidupan saat manusia dapat memenuhi kebutuhan jasmani
dan rohani dengan baik. Kehidupan jasmani mengkaji kebutuhan untuk mengisi perut dengan
makanan dan minuman. Sedangkan salah satu jalan untuk memenuhi kebutuhan rohani adalah
mengisi otak dan batin agar berdaya guna, dengan membaca alam dan isinya. Maka diperlukannya
karya sastra mempersoalkan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan
sesama makhluk hidup dan lingkungannya salah satunya adalah dalam bentuk cerpen. Hal ini
sangat erat kaitannya dengan teori sosiologi sastra yang merupakan hasil curahan pikiran, perasaan
manusia yang memiliki relasi dengan masyarakat dengan segala proses sosialnya. Untuk
menganalisis sebuah karya sastra (Cerpen) agar memiliki bentuk yang sesuai dengan pendekatan
sosiologi sastra, Kenny (1966: 6-7) memberikan perincian yang lengkap bahwa: Menganalisis
sebuah karya sastra adalah mengidentifikasi bagian-bagian, menentukan hubungan antara bagian-
bagian, dan menemukan hubungan bagianbagian untuk keseluruhan. Terakhir, analisis selalu
bermuara pada pemahaman tentang karya sastra sebagai suatu kesatuan yang utuh dan kompleks.

35
DAFTAR PUSTAKA

Uniawati. 2016. Warna Lokal Dan Representasi Budaya Bugis-Makassar Dalam Cerpen
“Pembunuh Parakang” Kajian Sosiologi Sastra. Kandai. 12(1): 100-113.

Mariani dkk. 2012. Profil Ayah Dalam Novel “Ayahku (Bukan) Pembohong” Karya Tere Liye:
Tinjauan Sosiologi Sastra. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. 1(1): 523-530

Hadiatmadja Bengat. 2019. Nilai Karakter pada Peribahasa Jawa. Journal of Language
Education, Literature, and Local Culture. 1(1): 14-27.

https://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Tohari

36

Anda mungkin juga menyukai