Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

PENGANTAR KAJIAN KESUSASTRAAN


MASA PERGOLAKAN SASTRA INDONESIA dan
SASTRA ANGKATAN 45 DAN 50

Oleh :

KELOMPOK 1

1. AZRI RIFALDA
2. FITRI ANDAYANI
3. REFKY MAULANA ISHAQ

Dosen Pengampu Mata Kuliah :


MEGASARI MARTIN, S.S, M.Pd

PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SUMATERA BARAT
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia- Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa pula kami
mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontibusi dengan
memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Tidak lupa pula kami mengucapkan terimakasih kepada ibu Megasari Martin, S.S,
M.Pd selaku dosen mata kuliah pengatar kajian kesusastraan prodi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia yang telah membantu kami dalam mengerjakan makalah ini. Kami juga
mengucapkan terimakasih kepada teman - teman yang telah berkontribusi dalam pembuatan
makalah ini.
Kami sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca . bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari - hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu
kami sangat mengaharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Padang Panjang, 24 Desember 2021

Penyusun

i
Daftar Isi
Kata Pengantar................................................................................................................ i
Daftar Isi.......................................................................................................................... ii

Bab I Pendahuluan.......................................................................................................... 1
1.1 Latar belakang makalah.............................................................................................. 1
1.2 Rumusan masalah........................................................................................................ 1
1.3 Batasan masalah ......................................................................................................... 1
1.4 Tujuan ......................................................................................................................... 1
1.5 Manfaat........................................................................................................................ 1

Bab II Pembahasan......................................................................................................... 2
2.1 Masa Pergolakan Sastra Indonesia ............................................................................. 2
2.2 Angkatan Sastra ’45 dan Sastrawan............................................................................ 20
2.3 Angkatan Sastra ’50 dan Sastrawan............................................................................ 24

Bab III Penutup............................................................................................................... 27


3.1 Kesimpulan.................................................................................................................. 27

Daftar Pustaka................................................................................................................. 28

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sudah diketahui umum bahwa proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan
peristiwa bersejarah yang amat penting bagi bangsa Indonesia karena dengan momentum
itulah terbentuk NKRI dengan tujuan mulia seperti tertulis dalam pembukaan UUD 1945.
Peristiwa politik yang penting penting pada masa itu berawal dari penetapan Ir. Soekarno
dan Drs. Mohammad Hatta sebagai presiden dan wakil presiden republik Indonesia dalam
sidang panitia persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI) 18 Agustus 1945, pembentukan
komite nasional pada 19 Agustus 1945, penetapan 12 kementrian negara dan 8 provinsi,
pembentukan partai-partai, dan berbagai organisasi kemasyarakatan.
Berbeda dengan Lekra, Manifes Kebudayaan bukanlah sebuah organisasi kebudayaan
melainkan sebuah konsep atau pemikiran di bidang kebudayaan seperti Surat
Kepercayaan Gelanggang, Kemunculannya tidak terkait dengan partai politik atau
ideologi tertentu, tetapi merupakan reaksi terhadap teror budaya yang pada waktu itu
dilancarkan oleh orang-orang Lekra.

1.2 Batasan Masalah


Pada pembahasan kali ini penulis membatasi masalah pada ;
1. Masa Pergolakan Sastra Indonesia.
2. Sastra Indonesia Angkatan `45.
3. Sastra Indonesia Angkatan `50.
Maka dari itu penulis hanya berfokus dalam membahas hal yang tersebut diatas.

1.3 Rumusan Masalah


Untuk mempermudah penulis dalam membuat makalah ini maka terdapat beberapa
rumusan masalah yang membantu penulis sebagai berikut :
1. Bagaimana masa pergolakan sastra Indonesia ?
2. Bagaimana sastra Indonesia angkatan `45 ?
3. Bagaimana sastra Indonesia angkatan `50 ?

1.4 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui masa pergolakan sastra Indonesia.
2. Mengetahui sastra Indonesia angkatan 45 dan para sastrawan.
3. Mengetahui sastra Indonesia angkatan 50 dan para sastrawan.

1.5 Manfaat
Manfaat yang diperoleh dalam penulisan makalah ini ialah penulis dapat bagaimana
sejarah sastra Indonesia pada masa pergolakan. Penulis juga dapat mengetahui
bagaimana sastra Indonesia angkatan 45 dan para satrawan serta mengetahui
bagaimana sastra Indonesia angkatan 50 dan para sastrawannya.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2. 1 Masa Pergolakan Sasra Indonesia


A. Surat Kepercayaan Gelanggang
Sudah diketahui umum bahwa proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945
merupakan peristiwa bersejarah yang amat penting bagi bangsa Indonesia
karena dengan momentum itulah terbentuk NKRI dengan tujuan mulia seperti
tertulis dalam pembukaan UUD 1945. Peristiwa politik yang penting penting
pada masa itu berawal dari penetapan Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta
sebagai presiden dan wakil presiden republik Indonesia dalam sidang panitia
persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI) 18 Agustus 1945, pembentukan
komite nasional pada 19 Agustus 1945, penetapan 12 kementrian negara dan 8
provinsi, pembentukan partai-partai, dan berbagai organisasi kemasyarakatan.
Di bidang sosial tercatat pertempuran Surabaya 10 November 1945 yang
kemudian diperingati sebagai hari pahlawan berlanjut dengan perlawanan
rakyat diberbagai daerah yang diduduki militer asing (Inggris dan Amerika).
Berbagai kisah awal revolusi Indonesia yang sudah ditulis banyak orang
pantaslah dibaca generasi sekarang agar diperoleh gambaran historis
mengenai berbagai peristiwa di masa awal revolusi termasuk perubahan yang
terjadi di bidang sastra.
Sementara itu buku Teeuw (1952), Ajip Rosidi (1969), Jakob Sumardjo
(1992) masih relevan dijadikan sumber rujukan mengenai kehidupan sastra
Indonesia tahun tahun 1945 hingga 1950 an. Ketika menulis pokok dan tokoh
dalam kesusastraan Indonesia baru pada tahun 1951, Teeuw mengaku tidak
memiliki dokumentasi yang lengkap hingga timbul keraguan untuk menyusun
ikhtisar kesusastraan Indonesia setelah tahun 1942 (hingga tahun 1951).
Akibatnya, Teeuw hanya bersumberkan sejumlah majalah yang penting
sebagai pengantar masalah kebudayaan dan medan perbincangan. Namun,
Teeuw mencatat pertanyaan penting yang berkembang dalam berbagai
perbincangan pada masa itu, apakah kesusastraan Indonesia dalam masa
sesudah perang itu sungguh-sungguh berlainan daripada kesusastraan di masa
sebelum perang? Pertanyaan itu Di jawabnya sendiri dengan keyakinan bahwa
pasti ada perbedaan asasi antara Pujangga baru dengan angkatan 45.
Kemudian dijelaskan oleh Teeuw (1952:167) bahwa perbedaan itu bukan
semata-mata berdasarkan tahun lahir nya seseorang yang dapat dimasukkan ke
dalam satu angkatan, melainkan pada perubahan-perubahan yang terjadi
dalam sastra.
Selama masa pendudukan Jepang sudah terjadi tanda-tanda perubahan
seperti diperlihatkan Chairil Anwar, Idrus, Usmar Ismail, Achdiat K.
Mihardja, tetapi tidak segera muncul ke permukaan karena tertekan oleh
kekuasaan Jepang. Baru setelah kemerdekaan dilakukan usaha-usaha
penghimpun tenaga dan semangat bersama tetapi sungguh bukan pekerjaan
yang gampang. Apabila pada tahun 1946 atas usaha keras Chairil Anwar

2
berdiri semacam organisasi kebudayaan gelanggang, pada mulanya tidak
berjalan teratur karena berbagai kesulitan.
Ajip Rosidi dalam ikhtisar sejarah sastra Indonesia (1969:92) tidak
berbicara tentang latar belakang sosial dan politik masa awal revolusi, tetapi
langsung menyajikan gambaran mengenai maraknya pemikiran sastra berkat
kepeloporan penyair Chairil Anwar, sedangkan Jakob Sumardjo (1992:104)
menggambarkan proklamasi kemerdekaan sebagai kejadian yang teramat
penting dalam sejarah bangsa Indonesia itu berpengaruh sekali terhadap
kegiatan kebudayaan, termasuk kesusastraan.
Maraknya pemikiran kebudayaan dan kesusastraan Itu tampak pada
penerbitan majalah-majalah yang segera bermunculan setelah proklamasi
kemerdekaan, tercatat Panca Raya (1945-1947), Pembangunan (1946-1947),
Pembaharuan (1946-1947), Nusantara (1946-1947), Gema Suasana (1948-
1950), Siasat dengan lampiran kebudayaan "Gelanggang" (1947-1959),
Mimbar Indonesia dengan lampiran kebudayaan "Zenith'' (1947-1959),
Indonesia (1949-1960), Pujangga Baru (1948 dan mulai tahun 1954 bernama
Konfrontasi), Arena (1946-1948 di Yogyakarta), dan Seniman (1947-1947 di
Solo).
Dari otobiografi Rosihan Anwar diperoleh catatan bahwa ketika bersama
Soedjatmoko penerbit kan mingguan Siasat pada tanggal 4 Januari 1947,
modalnya hanya beberapa rim kertas lembaran cukup untuk 4 kali penerbitan
dengan oplah 3.000 eksemplar terdiri dari 12 halaman format tabloid dan uang
tunai sejumlah 3.000 rupiah (Oeang Repoeblik Indonesia- ORI) yang
diberikan oleh kementerian penerangan RI di jalan Cilacap 4 Jakarta. Dalam
waktu 3 bulan oplahnya meningkat dari 3000 menjadi 12000 eksemplar suatu
jumlah yang besar buat ukuran zaman tersebut. Beberapa bulan kemudian,
tepatnya pada 29 November 1948 diterbitkan harian Pedoman tetapi pada
tanggal 31 Januari 1949 dibredel oleh Belanda dan baru terbit lagi Juni 1949
setelah tercapai kesepakatan menjelang Konferensi Meja Bundar yang
terkenal dalam sejarah politik Indonesia (Anwar,1983: 161-162).
Dari Kratz (1988a: 32-33) diperoleh catatan majalah yang terbit pada
tahun-tahun setelah proklamasi kemerdekaan adalah Arena, Gelanggang,
Media, Panji Masyarakat, Genta, Pedoman Masyarakat, Panji Islam, Api,
Gema Islam, Hikmah, suara MIAI, Basis ( Yogyakarta) Liberty (Surabaya),
dan Waktu (Medan). Dapat dibayangkan bahwa gambaran kesulitan dan
kesederhanaan yang dialami Pedoman dan Siasat berlaku juga pada penerbitan
yang lain.
Dari tulisan Leo suryadinata (1996: 20) diperoleh catatan bahwa pada
tahun tahun setelah proklamasi itu tetap berkembang sastra peranakan
Tionghoa berupa cerpen dalam penerbitan umum seperti Star (kemudian
menjadi Star Weekly), Panca Warna, Liberal (kemudian menjadi Liberty), dan
mingguan Sadar.
Maraknya penerbitan majalah itu membuka kesempatan munculnya
banyak karangan sastra yang berupa sajak, cerpen, drama pendek, esai, dan

