Anda di halaman 1dari 19

PUJANGGA BARU

SHAIMATUL HANI
YANI RIANI
Angkatan Pujangga Baru
Angkatan Pujangga Baru adalah angkatan yang
hadir untuk menggantikan Angkatan Balai Pustaka
yang berjaya sebelumnya. Angkatan ini diberi nama
Angkatan Pujangga Baru karena angkatan ini
dipublikasikan lewat majalah Pujangga Baru.
Angkatan Pujangga Baru terbentuk tahun 1933.
Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas
banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai
Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa
tersebut, terutama terhadap karya sastra yang
menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran
kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra
intelektual, nasionalistis dan elitis.
Sejarah
Angkatan Pujangga Baru merupakan sebuah
angkatan sastra yang muncul pada tahun 1933 di
bawah pimpinan Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn
Pane. Angkatan ini mendasarkan diri pada semangat
kebangsaan dan pembentukan budaya bam dalam
gaya romantic. Secara resmi muncul bersamaan
terbitnya majalah mereka, Poedjangga Baroe, pada
bulan Mei 1933. Kebanyakan karya angkatan ini
berupa puisi baru yang bentuknya berbeda dengan
puisi sebelumnya, misalnya syair dan pantun. Para
sastrawan yang menulis jauh sebelum tahun 1933
adalah Muhammad Yamin (Tanah Air, 1922), Sanusi
Pane (Pancaran Cinta, 1925), Roestam Effendi
(Percikan Permenungan, 1926), A. Rivai Yogi (Puspa
Aneka, 1931).
Pada masa itu, terbit pula majalah Pujangga
Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana,
beserta Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya
sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka
(tahun 1930 - 1942), dipelopori oleh Sutan Takdir
Alisyahbana. Karyanya Layar Terkembang, menjadi
salah satu novel yang sering diulas oleh para
kritikus sastra Indonesia. Selain Layar
Terkembang, pada periode ini novel Tenggelamnya
Kapal van der Wijck dan Kalau Tak Untung
menjadi karya penting sebelum perang.
Masa ini ada dua kelompok
sastrawan Pujangga baru yaitu:
1. Kelompok "Seni untuk Seni" yang
dimotori oleh:
a. Sanusi Pane , karyanya yaitu: Pancaran
Cinta (1926), Puspa Mega (1927),
Madah Kelana (1931), Sandhyakala Ning
Majapahit (1933), Kertajaya (1932)
b. Tengku Amir Hamzah, karyanya yaitu:
Nyanyi Sunyi (1937), Begawat Gita
(1933), Setanggi Timur (1939)
2. Kelompok "Seni untuk Pembangunan Masyarakat" yang dimotori
oleh :
a. Sutan Takdir Alisjahbana, karyanya yaitu: Sutan Takdir Alisjahbana, Dian Tak
Kunjung Padam (1932), Tebaran Mega - kumpulan sajak (1935), Layar
Terkembang (1936),Anak P3raw4n di Sarang Penyamun (1940)
b. Armijn Pane, karyanya yaitu: Belenggu (1940), Jiwa Berjiwa,
Gamelan Djiwa - kumpulan sajak (1960), Djinak- djinak Merpati -
sandiwara (1950), Kisah Antara Manusia - kumpulan cerpen
(1953), Habis Gelap Terbitlah Terang - Terjemahan Surat R.A. Kartini
(1945)
c. Rustam Effendi, karyanya yaitu: Bebasari: toneel dalam 3
pertundjukan, Pertjikan Permenungan
d. Hamka, karyanya yaitu: Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938), Tenggelamnya
Kapal Van der Wijck (1939), Tuan Direktur (1950), Di dalam Lembah
Kehidoepan (1940)
e. Sariamin Ismail, karyanya yaitu: Kalau Tak Untung (1933), Pengaruh
Keadaan (1937)
f. Anak Agung Pandji Tisna, karyanya yaitu: Ni Rawit Ceti Penjual Orang
(1935), Sukreni Gadis Bali (1936), I Swasta Setahun di Bedahulu (1938)
g. J.E.Tatengkeng, karyanya yaitu: Rindoe Dendam (1934)
h. Fatimah Hasan Delais, karyanya yaitu: Kehilangan Mestika (1935)
i. Said Daeng Muntu, karyanya yaitu: Pembalasan, Karena Kerendahan Boedi
(1941), Karim Halim, Palawija (1944)
Penyair
Tengkoe Amir Hamzah yang bernama lengkap
Tengkoe Amir Hamzah Pangeran Indra Poetera, atau lebih
dikenal hanya dengan nama pena Amir Hamzah (lahir di
Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur, Hindia Belanda,
28 Februari 1911 – meninggal di Kwala Begumit, Binjai,
Langkat, Indonesia, 20 Maret 1946 pada umur 35 tahun).