3
terjemahan. Tentara itu penerbit Balai Pustaka yang mulai dikuasai Indonesia
tidak lama kemudian dapat menerbitkan buku-buku roman, antologi dan lain-
lain. Semuanya merupakan peristiwa kebudayaan yang tidak hanya pantas
dicatat, tetapi juga pantas diteliti dan dikaji lagi untuk kepentingan masa kini
dan masa depan khususnya adalah masalah kebudayaan.
Seperti halnya kelompok Pujangga baru yang telah berpolemik mengenai
konsep kebudayaan Indonesia baru, para seniman dan budayawan pada masa
awal revolusi pun sempat memikirkan konsep kebudayaan Indonesia sebagai
landasan pemikiran. Mereka tidak lagi berpolemik, tetapi sempat merumuskan
suatu konsep yang kemudian dikenal dengan sebutan ''Surat Kepercayaan
Gelanggang". Disebut demikian karena konsep atau rumusan itu diumumkan
dalam ruangan kebudayaan "Gelanggang" dalam majalah Siasat tanggal 22
Oktober 1950. Ruang kebudayaan itu diasuh oleh Chairil Anwar, Asrul Sani,
dan Rivai Apin sedangkan pimpinan majalahnya adalah Rosihan Anwar.
Surat Kepercayaan Gelanggang merupakan pernyataan sikap seniman
budayawan yang bergabung dalam gelanggang seniman merdeka dengan
motor Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin. Ada juga Mochtar Apin,
pelukis Henk Ngantung, pelukis Basuki Resobowo, pengarang Pramoedya
Ananta Toer, penyair Sitor Situmorang, dan lain-lain. Kelompok ini di
kemudian disebut angkatan 45 oleh Rosihan Anwar, tetapi tidak dengan
sendirinya disepakati oleh banyak orang. Ada yang berkeberatan dengan
alasan nama angkatan 45 seolah-olah menumpang pada kehebatan para
pejuang bersenjata yang heroik, sedangkan yang mendukung berpendapat
bahwa berjuang di bidang kebudayaan pun tidak kalah pentingnya daripada
berjuang dengan senjata.
Nama lain yang ditawarkan berbagai pihak adalah Angkatan
Kemerdekaan, Angkatan Chairil Anwar, Angkatan Perang, Angkatan Sesudah
Perang, Angkatan Pembebasan dan Generasi Gelanggang. Namun nama yang
terlanjur populer adalah Angkatan 45 seperti tampak dalam sejumlah buku
pelajaran. Dalam surat kepercayaan gelanggang tampak jelas kesadaran
berbangsa dan nasionalisme yang mengakomodasi keberagaman masyarakat,
termasuk pikiran-pikirannya sedangkan perwujudannya dalam kesenian
(kebudayaan) bertumpu pada interaksi antara masyarakat dengan seniman.
Jadi, mereka sadar bahwa kebudayaan nasional Indonesia masih harus
diperbuat dan bahwa kebudayaan itu merupakan suatu faktor yang mutlak
bagi penjajahan manusia Indonesia yang dinamik.
Tujuan perkumpulan gelanggang seniman merdeka adalah
mempertanggungjawabkan penjajahan bangsa, mempertahankan dan
mempersubur cita-cita yang lahir dari pergolakan pikiran dan roh, serta
memasukkan cita-cita dan dasar itu ke dalam segala kegiatan. Setelah
pengakuan kedaulatan RI kesadaran itu dipertegas lagi dan disiarkan dalam
Siasat tanggal 22 Oktober 1950.
Boleh jadi benar pendapat Maman S. Mahayana dalam artikel "Di Balik
Surat Kepercayaan Gelanggang" (Mahayana, 2005: 452-456) bahwa publikasi

4
Surat Kepercayaan Gelanggang itu dimaksudkan sebagai reaksi terhadap
publikasi Mukadimah Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang dicetuskan
pada 17 Agustus 1950. Surat Kepercayaan Gelanggang berpijak pada
humanisme universal atau kemanusiaan sejagat, sedangkan Lekra secara tegas
hendak melaksanakan realisme sosialis yang bersumber pada komunisme.
Kesulitan ekonomi yang meluas ke segala bidang kehidupan menjadi
penyebab terjadinya krisis penerbitan pada Balai Pustaka yang kedudukannya
pada waktu itu tidak menentukan penerbit Balai Pustaka rakyat,
pembangunan, dan tintamnas pun mengalami krisis akibat revolusi. Yang
marah pada masa itu adalah penerbitan majalah sampai-sampai kemudian
dikenal sebutan krisis sastra Indonesia sebagaimana diungkapkan oleh
Soedjatmoko dalam majalah konfrontasi.
Namun telah tercatat dalam sejarah bahwa masa yang penuh kesulitan pun
bermunculan sejumlah pengarang yang pantas dihargai ketokohan dan
prestasinya. Selain tokoh-tokoh yang sudah disebut tadi, pantaslah disebut
nama-nama: Achdiat Karta Mihardja, Aoh K. Hadimadja, Dodong
Djiwapardaja, Harijadi S. Hartowardojo, Mochtar Lubis, M. Balfas, Mh.
Rustandi Kartakusuma, Mohammad Ali, Rusman Sutiasumarga, Sitor
Situmorang dan Trisno Sumardjo.
Data pribadi mereka secara ringkas dapat dibaca dalam Pokok dan Tokoh
dalam Kesusastraan Indonesia Baru (Teeuw, 1952), Ikhtisar Sejarah Sastra
Indonesia (Rosidi,1992), Buku Pintar Sastra Indonesia (Eneste, 2001b),dan
sumber lain.
1. Achdiat Karta Mihardja (lahir di Cibatu, Garut 6 Maret(1991) yang
hingga usia lanjut masih juga konsisten menulis. Kompas Juli 2006
memberitakan Achdiat telah menerbitkan Si Kabayan Manusia Lucu
(1997) dan pada usia 94 tahun meluncurkan kisah panjang Manifesto
Khalifatullah di Galeri Cipta II TIM Jakarta 7 Juli 2006. Bahkan di
tempat tinggalnya (Canberra, Australia) Achdiat masih menulis naskah
yang akan diberi judul Ki Separo Plus Ki Setengah Sama dengan Insan
Kamil. Achdiat pertama kali dikenal dengan roman atheis (hingga tahun
2006 dicetak ulang 28 kali), kemudian Bentrokan dalam Asrama (1952)
debu cinta bertebaran (1973) dan drama Pak Dullah In Extremis (1977).
Di samping itu, Achdiat pernah menjabat kepala jawatan kebudayaan
perwakilan Jakarta raya, dosen fakultas sastra Universitas Indonesia
(1956-1961), dan dosen kesusastraan Indonesia di Australian National
University Canberra hingga pensiun.
2. Asrul Sani (lahir di Rao, Sumatera Barat, 10 Juni 1927 dan meninggal di
Jakarta, 11 Januari 2004) hingga akhir hayatnya dikenal sebagai pribadi
yang multi-ahli karena tidak hanya mewariskan puisi, cerpen, essay,
skenario film, pelajaran di bidang perfilman dan karya terjemahan, tetapi
juga pernah berjuang dalam Lasykar Rakyat Jakarta semasa awal
revolusi, pernah menjabat Ketua Dewan Film Nasional, Ketua dan
Anggota Dewan Kesenian Jakarta, anggota DPR- MPR mewakili NU,

5
Rektor Institut Kesenian Jakarta, anggota Academy Jakarta, dan
menerima Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah RI tahun 2000. Ke
sastrawannya pernah dibahas M.S Hutagalung yang menghasilkan
Tanggapan Dunia Asrul Sani (1967).
3. Chairil Anwar (lahir di Medan 26 Juli 1922 dan meninggal di Jakarta 28
April 1949) berpendidikan MULO pun tidak tamat, tetapi semangat
belajarnya luar biasa. Namanya seolah menjadi ikon angkatan 45, lebih-
lebih setelah terbit Chairil Anwar pelopor angkatan 45 ( Jassin, 1956).
Karya-karyanya yang penting dibukukan orang setelah dia meninggal,
yaitu kumpulan sajak Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus
(1949), Deru Campur Debu (1949), Tiga Menguak Takdir (bersama
Asrul Sani dan Rivai Apin 1950), Aku ini Binatang Jalang (1986) dan
Derai-derai Cemara (1999). Di penyairan nya telah dibahas sejumlah
pakar seperti S. Takdir Alisjahbana, Boen S. Oemarjati, Subagio
Sastrowardoyo, Dick Hartoko, dan Arief Budiman. Pantas dicatat juga
bahwa tanggal meninggalnya sering diperingati orang dengan sebutan
hari Chairil Anwar yang biasanya diisi dengan berbagai kegiatan
kesastraan.
4. Idrus (lahir di Padang 21 September 1921, meninggal di Padang 18 Mei
1979) berpendidikan HIS, MULO, AMS, dan Sekolah Menengah Tinggi,
tamat tahun 1943, meraih M. A. di Universitas Monash, Australia tahun
1974. Pernah menjabat sebagai Kepala Bagian Pendidikan GIA (1943-
1952) dan Dosen Universitas Monash (1965-1979). Pernah bermukim di
Kuala Lumpur (1960- 1964) dan pernah menjadi redaktur kisah dan
Indonesia. Karyanya yang penting: drama Dokter Bisma (1945)
kumpulan cerpen dan drama Dari Ave Maria ke jalan lain ke Roma
(1948) drama Keluarga Surono (1948) novel Aki (1949) dan novel
Perempuan dan Kebangsaan (1949). Dia dikenal sebagai pembaharu
prosa di kalangan angkatan 45.
5. Mochtar Lubis (lahir di Padang 7 Maret 1922 meninggal di Jakarta 2 Juli
2004) mengawali karir pengarangan di tahun 1950 an dengan novel Jalan
Tak Ada Ujung (1952) kemudian novel Tanah Gersang (1966) Senja di
Jakarta (1970) Harimau! Harimau! (1975) Maut dan Cinta (1977) dan
lain-lain. Dia menjadi tokoh penting di bidang pers dan kebudayaan
antara lain Sebagai Wartawan LKBN antara pimpinan majalah Masa
Indonesia (1947) Pimpinan Harian Indonesia Raya (1951-1974) salah
seorang pendiri majalah Horison (1966) dan tokoh Yayasan Obor
Indonesia
6. Pramoedya Ananta Toer (lahir di Blora 6 Februari 1925 meninggal di
Jakarta 30 April 2006) berpendidikan Sekolah Tinggi Hakim Islam
Jakarta (1945) pernah menjadi pegawai Kantor Berita Jepang Domei
Jakarta (1942-1945) letnan dua dalam resimen 6 divisi Siliwangi (1946)
redaktur Balai Pustaka (1950-1951) anggota pimpinan pusat Lekra
(1958) Ketua Delegasi Indonesia ke Konferensi Pengarang Asia Afrika