Ia adalah sastrawan Indonesia angkatan Poedjangga Baroe
dan Pahlawan Nasional Indonesia. Dia lahir dalam
lingkungan keluarga bangsawan Melayu (Kesultanan
Langkat).
Untuk puisi-puisinya, Amir telah disebut sebagai "Raja
Penyair Zaman Poedjangga Baroe" (EYD:"Raja Penyair
Zaman Pujangga Baru") dan satu-satunya penyair
Indonesia berkelas internasional dari era pra-Revolusi
Nasional Indonesia.[1
Amir mulai menulis puisi saat masih remaja
meskipun karya-karyanya tidak bertanggal, yang
paling awal diperkirakan telah ditulis ketika ia
pertama kali melakukan perjalanan ke Jawa.
Menggambarkan pengaruh dari budaya Melayu
aslinya, Islam, Kekristenan, dan Sastra Timur, Amir
menulis 50 puisi, 18 buah puisi prosa, dan
berbagai karya lainnya, termasuk beberapa
terjemahan. Pada tahun 1932 ia turut mendirikan
majalah sastra Poedjangga Baroe.
Pendidikan
Amir Hamzah mulai mengenyam pendidikan pada umur 5
tahun dengan bersekolah di Langkatsche School di Tanjung
Pura pada 1916. Setamat dari Langkatsche School, Amir
Hamzah melanjutkan pendidikannya di MULO, sekolah tinggi di
Medan. Setahun kemudian, Amir Hamzah pindah ke Batavia
(Jakarta) untuk melanjutkan sekolah di Christelijk MULO
Menjangan dan lulus pada tahun 1927. Amir Hamzah kemudian
melanjutkan studinya di AMS (Aglemenee Middelbare School),
sekolah lanjutan tingkat atas di Solo, Jawa Tengah.
Di sana dia mengambil disiplin ilmu pada Jurusan Sastra
Timur. Amir Hamzah adalah seorang siswa yang memiliki
kedisiplinan tinggi. Disiplin dan ketertiban itu nampak pula dari
keadaan kamarnya. Segalanya serba beres, buku-bukunya rapih
tersusun di atas rak, pakaian tidak tergantung di mana saja, dan
sprei tempat tidurnya pun licin tidak kerisit kisut. Persis seperti
kamar seorang g4dis remaja.
Sekitar tahun 1930, pemuda Amir terlibat dengan gerakan
nasionalis dan jatuh cinta dengan seorang teman sekolahnya, Ilik
Soendari. Bahkan setelah Amir melanjutkan studinya di sekolah
hukum di Batavia (sekarang Jakarta) keduanya tetap dekat,
hanya berpisah pada tahun 1937 ketika Amir dipanggil kembali
ke Sumatera untuk menikahi putri sultan dan mengambil
tanggung jawab di lingkungan keraton. Meskipun tidak bahagia
dengan pernikahannya, dia memenuhi tugas kekeratonannya.
Selama mengenyam pendidikan di Solo, Amir Hamzah mulai
mengasah minatnya pada sastra sekaligus obsesi kepenyairannya.
Pada waktu-waktu itulah Amir Hamzah mulai menulis beberapa
sajak pertamanya yang kemudian terangkum dalam antologi
Buah Rindu yang terbit pada tahun 1943. Pada waktu tinggal di
Solo, Amir Hamzah juga menjalin pertemanan dengan Armijn
Pane dan Achdiat K Mihardja. Ketiganya sama-sama mengenyam
pendidikan di AMS Solo, bahkan mereka satu kelas di sekolah
itu. Di kemudian hari, ketiga orang ini mempunyai tempat
tersendiri dalam ranah kesusastraan di Indonesia.