6
di Tasjkent Uni Soviet (1958), redaktur "Lentera" (1962-1965), Dosen
Fakultas Sastra Res Republica Jakarta dan setelah geger politik
September 1965 Pramoedya menjadi tahanan politik di pulau buru
hingga tahun 1979 karyanya terlalu panjang untuk dituliskan di sini dan
pantas kisahnya dijadikan pokok bahasan tersendiri.
Yang jelas, semasa revolusi Pramoedya telah mengahasilkan novel
Perburuan (1950), Keluarga Gerilya (1950), Mereka yang Dilumpuhkan
(1951), Bukan Pasar Malam (1951), Di Tepi Kali Bekasi (1957),
kumpulan cerpen Subuh (1950), cerita dari Jakarta (1957), dan lain-lain.
Selama bergabung dengan Lekra (1950-1965), ia menulis novel Korupsi
(1954), novel Midah si Manis Bergigi Emas (1954), dan Panggil Aku
Kartini Saja (1962). Selama menjadi tahanan politik di pulau Buru
(Agustus 1969- November 1979) menghasilkan roman bumi manusia,
anak semua bangsa, jejak langkah, dan rumah kaca.karya berikutnya
tercatat novel Arok Dedes (1999), Larasati (2000), Mangir (2000),
Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer (2001), dan lain-lain.
Tahun 1995 Pramoedya menerima hadiah magsaysay (Filipina) dan
tahun 2000 menerima hadiah Fukuoka (Jepang) dan Le Chevalier
del'Ordre des Arts et des Lettres (Prancis).
Kepengarangan Pramoedya telah dibahas sejumlah pakar seperti
Bahrum Rangkuti, H.B Jassin, A Teeuw, dan Savitri Prastiti Scherer.
Tentu saja masih terbuka peluang para peneliti dan kritikus untuk
mendalami keterangan dan karya Pramoedya.
7. Rivai Apin (di Padang Panjang 30 Agustus 1927 meninggal 21 April
1995) pernah bergiat sebagai anggota komite Nasional Indonesia pusat,
anggota DPRD DKI Jakarta dan pimpinan pusat Lekra (1959-1965).
Menjadi suram dan tak terdengar kabarnya lagi setelah terjadi geger
politik September 1965. Nasib atau takdir kehidupan memang tidak
berlaku massal terbukti sama tokoh lekra dan sama-sama pernah menjadi
tahanan politik, Pramoedya Ananta Toer masih dapat kembali ke tengah
masyarakat sastra Indonesia dengan roman-roman monumental pada usia
lanjut.
8. Utuy Tatang sontani dilahirkan di Cianjur Jawa Barat 31 Mei 1920
meninggal di Moskwa, Rusia 17 september 1979. Pendidikan terakhir
Taman Dewasa Bandung, kemudian bekerja di RRI Tasikmalaya, Balai
Pustaka, Jawatan Pendidikan Masyarakat, Jawatan Kebudayaan,
Kementerian Pendidikan dan Pengajaran & kebudayaan, Lembaga
Bahasa dan Kesusastraan Indonesia, dan pernah menjadi Anggota
Pimpinan Pusat Lekra (1959- 1965). Karya drama nya yang penting
Bunga Rumah Makan (1948) Suling (1948) Awal dan Mira (1952)
Sayang Ada Orang Lain (1954) dan Di Langit Ada Bintang (1955).

Selain mereka itu banyak pengarang yang pernah berkarya pada masa itu
dengan jejak terbatas seperti, S. Rukiah, Ida Nasution, St. Nuraini, Walujati,

7
Suwarsih Djojopuspito, Barus Siregar, S. Mundungsari (Suparman), Gayus
Siagian, Muhammad Ali, dan P. Sengodjo.
Apabila kepengarangan dan karya mereka dikaji lagi, pastilah terbuka
kemungkinan munculnya data dan penilaian baru yang bermanfaat bagi
pengembangan ilmu sastra Indonesia. Kalau pun belum menjangkau seluruh
nya boleh kiranya mengutamakan buku-buku berikut ini:
1. Atheis (roman Achdiat K. Mihardja)
2. Bentrokan dalam Asrama (drama Achdiat K. Mihardja)
3. Bukan Pasar Malam (roman Pramoedya Ananta Toer)
4. Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (kumpulan cerpen Idrus)
5. Deru Campur Debu (kumpulan sajak Chairil Anwar)
6. Jalan Tak Ada Ujung (roman Mochtar Lubis)
7. Keluarga Gerilya (roman Pramoedya Ananta Toer)
8. Tiga Menguak Takdir (kumpulan sajak Chairil Anwar, Asrul Sani dan
Rivai Apin)
Tema dan warna revolusi yang tampak dominan dalam karya sastra pada
masa itu membuktikan adanya hubungan antara kehidupan pengarang dan
lingkungan sosial budayanya. Semangatnya adalah menemukan atau
membangun kemanusiaan yang universal di tengah gejolak revolusi
kemerdekaan.
Penerbitan sastra Indonesia tahun 1945-1950 and hanyalah sepenggal
perjalanan sejarah yang kelanjutannya semakin seru dengan kehadirannya
lembaga kebudayaan rakyat dan manifes kebudayaan hingga pecah tragedi
nasional 30 September 1965.

B. Lembaga Kebudayaan Rakyat


Semangat membangun kebudayaan manusia yang tertuang dalam surat
kepercayaan gelanggang ternyata terdesak oleh perubahan yang deras di
bidang sosial budaya dan politik. Penerapan demokrasi liberal dengan sistem
kabinet parlementer ternyata tidak membuahkan hasil yang menggembirakan
karena yang terjadi adalah krisis kabinet dengan pergantian perdana menteri
yang jarak waktunya pendek-pendek sehingga tidak produktif di bidang
pemerintahan.
Krisis itu kemudian diakhiri dengan dekrit presiden 5 Juli 1959 dengan
prinsip kembali ke undang-undang dasar 1945. Peristiwa penting yang besar
pengaruhnya terhadap dinamika kehidupan sastra Indonesia adalah berdirinya
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) pada 17 Agustus 1950 di tangan
tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) yaitu, D.N Aidit Njoto, M. S.
Ashar, dan A.S. Dharta. Dalam waktu singkat lekra diikuti oleh Henk
Ngantung, Joebaar Ajoeb, Herman Arjuno dan lain-lain. Lekra menerbitkan
majalah Zaman Baru di Surabaya dengan lembaran kebudayaan yang diasuh
oleh iramani (Njoto), Klara Akustia (A.S. Dharta) dan M.S. Ashar.
Sebagai organ PKI tentu saja lekra memperjuangkan komunisme yang
berasal dari Marxisme- Leninisme yang telah lama berkembang di Rusia dan

8
Cina dengan semboyan kemakmuran atau kesejahteraan Rakyat berdasarkan
penguasaan alat produksi di tangan kaum buruh dan petani sebagai kelompok
besar yang tertindas oleh feodalisme dan kapitalisme. Dengan semboyan
itulah komunisme hendak membela kepentingan kaum buruh dan petani atau
kaum proletar yang tidak berdaya.
Dalam tulisan sejumlah tokoh lekra seperti Pramoedya Ananta Toer dan
Bakri Siregar yang terdokumentasikan dalam Prahara Budaya (Moeljanto,
1995:67-99), dapat dipahami sekilas percikkan pemikiran mereka tentang
realisme sosialis dan lebih rinci lagi dapat disimak dalam buku Pramoedya
Ananta Toer Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (2003a).
Pramoedya Ananta Toer menulis artikel di Harian Bintang Timur (22
April 1960) berjudul "Dengan Datangnya Lenin Bumi Manusia Lebih Kaya"
yang ringkas nya menyatakan bahwa abad ke-20 merupakan abad nya rakyat
dan ilmu pengetahuan Lenin serta Einstein merupakan dua tokoh terpenting.
Sementara itu Bakri Siregar ketika berkunjung ke Rusia bersama sejumlah
seniman lekra sebagai duta kebudayaan telah menyatakan pujian yang hebat
terhadap revolusi Rusia dan kunjungan itu merupakan kesempatan belajar
yang harus dimanfaatkan karena seni manusia telah terbukti memiliki tradisi
revolusioner yang maha besar dan maha kaya.
Di mata Bakri Siregar seniman Soviet telah terbukti mampu berbakti
kepada rakyat pekerja yang sedang tegas menolak kosmopolitanisme dan
abstraksionisme. Jadi seniman Indonesia pun harus berjuang melawan
imperialis dan membangun kemerdekaan nasional yang penuh perdamaian
dunia.
Dari percikkan pemikiran itu saja tampaklah sikap seniman lekra untuk
berpihak kepada komunisme yang bersemboyan membela kepentingan
rakyat, buruh, tani dan kaum proletar. Semboyan itu merupakan sumber
aliran di bidang seni yang disebut realisme sosialis suatu aliran kesenian yang
semangatnya adalah membela kepentingan rakyat.
Dalam realisme sosialis dan sastra Indonesia (Pramudya, 2003: 92-101)
bacalah semangat dan latar belakang pendirian lekra tahun 1950 lebih kurang
sebagai berikut:
Lekra didirikan 5 tahun setelah pecah revolusi Agustus, di saat revolusi
tertahan oleh rintangan hebat berupa persetujuan Konferensi Meja bundar.
Lekra didirikan untuk mencegah kemerosotan lebih lanjut karena menyadari
tugas revolusi bukan hanya jadi kaum politisi tetapi juga tugas pekerja
kebudayaan. Jadi lekra didirikan untuk menghimpun kekuatan yang taat dan
teguh mendukung revolusi. Kehadirannya merupakan reaksi terhadap realitas
politik kultural yang mencemaskan dan mengusahakan pengucapan
kebudayaan, khususnya sastra, berdasarkan realitas yang sedang berkembang
dan harus dipertanggungjawabkan secara politik.
Lekra melaksanakan ideologi seni untuk rakyat akan tetapi konotasi rakyat
itu terbatas pada konsep ideologi mereka sendiri, bukan rakyat yang seluas-
luasnya. Gerakan dan strateginya pun tidak berbeda dengan PKI yang

9
menciptakan konflik di mana-mana sambil memobilitas berbagai kelompok
yang disebutnya sebagai kekuatan progresif revolusioner. Mereka secara
demonstratif menerbitkan buku-buku sastra seperti kumpulan saja kumpulan
cerpen dan drama sehingga memikat perhatian banyak pengarang. Cara lain
yang dilakukan adalah menghancurkan kredibilitas tokoh-tokoh yang berbeda
pandangan dan berseberangan politiknya.
Di sisi lain lekra tidak malu-malu membesarkan jasa para seniman yang
sehat dan berpihak kepada ideologinya, bahkan memanfaatkan pengarang
Motinggo Busye, Virga Belan, M. Poppy Hutagalung, dan Usamah untuk
menolak hadiah sastra dari majalah sastra tahun 1962 dengan alasan majalah
tersebut anti revolusi. 2 tahun sebelumnya 3 pengarang yang dikenal sebagai
tokoh lekra (Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, dan Hr.
Bandaro).
Kegiatan yang secara agresif dilaksanakan orang-orang Lekra adalah
memanfaatkan lembaran kebudayaan "Lentera" harian Bintang Timur.
Sejumlah pengarang yang kemudian dikenal sebagai orang-orang lain
adalah A. Kohar Ibrahim, Agam Wispi, Amarzan, Ismail Hamid, B.A.
Simanjuntak, Dodong Djiwapardaja, F.I. Risakota, Hadi S., Kuslan Budiman,
Kusni Sulang, Rijono Pratikto, S. Anantaguna, S. Rukiah, S. Wisnu
Kuntjahjo, Sobron Adit, Sugiarti Siswandi, Zubir A.A, Hadi S, dan lain-lain.
Dalam Buku Pintar Sastra Indonesia (Eneste, 2001b) tercatat data mereka
sebagai berikut:
1. Agam Wispi, kelahiran Idi Aceh tahun 1934, pernah menjadi anggota
pimpinan pusat Lekra (1959-1965) dan pernah mengunjungi Jerman
timur 1959. Buku puisinya: Sabahat (1959) dan Matinya Seorang
Sabahat (1962).
2. Dodong Djiwapardaja, kelahiran Garut Jawa Barat 25 Desember 1928
tamat perguruan tinggi hukum militer pernah bekerja di AURI pernah
menjadi guru SMA-IPI Jakarta (1953-1958) dan dosen estetika fakultas
sastra UI 1962-1964). Juga pernah menjadi anggota komisi istilah seksi
penerbangan 1951-1960), peserta konferensi pengarang Asia Afrika di
Tasjkent Uni Soviet (1958) dan menjadi anggota pengurus pleno
BMKN (1960). Sajak-sajaknya dimuat dalam antologi Gema Tanah Air
(1948) Laut Biru Langit Biru (1977) dan Tonggak I (1987)
3. Riyono Pratikto, dilahirkan di Ambarawa, Jawa tengah 17 Agustus
1932, berpendidikan fakultas publisistik Universitas Padjajaran
Bandung kemudian pernah menjadi pembantu RRI Bandung, redaktur
warta Bandung, dan pengajar fakultas publisistik Universitas Padjajaran
Bandung hingga tahun 1988. Karyanya kumpulan cerpen Api dan
Beberapa Cerita Pendek Lain (1951) kumpulan cerpen Si Rangka dan
Beberapa Cerita Pendek Lain (1958) dan terjemahan Yang Keempat
Puluh Satunya karya Boris Lavrenyov (1958).
4. S. Rukiah, dilahirkan di Purwakarta, Jawa Barat 25 April 1927,
berpendidikan sekolah guru dan pernah menjadi guru di Purwakarta

10
sekretaris Pujangga baru (setelah masa pendudukan Jepang), dan
anggota Pimpinan Pusat Lekra (1959- 1965). Karyanya kumpulan sajak
Tandus (1952) novel Kejatuhan dan Hati (1950) dan sejumlah cerita
anak.
5. Sobron Aidit, kelahiran Belitung, 2 Juni 1934, meninggal di Paris 10
Februari 2007, menghasilkan kumpulan sajak Pulang Bertempur (1959)
Derap Revolusi (kumpulan sajak dan novel 1962), kumpulan cerpen
Kisah Intel dan Sebuah Warung (2000) dan kumpulan sajak Ketemu di
Jalan (bersama Ajip Rosidi dan SM Ardan 1956). Hingga tahun 2001
tercatat masih bermukim di Paris.
Kini nasib mereka memang sudah terlupakan karena tulisan mereka pun
sudah sulit dibaca masyarakat umum setelah penerbitan kalang lekra
dinyatakan terlarang pada akhir tahun 1965 akibat tragedi politik 30
September 1965.
Penelitian mengenai kepengarangan misalnya tidak mustahil membuka
wawasan baru yang mampu menjawab sejumlah pertanyaan esensial seperti
apakah mereka meyakini realisme sosialis di dengan sebenar-benarnya,
apakah mereka telah menjadi komunis apakah mereka berada di lingkungan
negara dengan penuh kesadaran dan sebagainya. Jawaban singkat barangkali
adalah gagalnya sebuah ideologi yang diyakini sebagai satu-satunya
kebenaran sepihak. Dengan kata lain jangan sampai generasi kemudian
terjebak pada sebuah ideologi yang dianggap paling benar dan fanatisme
yang berlebihan.
Keberpihakan itu merupakan salah satu pilihan yang mendesak agar dapat
bertahan terhadap serangan lekra. Situasi politik pada waktu itu menyulitkan
orang untuk bersikap independen atau non participant. Namun masih banyak
pengarang dan cendekiawan yang bertahan indenpenden melalui majalah
bulanan Kisah sebagai penerbitan sastra yang mengutamakan cerita pendek.

C. Majalah Kisah
Majalah Kisah menjadi penting dalam sejarah sastra Indonesia karena
merupakan majalah sasta yang pertama kali mengutamakan cerita
pendek(cerpen). Dewan redaksinya adalah Sudjati S., H.B. Jassip, M. Balfas,
I drus dan D.S. Moeljanto. Majalah itu dapat bertahan hampir lima tahun,
mulai Juli 1953 hingga Maret 1957 dan berhasil menjadi tolok ukur
kepengarangan seseorang.
Semangatnya adalah memberikan bacaan yang baik kepada masyarakat
sehingga pengarang pun terdorong untuk menciptakan karangan-karangan
yang bermutu dengan penuh tanggung jawab. Kalaupun majalah itu hanya
dapat bertahan Iima tahun, penyebab nya antara lain menjamumya bacaan
hiburan yang cenderung cabul dengan akibat Kisah tidak dapat bersaing
secara komersial. Akan tetapi, dalam usia yang relatif singkat itu Kisah telah
melahirkan sejumlah pengarang, seperi Nugroho Notosusanto, AA. Navis
Triyonuwono, Soekanto S.A.,S.M.Ardan, Subagio Sastrowardoyo, Ajip

11
Rosidi, Toha Mohta, Nh Dini, Iwan Simatupang, Motinggu Busye, Kirdjo,
Bokor Hutasuhut, dan Rendra.
Tidak lama kemudian terbit juga majalah Prosa (1955), Seni (1955),
Budaya (1953-1963), Konfrontasi (1954-1962), dan Kompas (1951-1955).
Semua itu merupakan ajang kreativitas para pengarang yang terus
bermuculan. Diatara mereka terbukti menjadi pemgarang-pengarang
terkemuka pada belasan tahun kemudiaan. Seperti A.A. Navis, Ajip Rosidi,
Iwan Simatupang, Motinggo Busye, Nh. Dini, Sitor Situmorang, Subagio
Sastrowardoyo,dan Rendra.
1. A.A Navis dilahirkan di Padang panjang 17 November meninggal 22
Maret 2003. Dia berpendidikan INS Kayutanam (1945), pernah menjadi
Kepala Jawatan Kebudayaan Provinsi Sumatra Barat di Bukit tinggi
(1955-1957), pimpinan redaksi harian Semangat di Padang (1971-1972),
anggota DPRD Sumatra Barat mewakili Golongan Karya (1971-1982),
dan Ketua Yayasan Ruang Pendidikan INS Kayu tanam. Dia mewariskan
sejumlah novel dan kumpulan cerpen. Yang terkenal adalah kumpulan
cerpen Robohnya Surau Kami (1956) dan novel Kemarau (1967).
Kepengarangannya telah dibahas Ivan Adilla dalam A.A. Navis: Karya
dan Dunianya (2003).
2. Ajip Rosid dilahirkan di Jatiwangi, Cirebon 31 Januari 1938,
berpendidikan SMA dan Taman Madya Taman Siswa bagian Budaya di
Jakarta. Secara resmi dia tidak tamat di sekolah itu karena sengaja tidak
menempuh ujian akhir dengan alasan ingin membuktikan prestasi bukan
berdasarkan selembar ijazah. Nyatanya dengan otodidak, Ajip berhasil
menjadi pengarang dan terlibat banyak kegiatan budaya.
Menurut Kratz (1988:66) Ajip adalah pengarang paling produktif
hingga tahun 1988 dengan menghasilan 326 judul karya sastra yang
tersebar dalam 22 majalah. Kegiatan dan kariernya terus berkembang
hingga usia lanjut, antara lain pernah menjadi Ketua Paguyuban
Pengarang Sastra Sunda (1966-1975), Direktur Penerbit Tjupumanik
(1964-1970), Direktur Penerbit Duta Rakyat (1965-1968), dosen luar
biasa Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Bandung (1967-1970),
Direktur Penerbit Dunia Pustaka Jaya (1971-1981), Ketua Dewan
Kesenian Jakarta (1973-1981), hingga tahun 2003 menjadi guru besar
tamu di Universitas Osaka, Jepang.
Sejak tahun 2003 Ajip Rosidi tinggal di desa Pabelan, Kabupaten
Magelang, Jawa Tengah dengan mengaku sebagai petani sambil tetap
melaksanakan kegiatan Yayasan Rancage yang didirikannya sendiri
untuk kepentingan sastra Sunda, Jawa, dan Bali. Di antara ratusan
karyanya, terdapat beberapa yang terkenal: kumpulan cerpen Di Tengah
Keluarga(1956), kumpulan cerpen Pertemuan Kembali (1961), kumpulan
sajak Cari Muatan (1959), kumpulan sajak Ular dan Kabut (1973), novel
Anak Tanah Air (1979), Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1969), dan
antologi Laut Biru Langit Biru (1977).

12
3. Iwan Simatupang dilahirkan di Sibolga, Sumatra Utara, 18 Januari 1928
dan meninggal di Jakarta, 4 Agustus 1970, berpendidikan HBS Medan,
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga di Surabaya (1953, tidak
tamat), antropologi di Univeritas Leiden, drama di Amsterdam, dan
filsafat di Universitas Sarbonne Paris. Iwan Simatupang pernah menjadi
guru SMA di Surabaya (1950-1953), redaktur Siasat (1954-1959),
redaktur Gajah Mada (1956-1959), redaktur harian Gotong Royong
(1966-1967), dan redaktur harian Warta Harian (1967-1970). Dia dikenal
sebagai pembaru novel Indonesia berkat karyanya Merahnya Merah
(1968), Ziarah (1969), dan Kering (1972). Kepengarangannya pernah
dibahas Dami N.Toda dalam Novel Baru Iwan Simatupang (1980), Faruk
H.T. dalam skripsi Merahnya Merah Iwan Simatupang (1981), V.M.
Nilasati Hadisantora dalam skripsi Absurdity and Revolt in Albert
Camus's The Stranger and Iwan Simatupang's Ziarah (1982), J. Prapta
Diharja dalam skripsi Gaya Iwan Simarupang dalam Ziarah (1985);
Okke K.S. Zaimar dalam disertasi Menelusuri Makna Ziarah Karya Iwan
Simatupang (1980), dan Kurnia J.R. dalam Inspirasi? Nonsens! Novel-
novel Iwan Simarupang (1998). Esai-esai Iwan telah dihimpun oleh
Oyon Sofyan dan Frans M. Parera dalam Kebebasan Pengarang dan
Masalah Tanah Air: Esai-Esai Iwan Simatupang (2004).
4. Motinggo Busya di Lampung,21 November, meninggal di Jakarta, 18
Juni 1999, mula-mula dikenal dengan drama Malam Jahanam (1958)
kemudian belasan novel hingga menjelang akhir hayatya antara lain
Tidak Menyerah (1962), Bibi Marsiti (1963), Hari Ini Tidak Ada Cinta
(1963), Perempuan Itu berama Barabah (1963).
5. Nh. Dini yang lengkapnya Nurhajati Srihardini dilahir Semarang, 29
Februari 1936, berpendidikan SMA Bagian sastra tahun 1956, kemudian
Kursus Pramugari Darat GIA Jakarta (1956), dan Kursus B-1 Sejarah
(1957).
Pernah bekerja di GIA Kemayoran, kemudian menikah dengan
diplomat Perancis Yves Coffin yang membawa Dini berpindah-pindah
tempat: Jepang, Kamboja, Filipina, Amerika Serikat, dan Prancis.
Setelah bercerai tahun 1980, Nh. Dini kembali ke Semarang, tahun 2002
pindah ke Yogyakarta, dan sejak 2006 menetap di Ungaran sekitar 30
kilometer di selatan Semarang.
Karyanya yang populer pad tahun 1960-an adalah kumpulan cerpen
Dua Dunia (1956) dan Novel Hati yang Damai (1956). Pada tahun 1973
namanya melejit dengan roman Pada Sebuah Kapal dan berlanjut dengan
roman La Barka (1975), Keberangkata (1977), Jalan Bandungan (1989),
serial Kenangan Jepun Negerinya Hiroko (2000), dan La Grande Borne
(2007). Kepengarangannya Pernah ditelaah Th. Sri Rahayu Prihatni
dalam Nh. Dini: Karya dan Dunianya (1999).
6. Sitor Sitomorang dilahirkan di Harianboho, Tapanuli Utara, 2 Oktober
1924, berpendidikan HIS Balige dan Sibolga, MULO Tarutung, AMS