Setelah menyelesaikan studinya di Solo, Amir
Hamzah kembali ke Jakarta untuk melanjutkan
studi ke Sekolah Hakim Tinggi pada awal tahun
1934. Semasa di Jakarta, rasa kebangsaan di
dalam jiwa Amir Hamzah semakin kuat dan
berpengaruh pada wataknya. Bersama beberapa
orang rekannya di Perguruan Rakyat, termasuk
Soemanang, Soegiarti, Sutan Takdir Alisyahbana,
Armijn Pane, dan lainnya, Amir Hamzah
menggagas penerbitan majalah Poedjangga
Baroe.
Karya
Amir Hamzah mulai menyiarkan sajak-sajak
karyanya ketika masih tinggal di Solo. Di majalah
Timboel yang diasuh Sanusi Pane, Amir Hamzah
menyiarkan puisinya berjudul “M4buk” dan “Sunyi”
yang menandai debutnya di dunia kesusastraan
Indonesia. Sejak saat itu, banyak sekali karya sastra
yang dibuat oleh Amir Hamzah.
Setelah kembali ke Sumatera, ia berhenti menulis.
Sebagian besar puisi-puisinya diterbitkan dalam dua
koleksi, Njanji Soenji (EYD: "Nyanyi Sunyi", 1937) dan
Boeah Rindoe (EYD: "Buah Rindu", 1941), awalnya
dalam Poedjangga Baroe, kemudian sebagai buku
yang diterbitkan.
Meninggal dunia
Revolusi sosial yang meletus pada 3 Maret 1946 menjadi
akhir bagi kehidupan Amir Hamzah. Dia menjadi salah satu
korban penangkapan yang dilakukan oleh pasukan Pesindo. Kala
itu pasukan Pesindo menangkapi sekitar 21 tokoh feodal
termasuk di antaranya adalah Amir Hamzah pada 7 Maret 1946.
Pada tanggal 20 Maret 1946, orang-orang yang ditangkap itu
dihukum mati. Amir Hamzah wafat di Kuala Begumit dan
dimakamkan di pemakaman Mesjid Azizi. Amir Hamzah
kemudian diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia
berdasarkan SK Presiden RI Nomor 106/ tahun 1975, tanggal 3
November 1975.
Hingga kematiannya, Amir Hamzah telah mewariskan 50
sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris, 1 prosa liris
terjemahan, 13 prosa, dan 1 prosa terjemahan. Jumlah
keseluruhan karya itu adalah 160 tulisan. Jumlah karya tersebut
masih ditambah dengan Setanggi Timur yang merupakan puisi
terjemahan, dan terjemahan Bhagawat Gita. Dari jumlah itu, ada
juga beberapa tulisan yang tidak sempat dipublikasikan.
Puisi-puisi Amir sarat dengan tema cinta dan agama,
dan puisinya sering mencerminkan konflik batin yang
mendalam. Diksi pilihannya yang menggunakan kata-kata
bahasa Melayu dan bahasa Jawa dan memperluas struktur
tradisional, dipengaruhi oleh kebutuhan untuk ritme dan
metrum, serta simbolisme yang berhubungan dengan
istilah-istilah tertentu.
Karya-karya awalnya berhubungan dengan rasa rindu
dan cinta, sedangkan karya-karyanya selanjutnya
mempunyai makna yang lebih religius. Dari dua koleksinya,
Nyanyi Sunyi umumnya dianggap lebih maju. Untuk puisi-
puisinya, Amir telah disebut sebagai "Raja Penyair Zaman
Poedjangga Baroe" (EYD:"Raja Penyair Zaman Pujangga
Baru") dan satu-satunya penyair Indonesia berkelas
internasional dari era pra-Revolusi Nasional Indonesia.