13
Jakarta, dan pernah studi sinematografi di Uni-versitas California
Amerika Serikat (1956-1957). Ia pernah Bermukim di Amsterdam
(1950-1951), Paris (1952-1954), dan Islamabad Pakistan. Pernah menjadi
redaktur harian Suara Nasional di Tarutung (1945-1946), Waspada di
Medan (1947), Berita Nasional di Jakarta, menjadi pegawai Jawatan
Kebudayaan Departeman P & K, dosen Akademi Teater Nasional
Indonesia Jakarta, anggota MPRS, dan lain-lain. Karyanya yang penting
antara lain kumpulan cerpen Perempuan dan Salju di Paris (1956),
kumpulan sajak Surat Kertas Hijau (1957), Kumpulan sajak Dinding
Waktu (1976), kumpulan sajak Peta Perjalanan (1977), dan otobiografi
Sitor Sirumorang Seorang Sastrawan 45 Penyair Danau Toba (1982).
Kepengarangannya telah dibahas J.U. Nasution dalam Sitor Situmorang
sebagai Penyair dan Pengarang Cerira Pendek (1963). Subagio
Sastrowardoyo dalam Sosok Pribadi dalam Sajak (1980), Wing Kardjo
bahkan menuiis disertasi tentang Sitor di Pari (1981).
7. Subagio Sastrowardoyo dilahirkan di Madiun, 1 Februari 1924 dan
meninggal di Jakarta 18 Juli 1995, berpendidikan HIS Bandung dan
Jakarta, HBS, SMP, SMA di Yogyakarta, Fakultas Sastra UGM (1958),
dan Universitas Yale Amerika Serikat (1963). Pernah menjadi dosen
Fakultas Sastra UGM (1958-1961), Seskoad Bandung (1966-1971),
Salisbury Teachers College Australia Selatan (1971-1974), Universitas
Flinders, Australia Selatan (1974-1981), dan anggota Dewan Kesenian
Jakarta (1982-1984). Karyanya: kumpulan sajak Simphoni (1957),
kumpulan cerpen Kejantanan di Sumbing (1965), antologi esai Bakat
Alam dan Intelektualisine (1972), dan antalogi kritik Sosok Prihadi
dalam Sajak (1980). Dia menerima Anugerah Seni dari Pemerintah RI
untuk kumpulan sajak Daerah Perbatasan (1970), dan tahun 1991
menerima Hadiah Sastra Asean.
8. W.S. Rendra di lahirkan di Solo, 7 November 1935, berpendidikan
Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (tidak tamat), American
Academy of Dramatical Arts (1964-1967), dan selanjutnya dikenal
sebagai penyair, dramawan, dan budayawan yang tak kenal lelah di
berbagai kegiatan. Karyanya yang penting-penting tercatat sepuluh buku
kumpulan puisi, delapan lakon drama, sebuah kumpulan cerpen, empat
buku kumpulan esai, dan dua puluh produksi teater. Rendra telah
menerima sepuluh hadiah penghargaan dari tahun 1954 hingga 1997.
Beberapa karyanya yang populer antara lain drama Orang-Orang di
Tikungan Jalan (1954), kumpulan sajak Baliada Orang-Orang Tercinta
(1956), Empat Kumpulan Sajak (1961), Blues untuk Bonnie (1971),
Potret Pembangunan dalam Puisi (1980), kumpulan esai
Mempertimbangkan Tradisi (1983), dan drama Panembahan Reso
(1988). Kepenyairan dan karya-karyanya telah dibahas oleh Bakdi
Soemanto dalam Rendra: Karya dan Dunianya (2003).

14
Tentu saja data singkat seperti itu masih dapat di perpanjang dengan
sejumlah nama yang telah tercatat sejumlah sumber tetapi, hal itu lebih tepat
dikembangkan dan di perdalam para pembaca (peneliti, kritikas) yang
meminati masalah pergolakan budaya pada tahun 1960-an. Apa pun yang
telah terjadi pada masa itu akan tampak baru apabila dikaji kembali dalam
perspektif sejarah, tidak terkecuali masalah Manifes Kebudayaan.

D. Manifest Kebudayaan
Berbeda dengan Lekra, Manifes Kebudayaan bukanlah sebuah
organisasi kebudayaan melainkan sebuah konsep atau pemikiran di bidang
kebudayaan seperti Surat Kepercayaan Gelanggang, Kemunculannya tidak
terkait dengan partai politik atau ideologi tertentu, tetapi merupakan reaksi
terhadap teror budaya yang pada waktu itu dilancarkan oleh orang-orang
Lekra.
Prosesnya terkait dengan perkembangan politik yang berawal dari
munculnya Konsepsi Presiden pada 21 Februari 1957 yang intinya menolak
demokrasi liberal dan menggantinya dengan demokrasi terpimpin,
membentuk kabinet gotong royong, dan membentuk Dewan Nasional sebagai
lembaga penasihat. Pada tanggal 4 Maret 1957 dirumuskan dukungan
seniman terhadap Konsepsi Presiden dan pada 6 Maret 1957 sekitar 40 orang
seniman Jakarta menghadap Presiden Soekarno untuk menyatakan dukungan
itu. Dalam rombongan tersebut tercatat Ajip Rosidi, Gayus Siagian, Utuy T.
Sontani, Dodong Djiwapradja, M.R. Dayoh sedangkan pimpinannya adalah
Henk Ngantung, Pramoedya Ananta Toer dan Kotor Sukardi.
Pada 5 Juli 1959 diumumkan Dekrit Presiden yang menegaskan
pembubaran Konstitutante dan kembali ke UUD 1945, kemudian
berkembang menjadi Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol) dengan
Ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960 yang menetapkan Manipol sebagai Garis
Besar Haluan Negara dengan lima masalah pokok, yaitu UUD 1945,
sosialisme Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin, dan
kepribadian Indonesia yang kemudian populer dengan singkatan Manipol-
Usdek. situasi politik itu makin menguntungkan Lekra untuk bersikap agresif
terhadap lawan-lawan politiknya dengan polemik yang keras di berbagat
koran dan majalah, terutama melalui penerbitan mereka sendini seperti
Zaman Baru, Biritang Timur, dan Harian Rakyat Polemis yang kemudian
berkembang menjadi teror budaya itu mendorong para seniman budayawan
yang berbeda pandangan dengan Lekra merapatkan barisan dalam majalah
Sastra pimpinan, H.B. Jassin yang mulai terbit pada Mei 1961.
Sejumlah nama baru yang muncul dalam Sastra adalah Goenawan
Mohamad, Arief Budiman (Soe Hok Djin), D. A. Peransi, Boen S. Oemarjati,
M.S Hutagalung Salim Said, Bur Rasuanto, Ras Siregar, Gerson Payk. Aritin
C. Noer, Sapardi Djoko Damone, Wiratmo Soekito, Zaini, Budiman S.
Hartojo,dan lain-lain. Mereka mencoba bertahan pada konsep otonomi seni

15
dalam kehidupan, walaupun harus dengan ancaman dan agresivitas kelompok
Lekra.
Puncak pertahanan konsep itu adalah deklarasi Manifes Kebudayaan
pada 17 Agustus 1963 yang ditandatangani oleh H.B. Jassin, Trisno
Sumardjo, Wiratmo Sockito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad,
A. Bastari Asnin, Bur Rasuanto, Soe Hok Djin, D.S. Moeljanto, Ras Siregar,
Hartojo Andangdjaja, Sjahwil, Djufri Tanissan, Binsar Sitompul, Taufiq A.G.
Ismail, Gerson Poyk, M. Saribi, Poernawan Tjondronegoro, Ekana Siswojo,
Nashar, dan Boen S. Oemarjati (Teeuw, 1980:258). Sementara itu, dalam
Prahara Budaya (1995: 160) tidak tercantumn nama Ekana Siswojo dan
Nashar. Masalah itu dapat dikaji lebih mendalam pada kesempatan sedangkan
dalam buku ini yang diutamakan adalah semangat Manifes Kebudayaan yang
teks lengkapnya terbaca sebagai berikut.

MANIFES KEBUDAYAAN

Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini


mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan, yang menyatakan pendirian, cita-
cita, dan politik Kebudayaan Nasional kami.
Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan
kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan
di atas sektor kebudayaan yang lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk
kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
Dalam melaksanakan Kebuda yaan Nasional kami berusaha mencipta
dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk
mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa
Indonesia di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa. Pancasila adalah falsafah
kebudayaan kami.
Jakarta, 17 Agustus 1963

Dala waktu singkat Manifes Kebudayaan memperoleh sambutan hangat


dan dukungan dani berbagai pihak yang merasa terancam dan terdesak oleh
agresivitas kelompok Lekra. Gambaran itu terbaca dalam Lampiran 12-21
Prahara Budaya(1995), antara lain berupa pernyataan masyarakat kebudayaan
di Palembang (Badan Pembina Teater Nasional Indonesia, Lembaga Seni
Sastra Palembang, Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia, Teater
Muslim Wilayah Palembang, Himpunan Seni Budaya Islam, Ikatan Pencinta
Seni, Himpunan Bekas Pelajar Quraniah, dan Pelajar Islam Indonesia);
pernyataan DPP Ikatan Sarjana Pancasila; 39 orang seniman Yogyakarta
(Rusli, F.X. Soetopo, Dick Hartoko, Amri Jahja, Adjib Hamzah, Andre
Hardjana, Sapardi Djoko Damono, Darmanto Jt. dan lain-lain); sastrawan dan
seniman dan 38 seniman Bandung (Kaboel, A.D. Pirous, Gandjar Sakri.
Sanento Yuliman, Imam Boechori, Souw Tjoan sin, dan Iain-lain) Akan

16
tetapi, di sisi lain justru merupakan alasan yang kuat bagi Lekra untuk
menghancurkan siapa pun yang berseberangan paham. Manifes Kebudayaan
dituduh anti-Manipot dan kontra-revolusioner sehingga harus dihapuskan dari
muka bumi Indonesia. Pernyataan itu antara lain terbaca dalam beberapa
kutipan yang bersumber pada guntingan pers sebagaimana lerjangkau
penyusun Prahara Budaya sebagai berikut.
Seniman dan pekerja kebudayaan yang tergabung dalam oganisasi-
organisasi LKN, Lekra, Lesbumi, OKRA, dan Actor's Studio Medan, telah
mengadakan rapat pada 30 Januari 1964 di balai wartawan Medan untuk
membicarakan apa yang disebut “Manifes kebudayaan”, dan mengganyang
Malaysia. Dalam rapat itu mereka telah menyatakan sikap tegas untuk
mengganyang apa yang disebut “Manifes Kebudayaan” dan mengganyang
Malaysia, karena bukan saja berwatak kontra revolusi, malah Manifes tersebut
berbahaya untuk pertumbuhan kebudayaan revolusiner di tanah air Indonesia
(Prahara Budaya, 1995: 299)
Setelah Majelis Musyawarah Kebudayaan Surabaya (6 organisasi)
menolak tegas-tegas KK-PSI, mingguan Surabaya Djalan Rakjak
Menamakannya “klimaks kebangkrutan politik kaum reaksioner sejak tahun
50-an yang hanya akan meracuni semangat revolusioner kita”, dan maka itu
harus “kita ganyang” (Prahara Budaya, 1995: 308)
Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PERHIMI) dalam pernyataanya telah
menyambut dengan gembira larangan yang dikeluarkan oleh Presiden
Soekarno terhadap apa yang dinamakan Manikebu.
PERHIMI yakin, bahwa sosial kontrol yang telah dijalankan dengan
sukses oleh organisasi-organisasi mahasiswa progresif senantiasa akan
memperoleh penilaian yang positif dari masyarakat. (Prahara Budayu, 1995:
358) Sementara itu, tokoh-tokoh Manifes Kebudayaan menggelar konferensi
Karyawan Pengaraing se-indonesta(KKPI) di Jakarta pada Maret 1964 dan
menghasilkan Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia (PKPI).Namun,
organisasi tersebut tidak sempat berkegiatan, karena pada 8 Met 1964 Manifes
Kebudayaan dilarang oleh presiden Soekarno dapat dibayangkan bahwa
pelarang asal dari tuntutan kelompok Lekra yang secara politis kuat
kedudukannya.
Pelarangan Manifes Kebudayaan membuat para pendukunganya
berantakan dan tertutuplah hampir segala kegiatannya, bahkan tidak sedikit
yang dipecat dari jabatan dinasnya. H.B. Jassin terpaksa mengundurkan diri
dari jabatannya sebagai dosen luar biasa di Fakultas Sastra Universitas
Indonesia. Untunglah H..B Jassin berhasil merintis pengkajian sastra
Indonesia modern yang meng-hasilkan sarjana-sarjana sastra generasi
pertama, seperti Boen S. Oemarjatil M.S. Hutagalung, S. Effendi., Fachruddin
Ambo Enre, J.U. Nasution, dan Bahrun Rangkuti. Dari skripsi merekalah
kemudian terbit buku-buku telaah dan kritik sastra Indonesia atas usaha
penerbit Gunung Agung Jakarta, antara lain sebagai berikut:
1. Hadi Penyair Api Nasionalisme oleh J.U. Nasution (1963),

17
2. Bentuk Lakon dalam Sastra Intonesia oleh Boen S. Omarjati (1967),
3. Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis oleh M.S. Hutagalung (1963),
4. Perkembangan Puisi Indonesia dalam Masa Dua puluhan oleh Fachruddin
Ambo Enre (1963),
5. Pramoedya Ananta Toer dan Karya Seninya oleh B. Rangkuti (1963),
6. Roman Atheis Achdiat K. Mihardja oleh Boen S. Oemarjati (1963),
7. Sanusi Pane oleh Jy. Nasution (1963),
8. Sitor Situmorang sebagai Penyair dan Pengarang Cerita Pendek oleh J.U.
Nasution (1963), dan
9. Dunia Asrul Sani oleh M.S. Hutagalung (1967).
Ternyata keberhasilan itu tidak juga menyurutkan ambisi orang-orang
Lekra untuk menekan siapa pun yang berlawanan atau ber-beda dengan
idiologinya. Keadaan yang menyedihkan itu medorong H.B Jassin, Trisno
Sumardjo, dan Wiratmo Soekito meminta maaf dan mengharapkan petunjuk
Presiden. Namun hal Itu tidak sedikitpun mengubah keadaan bahkan menjadi
semakin buruk. Ada tuntutan kepada pemerintah agar penerbitan yang
menyuarakan Manites Kebudayaan seperti majalah Sastra dan majalah
Indonesia dilarang terbit. Pada kenyataannya tidak lama kemudian, majalah
Sastra berhenti dengan sendirinya karena situasi politik memang tidak
menguntungkan.Di sisi lain making maraklah hujatan dan serangan terhadap
Manifes Kebudayaan yang kelompok Lekra disebut dengan Manikebu, sebuah
akronim yang membikin kecut para pendukungnya.
Pelarangan Manifes Kebudayaan diikuti tindakan politis yang makin
memojokkan orang-orang Manifes Kebudayaan, yaitu pelarangan buku karya
pengarang-pengarang yang berada di barisan Manifes, terlepas apa pun isi dan
kapan penulisannya. Menurut Ajip (1969: 236) pelarangan iu bukan pada
buku, melainkan pada pengarangnya. Sementara itu, maki maraklah sastra
bernafaskan realisme sosialis dari sejumiah pengarang Lekra, seperti Rivai
Apin, H.R Bandaharo, Pramoedya Ananta Toer, A.S. Dharta, Bakri Siregar.
Utuy Tatang Sontani, S. Anantaguna, Zubir A.A., Kusni Sulang Bachtiar
Siagian, Agam Wispi, dan Sobron Aidit.
Rivai Apin, Utuy Tatang Sontani, Bakri Siregar, dan Pramooedya sudah
dikenal sebagai pengarang di awal revolusi, sedangkan yang lain boleh
dikatakan baru muncul setelah berdirinya Lekra. Hal itu merupakan
keberhasilan Lekra yang memang dengan agresif menjaring seniman
budayawan untuk berpihak kepadanya. Akan tetapi, hal itu tidak menyurutkan
semangat para pengarang non-lekra untuk bertahan dengan segala
kesulitannya. Beberapa nama yang penting adalah Asrul Sani, A.A. Navis,
Ajip Rosidi, Bur Rasuanto, Djamil Suherman, Gerson Poyk, Kirjomulyo, M.
Saribi Afn, Mansur Samin, Motinggo Busye, Nh. Dini, Nasjah Djamin,
Ramadhan K.H. Trisnoyuwono, Trisno Sumardjo, Taufiq Ismail, W.S.
Rendra, dan lain-lain.
Adapun sejumlah buku yang terkenal pada masa itu tercatat:
1. Ballada Orang-Orang Tercinta (kumpulan sajak W.S. Rendra),

18
2. Di Tengah Keluarga (kumpulan cerpen Ajip Rosidi),
3. Domba-Domba Revolusi (drama B. Soelarto),
4. Dua Dunia (kumpulan cerpen Nh. Dini),
5. Hati yang Damai (novelet Nh. Dini),
6. Hujan Kepagian (kumpulan cerpen Nugroho Notosusanto),
7. la Sudah Bertualang (kumpular cerpen Rendra),
8. Iblis (drama Mohammad Diponegoro),
9. Kejantanan di Sumbing (kumpulan cerpen Subagio Sastrowardoyo),
10. Mereka Akan Bangkit (kumpulan cerpen Bur Rasuanto).
11. Orang Buangan (roman Hariyadi S. Hartowardoyo),
12. Pagar Kawat Berduri (roman Trisnoyuwono),
13. Perjalanan ke Akherat (novelet Djamil Suherman),
14. Perjuangan dan Hati Perempuan (kumpulan cerpen Titie Said),
15. Priangan si Jelira (kumpulan sajak, Ramadhan KH.),
16. Pulang (novel Toha Mohtar),
17. Robohnya Surau Kami (kumpulan cerpen A.A. Navis),
18. Royan Revolusi (roman, Ramadhan K.H),
19. Tidak Menyerah (novel Motinggo Busye), dan
20. Umi Kalsum (kumpulan cerpen Djamil Suherman).
Hal itu membuktikan semangat kepengarangan atau kesenimanan tidak
selalu berkaitan dengan fasilitas atau situasi yang baik saja. Titik balik terjadi
setelah meletus peristiwa tragedi 30 September 1965 yang kemudian populer
dengan sebutan Gerakan 30 September. Sulit dipahami masyarakat luas
bagaimana dapat terjadi pembunuhan keji atas jenderal-jenderal TNI yang
merupakan tokoh-tokoh pimpinan nasional. Untunglah dalam tempo singkat
misterinya dapat diketahui sebagai usaha kudeta PKI dan dalam waktu singkat
juga dapat dituntas oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan seluruh
kekuatan nonkomunis. Keadaan menjadi berbalik karena seluruh kekuatan
komunis berantakan dan muncullah kekuatan baru di bawah pimpinan Letnan
Jenderal Soeharto yang kemudian diangkat oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara (MPRS) untuk menjadi Presiden Republik Indonesia pada
tahun 1967.
Perubahan sosial politik yang berkembang setelah tragedi September 1965
dapat dibaca atau dirunut pada berbagai buku sejarah, sosiologi, dan biografi.
Perubahan politik yang drastis adalah pelarangan PKI dan segenap organisasi
pendukungnya, kemudian terjadilah penangkapan dan penahanan orang-orang
PKI, sehingga dalam tempo sekejap hancurlah slogan progresif revolusioner
itu. Ternyata mereka tidak sehebat dan segarang di panggung politik dan
polemik. Mereka harus menerima kenyataan pahit sebagai orang-orang tercela
yang dianggap berkhianat terhadap Bangsa dan Negara. Tidak lama
kemudian, buku-buku mereka pun dinyatakan terlarang.
Dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Ajip, 1969: 236-238) tercatat 60
judul buku yang dilarang atau dibekukan, termasuk karya Pramoedya Ananta
Toer di awal kemerdekaan atau sebelum menjadi tokoh Lekra, yaitu