Aliran filsafat amir hamzah
1. aliran romantisme
Puisi Buah rindu
aliran romantisme ini
menekankan kepada Dikau sambur limbur pada
ungkapan perasaan senja
sebagai dasar perwujudan Dikau alkamar purnama rya
pemikiran pengarang Asalkan kanda bergurau
sehingga pembaca senda
tersentuh emosinya Dengan adinda tajuk mahkota
setelah membaca
ungkapan perasaannya.
Contoh puisi-puisi amir Dituan rama-rama melayang
hamzah yang berjudul Didinda dendang sayang
“buah rindu”, “karena Asalkan kandaa selang
kasihmu”, “memuji dikau”, menyelang
“mengawan”,“Do’a”.
PUISI Sebab dikau
2. Sebagian besar karya , puisi nyanyi sunyi karya amir hamzah
Amir Hamzah beraliran Kasihkan hidup sebab dikau
Segala kuntum mengoyak kepak
mististisme. Mististisme Membunga cinta dalam hatiku
Mewangi sari dalam jantungku
adalah aliran kesusastraan Hidup seperti mimpi
yang bersifat melukiskan Laku lakon dilayar terkelar
Aku pemimpi lagi penari
hubungan manusia dengan Sedar diuman bertukar-tukar
Maka merupa di datar layar
Tuhan. Mistisisme selalu Wayang warna menayang rasa
memaparkan keharuan Kalbu rindu turut mengikuti
Dua sukma esa-mesra
dan kekaguman si penulis Aku boneka engkau boneka
Penghibur dalang mengatur tembang
terhadap keagungan Maha Di dilayar kembang bertukar pandang
Pencipta Hanya selagu, sepanjang dendang
Golek gemilang ditukarnya pula
Aku engkau di kotak terletak
Aku boneka engkau boneka
Penyelang dalang mengarak sajak
Ciri khas puisi Amir Hamzah
Salah satu ciri yang menonjol dari puisi-puisi Amir Hamzah adalah
kuatnya pengaruh dari pujangga sufi. Dimana agama dan sejarah sangat
mempengaruhinya. Hal ini membangun kesan dalam puisi-puisinya
terdapat sesuatu yang mistik, tentu hal ini erat kaitannya dengan
hubungan manusia dengan penciptanya.
Hal ini dapat dikatakan bahwa dalam puisi Amir Hamzah
terkandung sifat sufistik, dimana puisi itu dibuat atau dihasilkan sebagai
salah satu cara mengungkapkan pengalaman untuk mendekatkan diri
pada penciptanya. Secara sederhana sebagai ungkapan akan gagasan
kerohanian. Dan tentu saja hal ini tidak mungkin tanpa adanya
pengalaman batin tertentu dari diri si penulis. Salah satu puisi Amir
Hamzah yang bercorak sufistik adalah “Hanya satu” yang
mengungkapkan kisah tentang Nabi Nuh. Selain itu ada pula puisinya
yang berjudul Berdiri Aku yang mungkin lebih kentara kesufistikannya.
Selain itu ciri khas puisi khas puisi-puisi Amir Hamzah tampak
dalam isinya yang sebagian besar berisi akan kerinduan dan kesedihan.
Karyanya juga mengandung unsur sufistik, dimana merupakan hasil
refleksi pribadi akan hubungannya dengan Tuhan.
ANALISIS PUISI KARYA AMIR
HAMZAH
Padamu jua (Amir Hamzah)
Habis kikis
Suara sayup
Segala cintaku hilang terbang
Hanya kata merangkai hati
Pulang kembali aku padamu
Engkau cemburu
Seperti dahulu kaulah kandil
gemerlap Engkau ganas
Pelita jendela dimalam gelap Mangsa aku dalam cakarmu
Melambai pulang perlahan Bertukar tangkap dengan lepas
Sabar, setia selalu Nanar aku gila sasar
Satu kekasihku Sayang berulang padamu jua
Aku manusia Engkau pelik manusuk ingin
Punya rasa Serupa dara diibalik tirai
Rindu rupa Kasihmu sunyi
Dimana engkau Menunggu seorang diri
Rupa tiada Lalu waktu bukan giliranku
Matahari bukan kawanku

Anda mungkin juga menyukai