19
Perburuan, Subuh, Percikan Revolusi, Keluarga Gerilya, Mereka yang
Dilumpuhkan, dan Bukan Pasar Malam. Pelarangan buku itu dapat saja
diperdebatkan panjang lebar oleh generasi sekarang, tetapi pada wakiu itu
merupakan langkah yang strategis bagi pemerintah yang harus bertindak
tegas.
Terlepas dari dampak yang timbul di bidang ilmu sastra, pelarangan buku-
buku pengarang Lekra harus dipahami secara kontekstual. Yang jelas tragedi
politik September 1965 telah mengakhiri masa slogan "politik adalah
panglima" dan realisme sosialis. Perkembangan selanjutnya baru tampak
beberapa bulan kemudian sejalan dengan perubahan situasi keamanan, politik,
dan sosial bagi pembaca yang pada sekitar September-Oktober 1965 sudah
terbilang dewasa dan telah menyadari kejadian politik dan sosial yang penuh
ketegangan itu boleh jadi tragedi September 1965 merupakan pengalaman
kehidupan yang mencekam.
Bagi pembaca generasi kemudian barangkali tragedi tersebut hanya
terkesan sebagai kisah fiksi yang sensasional. Yang jelas, pada saat itu
tampaklah mereka yang merasa terkait dengan PKI dan organisasi sosialnya
mendadak kehilangan semangat hidup dan kocar-kacir walaupun
berkemungkinan tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di Jakarta,
sedangkan di pihak lain meluap dendam kesumat masyarakat yang merasa
tertekan dan terpojok semasa jayanya PKI. Dapatlah dibayangkan betapa sulit
nemandang kejadian itu secara dikotomis dengan semata-mata memilah mana
yang hitam mana yang putih, atau manakah yang sepenuhnya benar dan mana
pula yang salah total. Kelak masalah itu dapat dibaca dalam sejumlah cerpen
dan novel yang sebagian terbit pada Horison tahun 1970-an.
Terhadap keadaan yang penuh gejolak itu Teeuw (1980: 259) menyatakan
bahwa pada mulanya persoalan-persoalan kebudayaan tidak merupakan
persoalan penting dalam peristiwa-peristiwa bulan Oktober 1965 itu.
Persoalan itu timbul beberapa waktu sesudah berlakunya peristiwa bulan
Oktober itu, atau lebih tepat sebelum disadari bahwa keadaannya sudah mulai
masak untuk menimbulkan persoalan-persoalan kebudayaan.
2. 2 Angkatan Sastra `45
Menilik masanya, angkatan 45 tidak terlepas dari masa penjajahan Jepang
di Indonesia yan dimulai pada tahun 1942. Sastra pada masa ini lebih dikenal
dengan nama angkatan masa Jepang yang masa berlakunya pada tahun 1942-
1945. Pada masa itu, penggunaan bahasa Indonesia mengalami perkembangan
pesat karena bahasa Belanda tidak boleh lagi digunakan. Demikian juga karya
sastra Indonesia pada bercuatan. Para sastrawan yang awalnya bersimpati
terhadap Jepang yang awalnya terlihat baik akan lama – lama berubah
membenci Jepang itu karena ternyata mereka pun tidak kalah kejamnya
dengan penajajah terdahulu.
Kebencian mereka itu pun tereskpresi ke dalam karya sastra. Namun
karena sensor Jepang melalui kantor pusat kebudayaanya Keimin Bunka
Shidosho yang kelewat ketat, banyak pengarang Indonesia yang terpaksa

20
menyimpan dulu karangan-karangannya, atau menulis dengan menggunakan
lambang-lambang. Dari sana, lahirlah cerita-cerita simbolik. Kenyataan pahit
yang pertama-tama dijumpai oleh para pengarang ialah tangan sensor Jepang.
Meskipun demikian tidak banyak pengarang yang bersedia mengarang yang
bersedia mengarang dalam nada propaganda yang dituntut pada zaman itu,
dan pengolahan dan pertumbuhan dalam bentuk jiwa baru dalam kesusastraan
terus berlangsung.
Pada hakikatnya, kehidupan sastra di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
kehidupan seni pada umumnya. Khususnya pada angkatan ’45 dan
sesudahnya, kita melihat bahwa para penulis juga mencari komunikasi dengan
publiknya melalui media lain. Sebagai halnya dalam bidang politik, dalam
bidang kesusastraan dikenal juga Anngkatan ’45, walaupun ciri-ciri yang
menandai angkatan ini tidak jelas dan pengarang yang dianggap termsauk di
dalamny tidak pernah menyebut dirinya demikian.
Penamaan angkatan ’45 dikaitkan dengan perjuangan revolusi fisik karena
disadari eratnya hubungan antara sastra dengan nilai-nilai patriotisme. Sastra
angkatan ini berderap seirama dengan lika-derunya perjuangan merebut
kemerdekaan, mempertahankan dan melestarikannya.
Melihat situasinya yang penuh gerak cepat, karya sastra masa itu pun
mengekspresikan revolusi tersebut. Ketika itu, tidak lagi ditemukan
penggunaan kata-kata yang serba muluk mendayu-dayu, serta cita-cita yang
direnda dalam imajinasi yang indah melambung rasa. Ridak demikian,
revolusi berbahasa pun ikut berbicara. Kata-kata dimanfaatkan seefektif
mungkin, singkat, padat, tepat, bernas, jelas, mementingkan isi, berangkat dari
realitas, meskipun tidak meninggalkan nilai-nilai sublim dan estetika.
Nama angkatan 45 pertama kali diorbitkan oleh Rasihan Anwar dalam
majalah Siasat pada tahun 1948. Angkatan 45 dikenal pula dengan istilah
Angkatan Sesudah Perang, Angkatan Chairil Anwar, Generasi Gelanggang,
dan lain-lain. Semua istilah itu tentu saja dibentuk dengan landasan tertentu, ia
disebut Angkatan Sesudah Perang karena ketika itu kita sudah merdeka (ad
juga dikenal sebutan Angkatan Kemerdekaan), penyebutan Angkatan Chairil
Anwar karena Chairil Anwar tokoh terdepan pada masa itu, sedang
penyebutan “Generasi Gelanggang” berangkat dari adanya “Gelanggang
Seniman Merdeka” yang didalamnya berkumpul para pengarang, penyair,
wartawan, pelukis. Konsep kesenimanan mereka yang mengacu humanisme
universal, tertuang dalam suatu deklarasi yang terkenal dengan nama “Surat
Kepercayaan Gelanggang”. Surat ini pertama kali diumumkan dalam rumah
kebudayaan majalah Siasat, 23 Oktober 1950.
SURAT KEPERCAYAAN GELANGGANG adalah suatu deklarasi yang
berisi konsep pemikiran para seniman yang tergabung dalam Gelanggang
Seniman Merdeka, yang pokok-pokok isinya adalah :
1. Pertanyaan sebagai ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia, serta
tekad meneruskan kebudayaan mereka dengan cara mereka sendiri;

21
2. Pengakuan bahwa mereka lahir dari kalangan orang banyak, dan rakyat
adalah kumpulan campur-baur yang sanggup melahirkan dunia baru yang
sehat;
3. Pengakuan bahwa keindonesiaan mereka tidak semata ditandai oleh ciri-
ciri fisik, tetapi lebih karya cipta dan ekspresi hati dan pemikiran mereka;
4. Kebudayaan Indonesia bagi mereka bukanlah hasil melaplap kebudayaan
lama sampai berkilat. Mereka bertekad mewujudkan suatu penghidupan
kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia dibentuk oleh
berbagai rangsang suara dan diilhami suara-suara dari segala penjuru
dunia dan diekspresikan dalam suara sendiri;
5. Revolusi bagi mereka ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai
lama yang harus dhancurkan. Mereka menganggap revolusi ditanah air
ini belum selesai;
6. Mereka menyadari keterbatasan dalam orisinalitas penciptaan. Tetapi,
mereka tetap ingin tampil secara khas dan mempertinggi harkat
kemanusiaan;
7. Penghargaan mereka terhadap masyarakat selaras dengan penghargaan
mereka yang menyadari kesalingpengaruhan antaran masyarakat dan
seniman.
Di samping pengarang dan penyair yang telah disebutkan, masih ada
seseorang yang bukan sastrawan, perananya dalam bidang sastra, sangat
penting. Dialah H.B. Jassin, sang kritikus sastra Indonesia yang tampil
pertama kali dalam sejarah kritik sastra Indonesia dan menjadi tokoh
berwibawa dalam sastra Indonesia. Pengarang Gayus Siagian menyebut H.B.
Jassin sebagai “Paus Sastra Indonesia”.
Dr. H.B. Jassin sudah berkarya sejak Chairi mulai menulis sanjak
Sampai akhir hayatnya ia masih menjadi redaktur majalah sastra Horison
dan dosen FSUI.
A. Sastrawan – sastrawati Angkatan ’45:
1. Chairil Anwar, dilahirkan di Medan, 26 juli 1922, meninggal di
Jakarta, 28 April 1949. Penyair legendaris ini dikenal dengan
antologi puisinya Deru Campur Debu, Kerikil Tajam, dan Yang
Terempas dan Yang Putus. Dalam kumpulan-kumpulan tersebut bisa
kita baca sanjak-sanjak yang menjadi hafalan anak-anak sekolah
berjudul: Aku, Dipenogoro, Cintaku Jauh di Pulau, Senja di
Pelabuhan Kecil, Catatan 1946, Doa, Kepada Kawan, 1943, Cerita
buat Dien Tamaela, Krawang – Bekas, Isa, dan lain-lain.
2. Idrus, dilahirkan di Padang, 21 September 1921, meninggal di
Padang juga, pada tanggal 10 Mei 1979. Ia tersohor dengan
kumpulan cerpennya dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (1948),
novelet Aki (1949), cerpen Kisah Sebuah Celana Pendek, serta
drama: Kejahatan Membalas Dendam, (1945), Jibaku Aceh (1945),
Dokter Bisma (1945), Keluarga Surono (1948).

22
3. Asrul Sani, dilahirkan di Rao, Sumatera Barat, 10 Januari 1926,
meninggal di Jakarta, tahun 2004. Di awal kiprah kesastrawananya,
ia hadir dengan cerpen-cerpennya Beri Aku Rumah, Bola Lampu,
Sahabat Saya Cordiaz, Musium, serta sanjak-sanjak Surat dari Ibu,
Pengakuan, Orang dalam Perahu, Elang Laut. Sebuah kumpulan
puisi berjudul Tiga Menguak Takdir ditulisnya bersama Chairil
Anwar dan Rivai Apin.
4. Roshian Anwar, dilahirkan di Kubang Nan Dua, Sumatera Barat, 10
Mei 1922. Sastrawan yang sekaligus jurnalis ini pernah menjadi
wartawan Asia Raya, Merdeka, Siasat, pendiri harian Pedoman,
koresponden Hindustan Time (New Delhi), World Forum Features
(London), The Age (Melbourne), Straits Time (Singapura). Karya-
karyanya: cerpen Radio Masyarakat; Raja Kecil Bajak Laut di Selat
Malaka. (novel, 1967); Kisah-kisah Revolusi (1977), Bahasa
Jurnalistik (1974); Profil Wartawan Indonesia (1977), dan lain-
lainya.
5. H.B. Jassin, dilahirkan di Gorontalo, Sulawesi Utara, 31 Julia 1917,
meninggal di Jakarta, 11 Maret 2000. Figur yang sangat berjasa bagi
pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia, juru bicara,
kritikus, dan maesenas sastra yang kemudian mewakafkan Pusat
Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di taman Ismail Marzuki Jakarta
untuk kejayaan masa depan sastra Indonesia dan studi tentangnya.
Karya-karya H.B. Jassin: studi Tifa Penyair dan Daerahnya (1952),
bunga rampai Gema Tanah Air I dan II (1948), Kesusastraan
Indonesia Masa Jepang (1948), dan lain-lainya.
6. Pramudya Ananta Toer, dilahirkan di Blora, 6 Februari 1925,
meninggal di Jakarta, 29 April 2006, seorang maestro yang berkali-
kali menjadi nominator nobel sastra. Karya – karya Pramudya yang
menandai peran pentingnya sebagai sastawan Angkatan 45 antara
lain: Percika Revolusi (kumpulan novelet dan cerpen,1950), Subuh
(1950), Mereka yang Dilumpuhkan (novel,1951), Dia yang
Menyerah (novel, 1951), Cerita-cerita dari Blora, serta novel Bukan
Pasar malam (1951).
7. Achdiat Kartamihardja, dilahirkan di Garut, Jawa Barat, 6 Maret
1911. Sastrawan cendekiawan yang menekuni tasauf ini
berpendidikan AMS Sastra Timur di Solo. Achdiat tersohor dengan
romannya yang bertajuk Atheis (1949). Achdiat juga menulis drama
kanak-kanak Bentrokan dalam Asrama (1952), dan lain sebagainya.
8. Aoh K. Hadimadja, dilahirkan di Bandung, 15 September 1911,
Meninggal di Jakarta, 17 Maret 1973. Penerima Anugerah Seni RI
1972 yang pernah aktif di BBC London seksi Indonesia dan penerbit
Pustaka Jaya ini menulis sanjak-sanjak religius Pecahan Ratna
(1952), dan Di Bawah Kaki Kebesaran-Mu, Sepi Terasing (novel,

23
1977), Dan Terhamparlah yang Biru Darat yang Kuning (novel,
1975).
9. Trisno Sumardjo, dilahirkan di Surabaya, 6 Desember 1916,
meninggal di Jakarta, 21 April 1969, terkenal sebagai pengarang,
penyair, serta penerjemah spesial karya-karya William Shakespeare.
Ia pernah menjadi redaktur majalah Seniman Indonesia , Seni,
sekretaris Lembaga Kebudayaan Indonesia. Karya-karyanya: Kata
Hati dan Perbuatan (sandiwara alegoris, 1952), Daun Kering (1962),
dan Wajah-wajah yang Berubah (1968)/keduanya kumpulan cerpen.
Dan lain sebagainya.
10. Rusman Sutiasumarta, dilahirkan di Subang, Jawa Barat, 5 Juli
1917, pernah menjadi redaktur majalah Pustaka dan Budaya. Karya-
karyanya: Cerpen Gadis Bekasi, antalogi cerpen Yang Terempas dan
Yang Terkandas (1951), Kurban Romantik (1964), Kalung (1964),
Rasa Terpendam (1964), dan lain-lainnya.
11. MH. Rustandi Kartakusuma, dilahirkan di Ciamis, 21 Juli 1921. Ia
pernah bekerja di KBRI Paris. Rustandi menulis drama bersajak
Prabu dan Putri (1950), Merah Semua Putih Semua (1958); ia juga
menulis kumpulan sanjak Rekaman dari Tujuh Daerah (1951).
12. Suwarsih Djojopuspito, dilahirkan di Bogor, 20 April 1912, pernah
menjadi guru di Perguruan Rakyat, Taman Siswa, dan HIS.
Ditulisnya novel Buiten het Gareel (1940) kemudian diterjemahkan
ke bahasa Indonesia dengan judul Manusia Bebas (1975). Novelnya
yang lain : Arlina (1975), dan Maryati dan kawan-kawannya (1976).
13. Bahrun Rangkuti, dilahirkan di pulau Tagor Galang, Sumatera
Timur, 7 Agustus 1919, meninggal di Jakarta, 13 Agustus 1977.
Sastrawan ini adalah Guru Besar di Universitas Islam Sumatera
Utara tahun 1963 dan IAIN Syarif Hidayatullah tahun 1976. Karya-
karyanya:drama Laila dan Majnun (1949), Sinar Memancar dari
Jabl Ennur (1949); antologi puisi Nafri Khatulistiwa.
Nama angkatan 45 pertama kali diorbitkan oleh Rasihan Anwar
dalam majalah Siasat, pada tahun 1948. Angkatan 45 dikenal pula dengan
istilah Angkatan Sesudah Perang, Angkatan Chairil Anwar, Generasi
Gelanggang.

2. 3 Angkatan Sastra `50


A. Generasi Kisah
Penyebutan “Generasi Kisah” bertolak belakang dari kondisi
menyuburnya penciptaan cerita pendek, dan pada waktu itu, majalah yang
khusus/memberi peluang sangat luas memuat cerita pendek ialah majalah
Kisah di bawah pimpinan H.B. Jassin. Nama sastrawan yang cemerlang pada
masa ini ialah Ajip Rosidi tokoh potensial sangat produktif. Ajip sendiri ketika
itu menyebut angkatannya dengan istilah “Angkatan Sastra Terbaru”.

24
Berbeda dengan angkatan sebelum dan sesudahnya, Generasi Kisah ini
muncul dalam sejarah sastra tanpa mengibarkan bendera revolusi sastra
tertentu dan lebih merupakan potret zaman dari sebuah republik yang baru,
yang penuh kecamuk dan pergolakan. Nama-nama baru banyak sekali
dijumpaidalam masa ini. Mereka umumnya terus mencipta, melaju terus
hingga 15 tahun atau lebih dari puncak kreativitas mereka di awal-awal tahun
50.
Sejalan dengan perkembangan kehidupan masyarakat dan politik di
Indonesia, pengarang angaktan 45 menyadari gagasan yang mula-mula
seakan-akan mepersatukan mereka. Ada yang terperangkap dalam ideologi
komunis; ada pula yang lalu menghilang dari dunia kesusastraan dan sebagian
lagi mempunyai minat lain disamping pekerjaan sebagai pengarang.
Angkatan ini diawali oleh tokoh-tokoh yang tidak pernah pengalami
Revolusi 45 dengan segala masalahnya dan karena keadaan politik tidak
banyak tahu tentang sastra dunia. Segi positif dari angktan ini adalah bahwa
mereka kembali mencari akar-akar dalam kebudayaan sendiri dan dalam
perkembangan selanjutnya mengusahakan suatu sintesis dengan nilai-nilai
universal.
Pada tahun 1950 didirikan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) sebagai
suatu organisasi kebudayaan dibawah naungan PKI. Mula-mula kegiatannya
sebagai penyambung lidah partai tidak terlalu menyolok, tetapi setelah Januari
1959, yaitu waktu kongres nasional Lekra yang pertama: organisasi ini
menjadi lebih agresif terhadap seniman yang berbeda haluan yang satu demi
satu disingkirkan dan kegiatan kesastraan.
Tekanan Lekra terhadap kebebasan kehidupan kesusastraan setelah 1959
menjadi semakin keras, sampai akhirnya menimbulkan reaksi dalam bentuk
pernyataan bersama pengarang nonlekra yang disebut Manifest Kebudayaan
yang dimuat dalam surat kabar Berita Republik tanggal 19 Maret 1963 dan
majalah Sastra jilid 3 edisi 9 dan 10.
Penandatangan Manifest Kebudayaan menekankan penciptaan seni
sebagai suatu tujuan yang mulia, tidak harus bersendikan ideologi tertentu.
Dua belas penulis yang menandatangani Manifest Kebudayaan ialah Wiratmo
Sukito, H.B. Jassin, Trisno Sumarjo, Zaini, Bokor Hutasuhut, Gunawan
mohamad, Bur Rasuanto, Soe Hok Jin, D.S. Mulyanto, Ras Siregar, Jufri
Tanisan, dan A. Bastari Asnin. Ternyata Manifest Kebudayaan mendapat
sambutan yang sangat baik dari organisasi-organisasi kebudayaan di luar
Lekra.
A. Sastrawan-sastrwati Genarasi Kisah/Dekade 50-An.
Dibawah ini dideretkan beberapa nama aktivis Generasi Kisah berikut
karya mereka :
1. Ayip Rosidi, lahir pada tanggal 31 Januari 1938 di Jatiwangi,
Cirebon. Ditulisnya kumpulan sanjak Pesta (1956), Cari Muatan
(1959), Surat Cinta Enday Rasidin (1960), dan masih banyak
lagi. Pasca G30S/PKI, Ayip Rosidi antara lain menulis: Ular dan

25
Kabut (kumpulan puisi, 1973); Sanjak-sanjak Anak Mata Hari
(kumpulan puisi, 1979), Anak Tanah Air (roman, 1979).
2. Muctar Lubis, lahir pada tanggal 7 Maret 1922 di Padang, dan
meninggal di Jakarta, 2 Juli 2004, menulis novel terkenal
berjudul Jalan Tak Ada Ujung (1952). Juga ditulisnya novel Tak
Ada Esok (1951), Senja di Jakarta (1970), kumpulan cerpen Si
Jamal dan Cerita-cerita Lain (1951) dan Perempuan (1956).
Diatas tahun 60-an, darinya juga bisa kita baca roman Tanah
Gersang (1966), Harimau! Harimau! (1975), Maut dan Cinta
(1977), dan masih ada lagi yang lainnya.
3. Toto Sudarto Bachtiar, dilahirkan pada tanggal 12 Oktober 1929
di Cirebon. Penyair ini menulis kumpulan sanjak Suara (1956),
Etsa (1958). Didalam kedua buku tersebut bisa kita jumpai sanjak
Pahlawan Tak Dikenal, Ibukota Senja, Gadis Peminta-minta,
Tentang Kemedekaan, dan lain-lain. Toto Sudarto juga
menerjemahkan karya Leo Tolstoy berjudul Hati yang Bahagia;
drama Sanyasi (karya Tagore,1979), dan lainnya.
4. Toha Muchtar, dilahirkan pada tanggal 17 September 1926 di
Kediri, meninggal di Jakarta, 19 Mei 1992. Novelis yang juga
pelukis ini adalah pemenang lomba menulis Novel dengan judul
Pulang (1958). Juga ditulisnya novel Daerah Tidak Bertuan
(1963), Bukan Karena Kau dan Kabut Rendah, keduanya terbit
tahun 1968.
5. Utuy Tatang Sontani, dilahirkan di Cianjur, 31 Mei 1920,
meninggal di Moskwa, 17 September 1979. Ia merintis karir
sejak zaman Jepang dan berhasil menciptakan Tambera (roman,
1949), Suling (drama, 1948), dan Bunga Rumah Makan (1948),
Awal dan Mira(1952), Manusia Iseng (1953), Sayang Ada Orang
lain (1954) serta Kabayan.
6. Sitor Situmorang, dilahirkan di Tapanuli, 2 Oktober 1924.
Penyair ini menulis kumpulan sanjak Surat Kertas Hijau (1953);
Dalam Sajak (1955); Wajah Tak Benama (1956); Zaman Baru
(1961). Ia juga menulis Jalan Mutiara (drama, 1954), dan masih
ada lagi.
7. Kirjomulyo, dilahirkan di Yoga, 1930, meninggal di Yogya, 19
Januari 2000. Ia terkenal dengan Romance Perjalanan
(1955)nya. Ia juga menulis lakon Nona Maryam (1955), Penggali
Kapur (1957), Puisi Rumah Bambu; Dusta yang Manis; Puisi Di
Langit Merah; serta novel Cahaya di Mata Emi (1968) dan
Disaat Rambutnya Terurai (1968) serta Dari Lembah Pualam.
Dan masih ada lagi sastrwan yang lain seperti; A.A. Navis,
Muhammad Ali, Nasyah Jamin, Riyano Pratikto, Ali Audah, Nugroho
Notosusanto, Trisno Yuwono, Motenggo Boesye, Iwan Simatupang,
S. Rukiah, N.H. Dini, dan Rendra.

26
BAB III
PENUTUP

1.1 Kesimpulan
Setelah dilakukan pembahasan terhadap beberapa sumber referensi yang terdiri
dari artikel sehingga dapat disimpulkan bahwa karya sastra Indonesia mengalami
banyak sekali masa salah satunya masa pergolakan dimana terjadinya masa yang
memanas karena pada suatu masa dimana terjadinya pengetatan terhadap para
sastrawan Indonesia. Hingga melahirkan sebuah manifest yang memuat suara para
sastrawan tersebut.

27
DAFTAR PUSTAKA

K.S, Yudiono. 2007. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: PT. Grasindo

Mujianto, Yant. Dan Amir Fuady. 2007. Sejarah Sastra Indonesia: Prosa Dan Puisi.
Surakarta: UNS Press

28

Anda mungkin juga menyukai